Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

KETUBAN PECAH PREMATURE (KPP)

A. DEFINISI
Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan selaput ketuban sebelum
persalinan. Bila pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu disebut
ketuban pecah dini pada kehamilan premature. Dalam keadaan normal 8 –
10% wanita hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini.
(Prawirohardjo, 2010). Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban
sebelum adanya tanda-tanda persalinan. Sebagian besar ketuban pecah dini
terjadi diatas 37 minggu kehamilan, sedangkan dibawah 36 minggu tidak
terlalu banyak (Manuaba, 2010).
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum
waktunya melahirkan/sebelum partus, pada pembukaan < 4 cm (fase laten).
Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya
melahirkan (Nugraha, 2010). Ketuban pecah dini merupakan komplikasi
yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan, dan mempunyai
kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang kuran
bulan. Pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat
komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadi prematuritas
dan RDS (Respiration Dystress Syndrome) (Nugraha, 2010).

B. ETIOLOGI
Ketuban pecah dini disebabkan oleh kurangnya kekuatan membrane
atau meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua faktor tersebut.
Berkurangnya kekuatan membrane disebabkan oleh adanya infeksi yang
dapat berasal dari vagina dan serviks. Penyebabnya juga disebabkan karena
inkompetensi servik. Polihidramnion / hidramnion, mal presentasi janin
(seperti letak lintang) dan juga infeksi vagina / serviks (Prawirohardjo,
2010).
Adapun yang menjadi faktor resiko terjadinya ketuban pecah dini
adalah : (Prawirohardjo, 2010)
a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
Korioamnionitis adalah keadaan pada ibu hamil dimana korion,
amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis
merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bakan dapat
menjadi sepsis. Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput
ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban
bisa menyebabkan terjadinya KPD.
b. Serviks yang inkompeten
Serviks yang inkompeten, kanalis servikalis yang selalu terbuka
oleh karena kelainan pada serviks uteri (akibat persalinan, curettage).
Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia), didasarkan
pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk mempertahankan
kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan kehilangan
kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan
kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian
besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada srviks pada
konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks
pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik.
c. Trauma
Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah
dini. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik
dari frekuensi yang ≥ 4 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas
dan penetrasi penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu
terjadinya ketuban pecah dini, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis
dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya
disertai infeksi.
d. Ketegangan intra uterin
Perubahan volume cairan amnion diketahui berhubungan erat
dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Ketegangan intra uterin
yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)
misalnya trauma, hidramnion, gemelli.
e. Kelainan letak
Misalnya sungsang sehingga tidak ada bagian terendah yang
menutupi pintu atas panggu serta dapat menghalangi tekanan terhadap
membran bagian bawah.
f. Paritas
Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara. Primipara
adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik
mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban pecah
dini berkaitan dengan kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil,
gangguan fisiologis seperti emosi dan termasuk kecemasan akan
kehamilan. Selain itu, hal ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil
yaitu akhir triwulan kedua dan awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak
terlalu dibatasi dan didukung oleh faktor lain seperti keputihan atau
infeksi maternal. Sedangkan mulipara adalah wanita yang telah beberapa
kali mengalami kehamilan dan melahirkan anak hidup. Wanita yang telah
melahirkan beberapa kali dan mengalami ketuban pecah dini pada
kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat,
diyakini lebih beresiko akan mengalami ketuban pecah dini pada
kehamilan berikutnya.
g. Usia kehamilan
Persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang jelas,
infeksi diyakini merupakan salah satu penyebab terjadinya KPD dan
persalinan preterm (Prawirohardjo, 2010). Pada kelahiran <37 minggu
sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila ≥47 minggu lebih sering
mengalami KPD (Manuaba, 2010). Komplikasi paling sering terjadi pada
ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu adalah sindroma
distress pernapasan yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko
infeksi meningkat pada kejadian ketuban pecah dini, selain itu juga
terjadinya prolapsus tali pusat. Risiko kecacatan dan kematian janin
meningkat pada ketuban pecah dini preterm. Hipoplasia paru merupakan
komplikasi fatal yang terjadi pada ketuban pecah dini preterm.
Kejadiannya mencapai 100% apabila ketuban pecah dini preterm terjadi
pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.
h. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
Riwayat KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami KPD
kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah
akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membrane sehingga
memicu terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm
terutama pada pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban
pecah dini pada kehamilan atau menjelang persalinan maka pada
kehamilan berikutnya wanita yang telah mengalami ketuban pecah dini
akan beresiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari wanita yang
tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena komposisi
membran yang menjadi mudah rapuh dan sebelumnya, karena komposisi
membran yang terjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang
semakin menurun pada kehamilan berikutnya.

C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini, menurut Manuaba (2010) adalah:
a. Terjadinya pembukaan premature serviks
b. Membran terkait dengan pembukaan terjadi devaskularisasi serta
nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangka membran ketuban makin berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang
mengeluarkan enzim proteolitik dan enzim kolagenase
Banyak teori, mulai dari defect kromosom kelainan kolagen, sampai
infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi
(sampai 65%). Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblast,
jaringan retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan
kolagen dikontrol oleh system aktifitas dan inhibisi interleukin-l (iL-1) dan
prostaglandin.
Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas iL-l dan
prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi
depolimerasi kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan ketuban
tipis, lemah dan mudah pecah spontan (Taylor, 2006).

D. PATHWAY

Inplantasi bakteri
Riwayat KPP Kelainan letak janin
seperti bakteria
sebelumnya
vaginosis

Kandungan kolagen Tekanan intra uterin


Cairan ketuban menurun meningkat
terinfeksi

Membran amnion
Infeksi amnionitis /
rapuh
Korioamnionitis

Kemungkinan Ketuban Pecah Inkompetensia


Kesempitan panggul Prematur serviks

Mengurangi ROM Jaringan yang


terbuka

Bedrest Total
Resiko Infeksi
Defisit Perawatan
Diri

Tindakan Invasif Kontraksi Uterus Persalinan lama

Episiotomy Resiko cedera


maternal dan neonatal
Nyeri Akut
Ansietas
E. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Nugraha (2010), tanda dan gejala ketuban pecah dini antara lain :
1. Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui
vagina warna keruh. Jernih, kuning, hijau, atau kecoklatan sedikit-
sedikit atau sekaligus banyak.
2. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin
cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan
bergaris warna darah. Biasanya agak keruh dan bercampur dengan
lanugo (rambut halus pada janin) serta mengandung verniks caseosa
(lemak pada kulit bayi).
3. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi
sampai kelahiran. Tetapi bila ibu duduk atau berdiri, kepala janin yang
sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau “menyumbat”
kebocoran untuk sementara.
4. Usia kehamilan vible (>20 minggu)
5. Demam, bercak vagina banyak, nyeri perut, denyut jantung janin
bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Nugraha (2010), pemeriksaan penunjang untuk ketuban pecah dini
yaitu
1. Pemeriksaan laboratorium
a) Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa: warna, konsentrasi,
bau dan pH nya
b) Cairan yang keluar dari vagina ada kemungkinan air ketuban, urine
atau secret vagina
c) Sekret vagina ibu hamil pH: 4-5, dengan kertas nitrazin tidak
berubah warna, tetap kuning.
d) Tes lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah menjadi
biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7-7,5
darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu.
e) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas
objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan
gambaran daun pakis.
2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
a) Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri
b) Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun
sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidramnion.

G. PENATALAKSANAAN
1. Pada kehamilan preterm berupa penanganan konservatif, antara lain:
a. Rawat di rumah sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak
perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya
infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu.
b. Berikan antibiotika (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila tidak
tahan ampisilin) dan metronidazol 2x500 mg selama 7 hari.
c. Jika umur kehamilan < 32-34 minggu berikan steroid, untuk
memacu kematangan paru janin, dan kalau memungkinkan periksa
kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Sedian terdiri atas
betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari atau
dexametahos IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
d. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi,
tes busa (-): beri deksametason, observasi tanda-tanda infeksi, dan
kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan 37 minggu.
e. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi,
berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24
jam
f. Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan
lakukan induksi.
g. Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi
intrauterin)
2. Pada kehamilan aterm berupa penanganan aktif, antara lain:
a. Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosi, bila gagal sekso
sesaria. Dapat pula diberikan misoprostol 50 mg intravaginal tiap 6
jam maksimal 4 kali
b. Bila ada tanda – tanda infeksi, berikan antibiotika dosis tinggi, dan
persalinan di akhiri:
- Bila skor pelvik < 5 lakukan pematangan serviks kemudian
induksi. Jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria
- Bila skor pelvik > 5 induksi persalinan, partus pervaginaan.
3. Penatalaksanaan lanjutan
a. Kaji suhu dan denyut nadi setiap 2 jam. Kenaikan suhu sering kali
didahului kondisi ibu yang menggigil.
b. Lakukan pemantauan DJJ. Pemeriksaan DJJ setiap jam sebelum
persalinan adalah tindakan yang adekuat sepanjang DJJ dalam batas
normal. Pemantauan DJJ ketat dengan alat pemantau janin elektronik
secara kontinu dilakukan selama induksi oksitosin untuk melihat
tanda gawat janin akibat kompresi tali pusat atau induksi. Takikardia
dapat mengindikasikan infeksiuteri.
c. Hindari pemeriksaan dalam yang tidak perlu.
d. Ketika melakukan pemeriksaan dalam yang benar–benar diperlukan,
perhatikan juga hal – hal berikut:
- Apakah dinding vagina teraba lebih hangat dari biasa
- Bau rabas atau cairan di sarung tangan
- Warna rabas atau cairan di sarung tangan
- Beri perhatian lebih seksama terhadap hidrasi agar dapat diperoleh
gambarna jelas dari setiap infeksi yang timbul. Seringkali terjadi
peningkatan suhu tubuh akibat dehidrasi.
H. KOMPLIKASI
1. Infeksi Intrapartum (Karioamnionitis)
2. Partus preterm
3. Prolapse tali pusat
4. Distosia (partus kering)
5. Risiko kecacatan janin
6. Hypoplasia paru
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A. PENGKAJIAN
Dokumentasi pengkajian merupakan catatan hasil pengkajian yang
dilaksanakan untuk mengumpulkan informasi dari pasien, membuat data
dasar tentang klien dan membuat catatan tentang respon kesehatan klien
(Hidayat, 2010).
1. Identitas atau biodata klien. Meliputi : nama, umur, agama, jenis
kelamin, alamat, suku bangsa, status perkawinan, pekerjaan,
pendidikan, tanggal masuk rumah sakit nomor register, dan diagnosa
keperawatan.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu Penyakit kronis atau menular dan
menurun seperti jantung, hipertensi, DM, TBC, hepatitis, penyakit
kelamin atau abortus.
b. Riwayat kesehatan sekarang Riwayat pada saat sebelun inpartus
didapatkan cairan ketuban yang keluar pervagina secara
spontan kemudian tidak diikuti tanda-tanda persalinan.
c. Riwayat kesehatan keluarga Adakah penyakit keturunan dalam
keluarga keluarga seperti jantung, DM, HT, TBC, penyakit
kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut diturunkan
kepada klien
d. Riwayat psikososial Riwayat klien nifas biasanya cemas bagaimana
cara merawat bayinya, berat badan yang semakin meningkat dan
membuat harga diri rendah.
3. Pola-pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi dan tata leksana hidup sehat
Karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban pecah
dini, dan cara pencegahan, penanganan, dan perawatan serta
kurangnya menjaga kebersihan tubuhnya akan menimbulkan
masalah dalam perawatan dirinya.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena
dari keinginan untuk menyusui bayinya.
c. Pola aktifitas
Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti
biasanya, terbatas pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan
tenaga banyak, cepat lelah, pada klien nifas didapatkan
keterbatasan aktivitas karena mengalami kelemahan dan nyeri.
d. Pola eleminasi
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering /susah
kencing selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya
odema dari trigono, yang menimbulkan inveksi dari uretra
sehingga sering terjadi konstipasi karena penderita takut untuk
melakukan buang air besar (BAB).
e. Pola istirahat dan tidur
Pada klien intra partum terjadi perubahan pada pola istirahat dan
tidur karena adanya kontraksi uterus yang menyebabkan nyeri
sebelum persalinan.
f. Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan
keluarga dan orang lain.
g. Pola penagulangan stres
Biasanya klien sering merasa cemas dengan kehadiran anak.
h. Pola sensori dan kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada perut akibat kontraksi
uterus pada pola kognitif klien intrapartum G1 biasanya akan
mengalami kesulitan dalam hal melahirkan, karena belum
pernah melahirkan sebelumnya.
i. Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-
lebih menjelang persalinan dampak psikologis klien terjadi
perubahan konsep diri antara lain dan body image dan ideal diri
j. Pola reproduksi dan sosial
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual
atau atau fungsi dari seksual yang tidak adekuat karena adanya
proses persalinan dan nifas.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan.
Biasanya pada saat menjelang persalinan dan sesudah persalinan
klien akan terganggu dalam hal ibadahnya karena harus bedres
total setelah partus sehingga aktifitas klien dibantu oleh keluarganya
(Asrining, dkk. 2003).
4. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang
terdapat adanya cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan
b. Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tiroid,
karena adanya proses menerang yang salah.
c. Mata
Terkadang adanya pembengkakan pada kelopak mata, konjungtiva,
dan kadang-kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena
proses persalinan yang mengalami perdarahan, sklera kuning.
d. Telinga
Biasanya bentuk telinga simetris atau tidak, bagaimana
kebersihanya, adakah cairan yang keluar dari telinga.
e. Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada pos partum kadang-kadang
kadang ditemukan pernapasan cuping hidung
f. Dada
Terdapat adanya pembesaran payudara, adanya hiperpigmentasi
areola mamae dan papila mamae.
g. Abdomen
Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih
terasa nyeri. Fundus uteri 3 jari dibawah pusat, ada atau tidak ada
bekas operasi, kontraksi ada atau tidak, posisi kandung kemih penuh
atau tidak, DJJ ada atau tidak, leopold I : kepala/ bokong/ kosong,
leopold II : a) Kanan: punggung/ bagian kecil/ bokong/ kepala. b)
Kiri: punggung/ bagian kecil/ bokong/ kepala. leopold III : kepala/
bokong/ kosong, leopold IV : bagian masuk PAP atau belum.
h. Genitalia
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila
terdapat pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak
dalam kandungan menandakan adanya kelainan letak anak.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Achadiat (2004) adalah :
a. Pemeriksaan leukosit/WBC, bila > 15.000/ml kemungkinan telah
terjadi infeksi
b. Ultrasonografi (USG) sangat membantu dalam menentukan usia
kehamilan, letak atau persentasi janin, berat janin, letak dan gradasi
plasenta serta jumlah air ketuban.
c. Monitor DJJ dengan fetoskoplaennec atau Doppler atau dengan
melakukan pemeriksaan atau kardiotokografi (bila usia kehamilan
>32 minggu)
d. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, verniks kassceosa,
rambut lanugo/telah terinfeksi atau berbau
e. Lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis
servik dan apakah ada bagian yang sudah pecah
f. Gunakan kertas lakmus, bila menjadi biru (basa): air ketuban, bila
menjadi merah (asam): air kemih (urine)
g. Pemeriksaan PH forniks posterior pada prom PH adalah basa air
ketuban
h. Pemeriksaan histopatologi air (ketuban)
i. Aborization dan sitologi air ketuban
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan ketegangan otot rahim
2. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan bedrest total
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi
persalinan
4. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan yang terbuka

C. INTERVENSI
1. Nyeri berhubungan dengan ketegangan otot rahim
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam diharapkan nyeri
berkurang
Kriteria hasil :
a. Klien tampak tenang dan nyaman
b. TTV normal
c. Skala nyeri 0-2
Intervensi :
a. Berikan posisi nyaman
Hasil : Posisi nyaman dapat memberikan rasa nyaman pada pasien
b. Ajarkan teknik relaksasi
Hasil: Teknik relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
c. Tingkatkan istirahat
Hasil: Istirahat dapat mengurangi rasa nyeri
d. Monitoring tanda-tanda vital
Hasil: Untuk mengetahui kondisi pasien
e. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Hasil: Analgetik dapat mengurangi nyeri
2. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang kondisi
persalinan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam diharapkan cemas
teratasi
Kriteria hasil:
a. Klien paham dengan proses persalinan
b. Klien berpartisipasi aktif dalam proses melahirkan
Intervensi :
a. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
Hasil: Penjelasan tentang prosedur dapat meningkatkan pengetahuan
klien
b. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
Hasil: Teknik relaksasi dapat mengurangi kecemasan
c. Ciptakan lingkungan yang tenang
Hasil: Lingkungan yang tenang dapat mengurangi kecemasan
d. Gunakan pendekatan yang menenangkan
Hasil: Pendekatan dapat membantu klien merasa tenang
e. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan persepsi
Hasil: Mengungkapkan perasaan dapat membantu untuk mengetahui
apa yang dirasakan klien
3. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan yang terbuka
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam diharapkan risiko
infeksi dapat dihindari
Kriteria Hasil:
a. Tidak ada tanda-tanda infeksi
b. Tidak ada demam, cairan amnion jernih, tidak berbau
Intervensi:
a. Lakukan teknik aseptik dalam pemeriksaan vagina
Hasil: Mencegah pertumbuhan bakteri dan kontaminasi vagina
b. Anjurkan perawatan perineum setiap 4 jam
Hasil: Manurunkan resiko infeksi
c. Pantau dan gambarkan karakteristik cairan amnion
Hasil: Pada infeksi, cairan amnion menjadi lebih kental dan kuning
pekat
d. Monitoring tanda-tanda vital
Hasil: Untuk mengetahui kondisi pasien
e. Berikan antibiotik sesuai indikasi
Hasil: Untuk mengurangi resiko infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Asrining, S. H.. S. K. N., dkk. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta :
EGC
Hidayat, A.A.A. 2010. Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan edisi 2.
Jakarta: Salemba.
Manuaba. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana
untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC
Nugroho, Taufan. 2010. Kasus Emergency Kebidanan. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Nurarif, Amin Huda. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Edisi Revisi.
Yogyakarta. Mediaction
Prawiroharjo, Sarwono. 2005. Ilmu Kebidanan. Jakarta: FKUI
Prawirohardjo, S., 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Varney, Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4. Jakarta. EGC
Yulaikhah. 2009. Panduan Lengkap Kebidanan. Yogyakarta: Pallwall

Anda mungkin juga menyukai