Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN

HIPERBILIRUBINEMIA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak dengan dosen
Pembimbing : Ns. Dini Kurniawati, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Mat

oleh :

Kelompok 3 / A 2017

Chilyah Faiqotun Nuriyah 172310101004

Imelda Desya Hajar Anggraini 172310101012

Yudha Ferdian Firmansyah 172310101018

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“Asuhan Keperawatan Pada Anak dengan Hiperbilirubinemia”. Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Keperawatan
Anak Fakultas Keperawatan Universitas Jember tahun ajaran 2019.

Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dari beberapa pihak,
sehingga penulis akan berterima kasih pada :

1. Dosen mata kuliah Keperawatan Anak Fakultas Keperawatan


Universitas Jember tahun ajaran 2019.
2. Teman-teman yang telah membantu dalam pengerjaan makalah ini.
3. Dan beberapa pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini


masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis senantiasa mengharapkan kritik
serta saran yang membangun.

Semoga semua yang tertulis dalam makalah ini bisa berguna bagi seluruh
pembaca dan bermanfaat bagi dunia pendidikan.

Jember, 9 September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL…………………………………………………………….i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………...iii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………...…1


1.2 Tujuan…………………………………....…………………………………2
1.3 Manfaat……………………………………………………………………..2

BAB 2 KONSEP PENYAKIT……………………………………………………3

2.1 Definisi………………………………………………………………..…...3
2.2 Klasifikasi………………………………………………………….....…...3
2.3 Patofisiologi…………………………………………..………………...…4
2.4 Manifestasi klinis……………………………………..…………………...6
2.5 Penatalaksanaan…………………………………………………………...6
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN…………………….…..………………….8
3.1 Pengkajian Keperawatan…………………………………….....…………8
3.2 Diagnosa Keperawatan……………………...………………..…………10
3.3 Intervensi Keperawatan…………………..…………………..…………11
3.4 Pendidikan Kesehatan……………….………………………....………..15

BAB 4 PATHWAY…………………..…………………………………….……16

BAB 5 PENUTUP…………………..…………………………………...………17
3.5 Kesimpulan………………….……………………………………………17
3.6 Rekomendasi isu menarik………..……………………………...……….17
DAFTAR PUSTAKA……………………………………....……………………19

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hiperbilirubinemia yaitu suatu kondisi bayi baru lahir dengan kadar
bilirubin serum pada minggu pertama lebih dari 10 mg% yang ditandai
dengan ikterus, biasanya dikenal sebagai ikterus neonatorum patologis. Di
Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, dari 4 juta neonatus yang
lahir setiap tahunnya, sekitar 65% menderita ikterus dalam minggu
pertama kehidupannya. Kemampuan pelayanan kesehatan suatu bangsa
diukur dengan menentukan tinggi rendahnya AKI (Angka Kematian Ibu)
dan AKB (Angka Kematian Bayi). Menurut laporan World Health
Organization (WHO) pada tahun 2006 Angka Kematian Bayi (AKB)
49/1.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2012 sebesar 35/1.000 kelahiran
hidup (Darsono, et. al., 2016) . Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) pada tahun 2008 menunjukkan angka kematian bayi (AKB) di
Indonesia sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup, dan yang terakhir pada
tahun 2012 menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup (Riskesdas, 2013).
Di Indonesia, angka kematian bayi yang berada di Provinsi Lampung
berdasarkan hasil SDKI tahun 2002-2012 yaitu dari 55 per 1000 kelahiran
hidup tahun 2002 menjadi 30 per 1000 kelahiran hidup tahun 2012, namun
bila dibandingkan dengan target dari MDGs tahun 2015 sebesar 23 per
1.000 kelahiran hidup maka masih perlu kerja keras untuk mencapainya
(Riskesdas, 2013). Menurut Departemen Kesehatan RI (2012), dalam
Riskesdas (2010) menyebutkan bahwa penyebab kematian bayi baru lahir
0-8 hari di Indonesia adalah gangguan pernafasan (36,9%), prematuritas
(32,4%), sepsis (12%), hipotermi (6,8%), ikterus (6,6%) dan lain lain.
Penyebab kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan
kongenital 18,1%, pneumonia 15,4%, prematuritas dan BBLR 12,8%.
Untuk angka kejadian ikterus bayi di Indonesia sekitar 50% bayi cukup
bulan yang mengalami perubahan warna kulit, mukosa dan mata menjadi
kekuningan (ikterus), dan pada bayi kurang bulan (premature) kejadiannya
lebih sering, yaitu 75% (Darsono, et. al., 2016).

1
Keadaan bayi yang menderita Hiperbilirubinemia dengan
meningkatnya kadar bilirubin pada jaringan ekstravaskular, sehingga
menyebabkan perubahan warna pada konjungtiva, kulit dan mukosa
menjadi berwarna kuning. Adanya ikterus merupakan salah satu gejala
yang dialami bayi baru lahir, ada dua macam ikterus yaitu ikterus
fisiologis yang timbul pada hari kedua dan kegita yang akan menghilang
pada minggu pertama sedangkan ikterus patologis terjadi pada 24 jam
pertama yang memiliki kadar bilirubin lebih dari 10 mg% pada neonatus
cukup bulan dan melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
Fototerapi juga salah satu solusi dimana kadar bilirubin bisa menurun.
Fototerapi menggunakan alat dengan bola lampu flourenses, bayi normal
mendapat fototerapi selama 1-3 har memiliki kadar puncak bilirubin serum
sekitar setengah dari bayi yang tidak diobati. Fototerapi rumah sakit
merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kadar Total Bilirubin
Serum (TSB) meningkat (Bunyaniah, 2013).

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk Mengetahui Definisi Hiperbilirubina
1.2.2 Untuk Mengetahui Klasifikasi Penyakit Hiperbilirubina
1.2.3 Untuk Mengetahui Patofisiologi Hiperbilirubina
1.2.4 Untuk Mengetahui Manifestasi Klinis Hiperbilirubina
1.2.5 Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Pada Hiperbilirubina

1.3 Manfaat
Dengan ditulisnya makalah ini diharapkan semua orang dapat
membaca dan lebih memahami isinya. Makalah ini disusun untuk
memberikan informasi-informasi dan diharapkan pembaca dapat menyerap
apa saja yang ditulis didalamnya. Ketika informasi sudah didapatkan oleh
pembaca, diharapkan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan
juga lebih berhati-hati terhadap faktor penyebabnya. Diharapkan juga pada
perawat agar mengetahui penyebab dan cara mengatasi masalah anak
dengan Hiperbilirubina dengan memberikan perawatan yang tepat.

2
BAB 2. KONSEP PENYAKIT

2.1 Definisi
Hiperbilirubinemia adalah suatu kondisi klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir dimana berlebihnya kadar bilirubin dalam
darah lebih dari 10 mg/dl pada minggu pertama sehingga mengakibatkan
jaundice atau ikterus (kekuningan). Pada klien dengan kondisi
hiperbilirubinemia akan nampak kekuningan pada kulit, mukosa, sclera,
urine, dan jaringan lainnya. (Sembiring, 2017)
Pada derajat tertentu hiperbilirubinemia ini akan dapat bersifat toksik
dan dapat merusak jaringan tubuh sehingga menimbulkan efek patologi.
Biasanya toksisitas ini ditemukan pada bilirubin indirek yang sifatnya sukar
larut dalam air namun mudah larut dalam lemak dan sifat itulah yang
memungkinkan terjadinya efek patologi pada sel otak yang disebut
kernicterus atau ensefalopati biliaris. Kernikterus yaitu suatu kerusakan otak
akibat peningkatan bilirubin indirek (lebih dari 20 mg/dl) pada otak terutama
pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus, hipokampus, nucleus
merah, dan nucleus pada dasar ventrikulus IV. (Sembiring, 2017)
Menurut (Rohsiswatmo dan Amandito, 2018) Jenis Bilirubin ada 2
yaitu Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek (bilirubin bebas) yang
merupakan bilirubin tidak larut dalam air, komponen bebas dalam lemak dan
bersifat toksik pada otak. Sedangkan Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin
direk (bilirubin terikat) yaitu bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk
otak. Nilai normal dari bilirubin indirek yaitu 0,3-1,1 mg/dL dan bilirubin
direk yaitu 0,1-0,4 mg/dL.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hiperbilirubin adalah suatu keadaan
dimana kadar bilirubin indirek dalam darah melebihi batas atas nilai normal
bilirubin serum.
2.2 Klasifikasi
Hiperbilirubinemia terbagi dalam 2 jenis, yaitu : (EASL, 2009)
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan
hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai

3
potensi untuk menjadi Kernikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut
:
a) Timbul pada hari kedua dan ketiga
b) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonates
cukup bulan
c) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 % per hari
d) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%
e) Icterus menghilang pada 10 hari pertama
f) Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis

2. Icterus Patologis
Icterus patologis adalah icterus yang mempunyai dasar patologis
atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai berikut :
a) Icterus terjadi dalam 24 jam pertama
b) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonates kurang bulan
c) Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari
d) Icterus menetap sesudah 2 minggu pertama
e) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%
f) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik

2.3 Patofisiologi
Meningkatnya kadar birilubin dapat disebabkan produksi yang
berlebihan. Sebagian besar bilirubin berasal dari destruksi eritrosit yang
menua, pada neonatus 75% bilirubin berasal dari mekanisme ini, satu gram
hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek (free billirubin) dan
bentuk inilah yang dapat masuk ke jaringan otak dan menyebabkan
kernicterus. (Sargent, 2011)
Peningkatan kadar bilirubin dapat terjadi karena beberapa kondisi.
Kondisi yang sering ditemukan yaitu adanya penambahan beban bilirubin
pada sel hepar yang berlebihan. Hal itu terjadi karena adanya peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia, dan gangguan pemecahan bilirubin

4
plasma. Kondisi lain yang dapat meningkatkan bilirubin yaitu adanya
gangguan konjugasi hepar dan mengalami gangguan ekskresi karena adanya
sumbatan pada saluran empedu. Berikut mekanisme penyakit
Hiperbilirubinemia : (Mathindas, 2013)
a. Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir
dari katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi.
Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui
kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida.
Besi dapat digunakan kembali sedangkan karbon monoksida
diekskresikan melalui paru-paru.
b. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hamper
tidak larut dalam air dalam bentuk isomerik (karena ikatan hidrogen
intramolekul). Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam
plasma, terikat berat pada albumin.
c. Apabila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan
albumin baik oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-
obatan), bilirubin yang bebas dapat melewati meembran yang
mengandung lemak (double lipid layer), termasuk sawar darah otak, yang
dapat mengarah ke neurotoksisitas.
d. Bilirubin yang mencapai hati akan di angkut ke dalam hepatosit, dimana
bilirubin terikat pada ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan
meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi ligandin.
Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada saat lahir namun akan
meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan.
e. Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat di reticulum endoplasma
melalui reaksi yang dikatalisis oleh Uridin Difosfoglukuronil Transferase
(UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak
larut air menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresikan kedalam
empedu dan masuk ke usus, bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol
yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar. Sebagian dekonjugasi
terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase.
Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke

5
dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus
absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut
dengan sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang
pada bayi baru lahir karena asupan gizi yang terbatas pada hari-hari
pertama kehidupan.

2.4 Manifestasi Klinis


Secara umum tanda dan gejala dari penyakit hiperbilirubinemia antara lain :
(Mendri, 2018)
1) Sklera, puncak hidung, sekitar mulut, dada, perut, dan ekstremitas
berwarna kuning (Jaundice)
2) Letargi (Lemas)
3) Mudah mengantuk
4) Kemampuan mengisap menurun
5) Feses berwarna pucat
6) Tangisan melengking
7) Kejang

2.5 Penatalaksanaan
Hiperbilirubinemia ringan tidak memerlkukan pengobatan dan
biasanya bayi hanya dianjurkan untuk lebih banyak menyusu karena dapat
mempercepat pembuangan isi usus dan dapat mengurangi penyerapan
kembali bilirubin dari usus sehingga hal itu dapat menurunkan kadar bilirubin
dalam darah. Namun apabila kadar bilirubin sangat tinggi maka dianjurkan
untuk dilakukannya transfusi tukar. (Sembiring, 2017).
Adapun beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi hiperbilirubinemia pada bayi yaitu : (Mendri, 2018)
1. Fototerapi
Merupakan terapi utama yang dapat digunakan untuk kondisi klien
dengan Hiperbilirubinemia. Metode penyinaran dengan sinar biru yang
panjang gelombangnya yaitu 460 – 490 nm. Untuk memaksimalkan
iradiasi dan efektivitas terapi, jarak sumber cahaya dan bayi harus dalam

6
jarak 10 – 15 cm. Terapi ini untuk mempercepat penurunan bilirubin
(Rohiswatmo, 2018).
Saat fototerapi dilakukan mata bayi harus dilindungi supaya tidak
merusak retina mata dan jelaskan kepada orangtua mengenai
kemungkinan efek samping yang bisa terjadi yaitu ruam pada kulit dan
perubahan sistensi tinja. Fototerapi ini dilakukan pada saat kadar
bilirubin 10 – 20 mg/dl.
2. Transfusi Tukar
Merupakan metode pada darah bayi yang diganti dengan darah segar
melalui transfusi dimana terapi ini berfungsi untuk membuang bilirubin
yang ada didalam darah bayi dan diganti dengan darah yang segar.
Transfusi tukar berfungsi untuk menurunkan kadar bilirubin indirek,
membuang antibodi yang menyebabkan hemolisis. Prosedur ini
dilakukan pada bayi yang memiliki kadar bilirubin indirek sama dengan
atau lebih dari 20 mg%. (Sembiring, 2017)
3. Anjurkan orangtua untuk memberikan ASI dengan sering dan sejak dini
untuk membentu mencegah terjadinya ikterus dan mempercepat reduksi
konsentrasi bilirubin.
4. Lakukan pemeriksaan laboratorium pada semua klien dengan
Hiperbilirubinemia.
5. Ajarkan ibu dari bayi yang mengalami ikterus ringan untuk segera
melaporkan jika bayi letargi, kesulitan minum ASI, dan pengeluaran
tinja jarang.
6. Terapi obat phenobarbital, yaitu obat yang dapat menstimulus hati untuk
menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi bilirubin dan
mengekskresikannya.

7
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan

a. Identitas
Biasa ditemukan pada bayi baru lahir sampai  minggu I, Kejadian
ikterus  :  60 % bayi cukup bulan & 80 % pada bayi kurang bulan.
Perhatian utama  :  ikterus pada 24 jam pertama & bila kadar bilirubin >
5mg/dl dalam 24 jam.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kehamilan
Kurangnya antenatal care yang baik. Penggunaan obat – obat yang
meningkatkan ikterus ex: salisilat sulkaturosic oxitosin yang dapat
mempercepat proses konjungasi sebelum ibu partus.
2) Riwayat Persalinan
Persalinan dilakukan oleh dukun, bidan, dokter. Atau data obyektif
: lahir prematur/kurang bulan, riwayat trauma persalinan, hipoksia
dan asfiksia.
3) Riwayat Post natal
Adanya kelainan darah, kadar bilirubin meningkat kulit bayi
tampak kuning.
4) Riwayat Kesehatan Keluarga
Seperti ketidak cocokan darah ibu dan anak polisitemia, gangguan
saluran cerna dan hati ( hepatitis )
5) Riwayat Pikososial
Kurangnya kasih sayang karena perpisahan, perubahan peran orang
tua
6) Pengetahuan Keluarga
Penyebab perawatan pengobatan dan pemahaman orang tua
terhadap bayi yang ikterus.
c. Pemeriksaan fisik dan pengkajian fungsional
1) Aktivitas / Istirahat
a) Letargi, malas.

8
2) Sirkulasi
a) Mungkin pucat menandakan anemia.
3) Eliminasi
a) Bising usus hipoaktif.
b) Pasase mekonium mungkin lambat.
c) Feses mungkin lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran
bilirubin.
d) Urin gelap pekat; hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)
4) Makanan / Cairan
a) Riwayat perlambatan / makan oral buruk, mungkin lebih
disusui daripada menyusu botol. Pada umumnya bayi malas
minum ( reflek menghisap dan menelan lemah, sehingga BB
bayi mengalami penurunan). Palpasi abdomen dapat
menunjukkan pembesaran limfa, hepar.
5) Neuro sensori
a) Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua
tulang parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran /
kelahiran ekstraksi vakum.
b) Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis
mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
c) Kehilangan refleks Moro mungkin terlihat opistotonus dengan
kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis
lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
6) Pernafasan
a) Riwayat asfiksia
7) Keamanan
a) Riwayat positif infeksi / sepsis neonatus
b) Dapat mengalami ekimosis berlebihan, ptekie, perdarahan
intracranial.
c) Dapat tampak ikterik pada awalnya pada daerah wajah dan
berlanjut pada bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan
(sindrom bayi Bronze) sebagai efek samping fototerapi.

9
8) Seksualitas
a) Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi
dengan retardasi pertumbuhan intrauterus (LGA), seperti bayi
dengan ibu diabetes.
b) Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin,
asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia.
c) Terjadi lebih sering pada bayi pria dibandingkan perempuan.
9) Penyuluhan / Pembelajaran
a) Dapat mengalami hipotiroidisme congenital, atresia bilier,
fibrosis kistik.
b) Faktor keluarga : missal riwayat hiperbilirubinemia pada
kehamilan sebelumnya, penyakit hepar, fibrosis kristik,
kesalahan metabolisme saat lahir (galaktosemia), diskrasias
darah (sferositosis, defisiensi gukosa-6-fosfat dehidrogenase.
c) Faktor ibu, seperti diabetes ; mencerna obat-obatan (missal,
salisilat, sulfonamide oral pada kehamilan akhir atau
nitrofurantoin (Furadantin), inkompatibilitas Rh/ABO,
penyakit infeksi (misal, rubella, sitomegalovirus, sifilis,
toksoplamosis).
d) Faktor penunjang intrapartum, seperti persalinan praterm,
kelahiran dengan ekstrasi vakum, induksi oksitosin,
perlambatan pengkleman tali pusat, atau trauma kelahiran.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Hipertermi b.d. efek mekanisme regulasi tubuh
2. Resiko gangguan integritas kulit b.d. peningkatan kadar bilirubin indirek
dalam darah, ikterus pada sclera, leher dan badan.
3. Resiko Kekurangan volume cairan b.d. pemaparan sinar dengan
intensitas tinggi
4. Risiko tinggi cedera b.d. prosedur invasif, profil darah abnormal.

10
3.3 Intervensi Keperawatan

Diagnosa
Tujuan dan
keperawata Rencana tindakan Rasional
Kriteria Hasil
n
Hipertermi NOC: NIC:
b.d. efek
mekanisme Suhu tubuh bayi 1. Pertahankan suhu 1 supaya suhu
regulasi kembali normal dan lingkungan yang tetap optimal.
tubuh stabil dalam waktu 1 netral
x 24 jam dengan 2. Pertahankan suhu 2 supaya suhu
Kriteria hasil : tubuh 36,5°C - 37°C tetap normal
1. Suhu tubuh 36°C 3. jika demam lakukan 3 untuk
- 37ºC kompres/axilia untuk menurunkan
2. Membran mencegah cold/heat suhu demam
mukosa lembab stress
4. Cek tanda Vital setiap 4 mengontrol
2 – 4 jam sesuai yang tanda-tanda
dibutuhkan vital
5. Kolaborasi pemberian
antipiretik jika demam 5 supaya demam
segera turun
Resiko NOC: NIC:
gangguan
integritas Setelah dilakukan 1. Amati warna, 1.untuk
kulit b.d. tindakan kehangatan, bengkak, mendeteksi
peningkatan keperawatan selama pulsasi, tekstur, adanya edema
kadar 3 x 24 jam, edema, dan drainase pada kulit
bilirubin diharapkan integritas 2. Gunakan alat 2 untuk mengukur
indirek dalam kulit kembali baik/ pengkajian resiko klien
darah, ikterus normal dengan untukmengidentifikas mengalami
pada sclera, kriteria hasil : i pasien yang gangguan
leher dan beresiko mengalami integritas kulit
1. Kadar bilirubin
badan kerusakan kulit

11
dalam batas 3. Monitor warna kulit, 3 mendeteksi
normal ( <5 dan suhu kulit adanya
mg/dl ) 4. Monitor kulit untuk perubahan
2. Kulit tidak adanya ruam dan warna kulit
berwarna lecet 4 mendeteksi
kuning/ warna 5. Monitor sumber adanya ruam
kuning mulai tekanan dan gesekan pada kulit
berkurang 5 untuk
mengurangi
resiko
gangguan
integritas kulit
Resiko NOC : NIC :
Kekurangan
Setelah diberikan 1. Pertahankan intake : 1 supaya tidak
volume
asuhan beri minum sesuai terjadi dehidrasi
cairan b.d.
keperawatan  selama kebutuhan karena pada bayi
pemaparan
3 x 24 jam, cairan bayi malas minum
sinar dengan
tubuh neonatus 2. Berikan berulang-
intensitas 2 untuk
adekuat dengan ulang, jika tidak mau
tinggi mencegah
kriteria hasil : menghisap dapat
terjadinya
diberikan
1. Tugor kulit baik dehidrasi
menggunakan sendok
2. Membran
atau sonde.
mukosa lembab
3. Berikan terapi infus
3. Intake dan 3 untuk
sesuai program bila
output cairan menambah
indikasi :
seimbang volume cairan
meningkatnya
4. Nadi, respirasi
temperatur,meningkat
dalam batas
nya konsentrasi urin,
normal (N:
dan cairan hilang
120-160 x/menit,
berlebihan.
RR : 35
4. Perhatikan frekuensi
x/menit ), suhu 4 untuk

12
( 36,5-37,5 C ) BAB, mungkin susu mendeteksi
tidak cocok (jika BAB yang
bukan ASI) . berlebihan
5. Kaji adanya 5 supaya
dehidrasi: membran mengetahui
mukosa, ubun-ubun, bayi tersebut
turgor kulit, mata. mengalami
6. Monitor suhu tiap 2 dehidrasi atau
jam. tidak
6 supaya
mengetahui
perubahan
suhu
Risiko tinggi NOC : NIC :
cedera b.d.
prosedur Setelah diberikan 1. Periksa rhesus darah 1 untuk
invasif, profil asuhan keperawatan ABO. mengetahui jenis
darah selama 3 x24 jam, 2. Tinjau catatan darah
abnormal diharapkan kadar intrapartum terhadap 2 untuk
bilirubin menurun factor resiko yg mengetahui
dengan kriteria hasil: khusus, seperti berat penyebab
badan lahir rendah hiperbilirubinemia
1. Kadar bilirubin
(BBLR) atau IUGR,
indirek dibawah
prematuritas, proses
12 mg/dl pada
metabolic abnormal,
bayi cukup
cedera vaskuler,
bulan pada usia
sirkulasi abnormal,
3 hari
sepsis, atau
2. Resolusi ikterik
polisitemia.
pada akhir
3. Perhatikan penggunaan 3 untuk
minggu pertama
ekstrator vakum untuk mengetahui
kehidupan SSP
kelahiran. Kaji bayi adanya
berfungsi denga
terhadap adanya kelainan atau

13
n normal sefalohematoma dan kecacatan pada
ekimosis atau petekie bayi
yang berlebihan
4. Tinjau ulang kondisi 4 mengontrol
bayi pada kelahiran, kondisi bayi
perhatikan kebutuhan
terhadap resusitasi atau
petunjuk adanya
ekimosis atau petekie
yang berlebihan, stress
dingin, asfiksia, atau
asidosis
5. Pertahankan bayi tetap 5 supaya suhu
hangat dan kering, bayi tetap
pantau kulit dan suhu optimal
inti dengan sering
6. Mulai memberikan 6 supaya
minum oral awal mencukupi
dengan 4 sampai 6 jam nutrisi pada
setelah kelahiran, bayi
khusus bila bayi diberi
ASI. Kaji bayi
terhadap tanda-tanda
hipoglikemia.
Dapatkan kadar
Dextrostix, sesuai
indikasi.
7. Evaluasi tingkat nutrisi 7 supaya tidak
ibu dan prenatal; mengalami
perhatikan kekurangan
kemungkinan nutrisi
hipoproteinemia

14
neonates, khususnya
pada bayi praterm.
8. Perhatikan usia bayi 8 supaya segera
pada awitan ikterik; mengetahui
bedakan tipe ikterik apakah termasuk
(mis, fisiologis, akibat ikterik fisiologis
ASI, atau patologis) atau patologis
sehingga segera
mendapatkan
penanganan yang
tepat.

3.4 Pendidikan Kesehatan

(Terlampir)

15
BAB 4. PATHWAY

Hemoglobin

Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjugasi


bilirubin/gangguan transport bilirubin/peningkatan siklus entero
hepatik), Hb dan eritrosit abnormal

Pemecahan bilirubin berlebih / bilirubin yang tidak berikatan dengan


albumin meningkat

Hiperbilirubinemia

peningkatan kadar bilirubin


indirek dalam darah, ikterus
pada sclera, leher dan badan. Kernikterus

Risiko tinggi cedera


fototerapi Jaundice

Resiko gangguan
integritas kulit

pemaparan sinar dengan


Suhu tubuh bayi
intensitas tinggi tinggi

Dehidrasi Hipertermi

Resiko Kekurangan
volume cairan 

16
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar bilirubin
dalam darah lebih dari 10mg/dl pada minggu pertama, sehingga
mengakibatkan jaundice atau ikterus (kekuningan). Pada klien dengan kondisi
hiperbilirubinemia akan nampak kekuningan pada kulit, mukosa, sclera,
urine, dan jaringan lainnya. Keadaan ini mempunyai potensi mengakibatkan
kernikterus yaitu kerusakan pada otak akibat adanya penumpukan kadar
bilirubin pada otak. Hiperbilirubinemia berkaitan dengan riwayat kehamilah
ibu dan prematuritas, asupan ASI pada bayi yang dapat mempengaruhi kadar
bilirubin dalam darah. Untuk penatalaksanaan yang dapat dilakukan ketika
mengalami penyakit ini sangat bervariasi. Penyakit ini harus segera ditangani
dan segera diberi perawatan sebagaimana mestinya.

5.2 Rekomendasi Isu Menarik

“Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini Hiperbilirubinemia pada Neonatus”


Pada bayi baru lahir terjadi kenaikan fisiologis kadar bilirubin dan
60% bayi >35 minggu akan terlihat ikterik. Namun 3% - 5% dari kejadian
ikterik tersebut tidak fisiologis dan berisiko terjadinya kerusakan neurologis
bahkan kematian bayi. Sebagai upaya pencegahan hiperbilirubinemia berat
yang dapat menyebabkan kerusakan neurologis, pemeriksaan bilirubin telah
menjadi rekomendasi universal bayi baru lahir yang terlihat kuning. Semakin
tinggi perhatian klinisi untuk pencegahan kernikterus akan semakin rendah
insidensinya. Saat ini ditemukan beberapa penemuan baru seperti Bilistick,
sebagai alat pemeriksaan bilirubin yang kurang invasif dan penggunaan filter
atau film untuk menangani hiperbilirubinemia ringan dengan sinar matahari.
Penemuan baru inilah yang diharapkan dapat membantu negara berkembang
seperti indonesia dan lainnya dalam tatalaksana hiperbilirubinemia pada bayi
baru lahir. (Rohsiswatmo, 2018)
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir perlu segera dideteksi.
Metode pemeriksaan bilirubin untuk bayi baru lahir terdiri dari metode visual,

17
invasif, non-invasif, dan kurang invasif. Bilistick merupakan metode
pemeriksaan bilirubin kurang invasif yang memiliki banyak unggulan dan
dapat dipertimbangkan menjadi pilihan metode di Indonesia. Penggunaan
sinar matahari tidak langsung dengan menggunakan film atau filter dapat
digunakan untuk kasus hiperbilirubinemia ringan dan cenderung bukan
patologis. Penggunaan fototerapi tidak langsung tidak dapat menggantikan
fototerapi konvensional untuk kasus hiperbilirubinemia yang berpotensi
patologis. (Rohsiswatmo, 2018)

18
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, M gloria, Howark K Butcher, Joanne M Dochterman, Cheryl M


Wagner. (2016) . Nursing Interventions Classification (NIC) edisi
keenam. Singapura : Elsevier Inc.

Dahru, B. 2013. Pengaruh Fototerapi Terhadap Derajat Ikterik Pada Bayi Baru
Lahir Di Rsud Dr. Moewardi Surakarta. Surakarta

Dewi, A.K.S., I.M. Kardana., K. Suarta. 2016. Efektifitas Fototerapi Terhadap


Penurunan Kadar Bilirubin Total pada Hiperbilirubinemia Neonatal di
RSUP Sanglah. Sari Pediatri. Vol 18 (2).

Hosea et al. 2015. Hyperbilirubinemia treatment of neonatus in dr. Soetomo


hospital surabaya. Folia Medica Indonesiana. Vol. 51 No. 3. Hlm 183-
186.

Mathindas, S., R. Wilar, A. Wahani. 2013. Hiperbilirubinemia pada Neonatus.


Jurnal Biomedik. Vol 5 (1).

Mendri, N.K., A. S. Prayogi. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit dan
Bayi Resiko Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Moorhead, S., Johnson, M., Dkk. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC)
Edisi Kelima. Singapura: Elsevier Inc.

Nanda. 2018. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2018-2020 Edisi 11


Editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Rohsiswatmo, R dan Amandito, R. 2018. Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35


Minggu Di Indonesia : Pemeriksaan Dan Tatalksana Terkini. Sari
Pediatri. Volume. 20 (2).

Sekarkinanti, L. 2018. Gambaran Pertumbuhan Dan Perkembangan Bayi Dengan


Riwayat BBLR Di Wilayah Kerja Uptd Puskesmas Pagerageung
Kabupaten Tasikmalaya. Tasikmalaya

19
Sembiring, J. Br. 2017. Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Prasekolah.
Deepublish : Yogyakarta Edisi 1.

Sutjahjo, Ari. 2015. Dasar-dasar Ilmu Penyakit dalam. Surabaya: Airlangga


University Press (AUP)

20

Anda mungkin juga menyukai