Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DI RUANG IRNA 6 PADA TN.

S
DENGAN DIAGNOSA BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
DI RUMAH SAKIT UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK III

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Benign prostate hyperplasia (BPH) merupakan istilah histopatologi yang digunakan


untuk menggambarkan adanya pembesaran prostat. Terminologi BPH secara histologi ialah
terdapat pembesaran pada sel-sel stroma dan sel-sel epitel pada kelenjar prostat. BPH akan
menjadi suatu kondisi klinis jika telah terdapat berbagai gejala pada penderita seperti
Peningkatan DTH, Ketidak seimbangan estrogen-testosteron, Interaksi antar sel stroma dan
sel epitel prostat , berkurangnya kematian sel (Nurarif dan kusuma,2015).

Penyebab dari BPH sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun hal ini telah
dikaitkan dengan perubahan hormon pada pria, hormone yang berperan adalah testosteron,
dimana hormon ini berperan penting dalam pertumbuhan prostat. Testosteron dalam kelenjer
prostat akan diubah menjadi dihydrotestosterone (DHT) yang selanjutnya merangsang
pertumbuhan dari kelenjer prostat tersebut. Pembentukan nodule prostat telah mulai tampak
pada umur 25 tahun sekitar 25%, pada usia 60 tahun nodul pembesaran prostat tersebut
terlihat pada sekitar 60% , tetapi gejala baru dikeluhkan pada sekitar 30-40%, sedangkan
pada usia 80 tahun nodul terlihat pada 90% di antaranya sudah mulai memberikan gejala-
gejalanya (Amalia, 2007), didukung dari data WHO (2013) yang memperkirakan dari jutaan
penyakit akibat degenerative salah satunya yaitu BPH, dengan insidensi di negara maju
sekitar 19% dan di negara berkembang 5,35%.

Faktor yang menjadi risiko terjadinya pembesaran prostat menurut Patel (2014), dan
Wein (2016) yaitu usia, riwayat keluarga, obesitas, diabetes melitus, pola konsumsi sayur dan
buah, merokok, alkohol, perilaku seksual dan olahraga. Volume prostat juga meningkat
seiring bertambahnya usia, dengan data dari Krimpen dan Baltimore Longitudinal Study of
Aging (BLSA) kohort menunjukkan tingkat pertumbuhan prostat dari 2,0% menjadi 2,5% per
tahun pada pria yang lebih tua, pada penelitian sebelumnya Rasydin, (2013) sebanyak 88,9%
lansia menderita hyperplasia prostat dan 58, 1% pada penelitian Setyawan, (2015) sedangkan
pada penelitian Suryawan (2015) sebanyak 59.8% penderita BPH berada pada usia diatas 65
tahun. Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi
yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang
menderita BPH semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH.
Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit BPH, maka risiko meningkat 2 kali bagi yang
lain.

Tujuan dilakukannya pengobatan pada BPH yaitu untuk mengontrol gejala, mencegah
terjadinya komplikasi penyakit, dan untuk menunda tindakan pembedahan. Pilihan terapi
yang diberikan tergantung pada tingkat keparahan dari tanda-tanda dan gejalanya, meliputi
terapi pemantauan perjalanan penyakit pasien (watchful waiting), terapi farmakologi, dan
tindakan pembedahan (operasi). Pemantauan penyakit pada pasien (watchful waiting)
diberikan pada pasien dengan tingkat BPH yang ringan dimana pasien dipantau dalam
interval waktu 6 sampai 12 bulan serta pasien diberikan arahan untuk berperilaku hidup sehat
atau untuk menghindari hal-hal yang dapat memperparah tingkat penyakitnya, contoh
menghindari mengkonsumsi kafein dan alkohol, sering melakukan pengosongan kandung
kemih, serta menghindari obat-obatan yang bisa memperparah penyakitnya. Terapi
farmakologi diberikan pada pasien dengan tingkat BPH sedang, tetapi bisa juga sebagai
langkah awal untuk terapi sementara pada pasien 4 BPH tingkat berat. Tujuan diberikan
terapi farmakologi yaitu mengurangi pembesaran kelenjar prostat, merelaksasikan otot polos
prostatik, dan merelaksasikan otot pada kandung kemih (DiPiro dkk, 2015). Berdasarkan latar
belakang diatas maka penulis tertarik dalam memberikan asuhan keperawatan medikal bedah
dengan diagnosa BPH.

1.2 Rumusan Masalah


” Bagaimana asuhan keperawatan medikal bedah pada Tn. S dengan diagnosa BPH di
IRNA 6 Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya?”

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari asuhan keperawatan ini adalah untuk mengetahui asuhan
keperawatan medikal bedah pada pasien BPH di IRNA 6 Rumah Sakit Universitas
Airlangga Surabaya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari asuhan keperawatan ini meliputi
1) Mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan medikal bedah pada Tn. S
dengan diagnosa BPH di IRNA 6 Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya.
2) Mampu menyusun asuhan keperawatan medikal bedah pada Tn. S dengan diagnosa
BPH di IRNA 6 Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya.
3) Mampu melaksanakan asuhan keperawatan medikal bedah pada Tn. S dengan
diagnosa BPH di IRNA 6 Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya
4) Mampu mengevaluasi asuhan keperawatan keperawatan medikal bedah pada Tn. S
dengan diagnosa BPH di IRNA 6 Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya
1.4 Manfaat
1.4.1 Teoritis
Asuhan keperawatan ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan tambahan teori
bagi pembaca terkait memberikan asuhan kepeerawatan medilkal bedah pada penyakit pasien
BPH.
1.4.2 Praktis
1.4.2.1 Bagi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Memberikan masukan untuk perkembangan ilmu pengetahuan keperawatan
khususnya keperawatan medical bedah agar lebih berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman di masyarakat.

1.4.2.2 Bagi Tempat Penelitian


Asuhan keperawatan ini diharapkan menjadi bahan evaluasi dan masukan dalam
meningkatkan promosi keshatan pada pasien BPH di RSUA Surabaya.
1.4.2.3 Bagi Akademik
Asuhan keperawatan ini dapat digunakan oleh mahasiswa sebagai literatur di
perpustakaan STIKes Eka Harap Palangka Raya.
1.4.2.4 Bagi Peneliti
Asuhan keperawatan medikal bedah ini dapat bermanfaat bagi penulis untuk
meningkatkan pengetahuan dan mempermudah mendapatkan informasi terbaru
tentang BPH dan Asuhan Keperawatan medika bedah pada pasien dengan diagnosa
BPH.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definis
Benigna prostatic hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian horman prostat (Nurarif dan kusuma,
2015:91).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit perbesaran atau
hipertrofi dari prostate. Kata-kata hipertrofi sering kali menimbulkan kontroversi di
kalangan klinik karena sering rancu dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa
dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah (kualitas).
Namun, hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH sering menyebabkan gangguan dalam
eliminasi urin karena pembesaran prostat yang cenderung kearah depan atau menekan
vesika urinaria. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 130)
Benigna Prostat Hiperplasia adalah pertumbuhan nodul-nodul fibriadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa. (Wijaya A. S., 2013, hal. 97)

2.2 Anatomi Fisiologi


2.3 Etiologi
Penyebab terjadinya beningn prostatic hyperplasia (BPH) tidak di ketahui dengan
pasti, tetapi bukti menunjukkan adanya pengaruh hormonal. Beningn prostatic
hyperplasia (BPH) sering terjadi pada pria berusia dari 40 tahun (Yulianti dan kimin,
2013:74).
Penyebab pastinya belum diketahui secara pasti dari hiperplasia prostat, namun
faktor usia dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH. Beberapa hipotensi
menyebutkan bahwa hiperplasia prostat sangat erat kaitannya dengan :
1) Peningkatan DTH (dehidrotestosteron)
Peningkatan liam alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostat mangalami hiperplasia.
2) Ketidak seimbangan estrogen-testosteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses penuaan,
pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan hormon testosteron.
Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostate.
3) Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan
epitel, sehingga akan terjadi BPH.
4) Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5) Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu
terjadi benigna prostat hyperplasia. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 131)

2.3 Klasifikasi
Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua kategori : obstruktif (terjadi ketika
faktor dinamik dan faktor statik mengurangi pengosongan kandung kemih) dan iritatif (hasil
dari obstruksi yang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih).Kategori keparahan BPH
Menurut R. Sjamsuhidayat dan Wim de Jong di bagi dalam:
1) Derajat I : biasanya belum memerlukan tindakan tindakan bedah, diberi pengobatan
konservatif. Dengan menggunakan obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor
mampu merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka, seperti
alfuzosin dan tamsulosin dan biasanya dikombinasikan dengan finasteride.
2) Derajat II : merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasannya dianjurkan
reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection/tur) .
3) Derajat III : reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila di perkirakan prostate sudah
cukup besar, reseksi tidak cukup satu jam sebaiknya dengan pembedahan
terbuka,melalui trans vesikal retropublik atau perianal.
4) Derajat IV : tindakan harus segera dilakukan membebaskan klient dari retensi urine
total dengan pemasangan kateter (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 91)
2.4 Patofisiologi ( WOC )
2.6 Manifestasi Klinis
Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalamdua kategori: obstruktif (terjadi ketika
faktor dinamik dan atau faktor static mengurangi pengosongan kandung kemih) dan iritatif
(hasil dari obstruksi yang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih). (Nurarif &
Kusuma, 2015, hal. 91).
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan BPH :
1) Retensi urin.
2) Kurang atau lemahnya pancaran urin dikarenakan pembesaran pada kelenjar prostat
sehingga saluran uretra terhimpit,dan membuat pancaran urin menjadi lemah.
3) Miksi yang tidak puas, karena adanya pembesaran pada kelenjar prostat ini membuat
uretra menyempit dan maka dari itu dapat menghambat urine yang akan dimiksikan
sehinnga akan menimbulkan rasa miksi yang tidak puas,karena ada sebagaian urin yang
belum keluar dengan tuntas.
4) Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari, karena hambatan dari korteks
berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
5) Terasa panas, nyeri atau sekitar saat miksi (disuria), karena adanya ketidak stabilan
detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter (Wijaya A. S., 2013, hal. 100).

2.6 Komplikasi

Komplikasi Benigna Prostat Hiperlasia kadang-kadang dapat mengarah pada


komplikasi akibat ketidak mampuan kandung kemih dalam mengosongkan urin. Beberapa
komplikasi yang mungkin muncul antara lain :

1) Retensi kronik dapat menyebabkan reluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis,


gagal ginjal.
2) Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi. Karena
produksi urin terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak lagi mampu menampung
urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi
sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence ). Retensi kronik
menyebabkan refluk vesiko ureter dan dilatasi. Ureter dan ginjal, maka ginjal akan
rusak.
3) Hernia atau hemoroid. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan traktus urinarius bagian
atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi
yang meningkatkan pada tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid.
4) Kerena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu
(Wijaya A. S., 2013, hal. 102)

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1) Laboratorium: meliputi ureum (BUN), kreatinin, elektrolit, tes sensitivitas dan
biakan urin
2) Radiologi: intravena pylografi, BNO, sistrogram, retrograd, USG, CT scaning, foto
polos abdomen.
3) Prostatektomi retro pubis: pembjuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung
kemih tidak terbuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui
insisi pada anterior kapsula prostat
4) Prostatektomi parineal: yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui
perineum

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terpai
yang ditawarkan pada pasien tergantung pada drajat keluhan, keadaan pasien, maupun
kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya.
1) Watchful waiting
Pada watchful waiting ini, pasien tidak dapat apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya misalnya
jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol.
2) Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk mengurangi resistensi otot polos prostat
sebagai komponen dinamika atau mengurangi volume prostat sebagai komponen
statik. Jenis obat yang digunakan adalah finasteride, dutasterida dan fitofarmaka
3) Terapi intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni tehnik ablasi jaringan prostat atau
pembedahan dan tehnik instrumentasi alternatif.
BAB III

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN

III Asuhan Keperawatan


3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses keperawatan
yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu :
3.1.2 Pengumpulan data
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu dalam menentukan
status kesehatan dan pola pertahanan penderita , mengidentifikasikan, kekuatan dan
kebutuhan penderita yang dapat diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik,
pemerikasaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya. Seperti dibawah ini :
1) Anamnesa
(1) Identitas penderita. Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor register, tanggal
masuk rumah sakit dan diagnosa medis.
(2) Keluhan utama. Ada Nyeri saat miksi (Wijaya A. S., 2013, hal. 103) Upaya
yang dilakukan: Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor
untuk merelaksasikan otot polos prostat dan salura kemih agar terbuka
(Prabowo & Pranata, 2014, hal. 136)
(3) Riwayat kesehatan sekarang. Berisi tentang Pengembangan dari keluhan utama
yang dirasakan klien melalui metode PQRST dalam bentuk narasi
(4) Riwayat kesehatan dahulu Klien pernah menderita BPH sebelumnya dan
apakah klien pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya. (Wijaya A. S., 2013,
hal. 103)
(5) Riwayat kesehatan keluarga. Dari genogram keluarga Mungkin diantara
keluarga pasien sebelumnya ada yang menderita penyakit yang sama dengan
penyakit sekarang. (Wijaya A. S., 2013, hal. 103)
(6) Riwayat psikososial. Meliputi informasi mengenai perilaku, perasaan dan
emosi yang dialami penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan
keluarga terhadap penyakit penderita
2) Pemeriksaan fisik
(1) Keadaan umum
(2) Kesadaran
(3) Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : mengalami peningkatan pada tekanan darah
Nadi : adanya peningkatan nadi. Hal ini merupakan bentuk kompensasi dari
nyeri yang tibul akibat opstruksi meatus uretalis dan adanya distensi bladder.
Respirasi : terjadi peningkatan frekuensi nafas akibat nyeri yang dirasakan
pasien.
Suhu : terjadi peningkatan suhu akibat retensi urin berlangsung lama seiring
ditemukan adanya tanda gejala urosepsis. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 137)
(4) Pemeriksaan body sistem
(5) Sistem pernafasan
(6) Inspeksi : biasanya klien terjadi sesak nafas ,frekuensi pernafasan
(7) Palpasi : pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi badder.
(8) Auskultasi : biasanya terdengar suara nafas tambahan seperti
ronchi,wheezing,suara nafas menurun, dan perubahan bunyi nafas. (Prabowo
& Pranata, 2014, p. 137)
(9) Sistem kardiovaskular
(10) Inspeksi : tidak terdapat sianosis , tidak terdapat perubahan letak maupun
pemeriksaan pada inspeksi.

(11) Palpasi : biasannya denyut nadi meningkat akral hangat CRT detik
(12) Perkusi : pada pemeriksaan manusia normal pemeriksaan perkusi yang
didapatkan pada thorax adalah redup. (Prabowo & Pranata, 2014, p. 137)
(13) Sistem persyarafan
(14) Inspeksi : klient menggigil, kesadaran menurun dengan adanya infeksi dapat
terjadi urosepsis berat sampai pada syok septik. (Prabowo & Pranata, 2014,
hal. 137)
(15) Sistem perkemihan
(16) Inspeksi : terdapat massa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung
kemih)
(17) Palpasi : pada palpasi bimanual ditemukan adanya rabaan pada ginjal. Dan
pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi bladder dan terdapat nyeri
tekan.
(18) Perkusi :dilakukan untuk mengetahui adatidaknya residual urin terdapat suara
redup dikandung kemih karena terdapat residual (urin). (Prabowo & Pranata,
2014, hal. 137)
(19) Sistem pencernaan
(20) Mulut dan tenggorokan : hilang nafsu makan mual dan muntah.
(21) Abdomen : datar (simetris)
(22) Inspeksi : bentuk abdomen datar , tidak terdapat masa dan benjolan.
(23) Auskultasi : biasanya bising usus normal.
(24) Palpasi ; tidak terdapat nyeri tekan dan tidak terdapat pembesaran permukaan
halus.
(25) Perkusi ; tympani (Wijaya, 2013, p. 100).
(26) Sistem integumen
(27) Palpasi : kulit terasa panas karena peningkatan suhu tubuh karena adanya
tanda gejala urosepsis klien menggigil , kesadaran menurun. (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 137)
(28) Sistem endokrin
Inspeksi : adanya perubahan keseimbangan hormon testosteron dan esterogen
pada usia lanjut. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 91)

(29) Sistem reproduksi


Pada pemeriksaan penis, uretra, dan skrotum tidak ditemukan adanya kelainan,
kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus. Pemeriksaan RC
(rectal toucher) adalah pemeriksaan sederhana yangpaling mudah untuk
menegakan BPH. Tujuannya adalah untuk menentukan konsistensi sistem
persarafan unut vesiko uretra dan besarnya prostate. (Prabowo & Pranata,
2014, hal. 137)
(30) Sistem muskuloskletal
(31) Sistem pengindraan
(32) Sistem imun
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan lainya yang bisa membantu penegakan diagnosis BPH adalah USG ginjal(
melihat komplikasi) dan vesika urinaria(tampak pembesaran jaringan prostat). Pemeriksaan
uroflowmetri sangat penting dengan melihat pancaran urin.berikut penilaian dari pemeriksaan
uroflowmwtri

6. Penatalaksanaan
Penyakit BPH merupakan penyakit bedah, sehingga terapi bersifat simptomatis untuk
mengurangi tanda gejala yang diakibatkan oleh obstruksi pada saluran kemih. Terapi
simptomatis ditujukan untuk merelaksasi otot polos atau dengan menurunkan kadar hormonal
yang mempengaruhi pembesaran prostat. Sehingga obstruksi akan berkurang. Jika keluhan
masih bersifat ringan maka observasi diperlukan dengan pengobatan simptomatis untuk
mengevaluasi perkembangan klient. Jika telah terjadi obstruksi/atau retensi urin, inveksi,
vesikolithiasis,insufisiensi ginjal, maka harus dilakukan pembedahan.

7. Pemeriksaan klinis
Untuk mengetahuin apakah pembesaran prostat ini bersifat benigna atau malnigna dan untuk
memastikan tidak ada penyakit penyerta lainnya. Berikut pemeriksaannya:

 Urinalisis dan kultur urine


Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (red blood cell) dalam
urin yang memanifestasikan adanya perdarahan/hematuria.
 DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Digunakan untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam sbdomen. Sampel yang
diambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.
 Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin
Untuk menentukan status fungsi ginjal . hal ini digunakan sebagai data pendukung untuk
mengetahui penyakit komplikasi dari BPH, karena obstruksi yang berlangsung kronis
seringkali menimbulkan hidronefrosis yang lambat laun akan memperberat fungsi ginjal
dan pada ahirnya menjadi gagal ginjal.
 PA (Patologi Anatomi )

Dilakukan dengan sempel jaringan pasca operasi. Sempel jaringan akan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau malnigna,
sehingga akam menjadi landasan untuk treatmen selanjutnya.

 Catatan harian berkemi


Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urin. Sehingga akan terlihat bagaimana siklus
rutinitas miksi dari pasien. Data ini digunakan sebagai bekal untuk membandingkan
dengan pola eliminasi urin yang normal.
 Uroflowmetri
Demgan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur pancaran urin. Pada obstruksi
dini seringkali pancaran melemah bahkan meningkat. Hal ini disebabkan obstruksi dari
kelenjar prostat pada traktus urinarius. Selain itu volume residu urin juga harus diukur.
Normalresidual urin < 100ml. Namun residual tinggi membuktikan bahwa vesika
urinaria tidak mampu mengeluarkan urine secara baik karena adanya obstruksi.
 USG Ginjal dan Vesika Urinaria
USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari BPH, misalnya
hidronephrosis. Sedangkan USG pada vesika urinaria akan memperlihatkan gambar
pembesaran kelenjar prostat. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 135)
3.2 Diagnosa
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologi (mis. Inflamsi, iskemia)
2. Ansietas berhubungan dengan kebutuhan tidak terpenuhi
3. Resiko perdarahan
4. Retensi urine
5. Resiko infeksi
3.3 Intervensi
1) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi
Tujuan : ekspekasi nyeri menurun
Kriteria Hasil :
1) Keluhan nyeri menurun (5)
2) Meringis menurun (5)
3) Tekanan darah membaik (5)
4) Pola nafas membaik (5)
Intervensi
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respon skala nyeri
4) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5) Monitor efek samping pengguna analgetik
6) Berikan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri
7) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
8) Fasilitasi istirahat dan tidur
9) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
10) Jelaskan prosedur meredakan nyeri
11) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
12) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2) Ansietas berhubungan dengan kebutuhan tidak terpenuhi
Tujuan : ekspekasi ansietas menurun
Kriteria Hasil :
1) Keluhan pusing menurun (5)
2) Anoreksia menurun (5)
3) Tremor menurun (5)
4) Pola tidur (5)
5) Pola berkemih membaik (5)
6) TTD membaik (5)
Intervensi
1) Identifikasi penurunan tingkat energi
2) Identifikasi teknik relaksasi yang pernah efektif digunakan
3) Identifikasi kesedian, kemampuan, dan penggunaan teknik sebelumnya
4) Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan pengcahayaan dan
suhu ruang nyaman
5) Gunakan pakaian longgar
6) Gunakan nada suara lembut
7) Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan jenis relaksasi yang tersedia
8) Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang di pilih
9) Anjurkan rilek
10) Anjurkan sering mengulangi atau melatih tehnik yang di pilih
3) Resiko perdarahan
Tujuan : ekspekasi tingkat perdarahan menurun
Kriteria Hasil :
1) Membran mukosa lembab mebingkat (5)
2) Kognitif meningkat (5)
3) Hematemesis menurun(5)
4) Hematur menurun (5)
5) hemoglobin membaik (5)
6) TTD membaik (5)
Intervensi
1. Monitor tanda dan gejala perdarahan
2. Monitor nilai hematokrit dan hemoglobin
3. Monitor koagulasi
4. Pertahankan bed rest selama perdarahan
5. Batasi tindakan invasif
6. Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
7. Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari konstipasi
8. Kulaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan
9. Kolaborasi pemberian produk darah
4) Retensi urine
Tujuan : ekspekasi eliminasi urine membaik
Kriteria Hasil :
1) Sensasi berkemih meningkat (5)
2) Distensi kandungb kemih menurun (5)
3) Berkemih tidak tuntas menurun (5)
4) Frekuensi BAKmembaik (5)
5) Karakteristik urine membaik (5)
Intervensi
1. Periksa kondisi pasien
2. Siapkan peralatan, bahan-bahan dan ruang tindakan
3. Siapkan pasien
4. Pasang sarung tangan
5. Bersihkan daerah perineal dengan cairan NaCl atau aquades
6. Lakukan insersi kateter urine dengan menerapkan prinsip aseptik
7. Sambungkan kateter urine dengan urine bag
8. Isi balon dengan NaCl 0,9 % sesuai anjuran pabrik
9. Fiksasi selang kateter
10. Berikan label waktu pemasangan
11. Jelaskan tujuan dan propsedur pemasangan kateter urine
12. Anjurkan menarik napas saat insersi selang kateter
5) Resiko infeksi
Tujuan : ekspekasi tingkat infeksi menurun
Kriteria Hasil :
1) Demam menurun (5)
2) Kemerahan menurun (5)
3) Nyeri menurun (5)
4) bengkak menurun (5)
Intervensi
1. batasi jumlah pengunjung
2. monitor tanda dan gejala infeksi
3. berikan perawatan kulit pada area edema
4. cuci tanngan sebelum dan sesudah kontak dengan pasdien dan lingkungan
pasien
5. pertahankan tindakan aseptik pada pasien beresiko tinggi
6. jelaskan tanda dan gejala infeksi
7. ajarkan cara cuci tangan dengan benar
8. ajarkan etika batuk
9. kolaborasi pemberian imunisasi
Daftar Pustaka

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction.
Parsons, Jk., & Patel, N. (2014). Epidemiology and etiology of benign prostatic hyperplasia
and bladder outlet obstruction. Indian Journal of Urology, 30(2), 170.
PPNI. 2017 Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, Defenisi dan Indikator Diagnostik.
Jakarta: PPNI
PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Defenisi, dan Tindakan
Keperawatan. Jakarta:PPNI
PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Defenisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta:PPNI
Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Rasyidin, Z., Mahyudin, Yusran (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
hipertrophi prostate di ruang inap rumah sakit ibnu sina makassar, Makassar
Setyawan, B., Saleh, I., & Arfan, I. (2016). Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Benign
Prostate Hyperplasia. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Suryawan, B. (2016). Hubungan Usia Dan Kebiasaan Merokok Terhadap Terjadinya Bph Di
Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2015. Skripsi. Jurnal Medika
Malahayati
Wein, A. J., Kavoussi, L. R., Partin, A. W., & Peters, C. A. (Ed.). (2016). CampbellWalsh
urology (Eleventh edition). Philadelphia, PA: Elsevier.
Wijaya, A. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Nuha Medika.
Wilkinson, J. M. (2016). DiagnosaKeperawatan :DIAGNOSIS NANDA-1,INTERVENSI
NIC,HASIL NOC,Ed.10. jakarta: EGC MEDUCAL PUBLISHER

Anda mungkin juga menyukai