S
DENGAN DIAGNOSA BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
DI RUMAH SAKIT UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK III
PENDAHULUAN
Penyebab dari BPH sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun hal ini telah
dikaitkan dengan perubahan hormon pada pria, hormone yang berperan adalah testosteron,
dimana hormon ini berperan penting dalam pertumbuhan prostat. Testosteron dalam kelenjer
prostat akan diubah menjadi dihydrotestosterone (DHT) yang selanjutnya merangsang
pertumbuhan dari kelenjer prostat tersebut. Pembentukan nodule prostat telah mulai tampak
pada umur 25 tahun sekitar 25%, pada usia 60 tahun nodul pembesaran prostat tersebut
terlihat pada sekitar 60% , tetapi gejala baru dikeluhkan pada sekitar 30-40%, sedangkan
pada usia 80 tahun nodul terlihat pada 90% di antaranya sudah mulai memberikan gejala-
gejalanya (Amalia, 2007), didukung dari data WHO (2013) yang memperkirakan dari jutaan
penyakit akibat degenerative salah satunya yaitu BPH, dengan insidensi di negara maju
sekitar 19% dan di negara berkembang 5,35%.
Faktor yang menjadi risiko terjadinya pembesaran prostat menurut Patel (2014), dan
Wein (2016) yaitu usia, riwayat keluarga, obesitas, diabetes melitus, pola konsumsi sayur dan
buah, merokok, alkohol, perilaku seksual dan olahraga. Volume prostat juga meningkat
seiring bertambahnya usia, dengan data dari Krimpen dan Baltimore Longitudinal Study of
Aging (BLSA) kohort menunjukkan tingkat pertumbuhan prostat dari 2,0% menjadi 2,5% per
tahun pada pria yang lebih tua, pada penelitian sebelumnya Rasydin, (2013) sebanyak 88,9%
lansia menderita hyperplasia prostat dan 58, 1% pada penelitian Setyawan, (2015) sedangkan
pada penelitian Suryawan (2015) sebanyak 59.8% penderita BPH berada pada usia diatas 65
tahun. Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko terjadinya kondisi
yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak anggota keluarga yang
menderita BPH semakin besar risiko anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH.
Bila satu anggota keluarga mengidap penyakit BPH, maka risiko meningkat 2 kali bagi yang
lain.
Tujuan dilakukannya pengobatan pada BPH yaitu untuk mengontrol gejala, mencegah
terjadinya komplikasi penyakit, dan untuk menunda tindakan pembedahan. Pilihan terapi
yang diberikan tergantung pada tingkat keparahan dari tanda-tanda dan gejalanya, meliputi
terapi pemantauan perjalanan penyakit pasien (watchful waiting), terapi farmakologi, dan
tindakan pembedahan (operasi). Pemantauan penyakit pada pasien (watchful waiting)
diberikan pada pasien dengan tingkat BPH yang ringan dimana pasien dipantau dalam
interval waktu 6 sampai 12 bulan serta pasien diberikan arahan untuk berperilaku hidup sehat
atau untuk menghindari hal-hal yang dapat memperparah tingkat penyakitnya, contoh
menghindari mengkonsumsi kafein dan alkohol, sering melakukan pengosongan kandung
kemih, serta menghindari obat-obatan yang bisa memperparah penyakitnya. Terapi
farmakologi diberikan pada pasien dengan tingkat BPH sedang, tetapi bisa juga sebagai
langkah awal untuk terapi sementara pada pasien 4 BPH tingkat berat. Tujuan diberikan
terapi farmakologi yaitu mengurangi pembesaran kelenjar prostat, merelaksasikan otot polos
prostatik, dan merelaksasikan otot pada kandung kemih (DiPiro dkk, 2015). Berdasarkan latar
belakang diatas maka penulis tertarik dalam memberikan asuhan keperawatan medikal bedah
dengan diagnosa BPH.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari asuhan keperawatan ini adalah untuk mengetahui asuhan
keperawatan medikal bedah pada pasien BPH di IRNA 6 Rumah Sakit Universitas
Airlangga Surabaya.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari asuhan keperawatan ini meliputi
1) Mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan medikal bedah pada Tn. S
dengan diagnosa BPH di IRNA 6 Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya.
2) Mampu menyusun asuhan keperawatan medikal bedah pada Tn. S dengan diagnosa
BPH di IRNA 6 Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya.
3) Mampu melaksanakan asuhan keperawatan medikal bedah pada Tn. S dengan
diagnosa BPH di IRNA 6 Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya
4) Mampu mengevaluasi asuhan keperawatan keperawatan medikal bedah pada Tn. S
dengan diagnosa BPH di IRNA 6 Rumah Sakit Universitas Airlangga Surabaya
1.4 Manfaat
1.4.1 Teoritis
Asuhan keperawatan ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan tambahan teori
bagi pembaca terkait memberikan asuhan kepeerawatan medilkal bedah pada penyakit pasien
BPH.
1.4.2 Praktis
1.4.2.1 Bagi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Memberikan masukan untuk perkembangan ilmu pengetahuan keperawatan
khususnya keperawatan medical bedah agar lebih berkembang sesuai dengan perkembangan
zaman di masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definis
Benigna prostatic hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian horman prostat (Nurarif dan kusuma,
2015:91).
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu penyakit perbesaran atau
hipertrofi dari prostate. Kata-kata hipertrofi sering kali menimbulkan kontroversi di
kalangan klinik karena sering rancu dengan hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa
dari segi kualitas terjadi pembesaran sel, namun tidak diikuti oleh jumlah (kualitas).
Namun, hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel (kualitas) dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH sering menyebabkan gangguan dalam
eliminasi urin karena pembesaran prostat yang cenderung kearah depan atau menekan
vesika urinaria. (Prabowo & Pranata, 2014, hal. 130)
Benigna Prostat Hiperplasia adalah pertumbuhan nodul-nodul fibriadenomatosa
majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa. (Wijaya A. S., 2013, hal. 97)
2.3 Klasifikasi
Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua kategori : obstruktif (terjadi ketika
faktor dinamik dan faktor statik mengurangi pengosongan kandung kemih) dan iritatif (hasil
dari obstruksi yang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih).Kategori keparahan BPH
Menurut R. Sjamsuhidayat dan Wim de Jong di bagi dalam:
1) Derajat I : biasanya belum memerlukan tindakan tindakan bedah, diberi pengobatan
konservatif. Dengan menggunakan obat golongan reseptor alfa-adrenergik inhibitor
mampu merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka, seperti
alfuzosin dan tamsulosin dan biasanya dikombinasikan dengan finasteride.
2) Derajat II : merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasannya dianjurkan
reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection/tur) .
3) Derajat III : reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila di perkirakan prostate sudah
cukup besar, reseksi tidak cukup satu jam sebaiknya dengan pembedahan
terbuka,melalui trans vesikal retropublik atau perianal.
4) Derajat IV : tindakan harus segera dilakukan membebaskan klient dari retensi urine
total dengan pemasangan kateter (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 91)
2.4 Patofisiologi ( WOC )
2.6 Manifestasi Klinis
Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalamdua kategori: obstruktif (terjadi ketika
faktor dinamik dan atau faktor static mengurangi pengosongan kandung kemih) dan iritatif
(hasil dari obstruksi yang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih). (Nurarif &
Kusuma, 2015, hal. 91).
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan BPH :
1) Retensi urin.
2) Kurang atau lemahnya pancaran urin dikarenakan pembesaran pada kelenjar prostat
sehingga saluran uretra terhimpit,dan membuat pancaran urin menjadi lemah.
3) Miksi yang tidak puas, karena adanya pembesaran pada kelenjar prostat ini membuat
uretra menyempit dan maka dari itu dapat menghambat urine yang akan dimiksikan
sehinnga akan menimbulkan rasa miksi yang tidak puas,karena ada sebagaian urin yang
belum keluar dengan tuntas.
4) Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari, karena hambatan dari korteks
berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
5) Terasa panas, nyeri atau sekitar saat miksi (disuria), karena adanya ketidak stabilan
detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter (Wijaya A. S., 2013, hal. 100).
2.6 Komplikasi
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup pasien. Terpai
yang ditawarkan pada pasien tergantung pada drajat keluhan, keadaan pasien, maupun
kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya.
1) Watchful waiting
Pada watchful waiting ini, pasien tidak dapat apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya misalnya
jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol.
2) Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk mengurangi resistensi otot polos prostat
sebagai komponen dinamika atau mengurangi volume prostat sebagai komponen
statik. Jenis obat yang digunakan adalah finasteride, dutasterida dan fitofarmaka
3) Terapi intervensi
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni tehnik ablasi jaringan prostat atau
pembedahan dan tehnik instrumentasi alternatif.
BAB III
(11) Palpasi : biasannya denyut nadi meningkat akral hangat CRT detik
(12) Perkusi : pada pemeriksaan manusia normal pemeriksaan perkusi yang
didapatkan pada thorax adalah redup. (Prabowo & Pranata, 2014, p. 137)
(13) Sistem persyarafan
(14) Inspeksi : klient menggigil, kesadaran menurun dengan adanya infeksi dapat
terjadi urosepsis berat sampai pada syok septik. (Prabowo & Pranata, 2014,
hal. 137)
(15) Sistem perkemihan
(16) Inspeksi : terdapat massa padat dibawah abdomen bawah (distensi kandung
kemih)
(17) Palpasi : pada palpasi bimanual ditemukan adanya rabaan pada ginjal. Dan
pada palpasi supra simfisis akan teraba distensi bladder dan terdapat nyeri
tekan.
(18) Perkusi :dilakukan untuk mengetahui adatidaknya residual urin terdapat suara
redup dikandung kemih karena terdapat residual (urin). (Prabowo & Pranata,
2014, hal. 137)
(19) Sistem pencernaan
(20) Mulut dan tenggorokan : hilang nafsu makan mual dan muntah.
(21) Abdomen : datar (simetris)
(22) Inspeksi : bentuk abdomen datar , tidak terdapat masa dan benjolan.
(23) Auskultasi : biasanya bising usus normal.
(24) Palpasi ; tidak terdapat nyeri tekan dan tidak terdapat pembesaran permukaan
halus.
(25) Perkusi ; tympani (Wijaya, 2013, p. 100).
(26) Sistem integumen
(27) Palpasi : kulit terasa panas karena peningkatan suhu tubuh karena adanya
tanda gejala urosepsis klien menggigil , kesadaran menurun. (Prabowo &
Pranata, 2014, hal. 137)
(28) Sistem endokrin
Inspeksi : adanya perubahan keseimbangan hormon testosteron dan esterogen
pada usia lanjut. (Nurarif & Kusuma, 2015, hal. 91)
6. Penatalaksanaan
Penyakit BPH merupakan penyakit bedah, sehingga terapi bersifat simptomatis untuk
mengurangi tanda gejala yang diakibatkan oleh obstruksi pada saluran kemih. Terapi
simptomatis ditujukan untuk merelaksasi otot polos atau dengan menurunkan kadar hormonal
yang mempengaruhi pembesaran prostat. Sehingga obstruksi akan berkurang. Jika keluhan
masih bersifat ringan maka observasi diperlukan dengan pengobatan simptomatis untuk
mengevaluasi perkembangan klient. Jika telah terjadi obstruksi/atau retensi urin, inveksi,
vesikolithiasis,insufisiensi ginjal, maka harus dilakukan pembedahan.
7. Pemeriksaan klinis
Untuk mengetahuin apakah pembesaran prostat ini bersifat benigna atau malnigna dan untuk
memastikan tidak ada penyakit penyerta lainnya. Berikut pemeriksaannya:
Dilakukan dengan sempel jaringan pasca operasi. Sempel jaringan akan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau malnigna,
sehingga akam menjadi landasan untuk treatmen selanjutnya.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis
Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: Mediaction.
Parsons, Jk., & Patel, N. (2014). Epidemiology and etiology of benign prostatic hyperplasia
and bladder outlet obstruction. Indian Journal of Urology, 30(2), 170.
PPNI. 2017 Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia, Defenisi dan Indikator Diagnostik.
Jakarta: PPNI
PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Defenisi, dan Tindakan
Keperawatan. Jakarta:PPNI
PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Defenisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta:PPNI
Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta:
Nuha Medika.
Rasyidin, Z., Mahyudin, Yusran (2013). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
hipertrophi prostate di ruang inap rumah sakit ibnu sina makassar, Makassar
Setyawan, B., Saleh, I., & Arfan, I. (2016). Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Benign
Prostate Hyperplasia. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Suryawan, B. (2016). Hubungan Usia Dan Kebiasaan Merokok Terhadap Terjadinya Bph Di
Rsud Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2015. Skripsi. Jurnal Medika
Malahayati
Wein, A. J., Kavoussi, L. R., Partin, A. W., & Peters, C. A. (Ed.). (2016). CampbellWalsh
urology (Eleventh edition). Philadelphia, PA: Elsevier.
Wijaya, A. S. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Nuha Medika.
Wilkinson, J. M. (2016). DiagnosaKeperawatan :DIAGNOSIS NANDA-1,INTERVENSI
NIC,HASIL NOC,Ed.10. jakarta: EGC MEDUCAL PUBLISHER