Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Batuk merupakan suatu mekanisme dari saluran napas untuk


membersihkan saluran napas, akan tetapi batuk dapat menjadi patologis apabila
frekuensi dan amplitudonya terlalu dalam. Batuk juga merupakan gejala tersering
penyakit pernapasan. 1

Batuk dimulai dengan inspirasi dalam diikuti dengan menutupnya glotis,


relaksasi diafragma, dan kontraksi otot melawan penutupan glotis yang
menyebabkan tekanan intrathoraks meningkat. Ketika glotis terbuka, perbedaan
tekanan yang besar antara saluran napas dan udara luar menghasilkan aliran udara
yang cepat melewati trakea. Batuk membantu membuang mukus dan bahan-bahan
asing. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan
mekanik, kimia dan peradangan. Batuk dapat bersifat produktif, pendek dan tidak
produktif, keras dan parau, sering, jarang, atau paroksismal.2,3

Saluran napas dan paru-paru, terutama diperdarahi oleh sistem arteri-vena


pulmonalis dan sistem arteri bronkialis yang berasal dari aorta. Dari kedua sistem
ini perdarahan pada sistem arteri bronkialis adalah yang lebih sering terjadi.4

Batuk darah adalah ekspektoransi darah akibat perdarahan pada saluran


napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas di
bawah laring. Penyabab batuk darah sangat beragam antara lain penyakit infeksi,
neoplasma, benda asing, trauma, gangguan vaskuler, penyakit autoimun dan lain-
lain. Darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah
minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan.
Beberapa kepustakaan menyebutkan penyebab batuk darah di negara berkembang
masih didominasi oleh penyakit infeksi. Batuk darah yang disebabkan oleh
penyakit infeksi antara lain tuberkulosis (TB), pneumoni, bronkitis akut dan
kronik, bronkiektasis serta mikosis paru.5
Batuk darah masif dapat diklasifikasikan menurut bleeding rate yaitu
berdasarkan volume darah yang dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah

1
masif memerlukan penanganan segera karena dapat mengganggu pertukaran gas
di paru dan dapat mengganggu kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila
tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa. 6
Batuk darah sering kali membuat pasien dan keluarga panik dan mencari
pertolongan medis. Penderita yang mengalami batuk darah memerlukan
pertolongan segera dan pengawasan medik karena sewaktu-waktu dapat terjadi
perdarahan masif yang berakibat fatal. Penanganan batuk darah pada prinsipnya
menjaga jalan napas agar tidak terjadi asfiksia, menghentikan perdarahan dan
penatalaksanaan selanjutnya tergantung pada etiologi dan lokasi sumber
perdarahan.5
Komplikasi yang sering terjadi adalah asfiksia, kehilangan darah yang
banyak dalam waktu singkat dan penyebaran penyakit ke jaringan paru yang
sehat. Batuk darah sendiri terkadang sulit didiagnosis, salah satu faktor
penyebabnya adalah akibat ketakutan pasien mengenai gejala ini hingga terkadang
pasien akan menahan batuknya,hal ini akan memperburuk keadaan karena akan
timbul penyulit. Oleh sebab itu pengertian yang seksama mengenai hemoptisis
diharapkan mampu memberikan penatalaksanaan yang optimal pada penderita.2,7

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Vaskularisasi paru


Sirkulasi jantung terbagi atas 2, yaitu sirkulasi paru dan sistemik. Sirkulasi
paru dimulai dari ventrikel kanan kemudian ke arteri pulmonaris. Arteri
pulmonaris meneruskan sirkulasi ke arteriol dan menuju ke kapiler. Darah dari
kapiler dibawa ke venul, setelah itu menuju vena pulmonalis. Darah yang dibawah
dari vena pulmonalis akan menuju atrium kiri. Sedangkan sirkulasi sistemik
dimulai dari ventrikel kiri menuju aorta, kemudian diteruskan ke arteri besar.
Darah dari arteri besar dilanjutkan ke arteriol, setelah itu masuk ke kapiler dan
menuju venule. Setelah itu, darah dari venule dibawa ke vena besar. Sirkulasi
darah dari vena besar dilanjutkan menuju vena cava superior dan inferior. Darah
yang dibawa oleh sirkulasi sitemik tadi kemudian masuk ke jantung, yaitu atrium
kanan.4

3
Sirkulasi darah paru berasal dari 2 sistem sirkulasi yaitu sirkulasi pulmonal
dan bronkial. Sirkulasi pulmoner memiliki fungsi khusus yaitu mengatur
pertukaran gas. Arteri pulmonalis membawa darah ke ventrikel kanan melalui
pembuluh darah kapiler paru dan kembali ke atrium kiri melaui vena pulmonalis.
Sirkulasi pulmoner merupakan suatu sistem sirkulasi dengan tekanan rendah yaitu
berkisar 15-20 mmHg pada data sistolik dan 5-10 mmHg pada saat diastolik.
Arteri pulmoner berjalan sepanjang bronkus dan hanya memperdarahi bronkiolus
terminalis serta selanjutnya bercabang-cabang ke alveolus membentuk pembuluh
darah kapiler paru yang berfungsi dalam pertukaran gas.5
Sirkulasi bronkial berfungsi sebagai pemberi nutrisi pada paru dan saluran
napas. Pembuluh darah pada sirkulasi bronkial memiliki tekanan sesuai tekanan
pembuluh darah sistemik. Variasi sirkulasi bronkial antar individu sangat beragam
sirkulasi bronkial memegang peranan penting dalam patofisiologi batu darah,
karena sirkulasi tersebut memperdarahi sebagian besar jalan napas dan berada
dalam pengaruh tekanan sistemik sehigga perdarahan yang berasal dari sirkulasi
bronkial cenderung dapat terjadi perdarahan hebat.5
Sumber perdarahan pada batuk darah dapat berasal dari kedua sistem
sirkulasi tersebut yaitu sirkulasi bronkial dan pulmoner. Kematian akibat batuk
darah masif umumnya akibat asfiksia, kehilangan darah sehingga syok. Umumnya
pada batuk darah masif, sumber batuk darah berasal dari sirkulasi bronkial (90%)
dari pada sirkulasi pulmoner (5%). Penderita kelainan pleura dan parenkim paru
umunya memiliki pembuluh darah kolateral sistemik non bronkial, sehingga perlu
diperhitungkan keterlibatan pembuluh darah kolateral bila akan dilakukan
embolisasi arteri.5

4
B. Definisi
Sinonim batuk darah adalah hemoptoe atau hemoptysis. Hemoptysis
berasal dari bahasa Yunani yaitu haima yang berarti darah dan ptysis yang berarti
diludahkan. Menurut kamus kedokteran Dorland, hemoptysis atau batuk darah
adalah ekspektorasi darah atau mukus yang berdarah.8
Batuk darah adalah ekspektoransi darah akibat perdarahan pada saluran
napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas di
bawah laring. Hemoptisis merupakan salah satu bentuk kegawatan paru yang
paling sering terjadi diantara bentuk-bentuk klinis lainnya.
C. Epidemiologi
Epidemiologi penyebab batuk darah berbeda-beda pada beberapa literatur.
Pada tahun 1930-1960 penyebab batuk tersering di Amerika serikat adalah
bronkiektasis dan tuberkulosis paru. Smiddy dan Elliot melakukan pengamatan
dengan pemeriksaan BSOL (Bronkoskop Serat Optik Lentur) pada tahun 1971-
1972 menemukan penyebab tersering batuk darah adalah bronkitis kronik atau
bronkiektasis diiukuti dengan karsinoma bronkus. Santiago dkk melakukan
observasi dengan BSOL pada tahun 1974-1981 menemukan bahwa karsinoma
bronkus (29%), bronkitis (23%) merupakan penyebab tersering untuk batuk darah.
Cinclan dkk menemukan pada pengamatannya, penyebab tersering batuk darah
dengan laju perdarahan >600 ml dalam 24-48 adalah TB paru, bronkiektasis dan
pneumoni nekrotik kronik. Dari berbagai laporan tersebut, telihat di Amerika TB

5
paru dan bronkiektasis sebagai penyebab batuk darah mengalami penurunan,
sedangkan bronkitis dan karsinoma bronkus mengalami peningkatan.5
Angka kejadian hemoptisis di klinik paru berkisar antara 10 sampai 15
persen dan untuk negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang tinggi
merupakan penyebab terjadinya hemoptisis masif sebesar 20 persen. Sedangkan
yang disebabkan oleh bronkiektasis sebesar 45 persen dan pada tumor sebesar 10
persen.7
Hemoptisis masif yang tidak diterapi mempunyai angka mortaliti lebih
dari 50% dan perlu dicari sumber perdarahannya sehingga terapi definitif dapat
dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Hemoptisis masif sering terjadi pada
bronkiektasis, bekas tuberkulosis, karsinoma bronkogenik, tuberkulosis aktif,
kistik fibrosis,Artery-venous malformation (AVM), bronkiektasis dan ditemukan
pada kasus yang jarang seperti lesi infiltratif peribronkial. Sebagian besar kasus
hemoptisis dapat diterapi secara konservatif namun pada kasus hemoptisis berat
diperlukan tindakan pembedahan.10
Di RS persahabatan , Retno dkk pada penelitiannya terhadap 323 penderita
batuk darah mendapatkan penyebab tersering adalah TB paru (64,43%) dan
bronkiektasis (16,71%) sedangkan kanker paru sejumlah 3,4%. Hardianti dkk
mendapatkan penyebab tersering adalah TB paru (50%), karsinoma bronkus
(32%), bronkitis (8%) dan bronkiektasis (5%). 5

D. Etiologi
Etiologi lain hemoptisis adalah sebagai berikut :
1. Batuk darah idiopatik : 4,9
Batuk darah idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui
penyebabnya, dengan insiden 0,5 sampai 58% . Dimana perbandingan antara pria
dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada umur 30-50 tahun kebanyakan 40-60
tahun dan berhenti spontan dengan suportif terapi.
2. Batuk darah sekunder : 1,5,9
a. Peradangan atau infeksi:Tuberkulosis, abses paru, pneumoni, bronkitis,
jamur, parasit dan virus.

6
b. Kelainan paru seperti bronkitis, bronkiektasis, emboli paru, kistik fibrosis,
emfisema bullosa, infark paru.
c. Neoplasma: karsinoma paru, adenoma bronkial, tumor metastasis,
polyposis bronkus.
d. Kelainan hematologi : disfungsi trombosit, trombositopenia, Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC).
e. Kelainan jantung: stenosis mitral, endokarditis tricuspid, aneurisma aorta.
f. Kelainan pembuluh darah: hipertensi pulmoner, malformasi arterivena,
aneurisma aorta.
g. Trauma: jejas thoraks, ruptur bronkus, emboli lemak.
h. Iatrogenik: bronkoskopi, biopsi paru, kateterisasi Swan-Ganz,
limfangiografi.
i. Kelainan sistemik: Goodpasture syndrome, Idiopathic pulmonary
hemosiderosis, Systemic Lupus Erthematosus (SLE), vaskulitis
(granulomatosis wagener, purpura henoch Schoenlein, Chrug-Strauss
syndrome)
j. Obat/toksin: Aspirin, antikoagulan, penisilamin, kokain.

E. Patogenesis
Patogenesis terjadinya batuk darah yang disebabkan oleh berbagai
penyakit yang mendasarinya pada prinsipnya hampir sama, yaitu bila terjadi
penyakit/kelainan pada parenkim paru, sistem sirkulasi bronkial atau pulmoner,
maupun pleura sehingga terjadi perdarahan pada kedua sistem sirkulasi tersebut.
Patofisiologi batuk darah akibat beberapa penyakit dasar akan dibahas berikut ini5
1. Batuk darah idiopatik
Hemoptisis kriptogenik atau idiopatik adalah hemoptisis yang tidak
diketahui sumber perdarahan atau penyebaran walaupun telah mengalami
berbagai pemeriksaan. Adelman dkk menemukan bahwa 71,9% penderita
hemoptisis kriptogenik adalah perokok.5
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk

7
memberikan nutrisi pada jaringan paru, juga bila terjadi kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.5
2. Batuk darah sekunder:
a. Infeksi atau peradangan
1) Tuberkulosis
Ekspektoransi darah dapat terjadi akibat infeksi tuberkulosis yang
masih aktif ataupun kelainan yang ditimbulkan akibat penyakit TB yang telah
sembuh. Susunan parenkim paru dan pembuluh darahnya dirusak oleh
penyakit ini sehingga terjadi bronkiektasis dengan hipervaskularisasi,
pelebaran pembuluh darah bronkial, anastomosis pembuluh darah bronkial dan
pulmoner.5
Penyakit TB juga dapat mengakibatkan timbulnya kavitas dan terjadi
pneumonitis TB akut dapat menyebabkan ulserasi bronkus disertai nekrosis
pembuluh darah disekitarnya dan alveoli bagian distal. Pecahnya pembuluh
darah tersebut mengakibatkan ekspektoransi darah dalam dahak, ataupun
batuk darah masif.5
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari Rasmussen ini telah
lama dianut, tetapi beberapa laporan otopsi lebih membuktikan terdapat
hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis
lebih banyak merupakan asal dari perdarahan. Setelah berkembangnya
arteriografi dapat dibuktikan bahwa pada setiap proses paru terjadi
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan
memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terdapat kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Oleh karena
itu terdapatnya Rasmussen aneurisma pada kaverna tuberkulosis yang
merupakan asal perdarahan diragukan.
Ruptur aneurisma Rassussen telah diketahui sebagai penyebab batuk
darah masif pada penderita TB ataupun pada bekas penderita TB. Kematian
akibat batuk darah masif pada pendetita TB berkisar 5-7%. Pada pemeriksaan
postmortem, ternyata pada penderita tersebut ditemukan ruptur aneurisma
arteri pulmoner. Umumnya pada penderita yang meninggal tersebut, terjadi

8
ruptur pada bagian arteri pulmoner yang mengalami pelebaran akibat
inflamasi kavitas TB. Hal tersebut dapat terjadi karena keterlibatan infeksi TB
pada tunika adventisia atau media pembuluh darah namun juga akibat proses
destruksi dari inflamasi local. Kekurangan protrombin yang disebabkan oleh
toksemia dari basil tuberkulosa yang menginfeksi parenkim paru.5
Hemoptisis masif juga dapat terjadi pada bekas penderita TB. Hal
tersebut dapat terjadi akibat erosi lesi kalsifikasi pada arteri bronkial sehingga
terjadi hemoptisis masif. Selain itu ekspektoransi bronkolit juga dapat
menyebabkan batuk darah. 5
2) Abses Paru
Hemoptisis dapat terjadi pada 11-15% penderita abses paru primer.
Perdarahan masif dapat terjadi pada 20-50% penderita abses paru yang
mengalami hemoptisis. Mekanisme perdarahan adalah akibat proses nekrosis
pada parenkim paru dan pembuluh darahnya.5 Pada abses kronik dengan
kavitas berdinding tebal yang sukar menutup, maka pembuluh darah pada
dinding tersebut mudah pecah akibat trauma pada saat batuk. Batuk darah
bercampur purulent.8
3) Pneumoni
Hemoptisis dapat terjadi pada infeksi berat dimana saja pada saluran
pernapasan. Hal ini ditemukan pada pneumoni oleh karena virus atau bakteri
biasa. Hemoptisis yang terjadi pada pneumoni yang disebabkan bakteri
tertentu dapat dilihat dari tampilan sputumnya. Pada pneumoni oleh karena
pneumococcus, sputum tampak seperti berkarat. Pada klebsiella pneumoni,
hemoptisis sering menyerupai jeli kismis. Sedangkan Staphylococcus
Pneumoniae, sputum bercampur darah dan nanah.
4) Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme
pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus dan infeksi oleh jamur.
5) Infeksi jamur paru
Angioinvasi oleh elemen jamur menimbulkan kerusakan pada
parenkim dan struktur vaskuler sehingga dapat menimbulkan infark paru dan

9
perdarahan. Infeksi jamur paru yang invasif jarang menimbulkan hemoptisis.
Sebaliknya pembentukan misetoma dapat menimbulkan hemoptisis pada 50-
90% penderita misetoma.5
Misetoma umumnya terbentuk pada penderita dengan penyakit paru
berkavitas misalnya TB, sarkoidosis, Cavitary Lung Carcinoma, infark paru,
emfisema bulosa, bronkiektasis, penyakit fibrobulosa dari arthritis rheumatoid
dan ankylosung spondilytis, trauma mekanik akibat pergerakan fungus ball di
dalam kavitas, jejas vaskuler akibat endotoksin Aspergillus, dan kerusakan
vaskuler akibat reaksi hipersensitiviti tipe III merupakan beberapa teori
penyebab terjadinya hemoptisis pada misetoma. Hemoptisis dapat pula terjadi
akibat bronkolitiasis dari adenopati histoplasma yang mengalami kalsifikasi.5
Pada infeksi jamur, perdarahan pada umumnya terjadi karena proses
nekrosis dan ulserasi akibat peradangan. Kelainan jamur tersering
berhubungan dengan hemoptisis bola jamur (fungus ball) yang menempati
daerah bronkiektasis atau bekas tuberkulosis atau kista bekas sarkoidosis.
Jamur penyebab yang paling sering adalah Aspergillus.
b. Kelainan paru
1) Bronkiektasis
Bronkiektasis terjadi akibat destruksi tulang rawan pada dinding
bronkus akibat infeksi ataupun penarikan oleh fibrosis alveolar. Hal ini
menyebabkan dilatasi bronkus, dilatasi ini menyebakan hilangnya fleksibilitas
otot bronkus. Dilatasi ini akan menyebabkan anastomosis A. bronkial dan
pulmonal. Perubahan yang terjadi ternyata juga melibatkan perubahan arteri
bronkial yaitu hipertrofi, peningkatan atau pertambahan jumlah jaring
vaskuler (vascular bed). Perdarahan dapat terjadi akibat infeksi ataupun proses
inflamasi. Pecahnya pembuluh darah bronchial yang memiliki tekanan
sistemik dapat berakibat fatal.5
2) Bronkitis kronis:
Bronkitis kronik terjadi hipertropi kelenjar mukus trakeobronkial yang
menyebabkan penyempitan bronkus. Penyempitan bronkus ini disebabkan
oleh diameter bronkus yang menebal. Penabalan ini disertai dengan sekresi

10
goblek yang bertambah kental yang menyebabkan mukosa purulent. Karna
penebalan dan penumpukan kenjar menyebabkan penyumbatan dan terjadi
hipoksemia. Dampak dari hipoksemia adalah hipertropi ventrikel kanan.
Hipertropi ventrikel kanan, lama kelamaan akan menyebabkan pembuluh
darah pulmonal dan arteriol menebal. Terjadi oleh karena mukosa yang
sembab akibat radang, terobek oleh mekanisme batuk. Bronkitis biasanya
menyebabkan hemoptisis ringan. Proses inflamasi pada mukosa saluran napas
dan pecahnya pembuluh darah kecil pada mukosa mengakibatkan adanya
bercak darah pada dahak.1,8
3) Fibrosis kistik
Perdarahan pada penderita fibrosis kistik multifactorial, namun
umumnya perdarahan berasal dari arteri bronkial. Pemeriksaan postmortem
menunjukkan bronkiektasis luas, abses paru dan bronkopneumoni. Sistem
arteri bronkial mengalami hipervaskularisasi dan anastomosis
bronkopulmonal. Kelainan tersebut diatas ditambah dengan hipertensi
pulmonal menyebabkan tingginya insiden hemoptisis pada penderita fibrosis
kistik walaupun demikian hemoptisis masih jarang terjadi.5
4) Infark paru:8
Pada infark paru karena adanya penutupan arteri, maka terjadi
anastomosis. Selain itu juga terjadi reflek spasme dari vena di daerah tersebut,
akibatnya terjadi daerah nekrosis dimana butir-butir darah masuk ke alveoli
dan terjadi batuk darah.
c. Neoplasma
Karsinoma paru :
Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen bronkus atau
berasal dari jaringan tumor yang mengalami nekrosis, pecahnya pembuluh
darah kecil pada area tumor atau invasi tumor ke pembuluh darah pulmonal.8
Hemoptisis dapat terjadi akibat proses nekrosis dan inflamasi
pembuluh darah pada jaringan tumor. Invasi tumor ke pembuluh darah
pulmonal jarang terjadi. Hemoptisis dapat terjadi pada 7-10% penderita
dengan karsinoma bronkogenik.5

11
Penderita kanker metastasis paru, hemoptisis terjadi akibat lesi
endobronkial. Tumor mediastinum juga menimbulkan batuk darah, terutama
karsinoma esophagus akibat penyebarannya ke pohon trakeobronkial.5
d. Kelainan hematologi
DIC adalah terjadi bekuan darah kecil yang tersebar di seluruh aliran
darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan
berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan
perdarahan. DIC thrombin yang beredar dalam sistem sirkulasi darah
menyebabkan terjadi deposit fibrin monomer dan fibrin ikat silang yang
membentuk thrombosis pada mikrosirkulasi dan kadang dalam pembuluh
darah besar sehingga terjadi hipoksia atau kerusakan organ, sedangkan
plasmin yang beredar dalam sirkulasi darah menyebabkan terbentuknya FDP
yang mengganggu polimerasi fibrin monomer dan fungsi trombosit, sehingga
terjadi gangguan pembekuan yang menyebabkan perdarahan. Plasmin juga
menyebabkan lisis faktor V, VIII, dan X. Perdarahan dapat terjadi pada semua
tempat, salah satunya dapat menyebabkan hemoptisis. 15
e. Kelainan jantung
Stenosis mitral
Sebelum maraknya valvutomi dan operasi penggantian katup mitral,
hemoptisis dapat terjadi pada 20-50% penderita dengan stenosis mitral dan
hemoptisis masif dapat terjadi 9-18% penderita. Peningkatan tekanan atrium
kiri menyebabkan pleksus submukosa vena bronkial mengalami dilatasi untuk
mengakomodasi peningkatan aliran darah. Varises pembuluh darah tersebut
apabila terpajan pada infeksi saluran napas atas, batuk atau peningkatan
volume intravaskuler seperti pada kehamilan dapat menimbulkan hemoptisis.5
Batuk darah pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut:8
- Bila batuk darah ringan, perdarahan terjadi secara perdiapedesis, karena
tekanan dalam vena pulmonalis tinggi menyebabkan ruptur vena
pulmonalis atau distensi kapiler sehingga butir darah merah masuk ke
alveoli.

12
- Menurut ferguson, batuk darah terjadi karena pecahnya varises di
mukosa bronkus.
- Pada otopsi ternyata ada anastomosis vena pulmonalis dan vena
bronkialis yang hebat sehingga tampak seperti varises.
f. Kelainan pembuluh darah
Hipertensi pulmonal adalah kelainan paru dimana didapat peningkatan
tekanan arteri pulmonalis jauh diatas normal tanpa didapatkan penyebab yang
jelas. Tekanan pulmonal normal pada waktu istirahat adalah lebih kurang 14
mmHg, pada penderita hipertensi pulmonal tekanan arteri akan lebih dari 25
mmHg saat istirahat, dan 30 mmhg saat aktivitas, sehingga meningkatkan
tahanan vaskular dari aliran darah paru. Peningkatan tahanan arteri pulmonal
ini akan menimbulkan beban pada ventrikel kanan sehingga harus bekerja
lebih kuat untuk memompa darah ke paru. Sehingga terjadi dilatasi vena
submukosa dan Hemoptisis terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
pulmonal.16
g. Trauma
Benturan pada dinding dada menyebabkan kerusakan pembuluh darah
vena maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam alveoli dan
keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.1,8
h. Iatrogenik
Hemoptisis iatrogenik dapat terjadi akibat komplikasi tindakan
bronkoskopi, biopsi transthorakal atau pemasangan kateter Swan-Ganz.
Perdarahan pada bronkoskopi dapat terjadi akibat proses penyikatan, ataupun
biopsi endobronkial dan transbronkial. Umumnya perdarahan dapat berhenti
dengan sendirinya, namun perdarahan masif dapat pula terjadi. Estimasi
perdarahan sebagai komplikasi tindakan bronkoskopi berkisar 2-9%.5
Perdarahan juga dapat terjadi pada proses terapi laser dengan
bronkoskopi (laser Nd-YAG) terhadap penderita dengan keganasan
trakeobronkial. Pencegahan terjadinya komplikasi perdarahan pada saat
tindakan tersebut perlu diperhatikan misalnya penderita dengan kelainan

13
pembekuan darah serta kesiapan operator dalam mengantisipasi terjadinya
perdarahan.5
i. Kelainan sistemik
1. Good Pasture syndrome:
Kelainan terjadi pada membran basalis alveol kapiler yaitu
terbentuknya antibody to glomerular basement membrane (anti GBM Ab)
lebih spesifiknya kolagen tipe IV pada paru sehingga membuat hilangnya
keutuhan membrana basalis epithelial-endotelial dan memudahkan masuknya
sel darah merah dan netrofil masuk ke dalam alveoli.8
2. SLE
Infiltrat pulmonal adalah manifestasi dari SLE aktif yang dapat
menyebabkan peradangan interstitial, kemudian terjadi fibrosis, sindrom paru
menyusut dan perdarahan intraalveolar. Perdarahan ini menyebabkan
hemoptisis.5
j. Obat/toksin
Obat-obatan yang dapat menyebabkan batuk darah seperti aspirin,
antikoagulan, penisilamin ataupun kokain. Obat-obat tersebut dapat
menyebabkan gangguan pada proses hemostasis. Antikoagulan dapat
mengganggu proses pembekuan yang memudahkan terjadinya perdarahan.4

F. Klasifikasi
Klasifikasi menurut Pusel :6
+ batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis
dalam sputum
++ batuk dengan perdarahan 1 30 ml
+++ batuk dengan perdarahan 30 150 ml
++++ batuk dengan perdarahan 150-500 ml
Massive batuk dengan perdarahan 500-1000 ml atau lebih

Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis
sedang, positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.6

14
Kriteria batuk darah: 12
1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
2. Batuk darah sedang (25-250cc/ 24 jam).
3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan darah
sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan: 7
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada
bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya
pada kanker paru, pneumoni, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis masif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
4. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas
laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan
buatan (factitious).
Johnson membuat pembagian lain menurut jumlah darah yang keluar menjadi:6
1. Single hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung kurang dari 7 hari.
2. Repeated hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung lebih dari 7 hari dengan
interval 2 sampai 3 hari.
3. Frank hemoptysis yaitu bila yang keluar darah saja tanpa dahak.
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif yang diajukan Busroh
(1978) :11
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam
pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi
lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan
batuk darahnya masih terus berlangsung.

15
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi
lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama
pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah
tersebut tidak berhenti.

G. Manifestasi Klinis
Penderita sebaiknya bisa membedakan batuk darah dan muntah darah.4Hal
tersebut akan dijelaskan pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan batuk darah dengan muntah darah9
No Keadaan Batuk Darah Muntah Darah

1 Prodromal Darah dibatukkan dengan Darah dimuntahkan


rasa panas di tenggorokan dengan rasa mual
(Stomach Distress)
2 Onset Darah dibatukkan, dapat Darah dimuntahkan, dapat
disertai dengan muntah disertai dengan batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
5 Isi Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan
hemosiderin, makrofag
6 Ph Alkalis Asam
7 Riwayat Penyakit paru Peminum alkohol, ulcus
penyakit dahulu pepticum, kelainan hepar
(RPD)
8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis
9 Tinja Blood test (-) / Blood Test (+) /
Benzidine Test (-) Benzidine Test (+)

H. Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit

16
lain perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan
fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan.9.
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah:9,13
a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan.
b. Lamanya perdarahan.
Pola batuk darah dapat membantu menentukan penyebab batuk
darah. Misalnya, pasien dengan bronkitis atau bronkiektasis biasanya
mengalami batuk darah berulang. Jika batuk darah terjadi setiap bulan yang
berhubungan dengan saat menstruasi, dicurigai sebagai Catamenial
hemoptysis.4,9
c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak.
Misalnya bila batuk darah disertai sputum yang purulent dicurigai
penyakit yang mendasari adalah infeksi paru. Bila batuk darah tanpa pus
dicurigai penyakit yang mendasari adalah tuberkulosis, karsinoma atau
infark paru. Bila batuk darah berupa frothy sputum dicurigai edema paru.4,9
d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan.
e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik.
f. Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan
batuk
g. Wheezing
h. Perdarahan di tempat lain bersamaan dengan batuk darah
Bila terdapat gejala lain seperti penurunan berat badan disertai batuk
darah dicurigai sebagai karsinoma, bila terdapat keringat malam, demam
yang tidak tinggi dicurigai sebagai tuberkulosis. Bila batuk darah disertai
hematuria dicurigai sebagai Good Pasture Syndrome.
i. Perokok berat dan telah berlangsung lama
j. Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
k. Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
l. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.

17
2. Pemeriksaan fisik8,12
Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a. Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b. Auskultasi :
1) Kemungkinan menonjolkan lokasi.
2) Ronki menetap,stridor, whezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh :
Ca, bekuan darah, benda asing di daerah trakeolaring
c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru
d. Clubbing finger : memberikan petunjuk kemungkinan keganasan
intrathorakal dan supurasi intrathorakal (abses paru, bronkiektasis).
e. Saddle nose atau perforasi septum dapat menunjukkan gambaran
Granulomatosis Wegener.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto thoraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap
penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat
perdarahannya.6
Pemeriksan foto thoraks merupakan salah satu komponen penting
dalam pemeriksaan untuk mengetahui penyebab perdarahan terutama
kelainan parenkim paru, misalnya pemeriksaan dengan kavitas, tumor,
infiltrat dan atelektasis. Perdarahan intra-alveolar menimbulkan pola
infiltrat retikulonedular. Namun demikian gambaran foto thoraks bisa
normal ataupun tidak informatif.5
b. Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan dapat
diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau dahak
langsung).7
Pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan adalah untuk
pemeriksaan bakteri pewarnaan gram, basil tahan asam (BTA).
Pemeriksaan dahak sitologi dilakukan apabila penderita berusia >40 tahun
dan perokok. Biakan kuman juga dapat dilakukan terutama untuk BTA dan
jamur.5

18
c. Laboratorium14
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap
i. Pemeriksaan Hb dan Ht Ada tidaknya kehilangan darah akut
ii. Leukosit meningkat infeksi
iii. Trombositopenia koagulopati
iv. Trombositosis kanker paru
b. CT (Clothing Time) dan BT (Bleeding Time); PT (Prothrombin Time)
dan APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) jika dicurigai
adanya koagulopati atau pasien menerima warfarain/heparin.
c. Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien sesak yang jelas dan
sianosis.
d. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan
sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak terjadi
penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena
dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui.6,7
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah : 6
1) Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2) Batuk darah yang berulang
3) Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu
yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih
kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi
akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga dapat
memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi pernapasan.
Lavase dengan bronkoskop fiberoptik dapat menilai bronkoskopi
merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.6
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop
serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat
bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta

19
mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan
dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan.6
I. Penatalaksanaan
a. Batuk darah nonmasif
Penyebab tersering batuk darah nonmasif terutama yang terjadi akut adalah
bronkitis, risiko pasien ringan dengan gambaran radiologi normal. Penatalaksanan
kondisi pasien seperti ini dapat dengan monitoring airway, breathing, dan
circulation serta pengobatan terhadap penyebabnya misalnya dengan pemberian
antibiotik bila diperlukan, tetap batuk darah ini cenderung makin lama,
berlangsung terus atau sulit dijelaskan dianjurkan untuk evaluasi oleh ahli paru. 5
b. Batuk darah masif
Prinsip penatalaksanaan hemoptisis masif terdiri dari beberapa langkah yaitu
menjaga prinsip jalan napas dan stabilisasi penderita, menentukan likasi
perdarahan dan memberikan terapi. Langkah pertama merupakan prioritas
tindakan awal. Setelah penderita lebih stabil, langkah kedua dutujukan untuk
mencari sumber dan penyebab perdarahan. Langkah ketiga dimulai setelah
periode perdarahan akut telah teratasi, dan ditujukan untuk mencegah berulangnya
hemoptisis dengan memberikan terapi spesifik sesuai penyebabnya, bila
memungkinkan. Penderita dengan hemoptisis masif harus dimonitor dengan ketat
di instalasi perawatan intensif.5
Tujuan pokok terapi ialah:9
1. Mencegah asfiksia.
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengobati penyebab utama perdarahan.
Langkah I : Menjaga jalan napas dan stabilisasi penderita
Setelah diagnosis hemoptisis ditegakkan, upaya pembebasan jalan napas
dilakukan untuk menghindari resiko aspirasi. Aspek lain yag harus diingat
meliputi resusitasi cairan, suplementasi oksigen, koreksi gangguan pembekuan
darah, pemberian antitusif ringan, laksan dan sedasi ringan diberikan sesuai
indikasi.

20
Langkah tahap ini merupakan upaya konservatif dalam penatalaksanaan
hemoptisis, yaitu:
1. Menenangkan dan mengistirahatkan penderita sehingga perdarahan lebih
mudah berhenti. Penderita perlu diberitahu agar tidak takut membatukkan
darah yang ada di saluran napasnya.
2. Menjaga jalan napas tetap terbuka. Apabila terdapat tanda sumbatan jalan
napas perlu dilakukan pengisapan. Pengisapan dengan bronkoskop akan lebih
baik, tetapi memerlukan keterampilan khusus. Pemberian suplementasi
oksigen lebih banyak menolong kecuali bila jalan napas dibebaskan
3. Resusitasi cairan dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid
4. Transfuse darah diberikan bila hematokrit turun dibawah nilai 25-30% atau
Hemogbobin (hb) dibawah 10g% dan perdarahan masih berlangsung.
5. Laksan (stool softener) dapat diberikan untuk menghindari kemungkinan
mengedan.
6. Bila batuk mencetuskan terjadinya perdarahan lebih lanjut dapat diberikan
obat sedasi ringan untuk mengurangi kegelisahan penderita dan tirah baring.
Obat antitusif rigan hanya diberikan bila terdapat batuk yang berlebihan dan
merangsang timbulnya perdarahan yang lebih banyak.
7. Manipulasi dinding dada berlebihan harus dihindari seperti perkusi dinding
dada dan spirometri. Pemberian obat supresi refleks batuk seperti kodein dan
morfin harus dihindari.
8. Hipoksemia yang mengalami perburukan merupakan tanda bahwa perdarahan
mengganggu pertukaran gas dan harus diberikan suplementasi oksigen
9. Bila terjadi serangan batuk darah, tergantung dari kesadaran penderita:
- Penderita dengan sedaran umum dan refleks batuk baik, maka penderita
duduk dan diberikan instruksi cara membatukkan darah dengan benar
- Penderita dengan kesadaran umum berat dan refleks batuk kurang adekuat,
maka posisi penderita Trendelenberg ringan dan miring ke sisi yang sakit
(lateralisasi) untuk mencegah aspirasi darah ke sisi yang sehat.
10. Bila batuk darah terus berlanjut dan terjadi hipoksemia, maka penderita perlu
diintubasi dengan pipa endotrakeal berdiameter besar agar memunginkan

21
penggunaan bronkoskopi serat optik lentur untuk evaluasi, melokalisir
perdarahan dan tindakan pengisapan (suctioning).
11. Intubasi paru unilateral dapat dilakukan untuk melindungi paru yang sehat dari
aspirasi darah. Bila sumber perdarahan dari paru kanan, bronkoskop
dimasukkan ke bronkus utama kiri dan paru kiri diintubasi dengan bantuan
bronkoskop. Bila sumber perdarahan dari pari kiri, trakea diintubasi dengan
batuan bronkoskop, dan penderita dalam posisi lateral kiri untuk
meminimalisasi aspirasi. Kemudian kateter Fogarty nomor 14F dimasukkan
disamping pipa endotrakeal sampai beberapa sentimeter dibawah cuff. Kateter
Fogarty diarahkan ke bronkus utama kiri, sehingga kateter Fogarty berada di
bronkus utama kiri. Pipa endotrakeal di trakea akan memberikan ventilasi
untuk paru kanan. Intunasi selektif di paru kanan tidak disarankan karena
memiliki risikp menutupi orifisuim lobur atau paru kanan.
12. Intubasi dengan kateter lumen ganda (double lumen endotrakeal tubes) juga
dapat digunakan untuk mengisolasi paru yang tidak mengalami perdarahan,
sehingga mengurangi resiko aspirasi. Setelah sumber perdarahan diketahui,
ujung pipa endotrakal di paru mengalami perdarahan ditutup (clamped),
sedangkan ujung pipa endotrakeal di sisi yang tidak berdarah dihubungkan
dengan ventilator untuk menjamin ventilasi. Menunjukkan pipa endotrakeal
lumen ganda yang memiliki lumen trakeal dan lumen bronkial, yang
dimasukkan ke bronkus utama kiri. Lumen trakea tetap berada di suprakarina
dan memberikan ventilasi untuk paru kanan dan menghindari tertutupnya
orifisium lobus atas paru kanan. Pemasangan pipa endotrakeal lumen ganda
harus dipasang oleh operator berpengalaman karena kemungkinan dapat
terjadi obstruksi karena pipa endotrakeal lumen ganda tersebut sehingga
menghalangi pengisapan jalan napas dan evaluasi dengan bronkoskop.5

Langkah II: Mencari sumber dan penyebab perdarahan


Jika penderita telah stabil, perlu dicari sumber dan penyebab perdarahan
secepat dan setepat mungkin. Lokasi perdaragan dan penyebabnya perlu diketahui
untuk dapat memberikan terapi spesifik. Langkah ini dapat dilakukan dengan

22
pemeriksaan radiologi (foto thoraks, angiografi) dan dengan bronkoskopi (BSOL
maupun bronkoskopi kaku).5

Langkah III: Pemberian terapi spesifik


Pemberian terapi spesifik dilakukan utnuk menghentikan perdaraham dan
mencegah berulangnya perdarahan. Pemberian terapi spesifik dapat dilakukan
melalui bronkoskopi (bronkoskopi terapeutik) dan terapi non bronkoskopik.5
1. Bronkoskopi terapeutik5
- Bilas bronkus dengan larutan garam fisiologis dingin (iced saline lavage)
Pemberian larutan garam fisiologis dingin dimaksudkan untuk
meningkatkan hemostatis dengan menginduksi vasokonstriksi. Suatu studi
tanpa kontrol mengamati 23 penderita yang diberikan pembilasan dengan
aliquot 50 ml sekuansial dengan suhu 4oC (total 500ml) melalui bronkoskop
kaku. Ternyata kontrol perdarahan didapat pada 21 penderita.
- Pemberian obat topikal
Pemberian epinefrin topikal dengan konsentrasi 1:20.000 dimaksudkan
untuk vasokontriksi pembuluh darah, namum efektivitasnya masih
dipertanyakan terutama pada hemoptisis masif. Tsukamoto dkk melakukan
studi pemberian thrombin topikal dan larutan fibrinogen-trombin. Namun
terapi ini masih perlu penelitian lebih lanjut.
- Tamponade endobronkial
Isolasi perdarahan menggunakan kateter balon tamponade (ballon
tamponade catheter) dapat mencegah aspirasi darah ke paru kontralateral dan
menjadi pertukaran gas pada hemoptisis masif. Prosedur ini diawali dengan
memasukkan BSOL sampai ke segmen atau subsegmen yang menjadi sumber
perdarahan. Kateter balon bernomor 4-7F dengan panjang 200cm dimasukkkan
ke dalam segmen atau subsegmen bronkus yang dituju melalui lumen pengisap
BSOL, lalu balon dikembangkan BSOL dikeluarkan dan kateter dibiarkan
tertinggal selama 24 jam, kemudian balon dikempiskan di bawah pengamatan
BSOL. Bila tidak ada perdarahan lagi, kateter dikeluarkan. Bila visualisasi
melalui BSOL sulit, maka pipa endotrakeal lumen ganda dengan katup.

23
- Foto koagulasi laser (Nd-YAG Laser)
Foto terapi menggunakan laser Neodymium-yttrium-aliminium-garnet
(Nd-YAD) telah digunakan sebagai terapi paliatif dengan hasil bevariasi pada
penderita hemoptisis masif. Terapi ini digunakan pada penderita dengan
perdarahan endobronkial karena kemampuan koagulasinya.
2. Terapi non Bronkoskopik5
- Pemberian terapi medikamentosa
- Vasopresin intravena merupakan vasokonstriktor sistemik dengan dosis
0,2-0,4 untu/menit telah digunakan untuk megamati hemoptisis masif.
Obat ini menghentikan perdarahan dengan konstriksi arteri bronkial.
Namun perlu berhati-hati terutama pada penderita penyakit pembuluh
darah coroner maupun hipertensi.
- Pemberian asam traneksamat (antifibrinolitik) untuk menghambat aktivasi
plasminogen dilaporkan dapat mengontrol hemoptisis pada penderita
fibrosis kistik yang tidak dapat terkontrol oleh embolisasi arteri bronkial.
- Pemberian kortikosteroid sistemik dengan obat sitotoksik dan plamaferesis
mungkin dapat bermanfaat pada penderita hemoptisis masif akibat
perdarahan alveolar penyakit autoimun.
- Pemberian Gonadotropin Releasing Hormone Agonis (GnRH) atau danazil
mungkin bermanfaat pada terapi jangka panjang penderita hemoptisis
katamenial.
- Hemoptisis karena penyakit infeksi seperti TB, infeksi jamur atau kuman
lain maka diberikan anti tuberkulosis, antijamur ataupun antibiotik.
- Radioterapi untuk mengatasi hemoptisis masif pernah dilaporkan pada
pederita aspergiloma yang gagal diterapi dengan embolisasi.
Mekanismenya adalah melalui mengurangi pembengkakan dan induksi
nekrosis sumber perdarahan sehingga menghasilkan thrombosis vaskuler
dan kompresi edema perivaskuler.
3. Embolisasi arteri bronkialis dan pulmonal
Teknik ini adalah melakukan oklusi pembuluh darah yang menadi
sumber perdarahan dengan embolisasi transkateter. Embolisasi dapat

24
dilakukan pada arteri bronkialis dan sirkulas pulmonal. Teknik ini terutama
dipilih untuk penderita dengan penyakit bilateral, fungsi paru sisa minimal,
menolak operasi ataupun memiliki kontraindikasi tindakan operasi. Terapi ini
dapat diulang beberapa akli untuk mengontrol perdarahan. Embolisasi
memiliki angka keberhasilan dalam mengontrol perdarahan (jangka pendek)
antara 64-100%. Pada evaluasi lanjut selama 3-5 tahun, Rabkin dkk
mengamati terjadinya rekurensi perdarahan pada 23% penderita. Komplikasi
yang dapat terjadi yaitu akibat oklusi artei bronklialis yaitu nyeri dada,
demam, maupun emboli ektopik.5
4. Bedah
Pembedakan merupakan terapi definitive pada penderita batuk darah
masif yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru
adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah, ada kontraindikasi embolisasi arteri
atau kecurigaan perforasi arteri pulmonal dan ruptur misetoma dengan
kolateral artei yang banyak.5
Tindakan bedah seperti:1,5.
Reseksi paru: lobektomi atau pneumonektomi
Reseksi paru ditujukan untuk membuang sisa-sisa kerusakan akibat penyakit
dasarnya. Macam reseksi:
- Pneumonektomi: reseksi satu paru seluruhnya
- Bilobektomi : reseksi dua lobus
- Lobektomi : reseksi satu lobus
- Wedgeresection: reseksi sebagian kecil jaringan paru
- Enukleasi : bila kelainan patologis kecil dan jinak
- Segmentektomi: reseksi segmen bronkopulmonal
Berdasarkan foto thoraks dan pemeriksaan faal paru, luasnya operasi
dapat ditentukan sebelum operasi. Prinsipnya adalah mempertahankan
sebanyak mungkin jaringan paru yang dianggap sehat. Luas dan jenis lesi
(proses inflamasi, abses atau kavitas) menentukan jenis reseksi yang akan
dilaksanakan.

25
J. Komplikasi
Komplikasi yang dapat mengancam jiwa penderita adalah asfiksia,
sufokasi dan kegagalan sirkulasi akibat kehilangan banyak darah dalam waktu
singkat. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah penyebaran penyakit ke sisi
paru yang sehat dan atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena sumbatan saluran
napas sehingga paru bagian distal akan mengalami kolaps dan terjadi atelektasis.
Atelektasis dapat terjadi karena sumbatan saluran napas sehingga paru bagian
distal akan mengalami kolaps dan terjadi atelektasis.5

Tingkat kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh 3 faktor:5


a. Asfiksia
Asfiksia terjadi oleh karena terdapatnya bekuan darah di dalam saluran
pernapasan. Terjadinya asfiksia ini tidak tergantung pada jumlah perdarahan yang
terjadi, akan tetapi ditentukan oleh reflek batuk yang berkurang atau terjadinya
efek psikis dimana pasien takut dengan perdarahan yang terjadi.5
Walaupun persentase kematian akibat asfiksia belum diketahui dengan
pasti, namun kematian yang disebabkan oleh asfiksia cukup tinggi dan dapat
dibagi dalam empat hal:1
1. Pengaruh perdarahan yang terjadi
2. Pengaruh susunan saraf pusat
3. Pengaruh pada respirasi
4. Perubahan pada tekanan darah
b. Shock Hypovolemic
Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik (hypovolemic shock) yang disebabkan oleh
perubahan metabolisme sebagai berikut:1,5
1. Asidosis metabolik, dimana kadar asam laktat meningkat lebih dari nilai
normal.
2. Terjadinya penurunan kecepatan filtrasi glomerulus yang disebabkan oleh
kontraksi dari vasa aferen dan vasa eferen, dimana ditandai dengan
retensi natrium dan tingginya ureum darah.

26
3. Terdapatnya vasokontriksi sebagai usaha untuk memobilisasi darah.
4. Pada jangka panjang dapat terjadi reaksi kompensasi.
c. Aspirasi
Aspirasi adalah suatu keadaan dimana masuknya bekuan darah
maupun sisa-sisa darah ke dalam jaringan paru bersamaan dengan inspirasi,
dimana mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:1
1. Meliputi bagian yang luas dari paru
2. Terjadi pada bagian percabangan bronkus yang lebih halus
3. Selain darah dapat pula disebabkan oleh masuknya cairan lambung ke
dalam paru oleh karena penutupan epiglotis yang tidak sempurna
4. Dapat diikuti dengan infeksi sekunder
Adanya pneumoni aspirasi, yaitu suatu infeksi yang terjadi
beberapa jam atau beberapa hari setelah perdarahan. Keadaan ini
merupakan keadaan yang gawat, oleh karena baik bagian jalan napas
maupun bagian fungsionil paru tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya akibat terjadinya obstruksi total.1,5
K. Prognosis
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada
beberapa faktor yang menentukan prognosis : 4,7,9
1. Tingkatan hemoptisis: hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2. Jenis penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk
menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.
a. Hemoptisis <200ml/24jam prognosa baik
b. Profuse massive>600cc/24jamprognosa jelek 85% meninggal

27
BAB III

KESIMPULAN

Batuk darah adalah ekspektoransi darah akibat perdarahan pada saluran napas
di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas di bawah
laring. Penyabab batuk darah sangat beragam antara lain penyakit infeksi,
neoplasma, benda asing, trauma, gangguan vaskuler, penyakit autoimun dan lain-
lain. Darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah
minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan. Jika
berlangsung lama akanmenyebabkan komplikasi yang dapat mengancam jiwa
penderita adalah asfiksia, sufokasi dan kegagalan sirkulasi akibat kehilangan
banyak darah dalam waktu singkat.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Tabrani, Rab. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM.


2. Tierney, L. M., Mc Phee, S., & Papadakis, M. 2002. Diagnosis dan Terapi
Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Salemba Medika
3. Price SA.Wilson LM. 2012.Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses
Penyakit ed.6, Jakarta: EGC.
4. Pitoyo CW. 2011. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II,
edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
5. Kosasih A, Susanto AD, Pakki TR, Martini T, 2008. Diagnosis dan
tatalaksana kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-hari, Jakarta :
Sagung Seto,. Hal 1-15.
6. Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press.
7. Arief, Nirwan. 2009. Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI.
8. Alsagaff H, Wibisono MJ. 2010. Batuk darah.Surabaya: Departemen Ilmu
Penyakit Paru FK Unair RSUD Dr. Soetomo; 2010. Hal. 74-87.
9. PAPDI. 2012. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir
Anna U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan
medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
10. Swanson, K. L., Johnson, C. M., Prakash, U. B., McKusick, M. A., Andrews,
J. C., & Stanson, A. W. 2002. Bronchial artery embolization: experience with
54 patients. CHEST Journal, 121(3), 789-795.
11. Snell, SS. 2009. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC. Hal : 94-95
12. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM.2008. Tuberkulosis paru dalam
buku at a glance Sistem respirasi. Jakarta: Erlangga;.hal.80-81.
13. Eddy, JB. 2010.Clinical assessment and management of massive hemoptysis.
Crit Care Med. 28(5):1642-7

29
14. Osaki S, Nakanishi Y, Wataya H, Takayama K, Inoue K, Takaki Y, etal. 2013.
Prognosis of bronchial artery embolization in the management of hemoptysis.
Respiration 67:412-6
15. Corrigan James J. 2005.Dissaminated Intravascular Coagulation. Dalam:
Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta : Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 189-193.
16. Sudoyo Aru W, DKK. 2007. Hipertensi Pulmonal Primer buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbit ilmu Penyakit Dalam FKUI.

30

Anda mungkin juga menyukai