Anda di halaman 1dari 30

Hyaline Membrane Disease (HMD)

Definisi
HMD atau respiratory distress syndrome (RDS) adalah gangguan respirasi yang
ditemukan pada bayi prematur akibat kurangnya surfaktan sehingga mengakibatkan kolapsnya
alveoli.1

Epidemiologi
HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi premature, di Amerika Serikat
sekitar 12% bayi lahir prematur, sekitar 10% bayi prematur menderita HMD setiap tahunnya.
Insiden meningkat pada negara berkembang.
Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian, laki-laki, riwayat
saudara sebelumnya yang menderita RDS, lahir melalui sectio secaria, asfiksia dan ibu diabetes
melitus. Pada tahun 2003, di Amerika serikat terdapat 4 juta kelahiran setiap tahunnya, dan 6%
kelahiran berkembang menjadi RDS. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan kasus RDS dari
11,6% menjadi 12,7%, mayoritas disebabkan karena kelahiran kurang bulan.2,3
Berdasarkan penelitian di Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2001, dari
41 bayi yang lahir preterm, 14 bayi mengalami sindrom gawat nafas, dan 7 bayi didiagnosa
HMD. Semuanya lahir dari kehamilan kecil dari 32 minggu. Hal itu menunjukan prevalensi
HMD pada bayi preterm sebesar 17%.4

Faktor Predisposisi
a. Prematuritas
Kasus ini sering ditemukan pada usia kehamilan dibawah 30 minggu sebab sintesis
surfakatan mulai terjadi pada usia kehamilan 24-28 minggu.3,4,5
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih sering menderita HMD dibandingkan perempuan dan lebih tinggi untuk
terjadinya kematian. Sebab pada bayi laki-laki maturasi lesitin, spyngomielin, serta
pembentukan fosfatidil gliserol lambat akibat efek androgen.4,5
c. Ras
Insiden HMD lebih rendah pada kulit hitam di bandingkan kulit putih, yaitu 60-70%. Pada
bayi dengan usia kehamilan kurang dari 32 minggu, 40% dari bayi kulit hitam menderita
HMD sedangkan insiden pada kulit putih 75%.5
d. Sectio secaria
Menurut beberapa penilitian, apabila tindakan sectio secaria dilakukan sebelum masuknya
proses persalinan dapat meningkatkan resiko timbulnya HMD sebab ketika proses
persalinan produksi cairan paru berkurang, 1/3 cairan paru dikeluarkan akibat penekanan
pada dada ketika proses persalinan pervaginam berlangsung.
e. APGAR skor
Bayi premature dengan APGAR skore <5 memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk
terjadinya HMD dibandingkan bayi dengan APGAR skore >5.5
f. Ibu dengan diabetes melitus
Insulin dapat memperlambat maturasi sel alveolar tipe 2 dan menurunkan phospatidilcolin,
yang merupakan fosfolipid yang penting dalam sintesa surfaktan.6
g. Hipotiroid
Aktivitas hormon tiroid penting dalam perkembangan sistem surfaktan pada masa prenatal.
Berdasarkan penelitian, bayi preterm yang menderita HMD memiliki kadar hormon tiroid
rendah.5

Patofisiologi
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini. Pembentukan
substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru, merupakan salah satu teori yang
banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan
merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama
zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 – 24 minggu dan mencapai
maksimum pada minggu ke-35.

Gambar 1. Timeline Pembentukan surfaktan pada fetus7


Surfaktan merupakan gabungan kompleks fosfolipid. Surfaktan membuat stabil alveoli
dan mencegahnya dari kolaps pada saat ekspirasi dengan mengurangi tegangan.
Dipalmitoylphophatidyl choline (DPPC) merupakan komposisi utama dalam surfaktan yang
mengurangi surface tension. Surfaktan memiliki 4 surfactant-associated proteins yaitu SP - A,
SP - B, SP – C, dan SP – D. Surfaktan disintesis oleh sel alveolar tipe II dengan proses multi-
step dan mensekresi lamellar bodies, yang memiliki kandungan fosfolipid yang tinggi.
Lamellar bodies ini berikutnya diubah menjadi lattice structure yang dinamakan tubular
myelin. Penyebaran dan adsorpi dari surfaktan merupakan karakteristik yang penting dalam
pembentukan monolayer yang stabil dalam alveolus.8

Gambar 2. Fisiologi pembentukan surfaktan8

Peranan surfaktan ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga


tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsionil pada akhir ekspirasi.
Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada penyakit membrane hialin menyebabkan
kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu. Alveolus akan kembali
kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif
intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini akan
menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis.
Hipoksia akan menimbulkan: (1) oksigenasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi
metabolism anaerobic dengan penimbunan asam laktat dan asan organic lainnya yang
menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi, (2) kerusakan endotel kapiler dan epitel
duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan
terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik
membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin. Asidosis dan atelektasis juga
menyebabkan terganggunya sirkulasi darah dari dan ke jantung. Demikian pula aliran darah
paru akan menurun dan hal ini akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan substansi
surfaktan.9
Gambar 4. Patofisiologi HMD

Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang
terdiri dari: atelektasis  hipoksia  asidosis  transudasi  penurunan aliran darah paru 
hambatan pembentukan substansi surfaktan  atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus
sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.9
Imaturitas dari paru janin dapat dilihat dari analisa cairan amnion, dari rasio lecithin
– sphingomyelin (L/S ratio <2:1), phosphatidylglycerol, atau lamellar bodies.10

2.5 Gejala Klinis


Penyakit membran hialin sering terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000 -
2000 gram atau masa gestasi 30 - 36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan
lebih dari 2500 gram.11 Sering disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda
gawat bayi pada akhir kehamilan. Tanda gangguan pernafasan mulai tampak 6 - 8 jam pertama
setelah kelahiran dan gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24 - 72 jam. Bila
keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama.2,9
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru
yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnu atau
hiperpnu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal, retraksi interkostal
dan ‘expiratory grunting’. Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya
bradikardia (sering ditemukan pada penderita PMH berat), hipotensi, kardiomegali, ‘pitting
edema’ terutama di daerah dorsal tangan atau kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala
sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi.1 Scoring system yang sering digunakan pada bayi
preterm dengan HMD adalah Silverman - Anderson score atau downes score.12

Gambar 5. Scoring system Silverman – Anderson12

Score 10 = Severe respiratory distress


Score ≥ 7 = Impending respiratory failure
Score 0 = No respiratory distress
Score 0 1 2
Frekuensi nafas (per <60 60 -80 >80
menit)
Sianosis None In room air In 40% oxigen
Retraksi None Mild Moderate-severe
Merintih None Audible with Audible without
stethoscope stethoscope
Air entry Clear Delayed / Barely audible
decrease

Score : <6 = Respiratory distress


>6 = Inpending respiratory failure
Tabel 1. Downes score12

Gambar 6. Gejala Klinis HMD

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan gas darah


Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis respiratorik dan asidosis metabolik
dengan hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis dari alveoli dan atau
overdistensi dari bronkiolus (terminal airways). Asidosis metabolik yang terjadi pada HMD
dawali dengan asidosis laktat sebagai akibat dari menurunnya perfusi ke jaringan sehingga
tubuh menggunakan jalur anaerob untuk metabolisme. Hipoksia pada HMD ini terjadi dari
shunting right to the left melalui pembuluh dari pulmonal, patent ductus artreriosus (PDA), dan
atau foramen ovale tidak menutup.13

2. Pulse Oximetry
Pulse Oximetry adalah tindakan non-invansif yang digunakan untuk memantau saturasi
oksigen dalam darah, dimana saturasi dipertahankan pada nilai 90 - 95 %. Akan tetapi alat ini
tidak dapat mendeteksi terjadinya hiperoksia. Pada metode konvensional digunakan metode
monitoring in-line arterial PaO2 dan monitoring transkutaneus. Monitoring transkutaneus CO2
seharusnya dgunakan pada infant dengan HMD untuk memonitor ventilasi yang berhubungan
dengan PaCO2.

3. Gambaran Radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto Rontgen toraks.
Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang
diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks,
hernia diafragmatika, dan lain-lain.14
 Foto toraks posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial
Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit membran hialin. Gambaran yang
khas berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan ground glass appearance,
disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air bronchogram).15
Terdapat 4 stadium:
o Stadium 1: pola retikulogranular (ground glass appearance)
o Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram
o Stadium 3: stadium 2 + batas jantung-paru kabur
o Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance
Gambar 7 dan 8. HMD dengan gambaran ground glass appearance (kiri) dan air
bronchogram (kanan)

Gambar 9 dan 10. HMD dengan gambaran batas jantung-paru kabur (kiri) dan white
lung appearance (kanan)

Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan interval sesuai indikasi. Pada
pasien dapat ditemukan pneumotoraks sekunder karena pemakaian ventilator, atau terjadi
bronchopulmonary Displasia (BPD) setelah pemakaian ventilator jangka lama.

4. Uji Kematangan paru


Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes Kematangan Paru
yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya
Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS).16
Tes tersebut di klasifikasikan menjadi:

4.1. Tes biokimia (Rasio lecithin - sphingomyelin)


Paru - paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan
amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan
cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion.
Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu
test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain.
Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non
spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L / S untuk kehamilan normal
adalah <0.5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap. Rasio L / S = 2 dicapai
pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal HMD sangat tidak
mungkin terjadi bila rasio L / S >2.8 Dengan rasio 1.5 - 1.9, ada kemungkinan bahwa 50% bayi
dapat berlanjut ke HMD. <1.5 resiko meningkat sampai 73%.11 Adanya mekonium dapat
mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini.17

Gambar 11. Grafik perbandingan L / S dengan usia gestasi18

4.2Tes biofisika (Shake test)16


Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini
bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar
gelembung tetap stabil. Pada janin, cairan paru biasanya ditelan sehingga aspirasi dari cairan
lambung dalam 30 menit setelah lahir sebagian besar terdiri dari cairan paru yang ditelan atau
cairan amnion. Oleh karena itu, aspirasi dari cairan lambung dapat digunakan untuk evaluasi
apabila surfaktan terdapat pada paru - paru janin sewaktu lahir.
Dengan mengocok cairan aspirat lambung 0.5 cc, NaCl 0.9% 0.5 cc dan alkohol 1 cc
lalu dikocok dengan keras dan didiamkan selama 15 menit. Dengan mengocok cairan amnion
dengan alkohol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari
cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pada alkohol dengan
konsentrasi 47.5%, stable bubble yang dibentuk oleh karena pengocokan akan menetap oleh
karena adanya lechitin.
Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion :
alkohol) / hasil positive gelembung (+), maka merupakan indikasi maturitas paru janin.4,5

Gambar 12. Cara melakukan Shake test16

5. Pemeriksaan fungsi paru


Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan tim yang berpengalaman.
Peningkatan frekuensi pernafasan pada penyakit ini akan memperlihatkan perubahan pada
fungsi paru lainnya seperti tidal volume menurun, lung compliance berkurang, penurunan
functional residual capacity disertai vital capacity yang terbatas. Demikian pula fungsi
ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.16
6. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperlihatkan beberapa perubahan dalam
fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten, pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan
ke kiri (bergantung pada lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.16

7. Gambaran patologi/ histopatologi


Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis dan membran
hialin di dalam alveolus atau duktus alveolaris. Di samping itu terdapat pula bagian paru yang
mengalami emfisema. Membrane hialin yang ditemukan terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik
yang mungkin berasal dari darah atau sel epitel alveolus yang nekrotik.16

Diagnosis
Anamnesis
 Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM
 Riwayat persalinan yang mengaalami asfiksia perinatal (gawat janin)
 Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membrane hialin

Pemeriksaan fisik
 Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan
 Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala:
o Takipnea (frekuensi nafas >60x/menit)
o Grunting atau nafas merintih
o Retraksi dinding dada
o Kadang dijumpai sianosis (pada udara ruangan)
 Perhatikan tanda prematuritas
 Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru
 Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi, adanya
infeksi dan derajat dari pirau PDA
 Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48 - 96 jam15

Diagnosis dari HMD dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen toraks dengan gambaran
khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchograms. Menurut Vermont Oxford
Neonatal Network definisi dari PMH selain gambaran khas dari rontgen torak memerlukan
PaO2 <50 mmHg pada udara ruangan, cyanosis sentral pada udara ruangan atau keadaan bayi
memerlukan suplimentasi oksigen tambahan untuk mempertahankan PaO2 >50 mmHg.2,3,18

Diagnosis Banding
Penyakit Gejala Radiologi
HMD Sianosis, apnea, nafas cuping Ateletaksis, air broncogram,
hidung, infitrat granular
TTN Takipnea segera setelah lahir, Hiperexpansi perihiler
retraksi, merintih pulmonal, peningkatan
corakan vaskuler pulmonal,
infitrat sudut costofrenikus
tumpul
Aspirasi Mekonium Takipnea, nafas cuping hidung, Infitrat kasar bilateral,
retraksi, sianosis, mekonium hiperinflasi paru
stained skin
Tabel 1. Perbedaan sindrom gawat nafas2

1. Transient Tachypnoea of the newborn (TTNB)


Peningkatan kadar epinefrin pada fetus pada saat partus umumnya mengurangi
produksi cairan paru dan mengaktivasi channel natrium yang menimbulkan terjadinya
reabsorbsi. Gagalnya untuk membersihkan paru dari cairan paru ini menyebabkan terjadinya
TTN. Faktor risiko terjadi TTN termasuk kelahiran preterm, kelahiran dengan sectio caesaria,
dan bayi dengan jenis kelamin laki - laki. TTN juga dihubungkan dengan maternal asma. Pada
gejala awal, TTN sulit untuk dibedakan dengan penyakit membran hialin. Diagnosis TTN
hanya dapat ditegakkan dengan foto rontgen paru yaitu adanya opasitas paru yang berbentuk
“streaky”, ditemukannya cairan pada fisura transversalis, dan biasanya disertai dengan
kardiomegali. TTN terjadi pada 5 / 1000 bayi cukup bulan. Gejala TTN ialah adanya takipnea
yang parah (frekuensi nafas >60 x / menit) dan terjadinya hiperinflasi, tetapi jarang disertai
dengan grunting. TTN merupakan diagnosis eksklusi, dimana diagnosis sindrom gawat nafas,
sepsis dan gagal jantung sudah disingkirkan.7
Gambar 13. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan pada
fisura transversalis dan hiperekspansi paru.7

2. Meconium aspiration syndrome


Aspirasi mekoneum jarang terjadi pada bayi kurang bulan. Sindrom aspirasi
mekonium terjadi apabila janin mengeluarkan mekonium ke dalam cairan amnion ketika
masih berada dalam kandungan, dan cairan amnion yang terkontaminasi mekonium teraspirasi
oleh bayi. Aspirasi mekonium menyebakan obstruksi mekanis pada paru sehingga
menyebabkan terperangkapnya udara dan mengakibatkan atelektasis dan ketidakseimbangan
perfusi - ventilasi. Secara klinis, bayi tampak berwarna kuning kehijauan atau lebih dikenali
sebagai meconium - stained skin. Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan
dengan kombinasi foto rontgen dengan gambaran bercak - bercak konsolidasi atau atelektasis,
infiltrat kasar di kedua lapangan paru, dan hiperinflasi karena terperangkapnya udara.7,11

Gambar 14. Foto thoraks sindrom aspirasi mekonium


3. Pneumotoraks
Kekurangan surfaktan yang relatif pada bayi yang lahir dengan usia gestasi 32 - 34
minggu menghasilkan paru - paru yang kurang compliance sehingga meningkatkan risiko
terjadinya pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pneumotoraks kecil umumnya dapat
sembuh secara spontan. Selama ini, oksigen 100% digunakan sebagai penanganan
pneumotoraks kecil, akan tetapi efektivitasnya belum terbukti dan dengan risiko terjadinya
toksisitas oksigen, maka penanganan ini sudah tidak lagi dilakukan. Penanganan yang sedang
berkembang ialah penggunaan kateterisasi pigtail yang dimasukan dengan tehnik Seldinger.
Keuntungan tindakan ini ialah tindakannya yang cepat dan mudah, serta sedikitnya skar yang
ditimbulkan dibandingkan dengan traditional chest tubes.7

Gambar 15. Pneumotoraks pada paru sisi kanan7

Gambar 16. Penggunaan kateter pigtail7


Tabel 2. Diagnosis banding paling umum dari Penyakit Membran Hialin 19

Penatalaksanaan
1. Perawatan Antenatal
Intervensi untuk mencegah terjadinya HMD harus dimulai sebelum kelahiran dan
melibatkan bagian anak dan kebidanan. Secara umum sekresi surfaktan meningkat selama
proses persalinan, oleh karena itu operasi sectio caesaria elektif tidak dianjurkan. Bayi preterm
yang berisiko untuk terjadinya HMD seharusnya dilahirkan di tempat yang memiliki tenaga
ahli dan fasilitas yang dilengkapi dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dan
ventilator mekanik. Untuk bayi yang usia gestasi kurang dari 27 minggu, kemungkinan untuk
meninggal pada tahun pertama kehidupan berkurang bila dilahirkan di rumah sakit yang
memiliki Neonatal Intensif Care Unit (NICU). Pemanfaan obat tokolitik dapat digunakan untuk
menunda persalinan sementara agar ibu dapat dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas
NICU.20,21
2. Pemberian Kortikosteroid pada Ibu
Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan resiko kematian pada neonatal.
Keberhasilan pemberian steroid hanya terlihat pada bayi preterm yang ibunya menerima dosis
pertama steroid 1 - 7 hari sebelum persalinan. Betamethason dan Dexamethason digunakan
untuk meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian steroid antenatal direkomendasikan
pada semua kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm. Dosis tunggal pemberian
betamethason adalah 12 mg. Interval optimal untuk memulai terapi berdasarkan taksiran
persalinan adalah >24 jam dan <7 hari. Tidak ada bukti yang jelas menunjukkan pemberian
dosis ulangan dapat menigkatkan keberhasilan efek kortikosteroid.3,20

3. Stabilisasi Kamar Bersalin


Bayi dengan defisiensi surfaktan mengalami gangguan dalam mencapai kapasitas
residu fungsional yang adekuat dan memastikan pengaliran udara di alveolar terus menerus.
Dulu kebanyakan bayi preterm, tali pusat dipotong segera setelah lahir agar dapat dipindahkan
ke lingkungan hangat dengan cepat untuk memudahkan proses resusitasi. Prosedur mengklem
tali pusat dengan cepat dipersoalkan baru - baru ini. Lebih kurang setengah dari volume darah
dari bayi preterm terkandung dalam tali pusat plasenta, dengan menunda pengkleman tali pusat
selama 30 - 45 detik dapat mengakibatkan peningkatan volume darah sebanyak 8 - 24%
terutama pada persalinan spontan, sehingga terjadinya peningkatan kadar hematokrit,
berkurangnya keperluan untuk transfusi dan berkurangnya insiden perdarahan intraventrikuler.
Saturasi oksigen optimal yang diperlukan ketika meresusitasi bayi preterm masih
belum diketahui, tetapi terdapat banyak bukti meresusitasi dengan konsentrasi oksigen murni
100% dibandingkan dengan udara ruangan dihubungkan dengan peningkatan kadar mortalitas.
Adanya bukti biokimia tentang toksisitas oksigen yang terjadi akibat pemberian oksigen murni.
Penggunaan oksigen murni 100% tidak lagi diperlukan, sekarang pencampur oksigen -
udara ruangan seharusnya tersedia di kamar bersalin untuk membolehkan titrasi oksigen sesuai
kondisi bayi. Pulse oxymetri dapat digunakan untuk membantu pemberian oksigen murni. Oleh
sebab itu penggunaan oksigen murni untuk meresusitasi haruslah terkontrol dengan pencampur
oksigen - udara ruangan. Pemberiannya dimulai dengan konsentrasi oksigen yang paling
rendah, biasanya konsentrasi sebanyak 30%. Saturasi normal bayi preterm yang baru lahir
semasa proses transisi adalah 40 - 60% dan mencapai 50 - 80% setalah usia 5 menit dan
mencapai >85% setelah usia 10 menit.
Pemberian rutin ventilasi tekanan positif (Bagging) tidak sesuai bagi preterm yang
belum nafas spontan. Jika ventilasi tekanan positif diperlukan untuk menstabilkan bayi, hindari
volume tidal yang berlebihan dengan menggunakan alat resusitasi yang bisa mengukur atau
melimitasi peak inspiratory pressure (PIP) dan waktu yang sama dapat mempertahankan
positive end - expiratory pressure (PEEP) semasa ekspirasi. Contoh alatnya adalah Neopuff®20

Gambar 17. Neopuff20

Hanya sebagian kecil bayi memerlukan intubasi di kamar bersalin. Bayi-bayi ini adalah
yang menerima surfaktan dan yang tidak menunjukkan respon pada pemberian CPAP. Jika
intubasi diperlukan, posisi benar tube endotraakeal di ketahui dengan menggunakan alat yang
mendeteksi CO2 kolorimetrik, sebelum pemberian surfaktan dan penggunaan ventilator.20

4. Penatalaksanaan Umum
Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis agar bayi mampu
melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri
terhadap sekitarnya.9,16
Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:
1. Memberikan lingkungan yang optimal
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 - 370 C)
dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 -
80%).14,22 Semua usaha meresusitasi bayi haruslah dengan langkah mencegah terjadinya
hipotermia untuk meningkatkan angka kehiudpan. Selain radiant warmer, menyelubungi
bayi dengan plastik polietilen dapat menurunkan insiden hipotermia, terutama pada bayi
preterm.
2. Pemberian cairan dan nutrisi
Prinsip: Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan yang diberikan harus
cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis tubuh yang
adekuat. Pada hari - hari pertama diberikan glukosa 5 - 10 % dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan (60 - 125 ml / kgbb / hari). Asidosis metabolik
pada penderita, harus segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena.
Pemeriksaan keseimbangan asam - basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar
pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan mempergunakan rumus: kebutuhan
NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi. Pada pemberian NaHCO3 ini
bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35 - 7,45. Pada asidosis yang berat,
penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan
sudah cukup adekuat.3,9
Bila bayi sudah tidak lagi sesak, minimal enteral feeding dengan air susu dapat
diinisiasikan sesegera mungkin, dengan jumlah <20ml / kg / hari untuk membantu maturasi
dan meningkatkan fungsi saluran pencernaan bayi, meningkatkan berat badan bayi dan
memperpendek waktu perawatan di rumah sakit.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan parsial O2
diharapkan antara 50 - 70 mmHg. PaCO2 antara 45 - 60 mmHg (permissive hypercapnia).
pH diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88 - 92%
3. Pemberian oksigen
Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir.
Pemberian O2 yang terlalu tinggi dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan
seperti fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina (fibroplasi
retrolental / retinopathy of prematurity (ROP)) dan lain - lain.1 Untuk mencegah timbulnya
komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen,
sebaiknya diantara 85 - 93% dan tidak melebihi 95% untuk mengurangi terjadinya ROP
dan BPD.20
Terapi Oksigen sesuai dengan kondisi:
 Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup untuk
mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 - 70 mmHg untuk distres pernafasan
ringan.7,9
 Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi oksigen
inspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuous Positive Airway
Pressure) terindikasi.1,3 NCPAP merupakan metode ventilasi yang non - invasif.22
Penggunaan NCPAP sedini mungkin (early NCPAP) untuk stabilisasi bayi dengan
berat lahir sangat rendah (1000 – 1500 gram) di ruang persalinan juga
direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli.1 Penggunaan humidified high flow
nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai pengganti NCPAP sedang digalakkan di
beberapa negara karena memiliki keefektivitasan yang sama dengan NCPAP serta
dapat digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.7

5. Ventilator mekanik
Tujuan penggunaan ventilator adalah untuk memastikan perfusi pulmonal yang
berkesinambungan sehingga menurunkan resiko terjadinya trauma paru, dan menurunkan work
of breathing pasien. Kesulitannya adalah dalam menentukan ventilator yang paling sesuai
untuk menangani gagal nafas neonatus.23

Ventilator mekanis dibagi menjadi dua, yaitu: 25


1. Non invasif
Continuos positive airway pressure (CPAP) adalah memberikan tekanan yang
berkesinambungan pada alveoli sepanjang siklus respirasi, memastikan alveolar terus inflasi
dan mencegahnya dari kolaps, terutama pada akhir ekspirasi.23 Dulu CPAP digunakan melalui
selang endotrakeal, tapi kini CPAP bisa diberikan secara nasal. Keuntungan dalam
penggunaan CPAP adalah menghasilkan pola pernafasan yang regular, terutama pada bayi
preterm.25
CPAP terdiri atas tiga komponen, yaitu :
a. Sirkuit yang mensuplai gas inspirasi yang harus dalam keadaan hangat dan lembap secara
terus menerus.
b. Komponen yang menghubungkan komponen pertama dengan jalan nafas bayi. Yang sering
digunakan sekarang adalah selang binasal.
c. Komponen terakhir adalah alat yang menghasilkan tekanan positif.24
Gambar 18. CPAP

2. Invasif
Dibagi menjadi dua yaitu:
a. Konvensional
I. Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)
Dengan IMV tenaga medis dapat menentukan kadar di mana ventilator mekanis
memberikan nafas mekanis pada bayi, dimana ada interval regularnya. Ini
membolehkan bayi bernafas spontan antara dua jarak nafas buatan. Kekurangannya
adalah bayi sering bernafas tidak teratur dengan penggunaan IMV. Pertukaran gas
sangat bervariasi pada IMV, tergantung kondisi bayi bernafas dengan atau melawan
ventilator. Selain menyebabkan tidak effisiensinya proses pertukaran gas tapi juga bisa
mengakibatkan terperangkapnya udara.
II. Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (SIMV)
Ini adalah perbaikan dari IMV. Pada SIMV, onset dari nafas buatan ditentukan
berdasarkan onset dari nafas spontan jika terjadi dalam timing window. Contohnya, jika
kadar SIMV berdasarkan frekuensi nafas 30 kali / menit, siklus ventilator akan terjadi
setiap 2 detik. Pada setiap kali ventilator seharusnya memulai nafas buatan, ia akan
menunggu nafas spontan terlebih dahulu, jika nafas spontan didapatkan dalam timing
window
Gambar 19. Ventilator

III. Assist / Control Ventilation (A / C)


Pada A / C semua nafas spontan yang melebihi ambang batas akan menghasilkan nafas
buatan pada onset inspirasi (assist / membantu). Jika terjadi henti nafas atau ketidak
mampuan paru dalam menghasilkan nafas spontan maka nafas buatan akan diberikan
dengan kadar yang ditetapkan oleh tenaga medis (kontrol).23,24
b. Non Konvensional
Disebut juga dengan High-Frequency Ventilation (HFV), yaitu ventilator non - tidal
dimana volume pemberian gas lebih rendah dari anatomic dead space dan diberikan dengan
kadar yang sangat cepat. Terdiri atas dua jenis yaitu high - frequency jet ventilation dan
high - frequency oscillatory ventilation.23 Keuntungan dari penggunaan HFV adalah
pemberian volume gas yang rendah pada kadar yang cepat menghasilkan tekanan alveolar
yang lebih rendah dan menurunkan resiko terjadinya trauma paru akibat pemberian volume
dan tekanan yang eksesif. Pada ventilator konvensional, jantung dapat mengkompensasi
dengan pengisian cepat saat tekanan intrathoraks berada pada nilai paling rendah (PEEP).
Pada HFV, tekanan nafas rata - rata meningkat oleh itu, aliran balik vena menurun sehingga
jantung harus bekerja lebih kuat untuk menigkatkan volume inputnya.23
I. High frequency jet ventilation (HFJV)
Menggunakan injector jet yang diletakan di proksimal atau distal trakea, dimana gas
bervolume rendah dan kadar cepat diberikan melalui alat ini. Dengan HFJV, ekshalasi
pasif dapat terjadi dengan bantuan dari elastisitas recoil paru bayi itu sendiri.
II. High frequency oscillatory ventilation (HFOV)
Menggunakan piston atau diafragma untuk mengalirkan gas keluar dan masuk paru
melalui jalan nafas sehingga menghasilkan ekspirasi aktif. Dengan HFOV, tekanan
yang diberikan akan mengembangkan paru, menurunkan ketidakseimbangan perfusi -
ventilasi, dan meningkatkan luas permukaan alveolar untuk pertukaran gas.24

6. Terapi Surfaktan
Terapi surfaktan sudah digunakan selama lebih dari dua dekade. Dapat digunakan sebagai
pencegahan dan pengobatan pada bayi dengan resiko HMD, untuk mengurangi resiko
timbulnya pneumotoraks dan timbulnya kematian.

Pemberian surfaktan profilaksis versus surfaktan rescue


Surfaktan profilaksis, atau preventif merupakan pemberian surfaktan secara intratrakeal
pada bayi dengan risiko tinggi untuk terjadinya gawat nafas setelah resusitasi dini dalam 10 -
30 menit setelah kelahiran. Pemberian surfaktan rescue dibagi lagi menjadi 2 yaitu, rescue dini
yaitu pemberian surfaktan dalam 1 - 2 jam setelah kelahiran dan rescue lambat yaitu pemberian
lebih dari 2 jam setelah kelahiran. Bayi yang lahir dengan usia gestasi <30 minggu memberikan
perbaikan setelah diberikan surfaktan profilaksis dan rescue. Akan tetapi, bayi prematur yang
diterapi dengan surfaktan profilaksis terbukti memiliki insidensi yang lebih rendah dalam
terjadinya sindrom gawat nafas.20,26

Dosis Surfaktan
Survanta (bovine surfactant) diberikan dengan dosis total 4mL / kgbb intratrakea
(masing - masing 1mL / kgbb untuk lapangan paru depan kiri dan kanan serta paru belakang
kiri dan kanan), terbagi dalam beberapa kali pemberian, biasanya 4 kali (masing - masing ¼
dosis total atau 1 ml/kg). Dosis total 4ml / kgbb dapat diberikan dalam jangka waktu 48 jam
pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antara pemberian. Bayi tidak perlu
dimiringkan ke kanan dan ke kiri setelah pemberian surfaktan, karena surfaktan akan menyebar
sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan
nafas yang disebabkan oleh viskositas obat. Efek samping dapat berupa perdarahan dan infeksi
paru.26
Terdapat beberapa jenis preparat surfaktan yang dapat diberikan untuk neonates dengan
sindrom gawat nafas, antara lain surfaktan sintetik (protein - free) dan natural (diambil dari
paru hewan). Surfaktan natural lebih baik dari preparat sintetik dalam mengurangi pulmonary
air leaks dan mortalitas. Surfaktan natural merupakan terapi pilihan di Eropa.20,26,27
Pada penelitian dengan pemilihan sampel random, didapatkan bahwa pemberian 2 dosis
surfaktan memberikan hasil yang lebih baik daripada dosis tunggal dan pada studi lain
mendapatkan bahwa pemberian 3 dosis dibandingkan dengan pemberian dosis tunggal dapat
menurunkan mortalitas (13% vs 21%) dan pulmonary air leaks ( 9% vs 18%). Terapi surfaktan
selama lebih dari beberapa hari pertama kehidupan bayi memberikan respons langsung dan
tidak terbukti adanya perbedaan pada efek jangka panjang. 20

Gambar 20. Sediaan Survanta (bovine surfactant)

Generik Trade Source Manufacturer Dose (mg / kg / dose)


Name Name
Bovactanat Alveofact Bovine Lyomark 50 (1,2 ml / kg)
® (Germany)
BLES BLES® Bovine BLES 135 (5 ml / kg)
Biochemicals
(Canada)
Poractant alfa Curosurf® Porcine Chiesi 100 - 200 (1,25-2,5 ml /
Farmaceutici (Italy) kg)
Colfosceril Exosurf® Synthetic GlaxoSmithKline 64 (5ml / kg)
palmitate (USA)
Calfactant Infasurf® Bovine ONY Inc. (USA) 105 (3ml / kg)
Tabel 2. Preparat surfaktan20
Surfactant Initial Phospholipid Dosing Maximum Surfactant
Preparation Dose Interval Dose Protein B

Surfanta 4 ml/kg 25 mg/ml 6 jam 4 Trace

Infasurf 3 ml/kg 35 mg/ml 12 jam 3 0,26 mg/ml

Corosurf 2,5 ml/kg 80 mg/ml 12 jam 3 0,3 mg/ml

Tabel 3. Dosis Surfaktan20

7. Menghindari atau mengurangi lama penggunaan ventilator


Terdapat hubungan yang jelas antara pemakain ventilator yang menggunakan tube
endotrakeal dan perkembangan lebih lanjut dari BPD.20 Intervensi dirancang untuk
memperpendek penggunaan ventilator. Weaning atau pelepasan dari ventilator harus
dimulakan apabila ada bukti penurunan bantuan ventilasi seperti perbaikan compliance,
penurunan kebutuhan FiO2, meningkatnya jumlah produksi urin dan nilai PaCO2 yang
berkurang.23

Terapi Kafein
Methylxanthine telah lama digunakan untuk tatalaksana bayi preterm yang apnoe dan
memfasilitasi extubasi dari pemakaian ventilator mekanis. Berdasarkan suatu penelitian pada
bayi preterm dengan berat baru lahir <1250gram, bayi yang mendapat terapi kafein dapat
dilepaskan penggunaan ventilator seminggu lebih awal dari bayi yang tidak mendapat terapi
kafein.Selain itu, terapi kafein juga dapat menurunkan resiko terjadinya BPD.23

Permissive Hypercapnia
Toleransi penigkatan PaCO2 sselama pelepasan alat atau weaning, telah dicobakan
untuk memfasilitasi extubasi lebih awal. Toleransi hiperkapnia sedang dan asidosis respiratorik
dalam usaha untuk menurunkan duarsi pemakaian ventilator. Pada sebuah penelitian di
Canada, implementasi protocol weaning dapat mempercepat extubasi pertama dan menurkan
jangka waktu penggunaan ventilator. Protokol tersebut merekomendasi toleransi pH 7,22 pada
lima hari pertama dan diturunkan lagi menjadi 7,20 setelah itu.20
Aggressive Weaning
Setelah bayi distabilkan dengan ventilator, bayi dengan HMD akan dilepaskan dari
ventilator secara agressif agar extubasi dapat dilakukan dengan aman dan hasil analisa gas
darah setelah extubasi dalam batas normal. Extubasi mungkin berhasil dengan tekanan saluran
nafas rata-rata 6-7cmH20 dengan ventilator konvensional dan tekanan 8-9cmH20 pada HFOV.
Menjaga bayi premature agar tetap stabil pada tekanan rendah di ventilator untuk jangka waktu
yang lama tidak meningkatkan kemungkinan keberhasilan extubasi.20,23

8. Pemberian Antibiotika
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder.1 Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas, biasanya
dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin 3mg / kgBB
untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian
antibiotika dihentikan.15
Selain itu, pneumonia congenital juga bisa menyerupai HMD. Oleh karena itu,
dianjurkan semua bayi dengan sindroma distress pernafasan untuk menjalani kultur darah, dan
mencari tanda - tanda sepsis lain seperti neitropenia atau meningkatnya protein C reaktif
Regimen yang sering dipakai adalah penisilin atau ampisilin dan dikombinasikan dengan
aminoglikosida, namun setiap rumah sakit mempunyai protocol tersendirinya berdasarkan
profil pathogen yang ditemukan di daerahnya.3,20

9. Tatalaksana dan pencegahan duktus arteriosus persisten (PDA)


Insiden PDA tinggi pada bayi premature dan sering menimbulkan masalah dalam
penanganan HMD. Pemberian indomethacin profilaksis dapat menurunkan resiko terjadinya
PDA. Indomethacin atau ibuprofen dapat digunakan untuk menstimulasi penutupan duktus
arteriosus. Tanda PDA adalah hipotensi (terutama tekanan darah diastolic yang amat rendah).20
Gambar 21. Algoritma untuk penanganan distress pernafasan
Daftar Pustaka
1. Schraufnagel D E Breathing in America: Diseases, Progress, and Hope. American
Thoracic Society. 2010. Chapter 19, 197-205.
2. Smith J H. Neonatal Respiratory Care Handbook. Jones and Bartlett Publishers. 2009.
Chapter 2, 37-52
3. Gommela. T.L, Cunningham.M.D, Eyal. F.G, Neonatology management, procedur, on-
call problems, disease, and drugs.Edisi 6. Lange. chapter 89 : Hyalin membran disease.
2004. 477-481.
4. Dzulfikar DLH, Ali Usman, Melinda D Nataprawira and ArisPrimaldi. The prevalence
of hyaline membrane disease and the value of shake test and lamellar body
concentration in preterm infants. Paediatrica Indonesiana. 2003. Volume 43 No. 5-6:77-
81
5. Rennie. J, Roberton. N, Textbook of neonatology. Edisi 3.Part 2: Acute Respiratory
Disease In The Newborn. UK. 1999. hal. 481-514
6. Numan Nafie Hameed ,Muhi K. Al-Janabi, Yasser Ibrahim AL-Reda.Respiratory
distress in full term newborns.The Iraqi Postgraduate medical journal. Vol.6, No. 3,
2007
7. Miall Lawrence, Wallis Sam, “The management of respiratory distress in the
moderately preterm newborn infant”, Neonatal Intensive Care Unit, Leeds Teaching
Hospitals NHS Trust, Leeds, UK. Dipublikasi pada tanggal 28 Februari 2011.
8. Oommen P. Mathew, “Chapter 10: Respiratory Distress Syndrome: Impact of
Surfactant Therapy and Antenatal Steroid”, buku Innovations in Neonatal-perinatal
Medicine Innovative Technologies and Therapies That Have Fundamentally Changed
the Way We Deliver Care for the Fetus and the Neonate. Dipublikasi tahun 2011.
9. Latief Abdul dr., Napitupulu Partogi M dr., Pudjiadi Antonius dr., Ghazali Vinci
Muhammad dr, Putra Tulus Sukman dr, “Penyakit Membran hialin”, buku Ilmu
Kesehatan Anak jilid 3 FKUI hal. 1083 – 1087
10. Sweet David G, Carnielli Virgilio, Greisen Gorm, dkk, “European Consensus
Guidelines on the Management of Neonatal Respiratory Distress Syndrome in Preterm
Infants – 2010 Update”. Dipublikasi pada tanggal 10 Juni 2010.
11. A.L.Baert, M. Knauth, K.Sarter. Radiological imaging of the neonatal chest. 2007.
Chapter 4: Hyalin membran disease and complication of its treatment. 67-79.
12. Surg Cdr SS Mathai, Col. U Raju, Col M. Kanitkar. Management of respiratory distress
in the newborn. MJAFI 2007; 63 : 269-272
13. Arun K Pramanik, MD, MBBS; Chief Editor: Ted Rosenkrantz. Repiratory distress
syndrome. Di tinjau tanggal 25 Juli 2013. Dapat di tinjau di :
http://emedicine.medscape.com/article/976034-overview

14. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah. Sindrom Gawat Nafas Pada Neonatus,
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI, Jakarta, 1991, hal. 1-7. 55.
65-66.
15. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar, M.R, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal. 591-599.
16. Nur. A, Risa Etika, Sylviati M. Damanik, Fatimah Indarso, Agus Harianto. Pemberian
surfaktan pada bayi prematur dengan respiratory distress syndrome, SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK.UNAIR/RSUD Dr. Soetomo. 2006.
17. Numan Nafie Hameed ,Muhi K. Al-Janabi, Yasser Ibrahim AL-Reda.Respiratory
distress in full term newborns.The Iraqi Postgraduate medical journal. Vol.6, No. 3,
2007
18. Pudjiadi antonius. Hegar badriul. Handriastuti S. Idris Salamia. Gandaputra E.
Harmoniati E. “penyakit membran hyalin”, buku pedoman pelayanan medis IDAI jilid
1.238-242.
19. Sandra Lee Gardner , Brian S. Carter , Mary I Enzman-Hines RN PhD AHN-BC ,
Jacinto A. Hernandez . Merenstein & Gardner's Handbook of Neonatal Intensive Care.
The Regents of the University of California. 2004. 79-80.
20. Sweet DG, Cernielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, et al. European
Consensus Guidelines on the Management of Neonatal Respiratory Distress Syndrome
in Preterm Infants-2010 Updates. Neonatalogy 2010, 97:402-417
21. Liu J, Shi Y, Dong J, Zheng T, Li J, Lu L, Liu J, Liang J, Zhang H and Feng Z. Clinical
characteristics, diagnosis and management of respiratory distress syndrome in full-term
neonates. Chin Med J 2010;123(19):2640-2644.
22. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
23. William Benitz. Mechanical Ventilation.2004. Part 3-B-Respiratory 127-135
24. Steven M Donn and Sunil K Sinha. Respiratory Care : Invasive and Noninvasive
Neonatal Mechanical Ventilation. 2003. Volume 48 Chapter 4, 426-441
25. Cartwright.D, Beaumont.T. Management of neonatal respiratory distress incorporating
the administration of continuous positive airway pressure (CPAP).Queensland
Maternity and Neonatal Clinical Guidelines.September 2009
26. Atul Kr Gupta. The child and the newborn.Neonatolgy: Surfactant replacement therapy
Vol.16, No.1 & 2, January - June 2012.17-20
27. Zimmerman L. J.I, Janssen D.J.M.T, Tibboel D.,Hamvas A., Carnielli V.P. Surfactant
metabolism in the neonate. 2005. Biology of the neonate 2005;87:296-307

Anda mungkin juga menyukai