Definisi
HMD atau respiratory distress syndrome (RDS) adalah gangguan respirasi yang
ditemukan pada bayi prematur akibat kurangnya surfaktan sehingga mengakibatkan kolapsnya
alveoli.1
Epidemiologi
HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi premature, di Amerika Serikat
sekitar 12% bayi lahir prematur, sekitar 10% bayi prematur menderita HMD setiap tahunnya.
Insiden meningkat pada negara berkembang.
Insiden HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian, laki-laki, riwayat
saudara sebelumnya yang menderita RDS, lahir melalui sectio secaria, asfiksia dan ibu diabetes
melitus. Pada tahun 2003, di Amerika serikat terdapat 4 juta kelahiran setiap tahunnya, dan 6%
kelahiran berkembang menjadi RDS. Pada tahun 2005 terjadi peningkatan kasus RDS dari
11,6% menjadi 12,7%, mayoritas disebabkan karena kelahiran kurang bulan.2,3
Berdasarkan penelitian di Rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2001, dari
41 bayi yang lahir preterm, 14 bayi mengalami sindrom gawat nafas, dan 7 bayi didiagnosa
HMD. Semuanya lahir dari kehamilan kecil dari 32 minggu. Hal itu menunjukan prevalensi
HMD pada bayi preterm sebesar 17%.4
Faktor Predisposisi
a. Prematuritas
Kasus ini sering ditemukan pada usia kehamilan dibawah 30 minggu sebab sintesis
surfakatan mulai terjadi pada usia kehamilan 24-28 minggu.3,4,5
b. Jenis kelamin
Laki-laki lebih sering menderita HMD dibandingkan perempuan dan lebih tinggi untuk
terjadinya kematian. Sebab pada bayi laki-laki maturasi lesitin, spyngomielin, serta
pembentukan fosfatidil gliserol lambat akibat efek androgen.4,5
c. Ras
Insiden HMD lebih rendah pada kulit hitam di bandingkan kulit putih, yaitu 60-70%. Pada
bayi dengan usia kehamilan kurang dari 32 minggu, 40% dari bayi kulit hitam menderita
HMD sedangkan insiden pada kulit putih 75%.5
d. Sectio secaria
Menurut beberapa penilitian, apabila tindakan sectio secaria dilakukan sebelum masuknya
proses persalinan dapat meningkatkan resiko timbulnya HMD sebab ketika proses
persalinan produksi cairan paru berkurang, 1/3 cairan paru dikeluarkan akibat penekanan
pada dada ketika proses persalinan pervaginam berlangsung.
e. APGAR skor
Bayi premature dengan APGAR skore <5 memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk
terjadinya HMD dibandingkan bayi dengan APGAR skore >5.5
f. Ibu dengan diabetes melitus
Insulin dapat memperlambat maturasi sel alveolar tipe 2 dan menurunkan phospatidilcolin,
yang merupakan fosfolipid yang penting dalam sintesa surfaktan.6
g. Hipotiroid
Aktivitas hormon tiroid penting dalam perkembangan sistem surfaktan pada masa prenatal.
Berdasarkan penelitian, bayi preterm yang menderita HMD memiliki kadar hormon tiroid
rendah.5
Patofisiologi
Berbagai teori telah dikemukakan sebagai penyebab kelainan ini. Pembentukan
substansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru, merupakan salah satu teori yang
banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang memegang peranan dalam pengembangan paru dan
merupakan suatu kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat, dan lemak. Senyawa utama
zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22 – 24 minggu dan mencapai
maksimum pada minggu ke-35.
Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran setan yang
terdiri dari: atelektasis hipoksia asidosis transudasi penurunan aliran darah paru
hambatan pembentukan substansi surfaktan atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus
sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi.9
Imaturitas dari paru janin dapat dilihat dari analisa cairan amnion, dari rasio lecithin
– sphingomyelin (L/S ratio <2:1), phosphatidylglycerol, atau lamellar bodies.10
Pemeriksaan Penunjang
2. Pulse Oximetry
Pulse Oximetry adalah tindakan non-invansif yang digunakan untuk memantau saturasi
oksigen dalam darah, dimana saturasi dipertahankan pada nilai 90 - 95 %. Akan tetapi alat ini
tidak dapat mendeteksi terjadinya hiperoksia. Pada metode konvensional digunakan metode
monitoring in-line arterial PaO2 dan monitoring transkutaneus. Monitoring transkutaneus CO2
seharusnya dgunakan pada infant dengan HMD untuk memonitor ventilasi yang berhubungan
dengan PaCO2.
3. Gambaran Radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto Rontgen toraks.
Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain yang
diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks,
hernia diafragmatika, dan lain-lain.14
Foto toraks posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial
Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit membran hialin. Gambaran yang
khas berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan ground glass appearance,
disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air bronchogram).15
Terdapat 4 stadium:
o Stadium 1: pola retikulogranular (ground glass appearance)
o Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram
o Stadium 3: stadium 2 + batas jantung-paru kabur
o Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance
Gambar 7 dan 8. HMD dengan gambaran ground glass appearance (kiri) dan air
bronchogram (kanan)
Gambar 9 dan 10. HMD dengan gambaran batas jantung-paru kabur (kiri) dan white
lung appearance (kanan)
Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan interval sesuai indikasi. Pada
pasien dapat ditemukan pneumotoraks sekunder karena pemakaian ventilator, atau terjadi
bronchopulmonary Displasia (BPD) setelah pemakaian ventilator jangka lama.
Diagnosis
Anamnesis
Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM
Riwayat persalinan yang mengaalami asfiksia perinatal (gawat janin)
Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membrane hialin
Pemeriksaan fisik
Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan
Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala:
o Takipnea (frekuensi nafas >60x/menit)
o Grunting atau nafas merintih
o Retraksi dinding dada
o Kadang dijumpai sianosis (pada udara ruangan)
Perhatikan tanda prematuritas
Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru
Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya bayi, adanya
infeksi dan derajat dari pirau PDA
Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48 - 96 jam15
Diagnosis dari HMD dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen toraks dengan gambaran
khas/klasik yaitu ground glass appearance dan air bronchograms. Menurut Vermont Oxford
Neonatal Network definisi dari PMH selain gambaran khas dari rontgen torak memerlukan
PaO2 <50 mmHg pada udara ruangan, cyanosis sentral pada udara ruangan atau keadaan bayi
memerlukan suplimentasi oksigen tambahan untuk mempertahankan PaO2 >50 mmHg.2,3,18
Diagnosis Banding
Penyakit Gejala Radiologi
HMD Sianosis, apnea, nafas cuping Ateletaksis, air broncogram,
hidung, infitrat granular
TTN Takipnea segera setelah lahir, Hiperexpansi perihiler
retraksi, merintih pulmonal, peningkatan
corakan vaskuler pulmonal,
infitrat sudut costofrenikus
tumpul
Aspirasi Mekonium Takipnea, nafas cuping hidung, Infitrat kasar bilateral,
retraksi, sianosis, mekonium hiperinflasi paru
stained skin
Tabel 1. Perbedaan sindrom gawat nafas2
Penatalaksanaan
1. Perawatan Antenatal
Intervensi untuk mencegah terjadinya HMD harus dimulai sebelum kelahiran dan
melibatkan bagian anak dan kebidanan. Secara umum sekresi surfaktan meningkat selama
proses persalinan, oleh karena itu operasi sectio caesaria elektif tidak dianjurkan. Bayi preterm
yang berisiko untuk terjadinya HMD seharusnya dilahirkan di tempat yang memiliki tenaga
ahli dan fasilitas yang dilengkapi dengan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dan
ventilator mekanik. Untuk bayi yang usia gestasi kurang dari 27 minggu, kemungkinan untuk
meninggal pada tahun pertama kehidupan berkurang bila dilahirkan di rumah sakit yang
memiliki Neonatal Intensif Care Unit (NICU). Pemanfaan obat tokolitik dapat digunakan untuk
menunda persalinan sementara agar ibu dapat dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas
NICU.20,21
2. Pemberian Kortikosteroid pada Ibu
Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan resiko kematian pada neonatal.
Keberhasilan pemberian steroid hanya terlihat pada bayi preterm yang ibunya menerima dosis
pertama steroid 1 - 7 hari sebelum persalinan. Betamethason dan Dexamethason digunakan
untuk meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian steroid antenatal direkomendasikan
pada semua kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm. Dosis tunggal pemberian
betamethason adalah 12 mg. Interval optimal untuk memulai terapi berdasarkan taksiran
persalinan adalah >24 jam dan <7 hari. Tidak ada bukti yang jelas menunjukkan pemberian
dosis ulangan dapat menigkatkan keberhasilan efek kortikosteroid.3,20
Hanya sebagian kecil bayi memerlukan intubasi di kamar bersalin. Bayi-bayi ini adalah
yang menerima surfaktan dan yang tidak menunjukkan respon pada pemberian CPAP. Jika
intubasi diperlukan, posisi benar tube endotraakeal di ketahui dengan menggunakan alat yang
mendeteksi CO2 kolorimetrik, sebelum pemberian surfaktan dan penggunaan ventilator.20
4. Penatalaksanaan Umum
Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis agar bayi mampu
melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat mengadakan adaptasi sendiri
terhadap sekitarnya.9,16
Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:
1. Memberikan lingkungan yang optimal
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5 - 370 C)
dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat (70 -
80%).14,22 Semua usaha meresusitasi bayi haruslah dengan langkah mencegah terjadinya
hipotermia untuk meningkatkan angka kehiudpan. Selain radiant warmer, menyelubungi
bayi dengan plastik polietilen dapat menurunkan insiden hipotermia, terutama pada bayi
preterm.
2. Pemberian cairan dan nutrisi
Prinsip: Pada fase akut, harus diberikan melalui intravena. Cairan yang diberikan harus
cukup untuk menghindarkan dehidrasi dan mempertahankan homeostasis tubuh yang
adekuat. Pada hari - hari pertama diberikan glukosa 5 - 10 % dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan (60 - 125 ml / kgbb / hari). Asidosis metabolik
pada penderita, harus segera diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena.
Pemeriksaan keseimbangan asam - basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar
pemberian NaHCO3 dapat disesuaikan dengan mempergunakan rumus: kebutuhan
NaHCO3 (mEq) = deficit basa x 0,3 x berat badan bayi. Pada pemberian NaHCO3 ini
bertujuan untuk mempertahankan pH darah antara 7,35 - 7,45. Pada asidosis yang berat,
penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai apakah basa yang diberikan
sudah cukup adekuat.3,9
Bila bayi sudah tidak lagi sesak, minimal enteral feeding dengan air susu dapat
diinisiasikan sesegera mungkin, dengan jumlah <20ml / kg / hari untuk membantu maturasi
dan meningkatkan fungsi saluran pencernaan bayi, meningkatkan berat badan bayi dan
memperpendek waktu perawatan di rumah sakit.
Analisis gas darah dilakukan berulang untuk manajemen respirasi. Tekanan parsial O2
diharapkan antara 50 - 70 mmHg. PaCO2 antara 45 - 60 mmHg (permissive hypercapnia).
pH diharapkan tetap diatas 7,25 dengan saturasi oksigen antara 88 - 92%
3. Pemberian oksigen
Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi yang baru lahir.
Pemberian O2 yang terlalu tinggi dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diinginkan
seperti fibrosis paru (bronchopulmonary dysplasia (BPD)), kerusakan retina (fibroplasi
retrolental / retinopathy of prematurity (ROP)) dan lain - lain.1 Untuk mencegah timbulnya
komplikasi ini, pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan saturasi oksigen,
sebaiknya diantara 85 - 93% dan tidak melebihi 95% untuk mengurangi terjadinya ROP
dan BPD.20
Terapi Oksigen sesuai dengan kondisi:
Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang cukup untuk
mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 - 70 mmHg untuk distres pernafasan
ringan.7,9
Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi oksigen
inspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal Continuous Positive Airway
Pressure) terindikasi.1,3 NCPAP merupakan metode ventilasi yang non - invasif.22
Penggunaan NCPAP sedini mungkin (early NCPAP) untuk stabilisasi bayi dengan
berat lahir sangat rendah (1000 – 1500 gram) di ruang persalinan juga
direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli.1 Penggunaan humidified high flow
nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai pengganti NCPAP sedang digalakkan di
beberapa negara karena memiliki keefektivitasan yang sama dengan NCPAP serta
dapat digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.7
5. Ventilator mekanik
Tujuan penggunaan ventilator adalah untuk memastikan perfusi pulmonal yang
berkesinambungan sehingga menurunkan resiko terjadinya trauma paru, dan menurunkan work
of breathing pasien. Kesulitannya adalah dalam menentukan ventilator yang paling sesuai
untuk menangani gagal nafas neonatus.23
2. Invasif
Dibagi menjadi dua yaitu:
a. Konvensional
I. Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)
Dengan IMV tenaga medis dapat menentukan kadar di mana ventilator mekanis
memberikan nafas mekanis pada bayi, dimana ada interval regularnya. Ini
membolehkan bayi bernafas spontan antara dua jarak nafas buatan. Kekurangannya
adalah bayi sering bernafas tidak teratur dengan penggunaan IMV. Pertukaran gas
sangat bervariasi pada IMV, tergantung kondisi bayi bernafas dengan atau melawan
ventilator. Selain menyebabkan tidak effisiensinya proses pertukaran gas tapi juga bisa
mengakibatkan terperangkapnya udara.
II. Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (SIMV)
Ini adalah perbaikan dari IMV. Pada SIMV, onset dari nafas buatan ditentukan
berdasarkan onset dari nafas spontan jika terjadi dalam timing window. Contohnya, jika
kadar SIMV berdasarkan frekuensi nafas 30 kali / menit, siklus ventilator akan terjadi
setiap 2 detik. Pada setiap kali ventilator seharusnya memulai nafas buatan, ia akan
menunggu nafas spontan terlebih dahulu, jika nafas spontan didapatkan dalam timing
window
Gambar 19. Ventilator
6. Terapi Surfaktan
Terapi surfaktan sudah digunakan selama lebih dari dua dekade. Dapat digunakan sebagai
pencegahan dan pengobatan pada bayi dengan resiko HMD, untuk mengurangi resiko
timbulnya pneumotoraks dan timbulnya kematian.
Dosis Surfaktan
Survanta (bovine surfactant) diberikan dengan dosis total 4mL / kgbb intratrakea
(masing - masing 1mL / kgbb untuk lapangan paru depan kiri dan kanan serta paru belakang
kiri dan kanan), terbagi dalam beberapa kali pemberian, biasanya 4 kali (masing - masing ¼
dosis total atau 1 ml/kg). Dosis total 4ml / kgbb dapat diberikan dalam jangka waktu 48 jam
pertama kehidupan dengan interval minimal 6 jam antara pemberian. Bayi tidak perlu
dimiringkan ke kanan dan ke kiri setelah pemberian surfaktan, karena surfaktan akan menyebar
sendiri melalui pipa endotrakeal. Selama pemberian surfaktan dapat terjadi obstruksi jalan
nafas yang disebabkan oleh viskositas obat. Efek samping dapat berupa perdarahan dan infeksi
paru.26
Terdapat beberapa jenis preparat surfaktan yang dapat diberikan untuk neonates dengan
sindrom gawat nafas, antara lain surfaktan sintetik (protein - free) dan natural (diambil dari
paru hewan). Surfaktan natural lebih baik dari preparat sintetik dalam mengurangi pulmonary
air leaks dan mortalitas. Surfaktan natural merupakan terapi pilihan di Eropa.20,26,27
Pada penelitian dengan pemilihan sampel random, didapatkan bahwa pemberian 2 dosis
surfaktan memberikan hasil yang lebih baik daripada dosis tunggal dan pada studi lain
mendapatkan bahwa pemberian 3 dosis dibandingkan dengan pemberian dosis tunggal dapat
menurunkan mortalitas (13% vs 21%) dan pulmonary air leaks ( 9% vs 18%). Terapi surfaktan
selama lebih dari beberapa hari pertama kehidupan bayi memberikan respons langsung dan
tidak terbukti adanya perbedaan pada efek jangka panjang. 20
Terapi Kafein
Methylxanthine telah lama digunakan untuk tatalaksana bayi preterm yang apnoe dan
memfasilitasi extubasi dari pemakaian ventilator mekanis. Berdasarkan suatu penelitian pada
bayi preterm dengan berat baru lahir <1250gram, bayi yang mendapat terapi kafein dapat
dilepaskan penggunaan ventilator seminggu lebih awal dari bayi yang tidak mendapat terapi
kafein.Selain itu, terapi kafein juga dapat menurunkan resiko terjadinya BPD.23
Permissive Hypercapnia
Toleransi penigkatan PaCO2 sselama pelepasan alat atau weaning, telah dicobakan
untuk memfasilitasi extubasi lebih awal. Toleransi hiperkapnia sedang dan asidosis respiratorik
dalam usaha untuk menurunkan duarsi pemakaian ventilator. Pada sebuah penelitian di
Canada, implementasi protocol weaning dapat mempercepat extubasi pertama dan menurkan
jangka waktu penggunaan ventilator. Protokol tersebut merekomendasi toleransi pH 7,22 pada
lima hari pertama dan diturunkan lagi menjadi 7,20 setelah itu.20
Aggressive Weaning
Setelah bayi distabilkan dengan ventilator, bayi dengan HMD akan dilepaskan dari
ventilator secara agressif agar extubasi dapat dilakukan dengan aman dan hasil analisa gas
darah setelah extubasi dalam batas normal. Extubasi mungkin berhasil dengan tekanan saluran
nafas rata-rata 6-7cmH20 dengan ventilator konvensional dan tekanan 8-9cmH20 pada HFOV.
Menjaga bayi premature agar tetap stabil pada tekanan rendah di ventilator untuk jangka waktu
yang lama tidak meningkatkan kemungkinan keberhasilan extubasi.20,23
8. Pemberian Antibiotika
Setiap penderita penyakit membran hialin perlu mendapat antibiotika untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder.1 Pemberian antibiotik dimulai dengan spektrum luas, biasanya
dimulai dengan ampisilin 50mg/kgBB intravena setiap 12 jam dan gentamisin 3mg / kgBB
untuk bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram. Jika tak terbukti ada infeksi, pemberian
antibiotika dihentikan.15
Selain itu, pneumonia congenital juga bisa menyerupai HMD. Oleh karena itu,
dianjurkan semua bayi dengan sindroma distress pernafasan untuk menjalani kultur darah, dan
mencari tanda - tanda sepsis lain seperti neitropenia atau meningkatnya protein C reaktif
Regimen yang sering dipakai adalah penisilin atau ampisilin dan dikombinasikan dengan
aminoglikosida, namun setiap rumah sakit mempunyai protocol tersendirinya berdasarkan
profil pathogen yang ditemukan di daerahnya.3,20
14. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah. Sindrom Gawat Nafas Pada Neonatus,
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI, Jakarta, 1991, hal. 1-7. 55.
65-66.
15. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar, M.R, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal. 591-599.
16. Nur. A, Risa Etika, Sylviati M. Damanik, Fatimah Indarso, Agus Harianto. Pemberian
surfaktan pada bayi prematur dengan respiratory distress syndrome, SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK.UNAIR/RSUD Dr. Soetomo. 2006.
17. Numan Nafie Hameed ,Muhi K. Al-Janabi, Yasser Ibrahim AL-Reda.Respiratory
distress in full term newborns.The Iraqi Postgraduate medical journal. Vol.6, No. 3,
2007
18. Pudjiadi antonius. Hegar badriul. Handriastuti S. Idris Salamia. Gandaputra E.
Harmoniati E. “penyakit membran hyalin”, buku pedoman pelayanan medis IDAI jilid
1.238-242.
19. Sandra Lee Gardner , Brian S. Carter , Mary I Enzman-Hines RN PhD AHN-BC ,
Jacinto A. Hernandez . Merenstein & Gardner's Handbook of Neonatal Intensive Care.
The Regents of the University of California. 2004. 79-80.
20. Sweet DG, Cernielli V, Greisen G, Hallman M, Ozek E, Plavka R, et al. European
Consensus Guidelines on the Management of Neonatal Respiratory Distress Syndrome
in Preterm Infants-2010 Updates. Neonatalogy 2010, 97:402-417
21. Liu J, Shi Y, Dong J, Zheng T, Li J, Lu L, Liu J, Liang J, Zhang H and Feng Z. Clinical
characteristics, diagnosis and management of respiratory distress syndrome in full-term
neonates. Chin Med J 2010;123(19):2640-2644.
22. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306.
23. William Benitz. Mechanical Ventilation.2004. Part 3-B-Respiratory 127-135
24. Steven M Donn and Sunil K Sinha. Respiratory Care : Invasive and Noninvasive
Neonatal Mechanical Ventilation. 2003. Volume 48 Chapter 4, 426-441
25. Cartwright.D, Beaumont.T. Management of neonatal respiratory distress incorporating
the administration of continuous positive airway pressure (CPAP).Queensland
Maternity and Neonatal Clinical Guidelines.September 2009
26. Atul Kr Gupta. The child and the newborn.Neonatolgy: Surfactant replacement therapy
Vol.16, No.1 & 2, January - June 2012.17-20
27. Zimmerman L. J.I, Janssen D.J.M.T, Tibboel D.,Hamvas A., Carnielli V.P. Surfactant
metabolism in the neonate. 2005. Biology of the neonate 2005;87:296-307