Anda di halaman 1dari 110

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSHIP

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DAN KELAINAN LETAK JANTUNG


SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA PNEUMONIA DAN ANEMIA
PADA ANAK

Pembimbing
Dokter Staf Ahli Bagian Ilmu Kesehatan Anak
dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc, Sp.A

Pendamping
dr. M. Pratiknyo

Disusun oleh :
dr. Ruth Angelia Putri T.

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DEPARTEMEN KESEHATAN KABUPATEN SEMARANG
RSUD AMBARAWA
2020

1
LAPORAN KASUS PENYAKIT JANTUNG BAWAAN DAN
KELAINAN LETAK JANTUNG SEBAGAI FAKTOR RISIKO
TERJADINYA PNEUMONIA DAN ANEMIA PADA ANAK

Topik : Medik
Kasus : Dextrocardia + VSD besar + Pneumonia + Anemia
Oleh : dr. Ruth Angelia Putri T.
Pendamping : dr. Pratiknyo
Objektif : Ilmu Kesehatan Anak
Deskripsi : Seorang Anak Umur 2 Bulan dengan Ventricle Septal Defect (VSD)
+ Dextrocardia Suspect Situs Inversus + Pneumonia Berat + Anemia
Tujuan : Mampu mengidentifikasi dan melakukan pengelolaan dasar pada
kasus VSD, Dextrocardia, Pneumonia dan Anemia pada anak
Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka dan Kasus
Cara Membahas : Diskusi

Ambarawa, 23 Juni 2019


Ambarawa, Juli 2020
Dokter Staf Ahli Ilmu Kesehatan Anak Dokter pendamping

dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc, Sp.A dr. Pratiknyo

2
BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS
Pada tanggal Juli 2020 telah dipresentasikan laporan kasus oleh:
Nama : dr. Ruth Angelia Putri T.
Judul : Penyakit Jantung Bawaan dan Kelainan Letak Jantung Sebagai
Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia Dan Anemia Pada Anak :
SEORANG ANAK UMUR 2 BULAN DENGAN VENTRICLE
SEPTAL DEFECT (VSD) + DEXTROCARDIA SUSPECT
SITUS INVERSUS + PNEUMONIA BERAT
Topik : Ilmu Kesehatan Anak
Wahana : RSUD AMBARAWA
No Nama Tanda Tangan
1 dr. Tundjungsari Ratna Utami, M.Sc, Sp.A
2 dr. Kemalasari
3 dr. Pratiknyo
4 dr. Ruth Angelia Putri T.
5 dr.
6 dr.
7 dr.
8 dr.
9 dr.
10 dr.
11 dr.
12 dr.
13 dr.
14 dr.
15 dr.
16
17
18

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, yang


disebabkan oleh mikroorganisme, aspirasi dari cairan lambung, benda asing,
hidrokarbon, bahan-bahan lipoid dan reaksi hipersensitivitas.1,2 Secara global,
pneumonia merupakan penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak
usia kurang dari 5 tahun.3 Diestimasikan terdapat 120 juta kasus pneumonia di
seluruh dunia setiap tahunnya, yang mengakibatkan 1,3 juta kematian.4
Penyebab kematian anak dengan usia kurang dari 2 tahun di negara
berkembang hampir sebesar 80% disebabkan oleh pneumonia.5 Tingkat
kematian anak dibawah usia lima tahun di sebagian besar negara berkembang
berkisar 60-100 per 1000 kelahiran hidup, seperlima dari kematian ini
disebabkan oleh pneumonia.6
Pneumonia yang terjadi pada balita akan memberikan gambaran klinik
yang lebih jelek daripada orang dewasa karena pada balita sistem pertahanan
tubuh yang dimiliki relatif rendah. Bayi dan anak kecil lebih rentan terhadap
penyakit ini karena respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan
baik.7 Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka
mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko
tersebut yaitu umur, jenis kelamin, berat badan lahir, imunisasi yang tidak
lengkap, tidak mendapatkan ASI yang adekuat, status gizi kurang, defisiensi
vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, orang
dengan immunocompromised, tingginya pajanan terhadap polusi udara,
kepadatan hunian, dan ventilasi udara rumah yang tidak baik.8
Salah satu komorbid terjadinya pneumonia terutama pada anak adalah
karena adanya kelainan jantung bawaan pada anak. Terjadinya infeksi saluran
napas pada pasien dengan kelainan jantung bawaan juga merupakan penyebab
penting meningkatnya mrobiditas dan mortalitas pasien terkait dengan

4
terjadinya gagal napas, penggunaan ventilasi mekanik jangka panjang, dan
9
lamanya waktu perawatan di rumah sakit. Oleh karena itu, penting bagi
klinisi untuk dapat mengetahui mengenai tatalaksana yang tepat pada pasien
dengan pneumonia yang disertai dengan komorbid kelainan kongenital dan
penyakit jantung bawaan.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memperoleh informasi mengenai manajemen pasien dengan pneumonia
yang disertai dengan kelainan kongenital dan penyakit jantung bawaan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui definisi, etiologi dan faktor risiko terjadinya pneumonia,
kelainan kongenital situs inversus dan Ventricular Septal Defect
(VSD).
b. Mengetahui penegakan diagnosis pada kasus pneumonia, kelainan
kongenital situs inversus dan Ventricular Septal Defect (VSD).
c. Mengetahui penatalaksanaan terutama pada kasus kegawatdaruratan
pneumonia, kelainan kongenital situs inversus dan Ventricular Septal
Defect (VSD).
d. Mengetahui penatalaksanaan lebih lanjut pada pasien dengan
pneumonia, kelainan kongenital situs inversus dan Ventricular Septal
Defect (VSD).

5
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. SO Tn. J Ny. I
Umur 2 bulan 30 tahun 25 tahun
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan
Alamat Kintelan 13/5 Pasekan Ambarawa, Kab. Semarang
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMP SMP
Pekerjaan - Pekerja lepas IRT
Penghasilan - Rp 5.000.000 -
Hubungan dengan
Keterangan orang tua : Anak
kandung

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Alloanamnesis pada hari Kamis tanggal 9 April 2020
a. Keluhan Utama
Sesak sejak 1 jam yang lalu
b. Keluhan Tambahan
Batuk berdahak, bibir dan ujung jari tampak membiru, berat badan sulit
naik.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan sesak napas
sejak 1 jam sebelum masuk ke Rumah Sakit. Sesak dirasakan terus menerus,
dan terlihat berat saat pasien menarik napas serta pasien menjadi gelisah.
Sesak dialami pasien terutama saat menangis dan sehabis menyusu. Selain
itu, orang tua pasien juga mengatakan bahwa berat badan pasien sulit untuk
naik. Orang tua pasien mengatakan pasien sering tampak kebiruan pada

6
bibir, wajah maupun ujung – ujung jari terutama bila pasien sedang
mengalami sesak napas. Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien sulit
mengalami penaikan berat badan sejak lahir. Pasien juga mengalami batuk
berdahak, dengan dahak yang sulit dikeluarkan. Keluhan ini sering kali
berulang terjadi sejak pasien baru lahir. Pasien juga pernah di rawat di
RSUD Ambarawa akibat keluhan yang sama kurang lebih 1 bulan SMRS.
Setelah di rawat di RSUD Ambarawa, pasien sempat dirujuk ke RSUP dr.
Kariyadi, Semarang, untuk melakukan pemeriksaan dan mendapatkan
tatalaksana lebih lanjut. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dikatakan
memiliki penyakit jantung bawaan. Pasien direncanakan untuk kontrol ke
RSUP dr. Kariyadi pada hari pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa.
Pasien biasa minum susu lewat OGT dengan jumlah 8 x 35 cc. Saat datang
ke IGD, OGT pasien dalam kondisi terlepas. Mual, muntah, dan demam
disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung 1 bulan
Cacingan - Diare - Ginjal -
DBD - Kejang - Darah -
Thypoid - Maag - Radang paru 1 bulan
Otitis - Varicela - Tuberkulosis -
Parotis - Asma - Morbili -

Riwayat penyakit terakhir :


Post rawat inap di RSUP dr. Kariyadi.
Tanggal masuk : 12/03/2020
Tanggal keluar : 03/04/2020
Diagnosa masuk :
 Kelainan jantung bawaan :
o DE : PJB Asianotik

7
o DA : VSD, dextrocardia.
o DF : Gagal jantung Ross III
 Gizi buruk, perawakan pendek, mikrosefal
 Gagal tumbuh kembang
 Neonatal sepsis
Tatalaksana saat di RS :
 IVFD D10% + Na (2 mEq) 34 ml + K (2 mEq) 17 ml  72/3ml/jam.
 Inj. Meropenem 80 mg/8 jam (IV)
 Inj. Amikacin 45 mg/24 jam (IV)
 Inj. Paracetamol 30 mg/4jam k/p (IV)
 Inj. Furosemide 1,5 mg/12 jam (IV)
 Digoxin 0,015 mg / 12 jam (PO)
 Captopril 1,5 mg/12 jam (PO)
Obat pulang :
 Digoxin 0,015 mg / 12 jam
 Captopril 1,5 mg / 12 jam
 Furosemide 1,5 mg / 12 jam
 Zinc syrup 2,5 ml / 24 jam
 Asam folat 1 mg / 24 jam.

e. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang serupa.

f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


KEHAMILAN Morbiditas kehamilan Tidak ditemukan kelainan
Perawatan antenatal Setiap bulan periksa ke bidan
KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah Sakit
Penolong persalinan Dokter spesialis dan bidan
Cara persalinan Normal
Masa gestasi 9 bulan

8
Berat lahir 3000 g
Panjang badan 48 cm
Keadaan bayi Lingkar kepala tidak ingat
Langsung menangis
Nilai apgar tidak tahu

Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan pasien baik

g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi I : belum ada (normal: 5-9 bulan)
Psikomotor
Menoleh : usia 2 minggu
Mengenal wajah : Usia 3 minggu
Tersenyum / tertawa : usia 2 bulan
Menegakkan kepala : usia 2 bulan
Tengkurap : belum bisa (normal: 3-4 bulan)
Duduk : belum bisa (normal: 6 bulan)
Berdiri : belum bisa (normal: 9-12 bulan)
Berjalan : belum bisa (normal: 13 bulan)
Bicara : belum bisa (normal: 9-12 bulan)
Baca dan Tulis : belum bisa
Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai
usia.

9
h. Riwayat Makanan
Umur ASI/PASI Susu formula Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
(bulan)
0-2 + + - - -
2-4 - - - - -
4-6 - - - - -
6-8 - - - - -
8-9 - - - - -
10-12 - - - - -
12-24 -
24-59 -

Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik, ASI tidak eksklusif.

i. Riwayat Imunisasi :
vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG Lahir - - -
DPT 2 bln - - belum
POLIO Lahir 2 bln - - - -
CAMPAK - - - belum
HEPATITIS B Lahir 2 bln - - - -
Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap

j. Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama Tn. J Ny. I
Perkawinan ke Pertama Pertama
Umur 30 tahun 25 tahun
Keadaan kesehatan Baik Baik
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua pasien dalam keadaan baik.

10
k. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Tinggal dirumah sendiri bersama dengan nenek pasien. Terdapat dua
kamar. Ventilasi kurang baik, cahaya matahari cukup, air minum dan air
mandi berasal dari air tanah.
Kesan : Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien kurang baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum : tampak sakit berat
b. Tanda Vital
- Kesadaran : Apatis, GCS E2V3M5
- Tekanan darah :-
- Frekuensi nadi : 161x/menit
- Frekuensi pernapasan : 67x/menit
- Suhu tubuh : 37,1 oC
- SpO2 : 85%
c. Data antropometri
- Berat badan : 3,5 kg
- Panjang badan : 53 cm
- IMT : BB/TB2 = 3,5/ (0,52)2 = 12.46
- BB/U : Dibawah -2 SD (gizi kurang)
- TB/U : – 2 SD (perawakan pendek)
- BB/TB : -1 SD (normal)
- LK/U : 36 cm  dibawah -2 SD
- BMI/U : dibawah -2 SD (kurus)
d. Kepala
- Bentuk : mikrocephali
- Rambut : rambut hitam, tidak mudah dicabut,
distribusi merata
- Wajah : pucat (+), sianosis (+) pada ujung bibir
tidak ada kelainan bentuk pada wajah.
- Mata : conjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-,

11
pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+,
- Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen
-/-
- Hidung : bentuk normal, sekret (-), nafas cuping
hidung (-)
- Mulut : faring hiperemis sulit dinilai
e. Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak
membesar
f. Thorax
- Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi
Intercostal & subcostal (+)
- Palpasi : gerak napas simetris
- Perkusi : sonor dikedua lapang paru, simetris
- Auskultasi : Pulmo SN vesikuler, ronkhi +/+ basah
kasar, wheezing -/-.
Cor BJ I & II normal, murmur pansistolik
(+) pada katup mitral (sisi kanan pasien)
grade 3/6, gallop (-)
g. Abdomen
- Inspeksi : perut datar, tidak tampak massa dan
pelebaran pembuluh darah.
- Auskultasi : bising usus (+), 8x/menit
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak
membesar, lien tidak teraba membesar.
- Perkusi : nyeri ketok (-), timpani
h. Kulit : ikterik (-), petechie (-)
i. Ekstremitas : akral hangat, sianosis (+) pada ujung
Jari – jari tangan, edema (-), pucat (+)

12
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan OAE (Oto Accoustic Emission) tanggal 05/03/2020 di
RSUP dr. Kariyadi, Semarang.
Hasil : Pass / Pass
Kesan : saat ini fungsi outer hair cell kedua telinga baik.
Saran : edukasi pemeriksaan pendengaran 3 bulan lagi.
 Rontgen thorax tanggal 17/03/2020 di RSUP dr. Kariyadi, Semarang

Kesan :
 Dextrocardia
 Gambaran pneumonia

13
 Echocardiography tanggal 12/03/2020 di RSUP dr. Kariyadi, Semarang

14
15
Hasil temuan dan pengukuran :
 Situs inversus
 AV – VA konkordans
 Drainase vena pulmonalis normal
 Dilatasi LA, LV
 IAS (Inter Atrium Septal) intak.
 VSD inlet besar Ø 12 mm, left to right shunt
 Katup Atrioventrikuler dan semilunar normal.
 Kontraktilitas miokard baik.
 PDA (-)
Kesan :
 Dextrocardia
 VSD inlet besar Ø 12 mm

16
 Rontgen thorax tanggal 09/04/2020 di RSUD Ambarawa

Kesan :
 Dextrocardia
 Gambaran pneumonia

V. RESUME
a. Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa dengan keluhan sesak
napas sejak 1 jam sebelum masuk ke Rumah Sakit. Sesak dirasakan terus
menerus, dan terlihat berat saat pasien menarik napas serta pasien menjadi
gelisah. Sesak dialami pasien terutama saat menangis dan sehabis menyusu.
Selain itu, orang tua pasien juga mengatakan bahwa berat badan pasien sulit
untuk naik. Orang tua pasien mengatakan pasien sering tampak kebiruan
pada bibir, wajah maupun ujung – ujung jari terutama bila pasien sedang
mengalami sesak napas. Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien sulit
mengalami penaikan berat badan sejak lahir. Pasien juga mengalami batuk
berdahak, dengan dahak yang sulit dikeluarkan. Keluhan ini sering kali
berulang terjadi sejak pasien baru lahir. Pasien juga pernah di rawat di

17
RSUD Ambarawa akibat keluhan yang sama kurang lebih 1 bulan SMRS.
Setelah di rawat di RSUD Ambarawa, pasien sempat dirujuk ke RSUP dr.
Kariyadi, Semarang, untuk melakukan pemeriksaan dan mendapatkan
tatalaksana lebih lanjut. Setelah dilakukan pemeriksaan, pasien dikatakan
memiliki penyakit jantung bawaan. Pasien direncanakan untuk kontrol ke
RSUP dr. Kariyadi pada hari pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa.
Pasien biasa minum susu lewat OGT dengan jumlah 8 x 35 cc. Saat datang
ke IGD, OGT pasien dalam kondisi terlepas.

b. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit berat
Tanda Vital
- Kesadaran : Apatis, GCS E2V3M5
- Tekanan darah :-
- Frekuensi nadi : 161x/menit
- Frekuensi pernapasan : 67x/menit
- Suhu tubuh : 37,1 oC
- SpO2 : 85%
Data antropometri :
- BB/U : Dibawah -2 SD (gizi kurang)
- TB/U : – 2 SD (perawakan pendek)
- LK/U : 36 cm  dibawah -2 SD
- BMI/U : dibawah -2 SD (kurus)

c. Pemeriksaan fisik :
Kepala
- Bentuk : mikrocephali
- Wajah : pucat (+), sianosis (+) pada ujung bibir
- Mata : conjungtiva anemis +/+
Thorax
- Inspeksi : retraksi Intercostal & subcostal (+)
- Auskultasi : ronkhi +/+ basah kasar, murmur

18
Pansistolik (+) pada katup mitral (sisi
kanan pasien) grade 3/6,
- Ekstremitas : sianosis (+) pada ujung jari– jari
tangan, pucat (+)
d. Pemeriksaan penunjang
 Rontgen thorax tanggal 17/03/2020 di RSUP dr. Kariyadi, Semarang
Kesan :
 Dextrocardia
 Gambaran pneumonia
 Echocardiography tanggal 12/03/2020 di RSUP dr. Kariyadi, Semarang
Kesan :
 Dextrocardia
 VSD inlet besar Ø 12 mm
 Rontgen thorax tanggal 09/04/2020 di RSUD Ambarawa
Kesan :
 Dextrocardia
 Gambaran pneumonia

VI. DIAGNOSIS KERJA


 VSD
 Dextrocardia
 Situs inversus
 Pneumonia
 Susp. anemia

VII. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
- Pro rawat inap
- Cek rontgen thorax dan darah rutin

19
b. Medikamentosa
- IVFD D 5 ¼ % 15 tpm (mikro)
- O2 NRM 10 lpm
- Inj. Vicillin 3 x 125 mg (IV)
- Nebulisasi procaterol + budesonide / 8 jam

PENEGAKAN DIAGNOSIS, ASSESMENT, PLANNING


Temuan Assesment Planning Planning terapi Planning
Abnormal diagnosis monitoring
- Berat badan PJB (VSD) - Rontgen - IVFD D 5 ¼ - TTV
sulit thorax % 15 tpm (bedisde
bertambah (mikro) monitor)
- Sianosis
- Murmur
pansistolik
grade 3/6
- Bising jantung Dextrocarida - Rontgen - IVFD D 5 ¼ -
terdengar di , situs thorax % 15 tpm
sebelah kanan inversus (mikro)
- Digoxin 0,01
mg/KgBB
- Furosemide

- Sesak napas Pneumonia - Rontgen - Inj. Vicillin 3 x - TTV


- Batuk thorax 125 mg (IV) (bedisde
berdahak - O2 NRM 10 lpm monitor)
- Ronkhi basah
kasar +/+
- Konjungtiva Anemia - Lab DR -Transfusi (sesuai - Lab DR
anemis, kulit hasil lab) post transfusi
pucat

20
VIII. PROGNOSIS
- Ad vitam : Dubia ad malam
- Ad fungsionam : Dubia ad malam
- Ad sanationam : Dubia ad malam

Follow Up Pasien

9 April 2020 pukul 10.00


S Pasien masih tampak sesak, kesadaran menurun
O KU: Apatis,
TTV : HR : 162x/menit
RR : 48x/menit
T : 37,30 C
SpO2 : 87% (dengan O2 NRM 10 lpm)
Terpasang monitor bedside (+)
Kepala
- Wajah : pucat (+), sianosis (+) pada ujung bibir
- Mata : conjungtiva anemis +/+
Thorax
- Inspeksi : retraksi Intercostal & subcostal (+)
- Auskultasi : ronkhi +/+ basah kasar, murmur
Pansistolik (+) pada katup mitral (sisi
kanan pasien) grade 3/6,
Ekstremitas : sianosis (+) pada ujung jari– jari tangan,
pucat (+)
A VSD besar + dextrocardia + Situs inversus + Pneumonia berat
P  IVFD D 5 ¼ % 15 tpm (mikro)
 O2 NRM 10 lpm
 Inj. Ampicillin 3 x 175 mg (IV)
 Inj. Furosemide 2 x 3,5 mg (IV)
 Captopril 2 x 1,5 mg (PO)

21
 Digoxin 2 x 15 mcg (PO)
 Nebulisasi procaterol + budesonide / 8 jam
 Pro pasang NGT ulang  intake ASI 40 – 50 cc / 3 jam

9 April 2020 pukul 17.00


S Pasien masih tampak sesak, kesadaran menurun
O KU: Apatis,
TTV : HR : 167x/menit
RR : 47x/menit
T : 37,20 C
SpO2 : 90% (dengan O2 NRM 10 lpm)
Terpasang monitor bedside (+)
Kepala
- Wajah : pucat (+), sianosis (+) pada ujung bibir
- Mata : conjungtiva anemis +/+
Thorax
- Inspeksi : retraksi Intercostal & subcostal (+)
- Auskultasi : ronkhi +/+ basah kasar, murmur
Pansistolik (+) pada katup mitral (sisi
kanan pasien) grade 3/6,
Ekstremitas : sianosis (+) pada ujung jari– jari tangan,
pucat (+)
Hasil Lab DR (+) terlampir
A VSD besar + dextrocardia + Situs inversus + Pneumonia berat
P  IVFD D 5 ¼ % 15 tpm (mikro)
 O2 NRM 10 lpm
 Inj. Ampicillin 3 x 175 mg (IV)
 Inj. Furosemide 2 x 3,5 mg (IV)
 Captopril 2 x 1,5 mg (PO)
 Digoxin 2 x 15 mcg (PO)
 Nebulisasi procaterol + budesonide / 8 jam

22
 NGT sudah terpasang  intake ASI 40 – 50 cc / 3 jam
Konsul hasil lab pasien kepada DPJP, advice :
 Transfusi PRC 35 cc dalam 3 jam.
 Premedikasi transfusi : inj. Furosemide 3,5 mg
 Post transfusi : injeksi furosemide
 Terapi lain lanjut

Darah rutin (09 April 2020)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Darah lengkap
Hemoglobin 8,0* (L) 9,2 – 13,6 g/dl
Leukosit 18,9* (H) 6 – 17,5 ribu
Eritrosit 2,77* (L) 2,8 – 4,8 juta
Hematokrit 23,6* (L) 35 – 47 %
Trombosit 242 150 – 400 Ribu
MCV 85,1 82 – 98 fL
MCH 28,8 27 – 32 pg
MCHC 33,8 32 – 37 g/dl
RDW 17,3* (H) 10 – 16 %
MPV 8,3 7 – 11 Mikro m3
Limfosit 3,81 2,0 – 11,0 103/mikro
Monosit 1,38* (H) 0,05 – 1,1 103/mikro
Eosinofil 0,07* (L) 0,2 – 1,2 103/mikro
Basofil 0,14 0 – 0,2 103/mikro
Neutrofil 13,48* (H) 1,5 – 8,5 103/mikro
Limfosit% 20,2* (L) 25 – 40 %
Monosit% 7,3 2–8 %
Eosinofil% 0,4* (L) 2–4 %
Basofil% 0,7 0–1 %
Neutrofil% 71,4* (H) 50 – 70 %
PCT 0,199 0,2 – 0,5 %

23
PDW 8,2* (L) 10 - 18 %

10 April 2020 pukul 04.45


S Pasien tampak sesak berat, kesadaran menurun, nafas mulai satu – satu
setelah diberikan minum via NGT
O KU: Sopor
TTV : HR : 140x/menit
RR : 20x/menit
T : 37,80 C
SpO2 : 84% (dengan O2 NRM 10 lpm)
Terpasang monitor bedside (+)
Kepala
- Wajah : pucat (+), sianosis (+) pada ujung bibir
- Mata : conjungtiva anemis +/+
Thorax
- Inspeksi : retraksi Intercostal & subcostal (+)
- Auskultasi : ronkhi +/+ basah kasar, murmur
Pansistolik (+) pada katup mitral (sisi
kanan pasien) grade 3/6,
Ekstremitas : sianosis (+) pada ujung jari– jari tangan,
pucat (+)
Hasil Lab DR (+) terlampir
A VSD besar + dextrocardia + Situs inversus + Pneumonia berat
P  IVFD D 5 ¼ % 15 tpm (mikro)
 O2 NRM 10 lpm
 Inj. Ampicillin 3 x 175 mg (IV)
 Inj. Furosemide 2 x 3,5 mg (IV)
 Captopril 2 x 1,5 mg (PO)
 Digoxin 2 x 15 mcg (PO)
 Nebulisasi procaterol + budesonide / 8 jam
 NGT sudah terpasang  intake ASI 40 – 50 cc / 3 jam

24
 Post Transfusi PRC 35 cc dalam 3 jam.
 Pemberian VTP tiap 10 menit
Pukul 05.30
 Pasien mendadak henti napas
 RJP 5 siklus  cek nadi dan nafas  nadi dan nafas (-)
 Lanjut RJP 5 siklus  cek nadi dan napas (-)
 Lanjut RJP 5 siklus  cek nadi dan napas (-)
 Edukasi keluarga
 Epinefrin 0,01 mg/kgBB  lanjut RJP 5 siklus  cek nadi dan
napas (-)
 Lanjut RJP 5 siklus  cek nadi dan napas (-)
 RCL dan RCTL -/-, pupil midrisasis maksimal, monitor bedside
tampak flat
 Pasien dinyatakan meninggal pukul 05.45 WIB

25
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DAN KLASIFIKASI DARI PENYAKIT JANTUNG


BAWAAN DAN VENTRICULAR SEPTAL DEFECT

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan bentuk kelainan jantung


yang sudah didapatkan sejak bayi baru lahir. Manifestasi klinis kelainan ini
bervariasi dari yang paling ringan sampai berat. Pada bentuk yang ringan,
sering tidak ditemukan gejala, dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan klinis. Sedangkan pada PJB berat, gejala sudah tampak sejak
lahir dan memerlukan tindakan segera.10
Secara garis besar penyakit jantung bawaan dibagi 2 kelompok,
yaitu penyakit jantung bawaan sianotik dan penyakit jantung bawaan
nonsianotik. Penyakit jantung bawaan sianotik ditandai oleh adanya
sianosis sentral akibat adanya pirau kanan ke kiri, sebagai contoh tetralogi
Fallot, transposisi arteri besar, atresia trikuspid. Termasuk dalam kelompok
penyakit jantung bawaan nonsianotik adalah penyakit jantung bawaan
dengan kebocoran sekat jantung yang disertai pirau kiri ke kanan di
antaranya adalah defek septum ventrikel, defek septum atrium, atau tetap
terbukanya pembuluh darah seperti pada duktus arteriosus persisten. Selain
itu penyakit jantung bawaan nonsianotik juga ditemukan pada obtruksi jalan
keluar ventrikel seperti stenosis aorta, stenosis pulmonal dan koarktasio
aorta.10
Ventricular Septal Defect (VSD) atau defek septum ventrikel adalah
defek yang terjadi pada septum ventricularis, dinding yang memisahkan
ventriculus dextra dengan sinistra. Defek ini muncul secara kongenital
akibat septum interventriculare tidak menutup dengan sempurna selama
perkembangan embrio. Defek ini menyebabkan aliran darah dari ventriculus
sinistra akan masuk ke dalam ventriculus dextra. Darah yang kaya akan
oksigen akan dipompa ke paru - paru yang menyebabkan jantung bekerja
lebih berat.11

26
Secara garis besar septum ventrikel dapat dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu septum ventrikel pars membranasea yang terletak di bagian atas, dan
septum ventrikel pars muskularis. Sebagian besar defek terdapat pada pars
membranasea (defek membran), akan tetapi karena hampir selalu mencakup
bagian muskular yang berdekatan, maka kelainan ini lebih sering disebut
sebagai defek perimembran. Defek ini dibagi lagi berdasarkan pada
tempatnya, apakah di daerah jalan keluar ventrikel (disebut defek
perimembran outlet), dekat katup atrioventrikular (defek perimembran
inlet), atau di dekat trabekula.12
Jenis kedua adalah defek pada pars muskularis, disebut sebagai
defek septum ventrikel muskular. Jenis ketiga adalah defek yang terdapat
tepat di bawah katup kedua arteri besar (aorta dan a. pulmonalis), yang
disebut pula sebagai defek subarterial, atau doubly committed subarterial
defect atau defek septum ventrikel tipe Oriental, karena lebih banyak
ditemukan pada orang Asia dibanding pada orang kufit putih. Atap defek
ini adalah pertemuan antara anulus katup aorta dan katup pulmonal,
sedangkan sisanya adalah septum muskular outlet. Defek ini dahulu disebut
sebagai defek suprakristal. Dengan demikian maka defek septum ventrikel
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:12
1. Defek septum ventrikel perimembran, yang dibagi menjadi:
a. Defek perimembran inlet mengarah ke posterior ke daerah inlet
septum
b. Defek perimembran outlet mengarah ke depan, di bawah akar aorta
ke dalam septum pars muskularis
c. Defek trabekular mengarah ke bawah, ke arah septum trabekularis
d. Defek perimembran konfluen, yang mencakup ketiga bagian septum
muskular, sehingga merupakan defek yang besar
2. Defek septum ventrikel muskular, dibagi menjadi:
a. Defek muskular inlet
b. Defek muskular trabekular
c. Defek muskular outlet
3. Defek subarterial (doubly committed subarterial defect).

27
Dari sejumlah 694 kasus defek septum ventrikel, 472 mempumyai
rincian letak defeknya sebagai tampak pada tabel dibawah. Persentase defek
subarterial ini (26%) jauh lebih tinggi dari yang ada di kepustakaan Barat
(yaituu sekitar 7%, yang memang telah lama dicatat di banyak negara di
Asia).13

Tabel 2.1 – Klasifikasi Anatomik Defek Septum Ventrikel (N=472)4

Berdasarkan tabel dibawah, dapat diketahui bahwa gejala klinis yang


paling banyak ditemukan pada sampel adalah sesak nafas dengan sampel
sebanyak 28 sampel (50,9%) dan gejala yang paling sedikit ditemukan pada
sampel adalah retraksi epigastrium dengan jumlah sampel sebanyak 4
sampel (7,3%). Diketahui juga bahwa terdapat 11 sampel (20%) dengan
tanpa gejala klinis.14

Tabel 2.2 - Distribusi gejala klinis yang menyertai penyakit jantung


bawaan5

28
B. ETIOLOGI PJB

Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaan tidak


diketahui. Berbagai jenis obat, penyakit ibu, peranan terhadap sinar X, telah
diduga menjadi penyebab eksogen penyakit jantung bawaan. Penyakit
rubela yang diderita ibu pada awal kehamilanya dapat menyebabkan
penyakit jantung bawaan pada bayinya, terutama duktus arteriosus
persisten, defek septum ventrikel, atau stenosis pulmonal perifer. Apapun
sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab tersebut harus ada sebelum
akhir bulan kedua kehamilan, oleh karena pada minggu kedelapan
pembentukan jantung sudah selesai. Di samping faktor eksogen terdapat
pula faktor endogen yang berhubungan dengan kejadian penyakit jantung
bawaan, seperti penyakit genetik dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan
kejadian penyakit jantung bawaan seperti sindrom Down, dll. Para ahli
cenderung berpendapat bahwa penyebab endogen maupun eksogen tersebut
jarang secara terpisah menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan
bahwa lebih dari 90% kasus penyebabnya adalah multifaktorial, yakni
gabungan antara kerentanan individual (yang sifatnya endogen akan tetapi
belum dapat dijelaskan) dengan faktor eksogen. Kedua faktor tersebut
secara bersama dapat menyebabkan kelainan struktural jantung apabila
terjadi pada minggu-minggu pertama kehidupan janin.10,13

Tabel 2.3 – Etiologi PJB

29
Tabel 2.4 – Beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan PJB

C. PEMBENTUKAN SEPTUM CARIDUM, ANATOMI SEPTUM


VENTRICULARE DAN PATOFISIOLOGI PJB DAN VSD

Septum utama dari jantung terbentuk mulai hari ke-27-37 dari


perkembangan embrio, dimana panjang embrio berkisar mulai dari 5 mm
sampai 16-17 mm. Salah satu teori mengenai pembentukan septum ini
adalah adanya dua massa jaringan yang aktif tumbuh mendekati satu sama
lainnya sehingga bergabung menjadi satu memisahkan lumen menjadi dua
canal. Septum cardium bisa juga terbentuk akibat aktifnya salah satu massa
jaringan yang terus memanjang sampai mencapai sisi berlawanan dari
lumen.12
Pembentukan dari massa jaringan tersebut tergantung pada sintesis
dan deposisi dari matriks ekstraseluler dan proliferasi dari sel. Massa
jaringan itu disebut tubera endocardiaca, berkembang pada regio
atrioventricular dan conotruncal. Pada kedua regio ini, tubera
endocardiaca berperan dalam pembentukan septum atria dan septum
ventriculare (pars membranosa), canalis atrioentricularis dan valvula, dan
canalis aorticus dan pulmonalis.12
Karena peran penting pada regio ini, kelainan pada pembentukan
tubera endocardiaca dapat menyebabkan terjadinya malformasi dari jantung

30
meliputi defek pada atrial dan ventricular septal defect (VSD). Defek ini
bisa melibatkan pembuluh darah besar (transposisi pembuluh darah besar,
truncus arteriosus, dan tetralogy Fallot).12
Ada teori lain dari pembentukan septum cardium tanpa melalui
terbentuknya tubera endocardiaca. Yaitu jika tidak terbentuk tonjolan
jaringan di dinding atria dan ventrikel tetapi dinding dari masing-masing
sisinya terus berkembang, maka akan terbentuklah tonjolan di tengah-
tengah sisi dinding yang mengembang tadi. Jika kedua bagian sisi yang
mengembang tadi terus berkembang diantara tonjolan tadi, kedua dinding
lumen akan mendekati satu sama lain dan akhirnya tonjolan tadi membentuk
septum. Namun septum yang terbentuk tadi tidak memisahkan lumen secara
lengkap sehingga menyebabkan terjadinya hubungan antara kedua lumen.
Septum ini akan menutup secara lengkap melalui kontribusi proliferasi
jaringan di sekitarnya.12

Gambar 2.1 - Proses Pembentukan Septum Cardium3

Septum ventriculare dibagi menjadi dua komponen yaitu: pars


membranacea dan pars muscularis. Pars membranacea berukuran kecil
dan terletak pada basis jantung diantara komponen outlet dan inlet dari pars

31
muscularis dan di bawah cuspis posterior dari valvula aorta. Cuspis septalis
dari valvula tricuspidalis membagi pars membranacea menjadi dua
komponen yaitu: pars atrioventricularis dan pars interventricularis. Defek
yang melibatkan pars membranacea sampai mengenai 1-3 komponen dari
pars muscularis disebut perimembranosa, paramembranosa, atau
infracristalis.12

Gambar 2.2 – Anatomi Jantung dan Septum Interventrikularis

Pars muscularis dibagi menjadi komponen inlet, trabekular, dan


infundibular. Komponen inlet merupakan bagian inferioposterior dari pars
membranacea. Mulai setinggi valvula atrioventricularis sampai dengan
perlekatan chorda di bagian apikal. Jika ada VSD di komponen inlet, maka
defek tersebut tidak memiliki muscular rim diantara defek dan annulus dari
valvula atrioventiculare. Defek yang terjadi pada komponen inlet disebut
inlet VSD.12

32
Komponen trabekular merupakan bagian terbesar dari septum
interventriculare. Terbentang mulai pars membranacea sampai apex dan
superior dari komponen infundibulum. Defek yang terjadi di komponen
trabekular disebut muscular VSD dan defek ini memiliki muscular rim.
Lokasi dari defek di komponen trabekular dibagi menjadi anterior,
midmuskular, apikal, dan posterior. Defek anterior jika lokasinya anterior
dari septal band, midmuscular jika lokasinya di posterior dari septal band,
apikal lokasinya inferior dari moderate band dan defek posterior lokasi di
bawah cuspis septal dari valvula tricuspidalis.12
Komponen infundibular mimisahkan outflow dari ventriculus dextra
dan sinistra. Pada sisi kanan dibatasi oleh garis yang dibentuk dari pars
membranacea menuju ke musculus papillary inferior nya dan valvula
semilunaris superior nya. Sisi kanan dari komponen infundibular lebih luas.
Jika terjadi defek di komponen infundibular disebut infundibular, outlet,
supracristal, conal, conoventricular, subpulmonary.12

33
Gambar 2.3 – Letak Defek pada VSD

Perubahan fisiologis yang terjadi akibat adanya defek di septum


ventriculare adalah tergantung ukuran defek dan tahanan vaskular paru.
Aliran darah ke paru-paru akan meningkat setelah kelahiran sebagai respon
menurunnya tahanan vaskular paru akibat mengembangnya paru-paru dan

34
terpaparnya alveoli oleh oksigen. Jika defeknya berukuran besar, aliran
darah ke paru-paru akan meningkat dibandingkan aliran darah sistemik
diikuti regresi sel otot polos arteri intrapulmonalis. Perubahan ini
berhubungan dengan munculnya gejala setelah kelahiran bayi aterm
berumur 4-6 minggu atau awal dua minggu pertama pada kelahiran bayi
prematur.12
Darah di ventriculus dextra didorong ke arteria pulmonalis, resistensi
relatif antara dua sirkulasi bersifat dinamis dan berubah dengan waktu :12
1. Periode neonatus:
a. Tahanan vaskular paru tinggi
b. Tahanan ventriculus sinistra sama dengan ventriculus dextra
c. Minimal atau tidak ada shunt
1. Bayi (3-4 minggu):
a. Tahanan vaskular paru menurun
b. Tahanan ventriculus sinistra lebih besar dibandingkan tahanan
ventriculus dextra
c. Adanya shunt dari kiri ke kanan
Jika defek berukuran kecil, akan terjadi perubahan hemodinamik yang
terbatas, yang juga membatasi terjadinya shunting dari kiri ke kanan. Defek
yang besar akan menyebabkan terjadinya shunting dari kiri ke kanan.
Tekanan pada arteri pumonalis akan meningkat yang menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonal. Meningkatnya tekanan dan volume darah
pada arteri pulmonalis akan menyebabkan kerusakan pada sel endotel dan
perubahan permanen pada tahanan vaskular paru. Jika tahanan vaskular
paru melebihi tahan vaskular sistemik maka akan terjadi perubahan aliran
darah dari ventriculus sinistra menuju dextra melalui defek tersebut (left to
right shunt).12
Menurut besarnya, defek septum ventrikel diklasifikasi menjadi defek
septum ventrikel kecil (luas defek kurang dari 5 mm2/m2 luas permukaan
tubuh), sedang (luas defek 5-10 mm2/m2 luas permukaan tubuh), dan besar
(luas defek lebih dari setengah diameter aorta atau lebih dari 10 mm2/m2
luas permukaan tubuh).

35
D. HEMODINAMIK PADA VSD

Hemodinamik pada defek septum ventrikel berkaitan dengan besarnya


defek yang terjadi :11
1. Defek Septum Ventrikel Kecil
Pada defek kecil ini hanya terjadi pirau dari kiri ke kanan yang minimal,
sehingga tidak terjadi gangguan hemodinamik yang berarti. Kelainan ini
dikenal dengan nama maladie de Roger (penyakit Roger). Kira-kira 70%
pasien dengan defek kecil menutup spontan dalam 10 tahun, sebagian
besar dalam 2 tahun pertama. Bila setelah berusia 2 tahun defek tidak
menutup, maka kemungkinannya menutup secara spontan adalah kecil.
2. Defek Septum Ventrikel Sedang dan Besar
Pada defek sedang dan besar ini terjadi pirau yang bermakna dari
ventrikel kiri ke ventrikel kanan. Pada hari-hari pertama pascalahir belum
terdapat pirau kiri ke kanan yang bermakna, oleh karena resistensi
vaskular paru yang masih tinggi. Pirau yang bermakna baru terjadi
setelah tahanan vaskular paru menurun, yakni di antara minggu ke-2
sampai ke-6. Karena itulah biasanya bising yang nyata baru terdengar
pada saat bayi dibawa melakukan kunjungan pertama setelah pulang dari
rumah bersalin.
Pirau kiri ke kanan yang besar menyebabkan meningkatnya tekanan
ventrikel kanan. Bila tidak terdapat obstruksi jalan keluar ventrikel
kanan, maka tekanan ventrikel kanan yang tinggi tersebut akan
diteruskan ke a. pulmonalis. Dengan pertumbuhan pasien, maka dapat
terjadi beberapa kemumgkinan, yakni:
b. Defek mengecil, sehingga pirau dari kiri ke kanan berkurang. Pasien
biasanya tampak membaik.
c. Defek menutup.
d. Terjadi stenosis infundibular sehingga pirau kiri ke kanan berkurang.

36
e. Defek terus membesar dengan pirau dari kiri ke kanan berlanjut,
menyebabkan tekanan yang selalu tinggi pada sirkulasi paru.
Akibatnya terjadi perubahan vaskular paru (dari derajat 1 sampai
derajat VI). Bila tekanan di ventrikel kanan melampaui tekanan
ventrikel kiri maka akan terjadi pirau yang terbalik (dari kanan ke
kiri), sehingga pasien menjadi sianotik. Keadaan ini disebut sindrom
Eisermienger. Pada defek yang besar proses terjadinya hipertensi
pulmonal dapat terjadi pada anak berumur 1 tahun, bahkan pada
pasien sindrom Down hipertensi pulmonal tersebut dapat terjadi
lebih dini.

E. KRITERIA DIAGNOSIS & MANIFESTASI KLINIS VSD

Diagnosis klinis VSD dapat ditegakkan melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Gambaran klinis defek septum ventrikel sangat bervariasi, dari yang
asimptomatis sampai gagal jantung yang berat disertai dengan gagal tumbuh
(failure to thrive). Manifestasi klinis ini sangat beigantung kepada besamya
defek serta derajat pirau dari kiri ke kanan yang terjadi. Letak defek
biasanya tidak mempengaruhi derajat manifestasi klinis. Manifestasi gejala
klinis VSD tergantung pada ukuran defek dan hubungan antara tahanan
vaskular paru dan sistemik. Gejala klinis biasanya muncul saat bayi berumur
4-8 minggu, seiring dengan menurunnya tahanan vaskular paru akibat
adanya remodelling arteriol paru.12,13
1. VSD kecil12,13
Biasanya pasien tidak ada keluhan. Bayi biasanya dibawa ke
kardiologis karena ditemukan adanya murmur selama pemeriksaan
rutin. Keluhan berupa gangguan makan dan pertumbuhan tidak
ditemukan.
Jantung normal atau hanya sedikit membesar, Pada auskultasi biasanya
bunyi jantung terdengar normal. Bila defek septum ventrikel sangat

37
kecil, terutama defek muskular, dapat ditemukan bising sistolik dini
(early systolic murmur) pendek yang mungkin didahului early systolic
click. Pada defek septum ventrikel kecil ditemukan bising pansistolik
yang biasanya keras, disertai oleh getaran bising dengan pungtum
maksimum di sela iga lll-lV garis parasternal kiri dan menjalar ke
sepanjang garis stemum kiri, bahkan ke seluruh prekordium.
2. VSD sedang12,13
Bayi terlihat berkeringat akibat rangsangan saraf simpatis, terlihat saat
diberi makanan. Terlihat lelah selama makan oleh karena aktifitas
makan memerlukan cardiac output yang tinggi. Adanya tachypnea saat
istirahat ataupun saat makan. Gangguan pertumbuhan bisa juga
dijumpai karena meningkatnya kebutuhan kalori dan kurangnya
kemampuan bayi untuk makan secara adekuat.
Sesak napas pada waktu minum, atau memerlukan waktu ayang lebih
lama untuk menyelesaikan makan dan minumya, atau tidak mampu
menghabiskan minuman dan makanannya, merupakan keluhan yang
sering dinyatakan oleh orangtua pasien. Kenaikan berat badan tidak
memuaskan dan pasien seringkali menderita infeksi paru yang
memerlukan waktu lebih lama untuk sembuh. Gagal jantung mungkin
terjadi sekitar umur 3 bulan, seringkali dengan didahului oleh infeksi
paru, tetapi pada umumnya responsif terhadap pengobatan medik.
Pada pemeriksaan fisis bayi tampak kurus, dengan dispnea, takipnea,
serta retraksi. Pada pasien yang besar dada mungkin sudah menonjol,
namun pada bayi biasanya bentuk dada masih normal. Pada auskultasi
akan terdengar bunyi jantung 1 dan II yang normal dengan bising
pansistolik yang keras, kasar, disertai getaran bising dengan pungtum
maksimum di sela iga III-IV garis parasternal kiri, yang menjalar ke
seluruh prekordium. Bising pada defek septum ventrikel sedang
merupakan salah satu bising yang paling keras di bidang kardiologi.
Bising mid-diastolik di daerah mitral dapat terjadi oleh karena flow
murmur pada fase pengisian cepat dari atrium ke ventrikel kiri; hal

38
tersebut merupakan petunjuk tidak langsung, bahwa pirau yang terjadi
cukup besar.
3. VSD besar12,13
Pada pasien dengan defek septum ventrikel besar, gejala dapat timbul
pada masa neonatus. Ditemukan gejala yang sama dengan VSD sedang,
tetapi dengan skala yang lebih berat. Dispnea dapat terjadi bila terdapat
pirau kiri ke kanan yang bermakna dalam minggu pertama setelah lahir,
meskipun hal itu tidak sering ditemukan. Pada minggu kedua atau
ketiga gejala biasanya mulai timbul tetapi gagal jantung biasanya baru
timbul setelah minggu keenam, sering didahului infeksi saluran napas
bawah. Infeksi ini sering kali memperberat kegagalan pertumbuhan
pada anak. Bayi tampak sesak napas pada saat istirahat, kadang tampak
sianosis karena kekurangan oksigen akibat gangguan pernapasasan.
Gangguan pertumbuhan tampak sangat nyata.
Pada pemeriksaan biasanya bunyi jantung masih normal, dan dapat
didengar bising pansistolik, dengan atau tanpa getaran bising. Bising
pada defek septum ventrikel besar ini sering tidak memenuhi seluruh
fase sistole seperti pada defek septum ventrikel sedang, tetapi melemah
pada akhir sistole. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan
ventrikel kanan akibat peningkatan resistensi vaskular paru sehingga
terjadi tekanan sistolik yang sama besamya pada kedua ventrikel pada
akhir sistole. Bising mid-diastolik di daerah mitral mungkin terdengar
akibat flow murmur pada fase pengisian cepat.
4. Defek Septum Ventrikel Besar dengan Penyakit Vaskular Paru /
Sindrom Eisenmenger3,4
Pasien dengan defek septum ventrikel dan hipertensi pulmonal akibat
penyakit vaskular paru memperlihatkan dada membonjol akibat
pembesaran ventrikel kanan yang berat. Pada peralihan antara pirau kiri
ke kanan dan kanan ke kiri, seringkali pasien akan tampak lebih baik,
lebih aktif, dengan toleransi latihan yang relatif lebih baik dibanding
sebelumnya. Dengan berlanjutnya kerusakan vaskular paru, sehingga
terjadi pirau terbalik, dari kanan ke kiri, sehingga pasien menjadi

39
sianotik. Dalam tahapan ini kembali pasien memperlihatkan tolerasi
latihan yang menurun, batuk barulang dan infeksi saluran napas
berulang dan gangguan pertumbuhan yang makin berat. Saat
beraktivitas pasien akan mengeluh sesak nafas, sianosis, nyeri dada,
sinkop, dan hemoptysis.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan anak gagal bertumbuh, sianotik,
dengan jari - jari tabuh. Dada kiri membonjol dengan perungkatan
aktivitas ventrikel kanan yang hebat. Bunyi jantung 1 normal, akan
tetapi bunyi jantung II mengeras dengan split yang sempit. Bising yang
sebelumnya jelas menjadi berkurang intensitasnya; kontur bising yang
semula pansistolik berubah menjadi ejeksi sistolik. Tidak jarang bising
menghilang sama sekali, yang menunjukkan tidak terdapatnya pirau
yang bermakna. Hati menjadi teraba besar akibat bendungan sistemik,
namum edema jarang ditemukan.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis yaitu: 12,13
1. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi defek septum ventrikel mempakan refleksi
besarnya pirau kiri ke kanan. Pirau kiri ke kanan ini bergantung kepada
ukuran defek, tahanan vaskular paru, serta terdapatnya lesi obstruktif
baik pada jalan keluar ventrikel kiri maupun kanan.
Pemeriksaan foto dada pasien dengan defek septum ventrikel kecil
biasanya memperlihatkan bentuk dan ukuran jantung yang normal
dengan vaskularisasi paru normal atau hanya sedikit meningkat. Pada
pasien defek septum ventrikel sedang, radiologi toraks akan
menunjukkan kardiomegali sedang dengan konus pulmonalis yang
menonjol, peningkatan vaskularisasi paru, serta pembesaran pembuluh
darah di sekitar hilus. Peningkatan vaskular paru yang nyata memberi
petunjuk bahwa perbandingan antara aliran darah ke paru dan aliran
darah sistemik (Qp/Qs) adalah 2:1 atau lebih.
Pada defek besar foto toraks menunjukkan kardiomegali yang nyata
dengan konus pulmonalis yang menonjol, pembuluh darah hilus

40
membesar, dengan vaskularisasi paru meningkat. Pada defek besar
yang disertai hipertensi pulmonal atau sindrom Eisenmenger tampak
konus pulmonalis sangat menonjol dengan vaskularisasi paru yang
meningkat di daerah hilus namun berkurang di perifer (pruning).
Pemeriksaan berkala foto dada dapat memberikan petunjuk
perkembangan kelainan. Apabila pada tindak lanjut foto toraks
menunjukkan vaskularisasi paru yang makin berkurang dibandingkan
dengan foto sebelumnya, maka mungkin defek telah mengecil atau
telah terjadi stenosis infundibular sekunder yang mengurangi pirau kiri
ke kanan. Namun apabila berkurangnya vaskularisasi paru tersebut
disertai dengan segmen pulmonal yang makin menonjol harus dicurigai
terdapatnya peningkatan tahanan vaskular paru yang mengarah pada
hipertensi pulmonal.

41
Gambar 2.4 – Radiologi pada VSD

42
2. Elektrokardiogram
Perulaian elektrokadiogram pada bayi dan anak dengan defek septum
ventrikel, atau dengan penyakit apa pun, harus dilakukan dengan hati-
hati, karena nilai normal EKG sangat bergantung kepada umur pasien.
Pada bayi dan anak dengan defek kecil gambaran EKG sama sekali
normal, atau sedikit terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri.
Gambaran EKG pada neonatus dengan defek sedang dan besar juga
normal, namun pada bayi yang lebih besar serta anak pada umumnya
menunjukkan kelainan. Pada defek septum ventrikel sedang biasanya
terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri dan kanan, akan tetapi
aktivitas ventrikel kiri lebih meningkat. Pada defek septum ventrikel
besar EKG memperlihatkan hipertiofi biventrikular yang menunjukkan
terdapatnya peningkatan aktivitas yang hebat baik ventrikel kanan
maupun kiri.
Kadang tampak gambaran pembesaran atrium kiri (P mitral). Bila telah
terjadi hipertensi pulmonal maka hipertiofi ventrikel kanan tampak
makin menorrjol; pada sindrom Eisenmenger dominasi kanan yang
makin jelas, bahkan hipertrofi ventrikel kiri yang semula ada dapat
menghilang. Pembesaran atrium kanan (P pulmonal) dapat menyertai
hipertiofi ventrikel kanan yang berat. Jelaslah bahwa EKG dapat
menggambarkan perubahan hemodinamik, sehingga pemeriksaan
berkala perlu dilakukan dalam tata laksana pasien.

43
Gambar 2.5 – Gambaran P mitral dan P pulmonal pada EKG

Gambar 2.6 – Gambaran EKG pada VSD dengan biventrikular


hypertrophy (Katz – Wachtel phenomenon)

44
3. Echocardiography
Pemeriksaan ekokardiografi perlu untuk menentukan letak serta ukuran
defek septum ventrikel di samping untuk menentukan terdapatnya
kelainan penyerta Dengan teknik Doppler dapat memastikan arah pirau
serta dapat memperkirakan secara kasar tekanan a. pulmonalis, tekanan
sistolik ventrikel kanan, serta rasio antara aliran paru dengan aliran
sistemik (Qp/ Qs).
Pada defek kecil nilai ekokardiografi M-mode dalam batas normal.
Tidak jarang defek kecil tersebut sulit dideteksi dengan pemeriksaan
ekokardiografi 2-dimensi, namun dengan Doppler serta Doppler
berwarna lokasi arus sistolik dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan dapat
mudah dideteksi. Apabila pemeriksaan non-invasif menunjukkan defek
yang kecil, serta dipastikan bahwa tidak terdapat kelainan penyerta,
maka tidak perlu dilakukan kateterisasi jantung.
Pada defek yang sedang, lokasi serta ukuran defek dapat ditentukan
dengan mudah dengan pemeriksaan ekokardiografi 2-dimensi.
Ekokardiografi M-mode mungkin menunjukkan adanya pelebaran
ventrikel kiri dan/atau atrium kiri, namun kontraktilitas ventrikel
umumnya masih baik. Pada defek besar, ekokardiogram mungkin
menunjukan adanya pembesaran keempat ruang jantung dan pelebaran
a. pulmonalis. Pada hipertensi pulmonal tampak ventrikel dan atrium
kanan melebar, demikian pada a. pulmonalis. Sering ditemukan
insufisiensi trikuspid dengan atau tanpa insufisensi pulmonal. Bila
terdapat insufisiensi trikuspid, maka dengan Doppler dapat
diperkirakan tekanan sistolik ventrikel kanan serta tekanan a.
pulmonalis. Pada defek subarterial, dapat diketahui prolaps sinus
Valsalva dengan atau tanpa disertai regurgitasi aorta.

45
Gambar 2.7 – Echocardiography pada VSD

4. Kateterisasi Jantung dan Angiokardiografi


Kateterisasi jantung umumnya masih diperlukan sebelun operasi defek
septum ventrikel, meskipun di beberapa pusat kardiologi sebagian pasien
defek septum ventrikel langsung dioperasi tanpa kateterisasi lebih
dahulu. Dengan kateterisasi jantung dapat dibuiktikan kenaikan saturasi
oksigen di ventrikel kanan, Qp/Qs, serta tekanan di ruang jantung dan
pembuluh darah besar. Pada defek septum ventrike kecil tekanan ruang
jantung dan pembuluh darah dalam batas normal. Pada defek sedang
tekanan a. pulmonalis masih dalam batas normal pada waktu bayi, akan
terus meningkat dengan bertambahnya umur. Angiografi ventrikel kiri
dapat menunjukkan besar dan arah pirau. Aortografi diperlukan untuk
mendeteksi regurgitasi aorta pada defek septum ventrikel subarterial.

G. TATALAKSANA VSD

Tatalaksana VSD dapat dibagi menjadi tatalaksana medikamentosa dan


pembedahan / non medika mentosa13
Pasien dengan defek yang kecil tidak memerlukan pengobatan apapun,
kecuali pemberian profilaksis terhadap terjadinya endokarditis infektif
terutama apabila pasien akan dilakukan tindakan operatif di daerah rongga
mulut (ekstraksi gigi, tonsilektomi) atau tindakan pada traktus
gastrointestinal atau urogenital (misal sirkumsisi). Tidak diperlukan

46
pembatasan aktivitas pada pasien dengan defek septum ventrikel kecil. Di
samping itu perlu diingat bahwa tindakan imunisasi pada semua jenis
penyakit jantung bawaan harus dilakukan seperti pada anak sehat. Gagal
jantung pada pasien defek septum ventrikel sedang atau besar biasanya
diatasi dengan digoksin (dosis rumat 0,01 mg/kg/hari, dalam 2 dosis) namun
diuretik lebih jarang diperlukan. Infeksi saluran napas diatasi dengan
pemberian antibiotik dini dan adekuat.13
Tatalaksana selanjutnya yaitu melalui tindakan pembedahan. Seperti
telah disebutkan, dalam 2 tahun pertama defek mungkin mengecil atau
menutup spontan. Akan tetpi jika pada umur 3 atau 4 tahun defek belum
menutup dan terdapat pembesaran jantung, pletora paru, dan masih terdapat
gejala maka dianjurkan untuk tindakan penutupan defek. Kenyataan tidak
adanya kemungkinan penutupan spontan di atas umur 6 tahun menyebabkan
kesepakatan bahwa defek sebaiknya dikoreksi pada usia 4-6 tahun. Akan
tetapi waktu operasi ini cenderung makin muda, sesuai dengan kemampuan
tim kardiologi anak dan terutama tim bedah jantung setempat. Sebagian
besar pasien defek septum ventrikel berukuran besar memerlukan tindakan
bedah korektif. Jika pasien defek septum ventrikel besar mengalami gagal
jantung yang refrakter terhadap pengobatan medis, defek harus dikoreksi
pada umur berapa pun, meski biasanya belum perlu dilakukan sebelum
umur 3-6 bulan.
Tindakan bedah korektif di negara maju pada umunmya dilakukan pada
masa anak, bahkan di bawah 1 tahun, tetapi di negara berkembang, bedah
korektif seringkali dilakukan pada usia dewasa muda, bahkan usia dewasa,
sehingga membawa konsekuensi mortalitas dan morbiditas. Penyulit yang
timbul akibat kelambatan tindakan bedah korektif adalah terjadinya
hipertensi pulmonal, timbulnya stenosis pulmonal infimdibular, dan prolaps
katup aorta (khususnya pada defek subarterial) dengan atau tanpa reguigitasi
aorta, serta endokarditis infektif
Beberapa tahun terakhir ini dikembangkan teknik penutupan defek
septum ventrikel dengan mempergunakan alat serupa payung yang
dimasukkan dengan kateter, sehinggaa tindakan pembedahan dapat

47
dihindarkan. Teknik ini hanya dapat dilakukan untuk defek yang jauh dari
struktur penting misalnya katup aorta. Defek septum muskular, khususnya
yang multipel, mungkin merupakan kandidat yang baik untuk ditutup
dengan teknik tersebut.

H. PROGNOSIS VSD

Kemungkinan penutupan spontan defek kecil cukup besar, terutama


pada tahun pertama kehidupan. Kemungkinan penutupan spontan sangat
berkurang setelah pasien berusia 2 tahun, dan umunmya tidak ada lagi
kemungkinan penutupan spontan di atas usia 6 tahun. Hipertensi pulmonal
sampai batas tertentu hanyalah akan mengakibatkan bertambahnya
meningkatnya risiko pascabedah, tetapi jika tahanan vaskular paru telah
melampaui batas (umumnya > 12 HRU/m2) pasien defek septum ventrikel
sudah tidak lagi layak operasi. Pada defek subarterial kejadian prolaps katup
aorta sangat tinggi. Pada kelompok umur > 20 tahun prolaps katup aorta
terdapat pada 76% kasus, 12-20 tahun sebesar 73% 6-12 tahun sebesar 75%
dan di bawah 6 tahun sebesar 26% 13
Pada ras Oriental kejadian prolaps katup aorta yang disertai regurgitasi
aorta jauh lebih tinggi daripada ras Kaukasus dan Negro. Defek subarterial
dengan prolaps katup aorta dan regurgitasi katup aorta yang bermakna
merupakan indikasi tindakan bedah. Apabila tidak dilakukan koreksi dapat
terjadi kerusakan katup aorta yang parah yang membutuhkan penggantian
katup. Endokarditis infektif pada defek septum ventrikel terjadi; penyulit ini
lebih sering terjadi pada defek kecil, lebih sering diderita oleh pasien lelaki,
dan akan meningkat dengan bertambahnya umur.13
Defek septum ventrikel besar dapat mengecil atau menutup spontan
atau mengalami stenosis infundibular oleh karena perubahan hemodinamik
sehingga secara klinis menyerupai tetralogi Fallot. Sebagian pasien dengan
defek septum ventrikel besar tetap stabil tanpa hipertensi pulmonal, dan
sebagian lagi akan mengalami hipertensi pulmonal dan pirau terbalik dari

48
kanan ke kiri sehingga menyebabkan sianosis dan jari tabuh (Sindrom
Eisenmenger).13

I. DEFINISI, EPIDEMIOLOGI, DAN KLASIFIKASI


DEXTROCARDIA DAN SITUS ANOMALI

Dextrocardia adalah sebuah istilah yang digunakan secara eksklusif


untuk menunjukkan posisi jantung, terutama puncak dari jantung yang
terletak pada sisi kanan tubuh, apabila dibandingkan dengan kondisi normal
dimana jantung biasanya terletak di sebelah kiri tubuh (posisi seperti
cermin).15,16 Kondisi ini merupakan abnormalitas posisi jantung yang
bersifat kongenital.17 Kelainan ini biasanya ditemukan secara tidak sengaja
dan berkaitan erat dengan kelainan kongenital lainnya.18 Kondisi ini pula
harus dibedakan dengan dextroposition, yaitu pergeseran jantung ke sebelah
kanan dada sebagai konsekuensi dari kondisi patologis yang melibatkan
diafragma, paru, pleura aau jaringan lainnya, sedangkan dextrocardia
merupakan kondisi dimana aksis mayor dari jantung (dari basis menuju
apex jantung melalui septum interventrikuler) mengarah ke kanan.19
Penting untuk mengetahui istilah lain yang digunakan untuk
mendeskripsikan posisi jantung lainnya. Levoposition merupakan posisi
jantung yang normal, menunjukkan lokasi jantung pada sisi kiri secara
anatomis. Mesoposition menunjukkan lokasi jantung yang terletak ditengah
batang tubuh. Umumnya, posisi jantung ini jarang disebutkan pada apabila
dibandingkan dengan letak posisi apex jantung itu sendiri.20
Umumnya, levocardia menunjukkan kondisi levoposition dengan
posisi apex jantung yang mengarah pada kondisi normal secara anatomis
yaitu ke arah kiri. Dextrocardia adalah kondisi dextroposition dengan apex
jantung yang mengarah ke bagian kanan tubuh. Istilah lain yang harus
dipahami adalah levoversi atau dextroversi, yaitu posisi apex jantung yang

49
mengarah ke kiri atau ke kanan tubuh, terlepas daripada posisi dan letak
jantung tersebut pada bagian tubuh.20
Situs anomali merupakan kondisi yang jarang ditemukan, rumit dan
masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Istilah situs berarti posisi, atau
lokasi, yang mengacu pada garis tengah tubuh.20 Posisi normal dari organ
dalam abdomen dibatasi oleh vena cava inferior dan superior pada bagian
kanan abdomen yang masuk ke atrium kanan.20 Organ – organ dalam yang
terletak pada daerah kanan tubuh yaitu hepar, kantung empedu, vena cava
inferior dan paru trilobus. Organ – organ dalam yang terletak pada bagian
kiri tubuh yaitu atrium vena pulmonaris, lambung, lien, aorta, apex jantung,
paru bilobus.20 Apabila organ dalam ini berada pada posisi yang normal,
maka kondisi ini disebut dengan situs solitus.21 Apabila letak organ dalam
abdomen ini terbalik, maka kondisi ini disebut dengan situs inversus / situs
transversus, dan posisi yang tidak dapat dispesifikasikan atau terletak pada
posisi yang lain dapat disebut dengan situs ambiguous.17,21 Secara harfiah,
situs inversus / transversus merupakan kondisi kelainan kongenital dimana
organ dalam mayor dalam tubuh terletak pada posisi yang terbalik dari
posisi normalnya.17
Situs inversus dibagi menjadi dua jenis. Apabila situs inversus disertai
dengan dextrocardia, maka kondisi ini disebut sebagai situs inversus totalis.
Terjadinya keterbalikan dari rongga jantung dan organ dalam, namun
dengan posisi jantung yang tetap terletak pada sisi kiri dari batang tubuh,
atau situs inversus dengan levocardia dapat disebut dengan situs inversus
incompletus.20
Heterotaxy atau situs ambiguous didefinisikan sebagai gangguan
distribusi posisi organ dalam antara sisi kiri dan kanan yang tidak sesuai
kepada keterbalikan secara total maupun sebagian.20 Dalam hal ini, situs
ambiguous berarti kelainan posisi lainnya yang tidak dapat dikategorikan
dalam situs inversus baik totalis maupun incompletus.

50
Gambar 2.8 – Macam – macam situs anomali

Dextrocardia sendiri merupakan suatu kelainan terkait genetik


autosomal resesif yang tergolong jarang terjadi. Terdapat 0,01% kasus
dextrocardia dari keseluruhan angka kelahiran hidup yang terjadi di
Amerika Serikat. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk terjadinya
kelainan ini pada wanita bila dibandingkan dengan pria.16 Insidensi
dextrocardia dilaporkan kurang dari 1%, dan sebuah penelitian
menyebutkan bahwa insidens kejadian ini hanya sekitar 0,22%.18 Pada suatu
penelitian yang dilakukan oleh Bernasconi et all (2005), didapatkan bahwa
dari 36.765 ibu yang menjalani pemeriksaan fetal echocardiography,
terdapat 82 kasus dextrocardia yang terdiagnosis.19
Situs anomali sendiri merupakan suatu jenis kelainan jantung
kongenital dengan jumlah kasus yang paling sedikit dari antara kelainan
kongenital jantung lainnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh
National Birth Defects Prevention Study, prevalensi dari situs anomali
diestimasikan sebesar 1,1 per 10.000 kelahiran hidup.20
Situs inversus totalis sendiri memiliki prevalensi sebesar 0,01% dari
populasi umum. Insidensi terjadinya defek struktur jantung pada kasus situs
inversus totalis diperkirakan sebesar 5% hingga 10%.20
Etiologi pasti dari dextrocardia dan situs anomali ini masih belum dapat
dijelaskan secara mendalam. Namun diperkirakan kelainan ini terkait
dengan kondisi genetik.20 Kelainan ini diperkirakan terjadi akibat gangguan
pada genetik autosomal resesif dimana defek tersebut terjadi pada

51
kromosom nomor 14.22 Diperkirakan bahwa primitive loop pada proses
perkembangan embrionik bergerak melintas ke arah yang berlawanan dari
posisi yang normal sehingga menghasilkan perpindahan organ ke lokasi
yang abnormal.22 Pada kondisi situs solitus, apex jantung awalnya akan
berada pada hemithorax kanan, namun secara normal akan bermigrasi ke
hemithorax kiri pada bulan pertama gestasi. Apabila migrasi ini tidak
terjadi, maka dextrocardia akan terjadi.23
Neonatus yang lahir dari ibu yang mengalami diabetes selama
kehamilannya memiliki risiko lebih tinggi terhadap terjadinya anomali
kongenital, terutama malformasi jantung. Hal ini disebabkan oleh efek
teratogenik dari kadar gula darah yang tinggi.24

J. KRITERIA DIAGNOSIS DEXTROCARDIA DAN SITUS ANOMALI

Pada sebagian kasus, kondisi dextrocardia dan situs anomali sering


kali tidak terdeteksi karena pasien biasanya tidak memiliki keluhan apapun
(asimptomatik). Pada beberapa kasus, kondisi ini sering kali terdeteksi
setelah pasien dewasa atau ketika pasien melakukan pemeriksaan kesehatan,
atau mengalami gangguan serius pada ginjal, saluran napas, saluran cerna
maupun sistem kardivaskuler mereka.17,25 Sering kali kondisi ini baru
terdeteksi ketika terdapat gejala Primary Ciliary Dyskinesia (PCD) atau
malformasi splenik.24 Angka harapan hidup pada kelainan ini biasanya
berkurang pada kasus – kasus dengan defek yang berat.15 Salah satu keluhan
yang dapat muncul pada pasien biasanya dapat terjadi apabila pasien
mengalami sindrom Kartagener. Sindrom ini merupakan subgrup dari PCD
yang terdiri dari situs inversus, sinusitis kronik dan bronkiektasis.20 Sekitar
50% pasien dengan PCD memiliki kondisi situs inversus totalis.20 Pada
kondisi ini, biasanya pasien akan lebih mudah mengalami infeksi paru.26
Diagnosis dari dextrocardia dengan situs inversus totalis dapat
dilakukan dengan menggunakan modalitas pencitraan yaitu radiografi
thorax, echocardigraphy 2 dimensi, barium meal, barium enema, USG
abdomen dan CT Scan. Pada radiografi thorax dapat ditemukan bayangan

52
jantung pada sisi kanan tubuh dengan apex jantung mengarah ke sisi kanan
tubuh dan melalui echocardigraphy 2 dimensi menunjukkan ruangan –
ruangan jantung mengarah ke sisi yang berlawanan dari posisi normalnya.16

(a)

(b)

Gambar 2.9 – Gambar Echocardiography (a) dan Foto Thorax (b) pada
Pasien dengan Situs Inversus.

53
Pada pemeriksaan barium meal dan barium enema, dapat ditemukan
gambaran lambung pada sisi kanan abdomen dan lengkung “C” yang
dimiliki oleh duodenum akan mengarah ke sebelah kanan, serta ileus
terminal, ileo-caecal junction, caecum dan kolon ascendens terletak pada
sisi kiri tubuh meskipun kolon descenden dan kolon sigmoid tampak pada
sisi sebelah kanan abdomen.

Gambar 2.10 – Gambaran Barium Enema pada Pasien dengan Situs


Inversus

USG abdomen dan CT scan pada kondisi ini menunjukkan letak hepar
yang berada di sebelah kanan pasien, dan lien berada di sebelah kanan
pasien.16

54
(a)

(b)

Gambar 2.11 – Gambaran USG Abdomen (a) dan CT Scan abdomen


(b) pada Pasien dengan Situs Inversus

Modalitas lainnya yang dapat digunakan untuk mendiagnosa kondisi


ini adalah dengan penggunaan elektrokardiografi (EKG). Temuan yang
umum pada EKG pasien yang mengalami dextrocardia adalah adanya
impuls jantung yang maksimal pada bagian kanan jantung. Gambaran RKG
yang terbentuk biasanya menunjukkan deviasi aksis jantung ke arah kanan,
gambaran gelombang P dan kompleks QRS yang positif pada aVR, dan

55
gambaran gelombang P dan kompleks QRS yang negatif pada leads I dan
AVL, dan pada beberapa kasus terdapat gelombang T inverted pada leads
I (global negativity). Gambaran R-wave progression akan menghilang pada
leads prekordial, disertai dengan gelombang S yang menjadi lebih dominan.
23
Terkadang, gambaran ini sering kali disalahartikan sebagai peletakan
leads yang salah. Oleh karena itu, sering kali dilakukan pengulangan
perekaman EKG untuk memastikan kembali apakah terjadi kesalahan pada
peletakan leads atau tidak.

Gambar 2.12 – Gambaran USG Abdomen (a) dan CT Scan abdomen


(b) pada Pasien dengan Situs Inversus

Diagnosa situs anomali dan dextrocardia ini penting untuk


ditegakkan berkaitan dengan kondisi penyakit lainnya. Pengenalan terhadap
kondisi ini merupakan sesuatu yang bersifat esensial apabila akan dilakukan
suatu prosedur atau pembedahan darurat untuk menghindari kesalahan
tindakan.22 Penatalaksanaan pembedahan dan preoperasi pada pasien terkait
dengan penyakit lain yang dimiliki pasien akan menjadi lebih berisiko
apabila diagnosa kelainan ini tidak ditegakkan.15,17,27 Penegakkan diagnosis
situs inversus dapat membantu pasien dengan kondisi penyakit tertentu
seperti appendicitis, dimana nyeri yang dirasakan akan terletak pada sisi

56
sebelah kiri dan bukan di sebelah kanan. Kondisi keterlambatan penegakkan
diagnosis ini dapat menyebabkan kesalahan diagnosis pada penyakit lainnya
yang dialami pasien dan memungkinkan terjadinya kematian akibat
penundaan tindakan pembedahan.15,17,27

K. TATALAKSANA DAN PROGNOSIS PADA DEXTROCARDIA DAN


SITUS INVERSUS TOTALIS

Populasi yang memiliki kondisi situs inversus totalis ini biasanya


tidak membutuhkan terapi spesifik kecuali ketika pasien memiliki gejala
dan tanda tertentu atau disertai dengan anomali jantung kongenital yang
dapat ditatalaksana.22 Tatalaksana pada kasus dextrocardia dengan situs
inversus hanyalah berupa tatalaksana yang bersifat simptomatik dan
suportif ketika dibutuhkan.16 Tidak diperlukan tatalaksana terkait situs
anomali ini.
Pasien dengan kondisi situs inversus dan dextrocardia tanpa anomali
kongenital lainnya dapat memiliki angka harapan hidup dan faktor risiko
untuk mendapatkan penyakit lain yang sama dengan orang – orang tanpa
situs anomali ini, dengan usia dan jenis kelamin yang sama. Pada kondisi
yang disertai dengan penyakit jantung kongenital lainnya yang jarang
terjadi, biasanya angka harapan hidupnya akan lebih berkurang, tergantung
dengan seberapa berat defek yang terjadi.15
Penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada situs anomali adalah
adanya malformasi jantung lainnya. Kondisi ini akan menyebabkan
terjadinya malkoneksi vaskular yang dapat menyebabkan meningkatnya
mortalitas dan morbiditas. Karena adanya kondisi patologis intrakardiak dan
menurunnya fungsi imun, maka seringkali prognosis dari situs anomali ini
menjadi buruk.28

57
L. DEFINISI, EPIDEMIOLOGI, ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
PNEUMONIA

Pneumonia adalah inflamasi pada parenkim paru dengan konsolidasi


ruang alveolar. Pneumonia lobaris adalah kondisi yang menggambarkan
pneumonia yang terlokalisir pada satu atau lebih lobus paru. Pneumonia
atipikal merupakan bentuk selain daripada pneumonia lobaris.
Bronkopneumonia sendiri merupakan inflamasi paru yang terfokus pada
area bronkiolus dan memicu produksi eksudat mukopurulen yang dapat
mengakibatkan obstruksi saluran respiratori berkaliber kecil dan
menyebabkan konsolidasi yang merata pada lobulus yang berdekatan.29
Pneumonia masih merupakan penyebab kematian utama yang
diakibatkan oleh infeksi pada anak kurang dari 5 tahun, dengan jumlah
920.000 kematian setiap tahunnya.30 Diestimasikan terdapat 120 juta kasus
pneumonia di seluruh dunia setiap tahunnya, yang mengakibatkan 1,3 juta
kematian.4 Penyebab kematian anak dengan usia kurang dari 2 tahun di
negara berkembang hampir sebesar 80% disebabkan oleh pneumonia.5
Tingkat kematian anak dibawah usia lima tahun di sebagian besar negara
berkembang berkisar 60-100 per 1000 kelahiran hidup, seperlima dari
kematian ini disebabkan oleh pneumonia.6 Pada tahun 2010, terdapat
265.000 kematian secara kasar yang terjadi akibat kasus pneumonia pada
ruang perawatan, 99% dari jumlah tersebut terdapat pada negara – negara
berkembang. Kematian akibat pneumonia berkaitan dengan tingkat
kemiskinan penduduk. Lebih dari 99% kematian akibat pneumonia terjadi
di daerah dengan pendapatan rendah hingga menengah, dengan tingkat
kematian tertinggi akibat pneumonia terjadi di negara yang berkembang
dengan buruk di Afrika dan Asia Selatan.30

58
Gambar 2.13 – Epidemiologi Pneumonia

Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan akibat infeksi oleh


mikroorganisme, penyebab noninfeksius termasuk aspirasi (makanan atau
asam lambung, benda asing, hidrokarbon dan zat lipoid), reaksi hipersensitif
dan pneumonitis akibat obat atau radiasi.30
Mikroorganisme penyebab pneumonia berbeda – beda berdasarkan
usia.29 Patogen virus merupakan penyebab tersering dari infeksi saluran
napas bagian bawah pada neonatus dan anak dengan usia diatas 1 tahuun
namun dibawah 5 tahun.30 Penyebab pneumonia tersering pada bayi adalah
Respiratory Syncytial Virus (RSV) sedangkan virus respiratori lainnya
(RSV, parainfluenza, influenza, dan adenovirus) lebih sering ditemukan
pada anak berusia kurang dari 5 tahun.29 Infeksi oleh lebih dari satu jenis
virus dapat terjadi hingga 20% dari keseluruhan kasus.
Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) merupakan bakteri
patogen tersering pada anak yang berusia 3 minggu hingga 4 tahun, dimana
Mycoplasma pneumonia dan Chlamydophila pneumoniae merupakan
bakteri petogen tersering pada anak dengan usia 5 tahun atau lebih dan
pneumonia atipikal. Bakteri lainnya yang seringkali menyebabkan
pneumonia adalah Streptococcus grup A (Streptococcus pyogenes) dan

59
Staphylococcus aureus. Pneumonia akibat S. Aureus seringkali menjadi
komplikasi dari penyakit yang disebabkan oleh virus influenza.29,30
S. pneumoniae, H. Influenzae dan S. aureus merupakan penyebab
utama pneumonia akibat bakteri yang menyebabkan tingginya angka
perawatan di rumah sakit dan angka kematian.30
Beberapa agen juga dapat menyebabkan pneumonia walaupun jarang
terjadi. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) diakibatkan oleh SARS-
associated CoronaVirus (SARS-CoV) juga dapat memberikan gambaran
pneumonia. Avian influenza yang lebih dikenal dengan flu burung,
merupakan penyakit akibat virus yang sangat menular melalui unggas dan
jenis burung lainnya yang disebabkan oleh virus influenza A (H5N1).
Sindrom karidopulmoner Hantavirus (Hantavirus Cardiopulmonary
Syndrome) yang disebabkan oleh virus Sin Nombre yang dibawa oleh
Peromyscus maniculatus (tikus rusa) dan menular melalui kotoran tikus
yang teraerosolasi. Penyakit Legionaire yang disebabkan oleh Legionella
pneumophillia juga dapat menyebabkan pneumonia pada anak, meskipun
jarang terjadi.29 Penyebab lainnya yang dapat ditemukan yaitu Francisella
tularensis, Brucella Spp., Coxiella burnetti, Chlamydophika psittaci,
Histoplasma capsulatum, Coccidiodes immitis, dan Blastomyces
dermatitidis.31
Chlamydia trachomatis dan Mycoplasma hominis, Ureaplasma
urealyticum dan sitomegalovirus (CMV) juga dapat menyebabkan
terjadinya sindrom respiratori yang sama pada bayi berusia 1 – 3 bulan,
dengan awitan subakut yang ditandai dengan pneumonia afebril, dengan
batuk dana hiperinflasi paru sebagai gejala predmonian. Pada pasien
dewasa, kuman ini merupakan flora normal genital. Wanita dapat
menularkannya pada bayinya secara perinatal.29

60
Gambar 2.14 – Etiologi dan Terapi Antimikroba Empiris untuk Pneumonia
pada Pasien Tanpa Riwayat Terapi Antibiotik

61
Penyebab pneumonia pada pasien imunokompromais adalah bakteri
enterik gram negatif, mikobakteria (Mycobacteria tuberculosis dan
Myccobacteria avium kompleks), jamur (aspergilosis, histoplasmosis),
virus (CMV) dan Pneumocystis jirovecii (carinii). Pneumonia pada pasien
dengan kistik fibrosis umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus
pada masa bayi dan Pseudomonas aeruginosa atau Burkholderia cepacia
pada pasien yang berusia lebih tua.29,30
Pneumonia adalah invasi saluran pernapasan bagian bawah, di bawah
laring oleh patogen baik melalui inhalasi, aspirasi, invasi epitel pernapasan,
atau penyebaran hematogen.32 Saluran pernapasan bawah memiliki
sejumlah mekanisme pertahanan terhadap infeksi, termasuk struktur
anatomi (rambut hidung, turbinat, epiglotis, silia), pembersihan mukosiliar,
mekanisme pembersihan saluran udara dengan mekanisme batuk dan
imunitas humoral dan seluler (makrofag serta sekresi imunoglobulin A).30,32
Telah dipercaya bahwa saluran pernapasan bagian bawah terjaga untuk tetap
menjadi steril dalam kondisi tanpa infeksi oleh karena mekanisme tersebut.
Namun, saat ini beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran
pernapasan bawah juga mengandung berbagai koloni mikroba. Data ini
sangat berlawanan dengan model patogenesis tradisional pneumonia yang
mengatakan bahwa pneumonia adalah hasil dari invasi saluran pernapasan
bagian bawah yang steril oleh satu jenis patogen. Model konseptual yang
lebih baru mengungkapkan bahwa pneumonia dihasilkan dari gangguan
pada sistem pernapasan bagian bawah yang kompleks, yang merupakan
hasil dari interaksi dinamis antara koloni patogen yang berpotensi
menyebabkan pneumonia, mikroba flora normal, dan kekebalan tubuh
penjamu.29,30
Setelah mekanisme pertahanan saluran pernapasan bawah ini dilewati
oleh bakteri patogen, infeksi, baik oleh penyebaran fomite / droplet
(kebanyakan virus) atau kolonisasi nasofaring (sebagian besar bakteri),
menghasilkan peradangan dan cedera atau kematian epitel di sekitarnya dan
alveoli. Hal ini pada akhirnya disertai dengan migrasi sel-sel inflamasi ke

62
tempat infeksi, menyebabkan proses eksudatif, yang pada akhirnya akan
mengganggu proses oksigenasi.32
Ada empat tahapan pada proses terjadinya pneumonia lobaris. Tahap
pertama terjadi dalam 24 jam dan ditandai oleh edema alveolar dan kongesti
vaskular. Bakteri dan neutrofil terdapat di dalam jaringan saluran
pernapasan bagian bawah. Tahap kedua adalah hepatisasi merah. Tahap ini
ditandai oleh adanya neutrofil, sel darah merah, dan sel epitel yang
mengalami deskuamasi. Deposit fibrin dalam alveoli juga sering terjadi.
Tahap ketiga adalah hepatisasi abu-abu yang terjadi dalam waktu 2-3 hari
kemudian. Pada tahapan ini, paru tampak berwarnaa coklat gelap. Ada
akumulasi hemosiderin dan terjadinya hemolisis sel darah merah. Tahap
keempat adalah tahap resolusi, di mana infiltrat seluler akan diserap, dan
arsitektur paru dipulihkan. Jika penyembuhan tidak ideal, maka dapat
menyebabkan efusi parapneumonik dan adhesi pleura.32
Pada bronkopneumonia, sering ada konsolidasi dari satu atau lebih
lobus. Infiltrat neutrofilik sering terdapat di sekitar pusat bronkus.32
Pneumonia yang disebabkan oleh virus biasanya merupakan hasil dari
penyebaran infeksi di sepanjang saluran napas, disertai dengan adanya
kerusakan langsung dari epitel pernapasan, yang menyebabkan obstruksi
jalan napas karena pembengkakan, sekresi abnormal, dan debris seluler.
Sedikit kerusakan saluran napas pada bayi dapat membuat pasien menjadi
lebih rentan terhadap infeksi yang berat. Atelektasis, edema interstitial, dan
hipoksemia akibat ketidakcocokan ventilasi-perfusi sering menyertai
obstruksi jalan napas. Infeksi virus pada saluran pernapasan juga dapat
menyebabkan infeksi bakterial sekunder dengan cara mengganggu
mekanisme imunitas normal penjamu, mengubah sekresi, dan terjadinya
gangguan pada mikrobiota flora normal saluran pernapasan.30
Pneumonia bakteri paling sering terjadi ketika organisme patogen
saluran pernapasan berkolonisasi di trakea dan selanjutnya mendapatkan
akses ke paru-paru, nemun pneumonia dapat juga terjadi akibat penyebaran
langsung mikroorganisme ke jaringan paru setelah terjadinya bakteremia.
Saat infeksi bakteri terjadi di parenkim paru-paru, suatu proses patologis

63
yang bervariasi terjadi sesuai dengan organisme yang menyerang. M.
pneumoniae menempel pada epitel pernapasan, menghambat kerja silia
pernapasan, dan menyebabkan penghancuran sel serta respons inflamasi
pada submukosa. Ketika infeksi terus terjadi debris sel, sel-sel inflamasi,
dan mukus akan menyebabkan obstruksi jalan napas, dengan penyebaran
infeksi yang terjadi di sepanjang cabang bronkiolus, seperti yang terjadi
pada pneumonia akibat virus. S. pneumoniae menghasilkan edema lokal
yang berfungsi untuk proliferasi mikroorganisme dan penyebarannya ke
bagian yang berdekatan dari paru-paru, sering mengakibatkan keterlibatan
fokus lobus yang khas. Infeksi saluran pernapasan bawah oleh streptokokus
grup A biasanya menghasilkan lebih banyak keterlibatan paru secara difus
yang disertai dengan pneumonia interstitial. Kondisi patologis yang akan
terjadi adalah nekrosis mukosa trakeobronkial; pembentukan sejumlah
besar eksudat, edema, perdarahan lokal, dengan ekstensi ke septum
interalveolar; dan keterlibatan pembuluh limfatik serta pleura cukup sering
terjadi. Pneumonia akibat S. aureus bermanifestasi sebagai
bronkopneumonia konfluen, yang seringkali unilateral dan ditandai dengan
adanya area nekrosis hemoragik yang luas dan area kavitasi parenkim paru
yang tidak teratur, menghasilkan pneumatokel, empiema, dan terkadang
dapat terjadi fistula bronkopulmonalis.30
Pneumonia rekuren didefinisikan sebagai 2 atau lebih episode
terjadinya pneumonia dalam satu tahun, atau 3 atau lebih episode sepanjang
kehidupan, dengan gambaran radiografi yang baik diantara kejadian
tersebut. Bila anak mengalami pneumonia rekuren, maka penyebab yang
mendasari harus segera diselidiki.30

M. KRITERIA DIAGNOSIS PNEUMONIA

Pneumonia sering didahului oleh gejala dari infeksi saluran


pernapasan bagian atas beberapa hari, biasanya berupa rinitis dan batuk.
Pneumonia virus lebih sering berasosiasi dengan batuk, mengi atau stridor,

64
gejala demam dengan suhu yang umumnya lebih rendah dari pada infeksi
akibat bakteri.29,30 Takipnea adalah manifestasi klinis yang paling sering
ditemukan pada pneumonia.30,33 Pada anak dengan demam, ketiadaan gejala
takipnea merupakan penanda negatif paling tinggi untuk menegakkan
diagnosis pneumonia. World Health Organization (WHO) menggunakan
takipnea yang disertai dengan batuk sebagai kriteria diagnosis dari
pneumonia pada negara berkembang dimana rontgen thoraks tidak
selamanya tersedia.33 Peningkatan kerja organ pernapasan disertai dengan
retraksi interkostal, subkostal, dan suprasternal, pernapasan cuping hidung,
dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan. Infeksi yang berat dapat
disertai dengan sianosis dan kelemahan, terutama pada bayi. Pada
pemeriksaan auskultasi thoraks dapat ditemukan bunyi crackles dan
wheezing (mengi), tetapi seringkali sulit untuk melokalisasi sumber dari
bising napas ini, terutama pada anak-anak yang sangat muda. Seringkali
sulit untuk membedakan secara klinis pneumonia akibat virus (terutama
adenovirus) dengan pneumonia yang disebabkan oleh Mycoplasma dan
bakteri patogen lainnya.30
Pneumonia bakteri pada orang dewasa dan anak yang lebih besar
biasanya dimulai secara tiba-tiba dengan gejala demam tinggi, batuk, dan
nyeri dada. Gejala lain yang mungkin terlihat yaitu kelemahan disertai
dengan kondisi gelisah; pernapasan cepat; dan terkadang terjadi delirium.
Temuan pada pemeriksaan fisik tergantung pada tahapan pneumonia.
Di awal perjalanan penyakit, bunyi nafas dasar dapat berkurang,terdengar
ronkhi tersebar, umumnya pada lapangan paru yang terkena. Dengan
perkembangan peningkatan konsolidasi atau komplikasi pneumonia seperti
efusi pleura atau empiema, bunyi pekak pada perkusi paru dan suara nafas
yang melemah dapat ditemukan. Keterlambatan proses pernapasan sering
terjadi pada sisi yang sakit. Nyeri perut sering terjadi pada pneumonia lobus
bawah. Hati mungkin terlihat membesar karena tekanan ke bawah dari
diafragma sekunder akibat hiperinflasi paru-paru.30,33
Gejala tersebut dapat ditemukan pada anak – anak yang lebih dewasa
namun jarang diamati pada bayi dan anak kecil, yang mana memiliki pola

65
klinis jauh lebih bervariasi.30 Dalam hal ini, usia merupakan faktor penentu
dalam manifestasi klinis pneumonia.29 Neonatus dapat menunjukkan hanya
gejala demam tanpa ditemukannya gejala – gejala fisis pneumonia.29 Pada
bayi, mungkin terdapat gejala infeksi saluran pernapasan atas dan nafsu
makan yang menurun, yang kemudian dapat terjadi demam, gelisah, dan
gangguan pernapasan. Bayi tersebut biasanya tampak sakit, dengan gejala
gangguan pernapasan yaitu grunting, hidung melebar, retraksi daerah
supraklavikular, interkostal, dan subkostal, takipnea, takikardia, tanda
kekurangan udara; dan seringkali sianosis. Auskultasi mungkin
menyesatkan, terutama pada bayi muda, dengan sedikit sekali temuan yang
tidak spesifik ke arah beratnya takipnea. Beberapa bayi dengan pneumonia
bakteri mungkin menderita gangguan gastrointestinal yang ditandai dengan
muntah, anoreksia, diare, dan perut tampak kembung akibat ileus paralitik.
Perkembangan gejala yang cepat adalah karakteristik pada kasus pneumonia
yang berat.30,33
Radiografi thoraks merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
sering digunakan untuk mendiagnosis pneumonia. Banyak penelitian
menggunakan radiografi dada sebagai modalitas diagnostik yang disukai,
tetapi temuan positif belum terbukti meningkatkan hasil luaran secara klinis
atau mengubah pengobatan secara signifikan. Pencitraan dada dirasakan
bermanfaat ketika diagnosis masih belum jelas atau ketika temuan dari
riwayat dan pemeriksaan fisik tidak spesifik.33 Radiografi frontal dan lateral
diperlukan untuk melokalisasi penyakit dan dirasakan cukup
memvisualisasikan infiltrat retrokardiak dan direkomendasikan untuk
diagnosis pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit. Meskipun terdapat
karakteristik khas secara radiografi yang mengarah pada pneumonia, namun
radiografi saja tidak dapat memberikan diagnosis definitif secara
mikrobiologis.31

66
Gambar 2.15 – Gambaran Pneumonia Akibat Virus dengan Infiltrat
Bilateral

Infiltrat pada radiografi dada (tampak posteroanterior dan lateral)


mendukung diagnosis pneumonia; gambar tersebut juga dapat
mengidentifikasi komplikasi seperti efusi pleura atau empiema.30
Pneumonia bakteri dapat dicurigai berdasarkan temuan radiografi; Namun,
temuan ini tidak terlalu spesifik. Efusi pleura pada radiografi dada adalah
prediktor paling signifikan dari pneumonia bakteri.33 Pneumonia bakteri

67
secara khas menunjukkan konsolidasi lobar, atau pneumonia bulat, dengan
efusi pleura pada 10% hingga 30% kasus.31 Pneumonia virus biasanya
ditandai dengan hiperinflasi, umumnya secara difus dengan infiltrat bilateral
interstitial dan peribronchial cuffing atau corakan bronkopneumonia.30,31
Infiltrat alveolar lebih menunjukkan infeksi bakteri dibandingkan dengan
virus, terutama jika infiltrat terjadi secara lobaris. Konsolidasi lobus yang
berkonfluen biasanya terlihat pada pneumonia akibat pneumokokus.30
Infiltrat interstitial dapat terjadi pada infeksi virus atau bakteri.
Kemungkinan gambaran radiografi yang normal masih mungkin terjadi
pada pasien dengan pneumonia bakterialis tahap awal.31,33 Limfadenopati
hilar tidak umum terjadi pada pneumonia bakteri tetapi mungkin merupakan
tanda terjadinya tuberkulosis, histoplasmosis, atau neoplasma ganas.31

Gambar 2.16 – Gambar Pneumonia Lobaris Akibat Infeksi Bakteri

Tampilan radiografi saja tidak akurat dalam mengidentifikasi etiologi


pneumonia, sehingga gambaran klinis penyakit yang lain juga harus
dipertimbangkan. Radiografi dada ulangan tidak diperlukan sebagai bukti
kesembuhan pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi.30
Penggunaan ultrasonografi portabel diperkirakan sangat sensitif dan
spesifik dalam mendiagnosis pneumonia pada anak-anak dengan
menemukan konsolidasi paru dan gambaran air bronchogram atau efusi.
Namun tingkai reliabilitas dari modalitas pencitraan ini untuk diagnosis

68
pneumonia sangat tergantung pada pengguna, yang membatasi
penggunaannya secara luas yaitu hanya terbatas pada ahli radiologi.30

Gambar 2.17 – Gambaran USG pada Kasus Pneumonia

Computed tomography (CT) umumnya digunakan untuk


mengevaluasi kelainan yang lebih serius, seperti abses pleura, bronkiektasis,
dan karakteristik efusi. Diperlukan etiologi yang tidak biasa atau pneumonia
berulang sebagai pertimbangan khusus untuk dilakukannya pemeriksaan
ini.31

69
Protein C-reaktif dan kadar prokalsitonin, jumlah sel darah putih, dan
tingkat sedimentasi eritrosit juga dapat digunakan dalam diagnosis
pneumonia bakteri.30,33 Hitung sel darah putih perifer dapat berguna dalam
membedakan pneumonia akibat virus dibandingkan bakteri. Pada
pneumonia virus, jumlah WBC bisa normal atau meningkat tetapi biasanya
tidak lebih tinggi dari 20.000/mm3, dengan sel yang dominasi oleh limfosit.
Pneumonia bakteri sering dikaitkan dengan peningkatan jumlah sel darah
putih / leukosit, dalam kisaran 15.000-40.000/mm3, dan lebih didominasi
oleh leukosit polimorfonuklear / neutrofil. Eosinofilia ringan merupakan
karakteristik yang dapat ditemukan pada bayi dengan pneumonia akibat C.
trachomatis. 31,30 Satu studi pada anak – anak kurang dari usia 16 tahun
menunjukkan bahwa 93% dari pasien dengan jumlah sel darah putih lebih
besar dari 20.000 / mm3 (20 × 109 / L) mengalami perbaikan gejala dengan
terapi antibiotik, dibandingkan dengan 50% dari pasien dengan jumlah
leukosit kurang dari 10.000 sel / mm3 (10 × 109 / L). Perbaikan gejala secara
signifikan dengan antibiotik juga tampak pada pasien dengan jumlah sel
darah putih lebih dari 15.000 sel / mm3 (15 × 109 / L), yang menunjukkan
kecenderungan terhadap pneumonia bakteri.33 Pneumonia atipikal yang
disebabkan oleh C. pneumoniae atau M. pneumoniae sulit dibedakan dari
pneumonia akibat pneumokokus bila dilihat dari gambaran radiologis dan
hasil laboratorium.30

70
Tabel 2.5 – Faktor untuk Pertimbangan Rawat Inap pada Pasien
Anak dengan Pneumonia

Diagnosis definitif infeksi virus didasari pada deteksi genom virus


atau antigen yang terkandung dalam sekret saluran pernapasan. Tes PCR
yang baik sudah tersedia untuk deteksi cepat banyak virus pernapasan,
termasuk RSV, parainfluenza, influenza, metapneumovirus manusia,
adenovirus, enterovirus, dan rhinovirus. Teknik serologis juga dapat
digunakan untuk mendiagnosis infeksi virus pernapasan namun umumnya
memerlukan pengujian secara cepat dan sampel serum konvensional untuk
peningkatan antibodi terhadap virus tertentu. Teknik diagnostik ini
dianggap melelahkan, lambat, dan umumnya tidak bermanfaat secara klinis
karena infeksi biasanya sudah sembuh pada sampel tersebut dikonfirmasi
secara serologis. Pengujian serologis mungkin bermanfaat sebagai alat
diagnostik epidemiologi untuk menentukan kejadian dan prevalensi
berbagai patogen virus pernapasan.30
Diagnosis pasti dari infeksi bakteri tipikal membutuhkan isolasi
mikroorganisme dari darah, cairan pleura, atau paru. Kultur dahak sedikit
dapat memberikan penilaian dalam diagnosis pneumonia pada anak, karena
aspirasi paru secara perkutaneus bersifat invasif dan tidak dilakukan secara
rutin.30 Flora bakteri pada saluran pernapasan atas tidak akurat dalam
mencerminkan flora yang terdapat pada infeksi saluran pernapasan bawah,
dan dahak berkualitas tinggi jarang didapat dari anak-anak. Umumnya pada

71
anak-anak yang sehat tanpa penyakit yang mengancam jiwa, prosedur
invasif untuk mendapatkan jaringan atau sekresi dari saluran pernapasan
bawah biasanya tidak diindikasikan.31 Kultur darah hanya memberikan hasil
positif pada 10% anak dengan pneumonia akibat pneumokokus dan tidak
direkomendasikan untuk anak-anak yang dirawat sebagai pasien rawat
jalan. Kultur darah direkomendasikan untuk anak yang gagal mengalami
perbaikan atau mengalami penurunan klinis, mengalami pneumonia yang
berat, atau memerlukan rawat inap.30,31 Tes antigen dengan menggunakan
spesimen dari urine terutamasangat berguna pada pasien pneumonia akibat
L. pneumophila (penyakit legionnaires).31 Infeksi akibat pertusis dapat
didiagnosis dengan PCR atau biakan dari spesimen nasofaring. meskipun
kultur bakteri dianggap sebagai standar emas untuk diagnosis pertusis,
namun tetap dianggap kurang sensitif apabila dibandingkan tes PCR. Infeksi
akut yang disebabkan oleh M. pneumoniae dapat didiagnosis berdasarkan
tes PCR dengan spesimen yang didapat dari saluran pernapasan atau
serokonversi dari imunoglobulin G. Titer aglutinin > 1: 64 juga ditemukan
dalam darah secara kasar pada setengah dari pasien dengan infeksi M.
pneumoniae; Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik karena patogen lain
seperti virus influenza juga dapat menyebabkan peningkatan titer aglutinin.
Bukti serologis, seperti antistreptolysin O dan titer anti-DNase B, mungkin
juga berguna dalam diagnosis pneumonia akibat streptococcus grup A.30
Kebutuhan untuk menegakkan diagnosis etiologi pneumonia
cenderung lebih sering dilakukan pada pneumonia yang cukup berat
sehingga perlu dirawat di rumah sakit, pasien immunocompromised, pasien
dengan pneumonia berulang, atau pasien dengan pneumonia yang tidak
responsif dengan terapi empiris. Untuk pasien ini, bronkoskopi dengan
lavage bronchoalveolar dan brush mucosal biopsy, aspirasi jarum pada
jaringan paru, dan biopsi paru terbuka adalah metodeyang dapat dilakukan
untuk mendapatkan sampel mikrobiologis.31
Apabila ada efusi pleura atau empiema, torakosentesis untuk
mendapatkan cairan pleura bisa dilakukan sebagai kriteria diagnostik dan
terapeutik. Evaluasi perlu dilakukan untuk membedakan antara empiema

72
dan efusi parapneumonik yang bersifat steril akibat iritasi pada pleura.
Pewarnaan gram, kultur, atau PCR bakteri dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis. Cairan pleura ini harus dikultur untuk bakteri,
mikobakteri, jamur, dan virus. Jika akumulasi dari cairan efusi sangat besar
hal ini dapat merusak kemampuan paru-paru untuk mengembang,
mengurangi proses pengurangan cairan dan mengurangi mekanika paru dan
pertukaran gas.31
Pneumonia harus dibedakan dari penyakit paru akut lainnya, termasuk
pneumonitis alergi, asma, dan kistik fibrosis; penyakit jantung, seperti
edema paru yang disebabkan oleh gagal jantung; dan penyakit autoimun,
seperti vaskulitis tertentu dan lupus eritematosa sistemik. Secara radiografi,
pneumonia harus dibedakan dari trauma paru-paru dan memar, pendarahan,
aspirasi benda asing, dan efusi simpatik karena peradangan subdiafragma.

Tabel 2.6 – Diagnosis Banding Pneumonia

73
N. TATALAKSANA, KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS PNEUMONIA

Terapi untuk pneumonia merupakan pengobatan yang bersifat suportif


dan spesifik, tergantung pada derajat penyakit, komplikasi, dan pengetahuan
tentang agen infeksi yang mungkin menyebabkan pneumonia. Sebagian
besar kasus pneumonia pada anak sehat dapat dikelola secara rawat jalan.
Namun anak-anak dengan hipoksemia, ketidakmampuan untuk
mempertahankan hidrasi yang memadai, atau gangguan pernapasan sedang
hingga berat harus dirawat di rumah sakit. Rawat inap harus
dipertimbangkan pada bayi di bawah 6 bulan dengan dugaan pneumonia
bakteri, terutama apabila terdapat kekhawatiran terhadap patogen dengan
peningkatan virulensi (contoh, Staphylococcus aureus yang resisten
terhadap methicillin), atau apabila terdapat kekhawatiran mengenai
kemampuan keluarga untuk merawat anak dan untuk menilai perkembangan
gejala.29,31
Anak-anak harus menerima perawatan suportif dan mungkin
memerlukan cairan intravena, alat bantu pernapasan, termasuk oksigen
tambahan, Continuos Positive Airway Pressure (CPAP), atau ventilasi
mekanis, atau obat vasoaktif untuk fisiologi hipotensi atau sepsis.31
Pengobatan dugaan pneumonia bakteri didasarkan pada penyebab
dugaan dan usia serta penampilan klinis anak.30 Karena virus menyebabkan
sebagian besar pneumonia yang didapat di masyarakat pada anak kecil,
tidak semua anak membutuhkan pengobatan antibiotik empiris pada kasus
pneumonia.30,31 Kondisi ini dilaksanakan terutama untuk pasien usia
prasekolah yang sakit ringan, memiliki bukti klinis menunjukkan infeksi
virus, dan tidak dalam kesulitan pernapasan. Namun, hingga 30% pasien
dengan infeksi virus yang diketahui, terutama virus influenza, mungkin
infeksi ganda dari bakteri patogen. Karena itu, jika keputusan dibuat untuk
menahan terapi antibiotik berdasarkan diagnosis dugaan infeksi virus,
terjadinya penurunan status klinis harus menandakan kemungkinan terdapat
pula infeksi bakteri, dan terapi antibiotik harus dimulai.29,31

74
Situasi lain yang perlu diperhatikan termasuk kurangnya respons
terhadap terapi empiris, gejala dan tanda yang parah, pneumonia
nosokomial, dan anak-anak dengan kondisi immunocompromised umumnya
lebih rentan untuk mendapatkan infeksi dengan patogen oportunistik.
Berbeda dengan meningitis pneumokokus, diduga pneumonia akibat
pneumokokus dapat diobati dengan sefalosporin dosis tinggi meskipun
dengan resistensi penisilin tingkat tinggi. Vankomisin dapat digunakan jika
isolat menunjukkan resistensi tingkat tinggi dan pasien dengan pneumonia
berat. Untuk bayi usia 4 hingga 18 minggu dengan pneumonia afebril yang
kemungkinan besar disebabkan oleh C. trachomatis, maka disarankan untuk
mendapatkan terapi dengan antibiotik golongan makrolid. Oseltamivir atau
zanamivir dapat digunakan jika keluhan diidentifikasi atau dicurigai terjadi
akibat influenza, dengan idealnya terapi diberikan dalam waktu 48 jam dari
onset gejala.29,31
Untuk anak – anak dengan pneumonia ringan yang tidak memerlukan
rawat inap, amoksisilin dianjurkan sebagai tatalaksana etiologi. Dengan
munculnya pneumokokus yang resisten terhadap penisilin, amoksisilin
dosis tinggi (90 mg / kg / hari secara oral, dibagi dua kali sehari) dapat
diberikan, kecuali data lokal menunjukkan prevalensi resistensi yang
rendah. Alternatif terapi yang dapat diberikan yaitu cefuroxime dan
amoxicillin / clavulanate. Untuk anak usia sekolah dan remaja atau ketika
terdapat kecurigaan infeksi oleh M. pneumoniae atau C. pneumoniae,
antibiotik makrolida adalah pilihan yang tepat untuk tatalaksana rawat jalan.
Azitromisin umumnya lebih disukai, sedangkan klaritromisin atau
doksisiklin (untuk anak-anak 8 tahun atau lebih dewasa) dapat digunakan
sebagai alternatif. Untuk remaja, fluoroquinolone untuk pernapasan
(levofloxacin, moxifloxacin) juga dapat dipertimbangkan sebagai alternatif
jika ada kontraindikasi dengan terapi lain.30

75
Tabel 2.7 – Pilihan Terapi Empiris Pada Beberapa Etiologi Pneumonia

76
Terapi empiris dari dugaan pneumonia akibat bakteri yang didapat di
rumah sakit pada anak memerlukan pendekatan berdasarkan epidemiologi
lokal, status imunisasi anak, dan manifestasi klinis pada saat infeksi terjadi.
Di daerah tanpa resistensi penisilin tingkat tinggi yang substansial di antara
S. pneumoniae, anak-anak yang diimunisasi lengkap terhadap H. influenzae
tipe b dan S. pneumonia dan tidak menunjukkan gejala yang parah dapat
diberikan ampisilin atau penisilin G. Untuk anak-anak yang tidak memenuhi
kriteria ini, ceftriaxone atau cefotaxime dapat digunakan. Jika gambaran
klinis menunjukkan pneumonia akibat stafilokokus (pneumatokel,
empiema), terapi antimikroba awal juga harus mencakup vankomisin atau
klindamisin. Terutama jika terdapat kecurigaan infeksi disebabkan oleh M.
pneumoniae atau C. Pneumoniae, maka antibiotik makrolida harus
dimasukkan dalam regimen pengobatan.30
Durasi optimal pengobatan antibiotik untuk pneumonia belum
ditetapkan dengan baik dalam studi terkontrol. Namun, antibiotik umumnya
harus diberikan dan dilanjutkan hingga 72 jam bebas demam, dan total
durasi tidak boleh kurang dari 10 hari (atau 5 hari jika menggunakan
azitromisin). Tatalaksana yang singkat (5-7 hari) mungkin juga efektif,
terutama untuk anak-anak yang direncanakan untuk rawat jalan, namun
masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Tidak dianjurkan untuk
penatalaksanaan jangka panjang pada kasus pneumonia tanpa komplikasi.
Selain antibiotik, sediaan zink oral (10 mg / hari untuk anak <12 bulan,
20 mg / hari untuk ≥ 12 bulan yang diberikan selama 7 hari) dapat
mengurangi mortalitas pada anak-anak di negara-negara berkembang
dengan klinis pneumonia berat.30

77
78
Tabel 2.8 – Dosis Regimen Terapi Antibiotik dengan Etiologi Spesifik

Parameter klinis yang harus dipantau termasuk suhu, laju pernapasan,


detak jantung, saturasi oksigen, kerja pernapasan (adanya retraksi, nafas
cuping hidung, grunting), dan temuan auskultasi. Hipoksia pada bayi dan
anak-anak mungkin tidak disertai sianosis, dan gelisah mungkin menjadi
satu-satunya penanda hipoksia. Pasien dengan saturasi oksigen kurang dari
92% dapat diberikan oksigen tambahan melalui nasal canule atau face
mask. Tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa salah satu dari metode
ini lebih efektif dibandingkan yang lain. Bubble CPAP dapat mengurangi
tingkat mortalitas akibat pneumonia dengan hipoksemia dibandingkan
dengan terapi oksigen standar jika tidak memiliki akses untuk CPAP dengan
ventilator atau ventilasi mekanis.30,33 Pasien yang menerima suplemen

79
oksigen harus dievaluasi kadar saturasi oksigennya setiap empat jam. Anak-
anak dalam gangguan pernapasan berat harus dievaluasi dengan analisis gas
darah untuk melihat kondisi oksigenasi pada pasien. Fisioterapi dada dapat
dilakukan namun dianggap tidak berpengaruh pada lama perawatan pasien
di rumah sakit, durasi demam, atau temuan radiologis dada pada pasien
dengan pneumonia. Ruang perawatan intensif pada anak dibutuhkan ketika
anak tidak bisa mempertahankan saturasi oksigen lebih besar dari 92%,
pasien dengan kondisi syok, frekuensi napas dan denyut nadi meningkat,
dan pasien menunjukkan bukti kesulitan pernapasan dan kelelahan yang
berat (dengan atau tanpa peningkatan tekanan karbon dioksida arteri
parsial), atau ketika anak mengalami episode apnea berulang atau
pernapasan menjadi lambat, dan tidak teratur.33
Pedoman pengobatan saat ini menyarankan beberapa intervensi untuk
mencegah pneumonia pada anak. Pedoman ini termasuk sering mencuci
tangan, menghindari asap tembakau, mempromosikan menyusui,
mengurangi paparan pada anak-anak lain, dan imunisasi. Vaksin konjugat
pneumokokus disetujui untuk digunakan sebagai vaksin pencegahan
penyakit akibat pneumokokus invasif pada bayi usia enam minggu hingga
71 bulan.33 Penggunaan vaksin ini menghasilkan penurunan jumlah yang
substansial pada insidensi rawat inap kasus pneumonia pada anak, yaitu
sebesar 12,5 per 1000 anak pada tahun 1997 – 1999 dan 8,1 per 1000 anak
pada tahun 2006 setelah vaksin PVC7 (7-valent Pneumococcal Conjugate
Vaccine) dilisensikan dan direkomendasikan dalam praktik kedokteran.
Pada tahun 2010, PVC13 dilisensikan di Amerika Serikat dan memberikan
penurunan tingkat rawat inap akibat pneumonia pada anak sekitar 16 – 27%
dari kasus pneumonia anak setelah penggunaan PVC7.30 Anak-anak juga
harus divaksinasi terhadap potensi lain penyebab pneumonia, termasuk
influenza, H. influenzae tipe B, pertusis, varisela, dan campak.29,30,31,33
Vaksin influenza trivalen yang tidak aktif juga dapat mencegah hospitalisasi
pada anak akibat pneumonia dan harus diberikan kepada anak dengan usia
> 6 bulan, sedangkan vaksin influenza yang dilemahkan dapat digunakan
untuk anak usia 2 hingga 49 tahun.29,30,31 Vaksinasi universal sejak masa

80
anak – anak dengan vaksinasi H. influenzae dan S. pneumoniae telah
menurnkan insidensi terjadinya pneumonia secara bermakna.29,31 Beberapa
vaksin RSV saat ini sedang dalam tahap pengembangan. Pengenalan vaksin
yang efektif terhadap RSV akan dilakukan untuk mengurangi kejadian
pneumonia pada anak-anak, terutama bayi.30 Namun, untuk mengurangi
tingkat keparahan infeksi RSV dapat dilakukan dengan menggunakan
palivizumab pada pasien dengan risiko tinggi.29,31
Upaya mengurangi durasi ventilasi mekanik dan pemberian antibiotik
secara bijaksana mengurangi kejadian pneumonia terkait ventilator
(Ventilator – Associated Pneumonia). Kepala tempat tidur harus dinaikkan
setinggi 30 hingga 45 derajat pada pasien yang diintubasi untuk
meminimalisasi risiko aspirasi, dan semua instrumen penghisap lendir dan
cairan salin harus steril. Mencuci tangan baik sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien dan penggunaan sarung tangan steril untuk setiap prosedur
invasif adalah langkah penting untuk mencegah penularan infeksi
nosokomial. Staf rumah sakit dengan penyakit pernapasan atau yang
menjadi pembawa suatu penyakit tertentu, seperti MRSA (Methicillin –
Resistant S. Aureus), harus mematuhi kebijakan pengendalian infeksi untuk
mencegah transmisi penyakit kepada pasien. Sterilisasi peralatan sumber
aerosol (misalnya pendingin udara), dapat mencegah pneumonia akibt
Legionella.29,31
Biasanya, pasien dengan pneumonia bakteri yang didapat dari
komunitas tanpa komplikasi menunjukkan respon yang baik terhadap terapi,
dengan perbaikan gejala klinis (demam, batuk, takipnea, nyeri dada), dalam
48-72 jam setelah pemberian antibiotik. Sejumlah kemungkinan harus
dipertimbangkan ketika seorang pasien tidak membaik dengan terapi
antibiotik yang tepat: (1) komplikasi, seperti efusi pleura atau empiema, (2)
resistensi bakteri, (3) etiologi non-bakteri seperti virus atau jamur dan
aspirasi benda atau makanan asing, (4) obstruksi bronkial dari lesi
endobronkial, benda asing, atau sumbat mukosa, (5) penyakit yang sudah
ada sebelumnya seperti imunodefisiensi, diskinesia silia, kistik fibrosis,
sekuestrasi paru, atau kelainan jalan napas dan paru secara kongenital, dan

81
(6) penyebab tidak menular lainnya (termasuk bronkiolitis obliterans,
pneumonitis akibat hipersensitif, pneumonia eosinofilik, dan
granulomatosis dengan poliangiitis / granulomatosis Wegener). Rontgen
dada adalah langkah pertama dalam menentukan alasan kurangnya respons
dari tatalaksana awal. Bilas bronkoalveolar dapat diindikasikan pada anak-
anak dengan gagal napas. CT scan resolusi tinggi dapat mengidentifikasi
komplikasi dengan lebih baik atau etiologi secara anatomi pada kondisi
respon yang buruk terhadap terapi.30
Pada umumnya anak akan sembuh dari pneumonia dengan cepat dan
dapat sembuh secara sempurna, walaupun kelainan secara radiologis dapat
bertahan selama 6 – 8 minggu sebelum kembali kepada kondisi yang
normal. Pada beberapa anak, pneumonia dapat berlangsung lebih lama dari
1 bulan atau dapat pula berulang. Pada kasus seperti ini, kemungkinan
adanya penyakit lain yang mendasari harus diinvestigasi lebih lanjut, seperti
dengan melakukan uji tuberkulin, pemeriksaan hidroklorida keringat untuk
menentukan penyakit kistik fibrosis, pemeriksaan imunoglobulin serum dan
determinasi sub kelas IgG, bronkoskopi untuk identifikasi kelainan
anatomis atau mencarir benda asing, dan pemeriksaan barium meal untuk
refluks gastroesofageal.29,31
Jarang ditemukan kematian akibat pneumonia pada masyarakat di
negara maju, dan kebanyakan anak-anak dengan pneumonia tidak
mengalami gejala sisa pada saluran pernapasan dalam jangka panjang.
Beberapa data menunjukkan bahwa hingga 45% anak memiliki gejala asma
5 tahun setelah dirawat di rumah sakit akibat pneumonia; Temuan ini dapat
mencerminkan adanya asma yang tidak terdiagnosis pada saat munculnya
keluhan atau kecenderungan untuk terjadinya asma setelah pneumonia.30
Komplikasi pneumonia biasanya merupakan akibat langsung dari
penyebaran infeksi bakteri dalam rongga toraks (efusi pleura, empiema, dan
perikarditis) atau bakteremia dan penyebaran secara hematologi.
Meningitis, endokarditis, artritis supuratif, dan osteomielitis merupakan
komplikasi yang jarang terjadi akibat penyebaran hematologi dari infeksi
pneumokokus atau H. influenzae tipe B.30

82
S. aureus, S. pneumoniae, dan S. pyogenes adalah penyebab paling
umum dari efusi pleura dan empiema parapneumonik.29,30,31 Meski
demikian, banyak efusi akibat komplikasi dari pneumonia bakteri yang
steril. Analisis parameter cairan pleura, termasuk pH, glukosa, protein, dan
laktat dehidrogenase, dapat membedakan cairan yang bersifat transudatif
maupun eksudatif. Namun, hal ini tidak direkomendasikan untuk dilakukan
karena hasil yang ada jarang mengubah manajemen. Cairan pleural harus
dikirim untuk pewarnaan Gram dan kultur bakteri karena hal ini dapat
mengidentifikasi bakteri penyebab pneumonia. Metode molekuler,
termasuk tes PCR yang spesifik terhadap spesies bakteri tertentu atau
sekuensing gen RNA ribosom bakteri 16S, dapat mendeteksi DNA bakteri
dan sering dapat menentukan etiologi bakteri pada efusi jika kultur bakteri
memberikan hasil yang negatif, terutama jika sampel cairan pleura
diperoleh setelah inisiasi antibiotik. Jumlah leukosit pada cairan pleura
dengan diferensial dapat membantu jika terdapat kecurigaan terhadap TB
paru atau etiologi yang tidak pada efusi pleura, seperti keganasan.30

Gambar 2.18 – Perbedaan Cairan Transudat dan Eksudat pada Efusi


Pleura

Efusi parapneumonia yang minimal (<1 cm pada radiografi dengan


posisi lateral dekubitus), sering kali tidak memerlukan drainase tetapi
merespons dengan terapi antibiotik yang sesuai. Biasanya akan dilakukan

83
drainase pada efusi yang lebih besar, terutama jika efusi bersifat purulen
(empiema) atau berhubungan dengan gangguan pernapasan.29,30,31 USG
dada, atau CT scan alternatif, dapat membantu dalam menentukan lokasi
kelainan. Tatalaksana pilihan terdiri dari terapi antibiotik dan drainase
dengan tabung torakostomi dengan pemberian agen fibrinolitik secara
perlahan (urokinase, streptokinase, aktivator plasminogen jaringan).
Torakoskopi dengan bantuan video adalah alternatif yang jarang digunakan
namun memungkinkan dilakukannya debridemen atau lisis adhesi serta
drainase pada area yang terlokalisir. Diagnosis dan intervensi dini,
khususnya dengan fibrinolisis atau torakoskopi yang dibantu dengan video
yang lebih jarang dilakukan, mungkin dapat mengurangi kebutuhan untuk
torakotomi dan debridemen terbuka.30
Diseksi udara di antara jaringan paru mengakibatkan timbulnya
pneumatokel, atau timbulnya kantung udara. Jaringan parut pada saluran
respiratori dan parenkim paru akan menyebabkan terjadinya dilatasi
bronkus dan mengakibatkan terjadinya bronkiektasis dan peningkatan risiko
terjadinya infeksi berulang.29,31
Pneumonia yang menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan paru
dapat menyebabkan terjadinya abses paru. Abses paru merupakan kaasus
yang jarang terjadi pada anak dan umumnya disebabkan oleh aspirasi
pneumonia atau infeksi di belakang bronkus yang mengalami obstruksi.
Lokasi yang sering terkena adalah segmen posterior dan segmen superior
lobus inferior, dimana materi yang teraspirasi terlokalisir saat anak
meminum sesuatu yang mengakibatkan aspirasi. Bakteri yang biasanya
mendominasi adalah bakteri anaerob, bersama dengan bakteri
Streptococcus, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas
aeruginosa, dan Staphylococcus aureus. Pemeriksaan rontgen toraks atau
CT scan akan menunjukkan adanya lesi kavitas, seringkali dengan adanya
air fluid level yang diliputi oleh inflamasi parenkim. Apabila kavitas
tersebut terhubung dengan bronkus, maka kuman dapat diisolasi dari
sputum. Bronkoskopi diagnostik sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya benda asing dan untuk mengambil spesimen

84
mikrobiologi. Abses paru umumnya merespons pemberian terapi
antimikroba dengan klindamisin, penisilin G atau ampisilin –
sulbaktam.29,31
Pneumonia adenovirus berat dapat menyebabkan bronkiolitis
obliterans, yaitu proses inflamasi subakut dimana saluran respiratori
berkaliber kecil digantikan oleh jaringan parut, sehingga terjadi penurunan
volume paru dan komplians paru. Paru hiperlusens unilateral atau sinrom
Swyer James adalah sekuele fokal dari pneumonia nekrotik berat, yaitu
sebagian dari paru mengalami peningkatan translusensi radiologi dan
berkaitan dengan infeksi adenovirus tipe 21.29,31

O. DEFINISI ANEMIA

Anemia didefinisikan sebagai pengurangan konsentrasi hemoglobin


atau volume sel darah merah / eritrosit di bawah kisaran nilai yang normal
pada orang sehat. Hemoglobin "normal" dan hematokrit (volume sel darah
merah) bervariasi secara substansial dengan usia dan jenis kelamin.
Terdapat juga perbedaan ras, dengan tingkat hemoglobin yang secara
signifikan lebih rendah pada anak-anak Afrika-Amerika daripada di anak-
anak kulit putih yang bukan keturunan Hispanik dari usia yang sama.
Anemia merupakan masalah kesehatan global yang signifikan yang
mempengaruhi anak-anak dan wanita dengan usia reproduksi.34
Hormon androgen juga memiliki peranan dalam menentukan nilai
normal dari hemoglobin. Produksi dari androgen pada awal pubertas pada
anak laki-laki menyebabkan laki-laki mempertahankan nilai hemoglobin
normal sekitar 1,5 hingga 2 g / dL lebih tinggi dari anak perempuan.35,36

85
Gambar 2.19 – Nilai Normal Rerata dan Batas Minimal pada Hemoglobin,
Hematokrit dan Mean Corpuscular Volume (MCV)

P. ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA

Anemia bukanlah merupakan suatu entitas yang spesifik, tetapi dapat


terjadi karena salah satu dari sejumlah proses patologis yang mendasarinya.
Anemia seringkali merupakan manifestasi dari beberapa proses primer
lainnya dan merupakan gejala dari suatu disfungsi organ.35,36
Untuk mempersempit kemungkinan diagnostik, anemia dapat
diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan fisiologinya.34
Anemia dapat dikategorikan secara morfologis berdasarkan ukuran sel
darah merah (Mean Corpuscular Volume [MCV]) dan bentuk
mikroskopisnya.34-36 Anemia bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu
mikrositik, normositik, atau makrositik, berdasarkan pada apakah MCV
masing-masing rendah, normal, atau tinggi. Ukuran Red Blood cell (RBC)
juga berubah seiring bertambahnya usia, dan perubahan perkembangan
normal pada MCV harus dikenali sebelum diagnosis ditegakkan.
Pemeriksaan apusan darah tepi sering mengungkapkan perubahan dalam
hasil pemeriksaan RBC, yang akan membantu mempersempit kriteria
diagnostik.34

86
Gambar 2.20 – Etiologi Tersering Anemia pada Negara Berkembang

Anemia juga dapat dibagi lebih lanjut berdasarkan fisiologi yang


mendasarinya, yaitu penurunan produksi dan peningkatan kehancuran /
kehilangan sel darah merah. Kedua etiologi ini juga tidak selamanya berdiri
sendiri. Penurunan produksi sel darah merah mungkin merupakan
konsekuensi dari eritropoiesis yang tidak efektif atau kegagalan relatif
maupun absolut dari proses eritropoiesis. Kehancuran atau kehilangan yang
meningkat mungkin disebabkan oleh kondisi sekunder dari proses
hemolisis, sekuestrasi, atau perdarahan. Persentase atau angka absolut dari
retikulosit darah perifer membantu membedakan antara dua proses
fisiologis ini. Persentase retikulosit normal dari total sel darah merah selama
sebagian besar masa kanak-kanak adalah sekitar 1%, dengan jumlah
retikulosit absolut 25.000 - 75.000 / mm3. Pada kejadian anemia, produksi
eritropoietin dan jumlah retikulosit absolut harus meningkat. Jumlah
retikulosit yang rendah atau normal umumnya mewakili respon yang tidak
adekuat terhadap anemia yang berhubungan dengan kegagalan sumsum
tulang relatif atau eritropoiesis yang tidak efektif. Peningkatan jumlah

87
retikulosit mewakili respons sumsum tulang normal terhadap kehancuran
(hemolisis) sel darah merah yang sedang berlangsung, sekuestrasi, atau
kehilangan sel darah merah (perdarahan).34
Anak-anak dengan anemia mikrositik dan jumlah retikulosit yang
rendah atau normal paling sering memiliki cacat pada pematangan eritroid
atau eritropoiesis yang tidak efektif. Biasanya anemia ini disebabkan oleh
produksi hemoglobin yang tidak adekuat. Kekurangan zat besi adalah
penyebab paling umum terjadinya kelainan ini. Thalasemia merupakan
diagnosis banding utama ketika dicurigai terjadi anemia defisiensi besi pada
anak.34-36 Mikrositosis dan peningkatan jumlah retikulosit berhubungan
dengan sindrom thalasemia dan hemoglobin C serta E. Thalassemia dan
hemoglobinopati paling sering terlihat pada pasien di daerah Mediterania,
Timur Tengah, Afrika, atau Asia.34
Anemia normositik dengan jumlah retikulosit yang rendah menjadi
ciri dari sejumlah besar anemia. Anemia normositik umumnya dikaitkan
dengan penyakit sistemik yang merusak sintesis sumsum sel darah merah
(RBC) yang memadai.34-36 Anemia akibat penyakit kronis / peradangan
biasanya memberikan gambaran normositik. Anemia terkait dengan gagal
ginjal, terutama akibatnya berkurangnya produksi eritropoietin, akan selalu
dikaitkan dengan klinis dan bukti laboratorium penyakit ginjal yang
signifikan. Menurunnya atau tidak adanya produksi eritrosit yang terjadi
secara sekunder akibat eritroblastopenia transien pada masa kanak-kanak,
infeksi, obat-obatan, atau endokrinopati biasanya menghasilkan anemia
yang bersifat normositik, seperti halnya infiltrasi sumsum tulang karena
keganasan. Dalam kasus leukemia atau keganasan, leukosit abnormal atau
sel tumor yang berhubungan dengan trombositopenia atau jumlah sel darah
putih yang berkurang atau meningkat mungkin akan terlihat. Kondisi akut
yang dapat menyebabkan gambaran normositik adalah terjadinya
perdarahan, hipersplenisme, dan anemia diseritropoietik bawaan tipe II.34
Pada anak-anak dengan anemia normositik dan retikulosit (tinggi),
anemia biasanya disebabkan oleh perdarahan, hipersplenisme, atau
hemolisis berkelanjutan. Dalam kondisi hemolitik, akan ditemukn

88
retikulositosis, hiperbilirubinemia indirek, dan peningkatan laktat
dehidrogenase serum sebagai indikator percepatan kehancuran eritrosit.
Banyak penyebab hemolisis terhadap eritrosit yang bersifat ekstrinsik
(biasanya didapat) atau intrinsik (biasanya bawaan). Morfologi sel darah
merah yang tidak normal (mis., Sferosit, bentuk sabit, mikroangiopati) yang
diidentifikasi pada apusan darah tepi dapat membantu untuk memastikan
penyebabnya.34
Anemia dengan sel darah merah yang makrositik pada anak-anak
terkadang merupakan bentuk megaloblastik, yang dihasilkan dari gangguan
sintesis DNA. Apusan darah tepi pada anemia megaloblastik mengandung
makroovalosit besar, dan neutrofil sering menunjukkan hipersegmentasi
pada nukleus sel. Penyebab utama anemia megaloblastik termasuk
defisiensi folat, defisiensi vitamin B12, dan kesalahan metabolisme bawaan
yang jarang terjadi.34-36 Anemia makrositik lain dengan jumlah retikulosit
yang rendah atau normal termasuk anemia aplastik didapat dan bawaan
(sindrom Diamond-Blackfan dan Fanconi) dan suatu kondisi
hipotiroidisme. Pasien dengan trisomi 21 memiliki sel makrositik, walaupun
suatu anemia yang menyertai umumnya tidak ada.34 Penyakit hemolitik
disebabkan oleh gangguan intrinsik atau ekstrinsik yang meningkatkan
penghancuran sel darah merah. Gangguan membran sel darah merah paling
umum adalah sferositosis dan eliptositosis herediter. Pada kedua kelainan
ini, kelainan protein pada sitoskeleton menyebabkan bentuk dan fungsi
eritrosit menjadi abnormal. Banyak kekurangan enzim pada eritrosit
menyebabkan hemolisis, tetapi hanya dua yang umum terjadi: Defisiensi
glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi piruvat kinase.
Hemolisis yang disebabkan oleh kondisi imun mungkin terjadi secara
ekstravaskular ketika sel darah merah yang dilapisi oleh antibodi atau
komplemen difagositosis oleh sistem retikuloendotelial. Hemolisis dapat
terjadi secara intravaskular saat antibodi mengikat dan melakukan fiksasi
kepada komplemen sehingga terjadinya lisis sel darah merah.35,36

89
Gambar 2.21 – Klasifikasi Anemia berdasarkan Mean Corpuscular Volume
(MCV)

Q. KRITERIA DIAGNOSIS ANEMIA

Diagnosis anemia ditentukan oleh perbandingan tingkat hemoglobin


pasien dengan nilai normal pada usia spesifik dan jenis kelamin tertentu.
Definisi kuantitatif termudah dari anemia adalah setiap nilai hemoglobin
atau hematokrit dibawah 2 standar penyimpangan (SD) dari nilai normal
untuk usia dan jenis kelamin. Namun, pada kondisi patologis tertentu
anemia dapat hadir dengan hemoglobin normal (contoh, penyakit jantung
sianotik, penyakit paru atau abnormal afinitas hemoglobin yang terlalu
tinggi untuk oksigen).35-36
Seperti halnya kondisi medis, riwayat terperinci dan pemeriksaan fisik
menyeluruh sangat penting ketika mengevaluasi anak dengan anemia.
Penyebab anemia seringkali dapat diduga dari anamnesis seksama sesuai
usia pasien.34-36 Data – data terkait riwayat pasien termasuk usia, jenis
kelamin, ras dan etnis, diet, obat-obatan, penyakit kronis, infeksi,
perjalanan, dan pajanan dianggap penting untuk digali. Riwayat anemia

90
pada keluarga dan penyakit lainnya (mis. splenomegali, ikterus, onset batu
empedu dini, riwayat perdarahan dalam jumlah besar saat kelahiran) juga
penting, terutama pada bayi baru lahir.34-36

Tabel 2.9 – Petunjuk Riwayat pada Evaluasi Anemia

91
Anemia pada segala usia membutuhkan pencarian adanya
perdarahaan. Keluhan sistemik dapat menunjukkan penyakit akut ataupun
kronik sebagai kemungkinan penyebab anemia. Pada masa kanak-kanak
yang lebih besar dan remaja, adanya gejala konstitusional, diet yang tidak
biasa, konsumsi obat, atau perdarahan, terutama dari perdarahan menstruasi,
sering mengarah pada suatu diagnosa. Gangguan hemolitik kongenital
(defisiensi enzim dan masalah membran) sering muncul pada enam bulan
pertama kehidupan dan sering dikaitkan dengan ikterik neonatorum,
meskipun gangguan ini seringkali tidak terdiagnosis. Riwayat penggunaan
obat yang cermat sangat penting untuk mendeteksi masalah yang dapat
disebabkan obat. Defisiensi zat besi murni akibat diet jarang terjadi kecuali
pada masa bayi, ketika intoleransi protein susu sapi yang menyebabkan
perdarahan gastrointestinal dan selanjutnya akan mempersulit asupan zat
besi yang sebelumnya sudah inadekuat.35-36
Seringkali, beberapa gejala atau tanda fisik muncul akibat dari
rendahnya kadar hemoglobin, terutama ketika anemia berkembang secara
lambat. Temuan klinis umumnya tidak jelas sampai kadar hemoglobin turun
menjadi <7-8 g / dL. Penilaian yang pertama kali dilkukan adalah untuk
menilai stabilitas fisiologik pasien. Perdarahan akut dan hemolisis akut
dapat bermanifestasi sebagai takikardia, perubahan tekanan darah dan yang
peling mengkhawatirkan adalah penurunan kesadaran. Gambaran klinis
lainnya yang dapat timbul yaitu pucat, mengantuk, mudah marah, dan
penurunan toleransi olahraga dan aktivitas. Pucat dapat ditemukan pada
lidah, kuku, konjungtiva, telapak tangan, atau lipatan palmaris. Murmur
jantung seringkali dapat ditemukan. Pada kondisi akut, anemia dapat
memberikan manifestasi klinis berupa kelemahan, takipnea, sesak napas
saat aktivitas, takikardia, nyeri kepala, tidur yang berlebihan (terutama pada
bayi) atau kelelahan, iritabilitas, sulit makan dan penurunan kesadaran. Pada
kondisi yang kronis, umumnya gejala anemia dapat ditoleransi pada anak
dengan baik oleh karena cadangan kardiovaskular mereka sehingga anak
hanya akan memiliki gejala murmur dan takikardi minimal pada
pemeriksaan fisik. Temuan penting pada anemia hemolitik adalah ikterik,

92
pucat dan splenomegali. Akibat peningkatan produksi bilirubin, batu
empedu (bilirubinat), hasil dari hemolisis kronik, adalah komplikasi yang
sering kali terjadi. Adanya petekie dan purpura mengindikasikan
kecenderungan adanya perdarahan. Hepatosplenomegali dan adenopati
menunjukkan kelianan infiltratif. Gagal tumbuh atau keniakan berat badan
yang buruk menunjukkan anemia pada penyakit kronik.34-36 Pelebaran
jantung, dan gagal jantung dapat dihasilkan dari perkembangan anemia
yang semakin parah, terlepas dari apapun penyebabnya.34 Pentingnya
intervensi diagnostik dan terapeutik, terutama pemberian transfusi
Packaged Red Cells (PRC), seharusnya lebih ditentukan oleh luasnya
gangguan kardiovaskular atau fungsional, dibandingkan dengan kadar
hemoglobin absolut.35-36
Pengujian laboratorium awal harus mencakup hemoglobin,
hematokrit, dan indeks eritrosit serta jumlah sel darah putih / leukosit dan
hitung jenis leukosit, jumlah trombosit, jumlah retikulosit, dan pemeriksaan
apusan darah tepi. Nilai hemoglobin atau hematokrit mengindikasikan
keparahan anemia. Uji laboratorium tambahan ditentukan oleh riwayat,
pemeriksaan fisik, dan hasil pengujian awal ini. Semua jenis sel harus
diteliti dengan seksama untuk menentukan apakah anemia pada pasien
adalah hasil dari suatu proses terbatas pada proses pematangan eritroid atau
suatu proses yang mempengaruhi elemen sumsum tulang lainnya.
Menggunakan data yang diperoleh dari indeks dan jumlah retikulosit,
pemeriksaan selanjutnya dapat direncanakan berdasarkan apakah produksi
sel darah adekuat atau tidak dan apakah sel-sel tersebut bersifat mikrositik,
normositik, atau makrositik34-36

93
Tabel 2.10 – Temuan pada Pemeriksaan Fisik Pasien dengan Anemia

94
Respons sumsum tulang yang tepat terhadap anemia dapat
ditunjukkan dengan jumlah retikulosit absolut yang meningkat,
menunjukkan peningkatan produksi dan menyiratkan bahwa terjadinya
hemolisis atau kehilangan darah. Anemia dengan jumlah retikulosit normal
menunjukkan penurunan produksi sel darah merah atau tidak efektifnya
respon terhadap anemia. Retikulositopenia menandakan onset yang akut
sehingga sumsum belum memiliki waktu yang memadai untuk merespons,
kondisi retikulosit sedang dihancurkan di sumsum (dimediasi oleh
antibodi), atau mengindikasikan adanya penyakit sumsum tulang secara
intrinsik. Indikator terbaik dari tingkat keparahan hemolisis adalah kadar
hemoglobin dan peningkatan jumlah retikulosit. Bukti biokimia pada proses
hemolisis meliputi peningkatan kadar bilirubin dan laktat dehidrogenase
serta penurunan kadar haptoglobin. Selain itu, pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan tinja untuk melihat adanya darah samar.35-36

95
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien adalah seorang anak dengan usia 2 bulan. Dari keterangan ibu
pasien, pasien tampak sesak serta pasien menjadi gelisah. Sesak dialami
pasien terutama saat menangis dan sehabis menyusu. Selain itu, orang tua
pasien juga mengatakan bahwa berat badan pasien sulit untuk naik. Orang
tua pasien mengatakan pasien sering tampak kebiruan pada bibir, wajah
maupun ujung – ujung jari terutama bila pasien sedang mengalami sesak
napas. Pasien dikatakan pernah di rawat di RSUD Ambarawa akibat keluhan
yang sama kurang lebih 1 bulan SMRS. Setelah di rawat di RSUD
Ambarawa, pasien sempat dirujuk ke RSUP dr. Kariyadi, Semarang, untuk
melakukan pemeriksaan dan mendapatkan tatalaksana lebih lanjut. Setelah
dilakukan pemeriksaan, pasien dikatakan memiliki penyakit jantung
bawaan. Keluhan – keluhan tersebut merupakan keluhan yang umum terjadi
pasien dengan Penyakit Jantung Bawaan. Keluhan sesak dapat terjadi akibat
penyakit jantung bawaan yang dialami oleh pasien dan komplikasi yang bisa
terjadi dari penyakit jantung bawaan tersebut, seperti timbulnya infeksi pada
saluran pernapasan. Kebiruan pada pasien dapat terjadi apabila penyakit
jantung bawaan yang dialami oleh pasien merupakan penyakit jantung
bawaan yang bersifat sianotik, seperti Tetralogy of Fallot (TOF) atau
transposisi dari arteri besar. Pada pasien dengan penyakit jantung bawaan
yang bersifat asianotik, kebiruan dapat terjadi apabila defek yang dimiliki
pasien sangat besar yang disertai dengan hipertensi pulmonal dan adanya
right to left shunt yang terjadi pada kasus sindroma Eisenmenger. Oleh
karena itu, perlu dilakukan konfirmasi dengan melakukan pemeriksaan fisik
secara menyeluruh disertai dengan pemeriksaan penunjang lainnya.

96
Dari pemeriksaan fisik pasien mengalami takikardi disertai dengan
saturasi oksigen yang rendah (hipoksia). Hal ini sering kali ditemukan pada
pasien dengan penyakit jantung bawaan dan gangguan saluran pernapasan,
sehingga menyebabkan saturasi oksigen yang menurun. Sebagai
kompensasi dari kondisi hipoksia tersebut, maka paru – paru akan berusaha
untuk meningkatkan frekuensi pernapasan disertai dengan peningkatan
denyut jantung untuk mencukupi kebutuhan oksigen pada pasien. Pada
pasien ini tidak disertai dengan peningkatan suhu pada awalnya, namun
kemungkinan adanya infeksi pada saluran pernapasan masih belum dapat
disingkirkan.
Pada pemeriksaan antropometri pasien, didapatkan bahwa pasien
sudah mengalami tanda – tanda kegagalan dalam pertumbuhannya, yaitu
ditandai dengan perbandingan berat badan / usia, tinggi badan / usia, lingkar
kepala / usia dan BMI / usia pasien yang berada di bawah standar deviasi.
Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan penyakit jantung bawaan yang
berat, terutama apabila diperparah dengan adanya infeksi sekunder.
Pada pemeriksaan fisik lainnya, ditemukan tanda – tanda anemia pada
pasien, yaitu pucat pada kulit wajah dan ekstremitas, serta konjungtiva yang
anemis. Hal ini menunjukkan kecurigaan adanya anemia pada pasien. Pada
pasien dengan penyakit jantung bawaan yang berukuran besar, seperti VSD
dapat menyebabkan hipersirkulasi paru dengan komplikasi infeksi saluran
napas berulang (pneumonia), hipertensi paru, penyakit pembuluh darah
paru, gagal jantung hingga kematian. Pada penyakit jantung bawaan yang
besar, dapat terjadi hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal dikaitkan
dengan anemia hemolitik yang berat pada pasien dengan kelainan
hemoglobin dan membranopati eritrosit. Selain itu, hemoglobin bebas
diproduksi sebagai hasil dari hemolisis yang menggunakan nitrit oksida
dengan penyempitan pembuluh darah, hipoksia lokal dan kondisi
eksaserbasi pada hipertensi pulmonal. Selain itu, pada kondisi penyakit
jantung bawaan seringkali disertai pula dengan pneumonia. Pneumonia
sendiri diketahui menyebabkan hipoksia lokal dengan peningkatan regulasi
eritropoiesis. Selain itu, beberapa penyebab pneumonia saling bersaing

97
dengan inangnya untuk mendapatkan zat besi melalui sideropor
(Klebsiella), sementara beberapa bakteri penyebab yang lain menginduksi
terjadinya hemolisis (Mycoplasma pneumoniae), keduanya dapat
menyebabkan anaemia. Dalam kondisi ini, pneumonia dan hipertensi
pulmonal sama – sama memiliki kecenderungan menginduksi hipoksia
lokal, yang mengarah kepada upregulation dari sintesis eritrosit. Orang
dewasa dan anak-anak yang lebih tua yang memiliki cadangan besi yang
cukup dapat mentolerir kondisi seperti ini tanpa berkembang menjadi
anemia. Namun, bayi dan anak kecil masih belum memiliki cukup cadangan
besi. Selain itu, anak-anak di bawah usia 6 bulan masih diberikan ASI secara
eksklusif, dimana ASI hanya memiliki sumber zat besi yang terbatas,
sehingga kondisi ini memudahkan pasien mengalami anemia.37 Hal ini
dikonfirmasi juga dengan usia pasien yang masih 2 bulan, sesuai dengan
teori yang dipaparkan.
Tampak sianosis pada ujung bibir dan ujung – ujung jari tangan dan
kaki. Hal ini menundukung kecurigaan adanya hipoksia. Kondisi ini dapat
terjadi akibat daripada kondisi infeksi paru berat yang dimiliki oleh pasien
dan kemungkinan terjadinya kondisi right to the left shunt akibat hipertensi
pulmonal yang berat (sindrom Eisenmenger).
Pada pemeriksaan fisik thorax, didapatkan adaanya retraksi
intercostal dan subcostal pada pasien menunjukkan adanya usaha napas
yang besar untuk mencegah terjadinya hipoksia. Pada pemeriksaan
auskultasi, di dapatkan adanya bising tambahan berupa ronkhi basah kasar
pada kedua lapangan paru, yang mengindikasikan adanya cairan / sekret
pada parenkim paru pasien. Kondisi ini menunjang kemungkinan terjadinya
infeksi pada parenkim paru pasien, sehingga produksi sekret dari saluran
napas pasien meningkat dan menyebabkan bising tambahan pada saat
auskultasi. Selain itu, pada pemeriksaan auskultasi pasien juga ditemukan
adanya bising murmur yang bersifat pansistolik, yang merupakan bising
jantung khas yang dapat terjadi pada kasus Ventricular Septal Defect (VSD).
Namun, pada pasien didapatkan bahwa bising murmur ini terdengar lebih
keras pada daerah thorax sebelah kanan pasien, di daerah katup mitral, dan

98
hasil pemeriksaan ini mungkin daat terjadi pada kasus dengan dextrocardia.
Oleh karena itu, maka dilakukanlah pemeriksaan penunjang tambahan pada
pasien untuk menegakkan diagnosa.
Pada pemeriksaan rontgen thorax pasien di RSUD Ambarawa, yang
kemudian dibandingkan dengan rontgen thorax pasien sebelumnya di RSUP
dr. Kariyadi, Semarang, di dapatkan bahwa letak dan posisi jantung
mengarah ke arah bagian kanan sisi thorax pasien, disertai dengan adanya
peningkatan corakan paru disertai dengan infiltrat pada kedua lapangan
paru. Gambaran ini menunjukkan adanya infeksi pada paru (pneumonia).
Beberapa jenis Penyakit Jantung Bawaan (PJB) yang menyebabkan
peningkatan aliran darah paru merupakan faktor predisposisi umum dalam
terjadinya pneumonia pada anak-anak.38
Ventricle Septal Defect (VSD), Patent Ductus Arteriosus (PDA) dan
Atrial Septal Defect (AVSD) adalah PJB asianotik yang umum terjadi pada
anak yang cenderung menjadi edema paru. Dalam PJB asianotik akibat
pirau darah dari kiri ke kanan, melalui defek septum atau saluran arteri,
dapat menyebabkan sirkulasi paru yang berlebihan dan edema paru. Kondisi
edema paru ini menyebabkan gagal jantung kongestif dan menjadi fokus
infeksi pada saluran pernapasan bagian bawah. Sebagian besar penelitian
mengidentifikasi PJB sebagai penyebab pneumonia berulang yaitu ketika
terjadinya dua atau lebih episode pneumonia dalam satu tahun. Ko-
eksistensi pneumonia pada pasien PJB dapat meningkatkan mortalitas
terkait pneumonia pada anak-anak. Usia saat terjadinya onset penyakit dan
beratnya gejala pada anak dengan PJB tergantung pada besarnya ukuran
defek. Anak dengan VSD dan PDA berukuran besar cenderung memiliki
gejala lebih cepat dan memiliki penyakit yang lebih parah termasuk gejala
pneumonia yang dimilikinya.38
Pada hasil pemeriksaan echocardiography pasien yang dilakukan di
RSUP dr. Kariyadi, Semarang, didapatkan gambaran adanya VSD inlet
dengan ukuran 12 mm. Menurut ukurannya, pada pasien ini dapat dianggap
sebagai VSD inlet besar. Pada pemeriksaan awal, pasien masih mengalami
left to right shunt. Namun, pada kondisi klinis pasien yang didapatkan

99
adanya sianosis, maka disarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk mencari penyebab sianosis tersebut, yaitu dari pneumonia yang
dialami oleh pasien atau dari kondisi hipertensi pulmonal yang dialami oleh
pasien. Dari gambaran echocardiography pasien juga ditemukan arah
jantung yang berlawanan dengan normal disertai dengan situs inversus,
sehingga dapat pasien dapat didiagnosa dengan dextrocardia dengan situs
inversus.
Tatalaksana pada pasien ini adalah :
 IVFD D 5 ¼ % 15 tpm (mikro)
Pemberian larutan dextrose pada pasien ini untuk mencegah
terjadinya hipoglikemia pada pasien.
Jumlah kebutuhan cairan pada pasien ini adalah : 3,5 x 100
cc/KgBB/hari : 350 cc
Sehingga pemberian cairan infusan pada pasien :
350 cc x 60 = 15 tpm
24 jam x 60

 O2 NRM 10 lpm
Pemberian oksigen pada pasien ini untuk mencegah terjadinya kondisi
hipoksia pada pasien. Dapat dipertimbangkan untuk pemberian alat
bantu napas seperti CPAP pada pasien untuk menghindari pemberian
oksigen murni terlalu tinggi dan lama pada pasien.
 Inj. Ampicillin 3 x 175 mg (IV)
Ampicillin merupakan antibiotik golongan penisilin yaitu
aminopenisilin yang memiliki spektrum luas terhadap bakteri yang
merupakan bakteri patogen penyebab pneumonia. Kelebihan dari
antibiotik ini adalah kemampuannya dalam menembus sawar darah
otak. Ampicillin juga masih merupakan antibiotika drug of choice
yang menjadi terapi empiris dalam tatalaksana pneumonia akibat
bakteri.29,31,39

100
Dosis pemberian ampicillin adalah 25 mg/KgBB setiap 6 jam secra
IV, IM ataupun oral. Pada infeksi yang berat, dosis ampicillin dapat
dinaikkan hingga 50 mg/kg (maksimal 2 gram) setiap 12 jam / hari
secara IV (1 minggu pertama kehidupan), setiap 6 jam (2 - 4 minggu
pertama kehidupan), dan 3 – 6 jam atau pada infeksi konstan (lebih
dari 4 minggu pertama kehidupan).40
 Inj. Furosemide 2 x 3,5 mg (IV)
Furosemide merupakan golongan obat diuretik kuat. Diuretik
merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang
disertai dengan tanda – tanda kelebihan (overload) cairan yang
bermanifestasi sebagai kongesti paru atau edema perifer. Penggunaan
diuretik akan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan melakukan aktivitas fisik. Diuretik juga mengurangi
retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel,
aliran balik vena, dan tekanan pengisian ventrikel (preload). Dengan
demikian, edema perifer dan kongesti paru akan berkurang / hilang,
sedangkan curh jantung tidak berkurang. Penggunaan diuretik tidak
mengurangi mrotalitas pada kondisi gagal jantung (kecuali
spironolakton), maka diuretik harus selalu diberikan dalam kombinasi
dengan penghambat ACE. Diuretik tidak boleh diberikan pada gagal
jantung yang asimtomatik maupun yang tidak memiliki tanda
overload cairan karena penurunan curah jantung akibat deplesi cairan
akan meningkatkan aktivasi neurohormonal yang akan memicu
progresi gagal jantung.39
Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden dengan cara menghambat
kotransport Na+, K+, Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit.
Efek samping dari penggunaan diuretik kuat adalah hiperkalsiuria dan
menurunkan kalsium darah, serta cenderung menimbulkan
hiponatremia, hipokalemia, hipomagnesemia. Kontraindikasi dari
pemberian obat ini adalah keadaan deplesi Na+ dan cairan yang berat,
hipersensitivitas terhadap sulfonamid dan anuria yang tidak responsif
dengan dosis coba diuretik kuat.39

101
Dosis untuk pemberian obat ini adalah 0,5 – 1 mg/KgBB setiap 6 – 24
jam untuk pemberian peroral, intramuskular maupun intravena lebih
dari 20 menit.40
 Captopril 2 x 1,5 mg (PO)
Captopril merupakan obat jenis ACE Inhibitor. Cara kerja obat ini
adalah dengan cara menghambat konversis angiotensin I (Ang I)
menjadi Angiotensin II (Ang II). Jenis obat ini menghambat Ang II di
reseptor AT1 maupun AT2. Pengurangan hipertrofi miokard dan
penurunan preload jantung akan menghambat progresi dari
remodelling jantung. Disamping itu, penurunan aktivasi
neurohormonal endogen (Ang II, aldosteron, norepinefrin) akan
mengurangi efek langsungnya dalam menstimulasi remodelling
jantung. Enzim ACE adalah kininase II, sehingga ACE Inhibitor akan
menghambat degradasi bradikinin sehingga kadar bradikinin yang
terbentuk lokal di endotel vaskuler akan meningkat. Bradikinin
bekerja secara lokal pada reseptor BK2 di sel endotel dan
menghasilkan nitrit oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2) yang bersifat
vasodilator, antiagregasi trombosit dan antiproliferasi.39
ACE Inhibitor terbukti dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas
pada semua pasien gagal jantung. ACE Inhibitor merupakan terapi lini
pertama untuk pasien dengan fungsi sistolik ventrikel kiri yang
menurun, dengan fraksi ejeksi dibawah normal, dengan atau tanpa
gejala. Padaa gagal jantung sedang dan berat dengan disfungsi sistolik
ventrikel kiri, ACE Inhibitor dapat mengurangi mortaalitas dan gejala
gagal jantung, meningkatkan kapasitas fungsional dan mengurangi
hospitalisasi. Efek samping dari penggunaan obat ini adalah batuk
kering, hipotensi, gangguan fungsi ginjal, hiperkalemia dan
angioedema. Apabila terjadi batuk kering yang tidak bisa ditoleransi,
maka dapat diganti dengan pemberian Angiotensin Receptor Blocker
(ARB).39
Dosis yang digunakan adalah 0.1 mg / kgBB setiap 8 jam, dosis dapat
dinaikkan hingga 2 mg/kgBB setiap 8 jam.39

102
 Digoxin 2 x 15 mcg
Digoxin merupakan golongan obat jenis glikosida jantung yang
digunakan pada pasien dengan gagal jantung. Efek digoxin pada
tatalaksana gagal jantung adalah inotropik positif (meningkatkan
kontraktilitas sel otot jantung), kronotropik negatif (mengurangi
frekuensi denyut ventrikel pada takikardia atau fibrilasi atrium) dan
mengurangi aktivasi saraf simpatis. Dosis yang dianjurkan adalah 15
mcg/kgBB pada awal pemberian dan 5 mcg/KgBB pada 6 jam
setelahnya, lalu 3 – 5 mcg/KgBB (maksimal 200 mcg secara IV dan
250 mcg secara oral).39,40
 Nebulisasi procaterol + budesonide / 8 jam
Procaterol merupakan obat golongan agonis selektif reseptor β2,
merupakan obat dengan golongan yang sama dengan salbutamol dan
terbutalin. Obat golongan ini bersifat selektif relatif, sehingga untuk
meningkatkan selektivitasnya, obat ini cenderung diberikan secara
inhalasi dosis rendah dalam bentuk aerosol. Cara ini dianggap
memiliki aktivasi efektif reseptor β2 di bronkus tetapi dengan kadar
obat sistemik yang rendah, sehingga dapat memberikan efek samping
yang lebih minimal bila dibandingkan dengan pemberian secara
peroral. Dosis yang digunakan pada anak adalah 0.1 – 0.3 mL.39
Procaterol merupakan Short Acting β2 Agonist (SABA) yang memiliki
waktu relatif singkat untuk memberikan respon terapi pada pasien.
Efek samping yang dapat dihasilkan pada Obat ini berfungsi sebagai
bronkodilator pada kasus asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Namun, karena asma bersifat inflamasi pada saluran
pernapasan, maka dalam penggunaannya seringkali SABA diberikan
bersamaan dengan pemberian antiinflamasi atau kortikosteroid. Pada
pasien ini, diberikan budesonide sebagai kortikosteroid respiratorik
untuk menunjang efek dari SABA.39 Pada pemberian secara inhealer,
dosis budesonide yang disarankan pada pasien dengan usia < 12 tahun
adalah 20 – 200 mcg setiap 6 – 12 jam/hari. Dosis yang diberikan pada
pemberian secara nebulisasi pada pasien dengan usia < 12 tahun 0.5 –

103
1 mg setiap 12 jam/hari dapat dikurangi hingga 0.25 – 0.5 mg setiap
12 jam/hari.40
 Pemasangan NGT, intake ASI 40 – 50 cc / 3 jam
Pemasangan NGT bertujuan untuk mengurangi kemungkinan pasien
mengalami tersedak selama pemberian nutrisi peroral. ASI tetap
menjadi pilihan utama pada pasien ini. Kadungan pada ASI meliputi
sebagian besar lemak esensial yang dibutuhkan oleh bayi, protein,
karbohidrat, vitamin, mineral dan ion, serta sel – sel hingga sel – sel
kekebalan tubuh. dengan mendapatkan ASI, bayi mendapatkan
kekebalan terhadap berbagai penyakit seperti radang paru-paru,
radang telinga, diare, dan juga mengurangi risiko alergi.41 Bayi
menyusu 8 - 12 kali sehari, sehingga pada pasien ini diberikan ASI
dimulai dari frekuensi 8 kali/hari, yang dapat disesuaikan dengan
kondisi bayi saat menyusu. 41
Pemberian nutrisi pada bayi harus sesuai dengan kebutuhan agar tidak
menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada pasien. Sesuai dengan
rekomendasi IDAI, Kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan berat
badan ideal dikalikan RDA menurut usia tinggi (height age). Usia-
tinggi ialah usia bila tinggi badan anak tersebut merupakan P50 pada
grafik. Kebutuhan nutrien tertentu secara khusus dihitung pada
kondisi klinis tertentu 42
Pada perhitungan berdasarkan target BB ideal ditentukan dengan
rumus  BBI x RDA (usia 0 – 6 bulan  RDA : 120 kkal)
BBI = (2 + 9) : 2 = 5.5 kg
nutrisi yang dibutuhkan = 5.5 x 120 kkal
= 660 kkal / hari
Pada pasien dengan gizi kurang, kebutuhan nutrisi diberikan 50 – 70%
dari total kebutuhan, kemudian dinaikkan bertahap untuk mencegah
sindrom refeeding, sehingga pada pasien ini dapat diberikan42 :
ASI  60 kkal / 100 cc
 50% dari kebutuhan = 0,5 x 660 kkal = 330 kkal  550 cc
 12 x 46 cc hingga 8 x 70 cc

104
 70% dari kebutuhan = 0,7 x 660 kkal = 462 kkal  770 cc
 12 x 65 cc hingga 8 x 97 cc
 Transfusi PRC 35 cc dalam 3 jam.
Secara umum, transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar
Hb <7,0 g/dL, terutama pada keadaan anemia akut. Transfusi juga
dapat dilakukan pada kadar Hb 7,0-10,0 g/dL, apaapabila ditemukan
hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan
laboratorium. Transfusi jarang dilakukan pada kadar Hb >10,0 g/dL
kecuali terdapat indikasi tertentu, seperti penyakit yang membutuhkan
kapasitas transpor oksigen lebih tinggi. Sebagai contoh, pada anak
dengan anemia defisiensi besi, transfusi pada umumnya tidak
dilakukan jika tidak terdapat keluhan dan anak dalam kondisi klinis
baik. Sebaliknya, pada pasien anak yang membutuhkan transfusi rutin,
transfusi diberikan pada kadar Hb pra-tansfusi 9,0-10,0 g/dL, untuk
mempertahankan tumbuh kembang mendekati tumbuh kembang pada
anak normal.43
Pada bayi prematur, transfusi PRC diindikasikan apaapabila kadar Hb
<7,0 g/dL. Pada keadaan Infant Respiratory Distress Syndrome
(IRDS), transfusi diberikan pada kadar Hb <12,0 g/dL untuk bayi
yang membutuhkan oksigen, atau < 10.0 g/dL untuk bayi yang tidak
membutuhkan oksigen. Pada bayi prematur dengan tanda dan gejala
anemia ringan seperti takikardia atau peningkatan berat badan yang
tidak adekuat, transfusi diberikan apaapabila kadar Hb <10,0 g/dL.
Namun, apabila terjadi tanda dan gejala anemia berat seperti apnea,
hipotensi, atau asidosis, transfusi PRC dapat diberikan pada kadar Hb
<12,0 g/dL.43
Pada bayi aterm di bawah usia 4 bulan, transfusi diberikan apabila
terdapat manifestasi klinis anemia seperti apnea, takikardia, atau
peningkatan berat badan yang tidak adekuat apabila kadar Hb <7,0
g/dL. Transfusi PRC juga dapat diberikan pada bayi dengan anemia
perioperatif yang memiliki kadar Hb < 10.0 g/ dL, atau pada kondisi
perdarahan akut yang melebihi 10% dari volume darah total yang

105
tidak menunjukkan respon terhadap terapi lain. Transfusi PRC juga
dapat diberikan pada pasien pasca operasi dengan tanda dan gejala
anemia dan kadar Hb <10,0 g/dL, serta pasien yang menderita
penyakit kardiopulmonal berat dengan kadar Hb <12,0 g/dL.43
Dosis yang digunakan untuk transfusi PRC pada anak adalah 10-15
mL/kgBB/hari apabila Hb >6,0 g/dL, sedangkan pada Hb <5,0 g/dL,
transfusi PRC dapat dilakukan dengan dosis 5 mL/kgBB dalam 1 jam
pertama. Pada keadaan darurat sisa darah yang masih ada pada
kantong dihabiskan dalam 2-3 jam selanjutnya, asalkan total darah
yang diberikan tidak melebihi 10-15 mL/kgBB/hari. Namun, apabila
jumlah transfusi yang dibutuhkan hanya sedikit, dianjurkan untuk
menggunakan kantong kecil/ pediatrik. Dosis transfusi PRC pada
neonatus 20 mL/ kgBB, dan disarankan untuk menggunakan kantong
pediatrik dengan kapasitas ±50 mL/kantong. Pada anak, pemberian
PRC 4 mL/kgBB dapat meningkatkan kadar Hb sekitar 1 g/dL. Rumus
untuk menghitung kebutuhan PRC adalah [DHb (target Hb – Hb saat
ini) x berat badan x 4], sementara kebutuhan per hari adalah 10-15
kg/BB/hari.43

106
DAFTAR PUSTAKA

.
1. Dahlan Z. Pneumonia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,Alwi I, Simadibrata
M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. 196
2. Sectish T, Prober CG. Pneumonia. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, Stanton BF, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier; 2008. 1795 – 9.
3. Gupta GR. Tackling pneumonia and diarrhoea: the deadliest diseases for the
world's poorest children. Lancet. 2012 Jun 09;379(9832):2123-4.
4. Rudan I, et all. Child Health Epidemiology Reference Group (CHERG).
Epidemiology and etiology of childhood pneumonia in 2010: estimates of
incidence, severe morbidity, mortality, underlying risk factors and causative
pathogens for 192 countries. J Glob Health. 2013 Jun;3(1):010401.
5. Garenne M, Ronsmans C, Campbell H. The magnitude of mortality from
acute respiratory infections in children under 5 years in developing
countries. World Health Stat Q. 1992;45(2-3):180-91.
6. The United Nations Children’s Fund (UNICEF), World Health Organization
(WHO). Pneumonia the forgotten killer of children. 2006.
7. Price SA, Wilson LM.. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006.
8. Monita O, Yani FF, Lestari Y. Profil Pasien Pneumonia Komunitas di Bagian
Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang Sumatera Barat. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2015; 4(1)
9. Healy F, Hanna BD, Zinman R. Pulmonary Complications of Congenital
Heart Disease. Paediatr Respir Rev. 2012 Mar;13(1):10-5
10. Djer MM, Madiyono B. Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan. Sari Pediatri,
Vol. 2, No. 3, Desember 2000: 155 – 162
11. Sadler, T.W. Langman’s Medical Embryology. 12th ed. Philadelphia.
Lippincott Williams & Wilkins. 2012.

107
12. Wardana ING. Ventricular septal defect. Bagian Anatomi FK Universitas
Udayana Denpasar. 2017.
13. Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku Ajar Kardiologi Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta, 1994
14. Ain N, Hariyanto D, Rusdan S. Karakteristik Penderita Penyakit Jantung
Bawaan pada Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari 2010 –
Mei 2012. JKA. 2015; 4(3)
15. Yilmaz S, Demirtas A, Tokpinar A, Acer N. Dextrocardia and Situs Inversus
Totalis in a Turkish Subject: A Case Report. Int. J. Morphol.. 37(3):900-902,
2019.
16. Ekpe EE, Uwah U, Nyong EE. Dextrocardia with Situs Inversus Co-existing
with Neonatal Intestinal Obstruction. PMJ. 2008; 2: 177-180
17. Ofusori DA, Okwuonu CU, Ude RA, Adesanya OA. Dextrocardia and Situs
Inversus Totalis in a Nigerian Cadaver : A Case Report of Rare Anomaly. Int.
J. Morphol., 27 (3) : 837 – 40. 2009
18. Stainback, RF. Dextrocardia, An Incidental Finding. Tex Heart I J., Vol. 36
no. 4. 2009
19. Bernasconi A, Azancot A, Simpson JM, Jones A, Sharland GK. Fetal
Dextrocardia : Diagnosis and Outcome in Two Tertiary Centres. Heart.
2005;91:1590-4
20. Lambert TE, et all. Abnormalities of Fetal Situs : An Overview and Literature
Review. Obstet Gynecol Surv. 2016 ; 71.1 : 33-8
21. Mohebi M, Moghaddam HM, Horri M. Congenital Heart Defects in Children
with Dextrocardia : A Ten-Year Study. Int. J. Pediatr., 2019; 7.1(61): 8815-
20.
22. Sadiqi J, Aien MT, Nasery MN, Hamidi H. Situs Inversus with Dextrocardia.
M J Case,. 2016 ; 1 (3) : 012
23. Saad M, Ford DO, Goddard KK, Abuzaid A. A Twist of Fate : Situs Inversus
Totalis with Dextrocardia. Am J Med., 2015; 128 (5) : 477-9
24. Voshtani SH, et all. A Rare Case of Dextrocardia with Situs Inversus Totalis
in a Patient of Diabetic Mother. Anat Sci Int., 2013; 10(4) : 41-4.

108
25. Garba BI, et all. Incidental Finding on Dextrocardia with Situs Inversus
Totalis in A Day Old Neonate : Case Report and Review of the Literature.
Niger J Paed. 2014; 41 (3): 251 – 3.
26. Kumar A, Singh MK, Yadav N. Dextrocardia and Asplenia in Situs Inversus
Totalis in A Baby: A Case Report. J. Med. Case. Rep., 2014; 8 : 408.
27. Lufukuja GJ. Dextrocardia with Situs Inversus Totalis in A Tanzanian Male
Cadaver : A Rare Variation. Int. J. Anat. Res., 2016 ; 4(3) : 2775-7.
28. Lee SE, et all. Situs Anomalies and Gastrointestinal Abnormalities. J. Pediatr.
Surg., 2006; 41 : 1237-42.
29. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Esensial, Edisi Update Keenam. Elsevier. 2018. hal. 529-
536
30. Kliegman RM, et all. Nelson Textbook of Pediatric, 21st Edition. Elsevier.
2019. 8956-84
31. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson Essentials of Pediatrics Seventh
Edition. Elsevier. 2015. p. 358 - 64
32. Ebeledike C, Ahmad T. Pediatric Pneumonia. [Updated 2020 Jan 6]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536940/
33. Schrock SK, Hayes BL. Community – Acquired Pneumonia in Children. Am
Fam Physician. Vol. 86 no. 7; 2012
34. Kliegman RM, et all. Nelson Textbook of Pediatric, 21st Edition. Elsevier.
2019. p. 9854-64
35. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Esensial, Edisi Update Keenam. Elsevier. 2018. hal. 603-7
36. Marcdante KJ, Kliegman RM. Nelson Essentials of Pediatrics Seventh
Edition. Elsevier. 2015. p. 509-13
37. Changwe GJ, et all. Anaemia in solitary acyanotic ventricular septal defect in
comorbid with pneumonia or pulmonary hypertension: A retrospective study
of 75 paediatric cases [version 1; referees: awaiting peer review].
F1000Research 2019, 8:101

109
38. Sadoh WE, Osarogiagbon WO. Underlying Congenital Heart Disease in
Nigerian Children with Pneumonia. Afr Health Sci. Vol 13 Issue 3 September
2013
39. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta; 2016.
40. Shann F. Drug Doses Seventh Edition. Departement of Padiatrics University
of Melbourne. Australia; 2017.
41. Ikatan Dokter Anak Indonesia. ASI sebagai Pencegah Malnutrisi pada Bayi.
Jakarta; 2013.
Dapat diunduh dari : https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/asi-sebagai-
pencegah-malnutrisi-pada-bayi
42. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia :
Asuhan Nutrisi Pediatrik. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. 2011
43. Wahidayat PA, Adnani NB. Transfusi Rasional pada Anak. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo. Sari Pediatri, Vol. 18, No. 4, Desember 2016.

110

Anda mungkin juga menyukai