Anda di halaman 1dari 9

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Acute decompensated heart failure (ADHF) dapat didefinisikan sebagai
munculnya gejala dan tanda gagal jantung yang terjadi secara mendadak
ataupun bertahap yang kemudian memerlukan perawatan rumah sakit yang
mendadak. Apapun yang mendasari pencetus eksaserbasi gejala pasien,
terjadinya kongesti pulmoner maupun sistemik akibat peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri dan kanan merupakan temuan yang hampir umum
pada pasien ADHF.3
3.2 Pencetus ADHF
Sebanyak 40%-50% kasus ADHF tidak diketahui pencetusnya. Pencetus
tersering terjadinya ADHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit adalah
ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan atau pembatasan pantangan
makanan, hipertensi yang tidak terkontrol, iskemia, aritmia, dan eksaserbasi
penyakit paru obstruksi kronis dengan atau tanpa pneumonia. Faktor lain yang
berkontribusi adalah disfungsi ginjal, diabetes, anemia, dan efek samping
pengobatan

seperti

NSAID,

calcium

channel

blockers,

dan

thiazolidinediones.2,3
3.3 Karakteristik Pasien
Kebanyakan pasien yang dirawat di rumah sakit dengan ADHF merupakan
perburukan dari gagal jantung kronis, walaupun 15%-20% diantaranya
merupakan kasus gagal jantung yang baru terdiagnosis. Sekitar setengah
pasien yang dirawat telah mengalami penurunan sedang hingga berat pada
fungsi sistolik dengan fraksi ejeksi kurang dari 40%. Pasien yang baru
terdiagnosis dengan gagal jantung kebanyakan datang dengan keadaan edema
paru ataupun syok kardiogenik, sedangkan pasien gagal jantung kronis yang
mengalami kegagalan dalam dekompensasi biasanya datang dalam keadaan
bentuk lain dari kongesti dan retensi cairan seperti penambahan berat badan,

18

sesak saat aktivitas ataupun sesak saat berbaring. Gejala ini biasanya telah
dimulai beberapa hari atau seminggu sebelumnya.2,3
Pasien ADHF memiliki prevalensi tinggi mengalami atril fibrilasi atau flutter
(30%-46%), gangguan katup jantung (44%), dan dilatasi kardiomiopati (25%).
Riwayat mengalami penyakit arteri koroner ditemukan pada 60% pasien,
hipertensi pada 70% pasien, diabetes 40%, dan gangguan fungsi ginjal pada
20%-30% pasien. Saat datang ke rumah sakit, kebanyakan pasien relatif
normotensi, sekitar 25% yang datang dalam keadaan hipertensi, dan kurang
dari 10% dengan hipotensi.3
3.4 Patofisiologi
Gagal Jantung
Gagal jantung terjadi ketika terdapat abnormalitas pada fungsi jantung yang
menimbulkan kegagalan jantung untuk memompa darah pada rata-rata yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Pada keadaan
gagal jantung akut terjadi suatu kegagalan dalam adaptasi yang cukup untuk
mempertahankan keseluruhan kemamampuan jantung pada level normal.
Penurunan

curah

jantung

setelah

terjadinya

kerusakan

miokardium

menimbulkan perubahan kaskade hemodinamik dan neurohormonal yang


mempropokasi aktivasi system neuroendokrin terutama sistem adrenergik dan
renin angiotensin aldosterone

system (RAAS). Pelepasan epineprin dan

norepineprin bersama substansi vasoaktif endotelin 1 dan vasopressin akan


menyebabkan vasokonstriksi yang meningkatkan kalsium afterload dan
melalui peningkatan cAMP menyebabkan meningkatnya pemasukan kalsium
ke sitosol. Peningkatan pemasukan kalsium ke sitosol ini kemudian akan
mingkatkankan kontraktilitas jantung (inotropic) dan kegagalan relaksasi
miokardium (lusitropy). Kelebihan kalsium intrasel dapat menginduksi
terjadinya aritmia dan kematian mendadak. Peningkatan afterload dan
kontraktilitas jantung disertai gangguan dalam relaksasi otot jantung mengarah
pada peningkatan kebutuhan energi yang kemudian semakin menurunkan
curah jantung. Peningkatan kebutuhan energi juga menyebabkan peningkatan
kematian sel otot jantung atau apoptosis yang meningkatkan perburukan gagal

19

jantung dan kembali terjadi pengulangan siklus aktivasi neurohormonal yang


semakin menimbulkan kerusakan jantung.1
Aktivasi RAAS menimbulkan produksi angiotensin II dan aldosterone.
Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi, dengan demikian akan
meningkatkan afterload yang berarti akan meningkatkan kebutuhan energi
miokardium. Aldosterone akan menyebabkan retensi natrium dan air sehingga
meningkatkan preload atau jumlah cairan tubuh yang merupakan sumber
terjadinya gejala kongesti.1,5
Kardiomiopati Diabetes
Insiden penyakit jantung coroner pada pasien diabetes sekitar 2 hingga 4 kali
lebih besar disbanding non diabetes. Peningkatan risiko gagal jantung pada
pasien diabetes dipengaruhi oleh kerentanan pembuluh darah, kerentanan
darah, dan kerentanan jantung oleh diabetes.4
Diabetes

menyebabkan

kerentanan

pembuluh

darah

melalui

efek

hiperglikemia yang menyebabkan disfungsi endotel yang merupakan tahap


awal perkembangan plak aterogenik. Gangguan metabolic yang terjadi pada
diabetes termasuk hiperglikemia, pembentukan asam lemak yang berlebihan
dan resistensi insulin menyebabkan abnormalitas fungsi sel endotel dengan
mempengaruhi sintesis dan degradasi nitrit oksida (NO) yang merupakan
vasodilator yang berperan dalam hemostatis vaskular. NO juga melindungi
pembuluh darah dari kerusakan endogen, seperti aterosklerosis dengan
mempengaruhi sinyal molekuler yang mencegah interaksi trombosit dan
leukosist dengan dinding vaskuler dan menghambat proliferasi serta migrasi
sel otot polos vaskuler.4
Kerentanan darah terjadi melalui komponen protrombotik pada diabetes
termasuk diantaranya disfungsi platelet, pemadatan struktur fibrin dan
hipofibrinolisis, peningkatan mikropartikel dan inflamasi. Terjadi peningkatan
kadar fibrinogen plasma dan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) tinggi
yang dapat menimbulkan kondisi hiperkoagulabilitas.4
Kerentanan jantung terjadi karena gangguan metabolism jantung, dimana
resistensi insulin menyebabkan perubahan penggunaan substrat dari glukosa
20

menjadi oksidasi asam lemak yang menyebabkan peningkatan kebutuhan


oksigen dan produksi oksigen reaktif yang mengakibatkan apoptosis dan
fibrosis miokardium.4
3.5 Klasifikasi Klinis
Beberapa klasifikasi telah dikembangkan untuk gagal jantung akut. Pasien
secara umum dibagi menjadi pasien yang pertama kali mengalami gagal
jantung (de novo) dan pasien yang merupakan perburukan dari gagal jantung
kronis. Sekitar 80% kasus ADHF merupakan perburukan dari gagal jantung
kronis.3
Klasifikasi lain yang relevan dan digunakan secara luas adalah klasifikasi
ADHF yang dikembangkan oleh Stevenson yang berfokus pada tingkat
keparahan penyakit. System klasifikasi ini membagi pasien berdasarkan ada
tidaknya tanda hipoperfusi (cold vs warm) dan ada tidaknya tanda kongesti
saat istirahat (wet vs dry). Hipoperfusi ditandai dengan tekanan nadi yang
menyempit, pulsus alternans, akral dingin, pasien mengantuk, hipotensi yang
dihubungkan dengan penggunaan ACE inhibitor, penurunan serum sodium,
dan perburukan fungsi ginjal. Kongesti ditandai dengan orthopnea,
peningkatan tekanan jugular, peningkatan suara S3, edema, ascites, rales, dan
refluks abdominojugular. Pasien dibagi dalam profile A, B, C, dan L dengan
penjelasan sebagi berikut: 2

Profil A : tidak terdapat tanda hipoperfusi maupun kongesti (warm & dry),
PCWP 15-18 mmHg dan CI > 2,2 L/menit/m2

Profil B : tidak terdapat tanda hipoperfusi, tapi pasien memperlihatkan


tanda kongesti (warm & wet), PCWP > 18 mmHg dan CI > 2,2
L/menit/m2

Profil L : pasien mengalami hipoperfusi tanpa tanda kongesti (cold &dry),


PCWP 15-18 mmHg dan CI < 2,2 L/menit/m2

Profil C : pasien mengalami tanda hipoperfusi dan kongesti (cold & wet),
PCWP > 18 mmHg dan CI < 2,2 L/menit/m2

21

Pasien dengan profile A memiliki mortalitas dalam 6 bulan sebesar 11%,


dibandingkan 40% pada pasien yang masuk kategori C, hal ini
memperlihatkan bahwa klasifikasi ini berguna dalam menentukan prognosis
pasien.
3.6 Penatalaksanaan ADHF
Setiap pasien ADHF yang mengalami hipotensi, perburukan fungsi ginjal dan
perubahan status mental harus dipertimbangkan memiliki risiko tinggi dan
harus dimasukkan rumah sakit. Selain itu pasien dengan dyspnea, tachypnea,
ataupun hypoxemia (SaO2 < 90%) saat istirahat, atau pasien aritmia yang
signifikan seperti atrial vibrilasi respon cepat perlu segera mendapatkan
penanganan di rumah sakit. Perawatan dirumah sakit juga dipertimbangkan
pada pasien gagal jantung yang mengalami peningkatan berat badan yang
signifikan (> 5 kg), terdapat gejala dan tanda kongesti paru dan sistemik,
gangguan elektrolit, maupun pneumoni.3,6
Pasien ADHF berisiko tinggi mengalami ketidakstabilan hemodinamik dan
aritmia, sehingga perlu mendapat monitoring ketat selama perawatan. Sangat
penting untuk melakukan monitoring tanda-tanda vital, saturasi oksigen,
keseimbangan cairan dan elektrolit, nilai serum kreatinin, serta gejala dan
tanda kongesti.
Tujuan perawatan ADHF adalah memperbaiki gejala, khususnya gejala
kongesti dan gejala curah jantung yang rendah, mengembalikan oksigenasi
yang normal, optimalisasi status volume, identifikasi penyebab dan pencetus,
optimalisasi terapi oral kronis, meminimalisir efek samping pengobatan,
mengidentifikasi pasien yang perlu mendapat terapi revaskularisasi,
identifikasi tromboemboli dan kebutuhan terapi antikoagulan, edukasi pasien
tentang pengobatan dan menejemen sendiri gagal jantung, mempertimbangkan
serta bila mungkin memulai program terapi.2,3,6
Penatalaksanaan

farmakologis

pasien

ADHF

didasarkan

atas

status

hemodinamik pasien yang dapat dievaluasi menggunakan cardiac index (CI)


dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) yang nantinya ditujukan
untuk mengatasi kelebihan cairan/kongesti ataupun hipoperfusi
22

Terapi Kongesti
Duretik intravena merupakan terapi dasar ADHF pada pasien yang
memperlihatkan gejala dan tanda kelebihan cairan (PCWP > 18 mmHg). Pada
keadaan adanya edema paru akut, pengurangan cairan sangat penting untuk
memperbaiki gejala dan meningkatkan oksigenasi. Terapi diuretik harus
dimulai sedini mungkin untuk mempercepat perbaikan kondisi pasien. Melalui
pengurangan volume intravaskuler diuresis akan mengurangi tekanan vena
sentral dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) yang kemudian akan
mengurangi edema paru. Hati-hati pada pemberian terapi diuretik yang terlalu
agresif karena dapat menimbulkan gangguan eletrolit yang mencetuskan
aritmia, defisit intravaskuler, hipotensi, dan gangguan fungsi ginjal, serta
kemungkinan aktivasi system renin-angiotensin-aldosterone yang dapat
memperburuk keadaan gagal jantung.2,3
Loop diuretik merupakan merupakan pilihan pertama karena diuretik ini
efektif dan dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien. Dosis awal loop diuretik
untuk pasien yang memiliki fungsi ginjal normal adalah 40 mg intravena
furosemide, puncak kerja diuretik terjadi 30-60 menit setelah pemberian.3
Pada kasus dimana pasien tidak merespon dengan baik terapi diuretik,
beberapa

faktor

perlu

dipertimbangkan

diantaranya

mengeliminasi

penggunaan obat yang dapat memperburuk fungsi ginjal yaitu NSAID,


evaluasi ketepatan dosis diuretik, dimana dosis loop diuretik dapat
ditingkatkan sampai 2 kali lipat hingga tercapai diuresis yang memadai atau
dosis maksimum yang direkomendasikan telah tercapai. Dapat pula
dipertimbangkan pemberian diuretik secara kontinyu dibandingkan dengan
pemberian secara intermiten dapat dimulai dengan dosis 5 mg/jam dan dititrasi
hingga 20 mg/jam jika diperlukan. Selama mendapat terapi diuretik pasien
harus dimonitor elektrolit dan fungsi ginjalnya.3
Pada pasien yang tetap mengalami hipertensi dan atau gejala yang menetap
walaupun telah mendapat terapi diuretik yang agresif, penambahan dengan
vasodilator dapat dipertimbangkan untuk mengurangi kongesti paru. Sodium

23

nitroprusside, nesiritide, dan intravena nitroglycerin merupakan vasodilator


arteri dan vena yang cepat memperbaiki gejala kongesti paru dengan
menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri sehingga mengurangi PCWP,
meningkatkan stroke volume, dan cardiac output. Nitrogliserin intravena dapat
diberikan mulai dosis 10-20 g/menit dan dapat ditingkatkan 10-20 g/menit
sampai gejala membaik atau menurunkan PCWP hingga 16 mmHg tanpa
mengurangi tekanan darah sistolik dibawah 80 mmHg. Nitroprusside dimulai
dengan dosis 10 g/menit, dapat ditingkatkan 10-20 g setiap 10-20 menit
jika masih ditolerir dengan tujuan hemodinamik sama seperti sebelumnya.
Nesiritide diberikan dengan dosis awal 2 g/kgBB, diikuti 0,01-0,03
mg/kg/menit. Hipotensi merupakan efek samping tersering dari ketiga
vasodilator ini, dan semua vasodilator ini dapat menyebabkan vasodilatasi
arteri pulmoner yang nantinya dapat memperburuk hipoksia dan edema paru
pada pasien yang sebelumnya sudah memiliki abnormalitas ventilasi-perfusi.2,3
Terapi Hipoperfusi
Obat inotropic seringkali digunakan untuk memperbaiki gejala gagal jantung
dengan performa jantung yang buruk dan hipoperfusi sistemik. Dobutamin
dan milrinone merupakan inotropic pilihan untuk meningkatkan perfusi dan
mempertahankan perfusi organ pada pasien yang mengalami penurunan curah
jantung. Indikasi kompeling penggunaan inotropic meliputi tekanan darah <
90 mmHg, hipotensi yang simtomatik walaupun tekanan pengisian telah
memadai (PCWP 15-18 mmHg), perburukan fungsi ginjal, dan respon yang
tidak adekuat terhadap pemberian vasodilator dan diuretik. Pemberian
inotropic harus dilakukan secara selektif karena dapat menimbulkan dampak
yang buruk apabila diberikan pada pasien yang jurah jantungnya masih baik.
Dobutamin merupakan pilihan terbaik untuk pasien hipotensi.2,3
Penatalaksanaan berdasarkan profile ADHF

Profile A (warm & dry) : optimalisasi terapi oral

Profile B (warm & wet) : pasien mengalami hypervolemia, pasien


diberikan diuretik intravena dengan atau tanpa vasodilator

24

Profile L (cold & dry): pasien mengalami hipoperfusi, terapi


berdasarkan PCWP dan MAP
Jika PCWP < 15 mmHg, berikan cairan intravena hingga PCWP
15-18 mmHg
Jika PCWP 15 mmHg dan MAP < 50 mmHg, berikan
dobutamin intravena
Jika PCWP 15 mmHg dan MAP 50 mmHg dan ada indikasi
kompeling pemberian inotropic, berikan inotropic intravena
Jika PCWP 15 mmHg dan MAP 50 mmHg dan tidak ada
indikasi kompeling pemberian inotropic, berikan vasodilator
intravena

Profile C (cold & wet ): pasien mengalami hipoperfusi dan


hypervolemia, terapi berdasarkan nilai MAP
Diuretik intravena
Jika MAP < 50 mmHg, berikan dobutamin intravena
Jika dan MAP 50 mmHg dan ada indikasi kompeling
pemberian inotropic, berikan inotropic intravena
MAP 50 mmHg dan tidak ada indikasi kompeling pemberian
inotropic, berikan vasodilator intravena2

Penanganan Diabetes dan Penyakit Kardiovaskular


Penanganan gagal jantung dan diabetes umumnya bersamaan dan saling
berhubungan. Pasien gagal jantung dapat diberikan ACE-inhibitor/ ARB dan
-blocker dosis dititrasi. Pasien diabetes dapat diberikan metformin apabila
laju filtrasi glomerulus > 30 ml/menit ataupun insulin untuk mencapai kontrol
glukosa yang direkomendasikan yaitu HbA1c < 7%, target glukosa darah
dipertahankan 140-180 mg/dL, dengan nilai dibawah meningkatkan risiko
hipoglikemia.4
Pasien penyakit koroner disertai diabetes memerlukan strategi penanganan
yang komprehensif meliputi perubahan gaya hidup (berhenti merokok),
aktifitas fisik, kontrol tekanan darah (<135/85 mmHg), penanganan
dyslipidemia (LDL < 100 mg/dL), kontrol gula darah

(HbA1c < 7%),

25

pengaturan berat badan, dan pemeberian antiplatelet/antikoagulan, ACEinhibitor/ -bloker.4

26

Anda mungkin juga menyukai