Anda di halaman 1dari 26

1

REFERAT

STENOSIS KANALIS SPINALIS LUMBALIS

Pembimbing

dr. Ananda Haris, Sp. BS

Oleh : Juwita Rayhana (201520401011117)

Jadwal Presentasi : 5 Desember 2016

Dipresentasikan : 5 Desember 2016

SMF ILMU BEDAH

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2016
2

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

STENOSIS KANALIS SPINALIS


LUMBALIS

Referat dengan judul Stenosis Kanalis Spinalis Lumbalis telah diperiksa dan

disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan

Dokter Muda di bagian Bedah.

Surabaya, Desember 2016

Pembimbing

dr. Ananda Haris, Sp. BS


3

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, penulis telah menyelesaikan penulisan Referat dengan judul Stenosis

Kanalis Spinalis Lumbalis.

Penulisan Tinjauan Kepustakaan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu

syarat kelulusan pada program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Malang yang dilaksanakan di RSU Haji Surabaya.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dokter pembimbing,

khususnya kepada dr. Ananda Haris, Sp. BS selaku pembimbing, dan semua pihak

terkait yang telah membantu terselesaikannya referat ini.

Tulisan Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati,

penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan kritik dan saran yang

membangun. Semoga tulisan responsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamualaikum WR.WB.

Surabaya, Desember 2016

Penulis
4

DAFTAR ISI

Halaman Depan ..................................................................................................... i

Lembar Pengesahan................................................................................................ ii

Kata Pengantar ...................................................................................................... iii

Daftar Isi ................................................................................................................ iv

Bab I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

Bab II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2

2.1 Anatomi Kolumn Vertebralis .............................................................. 2

2.1.1 Karakteristik umum vertebra ............................................................ 3

2.1.2 Sendi-sendi kolumna vertebralis ...................................................... 5

2.1.3 Ligamentum vertebra ........................................... 6

2.1.4 Persarafan sendi-sendi vertebra......................................................... 8

2.2 Stenosis kanalis lumbalis...................................................................... 9

2.2.1 Definisi.............................................................................................. 9

2.2.2 Etiologi.............................................................................................. 9
5

2.2.3 Klasifikasi.......................................................................................... 10

2.2.4 Patoanatomi....................................................................................... 11

2.2.5 Patofisiologi....................................................................................... 13

2.2.6 Manifestasi Klinis ............................................................. 14

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang ........................................................... 15

2.2.8 Penatalaksanaan ........................................................... 16

2.2.9 Komplikasi .......................................................... 19

2.2.10 Prognosis ........................................................... 19

Bab III RINGKASAN ..................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21


6

BAB 1

PENDAHULUAN

Lumbal spinal canal stenosis merupakan suatu kondisi penyempitan kanalis


spinalis atau foramen intervertebralis pada daerah lumbar disertai dengan penekanan
akar saraf yang keluar dari foramen tersebut. Semakin tinggi angka harapan hidup
seseorang di suatu negara, semakin meningkat populasi orang dengan usia lanjut
dengan aktivitas yang terpelihara secara monoton. Konsekuensinya adalah
keterbatasan fungsional dan nyeri yang timbul sebagai gejala penyakit degenerative
pada tulang belakang, menjadi lebih sering muncul sebagai masalah kesehatan.
Lumbar spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan yang
merupakan penyakit degenerative pada tulang belakang pada populasi usia lanjut.
Prevalensinya 5 dari 1000 orang di atas usia 50 tahun. Merupakan penyakit terbanyak
yang menyebabkan bedah pada tulang belakang pada usia lebih dari 60 tahun.
Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras, jenis kelamin, tipe tubuh, pekerjaan dan
paling banyak mengenai lumbar ke-4-5 dan ke-3-4 (Eberhard, 2009).

Stenosis adalah penyempitan pada caliber orifisium tuba yang menyebabkan


penurunan aliran cairan atau gas disertai penekanan pada komponen padatnya
(struktur saraf), bila tidak terjadi penekanan maka kanalnya dikatakan mengalami
penyempitan namun bukan stenosis. Lumbar spinal stenosis merupakan penyempitan
osteoligamentous vertebral canal dan atau intervertebral foramina yang menghasilkan
penekanan pada thecal sac dan atau akar saraf. Pada level vertebra yang sama
penyempitan tersebut bisa mempengaruhi keseluruhan kanal dan bagian lain dari
kanal tersebut. Definisi ini membedakan herniasi diskus dengan stenosis. Prolaps
diskus tidak menyebabkan stenosis, kedua kondisi di atas memiliki perbedaan
pathogenesis, anatomi dan gejala klinis yang membuat keduanya tidak bisa dikatakan
memiliki satu kesatuan patologis. Kanal lumbalis terdiri atas bagian sentral, dua
bagian lateral dan bagian posterior yang berhubungan dengan sudut intralaminar
(Eberhard, 2009).
7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kolumna Vertebralis

Kolumna vertebralis disusun oleh 33 vertebra, 7 vertebra servikalis (C), 12


vertebra torakalis (T), 5 vertebra lumbalis (L), 5 vertebra sakralis (S) dan 4 vertebra
koksigeus (pada umumnya 3 vertebra koksigeus di bawah bersatu). Struktur kolumna
vertebralis ini fleksibel karena bersegmen dan disusun oleh tulang vertebra, sendi-
sendi dan bantalan fibrokartilago yang disebut diskus intervertebralis (Snell, 2006).

Gambar 2.1 Rangka dilihat dari posterior

(Sumber: Snell, 2006)


8

2.1.1 Karateristik Umum Vertebra

Semua vertebra mempunyai pola yang sama walaupun terdapat berbagai


perbedaan regional. Vertebra tipikal terdiri dari korpus berbentuk bulat di anterior dan
arkus vertebra di posterior. Kedua struktur ini mengelilingi ruangan yang disebut
foramen vertebralis dan dilalui oleh medulla spinalis. Arkus vertebra terdiri atas
sepasang pedikuli yang berbentuk silinder, yang membentuk sisi arkus, serta sepasang
lamina pipih yang melengkapi arkus vertebra di posterior (Snell, 2006).

Terdapat tujuh prosesus yang berasal dari arkus vertebra, 1 prosesus spinosus, 2
prosesus transversus dan 4 prosesus artikularis. Prosesus spinosus atau spina,
mengarah ke posterior dari pertemuan kedua lamina. Prosesus transversus mengarah
ke lateral dari pertemuan lamina dan pedikulus. Prosesus spinosus dan transversus
berperan sebagai pengungkit dan tempat melekatnya otot dan ligament (Snell, 2006).

Prosesus artikularis terletak vertical dan terdiri atas 2 prosesus artikularis


superior dan 2 prosesus artikularis inferior. Kedua prosesus artikularis superior dari
arkus vertebra bersendi dengan kedua prosesus artikularis inferior dari arkus vertebra
yang terletak di atasnya, membentuk dua sendi synovial (Snell, 2006).

Pedikuli mempunyai lekukan di pinggir atas dan bawah, membentuk insisura


vertebralis superior dan inferior. Pada setiap sisi, insisura vertebralis superior dari
sebuah vertebra bersama dengan insisura vertebralis inferior vertebra di dekatnya
membentuk foramen intervertebralis. Pada rangka yang bersendi, foramen-foramen
ini menjadi tempat lewatnya nevus spinalis dan pembuluh darah. Radiks anterior dan
posterior nervus spinalis bergabung menjadi satu di dalam foramina dan membentuk
nervus spinalis segmentalis (Snell, 2006).
9

Gambar 2.2 A: Kolumna Vertebralis tampak lateral. B: Ciri-ciri umum berbagai


vertebra

(Sumber: Snell, 2006)


10

2.1.2 Sendi-Sendi Kolumna Vertebralis

Vertebra saling bersendi melalui sendi kartilaginosa di antara korporanya dan


sendi synovial di antara prosesus artikulasinya. Sisipan di antara corpora vertebra
adalah fibrokartilago diskus intervertebralis. Diskus intervertebralis paling tebal di
daerah servikal dan lumbal sehingga memungkinkan gerakan kolumna vertebralis
yang paling besar. Diskus ini berperan sebagai penahan (shock absorber) goncangan
apabila beban kolumna vertebralis tiba-tiba meningkat. Akan tetapi, gaya pegasnya
menurun dengan bertambahnya usia (Snell, 2006).

Masing-masing diskus terdiri atas annulus fibrosus di bagian luar dan nucleus
pulposus di bagian sentral. Annulus fibrosus terdiri atas fibrokartilago yang melekat
erat pada corpora vertebra dan ligamentum longitudinal anterior dan posterior
kolumna vertebralis (Snell, 2006).

Nukleus pulposus merupakan massa gelatinosa yang berbentuk lonjong pada


orang muda. Biasanya di bawah tekanan dan terletak sedikit ke posterior dari pinggir
anterior diskus. Fasies anterior dan posterior corpora vertebra yang terletak di
dekatnya dan berbatasan dengan diskus diliputi oleh lapisan tipis kartilago hialin
(Snell, 2006).

Sifat nuklues pulposus yang semi cairan memungkinkan perubahan bentuk dan
pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang antara satu dan yang lain. Peningkatan
beban kolumna vertebralis yang tiba-tiba menyebabkan nucleus pulposus menjadi
pipih. Keadaan ini dimungkinkan oleh sifat pegas dari annulus fibrosus yang terdapat
di sekelilingnya. Apabila dorongan dari luar terlalu besar untuk annulus fibrosus,
annulus dapat robek. Akibatnya herniasi nucleus pulposus terjadi, penonjolan keluar
nucleus ke dalam kanalis vertebralis, dimana nucleus ini dapat menekan radiks nervus
spinalis, nervus spinalis atau bahkan medulla spinalis (Snell, 2006).

Dengan bertambahnya usia, nucleus pulposus mengecil dan diganti oleh


fibrokartilago. Serabut-serabut kolagen annulus berdegenerasi dan menyebabkan
11

annulus tidak selalu berisis nucleus pulposus di bawah tekanan. Pada usia lanjut,
diskus menjadi tipis, kurang elastic dan tidak dapat lagi dibedakan antara nucleus dan
annulus (Snell, 2006).

2.1.3 Ligamentum Vertebra

Ligamentum longitudinal anterior dan posterior berjalan turun sebagai pita utuh
di fasies anterior dan posterior kolumna vertebralis dari tengkorak sampai ke sacrum.
Ligamentum longitudinal anterior lebar dan kuat, melekat pada permukaan dan sisi-
sisi corpora vertebra dan diskus intervertebralis. Ligamentum longitudinal posterior
lemah dan sempit serta melekat pada pinggir posterior diskus. Sedangkan ligamentum
di antara dua vertebra terdiri atas:

1. Ligamentum supraspinosum: ligamentum ini berjalan di antara ujung-ujung spina


berdekatan
2. Ligamentum interspinosum: ligamentum ini menghubungkan spina yang
berdekatan
3. Ligamentum intertrasversum: ligamentum ini berjalan di antara prosesus
transversus yang berdekatan
4. Ligamentum flavum: ligamentum ini menghubungkan lamina vertebra yang
berdekatan (Snell, 2006)
12

Gambar 2.3 A: Sendi-sendi di regio servikalis, torakalis dan lumbalis kolumna


vertebralis. B: Vertebra lumbalis III dilihat dari atas, memperlihatkan hubungan di
antara diskus intervertebralis dan kauda ekuina
(Sumber: Snell, 2006)

2.1.4 Persarafan Sendi-Sendi Vertebra


13

Sendi-sendi di antara corpora vertebra dipersarafi oleh ramus meningei kecil


setiap nervus spinalis. Sendi-sendi di antara prosesus artikularis dipersarafi oleh
cabang-cabang dari ramus posterior nervus spinalis.

Gambar 2.4 Persarafan sendi-sendi vertebra. Pada tingkat vertebra tertentu, sendi
menerima serabut saraf dari dua nervus spinalis yang berdekatan
(Sumber: Snell, 2006)

2.2 Stenosis Kanalis Lumbalis


2.2.1 Definisi
Lumbal spinal canal stenosis atau stenosis kanal lumbal adalah merupakan
penyempitan osteoligamentous kanalis vertebralis dan atau foramen intervertebralis
yang menghasilkan penekanan pada akar saraf sumsum tulang belakang.Penyempitan
14

kanal tulang belakang atau sisi kanal yang melindungi saraf sering mengakibatkan
penekanan dari akar saraf sumsum tulang belakang.Saraf menjadi semakin terdesak
karena diameter kanal menjadi lebih sempit.Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas
usia 50 tahun di Amerika. Pria lebih tinggi insidennya daripada wanita, dan paling
banyak mengenai L4-L5 dan L3-L4 (Justin, 2003).
Stenosis tulang belakang lumbal (penyempitan pada ruang saraf) adalah
penyakit yang terutama mengenai usia paruh baya dan usia lebih tua, dan terjadi
akibat penyempitan kanal spinal secara perlahan, mulai dari gangguan akibat
penebalan ligamen kuning, sendi facet yang membesar, dan diskus yang menonjol.
Biasanya seseorang dengan stenosis tulang belakang memiliki keluhan khas nyeri
yang luar biasa pada tungkai atau betis dan punggung bagian bawah bila berjalan. Hal
ini biasanya terjadi berulang kali dan hilang dengan duduk atau bersandar. Saat tulang
belakang dibungkukkan, akan tersedia ruang yang lebih luas bagi kanal spinal,
sehingga gejala berkurang. Meskipun gejala dapat muncul akibat penyempitan kanal
spinal, tidak semua pasien mengalami gejala. Belum diketahui mengapa sebagian
pasien mengalami gejala dan sebagian lagi tidak. Karena itu, istilah stenosis tulang
belakang bukan merujuk pada ditemukannya penyempitan kanal spinal, namun lebih
pada adanya nyeri tungkai yang disebabkan oleh penekanan saraf yang terkait (Justin,
2003).
2.2.2 Etiologi
Ada 3 faktor yang berkontribusi terhadap lumbal spinal canal stenosis, antara
lain:
1. Pertumbuhan berlebih pada tulang.
2. Ligamentum flavum hipertrofi
3. Prolaps diskus
Sebagian besar kasus stenosis kanal lumbal adalah karena progresif tulang dan
pertumbuhan berlebih jaringan lunak dari arthritis. Risiko terjadinya stenosis tulang
belakang meningkat pada orang yang:
1. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
2. Jenis kelamin wanita lebih beresiko daripada pria
3. Usia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan
pertambahan usia)
4. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya (Justin, 2003).
2.2.3 Klasifikasi
15

Klasifikasi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi berdasarkan etiologi dan
anatomi. Berdasarkan etiologi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi
stenosis primer dan sekunder. Stenosis primer dibagi menjadi: defek congenital dan
perkembangan. Defek congenital dibagi menjadi:
1. Disrapismus spinalis
2. Segmentasi vertebra yang mengalami kegagalan
3. Stenosis intermiten (dAnquin syndrome)

Perkembangan dibagi menjadi kegagalan pertumbuhan tulang dan idiopatik.


Kegagalan pertumbuhan tulang dibagi menjadi:

1. Akondroplasia
2. Morculo disease
3. Osteopetrosis
4. Eksositosis herediter multiple

Idiopatik yaitu hipertrofi tulang pada arkus vertebralis. Sedangkan stenosis sekunder
menurut sifatnya dibagi menjadi:

1. Degeneratif yaitu degenerative spondilolistesis


2. Iatrogenik yaitu post laminektomi, post artrodesis, post disektomi
3. Akibat kumpulan penyakit yaitu akromegali, paget disease, fluorosis,
ankylosing spondylitis
4. Post fraktur
5. Penyakit tulang sistemik
6. Tumor baik primer maupun sekunder

Berdasarkan anatomi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi sentral
stenosis, lateral stenosis, foraminal stenosis dan ekstraforaminal stenosis. Central
stenosis biasanya terjadi pada tingkat diskus sebagai hasil dari pertumbuhan berlebih
sendi facet terutama aspek inferior prosesus artikularis vertebra yang lebih ke cranial
serta penebalan dan hipertrofi ligamentum flavum. Lateral stenosis dapat mengenai
daerah resesus lateralis dan foramen intervertebralis. Stenosis resesus lateralis yang
terjadi sebagai akibat dariperubahan degenerative sama halnya dengan central spinal
stenosis, mempengaruhi kanal akar saraf pada tingkat diskus dan aspek superior
pedikel. Foraminal stenosis paling sering terjadi di tingkat diskus, biasanya dimulai
16

dari bagian inferior foramen. Stenosis jenis ini menjadi penting secara klinis
walaupun hanya melibatkan aspek superiornya saja pada level intermediet, karena
pada level ini akar saraf keluar dari bagian lateral, sebelah inferior pedikel dimana
bisa ditekan oleh material diskus atau tulang yang mengalami hipertrofi yang
membentuk osteofit dari aspek inferior vertebra chepalis atau dari prosesus artikularis
superior vertebra caudalis. Ekstraforaminal stenosis kebanyakan karena akar saraf
pada L5 terjebak oleh osteofit, diskus, prosesus transversus atau articulation
sacroilliacal (Justin, 2003).

2.2.4 Patoanatomi

Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan kanal adalah


struktur tulang meliputi: osteofit sendi facet (merupakan penyebab tersering),
penebalan lamina, osteofit pada corpus vertebra, subluksasi maupun dislokasi sendi
facet (spondilolistesis), hipertrofi atau defek spondilolisis, anomaly sendi facet
congenital. Struktur jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum flavum (penyebab
tersering), penonjolan annulus atau fragmen nucleus pulposus, penebalan kapsul
sendi facet dan sinovitis, dan ganglion yang berasal dari sendi facet. Akibat kelainan
struktur tulang jaringan lunak tersebut dapat mengakibatkan beberapa kondisi yang
mendasari terjadinya lumbar spinal canal stenosis, yaitu:

a. Degenerasi diskus

Degenerasi diskus merupakan tahap awal yang paling sering terjadi pada proses
degenerasi spinal, walaupun arthritis pada sendi facet juga bisa mencetuskan suatu
keadaan patologis pada diskus. Pada usia 50 tahun terjadi degenerasi diskus yang
paling seringterjadi pada L4-L5 dan L5-S1. Perubahan biokimia dan biomekanik
membuat diskus memendek. Penonjolan annulus, herniasi diskus dan pembentukan
dini osteofit bisa diamati. Sequela dari perubahan ini meningkatkan stress biomekanik
yang ditransmisikan ke posterior yaitu sendi facet. Perubahan akibat arthritis terutama
instabilitas pada sendi facet, sebagai akibat dari degenerasi diskus, penyempitan
17

ruang foraminal chepalocaudal, akar saraf bisa terjebak kemudian menghasilkan


central stenosis maupun lateral stenosis (Eberhard, 2009).

b. Instabilitas Segmental

Konfigurasi tripod pada spina dan diskus, sendi facet dan ligament yang normal
membuat segmen dapat melakukan gerakan rotasi dan angulasi dengan halus dan
simetris tanpa perubahan ruang dimensi pada kanal dan foramen. Degenerasi sendi
facet bisa terjadi sebagai akibat dari instabilitas segmental, biasanya pada pergerakan
segmental yang abnormal misalnya gerakan translasi atau angulasi. Degenerasi diskus
akan diikuti oleh kolapsnya ruang diskus karena pembentukan osteofit di sepanjang
anteromedial aspek dari prosesus artikularis superior dan inferior akan
mengakibatkan arah sendi facet menjadi lebih sagital. Gerakan fleksi akan membagi
tekanan kearah anterior. Degenerasi pergerakan segmen dengan penyempitan ruang
diskus menyebabkan pemendekan relative pada kanal lumbalis dan penurunan
volume ruang yang sesuai untuk cauda equina. Pengurangan volume diperparah oleh
penyempitan segmental yang disebabkan oleh penonjolan diskus dan melipatnya
ligamentum flavum (Eberhard, 2009).

Pada kaskade degenerative kanalis sentralis dan neuroforamen menjadi kurang


terakomodasi pada gerakan rotasi karena perubahan pada diskus dan sendi facet sama
halnya dengan penekanan saraf pada gerakan berputar, kondisi ini bisa menimbulkan
inflamasi pada elemen saraf cauda equine kemudian menghasilkan nyeri (Eberhard,
2009).

c. Hiperekstensi segmental

Gerakan ekstensi normal dibatasi oleh serat anterior annulus dan otot-otot
abdomen. Perubahan degenerative pada annulus dan kelemahan otot abdominal
menghasilkan hiperekstensi lumbar yang menetap. Sendi facet posterior merenggang
secara kronis kemudian mengalami subluksasi kearah posterior sehingga
menghasilkan nyeri pinggang (Eberhard, 2009).
18

2.2.5 Patofisiologi

Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air, kolagen, dan
proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen tersusun dalam lamina,
membuat diskus mampu berekstensi dan membuat ikatan intervertebra. Proteoglikan
berperan sebagai komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan mengontrol turgor
jaringan dengan mengatur pertukaran cairan pada matriks diskus. Komponen air
memiliki porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban
mekanis yang diberikan pada segment tersebut. Sejalan dengan pertambahan usia
cairan tersebut berkurang, akibatnya nukleus pulposus mengalami dehidrasi dan
kemampuannya mendistribusikan tekanan berkurang, memicu robekan pada annulus
(Eberhard, 2009).
Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus tersusun
secara eksklusif oleh kolagen tipe-II, yang membantu menyediakan level hidrasi yang
lebih tinggi dengan memelihara cairan, membuat nucleus mampu melawan beban
tekan dan deformitas. Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam
jumlah yang sama, namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua
dari 50 tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus (Eberhard, 2009).
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding pada
sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai keratin sulfat dan
kondroitin sulfat yang berbeda.Kemampatan diskus berkaitan dengan proteoglikan,
pada nuleus lebih padat daripada di annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah
proteoglikan menurun dan sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat
kolagen yang kurang padat dan kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan
nukleus dan membentuk jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus (Eberhard,
2009).
Patofisiologi nyeri tidak semata-mata diakibatkan oleh kompresi akar saraf
spinalis atau cauda equina, beberapa penelitian menyebutkan bahwa nyeri
diakibatkan oleh klaudikasi neurogenik. Harus ada inflamasi dan iritasi pada akar
saraf agar gejala muncul pada ekstremitas bawah. Kompresi pada akaf saraf normal
memunculkan gejala paraestesia, defisit sensoris, penurunan motorik, dan reflex
19

abnormal, tapi nyeri biasanya tidak timbul. Iritasi dan inflamasi bisa juga terjadi
selama pergerakan ekstremitas bawah atau spina saat saraf dipaksa untuk memanjang
dan menyimpang dari posisi istirahatnya (Eberhard, 2009).

2.2.6 Manifestasi Klinis

Gejala yang dirasakan tiap pasien berbeda tergantung pola dan distribusi
stenosis. Gejala bisa berhubungan dengan satu akar saraf pada satu level. Adapun
manifestasi kliniknya adalah:
1. Kebanyakan pasien mengeluh pada nyeri pinggang bawah (95%)
2. Nyeri pada ekstremitas bawah (71%) berupa rasa terbakar yang sifatnya
hilang timbul, kesemutan, berat, geli di posterior atau posterolateral tungkai
3. Kelemahan (33%) yang menjalar ke ekstremitas bawah memburuk dengan
berdiri lama, beraktivitas, atau ekstensi lumbal yang biasanya berkurang
pada saat duduk, berbaring, dan posisi fleksi lumbal (Joseph, 2004).

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis spinal stenosis biasanya ditegakkan secara klinis. Penting selama


evaluasi klinis untuk menyingkirkan adanya penyakit pembuluh darah perifer
(berkurangnya aliran darah ke tungkai) sebagai kemungkinan diagnosis. Pemeriksaan
untuk memastikan stenosis tulang belakang mencakup :
Sensasi kulit, kekuatan otot, dan refleks
Romberg tes, uji pinggul ekstensi dan tes fungsi neuromuskuler
Foto polos x-ray lumbosacral
Merupakan penilaian rutin untuk pasien dengan back pain. Dibuat dalam
posisi AP lateral dan obliq, dengan tampak gambaran kerucut lumbosacral
junction, dan spina dalam posisi fleksi dan ekstensi. Diharapkan untuk
mendapat informasi ketidakstabilan segmen maupun deformitas (Walker, 2011)
MRI (Magnetic Resonance Imaging).
MRI adalah pemeriksaan gold standar diagnosis lumbar stenosis dan
perencanaan operasi. Kelebihannya adalah bisa mengakses jumlah segmen yang
20

terkena, serta mengevaluasi bila ada tumor, infeksi bila dicurigai. Selain itu bisa
membedakan dengan baik kondisi central stenosis dan lateral stenosis (Walker,
2011).
CT Scan dapat menunjukkan taji tulang apapun yang dapat menempel ke tulang
punggung dan mengambil ruang di sekitar saraf tulang belakang (Walker,
2011).
EMG (Elektromiogram). Dilakukan jika ada kekhawatiran tentang masalah
neurologis. Ini dilakukan untuk memeriksa apakah jalur motor saraf bekerja
dengan benar (Walker, 2011).
Somatosensori (SSEP) tes. Tes ini dilakukan untuk mencari lebih tepatnya di
mana saraf tulang belakang tertekan. SSEP digunakan untuk mengukur sensasi
saraf. Impuls sensorik perjalanan saraf, menginformasikan tentang sensasi
tubuh seperti rasa sakit, suhu, dan sentuhan (Walker, 2011).
Tes darah untuk menentukan apakah gejala disebabkan dari kondisi lain, seperti
arthritis atau infeksi (Joseph, 2004).

2.2.8 Penatalaksanaan

1. Terapi Konservatif
Apabila tidak terdapat keterlibatan saraf berat atau progresif, kita dapat
menangani stenosis tulang belakang menggunakan tindakan konservatif berikut
ini:
Obat antiinflamasi nonsteroid untuk mengurangi inflamasi dan
menghilangkan nyeri
Analgesik untuk menghilangkan nyeri
Blok akar saraf dekat saraf yang terkena untuk menghilangkan nyeri
sementara
Program latihan dan/atau fisioterapi untuk mempertahankan gerakan tulang
belakang, memperkuat otot perut dan punggung, serta membangun stamina,
semua hal tersebut membantu menstabilkan tulang belakang. Beberapa
pasien dapat didorong untuk mencoba aktivitas aerobik dengan gerak
progresif perlahan seperti berenang atau menggunakan sepeda latihan.
21

Korset lumbal untuk memberikan dukungan dan membantu pasien


mendapatkan kembali mobilitasnya. Pendekatan ini terkadang digunakan
pada pasien dengan otot perut yang lemah atau pasien berusia lanjut dengan
degenerasi beberapa tingkat. Korset hanya dapat digunakan sementara,
karena penggunaan jangka panjang dapat melemahkan otot punggung dan
perut.
Akupunktur dapat menstimulasi lokasi-lokasi tertentu pada kulit melalui
berbagai teknik, sebagian besar dengan memanipulasi jarum tipis dan keras
dari bahan metal yang memenetrasi kulit (Justin, 2003).

2. Terapi operatif
Indikasi operasi adalah gejala neurologis yang bertambah berat, defisit
neurologis yang progresif, ketidakamampuan melakukan aktivitas sehari-hari
dan menyebabkan penurunan kualitas hidup, serta terapi konservatif yang
gagal. Prosedur yang paling standar dilakukan adalah laminektomi
dekompresi. Tindakan operasi bertujuan untuk dekompresi akar saraf dengan
berbagai tekhnik sehingga diharapkan bisa mengurangi gejala pada tungkai
bawah dan bukan untuk mengurangi LBP (low back pain), walaupun pasca
operasi gejala LBP akan berkurang secara tidak signifikan (Davies, 2010).
Prosedur pembedahan yang sering dikerjakan adalah laminektomi
dekompresi. Standar laminektomi dekompresi adalah membuang lamina dan
ligamentum flavum dari tepi lateral satu resesus lateralis sampai melibatkan
level transversal spina. Semua resesus lateralis yang membuat akar saraf
terperangkap harus didekompresi. Pasien diposisikan dalam posisi pronasi
dengan abdomen bebas, melalui garis tengah tentukan prosesus spinosus.
Untuk mengkonfirmasi level yang kita temukan sudah benar seetengah
cranial dari spinosus caudal dan setengah caudal dari cranialprosesus
spinosus dipotong dengan pemotong ganda. Kanal dimasukkan ke dalam
garis tengah dan proses dekompresi secara bertahap diambil dari caudal ke
cranial menggunakan Kerrison rongeurs. Bila tulang terlalu tebal gunakan
osteotome atau drill berkecepatan tinggi. Dekompresi dibawa lebih ke lateral
22

dari pedicle. Facetotomy dilakukakn dengan osteotome untuk dekompresi


akar saraf di resesus lateralis. Dekompresi komplit saat pulsasi dural sac
kembali dan venous refilling akar saraf terlihat di foramen dan akar saraf
kembali mobile. Ruang pada jalan keluar kanal bisa juga diakses
menggunakan kanula tumpul atau bila ada lebih baik menggunakan
umbilical catheter. Laser kanula Doppler berguna untuk menilai kembalinya
aliran darah ke akar saraf yang menetap yang diikuti juga penekanan oleh
tulang dan jaringan lunak, karena resiko terjadinya instabilitas pasca operasi
dan pengambilan diskus juga lebih sulit dikerjakan (Davies, 2010).
Teknik alternative lain yang bisa dikerjakan adalah laminektomi sudut
dengan reseksi sudut hanya pada porsi anterior aspek lateral lamina,
laminektomi selektif single atau multiple unilateral atau bilateral dan
laminoplassti lumbar. Multiple laminotomi dikerjakan pada level sendi facet
dengan memotong lebih sedikit pada seperempat sampai setengah facet
dilanjutkan dengan membuang porsi lateral ligamentum flavum (Davies,
2010).

Dengan kemajuan perencanaan preoperative menggunakan MRI,


laminectomy di negara-negara maju menjadi semakin jarang dilakukan dan
para dokter bedah spine lebih senang mengerjakan selective spinal
decompression dengan mempertahankan struktur garis tengah. Kebanyakan
kasus spinal stenosis melibatkan segmen pergerakan seperti diskus dan sendi
facet dan bukan segmen yang kokoh (corpus vertebrae, pedicle dan lamina).
Hal ini membuat kemungkinan melakukan dekompresi segmen yang
mengalami stenosis dengan tetap mempertahankan struktur arkus vertebrae.
Keuntungannya adalah proses penyembuhan menjadi lebih singkat,
mempertahankan ketinggian canal dan mengurangi insiden back pain post
operatif, mengurangi imobilisasi terlalu lama dan tidak membutuhkan fusi
(Davies, 2010).
23

Tujuan dilakukan fusi adalah untuk mengoreksi instabilitas pada segmen


yang dilakukan dekompresi, mengurangi nyeri pada segmen yang bergerak
dan mencegah spondylolisthesis dan scoliosis kedepannya. Indikasi fusi
tergantung pada keadaan spina sebelum dan setelah dilakukan operasi, bila
dekompresi mengakibatkan segmen tersebut menjadi tidak stabil maka
diperlukan fusi dengan intrumentasi, misalnya pada pengambilan 50% kedua
sendi facet atau 100% pada satu sendi facet saja (facetetomy) dan ligament
longitudinal posterior atau diskus mengalami kerusakan (discectomy), maka
fusi harus dipertimbangkan untuk dikerjakan. Namun pada prosedur
laminectomy yang deformitasnya stabil dan pada pasien yang memiliki
penyakit komorbid yang bila dilakukan fusi akan meningkatkan resiko
komplikasi, maka fusi tidak dikerjakan (Davies, 2010).

2.2.9 Komplikasi

Karena lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia maka
kemungkinan terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi daripada orang yang lebih
muda. Selain itu juga lebih banyak penyakit penyerta pada orang lanjut usia yang
akan mempengaruhi proses pemulihan pasca operasi. Komplikasi dibagi menjadi
empat grup yaitu ,infeksi, vaskuler, kardiorespirasi, dan kematian. Kematian
berkorelasi dengan usia dan penyakit komorbid. Peningkatan resiko komplikasi yang
berkaitan dengan fusi meliputi infeksi luka, DVT (deep vein thrombosis) atau emboli
paru, kerusakan saraf. Komplikasi pada graft, dan kegagalan pada instrumen.
Komplikasi laminektomi bisa terjadi fraktur pada facet lumbar, dan spondilolistesis
postoperative (Eberhard, 2009)

2.2.10 Prognosis

Prognosis baik bila dekompresi adekuat, stabilitas sendi facet terjaga,


pembedahan lebih awal, pemakaian korset post op, latihan pasca operasi. Prognosis
buruk bila terjadi dominan back pain, segmen yang terkena multilevel, penundaan
24

lama pembedahan, terdapat tanda deficit neurologis, wanita, operasi sebelumnya


gagal, pasien dengan penyakit sistemik kronis (Eberhard, 2009).

BAB III

RINGKASAN

Lumbar spinal stenosis merupakan penyakit degenratif yang sering ditemukan


pada orang lanjut usia. Gejala yang sering ditimbulkan adalah nyeri pinggang bawah.
Penanganannya tergantung berat ringannya gejala, dapat konservatif maupun operatif.
Dalam penanganan menggunakan terapi operatif, komplikasi, hasil terapinya
bergantung pada kondisi penderita dan pemulihannya yang lama juga harus
dipertimbangkan mengingat pasien yang umumnya usia tua.
25

DAFTAR PUSTAKA

D. Fahy and J.E. Nixon Harcourt Publishers Ltd. Lumbar Spinal Stenosis Current
Orthopaedics. 2001. 15, 91-100

Davies, Mark, DR. 2010. Spinal Canal Stenosis and Sppondylolisthesis. Diakses dari:
http://www.australiandoctor.com.au/cmspages/getfile.aspx?guid=3dbf0903-
d84e-4299-8fd8-9d1b9691dfeb.

Eberhard Siebert, Harald Pruss, Randolf Klingebiel, et al. Lumbar spinal stenosis:
syndrome, diagnostics and treatment Nat. Rev. Neurol. 5, 392-403. 2009

Joseph D. Fortin, DO, and Michael T. Wheeler. Imaging in Lumbar Spinal Stenosis
Pain Physician. 2004;7:133-139, ISSN 1533-3159

Justin F. Fraser, B.A., Russel C. Huang, M.D. Pathogenesis, presentation, and


treatment of lumbar spinal stenosis associated with coronal or sagital spinal
deformities. Neurosurg. Focus. 2003. Volume 14: article 6

McRae, Ronald. Clinical Orthopaedic examination. 2004. Fifth Edition: 151-152


26

Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.Anatomi
Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59

Walker, Kamiah A., Highsmith, Jason M., MD (Reviewer). 2011. Spinal Stenosis.
Diakses dari: http://www.spineuniverse.com/conditions/spinal-stenosis/what-
spinal-stenosis.

Anda mungkin juga menyukai