REFERAT
Pembimbing
2016
2
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Referat dengan judul Stenosis Kanalis Spinalis Lumbalis telah diperiksa dan
disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Pembimbing
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
syarat kelulusan pada program pendidikan profesi dokter pada Fakultas Kedokteran
khususnya kepada dr. Ananda Haris, Sp. BS selaku pembimbing, dan semua pihak
Tulisan Referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati,
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga tulisan responsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamualaikum WR.WB.
Penulis
4
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan................................................................................................ ii
2.2.1 Definisi.............................................................................................. 9
2.2.2 Etiologi.............................................................................................. 9
5
2.2.3 Klasifikasi.......................................................................................... 10
2.2.4 Patoanatomi....................................................................................... 11
2.2.5 Patofisiologi....................................................................................... 13
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Terdapat tujuh prosesus yang berasal dari arkus vertebra, 1 prosesus spinosus, 2
prosesus transversus dan 4 prosesus artikularis. Prosesus spinosus atau spina,
mengarah ke posterior dari pertemuan kedua lamina. Prosesus transversus mengarah
ke lateral dari pertemuan lamina dan pedikulus. Prosesus spinosus dan transversus
berperan sebagai pengungkit dan tempat melekatnya otot dan ligament (Snell, 2006).
Masing-masing diskus terdiri atas annulus fibrosus di bagian luar dan nucleus
pulposus di bagian sentral. Annulus fibrosus terdiri atas fibrokartilago yang melekat
erat pada corpora vertebra dan ligamentum longitudinal anterior dan posterior
kolumna vertebralis (Snell, 2006).
Sifat nuklues pulposus yang semi cairan memungkinkan perubahan bentuk dan
pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang antara satu dan yang lain. Peningkatan
beban kolumna vertebralis yang tiba-tiba menyebabkan nucleus pulposus menjadi
pipih. Keadaan ini dimungkinkan oleh sifat pegas dari annulus fibrosus yang terdapat
di sekelilingnya. Apabila dorongan dari luar terlalu besar untuk annulus fibrosus,
annulus dapat robek. Akibatnya herniasi nucleus pulposus terjadi, penonjolan keluar
nucleus ke dalam kanalis vertebralis, dimana nucleus ini dapat menekan radiks nervus
spinalis, nervus spinalis atau bahkan medulla spinalis (Snell, 2006).
annulus tidak selalu berisis nucleus pulposus di bawah tekanan. Pada usia lanjut,
diskus menjadi tipis, kurang elastic dan tidak dapat lagi dibedakan antara nucleus dan
annulus (Snell, 2006).
Ligamentum longitudinal anterior dan posterior berjalan turun sebagai pita utuh
di fasies anterior dan posterior kolumna vertebralis dari tengkorak sampai ke sacrum.
Ligamentum longitudinal anterior lebar dan kuat, melekat pada permukaan dan sisi-
sisi corpora vertebra dan diskus intervertebralis. Ligamentum longitudinal posterior
lemah dan sempit serta melekat pada pinggir posterior diskus. Sedangkan ligamentum
di antara dua vertebra terdiri atas:
Gambar 2.4 Persarafan sendi-sendi vertebra. Pada tingkat vertebra tertentu, sendi
menerima serabut saraf dari dua nervus spinalis yang berdekatan
(Sumber: Snell, 2006)
kanal tulang belakang atau sisi kanal yang melindungi saraf sering mengakibatkan
penekanan dari akar saraf sumsum tulang belakang.Saraf menjadi semakin terdesak
karena diameter kanal menjadi lebih sempit.Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas
usia 50 tahun di Amerika. Pria lebih tinggi insidennya daripada wanita, dan paling
banyak mengenai L4-L5 dan L3-L4 (Justin, 2003).
Stenosis tulang belakang lumbal (penyempitan pada ruang saraf) adalah
penyakit yang terutama mengenai usia paruh baya dan usia lebih tua, dan terjadi
akibat penyempitan kanal spinal secara perlahan, mulai dari gangguan akibat
penebalan ligamen kuning, sendi facet yang membesar, dan diskus yang menonjol.
Biasanya seseorang dengan stenosis tulang belakang memiliki keluhan khas nyeri
yang luar biasa pada tungkai atau betis dan punggung bagian bawah bila berjalan. Hal
ini biasanya terjadi berulang kali dan hilang dengan duduk atau bersandar. Saat tulang
belakang dibungkukkan, akan tersedia ruang yang lebih luas bagi kanal spinal,
sehingga gejala berkurang. Meskipun gejala dapat muncul akibat penyempitan kanal
spinal, tidak semua pasien mengalami gejala. Belum diketahui mengapa sebagian
pasien mengalami gejala dan sebagian lagi tidak. Karena itu, istilah stenosis tulang
belakang bukan merujuk pada ditemukannya penyempitan kanal spinal, namun lebih
pada adanya nyeri tungkai yang disebabkan oleh penekanan saraf yang terkait (Justin,
2003).
2.2.2 Etiologi
Ada 3 faktor yang berkontribusi terhadap lumbal spinal canal stenosis, antara
lain:
1. Pertumbuhan berlebih pada tulang.
2. Ligamentum flavum hipertrofi
3. Prolaps diskus
Sebagian besar kasus stenosis kanal lumbal adalah karena progresif tulang dan
pertumbuhan berlebih jaringan lunak dari arthritis. Risiko terjadinya stenosis tulang
belakang meningkat pada orang yang:
1. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
2. Jenis kelamin wanita lebih beresiko daripada pria
3. Usia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan
pertambahan usia)
4. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya (Justin, 2003).
2.2.3 Klasifikasi
15
Klasifikasi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi berdasarkan etiologi dan
anatomi. Berdasarkan etiologi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi
stenosis primer dan sekunder. Stenosis primer dibagi menjadi: defek congenital dan
perkembangan. Defek congenital dibagi menjadi:
1. Disrapismus spinalis
2. Segmentasi vertebra yang mengalami kegagalan
3. Stenosis intermiten (dAnquin syndrome)
1. Akondroplasia
2. Morculo disease
3. Osteopetrosis
4. Eksositosis herediter multiple
Idiopatik yaitu hipertrofi tulang pada arkus vertebralis. Sedangkan stenosis sekunder
menurut sifatnya dibagi menjadi:
Berdasarkan anatomi lumbar spinal canal stenosis dapat dibagi menjadi sentral
stenosis, lateral stenosis, foraminal stenosis dan ekstraforaminal stenosis. Central
stenosis biasanya terjadi pada tingkat diskus sebagai hasil dari pertumbuhan berlebih
sendi facet terutama aspek inferior prosesus artikularis vertebra yang lebih ke cranial
serta penebalan dan hipertrofi ligamentum flavum. Lateral stenosis dapat mengenai
daerah resesus lateralis dan foramen intervertebralis. Stenosis resesus lateralis yang
terjadi sebagai akibat dariperubahan degenerative sama halnya dengan central spinal
stenosis, mempengaruhi kanal akar saraf pada tingkat diskus dan aspek superior
pedikel. Foraminal stenosis paling sering terjadi di tingkat diskus, biasanya dimulai
16
dari bagian inferior foramen. Stenosis jenis ini menjadi penting secara klinis
walaupun hanya melibatkan aspek superiornya saja pada level intermediet, karena
pada level ini akar saraf keluar dari bagian lateral, sebelah inferior pedikel dimana
bisa ditekan oleh material diskus atau tulang yang mengalami hipertrofi yang
membentuk osteofit dari aspek inferior vertebra chepalis atau dari prosesus artikularis
superior vertebra caudalis. Ekstraforaminal stenosis kebanyakan karena akar saraf
pada L5 terjebak oleh osteofit, diskus, prosesus transversus atau articulation
sacroilliacal (Justin, 2003).
2.2.4 Patoanatomi
a. Degenerasi diskus
Degenerasi diskus merupakan tahap awal yang paling sering terjadi pada proses
degenerasi spinal, walaupun arthritis pada sendi facet juga bisa mencetuskan suatu
keadaan patologis pada diskus. Pada usia 50 tahun terjadi degenerasi diskus yang
paling seringterjadi pada L4-L5 dan L5-S1. Perubahan biokimia dan biomekanik
membuat diskus memendek. Penonjolan annulus, herniasi diskus dan pembentukan
dini osteofit bisa diamati. Sequela dari perubahan ini meningkatkan stress biomekanik
yang ditransmisikan ke posterior yaitu sendi facet. Perubahan akibat arthritis terutama
instabilitas pada sendi facet, sebagai akibat dari degenerasi diskus, penyempitan
17
b. Instabilitas Segmental
Konfigurasi tripod pada spina dan diskus, sendi facet dan ligament yang normal
membuat segmen dapat melakukan gerakan rotasi dan angulasi dengan halus dan
simetris tanpa perubahan ruang dimensi pada kanal dan foramen. Degenerasi sendi
facet bisa terjadi sebagai akibat dari instabilitas segmental, biasanya pada pergerakan
segmental yang abnormal misalnya gerakan translasi atau angulasi. Degenerasi diskus
akan diikuti oleh kolapsnya ruang diskus karena pembentukan osteofit di sepanjang
anteromedial aspek dari prosesus artikularis superior dan inferior akan
mengakibatkan arah sendi facet menjadi lebih sagital. Gerakan fleksi akan membagi
tekanan kearah anterior. Degenerasi pergerakan segmen dengan penyempitan ruang
diskus menyebabkan pemendekan relative pada kanal lumbalis dan penurunan
volume ruang yang sesuai untuk cauda equina. Pengurangan volume diperparah oleh
penyempitan segmental yang disebabkan oleh penonjolan diskus dan melipatnya
ligamentum flavum (Eberhard, 2009).
c. Hiperekstensi segmental
Gerakan ekstensi normal dibatasi oleh serat anterior annulus dan otot-otot
abdomen. Perubahan degenerative pada annulus dan kelemahan otot abdominal
menghasilkan hiperekstensi lumbar yang menetap. Sendi facet posterior merenggang
secara kronis kemudian mengalami subluksasi kearah posterior sehingga
menghasilkan nyeri pinggang (Eberhard, 2009).
18
2.2.5 Patofisiologi
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air, kolagen, dan
proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen tersusun dalam lamina,
membuat diskus mampu berekstensi dan membuat ikatan intervertebra. Proteoglikan
berperan sebagai komponen hidrodinamik dan elektrostatik dan mengontrol turgor
jaringan dengan mengatur pertukaran cairan pada matriks diskus. Komponen air
memiliki porsi sangat besar pada berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban
mekanis yang diberikan pada segment tersebut. Sejalan dengan pertambahan usia
cairan tersebut berkurang, akibatnya nukleus pulposus mengalami dehidrasi dan
kemampuannya mendistribusikan tekanan berkurang, memicu robekan pada annulus
(Eberhard, 2009).
Kolagen memberikan kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus tersusun
secara eksklusif oleh kolagen tipe-II, yang membantu menyediakan level hidrasi yang
lebih tinggi dengan memelihara cairan, membuat nucleus mampu melawan beban
tekan dan deformitas. Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam
jumlah yang sama, namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih tua
dari 50 tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus (Eberhard, 2009).
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding pada
sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai keratin sulfat dan
kondroitin sulfat yang berbeda.Kemampatan diskus berkaitan dengan proteoglikan,
pada nuleus lebih padat daripada di annulus. Sejalan dengan penuaan, jumlah
proteoglikan menurun dan sintesisnya juga menurun. Annulus tersusun atas serat
kolagen yang kurang padat dan kurang terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan
nukleus dan membentuk jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus (Eberhard,
2009).
Patofisiologi nyeri tidak semata-mata diakibatkan oleh kompresi akar saraf
spinalis atau cauda equina, beberapa penelitian menyebutkan bahwa nyeri
diakibatkan oleh klaudikasi neurogenik. Harus ada inflamasi dan iritasi pada akar
saraf agar gejala muncul pada ekstremitas bawah. Kompresi pada akaf saraf normal
memunculkan gejala paraestesia, defisit sensoris, penurunan motorik, dan reflex
19
abnormal, tapi nyeri biasanya tidak timbul. Iritasi dan inflamasi bisa juga terjadi
selama pergerakan ekstremitas bawah atau spina saat saraf dipaksa untuk memanjang
dan menyimpang dari posisi istirahatnya (Eberhard, 2009).
Gejala yang dirasakan tiap pasien berbeda tergantung pola dan distribusi
stenosis. Gejala bisa berhubungan dengan satu akar saraf pada satu level. Adapun
manifestasi kliniknya adalah:
1. Kebanyakan pasien mengeluh pada nyeri pinggang bawah (95%)
2. Nyeri pada ekstremitas bawah (71%) berupa rasa terbakar yang sifatnya
hilang timbul, kesemutan, berat, geli di posterior atau posterolateral tungkai
3. Kelemahan (33%) yang menjalar ke ekstremitas bawah memburuk dengan
berdiri lama, beraktivitas, atau ekstensi lumbal yang biasanya berkurang
pada saat duduk, berbaring, dan posisi fleksi lumbal (Joseph, 2004).
terkena, serta mengevaluasi bila ada tumor, infeksi bila dicurigai. Selain itu bisa
membedakan dengan baik kondisi central stenosis dan lateral stenosis (Walker,
2011).
CT Scan dapat menunjukkan taji tulang apapun yang dapat menempel ke tulang
punggung dan mengambil ruang di sekitar saraf tulang belakang (Walker,
2011).
EMG (Elektromiogram). Dilakukan jika ada kekhawatiran tentang masalah
neurologis. Ini dilakukan untuk memeriksa apakah jalur motor saraf bekerja
dengan benar (Walker, 2011).
Somatosensori (SSEP) tes. Tes ini dilakukan untuk mencari lebih tepatnya di
mana saraf tulang belakang tertekan. SSEP digunakan untuk mengukur sensasi
saraf. Impuls sensorik perjalanan saraf, menginformasikan tentang sensasi
tubuh seperti rasa sakit, suhu, dan sentuhan (Walker, 2011).
Tes darah untuk menentukan apakah gejala disebabkan dari kondisi lain, seperti
arthritis atau infeksi (Joseph, 2004).
2.2.8 Penatalaksanaan
1. Terapi Konservatif
Apabila tidak terdapat keterlibatan saraf berat atau progresif, kita dapat
menangani stenosis tulang belakang menggunakan tindakan konservatif berikut
ini:
Obat antiinflamasi nonsteroid untuk mengurangi inflamasi dan
menghilangkan nyeri
Analgesik untuk menghilangkan nyeri
Blok akar saraf dekat saraf yang terkena untuk menghilangkan nyeri
sementara
Program latihan dan/atau fisioterapi untuk mempertahankan gerakan tulang
belakang, memperkuat otot perut dan punggung, serta membangun stamina,
semua hal tersebut membantu menstabilkan tulang belakang. Beberapa
pasien dapat didorong untuk mencoba aktivitas aerobik dengan gerak
progresif perlahan seperti berenang atau menggunakan sepeda latihan.
21
2. Terapi operatif
Indikasi operasi adalah gejala neurologis yang bertambah berat, defisit
neurologis yang progresif, ketidakamampuan melakukan aktivitas sehari-hari
dan menyebabkan penurunan kualitas hidup, serta terapi konservatif yang
gagal. Prosedur yang paling standar dilakukan adalah laminektomi
dekompresi. Tindakan operasi bertujuan untuk dekompresi akar saraf dengan
berbagai tekhnik sehingga diharapkan bisa mengurangi gejala pada tungkai
bawah dan bukan untuk mengurangi LBP (low back pain), walaupun pasca
operasi gejala LBP akan berkurang secara tidak signifikan (Davies, 2010).
Prosedur pembedahan yang sering dikerjakan adalah laminektomi
dekompresi. Standar laminektomi dekompresi adalah membuang lamina dan
ligamentum flavum dari tepi lateral satu resesus lateralis sampai melibatkan
level transversal spina. Semua resesus lateralis yang membuat akar saraf
terperangkap harus didekompresi. Pasien diposisikan dalam posisi pronasi
dengan abdomen bebas, melalui garis tengah tentukan prosesus spinosus.
Untuk mengkonfirmasi level yang kita temukan sudah benar seetengah
cranial dari spinosus caudal dan setengah caudal dari cranialprosesus
spinosus dipotong dengan pemotong ganda. Kanal dimasukkan ke dalam
garis tengah dan proses dekompresi secara bertahap diambil dari caudal ke
cranial menggunakan Kerrison rongeurs. Bila tulang terlalu tebal gunakan
osteotome atau drill berkecepatan tinggi. Dekompresi dibawa lebih ke lateral
22
2.2.9 Komplikasi
Karena lumbar stenosis lebih banyak mengenai populasi lanjut usia maka
kemungkinan terjadi komplikasi pasca operasi lebih tinggi daripada orang yang lebih
muda. Selain itu juga lebih banyak penyakit penyerta pada orang lanjut usia yang
akan mempengaruhi proses pemulihan pasca operasi. Komplikasi dibagi menjadi
empat grup yaitu ,infeksi, vaskuler, kardiorespirasi, dan kematian. Kematian
berkorelasi dengan usia dan penyakit komorbid. Peningkatan resiko komplikasi yang
berkaitan dengan fusi meliputi infeksi luka, DVT (deep vein thrombosis) atau emboli
paru, kerusakan saraf. Komplikasi pada graft, dan kegagalan pada instrumen.
Komplikasi laminektomi bisa terjadi fraktur pada facet lumbar, dan spondilolistesis
postoperative (Eberhard, 2009)
2.2.10 Prognosis
BAB III
RINGKASAN
DAFTAR PUSTAKA
D. Fahy and J.E. Nixon Harcourt Publishers Ltd. Lumbar Spinal Stenosis Current
Orthopaedics. 2001. 15, 91-100
Davies, Mark, DR. 2010. Spinal Canal Stenosis and Sppondylolisthesis. Diakses dari:
http://www.australiandoctor.com.au/cmspages/getfile.aspx?guid=3dbf0903-
d84e-4299-8fd8-9d1b9691dfeb.
Eberhard Siebert, Harald Pruss, Randolf Klingebiel, et al. Lumbar spinal stenosis:
syndrome, diagnostics and treatment Nat. Rev. Neurol. 5, 392-403. 2009
Joseph D. Fortin, DO, and Michael T. Wheeler. Imaging in Lumbar Spinal Stenosis
Pain Physician. 2004;7:133-139, ISSN 1533-3159
Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.Anatomi
Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006; 740-59
Walker, Kamiah A., Highsmith, Jason M., MD (Reviewer). 2011. Spinal Stenosis.
Diakses dari: http://www.spineuniverse.com/conditions/spinal-stenosis/what-
spinal-stenosis.