Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

OTITIS MEDIA AKUT

Disusun sebagai syarat kelengkapan


Program Dokter Internship Indonesia
Oleh
Dr. Honesti Trijuniarni

Pendamping
dr. Suriya S., M.Kes. M.Biomed, Sp.THT-KL
dr. Mike Wijayanti Djohar

RS Bhayangkara Mataram
Provinsi Nusa Tenggara Barat
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Otitis media akut (OMA) merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling sering
menyerang anak-anak.1 OMA paling sering terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 3
tahun.1 Mayoritas kasus OMA disebabkan oleh infeksi bakteri yaitu Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus influenza, sementara Respiratory syncytial virus
merupakan penyebab utama akibat virus.2 Spektrum klinis OMA beragam mulai dari
kasus ringan self-limiting, kasus berkepanjangan dan terkadang hingga mengalami
komplikasi. Beban akibat tingginya kasus OMA ini tergolong besar karena mengganggu
kualitas hidup dan meningkatnya biaya kesehatan.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Telinga Tengah
Telinga merupakan organ pendengaran sekaligus juga organ keseimbangan.
Telinga terdiri atas 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.3

Gambar 2.1 potongan coronal telinga.3


Telinga tengah atau rongga telinga adalah suatu ruang yang terisi udara yang
terletak di bagian petrosum tulang pendengaran. Telinga tengah berbentuk kubus
dengan 6 dinding yaitu:3

Dinding tegmental/tegmen timpani yang merupakan batas atas. Tegmen


timpani memisahkan antara rongga timpani dengan duramater pada dasar
fossa kranial tengah.

Dinding jugular yang merupakan batas bawah. memisahkan rongga timpani


dengan bulbus superior dari vena jugularis interna.

Dinding membranosa yang merupakan batas luar. Hampir keseluruhannya


dibentuk oleh membran timpani.

Dinding labirin yang merupakan batas dalam. Memisahkan rongga timpani


dengan telinga dalam. Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis
2

semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar


dan promontorium.

Dinding karotis anterior yang merupakan batas depan, memisahkan rongga


timpani dengan kanal karotis. Pada bagian superior terdapat tuba
Eustachius.

Dinding mastoid yang merupakan batas belakang. Menghubungkan rongga


timpani dengan sel mastoid. Terdapat aditus ad antrum dan kanalis fasialis
pars vertikalis.

Gambar 2.2 Rongga telinga tengah dan batas-batasnya


Membran timpani merupakan membran semitransparan berbentuk oval dengan
diameter sekitar 1 cm.1 Posisinya oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas
disebut pars flaksida (membran Sharpnell) sedangkan bagian bawah disebut pars
tensa (membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah
lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia,
seperti epitel mukosa saluran pernafasan. Pars tensa memiliki satu lapisan lagi di
tengah yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang
berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.4,5
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah,
yaitu pada pukul 5 untuk membran timpani kanan, sementara membran timpani kiri
pada arah jam 7.5 Refleks cahaya adalah cahaya dari luar yang dipantulkan oleh

membran timpani. Di membran timpani terdapat dua serabut yaitu sirkuler dan radier
sehingga menyebabkan timbulnya refleks.5

Gambar 2.3 Membran timpani


Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan
prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian/kuadran:5

Anterior-superior

Anterior-inferior

Posterior-superior

Posterior-inferior

Gambar 2.4 Keempat kuadran membran timpani.5


Tulang pendengaran yaitu tulang maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini
merupakan tulang kompak tanpa rongga sumsum tulang. Tulang maleus melekat pada
membran timpani. Tulang maleus dan inkus tergantung pada ligamen tipis di atap
ruang timpani. Lempeng dasar stapes melekat pada tingkap celah oval (fenestra ovalis)

pada dinding dalam. Terdapat 2 otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang
pendengaran. Otot-otot ini berfungsi protektif dengan cara meredam getaran-getaran
berfrekuensi tinggi. Otot tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva,
tendonnya berjalan mula-mula ke arah posterior kemudian mengait sekeliling sebuah
tonjol tulang kecil untuk melintasi rongga timpani dari dinding medial ke lateral untuk
berinsersi ke dalam gagang maleus. Tendo otot stapedius berjalan dari tonjolan tulang
berbentuk piramid dalam dinding posterior dan berjalan anterior untuk berinsersi ke
dalam leher stapes.4,5
Tingkap oval pada dinding medial ditutupi oleh lempeng dasar stapes,
memisahkan rongga timpani dari perilimfee dalam skala vestibuli koklea. Oleh
karenanya getaran-getaran membrana timpani diteruskan oleh rangkaian tulang-tulang
pendengaran ke perilimfe telinga dalam. Untuk menjaga keseimbangan tekanan di
rongga-rongga perilimfe terdapat suatu katup pengaman yang terletak dalam dinding
medial rongga timpani di bawah dan belakang tingkap oval dan diliputi oleh suatu
membran elastis yang dikenal sebagai tingkap bulat (fenestra rotundum). Membran ini
memisahkan rongga timpani dari perilimfe dalam skala timpani koklea. 4,5
Tuba auditiva (Eustachius) menghubungkan rongga timpani dengan nasofarings
lumennya gepeng, dengan dinding medial dan lateral bagian tulang rawan biasanya
saling berhadapan menutup lumen. Epitelnya bervariasi dari epitel bertingkat, selapis
silindris bersilia dengan sel goblet dekat farings. Dengan menelan dinding tuba saling
terpisah sehingga lumen terbuka dan udara dapat masuk ke rongga telinga tengah.
Dengan demikian tekanan udara pada kedua sisi membran timpani menjadi
seimbang.4,5

B. Otitis Media Akut


Definisi
Otitis media adalah inflamasi pada rongga telinga tengah, tanpa merujuk pada
etiologi ataupun patogenesis.1 Djafaar, dkk dalam Buku Ajar THT-KL mendefinisikan
otitis media sebagai peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga, tuba Eustachius,
antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.5

Epidemiologi
OMA merupakan penyakit yang terutama menyerang pada usia 3 bulan sampai 3
tahun. Insidensi puncak adalah pada usia antara 6 bulan sampai 11 bulan. Insidensi
menurun seiring dengan penambahan usia.1

Etiologi
Sebesar 60% kasus OMA disebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia (3050%) dan Haemophilus influenza (20-30%). Penyebab lainnya yaitu streptokukus grup
A, Branhamella catarrhalis, S.aureus dan bakterik enterik garam negatif. Respiratory
syncytial virus merupakan penyebab utama infeksi virus pada telinga tengah, penyebab
lainnya yaitu parainfluenza, rinovirus, influenza, enterovirus dan adenovirus. OMA
akibat infeksi virus hanya sebesar 5-20%. Lebih sering terjadi kasus OMA akibat
koinfeksi virus dan bakteri yaitu sebesar 65%.1,3

Gambar 2.5 Faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis otitis media


Faktor predisposisi
a. Usia
Bila onset pertama terjadi sebelum usia 6 bulan maka hal tersebut merupakan
faktor resiko yang independen dan kuat terhadap terjadinya OMA rekuren.1
6

b. Jenis kelamin
Dilaporkan kejadian yang sedikit lebih tinggi namun signifikan pada laki-laki.1
c. Ras
Dilaporkan lebih tinggi pada ras Amerika, Kanada dan Australia.1
d. Imunitas Host
Resiko terjadinya OMA yang berat dan rekuren terdapat pada anak dengan
malformasi atau defek kraniofasial (palatoskisis, labioskisis), gangguan defense
fisiologis (disfungsi tuba Eustachius, barotrauma, implantasi koklear), defisiensi
imun konginetal atau didapat (AIDS, defisiensi immunoglobulin, penyakit
granulomatosa kronik, obat-obatan imunosupresan), dan sindrom Down.1
e. Predisposisi genetik
f. Faktor prenatal dan perinatal
BBLR dan prematuritas meningkatkan resiko OMA. Sebuah meta-analisis
menunjukkan penurunan resiko OMA sebesar 13% pada anak yang mendapat
ASI eksklusif.1
g. Lingkungan
OMA sering terjadi pada musim gugur dan musim dingin, seiring dengan
meningkatnya kejadian infeksi saluran nafas. Faktor lingkungan lainnya yaitu
perokok pasif, polusi lingkungan, dan status ekonomi.1

Patogenesis
Tuba Eustachius memiliki 3 fungsi yaitu (1) ventilasi telinga tengah dalam
menyeimbangkan tekanan udara di telinga tengah dengan tekanan atmosfer. (2) proteksi
telinga tengah terhadap suara dan sekresi, dan (3) drainasi sekresi telinga tengah ke
nasofaring dengan bantuan sistem mukosilier pada tuba Eustachius dan membran
mukosa pada telinga tengah.1,5
Tuba Eustachius pada bayi secara anatomis berbeda dengan dewasa sehingga
berkontribusi pada peningkatan insidensi otitis media pada usia dini. Tuba tersebut lebih
pendek, lebar dan lebih horizontal dibanding orang dewasa. 4,5
7

Gambar 2.6 Tuba Eustachius.6


Disfungsi

tuba

Eustachius

merupakan

faktor

penyebab

utama

dalam

berkembangnya penyakit telinga tengah. Teori yang dipostulatkan oleh Politzer pada
tahun 1867 menyatakan bahwa tekanan negatif kronis yang terjadi sekunder pada
malfungsi tuba Eustachius menyebabkan terkumpulnya transudat pada rongga telinga
tengah.2 Analisis protein pada efusi telinga tengah mengindikasikan tingginya
konsentrasi protein total, laktat dehidrogenase, malate dehidrogenase, dan asam fosfat
pada serum. Dengan temuan tersebut membawa spekulasi bahwa material tersebut lebih
merupakan eksudat dibandingkan transudat. Hal tersebut memberikan lebih banyak
bukti bahwa ini merupakan proses inflamasi.2
Obstruksi tuba Eustachius dibagi menjadi dua tipe yaitu mekanik dan fungsional.
Obstruksi mekanik dapat terjadi intrinsik atau ekstrinsik. Obstruksi intrinsik mekanik
biasanya disebabkan oleh inflamasi membran mukosa tuba Eustachius atau diatesis
alergi yang menyebabkan edema mukosa tuba. Obstruksi mekanik ekstrinsik disebabkan
oleh massa seperti jaringan adenoid atau tumor nasofaringeal. Beberapa ahli menyakini
bahwa pada balita dan anak-anak, terjadinya obstruksi fungsional tuba Eustachius
disebabkan oleh penurunan kekakuan tuba atau tidak efektifnya mekanisme pembukaan
aktif pada tuba. Obstruksi terjadi karena ventilasi inadekuat sehingga menghasilkan
tekanan negatif pada telinga tengah.2
Beberapa faktor lainnya yang berkontribusi dalam perkembangan penyakit telinga
tengah antara lain alergi, disfungsi silier, penyakit nasal dan/atau sinus dan imaturitas
sistem imun. Sebesar 3-80% kasus otitis media pada populasi pediatri berhubungan
dengan alergi. Kondisi alergi dapat mempengaruhi fungsi tuba Eustachius melalui
beberapa cara. Obstruksi nasal terjadi sekunder akibat degranulasi sel mast disertai
8

peningkatan permeabilitas vaskuler, peningkatan aliran darah mukosa, dan peningkatan


produksi mukus. Ekstensi retrograde mediator inflamasi dari hidung anterior ke
nasofaring dapat menyebabkan edema dan obstruksi tuba Eustachius.2

Gambar 2.7 Patogenesis OMA. 5,6

Respon imun imatur


Nasofaring merupakan reservoir alamiah untuk patogen telinga tengah. Kolonisasi
nasofaring oleh patogen tersebut biasanya tidak diikuti oleh terjadinya penyakit karena

adanya mekanisme proteksi oleh sistem mukosilier dan sistem imun. Komponen
antimikroba pada sistem imun alamiah seperti lisozim, laktogerin dan defensing
ditemukan pada permukaan epitel saluran nafas atas. Protein mikrobisidal tersebut dan
peptida dapat melawan infeksi bakteri. Sistem imun adaptif primer diperankan oleh
jaringan limfoid pada cincin Waldeyers lebih lanjut, sekresi antibodi (sIgA dan IgM)
pada sekresi nasofaring menghambat perlekatan patogen dan menurunkan kolonisasi
bakteri di nasofaring.1

Stadium
Djafaar dkk. Membagi OMA dalam beberapa 5 stadium yaitu:
a. Stadium oklusi tuba Eustachius
Pada stadium ini terjadi retraksi membran timpani yang menandakan terjadinya
oklusi tuba karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat absorpsi udara.
Membran timpani kadang tampak normal atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin
telah terjadi namun tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis
media serosa karena virus atau alergi.5
b. Stadium hiperemis (pre-supurasi)
Pada stadium ini tampak pelebaran pembuluh darah di membran timpani atau
seluruh membran timpani tampak hiperemis dan edem. Sekret yang terbentuk
mungkin bersifat eksudat serosa sehingga sukar terlihat.5
c. Stadium supurasi
Terjadi edema hebat pada mukosa telinga tengah dan sel epitel superfisialis hancur,
serta terbentuk eksudat purulen di kavum timpani sehingga membran timpani
menonjol ke arah liang telinga luar. Pasien terlihat sangat sakit, peningkatan nadi
dan suhu, pertambahan nyeri telinga. Jika tekanan di kavum tidak berkurang karena
tekanan nanah maka akan terjadi iskemik, tromboflebitis pada vena-vena kecil,
nekrosis mukosa dan submucosa yang tampak sebagai daerah kekuningan dan lebih
lembek.5
d. Stadium perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga sekret mengalir ke liang
telinga luar. Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang dan dapat tidur
nyenyak.5
10

e. Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh maka akan kembali normal secara perlahan-lahan.
Membran timpani yang mengalami perforasi dapat terjadi resolusi tanpa pengobatan
bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah.5
Perjalanan penyakit
Mayoritas anak dengan OMA akan mengalami penyembuhan dalam 4-5 hari
dengan pengobatan simptomatis. Jarang ditemukan komplikasi. Insidensi mastoiditis
pada anak yang tidak diberikan antibiotik adalah 1:1000 anak (Takata et al.,2001).
Namun pada anak usia kurang dari 2 tahun dengan gejala OMA rekuren atau mereka
dengan gejala klinis berat merupakan kelompok anak yang cenderung mengalami
komplikasi.1 Selama episode OMA, membran timpani mengalami ruptur akibat tekanan
pus yang terakumulasi pada rongga telinga tengah. Banyak ahli yang menetapkan
bahwa perforasi bukan komplikasi namun merupakan bagian dari proses penyakit,
terutama karena pada mayoritas kasus akan mengalami penyembuhan dalam 1-2
minggu.!

Manifestasi klinis OMA


Manifestasi klinis tergantung pada stadium penyakit dan usia pasien. Pada bayi:
suhu tinggi mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), gelisah, sukar tidur. Pada anak
yang sudah dapat berbicara: nyeri di dalam telinga dan demam, biasanya terdapat
riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau dewasa: nyeri di
dalam telinga, rasa penuh di telinga, rasa kurang dengar. Tiba-tiba anak menjerit waktu
tidur, diare, kejang-kejang, dan kadang memegang telinga yang sakit.5
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan membran timpani eritema atau
bulging. Eritema pada membran timpani dapat merupakan temuan yang tidak konsisten
dan dapat tidak ditemukan pada penyakit sistemik tertentu seperti defisiensi sistem imun
dimana pasien tidak memiliki respon inflamasi yang cukup untuk menampilkan temuan
klasik tersebut.5

11

Gambar 2.8 Gambaran membran timpani pada otoskopi. a) normal, b) bulging ringan, c)
bulging sedang, d) bulging berat.7

Pengobatan
Standar terbaru pengobatan pada pasien OMA adalah pemberian antiobiotik
selama paling tidak 10-14 hari. Penentuan pemberian antibiotik atau tidak pada kasus
OMA tanpa komplikasi dapat menggunakan rekomendasi menurut American Academy
of Pediatrics (2013), seperti pada tabel di bawah ini.7
Tabel 2.1 penanganan OMA pada kasus tanpa komplikasi.7

Pengobatan awal dengan pemberian antibiotik secara empiris yaitu amoksisilin 40


mg/kgbb/24 jam terbagi dalam 3 dosis atau ampisilin 50-100 mg/kgbb/24 jam dalam 4
dosis terbagi selama 10 hari. Pada anak dengan alergi penisilin, kombinasi eritromisin
40 mg.kgbb/24 jam bersama sulfisoxazole 120 mg/kgbb/24 jam dalam 4 dosis terbagi.
Pilihan lainnya yaitu amoxicillin-calvulanate, 40 mg/kgbb/24 jam dalam 3 dosis terbagi,
atau trimethophrim-sulfamethoxazole 8 mg/kgbb trimethoprim dan 40 mg/gbb

12

sulfamethoxazole per 24 jam, dapat diberikan dalam 2 dosis terbagi. Cefixime diberikan
8 mg/kgbb, satu kali sehari. Cefprozil 15 mg/kgbb/24 jam dalam 2 dosis terbagi. Durasi
yang optimal untuk pengobatan dengan antiobiotik pada OMA masih tidak pasti. Pada
kasus otore, anak usia kurang 2 tahun, dengan riwayat OMA rekuren, antibiotik
diberikan selama 10 hari. Pada kasus lainnya diberikan antara 5-7 hari.1
Tabel 2.2 Pemilihan antibiotik pada kasus OMA.1

Sebagian besar pasien yang diobati dengan antibiotik akan mengalami perbaikan
klinis dalam 48 jam. Jika tidak terdapat perbaikan atau kondisi memburuk maka perlu
dilakukan timpanosentesis untuk kultur dan miringotomi untuk drainase. Pengobatan
tambahan seperti analgetik, antipiretik dan dekongestan oral.1

13

Tabel 2.3 dosis antibiotik yang umum digunakan pada kasus OMA.2

Tatalaksana OMA dapat disesuaikan dengan stadium penyakit yang saat ini
dialami oleh pasien, sesuai dengan yang disampaikan oleh Djaaar, dkk. Tatalaksana
menurut stadium tersebut adalah sebagai berikut:
a. Stadium oklusi
Pengobatan pada stadium ini bertujuan untuk membuka tuba sehingga dapat
menghilangkan tekanan negatif telinga tengah dengan cara memberikan obat tetes
hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik (<12 tahun), atau HCl efedrin 1%
dalam larutan fisiologik (>12 tahun, dan dewasa). Selain itu obati sumber infeksi
sesuai dengan penyebabnya.5
b. Stadium presupurasi
Diberikan obat tetes hidung, analgetik dan antibiotik minimal selama 7 hari.
Antibiotik yang diberikan adalah golongan penicilin sebagai lini pertama (awalnya
diberikan secara IM sehingga didapat konsentrasi yang adekuat dalam darah
sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala
sisa, maupun kekambuhan). Jika alergi pada golongan pensilin maka diberikan
eritromisin.5
c. Stadium supurasi
Idealnya selain diberikan antibiotika, juga dilakukan miringotomi bila membran
timpani masih utuh. Prosedur ini dapat menghindari ruptur dan gejala klinis lebih
cepat hilang. Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani
agar terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke telinga luar.5
d. Stadium perforasi

14

Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H 2O2 3% selama 3-5 hari serta
antibiotik yang adekuat. Biasanya Dalam 7-10 hari sekret akan hilang dan perforasi
dapat menutup kembali. Jika tidak terjadi resolusi maka pemberian antibiotik
dilanjutkan hingga 3 minggu, jika sekret masih tetap banyak kemungkinan terjadi
mastoiditis.5

Terapi pembedahan
a.Miringotomi.
Insisi membran timpani merupakan prosedur rutin di beberapa negara. Sebanyak 5
penelitian membandingkan antara pemberian antibiotik saja dengan pengobatan
kombinasi

antibiotik

dan

miringotomi.

Keseluruhan

penelitian

tersebut

menunjukkan bahwa dengan dilakukan prosedur bedah tidak menunjukkan adanya


perbaikan gejala ataupun resolusi. Miringotomi dilakukan pada kuadran
posteroinferior. Indikasi miringotomi yaitu:1

Otalgia berat atau demam tinggi

Terbukti adanya komplikasi supuratif

Respon yang tidak memuaskan setelah pengobatan dengan antibiotik

Onset OMA selama pengobatan dengan antibiotik

OMA pada bayi baru lahir

OMA pada pasien dengan imunodefisiensi primer atau sekunder.

b. Insersi tube timpanostomi


Dengan berkembangnya bukti bahwa profilaksis antimikroba jangka panjang pada
OMA rekuren menyebabkan resistensi pneumokokus maka alternatif lainnya
adalah pemasangan tube timpanostomi. Anak dengan OMA rekuren yang
dipasangkan tube timpanostomi mengalami penurunan episode OMA sebesar 67%
dibandingkan kontrol.1
c. Adenoidektomi

15

Adenoidektomi menurunkan insidensi OMA pada anak sebanyak 0-3 episode per
tahun.1

Komplikasi
Berdasarkan klinis, komplikasi otitis media dibagi menjadi intratemporal
(ekstrakranial) dan intrakranial. Komplikasi intratemporal antara lain mastoiditis akut,
abses subperiosteal, facial palsy, dan labirintitis. Komplikasi intrakranial yaitu
meningitis, thrombosis sinus lateralis, abses otak dan hidrosefalus otogenik.1,2
Komplikasi intratemporal lebih sering terjadi dibandingkan dengan komplikasi
intrakranial. Mastoiditis akut merupakan kasus yang paling banyak terjadi. Paralisis
nervus fasial dan abses subperiosteal merupakan komplikasi terbanyak kedua.
Gambaran klinis mastoiditis berupa eritema, tenderness dan pembengkakan regio
mastoid disertai pergeseran aurikula, penonjolan dinding kanal posterior, otalgia dan
membran timpani redup. Fluktuasi post aurikula disebabkan oleh abses subperiosteal
dan perlekatan dalam kavitas mastoid. Pasien yang sebelumnya diobati dengan
antiobiotik dapat menunjukkan mask mastoiditis dengan gambaran klinis ringan yang
berkepanjangan berupa demam ringan, otalgia dalam berbagai derajat, dan tanda
neurologis. Membran timpani yang normal tidak mengeksklusi kemungkinan
komplikasi otogenik. 1,2,5

Gambar 2.9 Mastoiditis akut

16

Abses subperiosteal pada mastoid berupa akumulasi purulen pada lateral korteks
mastoid. Pengobatan beragam mulai dari aspirasi post aurikula sederhana, insisi dan
drainase abses atau insisi dan drainase abses disertai mastoidektomi.1
Facial palsy saat ini sudah jarang ditemukan. Kondisi tersebut dapat terjadi
selama episode OMA akibat penyebaran infeksi langsung atau dapat merupakan
komplikasi mastoiditis akut. Pengobatannya dengan miringotomi atau insersi tube
timpanostomi dan antibiotik intravena sementara menunggu hasil kultur.1
Labirintitis disebabkan oleh penyebaran infeksi dari telinga tengah atau sel udara
mastoid ke telinga dalam. Labirintitis dapat menyebabkan meningitis. Selama periode
OMA, pasien dapat mengalami tuli sensorineural dan vertigo.1

Sequelae
Sekuel OMA pada anak antara lain:1

Tuli konduksi atau sensorineural

Perforasi membran timpani tanpa otitis media

OMSK kronis dengan/tanpa kolesteatoma

Atelektasis telinga tengah/ otitis media adesiva

Diskontinuitas ossicular

Pencegahan
Pemberian ASI lebih lama, eliminasi paparan rokok, mencegah infeksi saluran
nafas, dan vaksin influenza. Efikasi vaksin influenza sebesar 30% dalam mencegah
OMA pada anak usia lebih dari 2 tahun.1

17

BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien

: an. ZA

Umur

: 5 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Alamat

: Ampenan

Pekerjaan

: Pelajar

Tanggal Pemeriksaan

: 13 November 2014

No rekam medis

: 002155

ANAMNESIS

Keluhan utama:
nyeri pada telinga telinga kiri

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara Mataram dengan keluhan nyeri pada telinga
kiri sejak kemarin. Nyeri dirasakan terus-menerus pada bagian dalam telinga. Nyeri
tidak dipengaruhi oleh gerakan mengunyah. Pasien juga mengeluh demam tinggi
yang muncul bersamaan dengan nyeri telinga tersebut. Terdapat riwayat batuk sejak
3 hari yang lalu tanpa disertai pilek. Batuk awalnya kering kemudian berubah
menjadi batuk berdahak dengan dahak berwarna putih. Tidak terdapat riwayat gatal
pada telinga, keluar cairan dari telinga, telinga mendenging, telinga terasa penuh,
penurunan pendengaran, nyeri menelan, ruam berisi air pada kulit ataupun nyeri
pada gigi.

Riwayat penyakit dahulu:


Pasien belum pernah menderita keluhan yang serupa sebelumnya. Tidak ada riwayat
keluar cairan pada telinga kiri maupun kanan. Riwayat tonsilitis (-), rhinitis (-),
sinusitis (-), riwayat kelainan bawaan daerah mulut dan rongga mulut (-).

18

Riwayat penyakit keluarga:


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat keluar cairan dari telinga.

Riwayat alergi:
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, debu, dsb.

Riwayat Pengobatan:
Pasien belum pernah memeriksakan keluhannya tersebut ke dokter ataupun
meminum obat yang dibeli sendiri.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan :


Riwayat sakit selama ibu pasien hamil (-), ANC rutin di posyandu. Pasien, lahir
spontan,, lahir langsung menangis, berat badan lahir 3000 gram. Riwayat kuning /
biru setelah lahir (-).

Riwayat nutrisi :
Pasien diberikan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan, setelah itu diberi bubur serta
diselingi dengan ASI sampai umur 2 tahun. Pasien mulai diberikan nasi sejak umur
7 bulan.

Riwayat vaksinasi :
Ibu pasien mengatakan anaknya sudah mendapatkan imunisasi lengkap dan sesuai
jadwal.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Tanda vital :
Nadi

: 100 x/menit

Respirasi: 20 x/menit
Suhu

: 39C
19

Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No
.
1.
2.

Pemeriksaan
Telinga
Tragus
Daun telinga

Telinga kanan

Telinga kiri

Nyeri tekan (-), edema (-)


Nyeri tekan (-), edema (-)
Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam batas
batas normal, hematoma (-), normal, hematoma (-), nyeri

3.

Liang telinga

nyeri tarik aurikula (-)


tarik aurikula (-)
Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis
furunkel

(-),

edema

otorhea (-)

4.

(-),

(-), furunkel (-), edema (-), otorhea


(-)

Membran

Retraksi

(-),

bulging

timpani

hiperemi (-), perforasi (-), opaque(+),


cone of light (+)

(-), Retraksi (-), bulging (+) ringan,


hiperemi

perforasi (-) cone of light (-)

Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan Hidung
Hidung kanan
Hidung luar
Bentuk (normal), hiperemi

Hidung kiri
Bentuk (normal), hiperemi

(-), nyeri tekan (-),

(-), nyeri tekan (-),

deformitas (-)

deformitas (-)
20

(+),

Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi
Cavum nasi

Normal, ulkus (-)


Normal, ulkus (-)
Bentuk (normal), mukosa Bentuk (normal), mukosa

Meatus nasi media

pucat (-), hiperemi s(-)


Mukosa normal, sekret

Konka nasi inferior

(-)mengkilat (-).
mengkilat (-).
Edema (-), mukosa hiperemi Edema (-), mukosa

Septum nasi

(-)
hiperemi (-)
Deviasi (-), perdarahan (-), Deviasi (-), perdarahan (-),
ulkus (-)

pucat (-), hiperemis (-)


Mukosa normal, sekret (-

ulkus (-)

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir
Mulut
Geligi
Lidah
Uvula
Palatum mole
Faring
Tonsila palatine
Fossa Tonsillaris

Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Normal
Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)
Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)
Ulkus (-), hiperemi (-)
Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-),
sekret (-)
Kanan
T0
hiperemi (-)

Kiri
T0
hiperemi (-)

dan Arkus Faringeus


DIAGNOSIS
Otitis Media Akut aurikula sinistra stadium hiperemis
DIAGNOSIS BANDING:PEMERIKSAAN PENUNJANG: -

21

RENCANA TERAPI
Medikamentosa
Antibiotik sistemik :

Sirup amoksisilin forte 1 Cth tiap 8 jam p.o

simptomatik

Sirup ibuprofen 1,5 Cth tiap 8 jam p.o

Sirup ambroxol Cth tiap 8 jam p.o

KIE pasien

Antibiotik harus diminum sesuai aturan yang telah disampaikan. Obat diminum
sampai habis walaupun gejala sudah hilang, agar penyembuhan berlangsung
baik, tidak terjadi komplikasi dan mencegah resistensi terhadap antibiotik.

Pasien harus datang untuk kontrol 3 hari lagi.

Jika sebelum waktu 3 hari gejala memberat ataupun keluar cairan dari telinga
maka pasien harus segera datang untuk control

PROGNOSIS
Bonam

22

BAB IV
PEMBAHASAN
Nyeri telinga (otalgia) dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu otalgia primer dan
otalgia sekunder. Pada otalgia primer ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan
telinga, sebaliknya pada otalgia sekunder tidak didapatkan kelainan pada telinga. Nyeri
telinga pada otalgia sekunder merupakan referred pain. Sebesar 50% otalgia merupakan
otalgia sekunder dan dari 50% tersebut berasal dari gigi. Pada tabel berikut ini
ditampilkan beberapa etiologi nyeri telinga berdasarkan ada tidaknya kelainan pada
pemeriksaan fisik telinga.8,9
Tabel 3.1 Etiologi nyeri telinga. 9
Nyeri

telinga

dengan

pemeriksaan Nyeri

telinga

dengan

pemeriksaan

telinga terdapat kelainan


Penyebab
Penyebab tidak umum

telinga tidak terdapat kelainan


Penyebab umum Penyebab

umum
Otitis media
Otitis eksterna
Benda asing

umum
Sindrom TMJ
Tumor leher
Kelainan gigi
Neuralgia
Faringitis
atau Arteritis temporal

barotrauma

OE malignan
Ramsay Hunt syndrome
Selulitis/kondroditis/peri
kondritis
Trauma
Mastoiditis
Tumor
atau

kista

terinfeksi

liang

pada

tonsillitis
Artritis cervical
Idiopatik

telinga
Wegener granulomatosis
Miringitis viral

23

tidak

Oral aphtous ulcers


Adenopati servikal
Nyeri miofasial

Tiroiditis
GERD
Angina pektoris

Tabel 3.2. Etiologi nyeri telinga paling sering pada pediatri.8

Pasien pada kasus ini datang dengan keluhan utama nyeri pada telinga.
Berdasarkan pada penjelasan di atas maka beberapa kemungkinan penyebab nyeri
telinga pada pasien ini yaitu OMA, OMSK, OE, mastoiditis, sindrom TMJ, kelainan
gigi, benda asing dan chickenpox. Riwayat nyeri telinga pada pasien ini baru pertama
kali dialami, selain itu tidak ada riwayat keluar cairan dari telinga dan tidak terdapat
perforasi pada membran telinga sehingga diagnosis OMSK dapat disingkirkan. Pada
pasien juga tidak terdapat pembengkakan mastoid sehingga diagnosis mastoiditis dapat
disingkirkan. Nyeri telinga tidak dipengaruhi oleh gerakan mengunyah, tidak terdapat
nyeri tekan tragus ataupun ditemukannya furunkel pada liang telinga sehingga dapat
menyingkirkan kemungkinan otitis eksterna dan sindrom TMJ. Pada liang telinga juga
tidak ditemukan adanya benda asing. Pasien tidak mengeluh munculnya ruam-ruam di
kulit bersama dengan munculnya demam sehingga kemungkinan diagnosis chickenpox

24

dapat disingkirkan. Pasien ini memiliki masalah pada gigi yaitu gigi berlubang namun
saat ini pasien tidak mengeluhkan adanya nyeri pada gigi yang dirasakan menyebar
hingga ke telinga sehingga diagnosis kelainan gigi sebagai penyebab munculnya nyeri
telinga dapat disingkirkan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka diagnosis sementara
yang dapat ditegakkan pada pasien ini adalah OMA aurikula sinistra.
Manifestasi
klinis

OMA

OME

OE

OMSK

Nyeri
telinga

Aku,
persisten.
Tanpa gejala
otore.

(+) pada fase


awal, bukan
gejala utama
adalah
penurunan
pendengaran

Akut, persisten,
dipicu oleh
gerakan
menunyah,
menguap, dsb

Kornis,
rekuren/persiste
n

Opaque,
menebal,
retraksi, warna
pucat, merah
atau kuning

MT dbn

Membran
timpani
(MT)

Bulging,
hiperemis,
opaque,
mobilitas
menurun

Manifestas
i klinis

MASTOIDITI
S

Nyeri
telinga

Membran
timpani
(MT)

TMJ Sindrom

Disertai otore

Secret (+)

Liang telinga
tampak edema,
dapat dijumpai
furunkel,

Perforasi (+),
kalsifikasi,
atrofi, retraksi,
destruksi
osikular

Infeksi gigi

chickenpox

Akut, persisten, Akut atau kronis,


dapat
merupakan nyeri
memburuk.
menjalar,dipicu
oleh gerakan
rahang

Sub akut, nyeri


tajam, nyeri
berasal dari
gigi

Akut disertai
demam dan
ruam kulit

Dengan atau
tanpa perforasi,
dinding
posterior liang
telinga dapat

MT dbn

MT dbn

MT dbn

25

bengkak dan
eritema

Diagnosis Otitis Media Akut didapatkan berdasarkan hasil anamnesis dan


pemeriksaan fisik telinga yang dilakukan. Pada anamnesis, tergambar jelas mengenai
etiologi dan perjalanan penyakit pasien. Anamnesis adanya riwayat batuk-pilek sebelum
keluhan telinga muncul menunjukkan penyebab terjadinya infeksi pada telinga tengah
yang kemudian menyebabkan gangguan pada tuba Eustachius. Gangguan pada tuba
tersebut selanjutnya menyebabkan tekanan negatif pada telinga tengah. Sumbatan tuba
yang terus berlanjut menyebabkan hipersekresi sel goblet pada mukosa telinga tengah
sehingga menyebabkan akumulasi secret pada rongga telinga tengah. Selain karena
sekret merupakan media pertumbuhan bakteri yang baik, beberapa faktor resiko seperti
gangguan imunitas host dan faktor lingkungan pada akhirnya akan menyebabkan
timbulnya proses infeksi pada telinga tengah. Proses infeksi dan inflamasi pada telinga
tengah bermanifestasi sebagai rasa nyeri yang dirasakan pasien pada telinga kirinya.
Hasil pemeriksaan fisik umum didapatkan pasien dalam kondisi demam (T: 39C).
Data tersebut merupakan tanda terjadinya inflamasi telinga tengah. Diagnosis OMA
ditunjang oleh temuan membran timpani yang tampak hiperemis, edema, bulging
ringan, disertai pelebaran pembuluh darah. Membran timpani yang tampak bulging
disebabkan karena akumulasi sekret di dalam rongga telinga tengah. Tidak ditemukan
adanya perforasi ataupun kemungkinan komplikasi ke daerah mastoid.
Penanganan ditujukan pada eradikasi infeksi dan simtomatis untuk mengurangi
gejala yang dirasakan pasien. Eradikasi infeksi pada OMA harus adekuat sehingga
infeksi tidak menetap dan berubah menjadi OMSK. Terapi lini pertama diberikan pada
pasien ini berupa antibiotik spektrum luas Amoxicillin 250 mg/8 jam selama 7-10 hari,
dan ibuprofen 150 mg/8 jam diminum bila perlu sebagai antipiretik dan analgetik.selain
itu diberikan ambroxol dalam sediaan sirup sebagai mukolitik dengan dosis 7,5 mg/8
jam. Pemberian dekongestan ataupun antihistamin tidak diperlukan dalam manajemen
pasien OMA karena terbukti tidak bermanfaat. Pasien diminta kembali lagi untuk
kontrol dalam 3 hari untuk melihat perkembangan penyakit dan reaksi terhadap
pengobatan.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Dhooge, Ingeborg., 2007. Acute Otitis Media in Children. Dalam: Graham, John,
M.et al. Pediatric ENT.Berlin: Springer. Hal 399-409
2. Healy, Gerald B., & Rosbe, Kristina W., Otitits Media And Middle Ear Effusions.
Dalam:

Jr,

James,

B.Snow

&

Ballengers,

J.

Jacob.

Ballengers

Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. Ontario: BC Decker. Hal
249-259
3. Moore, Keith L., & Dalley, Arthur F.,2006. Clinically Oriented Anatomy.
Lippincott Williams & Wilkins. Hal 1022-1030
4. Seeley, Stephens, Tate. 2004. Anatomy and Physiology, Ch 15 The Special Senses
6th Ed. New York:The McGrawHill Companies
5. Djaafar, Zainul A., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, Efiaty A., &
Iskandar H Nurbaiti, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FKUI
6. Probst, Rudolf. 2006. Middle Ear. Dalam: Probst, Rudolf., Grevers, Gerhard &
Iro, Heinrich. Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme.
7. American Academy of Pediatric. 2013. The Diagnosis and Management of Acute
Otitis

Media.

Vol.131

no.3.

Available

from:

http://pediatrics.aappublications.org/content/early/2013/02/20/peds.20123488.full.pdf
8. Thamboo, Andrew. 2011. Otalgia. The University of British Columbia.
http://learnpediatrics.sites.olt.ubc.ca/files/2011/11/Otalgia.pdf
9. Ely, J.W.,Hansen, M.R. & Clark, E.C.2008.Diagnosis of Ear Pain. American
Academy

of

Pediatric

vol.

http://www.aafp.org/afp/2008/0301/p621.pdf

27

77

no.5.

Available

from:

Anda mungkin juga menyukai