Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

Cutaneus Larva Migrans

Pembimbing :
dr. Saskia Retno Ayu Hapsari, Sp.KK

Disusun Oleh :
Milhan Elyamani Karim
1765050410

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan
6 Mei 2019 – 16 Juni 2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................4
2.1 Definisi........................................................................................................4
2.2 Epidemiologi...............................................................................................4
2.3 Etiologi........................................................................................................5
2.4 Manifestasi Klinis.......................................................................................6
2.5 Patogenesis..................................................................................................9
2.6 Diagnosis...................................................................................................11
2.7 Diagnosis Banding....................................................................................11
2.8 Tatalaksana................................................................................................17
2.6 Prognosis...................................................................................................18
BAB III PENUTUP.......................................................................................19
Daftar Pustaka...............................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

Infeksi cacing adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas, terutama di negara
tropis dan berkembang seperti Amerika Serikat bagian tenggara, Afrika, Amerika Tengah,
Amerika Selatan, Asia Tenggara dan di Indonesia pun banyak dijumpai. Sebagian besar infeksi
cacing terjadi di negara berkembang beriklim tropis atau subtropis, yang merupakan suatu
kondisi lingkungan yang kondusif bagi siklus hidup cacing. Selain itu, kepadatan penduduk
yang tinggi, kemiskinan, dan sanitasi yang buruk banyak ditemukan di daerah-daerah yang
lebih memudahkan penularan penyakit ini.1,2
Cutaneus Larva Migran (CLM) atau Creeping Eruption adalah erupsi di kulit berbentuk
penjalaran serpigiosa, sebagai reaksi hipersensitivitas kulit terhadap invasi larva cacing
tambang atau nematodes (Roundworms) atau produknya. 8 invasi ini sering terjadi pada anak –
anak terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki atau yang berhubungan langsung dengan
tanah atau pasir yang mengandung larva tersebut. 8
Kompetensi dokter umum untuk CLM adalah 4, dokter umum harus mampu
mendiagnosis dan menatalaksana kasus CLM. Referat ini dibuat untuk menambah informasi
dan wawasan mengenai creeping eruption agar dapat menegakkan diagnosis secara tepat dan
memberikan terapi yang tepat. Dalam referat ini akan dibahas mengenai epidemiologi,
etiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, dan prognosis creeping
eruption.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Cutaneous larva migrans (CLM) atau disebut juga dengan creeping eruption
merupakan kelainan kulit yang merupakan peradangan kulit yang disebabkan oleh penetrasi
dan migrasi larva cacing tambang ke epidermis yang berasal dari kucing dan anjing, terbanyak
disebabkan oleh Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma
ceylanicum. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginius,
sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur. 2,4

2.2 Epidemiologi

CLM adalah penyakit infeksi parasit yang banyak ditemukan pada daerah tropis atau
subtropis yang hangat dan lembab terutama Amerika Serikat bagian tenggara, Afrika, Amerika
Tengah, Amerika Selatan, Asia Tenggara dan daerah tropis lainnya. CLM endemik di
masyarakat kurang mampu di negara berkembang seperti Brazil, India, dan Hindia Barat. 2
Mayoritas kasus di AS terjadi di sepanjang pantai tenggara dan disebabkan oleh
penetrasi larva cacing tambang Ancylostoma braziliense akibat kontak langsung dengan pasir
atau tanah yang telah terkontaminasi oleh kotoran anjing dan kucing. 2
Telur cacing tambang disimpan di pasir dan tanah yang hangat, serta pada daerah yang
teduh, kemudian menetas menjadi larva yang dapat menembus kulit manusia. Pekerjaan dan
aktivitas yang berisiko adalah aktivitas yang bersentuhan langsung dengan pasir atau tanah
yang terkontaminasi dengan kotoran hewan, seperti aktivitas bermain di pasir, berjalan tanpa
alas kaki dan duduk di pantai. Sedangkan pekerjaan yang berisiko adalah tukang kebun,
tukang pipa, petani, tukang listrik, dan tukang kayu.1

4
2.3 Etiologi

Penyebab utama CLM adalah larva cacing tambang yang berasal dari kucing dan
anjing (Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum, dan
Strongyloides). Penyebab lain yang juga memungkinkan yaitu larva dari serangga seperti
Hypoderma dan Gasterophilus.3

Di Asia Timur umumnya disebabkan oleh gnatostoma babi dan kucing. Pada beberapa
kasus ditemukan Enchinococcus, Strongyloides sterconalis, Dermatobia maxiales, dan Lucilia
caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, misalnya
Castrophilus (the horse bot fly) dan cattle fly.3
Di epidermis, larva Ancylostoma brazilense akan bermigrasi dan menyebabkan CLM
selama beberapa minggu sebelum larva tersebut mati. Di sisi lain, larva Ancylostoma caninum
dan Ancylostoma ceylanicum dapat melakukan penetrasi yang lebih dalam dan menimbulkan
gejala klinis yang lain seperti enteritis eosinofilik.1
Ancylostoma braziliense mempunyai dua pasang gigi yang tidak sama besarnya, cacing
jantan panjangnya 4,7-6,3 mm dan cacing betina 6,1-8,4 mm dan Ancylostoma caninum
mempunyai tiga pasang gigi, cacing jantan panjangnya kira-kira 10 mm dan cacing betina kira-
kira 14 mm, cacing betina dewasa meletakkan rata-rata 16.000 telur setiap harinya.1
Pada beberapa kasus ditemukan Echinococcus, Strongyloides sterconalis, Dermatobia
maxiales, dan Lucilia caesar. Selain itu dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis
lalat, misalnya Castrophilus (the horse bot fly) dan catle fly. Biasanya larva ini merupakan
stadium ketiga siklus hidupnya. Nematoda hidup pada hospes, ovum terdapat pada kotoran
binatang dan karena kelembaban berubah menjadi larva yang mampu mengadakan penetrasi
ke kulit. Larva ini tinggal di kulit berjalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal, setelah
beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit.1,3,6

Penyebab yang umum:

1. Ancylostoma braziliense
2. Ancylostoma caninum

5
3. Uncinaria phlebotonum

Penyebab yang jarang:

1. Ancylostoma ceylonicum
2. Ancylostoma tubaeforme
3. Necator amricanus
4. Strongyloides papillosus
5. Strongyloides westeri
6. Ancylostoma duondenale3

2.4 Manifestasi Klinis

Masa inkubasi :1-6 hari dari waktu terpapar sampai timbulnya gejala.

Gejala kulit berupa pruritus lokal dimulai dalam beberapa jam setelah penetrasi larva
dan timbul papul. Adanya lesi papul yang eritematosa menunjukkan bahwa larva tersebut telah
berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Lesi kulit CLM kemudian menjadi lesi yang
khas berupa lesi yang serpiginous, tipis, linier, meninggi, dan terdapat lesi seperti terowongan
(burrow) dengan lebar lesi 2-3 mm yang mengandung cairan serosa (gambar 1). Muncul
beberapa atau lesi yang lebih dari satu tergantung pada jumlah penetrasi larva.4,1

Gambar 1. Creeping eruption pada kaki1

6
Migrasi larva dimulai 4 hari setelah inokulasi, dan membentuk saluran. Cacing bisa
tetap menetap selama beberapa hari atau bahkan beberapa bulan sebelum mulai bermigrasi.
Larva akan bermigrasi 2 milimeter per hari. Larva tidak dapat menembus membran basalis
sehingga hanya terbatas pada epidermis antara stratum germinativum dan stratum corneum dan
menyebabkan reaksi inflamasi eosinofil. Kebanyakan larva tidak dapat bermigrasi lebih jauh
atau menginvasi jaringan lebih dalam, dan mati setelah beberapa hari atau bulan.4,7

Lesi biasanya terdapat pada area terbuka dan sering terpapar seperti ekstremitas distal
bagian bawah, bokong, alat kelamin, tangan juga di bagian tubuh di mana saja yang sering
berkontak dengan tempat larva berada. Terkadang terdapat manifestasi purulen akibat infeksi
sekunder berupa erosi dan eksoriasi akibat garukan. Jika tidak diobati, larva biasanya mati
dalam 2-8 minggu, dan terjadi resolusi lesi. Eosinofilia bisa terjadi.4,1

Larva currens (Cutaneous Strongyloidiasis) merupakan bentuk khusus dari larva


migrans. Lesi berupa papul, urtika, papulovesikel di lokasi penetrasi larva (gambar 2),
biasanya terjadi pruritus yang hebat, pada kulit di sekitar anus, bokong, paha, punggung,
bahu, dan perut. Pruritus dan erupsi akan hilang ketika larva masuki pembuluh darah dan

bermigrasi ke mukosa usus.1,5

7
Gambar 2. Larva Currens. Multipel, pruritus, serpiginous, inflamasi area penetrasi S.
stercoralis pada regio gluteal.1

Temuan sistemik berupa Visceral Larva Migrans (VLM). VLM tidak berhubungan
dengan CLM. Terjadi pada anak yang menelan telur cacing gelang yang berasal dari anjing
atau kucing. Larva menyebar ke organ viseral sehingga menyebabkan kejang, miokarditis,
ensefalitis, dan kelainan mata. Ditandai dengan hipereosinofilia, hepatomegali, dan
pneumonitis (sindrom Loeffler). Biasanya berhubungan dengan urtikaria.1

Tidak terlalu sering namun dilaporkan adanya folikulitis cacing tambang, terdiri dari
20- 100 papul dan pustul folikel eosinofilik terbatas pada area khusus di tubuh, biasanya
bokong. Pasien dengan folikulitis biasanya terdapat creeping eruption juga. Lesi papul tanpa
CLM (papular larva migrans) jarang muncul. Tanda kutaneus lainnya berkaitan dengan
migrasi subkutan dari larva cacing kadang-kadang digambarkan, seperti urtikaria dan
panikulitis. Gatal dapat menjadi sangat menyakitkan dan jika tergores memungkinkan terjadi
infeksi bakteri sekunder, gatal akan berhenti setelah parasit mati.1

8
2.5 Patogenesis

Cacing tambang dewasa hidup di usus anjing dan kucing. Telur keluar bersama tinja pada
kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu, larva
menetas dalam 1-2 hari. Larva rabditiform tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan menjadi larva
filariform (larva stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari. Larva infektif ini dapat
bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang sesuai. Pada kontak dengan
pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit dan dibawa melalui pembuluh darah
menuju jantung dan paru-paru. Larva kemudian menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke
faring dan tertelan. Larva mencapai usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa.
Cacing dewasa hidup dalam lumen usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa larva
ditemukan di jaringan dan menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui transmammary atau
transplasenta. Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara larva filariform menembus kulit. Pada
sebagian besar spesies, larva tidak dapat berkembang lebih lanjut di tubuh manusia dan
bermigrasi tanpa tujuan di epidermis. Beberapa larva dapat bertahan pada jaringan yang lebih
dalam setelah bermigrasi di kulit.3,6

Gambar 3. Siklus hidup larva3

9
Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva dimana
larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura atau kulit intak.
Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas kutikelnya. Biasanya migrasi dimulai dalam
waktu beberapa hari. Larva stadium tiga menembus kulit manusia dan bermigrasi beberapa
sentimeter perhari, biasanya antara stratum germinativum dan stratum korneum. Larva ini tinggal
di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang dermoepidermal. Hal ini menginduksi reaksi
inflamasi eosinofilik setempat. Setelah beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Larva
bermigrasi pada epidermis tepat di atas membran basalis dan jarang menembus ke dermis.
Manusia merupakan hospes aksidental dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase yang cukup
untuk penetrasi membran basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja.
Enzim proteolitik yang disekresi larva menyebabkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan
progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus hidup,
larva sering kali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrate pada paru. Pada pasien dengan
keterlibatan paru-paru didapatkan larva dan eosinofil pada sputumnya. Kebanyakan larva tidak
mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa hari sampai beberapa bulan.2,1,5
Penularan terjadi karena individu berkontak dengan tanah lembab yang telah
terkontaminasi kotoran anjing, kucing atau sapi yang telah mengandung larva cacing tersebut.
Larva mengadakan penetrasi kekulit manusia dan memulai migrasinya pada epidermis bagian
bawah. Larva ini tidak dapat mengadakan penetrasi ke dermis manusia, maka tidak dapat terjadi
siklus hidup yang normal. Manusia merupakan hospes yang tidak tepat bagi larva tersebut,
sehingga larva akhirnya akan mati. Penetrasi cacing tambang tergantung pada sekresi dari zat
bioakif seperti enzim proteolitik, hyaluronidase, dan sekresi-sekresi protein litik. Kulit manusia
merupakan penghalang yang kuat terhadap patogen invasif, termasuk cacing tambang. Larva
cacing tambang mensekresi beberapa protease yang dilepaskan ketika larva aktif, dianggap
mencerna molekul-molekul besar dan jaringan kulit. Diantaranya, Ancylostoma caninum astacin-
like zinc-metalloprotease (Ac-MTP-1) telah ditemukan sebagai produk sekret dari larva cacing
tambang. Selain protease lava cacing tambang juga memproduksi hyaluronidase yang
mempunyai kemampuan untuk menghancurkan komponen-komponen dari matriks ekstraseluler.

10
Kombinasi dari dua anzim pencerna ini diduga berperan dalam penetrasi cacing tambang pada
kulit manusia. Larva cacing tambang memasuki kulit manusia melewati folikel rambut dan
kelenjar sebaseous. Larva tersebut memulai migrasi dalam kulit setelah 4 hari penetrasi dan lebih
aktif pada malam hari.6

2.6 Diagnosis

Diagnosis CLM biasanya ditegakkan secara klinis. Meskipun diagnosis biasanya dibuat
secara klinis, berdasarkan karakteristik lesi berupa adanya bintik merah menonjol yang gatal
kemudian menjadi memanjang dan berkelok membentuk alur di bawah kulit dan adanya riwayat
pajanan (misalnya berjalan tanpa alas kaki), biopsi kadang-kadang dilakukan untuk
mengidentifikasi larva dalam epidermis. Didalam dermis, terdapat infiltrat inflamasi yang terdiri
dari limfosit, histiosit dan eosinofil. Terkadang, eosinofil terdapat dalam epidermis dan dalam
follicles rambut.1,2
Karena larva jarang menembus kulit yang lebih dalam, manifestasi sistemik seperti
migratory pulmonary infiltrates dan eosinofilia perifer (sindrom Loeffler) jarang terjadi. Temuan
sistemik yang umum adalah eosinofilia sedang darah perifer. Karena pruritus hebat dan proses
penggarukan, bisa terjadi infeksi bakteri yang dapat mempersulit gambaran klinis.2
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan laboratorim
dan biopsi. Pada pemeriksaan hematologi didapatkan eosinofilia perifer. Selain itu, pada
pemeriksaan dermatopatologi akan terlihat bagian dari parasit yang dapat dilihat pada spesimen
biopsi dari lesi.1
Folikulitis juga dapat didiagnosis secara klinis; jika tidak, biopsi kulit mungkin
diperlukan. Temuan histopatologi dapat berupa larva yang terperangkap dalam saluran folikel,
stratum corneum, atau dermis, bersama-sama dengan infiltrat inflamasi. Kerokan kulit pada
pasien dengan follikulitis dapat mengungkapkan larva hidup dan mati ketika diperiksa dengan
5
mikroskop cahaya dengan minyak mineral.

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk lesi yang atipikal termasuk dermatitis kontak, impetigo, tinea,

11
skabies, dan infeksi nematoda lainnya (misalnya strongyloidiasis).2

12
Dengan melihat adanya terowongan harus dibedakan dengan skabies, pada skabies
terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti pada penyakit ini. Bila melihat bentuk
yang polisiklik sering dikacaukan dengan dermatofitosis. Pada permulaan lesi berupa papul,
karena itu sering diduga insects bite. Bila invasi larva yang multipel timbul serentak, papul lesi
dini sering menyerupai herpes zooster stadium permulaan.2
1. Scabies

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. homini,
famili Sarcoptidae, dan kelas Arachnida. Skabies dikarakteristikkan dengan lesi papular pruritus,
eksoriasi, dan terowongan (burrows). Tempat predileksi termasuk sela-sela jari, pergelangan
tangan, aksila, areola, umbilikus, perut bagian bawah, genital dan bokong. Terowongan muncul
sedikit lebih tinggi, keabu-abuan, garis berliku-liku di kulit.

Gambar 4. Scabies.2

Scabies memiliki gejala klinis seperti pruritus nocturnal, adanya terowongan (kanalikuli)
pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau
berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel.
Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih
stadium hidup tungau ini. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam
sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Dengan melihat adanya
13
terowongan harus dibedakan dengan scabies. Pada scabies terowongan yang terbentuk tidak
akan sepanjang seperti pada creeping eruption.4

2. Herpes Zoster

Gambar 5. Herpes zoster1

Bila invasi larva yang multiple timbul serentak papul-papul lesi dini sering menyerupai
herpes zoster stadium permulaan. Herpes zoster adalah penyakit yang yang disebabkan infeksi
virus varisela zoster yang menyerang kulit dan mukosa. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus
yang terjadi setelah reaksi primer. Kadang-kadang infeksi primer berlangsung subklinis.
Frekuensi pada pria dan wanita sama, lebih sering mengenai usia dewasa. 3
Daerah yang sering terkena adalah daerah torakal. Terdapat gejala prodromal sistemik
seperti demam, pusing, malaise. Sedangkan gejala lokal nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan
sebagainya. Disamping gejala kulit berupa papul yang timbul serentak dijumpai pembesaran
kelenjar getah bening regional. Lokalisasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat
persarafan.3
3. Insect bite

Insect bite merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh gigitan dari hewan. Kelainan
kulit disebabkan oleh masuknya zat farmakologis aktif dan sensitasi antigen dari hewan tersebut.
Dalam beberapa benit akan muncul papul persisten yang seringkali disertai central hemmoragic
punctum. Reaksi bulosa sering terjadi pada kaki anak-anak. Pada permulaan timbulnya creeping
eruption akan ditemukan papul yang menyerupai insect bite (Gambar 7).1

14
Gambar 6. Insect
bite.1

2.8 Penatalaksanaan

Meskipun penyakit ini sembuh dengan sendirinya, manusia adalah host “dead-end".
Kebanyakan larva mati dan lesi sembuh dalam 2-8 minggu dan jarang hingga 2 tahun. Dalam
sebuah penelitian, 25-33% larva mati setiap 4 minggu, sedangkan 81% dari lesi menghilang
dalam 4 minggu. Beberapa bertahan selama berbulan-bulan.5,3

Nonmedikamentosa

Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak kulit langsung dengan tanah yang

tercemar tinja, memproteksi diri seperti memakai alas kaki dan memperhatikan kebersihan dan
menghindari kontak yang terlalu banyak dengan hewan-hewan yang merupakan karier cacing
tambang. Pasien diusahakan tidak menggaruk lesi, cukup digosok lembut karena akan
membuat lesi baru dan berisiko mengalami infeksi sekunder.1

17
Medikamentosa Topikal

Walaupun dapat sembuh dengan sendirinya setelah beberapa bulan tetapi rasa gatal
yang ditimbulkan sangat mengganggu dan meningkatkan resiko infeksi sekunder oleh bakteri
yang dipicu karena garukan. Thiabendazol topikal dengan suspensi 10% atau krim 15% yang
digunakan empat kali sehari, akan mengurangi pruritus dalam 3 hari, dan membuat saluran
(burrow) menjadi tidak aktif dalam 1 minggu. Metronidazole topikal juga telah dilaporkan
efektif.4
Sistemik

Hasil pemakaian albendazole atau ivermectin telah berhasil diobservasi. 400 mg dosis
oral tunggal Albendazole untuk anak >2 tahun dan dewasa menghasilkan tingkat kesembuhan
45- 100%, tetapi dosis 400-800 mg / hari (pada anak-anak, 10-15mg/kgBB dengan maksimal
800mg / hari) dianjurkan selama 3-5 hari karena khasiat yang lebih konsisten (tingkat
kesembuhan 80- 100%); dosis oral tunggal ivermectin 12mg (pada anak-anak, dosis tunggal
150mg/kgBB) menghasilkan tingkat kesembuhan 80-100%.2
Thiabendazole oral ternyata efektif. Dosisnya 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali, diberikan
berurut-turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram sehari, jika belum sembuh dapat diulangi
setelah beberapa hari.2
Pilihan terapi lain adalah cryotherapy yaitu dengan menggunakan CO2 snow (dry ice)
dengan penekanan selama 45” sampai 1’, dua hari berturut-turut. Penggunaan N 2 liquid juga
dicobakan. Cara beku dengan menyemprotkan kloretil sepanjang lesi. Karena larva biasanya
telah pindah melebihi lesi kulit yang terlihat dan lokasinya tidak dapat ditentukan, dan bila
terlalu lama dapat merusak jaringan sekitarnya sehingga krioterapi tidak disarankan.7,2,1

2.9 Prognosis

Prognosis penyakit ini biasanya baik dan merupakan penyakit self-limited, dimana
larva akan mati dan lesi membaik dalam waktu 4-8 minggu jarang hingga 2 tahun. Dalam
sebuah penelitian, 25-33% larva mati setiap 4 minggu, sedangkan 81% dari lesi menghilang
dalam 4 minggu. Beberapa bertahan selama berbulan-bulan. Dengan pengobatan progresi lesi
dan rasa gatal akan hilang dalam waktu 48 jam.3,5

18
19
BAB III
KESIMPULAN

Cutaneous larva migrans (CLM) atau disebut juga dengan creeping eruption merupakan
kelainan kulit yang merupakan peradangan kulit yang disebabkan oleh penetrasi dan migrasi
larva cacing tambang ke epidermis yang berasal dari kucing dan anjing, terbanyak disebabkan
oleh Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma ceylanicum. Creeping
eruption secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau serpiginius, sedikit menimbul, dan
kemerahan yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur.

Diagnosis CLM dapat dilakukan hanya dengan melihat gejala klinisnya berupa
karakteristik lesi yaitu adanya bintik merah menonjol yang gatal kemudian menjadi
memanjang dan berkelok membentuk alur di bawah kulit dan adanya riwayat pajanan
(misalnya berjalan tanpa alas kaki). Pengobatan topikal yang bisa diberikan adalah
Thiabendazol topikal dengan suspensi 10% atau krim 15% yang digunakan empat kali sehari.
Pengobatan sistemik dapat diberikan albendazole atau ivermectin. Albendazole 400 mg dosis
oral tunggal diberikan pada anak >2 tahun dan dewasa, pada anak-anak, dosis 10- 15mg/kgBB,
obat ini diberikan selama 3-5 hari. Ivermectine, diberikan 12mg dosis oral tunggal pada
dewasa, pada anak diberikan dosis tunggal 150mg/kgBB. Thiabendazole oral ternyata efektif
untuk mengobati CLM, dosisnya 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali, diberikan berurut-turut
selama 2 hari, jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari. Prognosis penyakit ini
biasanya baik dan merupakan penyakit self-limited, dimana larva akan mati dan lesi membaik
dalam waktu 4-8 minggu jarang hingga 2 tahun. Dalam sebuah penelitian, 25-33% larva mati
setiap 4 minggu, sedangkan 81% dari lesi menghilang dalam 4 minggu. Beberapa bertahan
selama berbulan-bulan. Dengan pengobatan progresi lesi dan rasa gatal akan hilang dalam
waktu 48 jam.

20
REFERENSI

1. Wolff, Klaus dan Richard Allen Johnson. 2009. Fitzpatrick’s; Color Atlas & Synopsis of
Clinical Dermatology. United States: The McGraw-Hill Companies.
2. Bolognia, Jean L dkk (Ed.). 2008. Dermatology. Spain: Elsevier Inc. p.1278-1281.

3. Burns, Tony, dkk (Ed.). 2004. Rook’s Textbook of Dermatology. Italy: Blackwell Publishing.

4. James, William D, dkk. 2011. Andrews’ Disease of the Skin; Clinical Dermatology. China:
Elsevier Inc.

5. Goldsmith, Lowell A., dkk (Ed.). 2012. Fitzpatrick’s; Dermatology in General Medicine, 8th
Edition.

United States: the McGraw-Hill Companies, Inc. p.2315-2316.

6. Williamson, Angela L, dkk. 2006. “Ancylostoma caninum MTP-1, an Astacin-Like


Metalloprotease Secreted by Infective Hookworm Larvae, Is Involved in Tissue Migration”
dalam Infection and Immunity. Vol. 74, No. 2. p.961–967.

7. Schachner, L.A., Ronald C.H. 2011. Pediatric Dermatology, 4th Edition. United States:
Elsevier Inc. p.1528-1529
8. Menaldi, Sri Luwih, 2015. Buku ajar ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ketujuh. Indonesia:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

21

Anda mungkin juga menyukai