Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER

Pembimbing :
dr. Achmad Fachron, Sp. PD

Disusun oleh :
Mutiara Nurul Qalbi
2015730095

STASE ILMU KESEHATAN PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga laporan referat ini dapat penulis selesaikan.
Pada laporan referat ini menyajikan topik mengenai DHF. Adapun tujuan
penulisan laporan referat ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
stase Ilmu Penyakit Dalam di RSIJ Cempaka Putih.
Pada kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan demi terselesaikannya tugas ini,
khususnya kepada dr. Achmad Fachron, Sp. PD selaku pembimbing.
Besar harapan penulis melalui laporan ini, pengetahuan dan pemahaman
penulis semakin bertambah. Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih
belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh
karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi perbaikan laporan referat ini. Atas bantuan dan segala
dukungan dari bebagai pihak, penulis ucapkan terima kasih

Jakarta, April 2020

Mutiara Nurul Qalbi

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................2
BAB I..................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...............................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...................................................................................................3
BAB II.................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................4
2.1 DEFINISI............................................................................................................4
2.2 EPIDEMIOLOGI..............................................................................................4
2.3. ETIOLOGI.........................................................................................................5
2.4 PATOGENESIS.................................................................................................5
2.5 PERJALANAN PENYAKIT............................................................................7
2.6 KLASIFIKASI.................................................................................................10
2.7 MANIFESTASI KLINIS.................................................................................11
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG....................................................................12
2.9 DIAGNOSIS BANDING.................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................18

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah

kesehatan masyarakat dan endemis di Indonesia. Penyakit ini dapat mengakibatkan

Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah endemis yang terjadi hampir setiap

tahunnya pada musim penghujan.

Jumlah kasus DBD di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 156.086 kasus dengan

jumlah kematian akibat DBD sebanyak 1.358 orang, IR 65,7 per 100.000 penduduk

dan CFR sebesar 0,87%. Terjadi penurunan IR DBD jika dibandingkan dengan tahun

2009 yaitu sebesar 68,22 per 100.000 penduduk. Demikian juga dengan CFR yang

mengalami sedikit penurunan, pada tahun 2009 CFR DBD sebesar 0,89%.23

World Health Organization (WHO) mencatat sejak tahun 1968 hingga tahun

2009, Negara Indonesia merupakan Negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia

Tenggara. Penyakit DBD masih menjadi permasalahan yang serius di Provinsi Jawa

Tengah, hal ini terbukti dengan adanya 35 kabupaten/kota yang sudah pernah

terjangkit penyakit DBD. Sedangkan Insidence Rate (RI) DBD di Provinsi Jawa

Tengah pada tahun 2011 sebesar 15,27/100.000 penduduk. Apabila dibandingkan

dengan tahun 2010 yang jumlahnya 59,8/100.000 penduduk pada tahun 2011

mengalami penurunan yang sangat derastis. Angka kematian / Case Fatality Rate

3
(CFR) DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011 ialah 1,29%. Angka kesakitan

tertinggi pada tahun 2011 berada di Kota Semarang dan terendah di Kabupaten

Wonogiri sebesar 4,29/100.000 penduduk.

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara
lain imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan
(virulensi) virus dengue dan kondisi geografis setempat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk
(”mosquito borne disease”) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah
tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis,
undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue
(DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock
syndrome/DSS).
Demam dengue (DD) merupakan sindrom benigna yang disebabkan oleh
”arthropod borne viruses” dengan ciri demam bifasik, mialgia atau atralgia, rash,
leukopeni dan limfadenopati. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit
demam akibat virus dengue yang berat dan sering kali fatal.
DBD dibedakan dari DD berdasarkan adanya peningkatan permeabilitas vaskuler
dan bukan dari adanya perdarahan. Pasien dengan demam dengue (DD) dapat
mengalami perdarahan berat walaupun tidak memenuhi kriteria WHO untuk DBD.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan
Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah

4
tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989
hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per
100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun
hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Selama bulan januari 2019, tercatat ada 13.683
kasus demam berdarah di Indonesia. Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk
betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat
penampungan air lainnya).

2.3. ETIOLOGI
 Virus Dengue
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan
ukuran 50 nm dan mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal
empat serotipe yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4. Virus dengue ditularkan
oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya. Aedes aegypty merupakan vektor
epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya seperti Aedes albopictus,
Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan epidemi yang
ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.

 Vector
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu
nyamuk aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan
beberapa spesies lain merupakan vektor yang kurang berperan.infeksi dengan salah
satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya.
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor
penularan virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui gigitannya
nyamuk Aedes Aegyeti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (Viban)
sedangkan di daerah pedesaan (rural) kedua nyamuk tersebut berperan dalam
penularan. Nyamuk Aedes berkembang biak pada genangan Air bersih yang
terdapat bejana – bejana yang terdapat di dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun
yang terdapat di luar rumah di lubang – lubang pohon di dalam potongan bambu,

5
dilipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya ( Aedes Albopictus).
Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada siang hari
terutama pada waktu pagi hari dan senja hari.

2.4 PATOGENESIS
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
aegypty atau Aedes Albopticus dengan organ sasaran adalah organ hepar, nodus
limfaticus, sumsum tulang belakang, dan paru. Dalam peredaran darah, virus
tersebut akan difagosit oleh sel monosit primer. Virus dengue dianggap sebagai
antigen yang akan bereaksi dengan antibody kompleks (komplek imun) yang akan
mengaktifasi komplemen. Aktifasi ini akan menghasilkan anafilaktosin C3A dan
C5A yang akan merupakan mediator yang mempunyai efek farmakologis cepat
dan pendek. Bahan ini bersifat fasoaktif dan prokoagulan sehingga menimbulkan
kebocoran plasma (hipovolemik syok).
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit
dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi
trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (Adenosin diphospat),
sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia.
Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III
mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID= koagulasi intravaskular
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product)
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan darah. Agregasi trombosit ini juga
mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit
masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan
menyebabkan aktivasi factor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh

6
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan darah (akibat KID), kelainan
fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler.

Gambar 2. 1 Teori secondary heterologous infection yang pertama kali dipublikasikan


oleh Suvatte,1977 dan pernah dianut untuk menjelaskan patofisiologi DD/DBD

2.5 PERJALANAN PENYAKIT

a. Fase Demam
Pasien biasanya mengalami demam tingkat tinggi secara tiba-tiba. Fase
demam akut ini biasanya berlangsung 2-7 hari dan sering disertai dengan

7
pembilasan wajah, eritema kulit, nyeri tubuh menyeluruh, mialgia, artralgia,
nyeri mata orbital retro, fotofobia, eksantema rubeliform dan sakit kepala.
Beberapa pasien mungkin menderita sakit tenggorokan, faring yang terinfeksi,
dan injeksi konjungtiva. Anoreksia, mual dan muntah sering terjadi.
Mungkin sulit untuk membedakan secara klinis demam berdarah dari
penyakit demam non-demam berdarah pada fase demam awal. Tes tourniquet
positif dalam fase ini menunjukkan kemungkinan peningkatan demam
berdarah. Namun, gambaran klinis ini tidak memprediksi keparahan penyakit.
Oleh karena itu sangat penting untuk memantau tanda-tanda peringatan dan
parameter klinis lainnya (Kotak Teks C) untuk mengenali perkembangan ke
fase kritis.
Manifestasi hemoragik ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa (mis. Hidung dan gusi) dapat terlihat. Dalam beberapa kasus, memar
dan pendarahan yang mudah di lokasi enepuncture. Abnormalitas paling awal
dalam hitung darah lengkap adalah penurunan progresif dalam jumlah total sel
darah putih, yang seharusnya membuat dokter waspada terhadap kemungkinan
tinggi demam berdarah.
b. Fase Kritis
Selama transisi dari fase demam ke fase demam, pasien tanpa peningkatan
permeabilitas kapiler akan membaik tanpa melalui fase kritis. Alih-alih
membaik dengan penurunan demam tinggi; pasien dengan permeabilitas
kapiler yang meningkat dapat bermanifestasi dengan tanda-tanda peringatan,
sebagian besar sebagai akibat dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda peringatan (dirangkum dalam Kotak Teks C) menandai awal
fase kritis. Pasien-pasien ini menjadi lebih buruk di sekitar waktu penurunan
suhu, ketika suhunya turun menjadi 37,5-38 ° C atau kurang dan tetap di
bawah tingkat ini, biasanya pada hari ke 3–8 sakit. Leukopenia progresif yang
diikuti dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat biasanya mendahului
kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit di atas baseline mungkin
merupakan salah satu tanda tambahan paling awal. Periode kebocoran plasma
yang signifikan secara klinis biasanya berlangsung selama 24−48 jam. Tingkat
kebocoran plasma bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan
tekanan darah (BP) dan volume nadi.

8
Tingkat hemokonsentrasi di atas hematokrit awal mencerminkan tingkat
keparahan kebocoran plasma; Namun, ini dapat dikurangi dengan terapi cairan
intravena dini. Oleh karena itu, penentuan hematokrit yang sering sangat
penting karena menandakan perlunya penyesuaian yang mungkin untuk terapi
cairan intravena. Efusi pleura dan asites biasanya hanya terdeteksi secara
klinis setelah terapi cairan intravena, kecuali jika kebocoran plasma bermakna.
Radiografi dada dekubitus lateral kanan, deteksi ultrasonografi cairan bebas di
dada atau perut, atau edema dinding kandung empedu dapat mendahului
deteksi klinis. Selain kebocoran plasma, manifestasi hemoragik seperti mudah
memar dan perdarahan di lokasi venepuncture sering terjadi.
Jika syok terjadi ketika volume kritis plasma hilang karena kebocoran, itu
sering didahului dengan tanda-tanda peringatan. Suhu tubuh mungkin di
bawah normal ketika terjadi kejutan. Dengan syok yang dalam dan / atau
lama, hipoperfusi menyebabkan asidosis metabolik, kerusakan organ
progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Hal ini pada gilirannya
dapat menyebabkan perdarahan hebat yang menyebabkan hematokrit menurun
pada syok berat. Alih-alih leukopenia biasanya terlihat selama fase demam
berdarah ini, jumlah sel darah putih total dapat meningkat sebagai respons
stres pada pasien dengan perdarahan hebat. Selain itu, keterlibatan organ yang
parah dapat berkembang seperti hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan /
atau perdarahan hebat, tanpa kebocoran plasma yang jelas atau syok.
Beberapa pasien berkembang ke fase kritis kebocoran plasma dan syok
sebelum defervesensi; pada pasien ini peningkatan hematokrit dan onset cepat
trombositopenia atau tanda-tanda peringatan, menunjukkan timbulnya
kebocoran plasma. Kasus demam berdarah dengan tanda-tanda peringatan
biasanya akan pulih dengan rehidrasi intravena. Beberapa kasus akan
memburuk menjadi demam berdarah.
c. Fase penyembuhan
Ketika pasien selamat dari fase kritis 24−48 jam, reabsorpsi bertahap
cairan kompartemen ekstravaskuler terjadi dalam 48-72 jam berikutnya.
Keadaan umum membaik, nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal
mereda, status hemodinamik menjadi stabil, dan kemudian terjadi diuresis.
Beberapa pasien memiliki ruam eritematosa atau petechial konfluen dengan

9
area kecil kulit normal, digambarkan sebagai “isles of white in the sea of red”
("pulau putih di laut merah"). Beberapa mungkin mengalami pruritus
menyeluruh. Perubahan bradikardia dan elektrokardiografi sering terjadi
selama tahap ini.
Hematokrit stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi dari cairan
yang diserap kembali. Jumlah sel darah putih biasanya mulai meningkat
segera setelah defervesensi tetapi pemulihan jumlah trombosit biasanya lebih
lambat dari jumlah sel darah putih. Distres pernapasan akibat efusi pleura
masif dan asites, edema paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama
fase kritis dan / atau pemulihan jika cairan intravena berlebihan telah
diberikan.

10
2.6 KLASIFIKASI

Table 2. 1 Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011


2.7 MANIFESTASI KLINIS
Demam dengue ialah demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi; nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam kulit, manifestasi
perdarahan dan leukopenia.Awal penyakit biasanya mendadak dengan adanya trias
yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan dan ruam.
 Demam : suhu tubuh biasanya mencapai 39 C sampai 40 C dan demam
bersifat bifasik yang berlangsung sekitar 5-7 hari.

11
 Ruam kulit : kemerahan atau bercak bercak meraH yang menyebar dapat
terlihat pada wajah, leher dan dada selama separuh pertama periode demam
dan kemungkinan makulopapular maupun menyerupai demam skalartina yang
muncul pada hari ke 3 atau ke 4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu
naik pertama kali (hari sakit ke 3-5) dan berlangsung 3-4 hari.
 Anoreksi dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya meliputi
fotofoi, berkeringat, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar limfa servikal
dilaporkan membesar pada 67-77% kasus atau dikenal sebagai Castelani’s
sign yang patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain dapat menyertai.

Berdasarkan kriteria WHO diagnosis DHF ditegakkan bila semua hal di bawah ini
di penuhi, yaitu:
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2 sampai 7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat minimal satu manifestasi perdarahan berikut:
1) Uji bending positif.
2) Ptekie, ekimosis atau purpura
3) Perdarahan mukosa (epitaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain.
4) Hematemesis atau melena
c. Trombositopenia (<100.000/ul)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma), yaitu
1) Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standart sesuai dengan
umur dan jenis kelamin
2) Penuruan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
3) Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites, hypoproteinemia
atau hiponatremia.
4) Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit waktu
menelan
5) Keluhan pada saluran pencernaan: mual, muntah, anoreksia, diare,
konstipasi
6) Keluhan sistem tubuh: nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot, tulang
dan sendi, nyeri otot abdomen, nyeri ulu hati, pegal-pegal pada saluran
tubuh

12
Gambar 2. 2 Spektrum Klinis DD dan DBD

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah


trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai
pada hari ke 3-8 sejak timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai
mulai hari ke 3 demam.Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau
kecurigaan terjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis
(PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan
adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostic melalui


pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga
jenis uji etiologi, yang dianggap sebagai golden standar adalah metode isolasi virus.
Namun, metode ini membutuhkan tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama
(lebih dari 1±2 minggu), serta biaya yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasan ini,
seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler dengan deteksi materi
genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain reaction
(RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih
cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal
serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif
semu.

13
Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi,
yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti dengue. Ig M akan diikuti
peningkatan Ig G yang mencapai puncak pada hari ke 15 kemudian Uji
serodiagnostik cepat komersial dapat membantu diagnostik dan dapat pula
menimbulkan keraguan. Uji serodiagnostik cepat sering menghasilkan negatif
palsu pada hari demam ke 2-3. Kit serodiagnostik yang berisi Ig M, Ig M dan Ig
G atau Ig G saja. Infeksi primer, hari sakit 3-4 akan dijumpai peningkatan Ig M
lalu meningkat dan mencapai puncaknya dan menurun kembali dan menghilang
pada hari sakit ke 30-60. Peningkatan menurun dalam kadar rendah seumur
hidup.
Pada infeksi sekunder akan memacu timbulnya Ig G sehingga kadarnya
naik dengan cepat sedangkan Ig M menyusul kemudian. Apabila tidak terdeteksi
pada hari demam ke 2-3 pada klinis mencurigakan maka pemeriksaan harus
diulang 4-6 hari lagi.

Gambar 2.3 Respon imun terhadap infeksi dengue

Respon imun terhadap infeksi dengue :


Antibodi Ig M :
- Mungkin tidak terbentuk hingga 20 hari setelah onset infeksi
- Mungkin terbentuk pada kadar yang rendah atau tidak terdeteksi pasca
infeksi primer singkat
Antibodi Ig G :

14
- Terbentuk dengan cepat pasca 1-2 hari onset gejala
- Meningkat pada infeksi primer
- Menetap hingga 30-40 hari dan kemudian menurun
Sekitar 20-30% pasien dengan infeksi sekunder dengue tidak menghasilkan Ig
M anti dengue pada kadar yang dapat dideteksi hingga hari ke 10 dan harus
didiagnosis peningkatan Ig G anti dengue.

S
alah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1
(NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue.
Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa lama antigen
NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan mencatat dengan metode
ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari pertama sampai
hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi
sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena
berbagai keunggulan tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1
sebagai uji dini terbaik untuk pelayanan primer. Pemeriksaan radiologis (foto toraks
PA tegak dan lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya
efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan dan pada keadaan perembesan plasma
hebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat
pula dideteksi dengan USG.

2.9 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian
klinis dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya dan leptospirosis.
Seluruh kriteria diatas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi
nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (< 20 mmHg), hipotensi
dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.

2.10 PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi
supoetif. Penanganan yang tepat oleh dokter dan perawat dapat menyelamatkan
pasien DBD. Denfan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan

15
hingga kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan
yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap
dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu
dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah
dehidrasi dan hemokonsentrasi.
Perhimpunan Dokter Ahli {enyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan
DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria :
1. Tatalaksana dengan rencana tindakan sesuai indikasi
2. Praktis dalam pelaksanaannya
3. Mempertimbangkan cost effectiveness
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
1. Protokol 1
Penanganan tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok
2. Protokol 2
Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
3. Protokol 3
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%
4. Protokol 4
Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa
5. Protokol 5
Tatalaksana Sindoma Syok Dengue pada dewasa

1. Protokol 1. Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok


Potokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan
pertama pada penderita DBD atau yang diguga DBD di Instalasi Gawat Darurat
dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat
dilakukan pemeriksaan Hemoglobin (Hb), hematoktrit dan trombosit apabila
didapatkan :
 Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 – 150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke

16
Poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht,
Leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keaadaan penderita
memburuk segera kembali ke Instansi Gawat Darurat)
 Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
dirawat.

Gambar 2. 3 penanganan tersangka dbd tanpa syok

2. Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat


Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tampak syok
maka di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus
berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan
Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (BB dalam kg – 20)
Contoh volume rumatan untuk BB 55kg : 1500 + 20 x (55 – 20) = 2200 ml

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan HB, Ht tiap 24 jam :


 Bila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit <100.000 jumlah
pemberian cairan tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan
trombosit dilakukan tian 12 jam.
 Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan
Ht > 20 %.

17
Gambar 2. 4 pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

3. Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%


Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit
sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebnayal 6-7 ml/kgBB/jam. Pasien kemudian
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda Ht turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi
urin meningkat maka jumlah cairan harus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. 2
jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian
cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam tadi
keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat,
tekanan nadi menurun <20 mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus
menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian
dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan perbaikan maka
jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keaadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi
15ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk
dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol
tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi cairan awal.

18
Gambar 2. 5 penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

4. Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD deawasa


Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan
tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau
hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau
perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam.
Pada keadaan ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan
DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan
jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan
trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
19
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris
didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi.
FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g%. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan
masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID.

5. Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa


Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal
pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh
karena itu penggantian cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan.
Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan
penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan
penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan, penatalaksanaan yang
tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda – tanda renjatan dini,
dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan.
Selain resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit.
Pemeriksaan – pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah
perifer lengkap (DPL), hemostasis, AGD, kadar natrium, kalium dan klorida, serta
ureum dan kereatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan
dievaluasi setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD
sistolik 100mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang
dari 100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit
tidak pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi
7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap stabil pemberian
cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120 menit kemudian keadaan
tetap stabil pemberian caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah
renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup
maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan
plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya

20
hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi edema paru
atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan ( karena
selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid
hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat
pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan
baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan
2ml/kgBB/kam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah
trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perkalanan penyakit.
Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi,
maka pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan
kemudian dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti
perembesan plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan
pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan ( internal
bleeding) maka pada penderita diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan
dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui
sifat-sifat cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan
dengantetesan cepat 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila
keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau kecukupan cairan dilakukan
pemasangan kateter vena sentral dan pemberian koloid dapat ditambah hingga
jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran tekanan
vena sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan
dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia,
anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai
dengan target tetapi renjatan belum teratasi maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor.

21
Gambar 2. 6 tatalaksana syok dengue pada dewasa

22
2.11 KOMPLIKASI
 DHF mengakibatkan pendarahan pada semua organ tubuh, seperti pendarahan
ginjal, otak, jantung, paru paru, limpa dan hati. Sehingga tubuh kehabisan
darah dan cairan serta menyebabkan kematian.
 Ensepalopati.
 Gangguan kesadaran yang disertai kejang.
 Disorientasi, prognosa buruk.
2.12 PENCEGAHAN
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
a. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat
perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
d. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1
Minggu
e. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka
waktu 1 bulan
f. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan
Swing Fog

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhendro, Nainggolan L. Khie Chen. Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Setiati
S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta Interna Publishing: 2014.
2. Hendarwanto. Dengue. In: Noer HMS, Waspadji S. Rachman M, et al. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1996.p.417-26.
3. World health organization (WHO). Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control. Geneva: WHO. 2011
4. Depkes RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2005
5. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and Control
of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines. New Delhi :
WHO.2009
6. Suhendro, Nainggolan L. Khie Chen. Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam: Setiati
S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta Interna Publishing: 2014.
7. Suvatte V. Immunological Aspect of Dangue Haemorrhagic Fever Studies in Thailand.
South East asian J. Trop Med. Pub Haealth, 1987; 1:312-5
8. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New
York:Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006.

18

Anda mungkin juga menyukai