Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

Dengue Syok Syndrome

Disusun Sebagai Bagian dari Persyaratan Menyelesaikan Program Internship Dokter


Indonesia Provinsi Sumatera Barat

Disusun Oleh:

dr. Aufa Ummaimah Epiloksa

Pembimbing:

dr. Riana Yoseferta

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP DOKTER


INDONESIA

DINAS KESEHATAN PROVINSI SUMATERA BARAT

DINAS KESEHATAN KABUPATEN SOLOK SELATAN

RUMAH SAKIT UMUM DAERA SOLOK SELATAN

PERIODE NOVEMBER 2022 - NOVEMBER 2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Dengue Syok Syndrome” dengan baik.

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas program internsip dokter
Indonesia. Disamping itu, laporan kasus ini ditujukan untuk menambah pengetahuan tentang
Dengue Syok Syndrome.

Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Riana
Yoseferta, selaku dokter pendamping kami dan rekan–rekan internsip di RSUD Solok
Selatan.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput
dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik, maupun
saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar–besarnya,
semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi yang bermanfaat bagi kita semua.

Solok Selatan, Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................... ...... i


DAFTAR ISI........................................................................................................ ...... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ ....... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 2
2.1 Definisi. ............................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi................................................................................ ....... 2
2.3 Etiologi dan Transmisi............ ............................................................ 2
2.4 Patofisiologi dan Patogenesis................................................................ 3
2.5 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit.................................................. 7
2.6 Diagnosis .............................................................................................. 7
2.7 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 8
2.8 Diagnosis Banding ............................................................................... 11
2.9 Penatalaksnaan ..................................................................................... 12
2.10 Penyulit ............................................................................................... 15
2.11 Pencegahan ........................................................................................ 16
2.12 Prognosis ............................................................................................ 17
BAB III LAPORAN KASUS..................................................................................... 18

BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................................... 25

BAB V KESIMPULAN................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan utama di 100 negara-negara tropis dan
subtropis di Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. 1 Kira-kira
50 juta kasus baru terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus dengue ini sangat kompleks, yaitu pertumbuhan
penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkontrol, tidak adanya kontrol terhadap
nyamuk yang efektif di daerah endemik, dan peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan
mortalitas infeksi dengue dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain status imunologis
pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, faktor keganasan virus, dan
kondisi geografis setempat.2,3

Prevalensi global DHF mengalami peningkatan yang dramatis dalam dua dekade terakhir. Sekitar 40
% dari penduduk dunia di daerah tropis dan sub tropis beresiko terkena DHF. 1 Penyakit ini kini
menjadi penyakit yang endemik di Indonesia sejak tiga dekade terakhir. Insidennya berfluktuasi setiap
tahun bahkan sampai terjadi wabah DHF di beberapa daerah di Indonesia 4. Sampai saat ini 200 kota
telah melaporkan kejadian luar biasa. Insiden rate meningkat dari 0,005 per 100.000 penduduk pada
tahun 1968 menjadi berkisar 6-27 per 100.000 penduduk pada tahun terakhir ini 3. Jumlah kasus
Dengue Hemorragic Fever ( DHF ) di Indonesia sejak Januari s/d Mei 2004 mencapai 64.000 (IR
29,7 per 100.000 penduduk) dengan kematian sebanyak 724 orang (CFR 1,1 %)5.

DHF dapat menyerang semua golongan umur. Proporsi kasus DHF berdasarkan umur di Indonesia
menunjukkan bahwa DHF paling banyak terjadi pada anak usia sekolah yaitu pada usia 5-14 tahun. 4
DHF masih sulit diberantas karena belum ada vaksin untuk pencegahan dan penatalaksanaannya
hanya bersifat suportif. Keberhasilan penatalaksanaan DHF terletak pada kemampuan mendeteksi
secara dini fase kritis dan penanganan yang cepat dan tepat5.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

DBD (Demam Berdarah Dengue) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
tipe 1-4, dengan manifestasi klinis demam mendadak 2-7 hari disertai gejala perdarahan
dengan atau tanpa syok, disertai pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia
(trombosit kurang dari 100.000) dan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dari nilai
normal1.

2.2 Epidemiologi

Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus dengue secara global. Di
seluruh dunia 50-100 milyar kasus telah dilaporkan. Setiap tahunnya sekitar 500.000 kasus
DBD perlu perawatan di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak – anak usia kurang dari
15 tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5% dan sekitar 25.000 kasus kematian
dilaporkan setiap harinya6.

2.3 Etiologi dan Transmisi

DBD diketahui disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan RNA virus dengan
nukleokapsid ikosahedral dan dibungkus oleh lapisan kapsul lipid. Virus ini termasuk
kedalam kelompok arbovirus B, famili Flaviviridae, genus Flavivirus. Flavivirus merupakan
virus yang berbentuk sferis, berdiameter 45-60 nm, mempunyai RNA positif sense yang
terselubung, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietil eter dan natrium
dioksikolat, stabil pada suhu 70oC4,7. Virus dengue mempunyai 4 serotipe, yaitu DEN 1, DEN
2, DEN 3, DEN 4.3

Manifestasi klinis dengue selain dipengaruhi oleh virus dengue itu sendiri, terdapat 2 faktor
lain yang berperan yaitu faktor host dan vektor perantara. Virus dengue dikatakan menyerang
manusia dan primata yang lebih rendah. Penelitian di Afrika menyebutkan bahwa monyet
dapat terinfeksi virus ini. Transmisi vertikal dari ibu ke anak telah dilaporkan kejadiannya di

2
Bangladesh dan Thailand6. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes aegypti betina,
disamping pula Aedes albopictus betina7. Ciri-ciri nyamuk penyebab penyakit demam
berdarah (nyamuk Aedes aegypti)8:

 Badan kecil, warna hitam dengan bintik-bintik putih


 Hidup di dalam dan di sekitar rumah
 Menggigit/menghisap darah pada siang hari
 Senang hinggap pada pakaian yang bergantungan dalam kamar
 Bersarang dan bertelur di genangan air jernih di dalam dan di sekitar rumah bukan di
got/comberan
 Di dalam rumah: bak mandi, tampayan, vas bunga, tempat minum burung, dan lain-lain.

Gambar 2.2 Aedes aegypti betina 8.

Jika seseorang terinfeksi virus dengue digigit oleh nyamuk Aedes aegypti, maka virus dengue
akan masuk bersama darah yang diisap olehnya. Didalam tubuh nyamuk itu virus dengue
akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar ke seluruh bagian tubuh
nyamuk. Sebagian besar virus akan berada dalam kelenjar air liur nyamuk. Jika nyamuk
tersebut menggigit seseorang maka alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah,
sebelum darah orang itu diisap maka terlebih dahulu dikeluarkan air liurnya agar darah yang
diisapnya tidak membeku2. Bersama dengan air liur inilah virus dengue tersebut ditularkan
kepada orang lain.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis

Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue(DBD) disebabkan oleh virus
yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan

3
klinis. Perbedaan yang utama adalah hemokonsentrasi yang khas pada DBD yang bisa
mengarah pada kondisi renjatan. Renjatan itu disebabkan karena kebocoran plasma yang
diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi. Manifestasi klinis
demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang
di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2
hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan
segera bereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi
APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi
sel T-Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan
mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga
mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali
yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.5

Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya


gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi
manifetasi perdarahan karena terjadi agregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia,
tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.5 Imunopatogenesis DBD dan DSS masih
merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan
perubahan patogenesis pada DBD dan DSS yaitu teori virulensi dan hipotesis infeksi
sekunder (secondary heterologous infection theory).

Teori virulensi dapat dihipotesiskan sebagai berikut : Virus dengue seperti juga virus
binatang yang lain, dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus
mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi
fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk
menimbulkan wabah. Renjatan yang dapat menyebabkan kematian terjadi sebagai akibat
serotipe virus yang paling virulen.2,4

Secara umum hipotesis secondary heterologous infection menjelaskan bahwa jika terdapat
antibodi yang spesifik terhadap jenis virus tertentu maka antibodi tersebut dapat mencegah
penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang
tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat. 6 Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan
kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan berikatan dengan Fc reseptor

4
dari membran sel leukosit terutama makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody
dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi
virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai respon terhadap infeksi tersebut, terjadi
sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.4

Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary


heterologous infection) dapat dilihat pada Gambar 2.3. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh
tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi anamnestik yang akan
terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit
dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG antidengue. Disamping itu, replikasi virus
dengue terjadi juga di dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus
dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi
(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.

Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang
ekstravaskuler. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih
dari 30% dan berlangsung selama 24 – 48 jam. Perembesan plasma yang erat hubungannya
dengan kenaikan permeabilitas dinding pembuluh darah ini terbukti dengan adanya
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura dan asites). Syok yang tidak tertanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakibat fatal, oleh karena itu pengobatan
syok sangat penting guna mencegah kematian.4
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virusAnamnestic antibody response

Kompleks Virus-Antibody Aktivasi Komplemen

Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a) Histamin dalam urin meningkat

Permeabilitas kapiler
meningkat Ht Meningkat
>30% pd kasus
syok 24-48 jam Perembesan Plasma Natrium
Menurun
Hipovolemia
Cairan dalam
rongga serosa
SYOK
Anoksia Asidosis
MENINGGAL

Gambar 2.3 Patogenesis Terjadinya Syok Pada DBD.4

5
Sebagai respon terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi selain mengaktivasi
sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi
melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan mengakibatkan
perdarahan pada DBD. Agrerasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks
antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
diphosphat ), sehingga trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system)
sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulapati konsumtif (KID; koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation
product ) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.

Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi dengan baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hagemen sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
kalikrein sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat
terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia,
penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding
endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.4

Secondary heterologous dengue infection

Replikasi virus Anamnestic antibody respose


Kompleks Virus-Antibody

Agregasi Trombosit Aktivasi KoagulasiAktivasi Komplemen


Pengeluaran
PenghancuranPlatelet faktor III Trombosit Aktivasi Faktor Hageman
oleh RES
Anafilaktosin
Trombositopenia Koagulopati Sistem Kinin
konsumtif
Kinin Peningkatan
Gangguan fungsi Permeabilitas
trombosit Penurunan faktor
Pembekuan kapiler
FDP Meningkat
PERDARAHAN MASIF SYOK

Gambar 2.4 Patogenesis Terjadinya Perdarahan pada DBD.4

6
2.5 Spektrum Klinis dan Derajat Penyakit

Perjalanan infeksi virus di dalam tubuh manusia sangat tergantung dari interaksi antara
kondisi imunologik dan umur seseorang. Oleh karena itu infeksi virus dengue dapat tidak
menunjukan gejala (asimptomatik) ataupun bermanifestasi klinis ringan yaitu demam tanpa
penyebab yang jelas, demam dengue (DD) dan bermanifestasi berat dengan demam berdarah
dengue (DBD) tanpa syok atau sindrom syok dengue (SSD). 1 Namun, untuk alasan praktis,
infeksi dengue yang tidak berat (non-severe dengue) dapat dikelompokkan ke dalam 2
kelompok yaitu pasien dengan warning sign dan tanpa warning sign.

Gambar 2.5 Spektrum Klinis Infeksi Virus Dengue1.

2.6 Diagnosis

Kriteria untuk mendiagnosis dengue (dengan atau tanpa warning sign) dan severe dengue
dapat dilihat pada Gambar 2.6.

7
Gambar 2.6 Klasifikasi Infeksi Dengue5

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis DBD adalah
pemeriksaan darah lengkap, urine, serologi dan isolasi virus. Yang signifikan dilakukan
adalah pemeriksaan darah lengkap, selain itu untuk mendiagnosis DBD secara definitif
dengan isolasi virus, identifikasi virus dan serologis.

Darah Lengkap :

Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit. Peningkatan nilai hematokrit yang selalu dijumpai pada DBD merupakan indikator
terjadinya perembesan plasma, Selain hemokonsentrasi juga didapatkan trombositopenia, dan
leukopenia.5

Isolasi Virus :

Ada beberapa cara isolasi dikembangkan, yaitu :6,7

8
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1-3 hari.
b. Inokulasi pada biakan jaringan mamalia (LLCKMK2) dan nyamuk A. albopictus.
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik / intraserebri pada larva.
Identifikasi Virus :

Adanya pertumbuhan virus dengue dapat diketahui dengan melakukan fluorescence antibody
technique test secara langsung atau tidak langsung dengan menggunakan cunjugate. Untuk
identifikasi virus dipakai flourensecence antibody technique test secara indirek dengan
menggunakan antibodi monoklonal.6,7

Uji Serologi :

1. Uji hemaglutinasi inhibasi ( Haemagglutination Inhibition Test = HI test)6,7


Diantara uji serologis, uji HI adalah uji serologis yang paling sering dipakai dan
digunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam uji HI ini :

a. Uji ini sensitif tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini tidak dapat
menunjukan tipe virus yang menginfeksi
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (48 tahun), maka uji ini baik
digunakan pada studi seroepidemiologi.
c. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali lipat dari titer serum
akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtive positif, atau diduga keras positif
infeksi dengue yang baru terjadi (Recent dengue infection )
2. Uji Komplement Fiksasi ( Complement Fixation test = CF test )6,7
Uji serologi yang jarang digunakan sebagai uji diagnostik secara rutin oleh karena selain
cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerluikan tenaga periksa yang sudah
berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen fiksasi hanya bertahan
sampai beberapa tahun saja ( 2 – 3 tahun )
3. Uji neutralisasi ( Neutralisasi Tes = NT test )6,7
Merupakan uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus dengue. Biasanya uji
neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction Neutralization Test ( PRNT )
yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Saat antibodi neutralisasi
dideteksi dalam serum hampir bersamaan dengan HI antibodi komplemen tetapi lebih
cepat dari antibodi fiksasi dan bertahan lama (48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga tidak dipakai secara rutin.

9
4. IgM Elisa ( IgM Captured Elisa = Mac Elisa)8
Pada tahun terakhir ini, mac elisa merupakan uji serologi yang banyak sekali dipakai.
Sesuai namanya test ini akan mengetahui kandungan IgM dalam serum pasien. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam uji mac elisa adalah :
a. Pada perjalanan penyakit hari 4 – 5 virus dengue, akan timbul IgM yang diikuti oleh
IgG.
b. Dengan mendeteksi IgM pada serum pasien, secara cepat dapat ditentukan diagnosis
yang tepat.
c. Ada kalanya hasil uji terhadap masih negatif, dalam hal ini perlu diulang.
d. Apabila hari ke 6 IgM masih negatif, maka dilaporkan sebagai negatif.
e. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2 – 3 bulan setelah adanya infeksi. Untuk
memeperjelas hasil uji IgM dapat juga dilakukan uji terhadap IgG. Untuk itu uji IgM
tidak boleh dipakai sebagai satu – satunya uji diagnostik untuk pengelolaan kasus.
f. Uji mac elisa mempunyai sensitifitas sedikit dibawah uji HI, dengan kelebihan uji
mac elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama
dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Pada saat ini juga telah beredar uji IgG elisa yang sebanding dengan uji HI , hanya sedikit
lebih spesifik. Beberapa merek dagang kita uji untuk infeksi dengue IgM / IgG dengue
blot, dengue rapid IgM, IgM elisa, IgG elisa, yang telah beredar di pasaran. Pada dasarnya,
hasil uji serologi dibaca dengan melihat kenaikan titer antibodi fase konvalesen terhadap
titer antibodi fase akut (naik empat kali kelipatan atau lebih).8

Metode Diagnosis Baru (RTPCR) :

Akhir-akhir ini dengan berkembangnya ilmu biologi molekular, diagnosis infeksi virus
dengue dapat dilakukan dengan suatu uji yang disebut Reverse Transcriptase Polymerase
Chai Reaction (RTPCR).9,10 Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan
spesifik terhadap serotipe tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara
ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh
manusia , dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus, PCR tidak
begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik (misalnya dalam
penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah juga tidak mempengaruhi
hasil dari PCR.9,10

10
2.7.2 Pemeriksaan Radiologi

Kelainan yang bisa didapatkan antara lain 3:

1. Dilatasi pembuluh darah paru


2. Efusi pleura
3. Kardiomegali atau efusi perikard
4. Hepatomegali
5. Cairan dalam rongga peritoneum
6. Penebalan dinding vesika felea

2.8 Diagnosis Banding

a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus, atau
penyakit protozoa seperti demam tifoid, campak, influenza, hepatitis chikungunya,
malaria. Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan
antara DBD dengan penyakit lain.
b. DBD harus dibedakan pada deman chikungunya (DC). Pada DC biasanya seluruh anggota
keluarga dapat terserang dan penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan
dengan DBD, DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih
pendek, suhu tubuh tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi kojungtiva
dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet positif, petekie dan
epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak ditemukan perdarahan
gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa penyakit infeksi,
misalnya sepsis, meningitis meningkokus. Pada sepsis, anak sejak semula kelihatan sakit
berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat
leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri pada hitung jenis).
Pemeriksaan laju endap darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi
bakteri dengan virus. Pada meningitis meningkokokus jelas terdapat rangsangan
meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD derajat II, oleh
karena didapatkan demam disertai perdarahan di bawah kulit. Pada hari-hari pertama,
diagnosis ITP sulit dibedakan dendgan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat

11
menghilang, tidak dijumpai hemokonsentrasi, dan pada fase penyembuhan DBD jumlah
trombosit lebih cepat kembali normal daripada ITP.
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam
tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi
dan sumsum tulang akan memperjelas diagnosis leukemia. Pada anemia aplastik anak
sangat anemik, demam timbul karena infeksi sekunder3.

2.9 Penatalaksanaan

Berdasarkan panduan WHO 2009, pasien dengan infeksi dengue dikelompokkan ke dalam 3
kelompok yaitu Grup A, B, dan C.5 Pasien yang termasuk Grup A dapat menjalani rawat
jalan. Sedangkan pasien yang termasuk Grup B atau C harus menjalani perawatan di rumah
sakit. Sampai saat ini belum tersedia terapi antiviral untuk infeksi dengue. Prinsip terapi
bersifat simptomatis dan suportif.

2.9.1 Grup A

Yang termasuk Grup A adalah pasien yang tanpa disertai warning signs dan mampu
mempertahankan asupan oral cairan yang adekuat dan memproduksi urine minimal sekali
dalam 6 jam. Sebelum diputuskan rawat jalan, pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan.
Pasien dengan hematokrit yang stabil dapat dipulangkan. Terapi di rumah untuk pasien Grup
A meliputi edukasi mengenai istirahat atau tirah baring dan asupan cairan oral yang cukup,
serta pemberian parasetamol. Pasien beserta keluarganya harus diberikan KIE tentang
warning signs secara jelas dan diberikan instruksi agar secepatnya kembali ke rumah sakit
jika timbul warning signs selama perawatan di rumah.5

2.9.2 Grup B

Yang termasuk Grup B meliputi pasien dengan warning signs dan pasien dengan kondisi
penyerta khusus (co-existing conditions). Pasien dengan kondisi penyerta khusus seperti
kehamilan, bayi, usia tua, diabetes mellitus, gagal ginjal atau dengan indikasi sosial seperti
tempat tinggal yang jauh dari RS atau tinggal sendiri harus dirawat di rumah sakit. Jika
pasien tidak mampu mentoleransi asupan cairan secara oral dalam jumlah yang cukup, terapi
cairan intravena dapat dimulai dengan memberikan larutan NaCl 0,9% atau Ringer’s Lactate

12
dengan kecepatan tetes maintenance. Monitoring meliputi pola suhu, balans cairan (cairan
masuk dan cairan keluar), produksi urine, dan warning signs.5

Tatalaksana pasien infeksi dengue dengan warning signs adalah sebagai berikut:

 Mulai dengan pemberian larutan isotonic (NS atau RL) 5-7 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian kurangi kecepatan tetes menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan
kemudian kurangi lagi menjadi 2-3 ml/kg/jam sesuai respons klinis.
 Nilai kembali status klinis dan evaluasi nilai hematokrit. Jika hematokrit stabil atau
hanya meningkat sedikit, lanjutkan terapi cairan dengan kecepatan 2-3 ml/kg/jam
selama 2-4 jam.
 Jika terjadi perburukan tanda vital dan peningkatan cepat nilai HCT, tingkatkan
kecepatan tetes menjdai 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam
 Nilai kembali status klinis, evaluasi nilai hematokrit dan evaluasi kecepatan tetes
infuse. Kurangi kecepatan tetes secara gradual ketika mendekati akhir fase kritis yang
diindikasikan oleh adanya produksi urine dan asupan cairan yang adekuat dan nilai
hematokrit di bawah nilai baseline.
 Monitor tanda vital dan perfusi perifer (setiap 1-4 jam sampai pasien melewati fase
kritis), produksi urine, hematokrit (sebelum dan sesudah terapi pengganti cairan,
kemudian setiap 6-12 jam), gula darah, dan fungsi organ lainnya (profil ginjal, hati,
dan fungsi koagulasi sesuai indikasi).

2.9.3 Grup C

Yang termasuk Grup C adalah pasien dengan kebocoran plasma (plasma leakage) berat yang
menimbulkan syok dan/atau akumulasi cairan abnormal dengan distres nafas, perdarahan
berat, atau gangguan fungsi organ berat. Terapi terbagi menjadi terapi syok terkompensasi
(compensated shock) dan terapi syok hipotensif (hypotensive shock).5

Terapi cairan pada pasien dengan syok terkompensasi meliputi:

 Mulai resusitasi dengan larutan kristaloid isotonik 5-10 ml/kg/jam selama 1 jam. Nilai
kembali kondisi pasien, jika terdapat perbaikan, turunkan kecepatan tetes secara
gradual menjadi 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kg/jam selama 2-4
jam, kemudian 2-3 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan selanjutnya sesuai status
hemodinamik pasien. Terapi cairan intravena dipertahankan selama 24-48 jam.

13
 Jika pasien masih tidak stabil, cek nilai hematokrit setelah bolus cairan pertama. Jika
nilai hematorit meningkat atau masih tinggi (>50%), ulangi bolus cairan kedua atau
larutan kristaloid 10-20 ml/kg/jam selama 1 jam. Jika membaik dengan bolus kedua,
kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam dan lanjutkan
pengurangan kecepatan tetes secara gradual seperti dijelaskan pada poin sebelumnya.
 Jika nilai hematokrit menurun, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan
memerlukan transfusi darah (PRC atau whole blood).

Terapi cairan pada pasien dengan syok hipotensif meliputi:

 Mulai dengan larutan kristaloid isotonik intravena 20 ml/kg/jam sebagai bolus


diberikan dalam 15 menit.
 Jika terdapat perbaikan, berikan cairan kristaloid atau koloid 10 ml/kg/jam selama 1
jam, kemudian turunkan kecepatan tetes secara gradual.
 Jika tidak terdapat perbaikan atau pasien masih tidak stabil, evaluasi nilai hematokrit
sebelum bolus cairan. Jika hematokrit rendah (<40%), hal ini menandakan adanya
perdarahan, siapkan cross-match dan transfusi. Jika hematokrit tinggi dibandingkan
nilai basal, ganti cairan dengan cairan koloid 10-20 ml/kg/jam sebagai bolus kedua
selama 30 menit sampai 1 jam, nilai ulang setelah bolus kedua.
 Jika terdapat perbaikan, kurangi kecepatan tetes menjadi 7-10 ml/kg/jam selama 1-2
jam, kemudian kembali ke cairan kristaloid dan kurangi kecepatan tetes seperti poin
penjelasan sebelumnya.
 Jika pasien masih tidak stabil, evaluasi ulang nilai hematokrit setelah bolus cairan
kedua. Jika nilai hematokrit menurun, hal ini menandakan adanya perdarahan. Jika
hematokrit tetap tinggi atau bahkan meningkat (>50%), lanjutkan infus koloid 10-20
ml/kg/jam sebagai bolus ketiga selama 1 jam, kemudian kurangi menjadi 7-10
ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian ganti dengan cairan kristaloid dan kurangi
kecepatan tetes.
 Jika terdapat perdarahan, berikan 5-10 ml/kg/jam transfusi PRC segar atau 10-20
ml/kg/jam whole blood segar.

Kriteria memulangkan pasien


Pasien dapat dipulangkan apabila :

- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

14
- Nafsu makan membaik
- Secara klinis tampak perbaikan
- Hematokrit stabil
- Tiga hari setelah syok teratasi
- Jumlah trombosit > 50.000/µl
- Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)1.

2.10 Penyulit

Ensefalopati Dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik
seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab ensefalopati.
Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, kemungkinan dapat juga disebabkan oleh
trombosis pembuluh darah otak sementara sebagai akibat dari koagulasi intravaskuler yang
menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan
juga bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut3.

Pada ensefalopati dengue, kesadaran pasien menurun menjadi apatis atau somnolen, dapat
disertai atau tidak kejang dan dapat terjadi pada DBD / SSD. Apabila pada pasien syok
dijumpai penurunan kesadaran, maka untuk memastikan adanya ensefalopati, syok harus
diatasi terlebih dahulu. Apabila syok telah teratasi maka perlu dinilai kembali kesadarannya.
Pungsi lumbal dikerjakan bila kesadarannya telah teratasi dan kesadaran tetap menurun (hati-
hati bila jumlah trombosit <50.000/μl). Pada ensefalopati dengue dijumpai peningkatan kadar
transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang, kadar gula darah menurun, alkalosis
pada analisa gas darah, dan hiponatremia (Bila mungkin periksa kadar amoniak darah)3.

Kelainan Ginjal

Gagal ginjal akut umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang tidak
teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk
mencegah gagal ginjal, maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume
intravaskuler, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk mengetahui apakah syok
telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / Kg BB per jam. Oleh karena bila syok belum

15
teratasi dengan baik sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang.
Pada keadaan syok berat sering kali dijimpai akut tubular nekrosis ditandai penurunan jumlah
urine dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin3.

Oedema Paru

Merupakan komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan yang
berlebihan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sakit sesuai dengan panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan oedema paru karena perembesan plasma
masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler, apabila
cairan yang diberikan berlebih (Kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan hemoglobin
dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distres pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata dan ditunjang dengan gambaran oedema paru pada foto
rontgen3.

2.11 Pencegahan
Demam berdarah dapat dicegah dengan memberantas jentik-jentik nyamuk Demam Berdarah
(Aedes aegypti) dengan cara melakukan PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk) Upaya ini
merupakan cara yang terbaik, ampuh, murah, mudah dan dapat dilakukan oleh masyarakat,
dengan cara sebagai berikut5:

1. Bersihkan (kuras) tempat penyimpanan air (seperti : bak mandi / WC, drum, dan lain-
lain) sekurang-kurangnya seminggu sekali. Gantilah air di vas kembang, tempat
minum burung, perangkap semut dan lain-lain sekurang-kurangnya seminggu sekali
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air, seperti tampayan, drum, dan lain-lain
agar nyamuk tidak dapat masuk dan berkembang biak di tempat itu
3. Kubur atau buanglah pada tempatnya barang-barang bekas, seperti kaleng bekas, ban
bekas, botol-botol pecah, dan lain-lain yang dapat menampung air hujan, agar tidak
menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Potongan bamboo, tempurung kelapa, dan
lain-lain agar dibakar bersama sampah lainnya
4. Tutuplah lubang-lubang pagar pada pagar bambu dengan tanah atau adukan semen
5. Lipatlah pakaian/kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak hinggap disitu
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk ABATE
ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini
setiap 2-3 bulan sekali

16
Takaran penggunaan bubuk ABATE adalah sebagai berikut: Untuk 10 liter air cukup dengan
1 gram bubuk ABATE. Untuk menakar ABATE digunakan sendok makan. Satu sendok
makan peres berisi 10 gram ABATE. Setelah dibubuhkan ABATE maka8:

1. Selama 3 bulan bubuk ABATE dalam air tersebut mampu membunuh jentik Aedes
aegypti
2. Selama 3 bulan bila tempat penampungan air tersebut akan dibersihkan/diganti airnya,
hendaknya jangan menyikat bagian dalam dinding tempat penampungan air tersebut
3. Air yang telah dibubuhi ABATE dengan takaran yang benar, tidak membahayakan
dan tetap aman bila air tersebut diminum

2.12 Prognosis

Prognosis DHF ditentukan oleh derajat penyakit, cepat tidaknya penanganan diberikan, umur,
dan keadaan nutrisi. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV
bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok
yang tidak terkontrol sekitar 40-50 % tetapi dengan terapi penggantian cairan yang baik bisa
menjadi 1-2 %. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta
memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit DHF pada orang dewasa
umumnya lebih ringan daripada anak-anak. Pada kasus- kasus DHF yang disertai komplikasi
sepeti DIC dan ensefalopati prognosisnya buruk3.

17
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Identitas Pasien
Nama : Anak MGP
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Talunan
Umur : 6 tahun
Agama : Islam
Suku bangsa : Minang
Tanggal Rawat : 7 Maret 2023

A. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dan autoanamnesis dengan Ibu pasien dan
pasien sendiri pada tanggal 7 Maret 2023.

Keluhan Utama
Demam

Riwayat Perjalanan Penyakit


Empat hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien mengalami demam. Demam
dirasakan timbul mendadak dan terus menerus. Demam terkadang disertai menggigil.
Pasien berkeringat ketika demam dan setelah demam namun tidak sampai membasahi
baju. Menurut Ibu pasien demam yang dialami pasien cukup tinggi, namun suhunya
tidak diukur. Keluhan demam disertai dengan rasa pegal-pegal pada tungkai dan sakit
kepala. Riwayat batuk dan pilek disangkal. Sudah minum obat penurun panas
sebelumnya dan demam turun namun kemudian demam timbul lagi.
Karena keluhan demamnya pasien kemudian di bawa ke Instalasi Gawat Darurat
RSUD Sol - Sel oleh keluarganya dan oleh dokter jaga IGD pasien disarankan untuk
rawat inap.

18
Riwayat Kehamilan Ibu
Pasien dikandung cukup bulan dan ibunya sering memeriksakan diri ke bidan selama
masa kehamilan. Ibunya tidak pernah mengalami kelainan selama masa kehamilan.

Riwayat Kelahiran
Pasien lahir spontan, cukup bulan, langsung menangis, tidak terdapat badan biru
maupun kuning saat lahir. Berat badan lahir sekitar 3400 gram dengan panjang badan
Ibu tidak ingat.

Riwayat Makanan
Pasien mendapat ASI ekslusif sampai usia 6 bulan. Saat ini pasien makan tiga kali
sehari. Pasien makan nasi dengan berbagai lauk setiap harinya, namun pasien tidak
suka makan sayur-sayuran. Pasien terkadang minum susu instan tetapi tidak rutin.

Riwayat tumbuh Kembang


Pasien tumbuh seperti anak seusianya, termasuk aktif bermain. Saat ini pasien berusia
11 tahun dan telah masuk kelas 5 SD, dan mendapat peringkat 4 di kelasnya.

Riwayat Imunisasi
Imunisasi wajib pasien lengkap

B. PEMERIKSAAN FISIK
Pada tanggal 7 Maret 2023:

Tanda Vital :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang, gelisah
Kesadaran : Compos mentis

19
Tekanan darah : 96/78 mmHg
Frekuensi nadi : 120x/menit, regular, teraba kuat angkat
Frekuensi nafas : 28x/menit, kedalaman cukup, napas cuping hidung (-), retraksi (-)
Suhu tubuh : 39oC

Status Antropometri :
Berat badan : 18 kg
Tinggi badan : 112 cm

Status Generals dan Lokalis :


Kulit : Petekie (+), turgor baik
Kepala : Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tak mudah dicabut.
Wajah : Ekspresi baik, bentuk simetris
Mata : Pupil bulat isokor diameter 3 mm/3 mm, RCL +/+, RCTL +/+, conjunctiva
anemis
-/- sklera ikterik -/-
Telinga : Normotia, serumen -/-, sekret -/-
Hidung : Deviasi septum -/-, mucosa hiperemis -/-, secret -/-
Mulut : Lidah kotor (-), tonsil dan faring tidak hiperemis, mukosa bibir kering, sianosis
perioral (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjar thyroid tak teraba membesar.
Cor : Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : dalam batas normal, tidak terdapat pembesaran jantung
Auskultasi : S1 S2 reguler, murmur (-) gallop (-)

20
Pulmo : Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis & dinamis, tidak ada
bagian paru yang tertinggal, penggunaan otot bantu napas (-),
retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus sama di kedua hemithorax
Perkusi : Sonor di kedua hemithorax
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen: Inspeksi : penonjolan massa (-), abdomen lebih tinggi dari dinding dada
Palpasi : lemas, hepar teraba 2 cm bawah arcus costae dan 5 cm bawah
processuss xiphoideus, tepi tajam, permukaan rata, konsistensi
kenyal, nyeri tekan (+), nyeri tekan epigastrium (+),lien tidak
teraba,
Perkusi : Timpani, regio kuadran kanan atas pekak, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Extremitas :Akral hangat, petechiae (+), perfusi perifer cukup, CRT 2 dtk, oedema (-)
Rumple leede test (+)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Darah Rutin
 07/03/2023
- Leukosit 2.800 / µ L
- Trombosit 100.000 / µL
- Hb 12,5 g/dL
- Ht 35%
D. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Demam Berdarah Dengue derajat II
Diagnosis banding : Malaria
Rencana diagnostik
Pemeriksaan darah perifer lengkap setiap hari.
Monitor tanda vital setiap 30 menit
Pemeriksaan Malaria Kuantitatif (Hapus darah tebal dan tipis)
E. Tatalaksana
Medikamentosa
- IVFD KaEN 1B 20 tetes/menit
21
- Paracetamol 3x180 mg
Non medikamentosa
- Bedrest (tirah baring)
- Minum air yang banyak
- Mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M,
yaitu menutup, menguras, mengubur barang-barang yang dapat menampung air.
Menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk
- Menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun kuantitasnya.

F. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Ad bonam
Quo Ad functionam : Ad bonam
Quo Ad sanactionam : Ad bonam

CATATAN KEMAJUAN

Rabu, 08/03/23
S : Perut terasa sakit, demam (+), nafsu makan kurang, Belum BAB (-),
kaki dan tangan masih terasa dingin
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 85/p mmHg, HR : 140x/menit, RR : 22x/menit, suhu 37o C
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar teraba 2 jari,
konsistensi kenyal, permukaan rata, tepi tajam, NT (+), NT
epigastrium (+).
Ekstrimitas : akral dingin, perfusi baik, CRT 2 detik, Petekie (-).

Pemeriksaaan laboratorium
Leukosit 3.300 /µ L, Trombosit 59.000 /µL, Hb 16,6 g/dL, Ht 46 %
Kesan : Peningkatan Hb,Ht, trombositopenia, leukositosis

A : Dengue Shock Syndrome H-5

22
P :- O2 nasal kanul 2 liter per menit
- Loading RL 350 cc selanjutnya IVFD RL 54cc/jam
- Paracetamol 3x180 mg
- Cek TTV / 3jam
Kamis, 09/03/23
S : demam berkurang, nyeri sendi berkurang, perdarahan spontan (-),
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 90/60 mmHg, HR : 120x/menit, RR : 20x/menit, suhu 36,5o C
Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar tidak teraba,
NT (+), NT epigastrium (+).
Ekstrimitas : akral hangat, CRT 2 detik, Petekie (-).

Pemeriksaaan laboratorium
Leukosit 6.110 /µ L, Trombosit 35.000 /µL, Hb 16 g/dL, Ht 44 %
Kesan : trombositopenia

A : Dengue Shock Syndrome (syok teratasi)

P :- IVFD RL 54cc/jam maintanance 7 tetes/menit


- Paracetamol 3x180 mg
- Ranitidine 2x20mg
- Cek TTV / 3jam
Jumat, 10/03/23
S : demam berkurang, nyeri sendi berkurang, perdarahan spontan (-),
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 100/80 mmHg, HR : 102x/menit, RR : 20x/menit, suhu 36,5o
C Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
23
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar tidak teraba,
NT (+), NT epigastrium (+).
Ekstrimitas : akral hangat, CRT 2 detik, Petekie (-).

Pemeriksaaan laboratorium
Leukosit 7.970 /µ L, Trombosit 35.000 /µL, Hb 13 g/dL, Ht 36 %
Kesan : trombositopenia

A : Dengue Shock Syndrome (syok teratasi)

P :- IVFD RL 54cc/jam maintanance 7 tetes/menit


- Paracetamol 3x180 mg
- Ranitidine 2x20mg
- Cek TTV / 3jam
Sabtu, 11/03/23
S : demam(-), nyeri sendi berkurang, perdarahan spontan (-),
O : Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 120/80 mmHg, HR : 100x/menit, RR : 20x/menit, suhu 36,5o
C Mata: Pupil isokor, bulat, Ø : 3 mm/3 mm, RCL/RCTL : +/+,
Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Jantung : Si S2 reguler, irama teratur, bising (-)
Paru : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : distensi(-), Bising usus (+) normal, Hepar tidak teraba,
NT (+), NT epigastrium (+).
Ekstrimitas : akral hangat, CRT 2 detik, Petekie (-).

Pemeriksaaan laboratorium
Leukosit 5.050 /µ L, Trombosit 39.000 /µL, Hb 12,2 g/dL, Ht 34 %
Kesan : trombositopenia

A : Dengue Shock Syndrome (syok teratasi)

P :- IVFD RL 54cc/jam maintanance 7 tetes/menit


- Paracetamol 3x180 mg
- Ranitidine 2x20mg
24
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis demam berdarah dengue derajat II ditegakkan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien ini.
Penegakan diagnosis DBD pada pasien ini berdasarkan adanya lebih dari dua kriteria,
yang memenuhi kriteria klinis dari WHO yakni demam tinggi mendadak tanpa sebab
yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari, pembesaran hati, terdapat
manifestasi perdarahan berupa uji tourniquet positif serta dari pemeriksaan fisik
didapatkan tekanan darah 96/78 mmHg, nadi 120x/menit teraba kuat angkat,
frekuensi nafas 28 x/menit.
Dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil
leukosit yang berada dalam batas normal, nilai hemoglobin dan hematokrit yang
cenderung meningkat serta didapatkan trombositopenia yaitu sebesar 100.000/mm3.
Hal ini merupakan salah satu dari kriteria laboratories DBD. Hemoglobin dan
hematokrit yang meningkat menunjukkan adanya hemokonsentrasi. Peningkatan
kadar hematokrit merupakan bukti adanya kebocoran plasma. Hal ini memperkuat
diagnosis demam berdarah dengue. Selain itu pada pasien ini juga didapatkan tanda-
tanda kegagalan sirkulasi seperti nadi yang lemah, perfusi perifer yang menurun dan
akral yang dingin dan lembab. Hal ini menunjukkan bahwa pasien ini mengalami
DBD derajat II.
Hal ini sesuai dengan literatur yang mengatakan bahwa pada sindrom syok
dengue, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum pasien
dapat tiba-tiba memburuk, yang biasannya terjadi pada saat atau setelah demam
menurun, yakni antara hari sakit ke 3 – 7. Pada sebagian besar kasus ditemukan
tanda-tanda kegagalan sirkulasi, kulit teraba lembab dan dingin, serta nadi menjadi
cepat dan halus. Pasien seringkali akan mengeluh nyeri di daerah perut sesaat
sebelum syok. Pada pemeriksaan laboratorium biasanya akan ditemukan adanya
hemokonsentrasi (peningkatan kadar hematokrit ≥20%) dan trombositopenia

25
(trombosit < 100.000/mm3). Terjadinya peningkatan kadar Hb merupakan bukti
terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia sedang sampai berat yuang disertai
dengan hemokonsentrasi adalah temuan laboratorium yang khusus untuk DBD.
Patofisiologi yang menunjukkan derajat keparahan DBD dan membedakannya dari
Demam Dengue adalah keluarnya plasma yang bermanifestasi sebagai peningkatan
hematokrit (hemokonsentrasi), efusi serosa, atau hipoproteinemia.

Gambar 1. Pola demam pada DBD yang menyerupai Pelana kuda

Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnostik klinik
pada penderita DSS menurut Wong adalah sebagai berikut.
1. Clouding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun.
3. Nyeri perut.
4. Tanda-tanda perdarahan diluar kulit, dalam hal ini seperti epistaksis,
hematemesis, melena, hematuri dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat.
6. Adanya efusi pleura pada toraks foto.
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG

26
Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya
perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma
dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian. Deteksi dini terhadap adanya
perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya
syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase
febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga
sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan
kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan
pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit.
Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci
keberhasilan pengobatan.
Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda
syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain,
perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan
umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong.
Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter
untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase
kritis, fase syok) dengan baik.
Terapi yang diberikan pada pasien ini meliputi terapi suportif dan simtomatik.
Terapi suportif yang diberikan adalah pemberian O2 melalui nasal kanul 2 liter
permenit. Pemberian oksigen harus selalu dilakukan pada semua pasien syok.
Saturasi oksigen pada pasien harus dipertahankan > 92%, oleh karena itu untuk
pemantauan diperlukan pemasangan pulse oximetry untuk mengetahui saturasi
oksigen dalam darah.
Selain itu juga dilakukan pemasangan infus cairan intravena berupa ringer laktat
(RL) 350 mL dalam 30 menit pertama .Ringer laktat adalah salah satu larutan
kristaloid yang direkomendasikan WHO pada terapi DBD. Pengobatan awal cairan
intravena pada keadaan syok adalah dengan larutan kristaloid 20 ml/kg berat badan
dalam 30 menit. Pada pasien ini berat badannya adalah 18 kg sehingga didapatkan
jumlah cairan yang diberikan adalah 360 ml dalam 30 menit. Apabila syok belum
teratasi dan atau keadaan klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal,
cairan diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kgBB/jam, dengan
jumlah maksimal 30 ml/kgBB/jam. Segera setelah terjadi perbaikan, segera cairan
27
ditukar kembali dengan kristaloid dengan tetesan 20 ml/kgBB. Pada pasien kondisi
membaik setelah dilakukan pemberian cairan awal sehingga jumlah cairan yang
diberikan dikurangi menjadi 420 ml dalam 1 jam (10 ml/kgBB/jam). Jika kondisi
tetap stabil dan membaik maka cairan diturunkan menjadi 210 ml/jam (5
ml/kgBB/jam) atau Jika dalam 24 jam kondisi membaik dan stabil maka cairan
diturunkan lagi menjadi 126 ml/jam (3 ml/kgBB/jam) atau 42 tpm makro dan dalam
48 jam setelah syok teratasi pemberian terapi cairan dapat dihentikan.
Oleh karena perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma terjadi
lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan pengganti harus disesuaikan
dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan
kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah
plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika
memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali
ke dalam intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi, akan
menyebabkan edema paru dan distres pernafasan.
Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan parasetamol untuk
mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 180 mg PO (apabila suhu > 38 C).
Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati maka juga
diberikan ranitidine dengan dosis 20 mg untuk sekali pemberian yang diberikan 2 kali
sehari.
Selain medikamentosa tidak lupa juga diberikan terapi non medikamentosa,
yaitu minum air yang banyak, mengedukasi keluarga pasien untuk melakukan
kegiatan pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras, mengubur barang-barang
yang dapat menampung air; menganjurkan agar pasien memakai repellan untuk
mencegah gigitan nyamuk, khususnya saat berada di lingkungan sekolah; dan
menjaga asupan nutrisi yang seimbang, baik kualitas, maupun kuantitasnya.
Pasien dapat dipulangkan apabila sudah tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis, hematokrit stabil,
tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit > 50.000/mm3 dan cenderung
meningkat, serta tidak dijumpai adanya distress pernafasan.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah bonam karena penyakit pada
pasien saat ini tidak mengancam nyawa. Untuk quo ad functionam bonam, karena
organ-organ vital pasien masih berfungsi dengan baik dan tidak terdapat adanya
manisfestasi perdarahan. Untuk quo ad sanactionam bonam karena kekambuhan pada
28
DBD hanya dapat terjadi jika terdapat reinfeksi oleh virus dengue.
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dirawat pasien an. MGP, 6 tahun masuk dengan keluhan utama demam 4
hari SMRS dan didiagnosis sebagai dengue shock syndrome berdasarkan kriteria
klinis dan laboratories dari WHO.
Tatalaksana pada pasien ini berupa suportif dan simptomatik yang berupa
pemberian terapi cairan yang disesuaikan dengan bagan pemberian terapi cairan pada
DSS (sesuai dengan literatur). Sebagai terapi simptomatik pada pasien ini diberikan
parasetamol untuk mengatasi demam dengan dosis sebanyak 3 x 180 mg PO (apabila
suhu > 38 C). Karena pasien ini mengeluhkan adanya nyeri perut terutama di ulu hati
maka juga diberikan ranitidine dengan dosis 20 mg untuk sekali pemberian yang
diberikan 2 kali sehari.
Pasien pulang dalam kondisi kesehatan yang membaik. Dengan demikian
penegakan diagnosis dan tatalaksana kasus pada pasien ini telah sesuai dengan
tinjauan literature mengenai penanganan pada dengue shock syndrome.
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara
paling memadai saat ini. Maka, diberikan penjelasan dan mengedukasi keluarga
pasien untuk melakukan kegiatan pencegahan DBD dengan 3M menutup, menguras,
mengubur barang-barang yang dapat menampung air; menganjurkan agar pasien
memakai repellan untuk mencegah gigitan nyamuk.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, Regional Office for South East Asia (2011). Comprehensive Guidelines for
Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever: Revised and
expanded edition. SEARO Technical Publication Series No. 60. India
2. Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas
Kedokteran UI : Media Aescullapius. Jakarta.
3. Hadinegoro, S.Sri Rezeki, Pitfalls and Pearls.(2004). Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72
4. Hadinegoro, S.Sri Rezeki (2011). Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Terbitan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Edisi Ketiga.
Jakarta.
5. World Health Organization. DENGUE Guidelines for diagnosis, treatment,
prevention and control. New Edition 2009.
6. Buchy P, Yoksan S, Peeling RW, Hunsperger E. Laboratory Tests for The Diagnosis
of Dengue Virus Infection. J Clin Microbiol 2006;40:376-81.
7. Guzman MG, Kouri G. Dengue diagnosis, advances and challenges. Int J Infect Dis
2007;8:69-80.
8. Shu PY. Comparison of a capture immunoglobulin M (IgM) and IgG ELISA and
non- structural protein NS1 serotype-specific IgG ELISA for differentiation of
primary and secondary dengue virus infections. Clin Diagn Lab Immunol
2006;10:622-30.
9. Chien LJ. Development of a real time reverse transcriptase PCR assays to detect and
serotype dengue viruses. J Clin Microbiol 2008;44:1295-04.
10. Lanciotti RS. Rapid detection and typing of dengue viruses from clinical
samples by using reverse transcriptase-polymerase chain reaction. J Clin Microbiol
2008;30:545-51.

30
31
32
33
34
35
36

Anda mungkin juga menyukai