OLEH:
Muhamad Darmoan 018.06.0053
PEMBIMBING
dr. Anak Agung Made Sudiarta, Sp. A
2024
KATA PENGANTAR
Puja dan Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
segala limpahan nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul Demam Dengue Pada Anak .
Dalam penyusunan laporan ini, saya banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, masukan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini, saya menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dosen yang telah memberi arahan dan penjelasan
tentang tata cara penulisan laporan ini.
Saya menyadari, penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram yang sedang
menjalani kepanitraan klinik di RSUD Klungkung.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................
BAB II................................................................................................................................
LAPORAN KASUS..........................................................................................................
2.1 Identitas Pasien...........................................................................................................
2.2 Anamnesis....................................................................................................................
2.3 Pemeriksaan Fisik.....................................................................................................
2.4 Diagnosa Banding.....................................................................................................
2.5 Usulan pemeriksaan Penunjang..............................................................................
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................
2.7 Diagnosis Kerja.........................................................................................................
2.8 Penatalaksanaan.......................................................................................................
2.7 Edukasi......................................................................................................................
1.8 Prognosis....................................................................................................................
2.9 Follow Up Pasien......................................................................................................
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................
3.1 Definisi.......................................................................................................................
3.2 Epideminologi...........................................................................................................
3.3 Etiologi.......................................................................................................................
5.4 Faktor Resiko............................................................................................................
3.5 Klasifikasi..................................................................................................................
3.6 Patofisiologi...............................................................................................................
3.7 Manifestasi Klinis.....................................................................................................
3.8 Pemeriksaan Penunjang..........................................................................................
3.9 Tatalaksana..............................................................................................................
3.10 Komplikasi..............................................................................................................
3.11 Prognosis..................................................................................................................
BAB IV PEMBAHASAN..............................................................................................
3
BAB V KESIMPULAN..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................
4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Demam Dengue (DD) atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah
Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan masalah
kesehatan yang menjadi salah satu fokus perhatian di Indonesia dan sampai saai ini
masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dan menimbulkan dampak
sosial maupun ekonomi (Kemenkes RI, 2018).
World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5 milyar
penduduk 1077 berisiko menderita infeksi virus dengue. Dilaporkan setiap
tahunnya terdapat 100 juta kasus demam dengue dan 0.5 juta kasus demam
berdarah dengue (DBD) terjadi di seluruh dunia, dimana 90% terjadi pada anak-
anak dibawah usia 15 tahun (WHO, 2011; Gwee et al, 2021).
Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia terutama di
wilayah tropis dan subtropis termasuk Indonesia sebagai salah satu negara endemis
dengue. Bahkan pada dekade terakhir, dengue bukan lagi merupakan penyakit
dengan siklus sepuluh atau lima tahunan, mengingat kejadian kasus dan kematian
akibat dengue yang tinggi dapat terjadi setiap tahun sebagai dampak perubahan
iklim.
TIdak sedikit kasus DBD yang dilaporkan oleh 34 provinsi dan 514
kabupaten di Indonesia. Manusia merupakan host alami DBD, agentnya adalah
virus dengue yang masuk ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti.
Sela tahun 2019-2021, Provinsi Bali selalu masuk 3 besar provinsi dengan IR
tertinggi dan melebihi angka IR(Insiden Rate) nasional.
Salah satu faktor risiko penularan demam dengue adalah pertumbuhan
penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana
dan prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkinkan terjadinya KLB. Tidak ada terapi spesifik pada demam
dengue, prinsip utama adalah terapi suportif adekuat, yang dapat menurunkan
angka kematian hingga< 1%
5
Berdasarkan factor resiko penularan, penanganan dan pengendalian kejadian
demam dengue.
Indonesia telah menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Dengue yang
dapat menjadi acuan Dengan semakin meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan,
semakin luasnya penyebaran dengue maka sangat diperlukan langkah strategis,
inovatif, sinergis dan berkelanjutan di dalam penanggulangan Dengue oleh karna itu
dibuatlah laporan kasus ini
1.2 Tujuan
Untuk melaporkan salah satu kasus yang berkaitan tentang Demam Dengue
pada anak di RSUD Kabupaten Klungkung.
6
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Telah dilakukan Autoanamnesis dan Heteroanamnesis (Ayah) pada tanggal 19
Desember 2023 di ruang Bakas pukul 15.00 WITA
a. Keluhan Utama :
Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang
7
penurun panas. Pada hari kedua demam pasien mengeluhkan nyeri kepala, ibu
pasien membawa pasien ke klinik dan diberi obat. Pada hari ketiga demam pasien
mengalami penurunan nafsu makan, merasa mual dan muntah sebanyak 2 kali.
Demam ini sangat mengganggu aktivitas hingga membuat pasien tidak dapat
beraktivitas seperti biasanya. Demam terakhir kemarin dan setelah dilakukan
pengecekan darah lengkap di PKM, pasien diketahui trombosit turun selain
dengan keluhan yang ada.
Keluhan saat ini disertai mual (+), muntah (-). Keluhan lain yaitu lemas,
penurunan nafsu makan dan minum membaik, pusing, nyeri kepala (+), nyeri
daerah bola mata (+), nyeri perut (+) ulu hati, serta pasien masih dapat kencing
terakhir pukul 13.30 sekitar setengah gelas aqua (250 ml) ( 1.5 jam smrs ).
Beberapa keluhan lain yang disangkal antara lain batuk (-), pilek (-) nyeri saat
buang air kecil, mata kemerahan, mimisan, gusi berdarah maupun buang air besar
cair atau buang air besar berwarna kehitaman.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal. Riwayat demam tifoid,
demam dengue, demam berdarah dengue, kejang demam, perawatan di RS,
riwayat berpergian di daerah endemis malaria juga disangkal. Pasien tidak
memiliki alergi makanan atau obat-obatan, riwayat atopi juga disangkal
oleh pasien
d. Riwayat Penyakit Keluarga
• Disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
• Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara dan diasuh oleh orang tua
kandungnya. Diketahui ada temen kelas juga mengalami demam yang
serupa dengan keluhan yang sama dengan pasien saat ini dan dirawat
dengan DB. Kegiatan sehari-hari pasien adalah sekolah dan bermain, serta
rumah pasien terletak di kawasan padat penduduk yang berdempetan antara
satu rumah dengan yang lainya. Kebiasaan dari keluarga pasien yang
8
membiarkan adanya genangan air di rumah, jarang menguras bak kamar
mandi, membiarkan pakaian bergelantungan.
f. Riwayat Pengobatan
• Pasien berobat ke PKM terdekat dirumahnya diberikan parasetamol 3x1.
g. Riwayat Imunisasi
• HBO : 1 kali
• BCG : 1 kali
• Polio tetes : 4 kali
• Polio suntik (IPV): 2 kali
• DPT- HB-Hib : 4 kali
• PCV : belum
• MR : 3 kali
• RotaVirus : belum
• JE : 1 kali
h. Riwayat Persalinan
• Pasien lahir dalam usia kandungan 38 minggu pervaginam di bidan, dengan
berat badan lahir 3000 gram dan panjang badan 50 cm.
i. Riwayat Nutrisi
• Pemberian ASI 0 hingga 2 tahun, Sufor 10 bulan hingga usia 4 tahun dan
makanan pendamping ASI mulai diberikan saat usia 6 bulan yaitu diberikan
pisang 1-3 kali sehari sebanyak 1-2 sendok, diberikan bubur tim usia 7
bulan Makanan dewasa baru diberikan di usianya 11 bulan hingga saat ini
sebanyak 3 kali sehari dan snak kadang-kadang diberikan 1 kali sehari.
Pasien diketahui makan dan minum baik 2-3 sendok makan dan minum air
setengah sampai seperempat botol aqua tiap minum.
9
j. Riwayat Tumbuh Kembang
b. Status Antropometri
• Berat Badan : 30 kg
• Tinggi Badan : 143 cm
• BBI : 34.76
10
IGNAS
𝐵𝐵 30 30
• IMT : = = = 14,67 (underweight)
(𝑇𝐵 𝑚 2 ) (1,43m2) 2,04
Status gizi Menurut CDC : 𝐵𝐵 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙
x 100% = 30 x 100% =
𝐵𝐵 𝐼𝑑𝑖𝑒𝑎𝑙 35
85,7 (gizi kurang)
Kesan : Status gizi pasien kurang
11
c. Status Generalis
Pemeriksaan Hasil
A. Kepala Bentuk & Ukuran 51 cm, Normocephale
B. Mata a. Konjungtiva -/-
anemis
Whz -/-
Cor a. Inspeksi Iktus cordis tidak terlihat
12
b. Palpasi Iktus cordis kuat angkat, teraba
2 jari pada ICS IV linea mid
clavicularis sinistra
G. Ekstremitas Hangat + +
+ +
Edema - -
- -
CRT < 2 detik
akral Hangat (+)
Telapak tangan Pucat (-/-)
Kuku Kuku sendok (-/-)
H. Kulit Seluruh tubuh Tampak berwarna sawo matang
Ikterus (-),
Pucat (-),
13
2.4 Diagnosa Banding
1. Demam Dengue
2. Demam Berdarah Dengue
3. Cikungunya
14
- Pemeriksaan Darah Lengkap (21/12/23) 08.01 Fever Day 7
2.8 Penatalaksanaan
a. Planing Tatalaksana
*DI IGD*
19 Desember 2023
- 12.07
Terapi awal :
- MRS
15
- IVFD 20 tpm
- Lab DL
- 13.00
IVFD RL 24 tetes makro/menit, paracetamol 3/4 tab bila suhu 38C dapat
diulang @4jam, Vit B 2x1 tab, cek DL olang besok pagi, observasi TTV, balance
cairan, dan produksi urine.
*Di Bakas *
IVFD RL 500 ml infus dengan dosis 24 tts makro per menit ket iv.
Vitamin B kompleks tablet dengan dosis 2x1 tablet ket oral.
Paracetamol 500mg kaplet dengan dosis 3/4 tablet tiap 4 jam bila suhu 38 ket
oral.
Omeprazol 40mg inj dengan dosis 1x30 mg ket iv.
Planing Observasi
Observasi ketat keadaan umum,TTV, warning sign dan Tanda syok
Cek DL(observasi Hematokrit dan Trombosit tiap 24 jam setelah
pemeberian terapi cairan setelah tatalaksana awal) atau tergantung kondisi
klinis pasien (muntah presisten, nyeri perut , tangan dan kaki dingin, anak
gelisah, tidak BAK selama 4-6 jam )
Balance cairan tiap 6-12 jam
c. Planing dianostik
Cek fungsi hati dan ginjal SGOT/SGPT, BUN/SC
Usul Pemeriksaan uji serologis IgG & IgM dengue pada hari ke 5
2.7 Edukasi
-. Kesadaran menurun
16
Tanda syok : Lemah, pucat, tangan atau kaki dingin & lembab
2.8 Prognosis
Ad vitam : Dubia at bonam
Ad functionam : Dubia at bonam
Ad sanationam : Dubia at bonam
S : Demam (-), lemas (+), nyeri ulu hati hilang, sesak (-), makan
minum biasa, BAB dan BAK normal.
17
S : Tidak ada keluahan, makan minum biasa, BAB dan BAK biasa.
O : KU : Sakit ringan Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : E4V5M6 Dalam batas normal
TTV Pemeriksaan Penunjang
- TD : 100/62
mmHg (Trombosit 105 ribu kembali normal
Hematokrit : 40,3% )
- N : 82x/menit
- R : 20 x/m
- T : 36,1 0C
aksila
- SpO2 : 99%
udara r ruang
- BB : 30kg
A : Demam Dengue
P : BPL, Kontrol poli Anak tgl 23 Desember 2023
Vitamin B kompleks tablet dengan dosis 2x1 tablet ket oral),
(Paracetamol 500mg kaplet dengan dosis 3/4 tablet tiap 4 jam bila
suhu 38 ket oral
18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Demam Dengue adalah infeksi oleh virus dengue serotype DEN 1 – 4
tanpa disertai adanya kebocoran plasma. Dengue Berdarah Dengue adalah
infeksi virus dengue serotype DEN 1 – 4 disertai kebocoran plasma dengan
atau tanpa kegagalan sirkulasi (PPK Sanglah, 2017)
3.2 Epideminologi
Dengue merupakan penyakit infeksi virus yang ditularkan melalui
nyamuk dan menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia (World Health
Organization) termasuk di Indonesia. Pada awal tahun 2020, WHO
memasukkan dengue sebagai salah satu ancaman kesehatan global di antara
10 penyakit lainnya. Dengue yang tidak tertangani dapat memicu terjadinya
kejadian luar biasa (KLB), dengue berat dan kematian.
Secara global, Indonesia menempati urutan kelima jumlah kasus
terbanyak di 2022 di bawah Brazil, Vietnam, Filipina, dan India. Untuk
melawan penyakit mematikan ini, pemerintah Indonesia memiliki komitmen
serius melalui Strategi Nasional Penanggulangan Dengue 2021-2025 dengan
19
target meraih nol kematian akibat demam berdarah (zero dengue death) pada
tahun 2030.
Dibali sendiri, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bali
mengemukakan adanya peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD)
selama Januari 2023, jika dibandingkan dengan bulan yang sama pada dua
tahun terakhir. "Kasus demam berdarah di awal tahun ini (Januari) ada
peningkatan jika dibandingkan dengan Januari tahun lalu. Tahun 2021 sekitar
300 kasus, Januari 2022 ada 569 kasus, dan Januari 2023 781 kasus," kata
Kepala Dinkes Bali I Nyoman Gede Anom di Denpasar, Jumat. Anom
menyebut kasus demam berdarah selama Januari 2023 berasal dari Buleleng
100 kasus, Jembrana 70 kasus, Tabanan 65 kasus, Badung 89 kasus,
Denpasar 296 kasus, Gianyar 26 kasus, Bangli 17 kasus, Klungkung 95
kasus, dan Karangasem 23 kasus. Dari jumlah kasus tersebut, dua orang
pasien meninggal dunia.
3.3 Etiologi
Infeksi dengue disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus
dengue, yaitu DENV-1, 2, 3, dan 4. DEN-2 dan 3 secara bergantian
merupakan serotipe virus yang paling dominan, namun virus Dengue tipe 3
sangat berkaitan dengan kasus DBD berat. Virus dengue merupakan virus
RNA single-stranded dari family Flaviviridae dan genus Flavivirus. Virus
dengue juga merupakan virus vector borne (Arbovirus) yang penting di
20
samping virus chikungunya, Zika, West Nile virus, yellow fever virus,
Japanese encephalitis (JE) virus, St. Louis encephalitis virus (Rezeki, 2017).
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinteksi
lebih dari satu kali selama hidupnya oleh serotipe yang sama atau yang
berbeda. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe yang lain. Virus dengue termasuk arthropod-
borne virus, yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
(Stegomyia) agypti atau Ae. Albopictus (Rezeki,2017).
3.5 Klasifikasi
21
(DD) dan demam berdarah dengue (DBD). Dalam perjalanan penyakit infeksi
dengue ditegaskan bahwa DBD bukan lanjutan dari DD namun merupakan
spektrum klinis yang berbeda.Perbedaan antara DD dan DBD adalah terjadinya
plasma (plasma leakage) pada DBD, sedangkan pada DD tidak (Gambar 1).
Selanjutnya DBD diklasifikasikan dalam empat derajat penyakit yaitu derajat I
dan II untuk DBD tanpa syok, dan derajat III dan IV untuk sindrom syok
dengue. Pembagian derajat penyakit tersebut diperlukan sebagai landasan
pedoman pengobatan.
Namun, di lain pihak sejak beberapa tahun banyak laporan dari negara-
negara di kawasan Asia Tenggara, kepulauan di Pasifik, India, dan Amerika
Latin mengenai kesulitan dalam membuat klasifikasi infeksi dengue. Kesulitan
terjadi saat menentukan klasifikasi dengue berat (severe dengue) karena tidak
tercakup di dalam kriteria diagnosis WHO 1997. Jadi, kriteria WHO yang telah
dipergunakan selama tiga puluh tahun tersebut perlu dinilai Kembali (WHO,
2011).
22
Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 2009
Latar belakang dan rasional pembuatan klasifikasi WHO 2009 telah
didukung dengan studi multisenter dalam Dengue Control study (DENCO
study) yang mencakup negara-negara endemis dengue di Asia Tenggara dan
Amerika Latin. Konsensus telah dilaksanakan pada tanggal 29 September
sampai 1 Oktober 2008 yang dihadiri oleh 50 pakar dari 25 negara.
Berdasarkan laporan klinis DENCO study yang mempergunakan pemeriksaan
klinis dan uji laboratorium sederhana, klasifikasi infeksi dengue terbagi
menjadi dua kelompok menurut derajat penyakit, yaitu dengue dan severe
dengue; dengue dibagi lebih lanjut menjadi dengue dengan atau tanpa warning
signs (dengue ±\warning signs). Konsensus para pakar tersebut telah diuji coba
di negara masing- masing dan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah.
23
Warning signs berarti perjalanan penyakit yang sedang berlangsung
mendukung ke arah terjadinya penurunan volume intravaskular.Hal ini menjadi
pegangan bagi klinisi di tingkat kesehatan primer untuk mendeteksi pasien
risiko tinggi dan merujuk mereka ke tempat perawatan yang lebih lengkap
fasilitasnya. Pasien dengan warning signs harus diklasifikasi ulang apabila
dijumpai salah satu tanda severe dengue. Di samping warning signs, klinisi
harus memperhatikan kondisi klinis yang menyertai infeksi dengue seperti usia
bayi, ibu hamil, hemoglobinopati, diabetes mellitus, dan penyakit penyerta lain
yang dapat menyebabkan gejala klinis dan tata laksana penyakit menjadi lebih
kompleks.
Severe dengue
24
Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 2011
Setelah klasifikasi diagnosis dengue WHO 2009 disebarluaskan, maka
beberapa negara di Asia Tenggara mengadakan evaluasi kemungkinan
penggunaannya. Ternyata klasifikasi WHO 2009 belum dapat diterima
seluruhnya untuk menggantikan klasifikasi 1997, terutama untuk kasus anak.
Terdapat perbedaan mendasar pada kedua klasifikasi tersebut, yaitu spektrum
klinis infeksi dengue tidak dibedakan antara kelompok spektrum dengan
perembesan plasma (DBD, DSS) dan tanpa perembesan plasma (DD). Kedua,
batasan untuk dengue ± warning signs terlalu luas sehingga akan menyebabkan
ove-diagnosis. Namun, diakui bahwa perlu dibuat spektrum klinis terpisah dari
DBD, yaitu expanded dengue syndrome yang terdiri dari isolated organopathy
dan unusual manifestations. Berdasarkan hal tersebut, klasifikasi diagnosis
dengue WHO 2011 disusun hampir sama dengan klasifikasi diagnosis WHO
1997, namun kelompok infeksi dengue simtomatik dibagi menjadi
undifferentiated fever, DD, DBD, dan expanded dengue syndrome terdiri dari
isolated organopathy dan unusual manifestation (Gambar 3). Klasifikasi yang
merupakan revisi edisi sebelumnya dimuat dalam buku WHO “Comprehensive
guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic
fever, revised and expanded edition” tahun 2011.
25
Expanded dengue syndrome
Kasus infeksi dengue dengan unusual manifestation tidak jarang terjadi
pada kasus anak. Unusual manifestation atau manifestasi yang tidak lazim,pada
umumnya berhubungan dengan keterlibatan beberapa organ seperti hati, ginjal,
jantung, dan gangguan neurologis pada pasien infeksi dengue (Tabel 1).
Kejadian unusual manifestation infeksi dengue tersebut dapat pula terjadi pada
kasus infeksi dengue tanpa disertai perembesan plasma
Pada umumnya unusual manifestation berhubungan dengan ko-infeksi,
ko- morbiditas, atau komplikasi syok yang berkepanjangan (prolonged shock)
disertai kegagalan organ (organ failure). Pada ensefalopati seringkali dijumpai
gejala kejang, penurunan kesadaran, dan transient paresis. Ensefalopati dengue
dapat disebabkan oleh perdarahan atau oklusi (sumbatan) pembuluh darah.
Sayangnya otopsi di Indonesia tidak dapat dikerjakan sehingga penyebab yang
sebenarnya sulit dibuktikan. Selain itu, terdapat laporan bahwa virus dengue
dapat melewati sawar darah-otak dan menyebabkan ensefalitis. Infeksi dengue
berat dapat disebabkan oleh kondisi ko- morbid pada pasien seperti usia bayi,
obesitas, lansia, ibu hamil,rulkus peptikum, menstruasi, penyakit hemolitik,
penyakit jantung bawaan, penyakit kronis seperti DM, hipertensi, asma, gagal
ginjal kronik, sirosis dan pengobatan steroid (WHO, 2011)
26
3.6 Patofisiologi
Dari studi in-vitro dan autopsi (kulit, hati, limpa, kelenjar limfe, ginjal,
sumsum tulang, paru, kelenjar timus, dan otak) diduga terdapat tiga organ
penting yang terlibat dalam patogenesis infeksi dengue yaitu sistem imun, hati,
dan sel endotel pembuluh darah. Virus masuk ke dalam tubuh manusia diawali
dengan gigitan nyamuk yang mengandung virus dengue. Setelah virus masukke
dalam aliran darah akan terjadi infeksi pada sel Langerhans imatur (epidermal
dendritic cells dan ceratinocytes) yang berada di lapisan epidermis dan dermis.
Sel yang terinfeksi akan memasuki kelenjar limfe dan selanjutnya terjadi
infeksi sel monosit dan makrofag yang menjadi target infeksi dengue dan
terjadi viremia. Viremia primer tersebut akan mengakibatkan infeksi pada
monosit dan mielosit yang berada di hati dan limpa (Rezeki, 2017).
27
Respons imun pada infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue yang
berbeda, diawali oleh IgG anti dengue yang telah ada dengan kadar yang tinggi,
dan selanjutnya akan membentuk kompleks imun dengan virus dengue yang
baru masuk (kompleks antigen-antibodi). Kompleks imun yang terjadi tersebut
mengakibatkan uptake virus oleh reseptor sel monosit/makrofag meningkat,
replikasi virus meningkat, sehingga viral load juga meningkat. Sel mononuklear
yang terinfeksi akan mati (apoptosis), namun sel dendrit akan terangsang untuk
mengeluarkan mediator yang akan berperan dalam inflamasi dan hemostasis.
Sel yang terinfeksi dan viremia yang terjadi akan berperan delam menghasikan
sitokin pro-infiamasi dan anti-inflamasi. Saat terjadi syok, virus sudah tidak
dapat dideteksi lagi, sehingga respons pejamu akan memegang peran penting
ada patogenesis infeksi dengue. Hati merupakan organ penting, peningkatan
enzim transaminase berhubungan dengan peningkatan tendensi terjadinya
perdarahan. Virus dengue juga mengakibatkan kematian sel hepatosit
(apoptosis) dan nekrosis, walaupun reaksi inflamasi dalam jaringan hati sangat
terbatas.
Sel endotel pembuluh darah memegang peran dalam respons koagulasi
akibat inflamasi. Keterlibatan sel endotel terutama terdapat pada pembuluh
darah pulmonal dan abdominal. Dalam studi in-vitro tampak replikasi virus
mengakibatkan kelainan fungsi endotel dan tidak terjadi perusakan morfologi
sel. Mengapa hanya terjadi efusi pieura dan asites sedangkan edema tidak
terjadi di tempat lain? Pada autopsi dijumpai apoptosis pada sel endotel di paru
dan abdomen, mungkin hal tersebut yang menyebabkan mengapa perembesan
plasma hanya terbatas pada jaringan paru dan abdomen.
Disamping itu, jarak antara infeksi primer dan sekunder memegang
peran, makin lama jaraknya kecenderungan menjadi infeksi dengue semakin
tinggi. Di Asia, infeksi pada anak lebih berat dari pada dewasa, beda dengan
kejadian di Singapura dan Amerika terutama mengenai dewasa dengan infeksi
ringan.
Hipotesis yang masih dianut sampai saat ini adalah hipotesis secondary
of heterotypic dengue intection atau dikenal sebagai antibody dengue
28
enhanchment (ADE) yaitu, jika seseorang mendapat infeksi untuk kedua
kalinya dengan serotipe yang berbeda akan menyebabkan dengue berat.
Hipotesis tersebut telah dilaporkan pada tahun 1930-an oleh Hawkes pada
penelitian in-vitro. Beberapa faktor memegang peran pada teori ADE in-vitro,
yang terpenting adalah adanya reseptor Fcg yang terdapat pada permukaan sel
makrofag mononuklear. Antibody enhancing immune-globulin G (un-
neutralized antibody) akan mengikat virus untuk menempel pada permukaan
sel makrofag dan membawa infectious virion mendekati reseptor. Jadi virus-
specific antibody dan reseptor Fc bekerja sama sebagai co-receptor, sehingga
ikatan menjadi kuat dan meningkatkan jumlah sel yang terinfeksi. Dilaporkan
juga peningkatan jumlah sel yang terinfeksi virus dengue dipicu oleh IgM dan
reseptor komplemen C3. Jadi pada seorang pasien yang terinfeksi virus dengue,
pre-existing antibody dapat mengakibatkan peningkatan memperpendek masa
inkubasi, dan meningkatkan derajat keparahan penyakit. Di lain pihak cell
mediated immune viral load system (CMI) berperan pada keberadaan reseptor
Fcg pada permukaan sel, maka ADE dapat merusak sel tersebut. Halstead dkk.
dengan penelitian ADE pada binatang percobaan (non-human primate) dengan
pemberian virus Den-2 didapatkan gejala klinis berat dan terjadi viremia
sepuluh kali lipat dibandingkan infeksi primer. Hasil tersebut tidak ditemukan
pada binatang percobaan lain dari serotipe lainnya. Namun WHO tetap
menganjurkan untuk memperhatikan hasil penelitian ADE yang dilakukan pada
manusia (WHO, 2011).
29
berperan pada terjadinya perembesan plasma (plasma leakage). Interaksi
antigen- presenting cell (APC) dan sel T akan memicu proliferasi dan produksi
sitokin pro-infiamasi seperti IFN-y dan TNF-a. Sitokin tersebut secara langsung
berdampak pada endotel vaskular sehingga terjadi perembesan plasma.
Terjadinya perembesan plasma merupakan patogenesis yang terjadi pada DBD
dan tidak terjadi DD, maka pada DBD dapat terjadi syok hipovolemik (sindrom
syok dengue = SSD).
Disamping beberapa teori tersebut, masih banyak faktor yang berperan
pada patogenesis infeksi dengue, misainya virulensi virus dari serotipe tertentu
(serotipe den-2 dan den-3 dilaporkan lebih virulen dari pada serotipe yang lain),
atau genetic host susceptibility, misalnya HLA tertentu berhubungan dengan
derajat penyakit. Faktor lain seperti pre-existing anti dengue antibody (infeksi
terdahulu atau antibodi maternal pada bayi), genetik pejamu, umur (secara
klinis anak cenderung lebih berat dari dewasa), infeksi sekunder, dan pada
negara yang mempunyai dua atau lebih serotipe yang bersirkulasi cenderung
terjadi KLB.
30
31
32
3.7 MANIFESTASI KLINIS
a. DEMAM DENGUE
33
tornike positif) dan
≥20%
IIISeperti derajat I atau II 1. Trombositopenia<100
ssel/mm2
ditambah kegagalan sirkula
(nadi lemah, tekanan nadi
2.Peningkatan Hematokrit
≤ 20 mmHg, hipotensi, h
gelisa diuresis menurun ≥20%
MANIFESTASI KLINIS
Fase demam terjadi pada hari sakit pertama sampai ketiga, pada fase ini
sult dibedakan dengan demam dengue. Masalah yang harus diwaspadai pada
fase demam adalah dapat terjadi kejang pada anak yang mempunyai riwayat
kejang demam. Pada fase demam tersebut pada umumnya anak menolak makan
minum, mengeluh mual dan muntah disertai demam tinggi, maka perlu diawasi
tanda-tanda dehidrasi. Hal ini penting diperhatikan karena dehidrasi yang
34
terjadi dapat mempercepat terjadi syok hipovolemik dan mempercepat pasien
masuk ke fase kritis.
35
perubahan tekanan darah serta volume nadi, oleh karena itu, pengukuran
hematokrit berkala sangat penting, apabila makin meningkat berarti kebutuhan
cairan intravena untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah,
sehingga penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien akan
jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif dan
profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan organ
progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Perdarahan hebat yang
terjadi menyebabkan penurunan hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula
leukopenia dapat meningkat sebagai respons stres pada pasien dengan
perdarahan hebat. Beberapa pasien masuk ke fase kritis perembesan plasma dan
kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien tersebut
peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain itu,
pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan
organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan atau perdarahan
hebat, yang dikenal sebagai expanded dengue syndrome.
Fase Penyembuhan (konvalesen) apabila pasien dapat melalui fase kritis
yang berlangsung sekitar 24-48 jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang
ekstravaskular ke dalam ruang intravaskular yang berlangsung secara bertahap
pada 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul
kemudian. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa
kasus lain dapat disertai pruritus umum. Bradikardia dan perubahan
elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada tahap ini. Hematokrit kembali
stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi.
Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh akan
tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih lambat. Gangguan
pernapasan akibat efusi pleura masif dan ascites, edema paru atau gagal jantung
kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase pemulihan jika cairan
intravena diberikan berlebihan.
36
Gambar 1. Perjalanan Penyakit Dengue
Warning Signs
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan
penyakit infeksi dengue, seperti berikut:
• Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa
transisi ke fase bebas demam/sejalan dengan proses penyakit
• Muntah yang menetap, tidak mau minum
• Nyeri perut hebat
• Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
• Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi
yang hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
• Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
• Pucat, tangan dan kaki dingin dan lembab
• Diuresis kurang/tidak ada dalam 46 jam
37
3.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
I. Parameter Hematologi
38
kadar trombosit ≤100.000/ul. dan peningkatan hematokrit ≥20%
Penurunan hematokrit dan peningkatan trombosit tanpa demam
merupakan tanda fase penyembuhan.
39
Pemeriksaan uji serologi IgM dan IgG antidengue merupakan uji
yang sering dipergunakan dalam menegakkan diagnosis infeksi dengue,
baik infeksi primer maupun sekunder. Imunoglobulin M antidengue
memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit
kelima dan tidak terdeteksi setelah sembilan puluh hari. Pada infeksi
dengue primer, IgM dapat terdeteksi sebelum IgG antidengue. Namun
pada infeksi sekunder IgG dapat terdeteksi lebih awal daripada IgM dan
bertahan lama dalam serum. Perlu diamati bahwa kadar IgM antidengue
pada infeksi primer lebih tinggi dari pada pada infeksi sekunder.
Gambaran NS-1 antigen virus dengue dan IgM/ IgG antidengue,
merupakan petunjuk untuk klinisi menentukan jenis pemeriksaan
selanjutnya yang diperlukan, serta untuk membedakan antara infeksi
primer dengan infeksi sekunder.
40
.
lateral decubitus
mencapai 20%-40%
41
3.9 TATALAKSANA
42
Dengue case classification and level of severity Dikutip dari: Dengue Guideline for
Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. New edition, 2009 halaman 11.1
43
44
45
46
47
48
3.10 KOMPLIKASI
49
terdiri dari bebaskan jalan nafas dan pertahankan oksigenasi, mencegah
tekanan intrakranial meninggi (dengan pemberian diamox atau kortiko-
steroid jika tidak ada perdarahan), mencegah hipoglikemia (pertahankan
kadar gula darah>60mg%), menurunkan produksi amoniak (dengan
pemberian neomisin 50mg/kgbb/hari, maksimal 1 gram/hari, dan laktulosa
510ml, 3-4 kalihari), pemberian vit K (3-10 mg, 3 kali sehari), koreksi
asidosis dan gangguan elektrolit, cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan,
dan mencegah infeksi sekunder (IDAI, 2019).
3.11 PROGNOSIS
50
BAB IV
PEMBAHASAN
Kriteria demam dengue menurut WHO yaitu demam 2-7 hari dengan dua
atau lebih manifestasi; nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, ruam kulit,
manifestasi perdarahan (petekie, epistaksis, purpura) dan leukopenia, namun
dalam hasil anamnesis kasus ini ditemukan kriteria demam mendadak tinggi
yang berlangsung sudah 5 hari tidak membaik dengan pengobatan, disertai mual
muntah, nafsu makan menurun dan nyeri daerah kepala, retroorbital dan nyeri
perut serta produksi urin menurun dalam 12 jam dengan keadaan umum tampak
sakit sedang dan anak tampak lemas, dan untuk tanda warning sign tidak
ditemukan, tanda pendarahan spontan (seperti gusi berdarah(-), mimisian(-) ,
ptekie(+ ). Untuk tanda tanda syok tidak ditemukan dalam anamnesis dan
pemeriksaan fisik akral hangat dan tidak ditemukan tanda kebocoran plasma
secara klinis yaitu distensi abdomen. Selain itu dalam penatalaksanaan pasien ini
dibutuhkan observasi ketat dari tanda tanda vital, balance cairan, pemeriksaan
darah lengkap, pemeriksaan radiologi untuk menunjang dari kasus ini, namun
kekurangan dari penulis tidak menyertakan lampiran follow up balance cairan
pada kasus ini.
Kasus ini menggambarkan presentasi klinis pada anak laki laki usia 10
tahun awalnya datang dengan Febris hari ke 5 et causa DF namun pada observasi
di ruangan pada febris hari 6 dengan hasil pemeriksaan trombositopenia dan
hematokrit dalam batas normal, sehingga pasien ini dikatakan sudah melewati
fase kritisnya. Sehingga diagnosisnya menjadi DF. Pemeriksaan laboratorium
ditemukan leukosit normal dan trombosit diatas 100 ribu di hari ke 7 demam,
nilai leukosit biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni
hingga periode demam berakhir, nilai trombosit normal, demikian pula
komponen lain dalam mekanisme pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi
biasanya terjadi trombositopeni, Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar
enzim hati mungkin meningkat. Dalam menentukan derajat penyakit,
patofisiologi yang terpenting ialah adanya perembesan plasma dan kelainan
51
hemostasis yang bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit dan
trombositopenia (Wang et al, 2020; WHO, 2011). (Hadinegoro dkk, 2014;
Pudjiadi dkk, 2019).
Kriteria diagnosis DBD/DHF (Case definition) berdasarkan WHO antara
lain; Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus selama 2-7 hari,
terdapat manifestasi perdarahan termasuk uji tornikuet positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena, pembesaran hati, syok
ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi. Kriteria laboratorium:
Trombositopenia (≤100.000/UI), hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit
lebih dari 20% hal ini sduah sesuai dengan kasus (WHO, 2011; Hadinegoro dkk,
2014).
Pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas vaskular yang
mengakibatkan kebocoran cairan plasma ke interstisial. Volume darah yang
bersirkulasi berkurang, terjadi hemokonsentrasi, dan pada kasus berat akan
terjadi syok hipovolemik. Setelah beberapa hari (24-48 jam) peningkatan
permeabilitas kembali normal secara spontan, cairan yang bocor direabsorbsi dan
pasien sembuh cepat.
Tatalaksana DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya
Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID). Penatalaksanaan kasus DBD bersifat
simptomatis dan suportif meliputi; tirah baring selama fase demam akut,
Antipiretik atau sponging untuk menjaga suhu tubuh tetap dibawah 40 derajat C,
sebaiknya diberikan paracetamol, analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu
diberikan pada pasien yang mengalami nyeri yang parah, terapi elektrolit dan
cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang berkeringat lebih atau muntah
(Alam et al, 2021; WHO, 2011) Hal ini sudah sesuai dengan terapi pasien yang
diberikan terapi awal dengan resusitasi cairan susai protap dari PPK Sanglah
dimulai dari pemberian RL 10-20 ml/KgBB dalam satu jam kemuadian di
observasi tanda vital kemudian cairan infus diturunkan 7, 5, 3, 1.5 kgBB/ jam
hingga diberikan cairan rumatan dan infus di stop sesui dengan kedaaan klinis
52
akan tetapi dalam kasus diberikan cairan koloid bersama kristaloid untuk
menangani kasus syoknya secara cepat
Prinsip pemberian cairan untuk DBD adalah penggantian volume plasma.
Pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang membutuhkan
pemberian cairan kristaloid sejumlah cairan dehidrasi sedang (rumatan ditambah
5-8%). Pilihan cairan resusitasi inisial untuk anak adalah kristaloid isotonis. Pada
pasien SSD dapat terjadi asidosis dan gangguan elektrolit yang harus dikoreksi.
Pemberian cairan resusitasi secara agresif memberikan prognosis yang baik.
Berdasarkan penelitian berbasis ilmiah belum ada bukti bahwa pemberian koloid
lebih unggul dari pada kristaloid untuk resusitasi inisial pada anak. (WHO, 2011)
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali
dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk
mencegah terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh)
bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi
hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak
masih sehat.
Kriteria memulangkan pasien antara lain; tidak demam selama 24 jam
tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis,
hematokrit stabil,Tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit diatas
50.000/µl, tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau
asidosis) (WHO, 2011; Pudjiadi dkk, 2019).Pada hari keempat perawatan febris
hari ke 8 pasien tidak demam dalam 24 jam, nafsu makan dan minum pasien
sudah membaik, dan tampak adanya perbaikan klinis, kemudian pasien
dipulangkan.
53
tempat peristirahatan nyamuk, kepadatan nyamuk, angka bebas jentik, dan lain –
lain.
Edukasi kepada keluarga pasien mengenai pola hidup sehat dan
menunjang lingkungan yang bersih untuk mencegah penyakit serupa terulang.
Edukasi kepada keluarga pasien untuk melakukan tirah baring, pemberian cairan
per oral seperti jus buah, susu, disamping air putih
Edukasi kepada keluarga pasien tentang faktor risiko eksternal terutama
lingkungan dan kondisi rumah. Edukasi kepada keluarga mengenai pentingnya
menjaga kesehatan dan lingkungan sekitar rumah untuk mencegah erjadinya
penyakit ini terulang pada anggota keluarga lain. Edukasi kepada keluarga pasien
untuk menggunakan krim/semprot anti nyamuk saat bepergian dan menjauhi area
yang dapat menjadi sumber penyebaran nyamuk menggunakan gambar visual.
Edukasi kepada keluarga pasien tentang pentingnya peran keluarga dalam
mendorong pasien untuk kembali sehat dan dapat beraktivitas seperti biasanya.
Pemeriksaan jentik dilakukan 100 m dari rumah pasien bersama dengan tim di
puskesmas. Kepada pasien diberikan terapi farmakologi berupa sirup
Paracetamol.
Community oriented dilakukan untuk memotivasi keluarga pasien untuk
menginisiasi gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah, terutama
genangan air, tumpukan rongsok sampah. Memberi saran kepada kepala desa
untuk bekerja sama dengan Puskesmas dalam melakukan kegiatan penyuluhan
tentang penyakit DBD. Materi yang disampaikan meliputi pengertian DBD, ciri-
ciri nyamuk DBD, siklus penularan nyamuk, gejala penyakit DBD, penanganan
pertama pencegahan wabah DBD, melakukan serta mengawasi kegiatan jumat
bersih untuk membersihkan lahan yang tergenang oleh air. Memberikan saran
kepada pamong desa untuk ikut serta aktif dalam kegiatan acara jumat bersih dan
dilkakukan pengawasan dalam pelaksanaannya (Melaksanakan program 3M
plus).
54
BAB V
KESIMPULAN
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat dan endemis di Indonesia. Demam berdarah dengue (DBD)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan
spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam
dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock
syndrome (DSS). Berdasarkan kasus yang diuraikan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan
Demam Dengue dan telah diberikaan tatalaksana komprehensif sesuai teori dan
keadaan klinis pasien.
55
DAFTAR PUSTAKA
56
Kemenkes RI. 2021. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor Hk.01.07/Menkes/4636/2021 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Infeksi Dengue Anak Dan Remaja. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Sagala, M. 2021. Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Masyarakat
dengan Kejadian DBD Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Bulan Selayang II
Kecamatan Medan Selayang Tahun 2021. Skripsi. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Medan.
Update Management Of Infectious Disease And Gastrointestinal Disorders,
Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta 2012
WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Technical Publication Series No. 60:
1-1
57