Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN

CASE BASED DISCUSSION


DEMAM DENGUE PADA ANAK

OLEH:
Muhamad Darmoan 018.06.0053

PEMBIMBING
dr. Anak Agung Made Sudiarta, Sp. A

PROGRAM KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN


ILMU PENYAKIT ANAK RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH KLUNGKUNG FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM

2024
KATA PENGANTAR

Puja dan Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
segala limpahan nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul Demam Dengue Pada Anak .
Dalam penyusunan laporan ini, saya banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan, masukan dan motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Untuk itu dalam kesempatan ini, saya menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dosen yang telah memberi arahan dan penjelasan
tentang tata cara penulisan laporan ini.
Saya menyadari, penulisan ini masih banyak kekurangannya, untuk itu
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat bagi mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar Mataram yang sedang
menjalani kepanitraan klinik di RSUD Klungkung.

Klungkung, 8 Januari 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................
BAB II................................................................................................................................
LAPORAN KASUS..........................................................................................................
2.1 Identitas Pasien...........................................................................................................
2.2 Anamnesis....................................................................................................................
2.3 Pemeriksaan Fisik.....................................................................................................
2.4 Diagnosa Banding.....................................................................................................
2.5 Usulan pemeriksaan Penunjang..............................................................................
2.6 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................
2.7 Diagnosis Kerja.........................................................................................................
2.8 Penatalaksanaan.......................................................................................................
2.7 Edukasi......................................................................................................................
1.8 Prognosis....................................................................................................................
2.9 Follow Up Pasien......................................................................................................
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................
3.1 Definisi.......................................................................................................................
3.2 Epideminologi...........................................................................................................
3.3 Etiologi.......................................................................................................................
5.4 Faktor Resiko............................................................................................................
3.5 Klasifikasi..................................................................................................................
3.6 Patofisiologi...............................................................................................................
3.7 Manifestasi Klinis.....................................................................................................
3.8 Pemeriksaan Penunjang..........................................................................................
3.9 Tatalaksana..............................................................................................................
3.10 Komplikasi..............................................................................................................
3.11 Prognosis..................................................................................................................
BAB IV PEMBAHASAN..............................................................................................

3
BAB V KESIMPULAN..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Demam Dengue (DD) atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah
Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan masalah
kesehatan yang menjadi salah satu fokus perhatian di Indonesia dan sampai saai ini
masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat dan menimbulkan dampak
sosial maupun ekonomi (Kemenkes RI, 2018).
World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5 milyar
penduduk 1077 berisiko menderita infeksi virus dengue. Dilaporkan setiap
tahunnya terdapat 100 juta kasus demam dengue dan 0.5 juta kasus demam
berdarah dengue (DBD) terjadi di seluruh dunia, dimana 90% terjadi pada anak-
anak dibawah usia 15 tahun (WHO, 2011; Gwee et al, 2021).
Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia terutama di
wilayah tropis dan subtropis termasuk Indonesia sebagai salah satu negara endemis
dengue. Bahkan pada dekade terakhir, dengue bukan lagi merupakan penyakit
dengan siklus sepuluh atau lima tahunan, mengingat kejadian kasus dan kematian
akibat dengue yang tinggi dapat terjadi setiap tahun sebagai dampak perubahan
iklim.
TIdak sedikit kasus DBD yang dilaporkan oleh 34 provinsi dan 514
kabupaten di Indonesia. Manusia merupakan host alami DBD, agentnya adalah
virus dengue yang masuk ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti.
Sela tahun 2019-2021, Provinsi Bali selalu masuk 3 besar provinsi dengan IR
tertinggi dan melebihi angka IR(Insiden Rate) nasional.
Salah satu faktor risiko penularan demam dengue adalah pertumbuhan
penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana
dan prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkinkan terjadinya KLB. Tidak ada terapi spesifik pada demam
dengue, prinsip utama adalah terapi suportif adekuat, yang dapat menurunkan
angka kematian hingga< 1%

5
Berdasarkan factor resiko penularan, penanganan dan pengendalian kejadian
demam dengue.
Indonesia telah menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Dengue yang
dapat menjadi acuan Dengan semakin meningkatnya jumlah kasus yang dilaporkan,
semakin luasnya penyebaran dengue maka sangat diperlukan langkah strategis,
inovatif, sinergis dan berkelanjutan di dalam penanggulangan Dengue oleh karna itu
dibuatlah laporan kasus ini

1.2 Tujuan
Untuk melaporkan salah satu kasus yang berkaitan tentang Demam Dengue
pada anak di RSUD Kabupaten Klungkung.

6
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


a. Nama : IKA
b. TTL : 10/11/2012
c. Usia : 11 Tahun
d. Jenis Kelamin : Laki-Laki
e. Alamat : Semarapura kangin, Klungkung
f. Pendidikan Ayah : SD
g. Pekerjaan Ayah : Petani
h. Agama : Hindu
j. Tanggal MRS : 19 Desenber 2023
k. No.RM : 230736
l. Ruangan : Bakas

2.2 Anamnesis
Telah dilakukan Autoanamnesis dan Heteroanamnesis (Ayah) pada tanggal 19
Desember 2023 di ruang Bakas pukul 15.00 WITA
a. Keluhan Utama :
Demam
b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang laki-laki berusia 11 tahun rujukan dari Puskesmas Klungkung II


datang diantar oleh orang tuanya ke IGD RSUD Klungkung pada tanggal 19
Desember 2023 pukul 12.07 dalam keadaan sadar dengan keluhan demam,
demam terjadi secara mendadak tinggi sejak 5 hari yang lalu (kamis pagi).
Demamnya dirasakan terus menerus di seluruh tubuhnya dan dirasakan hampir
sepanjang hari. Demam sangat mengganggu aktivitas dan tidur pasien. Demam
hari pertama hingga ketiga dikatakan naik turun namun pasien tidak sempat
mengukur suhu tubuhnya saat itu. Demam tidak dapat membaik dengan obat

7
penurun panas. Pada hari kedua demam pasien mengeluhkan nyeri kepala, ibu
pasien membawa pasien ke klinik dan diberi obat. Pada hari ketiga demam pasien
mengalami penurunan nafsu makan, merasa mual dan muntah sebanyak 2 kali.
Demam ini sangat mengganggu aktivitas hingga membuat pasien tidak dapat
beraktivitas seperti biasanya. Demam terakhir kemarin dan setelah dilakukan
pengecekan darah lengkap di PKM, pasien diketahui trombosit turun selain
dengan keluhan yang ada.

Keluhan saat ini disertai mual (+), muntah (-). Keluhan lain yaitu lemas,
penurunan nafsu makan dan minum membaik, pusing, nyeri kepala (+), nyeri
daerah bola mata (+), nyeri perut (+) ulu hati, serta pasien masih dapat kencing
terakhir pukul 13.30 sekitar setengah gelas aqua (250 ml) ( 1.5 jam smrs ).
Beberapa keluhan lain yang disangkal antara lain batuk (-), pilek (-) nyeri saat
buang air kecil, mata kemerahan, mimisan, gusi berdarah maupun buang air besar
cair atau buang air besar berwarna kehitaman.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal. Riwayat demam tifoid,
demam dengue, demam berdarah dengue, kejang demam, perawatan di RS,
riwayat berpergian di daerah endemis malaria juga disangkal. Pasien tidak
memiliki alergi makanan atau obat-obatan, riwayat atopi juga disangkal
oleh pasien
d. Riwayat Penyakit Keluarga
• Disangkal
e. Riwayat Sosial Ekonomi
• Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara dan diasuh oleh orang tua
kandungnya. Diketahui ada temen kelas juga mengalami demam yang
serupa dengan keluhan yang sama dengan pasien saat ini dan dirawat
dengan DB. Kegiatan sehari-hari pasien adalah sekolah dan bermain, serta
rumah pasien terletak di kawasan padat penduduk yang berdempetan antara
satu rumah dengan yang lainya. Kebiasaan dari keluarga pasien yang

8
membiarkan adanya genangan air di rumah, jarang menguras bak kamar
mandi, membiarkan pakaian bergelantungan.

f. Riwayat Pengobatan
• Pasien berobat ke PKM terdekat dirumahnya diberikan parasetamol 3x1.
g. Riwayat Imunisasi
• HBO : 1 kali
• BCG : 1 kali
• Polio tetes : 4 kali
• Polio suntik (IPV): 2 kali
• DPT- HB-Hib : 4 kali
• PCV : belum
• MR : 3 kali
• RotaVirus : belum
• JE : 1 kali

Kesan : Imunisasi dasar dan tambahan belum lengkap

h. Riwayat Persalinan
• Pasien lahir dalam usia kandungan 38 minggu pervaginam di bidan, dengan
berat badan lahir 3000 gram dan panjang badan 50 cm.

i. Riwayat Nutrisi
• Pemberian ASI 0 hingga 2 tahun, Sufor 10 bulan hingga usia 4 tahun dan
makanan pendamping ASI mulai diberikan saat usia 6 bulan yaitu diberikan
pisang 1-3 kali sehari sebanyak 1-2 sendok, diberikan bubur tim usia 7
bulan Makanan dewasa baru diberikan di usianya 11 bulan hingga saat ini
sebanyak 3 kali sehari dan snak kadang-kadang diberikan 1 kali sehari.
Pasien diketahui makan dan minum baik 2-3 sendok makan dan minum air
setengah sampai seperempat botol aqua tiap minum.

9
j. Riwayat Tumbuh Kembang

• Menegakan kepala : 3 bulan


• Membalikan badan : 4 bulan
• Duduk : 6 bulan
• Merangkak : 7 bulan
• Berdiri : 11 bulan
• Berjalan : 12 bulan
• Berbicara : 11 bulan
Kesan : perkembangan pasien sesuai dengan usianya.

2.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Present
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran/GCS : E4V5M6 (Compos Mentis)
Tanda Vital
• Tekanan Darah : 95/60 mmHg
• Denyut Nadi : 96 x/menit isi cukup, regular
• Respirasi rate : 24 x/menit
• Suhu Aksila : 37,1 0C
• VAS : 2/10
SpO2 : 98% udara ruang

b. Status Antropometri
• Berat Badan : 30 kg
• Tinggi Badan : 143 cm
• BBI : 34.76

10
IGNAS

𝐵𝐵 30 30
• IMT : = = = 14,67 (underweight)
(𝑇𝐵 𝑚 2 ) (1,43m2) 2,04
Status gizi Menurut CDC : 𝐵𝐵 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙
x 100% = 30 x 100% =
𝐵𝐵 𝐼𝑑𝑖𝑒𝑎𝑙 35
85,7 (gizi kurang)
Kesan : Status gizi pasien kurang

11
c. Status Generalis
Pemeriksaan Hasil
A. Kepala Bentuk & Ukuran 51 cm, Normocephale
B. Mata a. Konjungtiva -/-
anemis

b. Sklera Ikterik -/-


c. Reflek pupil RCL +/+; Pupil bulat, isokor
2/2mm
d. Mata Cowong -/-
C. THT a. Telinga Hiperemis (-)
serumen (-)

b. Hidung Discharge (-)/(-)


c. Mulut- Hiperemis (+),
Tenggorokan Sianosis (-), bibir tidak kering
dan tampak hiperemis

D. Leher a. Trakea Posisi di tengah


b. Kelenjar Getah Normal, tidak terjadi
Bening pembesaran pada KGB

E. Thoraks Anterior dan Posterior


Pulmo a. Inspeksi Pergerakan dinding dada
simetris

b. Palpasi Simetris, kuat angkat antara


paru kanan dan kiri

c. Perkusi Sonor di seluruh lapang paru


d. Auskultasi Ves +/+
Rh -/-,

Whz -/-
Cor a. Inspeksi Iktus cordis tidak terlihat

12
b. Palpasi Iktus cordis kuat angkat, teraba
2 jari pada ICS IV linea mid
clavicularis sinistra

c. Perkusi Batas atas, kanan, kiri dan


bawah jantung normal

c. Auskultasi BJ I & II normal murmur(-)

F. Abdomen a. Inspeksi Bentuk normal, distensi (-),


asites (-)

b. Auskultas Bising usus (+)


c. Perkusi Timpani di seluruh lapang
abdomen,

d. Palpasi Nyeri tekan (-)


Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba

G. Ekstremitas Hangat + +

+ +
Edema - -
- -
CRT < 2 detik
akral Hangat (+)
Telapak tangan Pucat (-/-)
Kuku Kuku sendok (-/-)
H. Kulit Seluruh tubuh Tampak berwarna sawo matang
Ikterus (-),
Pucat (-),

13
2.4 Diagnosa Banding
1. Demam Dengue
2. Demam Berdarah Dengue
3. Cikungunya

2.5 Usulan pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Tornique
2. Darah Lengkap
3. Urin Lengkap

2.6 Pemeriksaan Penunjang


- Pemeriksaan Laboratorium (19/12/2023) 12.27 Fever day 5

Pemeriksaan Darah Lengkap (20/12/2023) 07.17 fever Day 6

14
- Pemeriksaan Darah Lengkap (21/12/23) 08.01 Fever Day 7

Pemeriksaan Urine Lengkap (20/12/2023) 10.50 Fever day 6

2.7 Diagnosis Kerja


 Demam Dengue (DF)

2.8 Penatalaksanaan
a. Planing Tatalaksana
*DI IGD*
 19 Desember 2023
- 12.07
Terapi awal :
- MRS

15
- IVFD 20 tpm
- Lab DL
- 13.00
IVFD RL 24 tetes makro/menit, paracetamol 3/4 tab bila suhu 38C dapat
diulang @4jam, Vit B 2x1 tab, cek DL olang besok pagi, observasi TTV, balance
cairan, dan produksi urine.
*Di Bakas *
 IVFD RL 500 ml infus dengan dosis 24 tts makro per menit ket iv.
 Vitamin B kompleks tablet dengan dosis 2x1 tablet ket oral.
 Paracetamol 500mg kaplet dengan dosis 3/4 tablet tiap 4 jam bila suhu 38 ket
oral.
 Omeprazol 40mg inj dengan dosis 1x30 mg ket iv.
Planing Observasi
 Observasi ketat keadaan umum,TTV, warning sign dan Tanda syok
 Cek DL(observasi Hematokrit dan Trombosit tiap 24 jam setelah
pemeberian terapi cairan setelah tatalaksana awal) atau tergantung kondisi
klinis pasien (muntah presisten, nyeri perut , tangan dan kaki dingin, anak
gelisah, tidak BAK selama 4-6 jam )
 Balance cairan tiap 6-12 jam
c. Planing dianostik
 Cek fungsi hati dan ginjal SGOT/SGPT, BUN/SC
 Usul Pemeriksaan uji serologis IgG & IgM dengue pada hari ke 5

2.7 Edukasi

 Bed rest dan Perbanyak minum dan istiirahat yang cukup.

 Laporakan bila terdapat tanda :


- Nyeri perut kanan atas

-. Muntah terus menerus

-. Produksi air kencing sedikit

-. Kesadaran menurun

16
 Tanda syok : Lemah, pucat, tangan atau kaki dingin & lembab
2.8 Prognosis
 Ad vitam : Dubia at bonam
 Ad functionam : Dubia at bonam
 Ad sanationam : Dubia at bonam

2.9 Follow Up Pasien


20 Desember 2023

S : Demam (-), lemas (+), nyeri ulu hati hilang, sesak (-), makan
minum biasa, BAB dan BAK normal.

O : KU : Sakit ringan Pemeriksaan Fisik


Kesadaran : E4V5M6 - Dalam batas normal
TTV
- TD : 102/61mmHg

- N : 82 x/m Pemeriksaan Penunjang


isi cukup reguler - ➢ Pemeriksaan Laboartorium
R : 21 x/menit (trombosit 80 ribu  menurun
- T : 36,5 0C Hematokrit : 40,5%)
aksila
- SpO2 : 98%
udara ruang
- BB : 30 kg
A : Demam Dengue (DF)
P : RL 500ml infus dengan dosis 24 tpm, Vitamin B kompleks tablet
dengan dosis 2x1 tablet ket oral, Paracetamol 500mg kaplet dengan
dosis 3/4 tablet tiap 4 jam bila suhu 38 ket oral, dan Omeprazol
40mg inj dengan dosis 1x30 mg ket iv.
Cek DL tiap 24 jam,
observasi TTV, BC, PU
21 Desember 2023

17
S : Tidak ada keluahan, makan minum biasa, BAB dan BAK biasa.
O : KU : Sakit ringan Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : E4V5M6 Dalam batas normal
TTV Pemeriksaan Penunjang
- TD : 100/62
mmHg (Trombosit 105 ribu  kembali normal
Hematokrit : 40,3% )
- N : 82x/menit
- R : 20 x/m
- T : 36,1 0C
aksila
- SpO2 : 99%
udara r ruang
- BB : 30kg

A : Demam Dengue
P : BPL, Kontrol poli Anak tgl 23 Desember 2023
Vitamin B kompleks tablet dengan dosis 2x1 tablet ket oral),
(Paracetamol 500mg kaplet dengan dosis 3/4 tablet tiap 4 jam bila
suhu 38 ket oral

18
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Demam Dengue adalah infeksi oleh virus dengue serotype DEN 1 – 4
tanpa disertai adanya kebocoran plasma. Dengue Berdarah Dengue adalah
infeksi virus dengue serotype DEN 1 – 4 disertai kebocoran plasma dengan
atau tanpa kegagalan sirkulasi (PPK Sanglah, 2017)
3.2 Epideminologi
Dengue merupakan penyakit infeksi virus yang ditularkan melalui
nyamuk dan menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia (World Health
Organization) termasuk di Indonesia. Pada awal tahun 2020, WHO
memasukkan dengue sebagai salah satu ancaman kesehatan global di antara
10 penyakit lainnya. Dengue yang tidak tertangani dapat memicu terjadinya
kejadian luar biasa (KLB), dengue berat dan kematian.
Secara global, Indonesia menempati urutan kelima jumlah kasus
terbanyak di 2022 di bawah Brazil, Vietnam, Filipina, dan India. Untuk
melawan penyakit mematikan ini, pemerintah Indonesia memiliki komitmen
serius melalui Strategi Nasional Penanggulangan Dengue 2021-2025 dengan

19
target meraih nol kematian akibat demam berdarah (zero dengue death) pada
tahun 2030.
Dibali sendiri, Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Bali
mengemukakan adanya peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD)
selama Januari 2023, jika dibandingkan dengan bulan yang sama pada dua
tahun terakhir. "Kasus demam berdarah di awal tahun ini (Januari) ada
peningkatan jika dibandingkan dengan Januari tahun lalu. Tahun 2021 sekitar
300 kasus, Januari 2022 ada 569 kasus, dan Januari 2023 781 kasus," kata
Kepala Dinkes Bali I Nyoman Gede Anom di Denpasar, Jumat. Anom
menyebut kasus demam berdarah selama Januari 2023 berasal dari Buleleng
100 kasus, Jembrana 70 kasus, Tabanan 65 kasus, Badung 89 kasus,
Denpasar 296 kasus, Gianyar 26 kasus, Bangli 17 kasus, Klungkung 95
kasus, dan Karangasem 23 kasus. Dari jumlah kasus tersebut, dua orang
pasien meninggal dunia.

3.3 Etiologi

Infeksi dengue disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus
dengue, yaitu DENV-1, 2, 3, dan 4. DEN-2 dan 3 secara bergantian
merupakan serotipe virus yang paling dominan, namun virus Dengue tipe 3
sangat berkaitan dengan kasus DBD berat. Virus dengue merupakan virus
RNA single-stranded dari family Flaviviridae dan genus Flavivirus. Virus
dengue juga merupakan virus vector borne (Arbovirus) yang penting di

20
samping virus chikungunya, Zika, West Nile virus, yellow fever virus,
Japanese encephalitis (JE) virus, St. Louis encephalitis virus (Rezeki, 2017).
Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinteksi
lebih dari satu kali selama hidupnya oleh serotipe yang sama atau yang
berbeda. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe yang lain. Virus dengue termasuk arthropod-
borne virus, yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
(Stegomyia) agypti atau Ae. Albopictus (Rezeki,2017).

Transmisi dari nyamuk ke manusia terjadi baik secara epidemi atau


endemik (daerah yang mempunyai keempat serotipe virus dengue yang
bersirkulasi sepanjang masa). Masa inkubasi virus dengue dalam darah
nyamuk 8-12 hari sebelum menularkan kepada individu yang rentan. Sekali
nyamuk terinfeksi, virus dengue akan menetap seumur hidup nyamuk dan
dapat menularkan kepada manusia yang digigitnya. Transmisi dapat juga
terjadi secara vertikal dari ibu hamil ke janin yang dikandungnya atau saat
melahirkan. (Rezeki, 2017)
4.4 Faktor Resiko
Beberapa faktor diketahui berhubungan dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu(Segala,2021)
a. Vektor: perkembangbiakan, kebiasaan menggigit, kepadatan dalam
lingkungan, jenis serotipe, transportasi dari satu tempat ke tempat lain.
b. Pejamu: terdapat penderita di lingkungan keluarga, paparan terhadap
nyamuk, status gizi, usia (> 12 tahun cenderung untuk DBD) dan jenis
kelamin (perempuan lebih rentan dari pada laki-laki).
c. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

3.5 Klasifikasi

Klasifikasi diagnosis WHO 1997

Dalam klasifikasi diagnosis WHO 1997, infeksi virus dengue dibagi


dalam tiga spektrum klinis yaitu undifferentiated febrile illness, demam dengue

21
(DD) dan demam berdarah dengue (DBD). Dalam perjalanan penyakit infeksi
dengue ditegaskan bahwa DBD bukan lanjutan dari DD namun merupakan
spektrum klinis yang berbeda.Perbedaan antara DD dan DBD adalah terjadinya
plasma (plasma leakage) pada DBD, sedangkan pada DD tidak (Gambar 1).
Selanjutnya DBD diklasifikasikan dalam empat derajat penyakit yaitu derajat I
dan II untuk DBD tanpa syok, dan derajat III dan IV untuk sindrom syok
dengue. Pembagian derajat penyakit tersebut diperlukan sebagai landasan
pedoman pengobatan.

Namun, di lain pihak sejak beberapa tahun banyak laporan dari negara-
negara di kawasan Asia Tenggara, kepulauan di Pasifik, India, dan Amerika
Latin mengenai kesulitan dalam membuat klasifikasi infeksi dengue. Kesulitan
terjadi saat menentukan klasifikasi dengue berat (severe dengue) karena tidak
tercakup di dalam kriteria diagnosis WHO 1997. Jadi, kriteria WHO yang telah
dipergunakan selama tiga puluh tahun tersebut perlu dinilai Kembali (WHO,
2011).

22
Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 2009
Latar belakang dan rasional pembuatan klasifikasi WHO 2009 telah
didukung dengan studi multisenter dalam Dengue Control study (DENCO
study) yang mencakup negara-negara endemis dengue di Asia Tenggara dan
Amerika Latin. Konsensus telah dilaksanakan pada tanggal 29 September
sampai 1 Oktober 2008 yang dihadiri oleh 50 pakar dari 25 negara.
Berdasarkan laporan klinis DENCO study yang mempergunakan pemeriksaan
klinis dan uji laboratorium sederhana, klasifikasi infeksi dengue terbagi
menjadi dua kelompok menurut derajat penyakit, yaitu dengue dan severe
dengue; dengue dibagi lebih lanjut menjadi dengue dengan atau tanpa warning
signs (dengue ±\warning signs). Konsensus para pakar tersebut telah diuji coba
di negara masing- masing dan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah.

Dengue ± warning signs


Dengue without warning signs disebut juga sebagai probable dengue,
sesuai dengan demam dengue dan demam berdarah dengue derajat I dan II pada
klasifikasi WHO 1997. Pada kelompok dengue without warning signs, perlu
diketahui apakah pasien tinggal atau baru kembali dari daerah endemik dengue.
Diagnosis tersangka infeksi dengue ditegakkan apabila terdapat demam
ditambah minimal dua gejala berikut: mual disertai muntah ruam (skin rash)
nyeri pada tulang, sendi, atau retro- orbital uji torniket positif, leukopenia, dan
gejala lain yang termasuk dalam warning signs. Pada kelompok dengue without
warning signs tersebut perlu pemantauan yang cermat untuk mendeteksi
keadaan kritis.

Dengue with warning signs


Secara klinis terdapat gejala nyeri perut, muntah terus-menerus,
perdarahan mukosa, letargi/gelisah, pembesaran hati ≥ 2cm, disertai kelainan
parameter laboratorium, yaitu peningkatan kadar hematokrit yang terjadi
bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit dan leukopenia. Apabila
dijumpai leukopenia, maka diagnosis lebih mengarah kepada infeksi dengue.

23
Warning signs berarti perjalanan penyakit yang sedang berlangsung
mendukung ke arah terjadinya penurunan volume intravaskular.Hal ini menjadi
pegangan bagi klinisi di tingkat kesehatan primer untuk mendeteksi pasien
risiko tinggi dan merujuk mereka ke tempat perawatan yang lebih lengkap
fasilitasnya. Pasien dengan warning signs harus diklasifikasi ulang apabila
dijumpai salah satu tanda severe dengue. Di samping warning signs, klinisi
harus memperhatikan kondisi klinis yang menyertai infeksi dengue seperti usia
bayi, ibu hamil, hemoglobinopati, diabetes mellitus, dan penyakit penyerta lain
yang dapat menyebabkan gejala klinis dan tata laksana penyakit menjadi lebih
kompleks.

Severe dengue

Infeksi dengue diklasifikasikan sebagai severe dengue apabila terdapat


severe plasma leakage (perembesan plasma hebat), severe bleeding (perdarahan
hebat), atau severe organ impairment (keterlibatan organ yang berat).

24
Klasifikasi Diagnosis Dengue WHO 2011
Setelah klasifikasi diagnosis dengue WHO 2009 disebarluaskan, maka
beberapa negara di Asia Tenggara mengadakan evaluasi kemungkinan
penggunaannya. Ternyata klasifikasi WHO 2009 belum dapat diterima
seluruhnya untuk menggantikan klasifikasi 1997, terutama untuk kasus anak.
Terdapat perbedaan mendasar pada kedua klasifikasi tersebut, yaitu spektrum
klinis infeksi dengue tidak dibedakan antara kelompok spektrum dengan
perembesan plasma (DBD, DSS) dan tanpa perembesan plasma (DD). Kedua,
batasan untuk dengue ± warning signs terlalu luas sehingga akan menyebabkan
ove-diagnosis. Namun, diakui bahwa perlu dibuat spektrum klinis terpisah dari
DBD, yaitu expanded dengue syndrome yang terdiri dari isolated organopathy
dan unusual manifestations. Berdasarkan hal tersebut, klasifikasi diagnosis
dengue WHO 2011 disusun hampir sama dengan klasifikasi diagnosis WHO
1997, namun kelompok infeksi dengue simtomatik dibagi menjadi
undifferentiated fever, DD, DBD, dan expanded dengue syndrome terdiri dari
isolated organopathy dan unusual manifestation (Gambar 3). Klasifikasi yang
merupakan revisi edisi sebelumnya dimuat dalam buku WHO “Comprehensive
guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic
fever, revised and expanded edition” tahun 2011.

25
Expanded dengue syndrome
Kasus infeksi dengue dengan unusual manifestation tidak jarang terjadi
pada kasus anak. Unusual manifestation atau manifestasi yang tidak lazim,pada
umumnya berhubungan dengan keterlibatan beberapa organ seperti hati, ginjal,
jantung, dan gangguan neurologis pada pasien infeksi dengue (Tabel 1).
Kejadian unusual manifestation infeksi dengue tersebut dapat pula terjadi pada
kasus infeksi dengue tanpa disertai perembesan plasma
Pada umumnya unusual manifestation berhubungan dengan ko-infeksi,
ko- morbiditas, atau komplikasi syok yang berkepanjangan (prolonged shock)
disertai kegagalan organ (organ failure). Pada ensefalopati seringkali dijumpai
gejala kejang, penurunan kesadaran, dan transient paresis. Ensefalopati dengue
dapat disebabkan oleh perdarahan atau oklusi (sumbatan) pembuluh darah.
Sayangnya otopsi di Indonesia tidak dapat dikerjakan sehingga penyebab yang
sebenarnya sulit dibuktikan. Selain itu, terdapat laporan bahwa virus dengue
dapat melewati sawar darah-otak dan menyebabkan ensefalitis. Infeksi dengue
berat dapat disebabkan oleh kondisi ko- morbid pada pasien seperti usia bayi,
obesitas, lansia, ibu hamil,rulkus peptikum, menstruasi, penyakit hemolitik,
penyakit jantung bawaan, penyakit kronis seperti DM, hipertensi, asma, gagal
ginjal kronik, sirosis dan pengobatan steroid (WHO, 2011)

26
3.6 Patofisiologi

Dari studi in-vitro dan autopsi (kulit, hati, limpa, kelenjar limfe, ginjal,
sumsum tulang, paru, kelenjar timus, dan otak) diduga terdapat tiga organ
penting yang terlibat dalam patogenesis infeksi dengue yaitu sistem imun, hati,
dan sel endotel pembuluh darah. Virus masuk ke dalam tubuh manusia diawali
dengan gigitan nyamuk yang mengandung virus dengue. Setelah virus masukke
dalam aliran darah akan terjadi infeksi pada sel Langerhans imatur (epidermal
dendritic cells dan ceratinocytes) yang berada di lapisan epidermis dan dermis.
Sel yang terinfeksi akan memasuki kelenjar limfe dan selanjutnya terjadi
infeksi sel monosit dan makrofag yang menjadi target infeksi dengue dan
terjadi viremia. Viremia primer tersebut akan mengakibatkan infeksi pada
monosit dan mielosit yang berada di hati dan limpa (Rezeki, 2017).

27
Respons imun pada infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue yang
berbeda, diawali oleh IgG anti dengue yang telah ada dengan kadar yang tinggi,
dan selanjutnya akan membentuk kompleks imun dengan virus dengue yang
baru masuk (kompleks antigen-antibodi). Kompleks imun yang terjadi tersebut
mengakibatkan uptake virus oleh reseptor sel monosit/makrofag meningkat,
replikasi virus meningkat, sehingga viral load juga meningkat. Sel mononuklear
yang terinfeksi akan mati (apoptosis), namun sel dendrit akan terangsang untuk
mengeluarkan mediator yang akan berperan dalam inflamasi dan hemostasis.
Sel yang terinfeksi dan viremia yang terjadi akan berperan delam menghasikan
sitokin pro-infiamasi dan anti-inflamasi. Saat terjadi syok, virus sudah tidak
dapat dideteksi lagi, sehingga respons pejamu akan memegang peran penting
ada patogenesis infeksi dengue. Hati merupakan organ penting, peningkatan
enzim transaminase berhubungan dengan peningkatan tendensi terjadinya
perdarahan. Virus dengue juga mengakibatkan kematian sel hepatosit
(apoptosis) dan nekrosis, walaupun reaksi inflamasi dalam jaringan hati sangat
terbatas.
Sel endotel pembuluh darah memegang peran dalam respons koagulasi
akibat inflamasi. Keterlibatan sel endotel terutama terdapat pada pembuluh
darah pulmonal dan abdominal. Dalam studi in-vitro tampak replikasi virus
mengakibatkan kelainan fungsi endotel dan tidak terjadi perusakan morfologi
sel. Mengapa hanya terjadi efusi pieura dan asites sedangkan edema tidak
terjadi di tempat lain? Pada autopsi dijumpai apoptosis pada sel endotel di paru
dan abdomen, mungkin hal tersebut yang menyebabkan mengapa perembesan
plasma hanya terbatas pada jaringan paru dan abdomen.
Disamping itu, jarak antara infeksi primer dan sekunder memegang
peran, makin lama jaraknya kecenderungan menjadi infeksi dengue semakin
tinggi. Di Asia, infeksi pada anak lebih berat dari pada dewasa, beda dengan
kejadian di Singapura dan Amerika terutama mengenai dewasa dengan infeksi
ringan.
Hipotesis yang masih dianut sampai saat ini adalah hipotesis secondary
of heterotypic dengue intection atau dikenal sebagai antibody dengue

28
enhanchment (ADE) yaitu, jika seseorang mendapat infeksi untuk kedua
kalinya dengan serotipe yang berbeda akan menyebabkan dengue berat.
Hipotesis tersebut telah dilaporkan pada tahun 1930-an oleh Hawkes pada
penelitian in-vitro. Beberapa faktor memegang peran pada teori ADE in-vitro,
yang terpenting adalah adanya reseptor Fcg yang terdapat pada permukaan sel
makrofag mononuklear. Antibody enhancing immune-globulin G (un-
neutralized antibody) akan mengikat virus untuk menempel pada permukaan
sel makrofag dan membawa infectious virion mendekati reseptor. Jadi virus-
specific antibody dan reseptor Fc bekerja sama sebagai co-receptor, sehingga
ikatan menjadi kuat dan meningkatkan jumlah sel yang terinfeksi. Dilaporkan
juga peningkatan jumlah sel yang terinfeksi virus dengue dipicu oleh IgM dan
reseptor komplemen C3. Jadi pada seorang pasien yang terinfeksi virus dengue,
pre-existing antibody dapat mengakibatkan peningkatan memperpendek masa
inkubasi, dan meningkatkan derajat keparahan penyakit. Di lain pihak cell
mediated immune viral load system (CMI) berperan pada keberadaan reseptor
Fcg pada permukaan sel, maka ADE dapat merusak sel tersebut. Halstead dkk.
dengan penelitian ADE pada binatang percobaan (non-human primate) dengan
pemberian virus Den-2 didapatkan gejala klinis berat dan terjadi viremia
sepuluh kali lipat dibandingkan infeksi primer. Hasil tersebut tidak ditemukan
pada binatang percobaan lain dari serotipe lainnya. Namun WHO tetap
menganjurkan untuk memperhatikan hasil penelitian ADE yang dilakukan pada
manusia (WHO, 2011).

Beberapa penelitian klinis pada manusia memperlihatkan bahwa tingkat


derajat viremia yang tinggi berhubungan dengan kejadian DBD dan SSD, pada
infeksi sekunder oleh virus dengue heterotipik. Secara klinis dapat ditemukan
pada bayi berumur kurang dari satu tahun (umur 6-9 bulan) yang mendapat
infeksi primer berat karena pengaruh antibodi maternal yang disalurkan melalui
plasenta ke janin. Hal ini merupakan salah satu bukti adanya peran ADE,
walaupun di lain pihak sulit dijelaskan peran sel T pada bayi.
Peran sel T pada patogenesis virus dengue juga sangat penting.
Berdasarkan penelitian in-vitro dan in-vivo, dilaporkan bahwa aktivasi sel T

29
berperan pada terjadinya perembesan plasma (plasma leakage). Interaksi
antigen- presenting cell (APC) dan sel T akan memicu proliferasi dan produksi
sitokin pro-infiamasi seperti IFN-y dan TNF-a. Sitokin tersebut secara langsung
berdampak pada endotel vaskular sehingga terjadi perembesan plasma.
Terjadinya perembesan plasma merupakan patogenesis yang terjadi pada DBD
dan tidak terjadi DD, maka pada DBD dapat terjadi syok hipovolemik (sindrom
syok dengue = SSD).
Disamping beberapa teori tersebut, masih banyak faktor yang berperan
pada patogenesis infeksi dengue, misainya virulensi virus dari serotipe tertentu
(serotipe den-2 dan den-3 dilaporkan lebih virulen dari pada serotipe yang lain),
atau genetic host susceptibility, misalnya HLA tertentu berhubungan dengan
derajat penyakit. Faktor lain seperti pre-existing anti dengue antibody (infeksi
terdahulu atau antibodi maternal pada bayi), genetik pejamu, umur (secara
klinis anak cenderung lebih berat dari dewasa), infeksi sekunder, dan pada
negara yang mempunyai dua atau lebih serotipe yang bersirkulasi cenderung
terjadi KLB.

30
31
32
3.7 MANIFESTASI KLINIS

a. DEMAM DENGUE

Kriteria Diagnosis Menurut WHO 2011


Gejala & Tanda Laboratorium
Demam yang diikuti 1. leukopenia (leukosit ≤5000 sel/mm2
minimal 2 gejala berikut ;

1. Nyeri kepala 2. Trombositopenia (platelet <150.000


sl/mm2

2. Nyeri Retroorbital 3. Peningkatan Hematokrit (5-10%)


3. Mialgia 4. Tidak ada bukti adanya kebocoran
plasma
4. Atralgia / Nyeri Tulang
5 Rash
6. Manifestasi Perdarahan

b. DENGUE HEMORAGE FEVER

Kriteria Diagnosis Menurut WHO 2011

Grade Gejala & Tanda Laboratorium


I Demam yang diikuti 1.Trombositopenia
salah satu atau lebih (platelet<100.000sel/mm2)
gejala berikut ;
1. Nyeri kepala 2.Peningkatan Hematokrit
2. Nyeri Retroorbital
≥20%
3. Mialgia
4. Atralgia /Nyeri Tulang
5 Rash
6.Manifestasi Perdarahan
yang di provokasi
(tes

33
tornike positif) dan

adanya bukti kebocoran


plasma

II Seperti DBD gradeI 1.Trombositopenia


disertai dengan
perdarahan spontan <100.000 sel/mm2
2.Peningkatan Hematokrit

≥20%
IIISeperti derajat I atau II 1. Trombositopenia<100
ssel/mm2
ditambah kegagalan sirkula
(nadi lemah, tekanan nadi
2.Peningkatan Hematokrit
≤ 20 mmHg, hipotensi, h
gelisa diuresis menurun ≥20%

IV Syok hebat dengan tekanan 1. Trombositopenia<100


darah dan nadi yang tidak 2 sel/mm
terdeteksi
2.Peningkatan Hematokrit
≥20%

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis DBD selama perjalanan penyakit dapat dibagi dalam 3


fase yaitu fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan atau konvalesens.

Fase demam terjadi pada hari sakit pertama sampai ketiga, pada fase ini
sult dibedakan dengan demam dengue. Masalah yang harus diwaspadai pada
fase demam adalah dapat terjadi kejang pada anak yang mempunyai riwayat
kejang demam. Pada fase demam tersebut pada umumnya anak menolak makan
minum, mengeluh mual dan muntah disertai demam tinggi, maka perlu diawasi
tanda-tanda dehidrasi. Hal ini penting diperhatikan karena dehidrasi yang

34
terjadi dapat mempercepat terjadi syok hipovolemik dan mempercepat pasien
masuk ke fase kritis.

Manifestasi perdarahan dapat berupa uji Tourniquete yang positif, petekie


spontan di daerah ekstremitas, muka, dan palatum mole. Epistaksis dan
perdarahan gusi dapat ditemukan, kadang disertai dengan perdarahan ringan
saluran cerna, sedangkan hematuri lebih jarang ditemukan. Pada remaja
perempuan dapat disertai menomhagia. Hepatomegali dapat ditemukan sejak
fase demam dengan pembesaran bervariasi antara 2-4 cm bawah arkus kosta.
Maka perabaan hati harus selalu dilakukan sejak awal penyakit. Pada umumnya
hepatomegali tidak disertai dengan ikterus dantidak berhubungan dengan
derajat penyakit. Dliaporkan hepatomegali lebih sering ditemukan pada SSD
dengan perdarahan.
Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever defervescence),
pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok
hipovolemi. Kewaspadaan dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok
yaitu dengan mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok (warning
signs). Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu
antara hari sakit ke 3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat
merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien
masuk ke keadaan syok. Pasien tampak semakin lesu, tetapi pada umumnya
tetap sadar. Gejala tersebut dapat menetap walaupun sudah terjadi syok.
Kelemahan, pusing atau hipotensi postural dapat terjadi selama syok.
Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di tempat pengambilan darah
merupakan manifestasi perdarahan penting. Hepatomegali dan nyeri perut
sering ditemukan. Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan progresif
menjadi di bawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan hematokrit di atas data dasar
merupakan tanda awal perembesan plasma, dan pada umumnya didahului oleh
leukopenia (>5.000 sel/mm3).
Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu tanda
paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma yang pada
umumnya berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan hematokrit mendahului

35
perubahan tekanan darah serta volume nadi, oleh karena itu, pengukuran
hematokrit berkala sangat penting, apabila makin meningkat berarti kebutuhan
cairan intravena untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah,
sehingga penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien akan
jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif dan
profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan organ
progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Perdarahan hebat yang
terjadi menyebabkan penurunan hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula
leukopenia dapat meningkat sebagai respons stres pada pasien dengan
perdarahan hebat. Beberapa pasien masuk ke fase kritis perembesan plasma dan
kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien tersebut
peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain itu,
pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan
organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan atau perdarahan
hebat, yang dikenal sebagai expanded dengue syndrome.
Fase Penyembuhan (konvalesen) apabila pasien dapat melalui fase kritis
yang berlangsung sekitar 24-48 jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang
ekstravaskular ke dalam ruang intravaskular yang berlangsung secara bertahap
pada 48-72 jam berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis menyusul
kemudian. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa
kasus lain dapat disertai pruritus umum. Bradikardia dan perubahan
elektrokardiografi pada umumnya terjadi pada tahap ini. Hematokrit kembali
stabil atau mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi.
Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh akan
tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih lambat. Gangguan
pernapasan akibat efusi pleura masif dan ascites, edema paru atau gagal jantung
kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase pemulihan jika cairan
intravena diberikan berlebihan.

36
Gambar 1. Perjalanan Penyakit Dengue
Warning Signs
Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan
penyakit infeksi dengue, seperti berikut:
• Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa
transisi ke fase bebas demam/sejalan dengan proses penyakit
• Muntah yang menetap, tidak mau minum
• Nyeri perut hebat
• Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
• Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi
yang hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
• Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
• Pucat, tangan dan kaki dingin dan lembab
• Diuresis kurang/tidak ada dalam 46 jam

37
3.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

I. Parameter Hematologi

Untuk menegakkan diagnosis infeksi dengue pertu dilakukan yaitu


pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jurmlah leukosit beserta
hitung jenis, dan jumlah trombosit. Hasil pemeriksaan tergantung pada
fase perjalanan penyakit. Pada awal fase demam, baik pada DD maupun
DBD hitung leukosit seringkali masih normal dapat disertai peningkatan
neutrofil. Namun pada akhir fase demam, jumlah leukosit dan neutrophil
mencapai titik terendah. Perubahan jumlah leukosit (<4.000 sel/mm 3) dan
rasio antara neutrofil dan limfosit berguna dalam memprediksi masa kritis
terjadinya perembesan plasma. Seringkali ditemukan limfositosis relatif
dengan peningkatan limfosit atipik pada akhir fase demam atau saat
masuk fase kritis.
Jumlah trombosit masih normal pada awal fase demam, trombosit
menurun ≤100.000/ul terjadi pada akhir fase demam memasuki fase kriti
atau saat penurunan suhu. Penurunan jumlah trombosit dapat dijumpai
baik pada DD, namun selalu ditemukan pada DBD, Jadi trombositopeni
pada umumnya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai delapan, dan
sering mendahului peningkatan hematokrit. Telah terbukti bahwa jumlah
trombosit berhubungan dengan derajat penyakit DBD. Disamping itu
terjadi gangguan fungsi trombosit (trombositopati), sehingga seringkali
jumlah trombosit masih normal namun fungsinya terganggu. Perubahan
pada jumlah trombosit berlangsung singkat dan kembali normal selama
fase penyembuhan.
Demikian pula pada awal demam nilai hematrokit masih normal.
Peningkatan ringan pada umumnya disebabkan oleh dehidrasi sebagai
akibat demam tinggi anoreksia dan muntah. Peningkatan hematokrit lebih
dari 20% terjadi saat memasuki fase kritis, sebagai tanda dari perembesan
plasma. Harus diperhatikan bahwa perubahan nilai hematrokit dapat
diakibatkan oleh pemberian cairan atau adanya perdarahan. Jadi, untuk
manegakkan diagnosis DBD, selain gejala klinis harus disertai penurunan

38
kadar trombosit ≤100.000/ul. dan peningkatan hematokrit ≥20%
Penurunan hematokrit dan peningkatan trombosit tanpa demam
merupakan tanda fase penyembuhan.

II. Deteksi Asam Nukleat Virus dan Antigen Virus Dengue

Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat dapat


dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RTPCR). Pemeriksaan PCR memberikan hasil positif jika
sediaan diambil pada enam hari pertama demam. Pemeriksaan PCR
hanya tersedia di laboratorium biologi molekular dengan petugas
laboratorium yang berpengalaman. Mengingat biaya pemeriksaan PCR
mahal, maka hanya dilakukan untuk keperiuan penelitian.
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilakukan untuk
pelayanan pasien adalah pemeriksaan antigen NS-1 dengue, yaitu suatu
glikoprotein (penting bagi kehidupan dan reflikasi virus ) yang diproduksi
oleh semua flavivirus. Protein ini dapat dideteksi pada saat terjadi viremia
yaitu sejak hari pertama demam dan menghilang setelah 5 hari.
Sensitivitas NS-1 dengue tinggi pada demam hari pertama-kedua,
kemudian menurun.
III. Uji Serologis

Pemeriksaan respons imun terhadap infeksi virus dengue adalah


haemaglutination inhibition test (uji HI), complement fixation test (CFT),
neutralization test (uji neutralisasi), pemeriksaan serologi IgM dan IgG
antibodi antidengue. Pada saat ini uji HI dan CFT tidak banyak dipakai
untuk menegakkan diagnosis. Uji neutralisasi merupakan pemeriksaan
yang paling sensitif dan spesifik, metode yang paling sering dipakai
adalah plaque reduction neutralization test (PRNT). Pemeriksaan PRNT
jarang dilakukan di laboratorium klinik, namun sangat berguna untuk
penelitian efikasi vaksin.

39
Pemeriksaan uji serologi IgM dan IgG antidengue merupakan uji
yang sering dipergunakan dalam menegakkan diagnosis infeksi dengue,
baik infeksi primer maupun sekunder. Imunoglobulin M antidengue
memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit
kelima dan tidak terdeteksi setelah sembilan puluh hari. Pada infeksi
dengue primer, IgM dapat terdeteksi sebelum IgG antidengue. Namun
pada infeksi sekunder IgG dapat terdeteksi lebih awal daripada IgM dan
bertahan lama dalam serum. Perlu diamati bahwa kadar IgM antidengue
pada infeksi primer lebih tinggi dari pada pada infeksi sekunder.
Gambaran NS-1 antigen virus dengue dan IgM/ IgG antidengue,
merupakan petunjuk untuk klinisi menentukan jenis pemeriksaan
selanjutnya yang diperlukan, serta untuk membedakan antara infeksi
primer dengan infeksi sekunder.

IV. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi dada untuk mendeteksi adanya efusi. Awal


perembesan plasma dari intravaskular ke jaringan interstitial paru, pada
pemeriksaan radiologi terlihat kesuraman di lapangan hemitoraks kanan
(gambaran hemitoraks kanan lebih opaque dibandingkan kiri). Tampak
pula gambaran lebih padat di daerah hilus kanan disertai gambaran
diafragma kanan lebih tinggi dari pada kiri (lebih dari 2 intercostal space).
Efusi pleura terutama pada hemitoraks kanan merupakan temuan yang
selalu ada jika hemokonsentrasi ≥20%. Derajat luasnya efusi pleura seiring
dengan derajat penyakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat dipakai untuk
menemukan adanya asites dan edema dinding kandung empedu.

40
.

Indikasi pemeriksaan pemeriksaan foto dada dalam posisi right

lateral decubitus

 Distres pernafasan/ sesak

 Jika klinis meragukan, perlu diingat bahwa terdapat kelainan

radiologis terjadi apabila pada perembesan plasma telah

mencapai 20%-40%

 Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan

untuk menilai edema paru karena overload pemberian cairan.

 Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah

paru terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih

radioopak dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih

tinggi daripada kanan, dan efusi pleura (Rezeki, 2017)

V. Pemeriksaan Laboratorium ABCS

Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok


saat tidak ada perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup,
maka perhatikan ABCS yang terdiri dari, A – Acidosis: gas darah, B –
Bleeding: hematokrit, C – Calsium: elektrolit, Ca++ dan S – Sugar: gula
darah
(dekstrostik) .

41
3.9 TATALAKSANA

Pada kasus tersangka infeksi dengue yang perlu diperhatikan


adalah, adakah warning signs sebagai gejala awal dari kegawatan. Jika
terdapat warning signs segera rawat, namun jika tidak ada dapat berobat
jalan kecuali terdapat komorbiditas atau indikasi sosial (misalnya akses
ke rumah sakit jauh). Pada saat dipulangkan diberikan nasehat jika
terdapat warning signs segera kembali ke fasilitas kesehalan yang
mengirim untuk dinilai kembali apakah perlu perawatan atau tidak.2

42
Dengue case classification and level of severity Dikutip dari: Dengue Guideline for
Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control. New edition, 2009 halaman 11.1

43
44
45
46
47
48
3.10 KOMPLIKASI

Kegagalan multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal, hipoksia,


dan asidosis. Aktivasi koagulasi yang luas menyebabkan pembentukan
fibrin intravaskular dan oklusi pembuluh darah kecil yang mengakibatkan
timbulnya trombosis. Perdarahan internal atau tersamar terjadi apabila
pasien mengalami syok refrakter (syok yang tidak berhasil diatasi dengan
pedoman syok pada umumnya), disertai hemoglobin dan hematokrit rendah
atau menurun. Pada pemantauan, tekanan sistolik dan diastolik meningkat
atau normal namun denyut nadi cepat.2
Kelebihan cairan dapat ditemukan saat fase kritis dan fase
konvalesens. Hal tersebut perlu mendapat perhatian serius karena dapat
menyebabkan edema paru, gagal jantung, akhirnya terjadi gagal napas, dan
kematian. Pencegahan yang dapat dilakukan ialah monitor ketat pada
pemberian cairan intravena. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai
kelima tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan
plasma masih terjadi. Namun, segera kurangi cairan intravena saat masuk
tase konvalesens (saat terjadi hemodilusi). Edema paru dapat terjadi saat
fase reabsorbsi dari ruang ekstravaskular, dengan gejala distres
permapasan, kelopak mata sembab, dan gambaran edema paru pada foto
dada. Seringkall pemberian cairan hanya berpedoman pada nilai kadar
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit. Apabila nadi
cukup kuat, fungsi ginjal baik (pastikan syok telah teratasi secara baik),
dapat diberikan furosemide 0,5 mg intravena dua kali sehari. Selanjutnya
pantau diuresis 1-2 ml/kgBB/jam dan volume urin, serta kadar ureum dan
kreatinin.
Ensefalopati dengue terjadi sebagai akibat udem otak dipicu oleh
hipoksia, disfungsi hati (hepatic encephalopathy) dengan peningkatan
kadar amoniak, kelainan metabolik seperti hipoglisemia, hiponatremia, dan
hipokalsemia, serta perdarahan kapiler serebral. Periu dibedakan antara
ensefalopati dengue dengan infeksi virus JE pada daerah endemis, maka
diperlukan pemeriksaan IgM anti JE. Tatalaksana ensefalopati dengue,

49
terdiri dari bebaskan jalan nafas dan pertahankan oksigenasi, mencegah
tekanan intrakranial meninggi (dengan pemberian diamox atau kortiko-
steroid jika tidak ada perdarahan), mencegah hipoglikemia (pertahankan
kadar gula darah>60mg%), menurunkan produksi amoniak (dengan
pemberian neomisin 50mg/kgbb/hari, maksimal 1 gram/hari, dan laktulosa
510ml, 3-4 kalihari), pemberian vit K (3-10 mg, 3 kali sehari), koreksi
asidosis dan gangguan elektrolit, cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan,
dan mencegah infeksi sekunder (IDAI, 2019).

3.11 PROGNOSIS

Prognosis pada infeksi dengue dapat dipengarugi oleh faktor risiko


yang menyertainya. Bayi, lansia, obesitas, imunocompromise, merupakan
risiko tinggi maka harus mendapat perhatian khusus dengan monitor ketat.

50
BAB IV
PEMBAHASAN
Kriteria demam dengue menurut WHO yaitu demam 2-7 hari dengan dua
atau lebih manifestasi; nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, ruam kulit,
manifestasi perdarahan (petekie, epistaksis, purpura) dan leukopenia, namun
dalam hasil anamnesis kasus ini ditemukan kriteria demam mendadak tinggi
yang berlangsung sudah 5 hari tidak membaik dengan pengobatan, disertai mual
muntah, nafsu makan menurun dan nyeri daerah kepala, retroorbital dan nyeri
perut serta produksi urin menurun dalam 12 jam dengan keadaan umum tampak
sakit sedang dan anak tampak lemas, dan untuk tanda warning sign tidak
ditemukan, tanda pendarahan spontan (seperti gusi berdarah(-), mimisian(-) ,
ptekie(+ ). Untuk tanda tanda syok tidak ditemukan dalam anamnesis dan
pemeriksaan fisik akral hangat dan tidak ditemukan tanda kebocoran plasma
secara klinis yaitu distensi abdomen. Selain itu dalam penatalaksanaan pasien ini
dibutuhkan observasi ketat dari tanda tanda vital, balance cairan, pemeriksaan
darah lengkap, pemeriksaan radiologi untuk menunjang dari kasus ini, namun
kekurangan dari penulis tidak menyertakan lampiran follow up balance cairan
pada kasus ini.
Kasus ini menggambarkan presentasi klinis pada anak laki laki usia 10
tahun awalnya datang dengan Febris hari ke 5 et causa DF namun pada observasi
di ruangan pada febris hari 6 dengan hasil pemeriksaan trombositopenia dan
hematokrit dalam batas normal, sehingga pasien ini dikatakan sudah melewati
fase kritisnya. Sehingga diagnosisnya menjadi DF. Pemeriksaan laboratorium
ditemukan leukosit normal dan trombosit diatas 100 ribu di hari ke 7 demam,
nilai leukosit biasanya normal saat permulaan demam kemudian leukopeni
hingga periode demam berakhir, nilai trombosit normal, demikian pula
komponen lain dalam mekanisme pembekuaan darah. Pada beberapa epidemi
biasanya terjadi trombositopeni, Serum biokimia/enzim biasanya normal, kadar
enzim hati mungkin meningkat. Dalam menentukan derajat penyakit,
patofisiologi yang terpenting ialah adanya perembesan plasma dan kelainan

51
hemostasis yang bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit dan
trombositopenia (Wang et al, 2020; WHO, 2011). (Hadinegoro dkk, 2014;
Pudjiadi dkk, 2019).
Kriteria diagnosis DBD/DHF (Case definition) berdasarkan WHO antara
lain; Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus selama 2-7 hari,
terdapat manifestasi perdarahan termasuk uji tornikuet positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena, pembesaran hati, syok
ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi. Kriteria laboratorium:
Trombositopenia (≤100.000/UI), hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit
lebih dari 20% hal ini sduah sesuai dengan kasus (WHO, 2011; Hadinegoro dkk,
2014).
Pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas vaskular yang
mengakibatkan kebocoran cairan plasma ke interstisial. Volume darah yang
bersirkulasi berkurang, terjadi hemokonsentrasi, dan pada kasus berat akan
terjadi syok hipovolemik. Setelah beberapa hari (24-48 jam) peningkatan
permeabilitas kembali normal secara spontan, cairan yang bocor direabsorbsi dan
pasien sembuh cepat.
Tatalaksana DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan
memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya
Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID). Penatalaksanaan kasus DBD bersifat
simptomatis dan suportif meliputi; tirah baring selama fase demam akut,
Antipiretik atau sponging untuk menjaga suhu tubuh tetap dibawah 40 derajat C,
sebaiknya diberikan paracetamol, analgesik atau sedatif ringan mungkin perlu
diberikan pada pasien yang mengalami nyeri yang parah, terapi elektrolit dan
cairan secara oral dianjurkan untuk pasien yang berkeringat lebih atau muntah
(Alam et al, 2021; WHO, 2011) Hal ini sudah sesuai dengan terapi pasien yang
diberikan terapi awal dengan resusitasi cairan susai protap dari PPK Sanglah
dimulai dari pemberian RL 10-20 ml/KgBB dalam satu jam kemuadian di
observasi tanda vital kemudian cairan infus diturunkan 7, 5, 3, 1.5 kgBB/ jam
hingga diberikan cairan rumatan dan infus di stop sesui dengan kedaaan klinis

52
akan tetapi dalam kasus diberikan cairan koloid bersama kristaloid untuk
menangani kasus syoknya secara cepat
Prinsip pemberian cairan untuk DBD adalah penggantian volume plasma.
Pada DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang membutuhkan
pemberian cairan kristaloid sejumlah cairan dehidrasi sedang (rumatan ditambah
5-8%). Pilihan cairan resusitasi inisial untuk anak adalah kristaloid isotonis. Pada
pasien SSD dapat terjadi asidosis dan gangguan elektrolit yang harus dikoreksi.
Pemberian cairan resusitasi secara agresif memberikan prognosis yang baik.
Berdasarkan penelitian berbasis ilmiah belum ada bukti bahwa pemberian koloid
lebih unggul dari pada kristaloid untuk resusitasi inisial pada anak. (WHO, 2011)
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali
dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk
mencegah terjadinya oedem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh)
bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi
hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak
masih sehat.
Kriteria memulangkan pasien antara lain; tidak demam selama 24 jam
tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis,
hematokrit stabil,Tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit diatas
50.000/µl, tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau
asidosis) (WHO, 2011; Pudjiadi dkk, 2019).Pada hari keempat perawatan febris
hari ke 8 pasien tidak demam dalam 24 jam, nafsu makan dan minum pasien
sudah membaik, dan tampak adanya perbaikan klinis, kemudian pasien
dipulangkan.

Terjadinya penyakit DBD tidak terlepas dari adanya interaksi antara


vektor penular penyakit DBD yang mengandung virus Dengue dengan manusia
melalui peranan lingkungan rumah sebagai sebagai media interaksi.Beberapa
faktor lingkungan rumah yang dianggap berkontribusi terhadap terjadinya
penyakit DBD diantaranya kepadatan rumah, adanya tempat perindukan nyamuk,

53
tempat peristirahatan nyamuk, kepadatan nyamuk, angka bebas jentik, dan lain –
lain.
Edukasi kepada keluarga pasien mengenai pola hidup sehat dan
menunjang lingkungan yang bersih untuk mencegah penyakit serupa terulang.
Edukasi kepada keluarga pasien untuk melakukan tirah baring, pemberian cairan
per oral seperti jus buah, susu, disamping air putih
Edukasi kepada keluarga pasien tentang faktor risiko eksternal terutama
lingkungan dan kondisi rumah. Edukasi kepada keluarga mengenai pentingnya
menjaga kesehatan dan lingkungan sekitar rumah untuk mencegah erjadinya
penyakit ini terulang pada anggota keluarga lain. Edukasi kepada keluarga pasien
untuk menggunakan krim/semprot anti nyamuk saat bepergian dan menjauhi area
yang dapat menjadi sumber penyebaran nyamuk menggunakan gambar visual.
Edukasi kepada keluarga pasien tentang pentingnya peran keluarga dalam
mendorong pasien untuk kembali sehat dan dapat beraktivitas seperti biasanya.
Pemeriksaan jentik dilakukan 100 m dari rumah pasien bersama dengan tim di
puskesmas. Kepada pasien diberikan terapi farmakologi berupa sirup
Paracetamol.
Community oriented dilakukan untuk memotivasi keluarga pasien untuk
menginisiasi gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah, terutama
genangan air, tumpukan rongsok sampah. Memberi saran kepada kepala desa
untuk bekerja sama dengan Puskesmas dalam melakukan kegiatan penyuluhan
tentang penyakit DBD. Materi yang disampaikan meliputi pengertian DBD, ciri-
ciri nyamuk DBD, siklus penularan nyamuk, gejala penyakit DBD, penanganan
pertama pencegahan wabah DBD, melakukan serta mengawasi kegiatan jumat
bersih untuk membersihkan lahan yang tergenang oleh air. Memberikan saran
kepada pamong desa untuk ikut serta aktif dalam kegiatan acara jumat bersih dan
dilkakukan pengawasan dalam pelaksanaannya (Melaksanakan program 3M
plus).

54
BAB V
KESIMPULAN
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat dan endemis di Indonesia. Demam berdarah dengue (DBD)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan
spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam
dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock
syndrome (DSS). Berdasarkan kasus yang diuraikan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan
Demam Dengue dan telah diberikaan tatalaksana komprehensif sesuai teori dan
keadaan klinis pasien.

55
DAFTAR PUSTAKA

Buku Pedoman Praktik Klinik Ilmu Kesehatan Anak, RSUP Sanglah,


Denpasar, 2017.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Klasifikasi dan tatalaksana infeksi dengue.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2019.
Hadinegoro, S Sri Rezeki, Pitfalls, Pearls. 2017. Diagnosis dan Tata Laksana
Demam Berdarah Dengue, dalam: Current Management of Pediatrics Problem.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Hal 63-72.
Karen J, Dkk. 2018. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6.
Jakarta : ELSEVIER.

56
Kemenkes RI. 2021. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor Hk.01.07/Menkes/4636/2021 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Infeksi Dengue Anak Dan Remaja. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Sagala, M. 2021. Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Masyarakat
dengan Kejadian DBD Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Bulan Selayang II
Kecamatan Medan Selayang Tahun 2021. Skripsi. Politeknik Kesehatan
Kemenkes Medan.
Update Management Of Infectious Disease And Gastrointestinal Disorders,
Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta 2012
WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Technical Publication Series No. 60:
1-1

57

Anda mungkin juga menyukai