Oleh:
Sri Lia Alni
019.06.0088
Pembimbing:
dr. Tjokorda Istri Oka Dwiprasetya Handayani, M.Biomed, Sp.KK
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang penulis miliki, penyusunan laporan Case
Based Discussion dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini membahas
mengenai hasil Case Based Discussion yang berjudul “Tinea corporis et tinea cruris”.
Penyusunan laporan ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak,
maka dari itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Tjokorda Istri Oka Dwiprasetya Handayami, M.Biomed, Sp.KK yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan selama pelaksanaan Case Based
Discussion.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi penulis.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis yang terbatas untuk menyusun
laporan ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan laporan ini. Penulis berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penuli
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tinea Corporis merupakan infeksi jamur golongan dermatofita yang terdapat
di daerah kulit tidak berambut/ kulit halus (glabrosa) kecuali telapak tanngan, telapak
kaki dan inguinal. Sedangkan infeksi pada daerah inguinal, pubis, perineum dan
perianal disebut sebagai tinea Cruris.
2.2 Etiologi
Semua genus dermatofita baik Microsporum, Trichopyton maupun
Epidermophyton dapat menyebabkan tinea corporis dan tinea cruris. Trichopyton
rubrum dan Trichopyton mentagrophytes merupakan golomgan jamur dermatofita
yang paling sering menjadi penyebab tinea corporis. Sedangkan tinea cruris juga bisa
disebabkan oleh Epidermophyton floccosum.
2.3 Epidemiologi
Di Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis
dan tinea corporis dan tinea cruris merupakan dermatofitosis terbanyak. Indonesia
merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan kelembapan
yang tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur, sehingga jamur
dapat ditemukan hampir di semua tempat. Kasus tinea cruris 3 kali lebih banyak
diderita oleh laki-laki dari pada wanita dan dewasa lebih sering dibandingkan anak-
anak.
4
5) Obesitas dan diabetes mellitus juga merupakan faktor risiko tambahan karena
keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan infeksi.
2.5 Patofisiologi
Patogenesis dari tinea ini juga masih belum begitu jelas. Dikatakan bahwa
dermatofit merilis beberapa enzim, termasuk keratinase, yang memungkinkan
mereka untuk menyerang stratum korneum dari epidermis sehingga menyebabkan
kerusakan. Ada juga teori patogenesis yang mengungkapkan adanya invasi
epidermis oleh dermatofit mengikuti pola biasa pada infeksi yang diawali dengan
pelekatan antara artrokonidia dan keratinosit yang diikuti dengan penetrasi melalui
sel dan antara sel serta perkembangan dari respon penjamu.
Perlekatan: Pada stratum korneum, fase pertama dari invasi dermatofit
melibatkan infeksi artrokonidia ke keratinosit. Secara in-vitro, proses ini komplit
dalam waktu 2 jam setelah kontak, dimana stadium germinasi dan penetrasi
keratinosit timbul. Berbagai dermatofit menunjukkan kerja yang sama, yang tidak
terpengaruhi oleh sumber keratinosit. Dermatofit ini harus bertahan dari efek sinar
ultraviolet, temperatur dan kelembaban yang bervariasi, kompetisi dengan flora
normal, dan dari asam lemak yang bersifat fungistatik.
Penetrasi: Diketahui secara luas dermatofit bersifat keratinofilik.
Kerusakan yang ditimbulkan di sekitar penetrasi hifa diperkirakan berasal dari
proses digesti keratin. Dermatofit akan menghasilkan enzim-enzim tertentu
(proteolitik), termasuk enzim keratinase dan lipase, yang dapat mengakibatkan
dermatofit tersebut akan menginvasi stratum korneum dari epidermis. Proteinase
lainnya dan kerja mekanikal akibat pertumbuhan hifa mungkin memiliki peran.
Meskipun demikian, masih sulit untuk membuktikan mekanisme produksi enzim
oleh dermatofit dengan aktivitas keratin-specific proteinase. Trauma dan maserasi
juga memfasilitasi proses penetrasi ini.
Pertahanan tubuh dan imunologi: Deteksi imun dan kemotaktik dari sel-
sel inflamasi terjadi melalui mekanisme yang umum. Beberapa jamur memproduksi
faktor kemotaktik yang memiliki berat molekul yang rendah, seperti yang
5
diproduksi oleh bakteri. Komplemen lainnya yang teraktivasi, membuat
komplemen yang tergantung oleh faktor kemotaktik. Keratinosit mungkin dapat
menginduksi kemotaktik dengan memproduksi IL-8 sebagai respon kepada antigen
seperti trichophytin. Kandungan serum dapat menghambat pertumbuhan
dermatofit, sebagai contohnya antara lain unsaturated transferrin dan asam lemak
yang diproduksi oleh glandula sebasea (derivat undecenoic acid).
2.6 Gejala
Penderita akan mengeluh gatal yang kadang-kadang meningkat waktu
berkeringat serta rasa terbakar memburuk setelah terpapar sinar matahari
(fotosensitivitas).
2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Hal-hal yang dapat ditemukan pada anamnesis adalah :
a. Rasa gatal, disertai sensasi terbakar dan memburuk setelah terpapar sinar
matahari
b. Ada riwayat kontak dengan hewan peliharaan
c. Ada riwayat kontak lansung dengan penderita dermatofitosis
6
d. Ada riwayat penggunaan bersama barang-barang penderita dermatofitosis,
misalnya handuk
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya gambaran klinis seperti yang sudah
disebutkan diatas. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood,
yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 nm. Beberapa spesies
dermatofit tertentu yang berasal dari genus Microsporum menghasilkan substansi
yang dapat membuat lesi menjadi warna hijau ketika disinari lampu Wood dalam
ruangan yang gelap. Dermatofit yang lain, seperti T. schoenleinii memproduksi
warna hijau pucat. Ketika hasilnya positif, ini akan sangat berguna. Pemeriksaan
sediaan langsung dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan elemen jamur
berupa hifa panjang dan artrospora.
Pada sediaan kulit yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi
oleh sekat dan bercabang maupun spora berderet (artospora) pada kelainan kulit
lama atau sudah diobati. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk
menyongkong pemeriksaan lansung sediaan basah dan untuk menentukan spesies
jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan agar dekstrosa sabouraud. Biakan memberikan hasil lebih cukup lengkap,
akan tetapi lebih sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh dalam
waktu lebih lama dan sensitivitasnya kurang (± 60%) bila dibandingkan dengan
pemeriksaan sediaan lansung, (Badimulja, 1983; Djuanda, 2002).
2.9 Tatalaksana
Pengobatan Topikal
1) Imidazol
Mikonazol, klotrimazol, ekonazol, isokonazol, sertakanazol dioleskan 2 kali
sehari, sedangkan tiokonazol, ketokonazol, bifonazol, oksinazol dioleskan
1 kali sehari. Diberikan selama 2-4 minggu
2) Alilamin
Naftifin, terbinafin, butenafin. Dioleskan 1 kali sehari selama 1-2 minggu
7
3) Tolnaftat/ tolsiklat
Dioleskan 2-3 kali sehari selama 2-4 minggu
4) Siklopiroksolamin 1%
Dioleskan 2 kali sehari selama 2-3 minggu
5) Salep whitfield/ Antifungi DOEN
Berisi asidum salsisikum 3% dan asidum benzonikum 6% vaselin album,
dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu
6) Salep 2-4/ 3-10
Berisi asidum salsisikum 2-3% dan sulfur presipitatum 4-10% dalam
vaselin album, dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu
Pengobatan Sistemik
2.10 Komplikasi
Komplikasi jarang terjadi pada pasien dengan tinea corporis dan tinea
cruris, kecuali pasien yang memiliki gangguan imun. Beberapa komplikasi yang
dapat terjadi, antara lain infeksi bakteri sekunder, granuloma majocchi,penebalan
dan hiperpigmentasi pada area kulit yang terdampak, tinea incognito dan reaksi
dermatofitid.
2.11 Edukasi
a. Menjaga kebersihan diri
b. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk mencegah resistensi obat
c. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum menutup area yang rentan
terinfeksi jamur
8
d. Hindari penggunaan handuk atau pakaian yang bergantian dengan orang lain,
cuci handuk yang kemungkinan terkontaminasi
e. Menggunakan pakaian yang tidak ketat
f. Tatalaksana linen infeksius : tatalaksana linen infeksius : pakaian, sprei, handuk
dan linen lainnya direndam dengan sodium hipoklorit 2% untuk membunuh
jamur atau menggunakan desinfektan lain (PPK Perdoski, 2017)
9
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Telah dilakukan anamnesis secara autoanamnesis pada tanggal 19
September 2023.
a) Keluhan Utama
Gatal di lengan kiri atas, ketiak dan selangkangan
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 43 tahun datang ke poliklinik kulit & kelamin
dengan keluhan gatal pada lengan kiri atas, ketiak dan selangkangan. Gatal
dirasakan sekitar 4 bulan yang lalu, gatal dirasakan hilang timbul sampai
mengganggu aktivitas sehari-hari. Gatal dirasakan semakin memberat apabila
berkeringat, pasien pernah melakukan pengobatan sebelumnya tapi keluhan
yang dirasakan tidak membaik. Lesi pertama muncul pada daerah selangkangan,
setelah beberapa bulan lesi muncul pada daerah lengan dan ketiak.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan yang sama: +
10
Riwayat hipertensi: Disangkal
Riwayat diabetes mellitus: Disangkal
Riwayat penyakit jantung: Disangkal
Riwayat asma: Disangkal
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama: (+) Ibu pasien
Riwayat hipertensi: Disangkal
Riwayat diabetes mellitus: Disangkal
Riwayat penyakit jantung: Disangkal
Riwayat asma: Disangkal Riwayat alergi makanan: Disangkal
Riwayat alergi obat-obatan: Disangkal
e) Riwayat Alergi
Obat-Obatan: Disangkal
Makanan: Disangkal
f) Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya pernah melakukan pengobatan, namun keluhan yang
dirasakan masih tetap sama
g) Riwayat Pribadi dan Sosial
Merokok: Disangkal
Alkohol: Disangkal
Olahraga: Disangkal, hanya beraktivitas ringan
3.3 Pemeriksaan Fisik
a) Status Present
Keadaan umum: Baik
Kesadaran/GCS: E4V5M6 (Compos Mentis)
Tanda Vital:
1) Tekanan Darah: 120/70 mmHg
2) Nadi: 80x/menit
3) Frekuensi Nafas: 16x/menit
11
4) Suhu Axilla: 36 C
5) CRT: <2 detik
6) Berat Badan : 57 kg
7) Tinggi Badan : 168 cm
b) Status Generalis
12
3) Perkusi: Sonor (+) seluruh lapang paru
4) Auskultasi:
a) Pulmo: Vesikuler (+) seluruh lapang
paru, ronkhi (-), wheezing (-)
b) Cor: BJ I & II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen : 1) Inspeksi : Massa (-), distensi(-), tanda
inflamasi (-)
2) Auskultasi : Bising usus (+)
3) Perkusi : Timfani Seluruh lapang perut
4) Palpasi : Defans Muscular (-), massa (-),
Nyeri tekan (-)
c) Status Lokalis
1. Inspeksi : macula hiperpigmentasi, batas tegas, polisiklik, edema (-)
2. Palpasi : nyeri tekan (-), teraba hangat (+)
3. Status Dermatologis :
1) Lokasi : Humerus (Sinistra)
a) Efloresensi : makula hiperpigmentasi
b) Ukuran : plakat
c) Bentuk : tidak teratur
d) Susunan : polisiklik
e) Distribusi : regional
f) Batas : tegas
2) Lokasi : Axila Sinistra
13
1) Efloresensi : makula hiperpigmentasi
2) Ukuran : plakat
3) Bentuk : teratur
4) Susunan : polisiklik
5) Distribusi : regional
6) Batas : tegas
14
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah hasil dari pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
mikrobiologi berupa kerokan kulit (19/09/2023):
a) Pemeriksaan mikrobiologi (kerokan kulit)
3.7 Terapi
3.8 Prognosis
Bila diobati dengan benar, penyakit akan sembuh dan tidak kambuh,
kecuali bila terpajan ulang dengan jamur penyebab.
15
16
BAB 4
PEMBAHASAN
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien adalah seorang laki-
laki berusia 43 tahun datang ke poli Kulit dan Kelamin RSUD Klungkung dengan
keluhan gatal-gatal pada lengan kiri atas, ketiak dan selangkangan. Keluhan tersebut
dirasakan sekitar 4 bulan yang lalu. Ibu pasien sebelumnya lebih dulu memiliki keluhan
yang serupa.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan status present dan status
generalis pasien dalam keadaan normal. Pada status lokalis Humerus Sinistra tampak
makula hiperpigmentasi berbatas tegas, polisiklik, dan bentuk tidak teraktur. Status
lokalis Regio Axila Sinistra tampak makula hiperpigmentasi berbatas tegas, polisiklik,
dan bentuk teratur. Pada hasil pemeriksaan laboratorium mikrobiologi dari hasil
pemeriksaan kerokan jamur KOH 10% ditemukan hasil gambaran hifa panjang bersepta
(hifa sejati) dan arthoconidia. Sehingga dalam kasus ini pasien di diagnosis sebagai
Tinea Corporis et Tinea Cruris.
Tinea Corporis merupakan infeksi jamur golongan dermatofita yang terdapat di
daerah kulit tidak berambut/kulit halus (glabrosa) Sedangkan infeksi pada daerah
inguinal, pubis, perineum dan perianal disebut sebagai tinea Cruris. Dermatofita dapat
tumbuh dengan optimal pada suhu 15-35℃ pada kulit manusia yang hangat dan
lembab, sehingga dermatofitosis umumnya lebih banyak ditemukan pada negara tropis
dan subtropis. Dermatofitosis dapat juga diperberat oleh penggunaan pakaian yang
tertutup rapat, kelembapan tinggi, lingkungan tempat tinggal yang padat dan hygiene
yang rendah (Yuwita et al, 2016).
Berdasarkan pemeriksaan kerokan kulit KOH 10% pada psien menunjukkan
hasil positif jamur. Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan yang sederhana, murah,
cepatdan efisien untuk melakukan skrining. Pada pemeriksaan KOH yang dilakukan
17
oleh pasien sudah sesuai dengan kepustakaan dimana sediaan yang diambil berada pada
tepi lesi yang masih aktif, dan ditetesi KOH 10%. Pemberian KOH 10-20% ini
bertujuan untuk melarutkan keratin sehingga hifa dan spora lebih mudah untuk dilihat.
Hasil pemeriksaan kerokan kulit KOH positif berarti ditemukan hifa pada spesimen
tersebut (Sari & Anjasmara, 2023).
18
BAB 5
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi. 2002. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Sari, Ida Ayu Diah Purnama & Anjasmara, I Kadek Dwiki. 2023. Tinea
Korporis Et Kruris Et Fasialis Dengan Terapi Kombinasi Anti Jamur. Ganesha
Medicine Journal, Vol.3 No.1
Wirya Duarsa. 2000. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Penyakit Kulit Dan
Kelamin RSUP Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.
20