Anda di halaman 1dari 26

Tinea Cruris

Fitri Winda Sari, S.Ked


Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Raden Mattaher Jambi
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Jambi
I.

PENDAHULUAN
Mikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur, penyakit infeksi

jamur dikulit mempunyai prevelensi tinggi dinegara tropis, tak terkecuali di


Indonesia. Infeksi ini dapat mengenai semua orang, usia muda sampai tua, social
ekonomi rendah sampai tinggi. Terkadang penderitanya tidak menyadari kalau
menderita infeksi tersebut.1
Dermatomikosis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur atau
disebut pula sebagai yang dibedakan atas dermatofitosis dan non dermatofitosis.
Dermatofitosis disebabkan oleh golongan jamur dermatofit yaitu golongan jamur
yang mencerna keratin kulit oleh karena daya tarik kepada keratin (keratinofilik)
sehingga infeksi jamur ini dapat menyerang lapisan-lapisan kulit mulai dari
stratum korneum sampai stratum basalis. Sedangkan infeksi non dermatofitosis
desebabkan jenis jamur yang tidak bisa mengeluarkan zat yang dapat mencerna
keratin kulit dan tetap hanya menyerang lapisan kulit yang paling luar.1,2
Tinea kruris termasuk dalam golongan dermatofitosis yaitu pada penyakit
jaringan yang mengandung zat tanduk pada daerah kruris (sela paha, perineum,
perianal, gluteus dan pubis) dan meluas kedaerah sekitarnya. 1
Tinea kruris merupakan salah satu manifestasi klinis yang sering di lihat di
Indonesia. Suhu dan kelembaban yang tinggi menjadi salah satu faktor yang
mendukung penyebaran infeksi ini.Penyakit ini dapat bersifat akut atau menahun,
bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Tinea kruris
lebih sering menyerang pria dibandingkan wanita.2,3
Jamur Dermatofita sebagai penyebab dermatofitosis membutuhkan keratin
untuk tumbuh, oleh karena itu dermatofitosis hanya terbatas pada jaringan yang

berkeratin seperti stratum korneum, rambut dan kuku dan tidak menginfeksi
permukaan mukosa. Faktor penting yang berperandalam penyebaran dermatofita
ini adalah kondisi kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang
padat, dan kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat atau lembab.3,
Manifestasi klinis tinea krurisadalah rasa gatal atau terbakar pada daerah
lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah perineum. Adanya central healing yang
ditutupi skuama halus pada bagian tengah lesi. Tepi yang meninggi dan merah
sering ditemukan pada pasien.3
Terdapatnya hifa pada sediaan mikroskopis dengan potassium hidroksida
(KOH) dapat memastikan diagnosis dermatofitosis. Alat diagnosis lain yang juga
dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan menggunakan lampu wood dan juga
dengan biopsy kulit atau kuku. Tinea kruris biasanya berespon dengan pengobatan
sistemik atau topikal tetapi dapat sering kambuh.3,4
Berikut dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis tinea cruris pada
seorang laki-laki berusia 15 tahun yang berobat ke poliklinik kulit dan kelamin
RSUD Raden Mattaher Jambi.

II. DEFINISI
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Sinonim untuk penyakit ini adalah eczema marginatum, dhobie itch,
jockey itch, dan ringworm of the groin. 1,5
II. ETIOPATOGENESIS
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita.
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Menurut
Budimulja tahun 2010, dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi
dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton,
mempunyai sifat mencerna keratin.1 Penyebab tersering tinea kruris adalah
Epidermophyton floccosum, diikuti Tricophyton rubrum dan Tricophyton
mentagrophytes.2,4

Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit,


penetrasi melewati dan di antara sel, dan perkembangan respon pejamu.5 Pertama
adalah berhasil melekatnya artrokonidia, spora aseksual yang dibentuk dari hasil
fragmentasi hifa, ke permukaan jaringan berkeratin setelah melewati beberapa
pertahanan pejamu, antara lain asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea
yang bersifat fungistatik dan kompetisi dengan flora normal. 2 Dalam beberapa
jam, secara in vitro 2 jam setelah terjadinya kontak, pertumbuhan dan invasi spora
mulai berlangsung.2,4
Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap ini
dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi
nutrisi bagi jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke
keratinosit. Selain itu, manans, suatu zat yang terkandung dalam dinding sel
dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari keratinosit dan respon imunitas
seluler yang memperlambat penyembuhan epidermis.2,8
Proses ketiga adalah perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di
pengaruhi oleh status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memegang
peranan yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Respon inflamasi dari
reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan penyembuhan pasien. Respon
imunitas seluler yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit yang kronis dan
berulang. Pengaruh adanya atopi dan kadar IgE yang tinggi juga diduga
berpengaruh terhadap kronisitas.2,3
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel
Langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Sel
Langerhans bekerja sebagai Antigen Presenting Cell (APC) yang mampu
melakukan fungsi fagosit, memproduksi IL-1, mengekspresikan antigen, reseptor
Fe dan reseptor C3. Sel Langerhans berkumpul di dalam kulit membawa antigen
ke dalam pembuluh getah bening dan mempertemukannya dengan limfosit yang
spesifik. Selain oleh sel Langerhans, peran serupa dilakukan pula oleh sel endotel
pembuluh darah, fibroblast, dan keratinosit. Limfosit T yang telah aktif ini
kemudian menginfiltrasi tempat infeksi dan melepaskan limfokin. Limfokin inilah
yang mengaktifkan makrofag sehingga mampu membunuh jamur patogen.5,9

Faktor host yang berperan pada dermatofitosis yaitu genetik, jenis kelamin,
usia, obesitas, penggunaan kortikosteroid dan obat-obat imunosupresif. Kulit di
lipat paha yang basah dan tertutup menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan
kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi. Penjalaran infeksi dari bagian
tubuh lain juga dapat menyebabkan terjadinya tinea kruris, misalnya tinea pedis
pada daerah kaki. Faktor lingkungan, berupa higiene sanitasi dan lokasi geografis
beriklim tropis, merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jamur.2,4

III. GAMBARAN KLINIS


Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk (polimorfik), baik primer
maupun sekunder.1 Tinea kruris mempunyai lesi yang khas berupa plak
eritematosa berbatas tegas meluas dari lipat paha hingga ke paha bagian dalam
dan seringkali bilateral (Gambar 1). Skrotum biasanya jarang terlibat.3 Lesi
disertai skuama selapis dengan tepi yang meninggi.2

Gambar 1. Plak eritematosa dan skuama pada regio inguinal yang meluas ke regio pubis 2

Apapun penyebab tinea kruris, keluhan gatal merupakan salah satu gejala
umum yang menonjol. Nyeri juga sering dirasakan pada daerah yang terjadi
maserasi dan infeksi sekunder.2,5 Peradangan di bagian tepi lesi lebih terlihat
dengan bagian tengah tampak seperti menyembuh (central clearing). Pada tepi
lesi dapat disertai vesikel, pustul, dan papul, terkadang terlihat erosi disertai

keluarnya serum akibat garukan. Pada lesi kronis dapat ditemukan adanya
likenifikasi disertai skuama dan hiperpigmentasi (Gambar 2).1,3,10

Gambar 2. Gambaran klinis tinea kruris disertai hiperpigmentasi12

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Untuk menegakkan diagnosis tinea kruris dibutuhkan uji diagnostik untuk
mengisolasi dan mengidentifikasi jamur. Gambaran klinis tinea kruris berupa
kelainan kulit yang berbatas tegas disertai peradangan dengan bagian tepi lebih
nyata daripada bagian tengah.
1. Pemeriksaan elemen jamur
Spesimen kerokan kulit diambil dari daerah pinggir lesi yang meninggi
atau aktif. Hasil pemeriksaan mikroskopik secara langsung dengan KOH
10-20% didapatkan hifa (dua garis lurus sejajar transparan, bercabang
dua/dikotom dan bersepta) dengan atau tanpa artrospora (deretan spora di
ujung hifa) yang khas pada infeksi dermatofita (Gambar 3).
Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur
jamur merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah
digunakan secara luas sebagai teknik skrining awal. Teknik ini hanya
memiliki sensitivitas hingga 40% dan spesifisitas hingga 70%. Hasil
negatif palsu dapat terjadi hingga pada l5% kasus, bahkan bila secara
klinis sangat khas untuk dermatofitosis.9,12
Gambar 3. Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda panah merah) 3

2. Pemeriksaan kultur
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang
rendah, harga yang lebih mahal Pemeriksaan kultur tidak rutin dilakukan
pada diagnosis dermatofitosis. Biasanya digunakan hanya pada kasus
yang berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur
dilakukan untuk mengetahui golongan ataupun spesies dari jamur
penyebab tinea kruris. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan
spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada
sediaan langsung. Media biakan yang digunakan adalah agar dekstrosa
Sabourraud yang ditambah antibiotik, contohnya kloramfenikol, dan
sikloheksimid untuk menekan pertumbuhan jamur kontaminan/ saprofit
(contohnya jamur non-Candida albicans, Cryptococcus, Prototheca sp.,
P.werneckii, Scytalidium sp., Ochroconis gallopava), disimpan pada suhu
kamar 25-30oC selama tujuh hari, maksimal selama empat pekan dan
dibuang jika tidak ada pertumbuhan.9,12

Tabel 1. Morfologi dan gambaran mikroskopis jamur penyebab tersering tinea kruris 2
Morfologi Koloni

Gambaran

Keterangan

Mikroskopis
T. rubrum
Beberapa

mikrokonidia

berbentuk

air

mata,

makrokonidia jarang berbentuk pensil.

E. floccosum

Tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan


tebal. Makrokonidia berbentuk gada.

T. interdigitale
Mikrokonidia yang bergerombol, bentuk cerutu
yang jarang, terkadang hifa spiral.

Untuk menentukan spesies penyebab dilakukan identifikasi makroskopis


dan mikroskopis. Secara makroskopis, tampak gambaran gross koloni
dengan tekstur, topografi dan pigmentasinya, sedangkan identifikasi
mikroskopi dibuat preparat dengan penambahan lactophenol cotton blue
(LPCB) dan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran objektif
40 x. Gambaran mikroskopis yang harus diperhatikan adalah morfologi
hifa, pigmentasi dinding sel jamur,

dan karakteristik sporulasi

(makronidia dan mikronidia) (Tabel 1).2,9


3. Pemeriksaan histopatologi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi tidak dilakukan pada gambaran lesi
yang khas. Biopsi dilakukan untuk penegakan diagnosis yang
memerlukan terapi sistemik pada lesi yang luas. Dengan pewarnaan
hematoksilin dan eosin, hifa akan terlihat pada stratum korneum.

Pewarnaan yang paling sering digunakan adalah dengan periodic acidSchiff (PAS), jamur akan tampak merah muda dan methenamine silver
stains, jamur akan tampak coklat atau hitam.2,12
V. DIAGNOSIS BANDING
Gambaran klinis tinea kruris dapat menyerupai infeksi oleh Candida
albicans. Namun, pada kandidosis, lebih sering ditemukan pada wanita dan lesi
yang ditemukan lebih meradang dan lembab disertai sejumlah lesi satelit (makula
dan pustul putih) yang berukuran kecil dan banyak.3,5
Lokasi di lipat paha, tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan
eritrasma, dermatitis seboroik, pemfigus vegetans, dan psoriasis intertriginosa.
Eritrasma dapat dibedakan dari pemeriksaan penunjang menggunakan lampu
Wood yang akan memberikan warna merah bata yang dihasilkan oleh bakteri
Corynebacterium minutissimum. Sedangkan, pada infeksi jamur golongan
dermatofita, biasanya tidak menampakkan floresensi pada pemeriksaan lampu
Wood.3,10,13 Dermatitis seboroik bisa mengenai lipat paha, dan terkadang meluas
hingga ke daerah lain yang banyak mengandung kelenjar sebasea, seperti dada
dan ketiak. Pada pemfigus vegetans, lesi disertai maserasi dan erosi. Psoriasis
intertriginosa menunjukkan gambaran skuama dan pustul pada tepi lesi. Namun,
pada psoriasi intertriginosa, lesi yang khas juga dapat ditemukan di bagian tubuh
lain. Biopsi dapat dilakukan untuk psoriasis dengan lesi yang kurang khas.3,5
Eritema intertrigo dan dermatitis kontak juga dapat terjadi di lipat paha.
Eritema intertrigo disebabkan oleh kolonisasi bakteri di lipat paha. Biasanya
ditemukan pada pasien dengan obesitas, baik perempuan maupun laki-laki. Lesi
berbatas tegas dengan maserasi di bagian tengah lesi. Dermatitis kontak
(alergi/iritan) yang muncul di lipat paha mungkin dapat disebabkan oleh bahan
pakaian dan juga akibat pemakaian deodaran.5,11
VI. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan anamnesis,
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, tinea kruris umumnya
ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat keluhan dapat terjadi secara akut,

namun umumnya subakut atau kronis, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup.
Gejala klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang meningkat saat
berkeringat, dengan bentuk lesi polisiklik/bulat berbatas tegas, efloresensi
polimorfik, dan tepi lebih aktif. Dari pemeriksaan penunjang, terdapatnya hifa
pada sediaan mikroskopis pemeriksaan elemen jamur dengan KOH. Dan
pemeriksaan metode kuktur jamur dapat dilakukan, namun membutuhkan waktu
yang lama.
VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tinea kruris dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana umum
dan khusus. Tatalaksana khusus tinea kruris juga dibagi menjadi dua, yaitu
tatalaksana topikal dan sistemik.
Tatalaksana Umum
Secara umum, tatalaksana tinea kruris berupa edukasi untuk mencegah
infeksi berulang. Daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar
dari sumber infeksi serta mencegah pemakaian peralatan mandi bersama. 4,5,10
Pengurangan keringat dan penguapan dari daerah lipat paha, seperti penggunaan
pakaian yang menyerap keringat dan longgar juga penting dalam pencegahan agar
daerah lipat paha tetap kering. Daerah lipat paha harus benar-benar dikeringkan
setelah mandi dan diberikan bedak. Pencucian rutin pakaian, sprei, handuk yang
terkontaminasi dan penurunan berat badan pada seorang dengan obesitas juga
dapat dilakukan. Infeksi berulang pada tinea kruris dapat terjadi melalui proses
autoinokulasi reservoir lain yang mungkin ada di tangan dan kaki (tinea pedis,
tinea unguium) sehingga penting untuk dilakukan eradikasi.4,11
Tatalaksana Khusus
Untuk lesi yang ringan dan tidak luas cukup diberikan terapi topikal saja.
Terapi sistemik diberikan untuk lesi yang lebih luas dan meradang, sering kambuh
dan tidak sembuh dengan obat topikal yang sudah adekuat. 9,10 Beberapa pilihan
obat antijamur topikal dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pilihan obat antijamur topikal1,10,11

Golongan Imidazol

Golongan Alilamin

Golongan Naftionat

Golongan lain

mikonazol 2%

naftitin 1%

tolnaftat 1%

siklopiroksolamin 1%

klotrimazol 1%

terbinafin 1%

tolsiklat

salep Whitfield

ekonazol 1%

butenafin 1%

salep 2-4/3-10

isokonazol

vioform 3%

sertakonazol
tiokonazol 6,5%
ketokonazol 2%
bifonazol
oksikonazol 1%

Lama pengobatan tinea kruris menggunakan antijamur topikal umumnya


sampai 1-2 pekan. Untuk pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat
fungistatik, pengobatan dilanjutkan 1-2 pekan setelah lesi hilang/sembuh. Hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya kekambuhan sehingga pengobatan diberikan
selama sekurang-kurangnya 3-4 pekan. Untuk pengobatan topikal dengan
antijamur yang bersifat fungisidal, pengobatan cukup diberikan selama 1-2 pekan,
tidak perlu diteruskan 1-2 pekan setelah lesi hilang/ sembuh.11,12
Sebelum dioles, daerah yang akan diolesi obat dibersihkan dan dikeringkan.
Obat dioles di atas lesi menjadi satu lapisan tipis yang menutupi paling sedikit
sampai 3 cm ke arah luar lesi. Obat digunakan 2 kali sehari, kecuali butenafin,
terbinafin, sertakonazol hanya dioles 1 kali sehari. Hasil maksimal bila lesi dijaga
tetap bersih, kering dan sejuk, misalnya dengan menggunakan celana yang tidak
sempit dan menyerap keringat.11
Untuk terapi sistemik, beberapa pilihan obat antijamur yang dapat
digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pilihan obat antijamur sistemik1,10,11


Golongan

Sediaan dan dosis

10

Alilamin
-

terbinafin

Bersifat fungisidal, paling efektif untuk infeksi jamur dematofita

Sediaan: Tablet 250 mg

Dosis: 250 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa)

Dosis: 3-6 mg/kgBB/hari selama 2 pekan (Anak)

Bersifat fungistatik

Interaksi dengan obat lain cukup banyak

Imidazol
-

itrakonazol

flukonazol

Sediaan: Kapsul 100 mg, solusio oral 10mg/ml

Dosis: 100 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa)

Dosis: 5 mg/kgBB/hari selama 1 pekan (Anak)

Bersifat fungistatik

Sediaan: Tabel 100, 150, 200 mg, suspensi oral 10 dan 40 mg/ml,
injeksi 400 mg

ketokonazol

Griseofulvin

Dosis: 150 mg/pecan selama 4-6 pekan

Bersifat fungistatik

Dikonsumsi dengan makanan atau minuman bersoda

Bersifat hepatotoksik

Sediaan: Tablet 200 mg

Dosis: 200 mg/hari selama 10-14 hari

Bersifat fungistatik, aktif untuk golongan dermatofita

Efek samping: sefalgia, gejala gastrointestinal, fotosensitivitas

Dikonsumsi dengan makanan berlemak

Sediaan:
-

Micronized: Tabel 250 dan 500 mg, oral suspensi 125mg/


sendok teh

Ultramicronized: Tablet 165 dan 330 mg

Dosis: 500 mg/hari selama 2-6 pekan (Dewasa)

Dosis: 10-20 mg (ultramicronized)/kgBB/hari selama 6

BAB II
LAPORAN KASUS

11

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama
Jenis Kelamin
Umur
Alamat
Pekerjaan
Status Perkawinan
Suku/Bangsa
Hobi
Tanggal

: AW
: Laki-Laki
: 17 Tahun
: Telanai
: Pelajar
: Belum Menikah
:Melayu / Indonesia
: Olahraga
: 14 Oktober 2016

2.2 AUTOANAMNESIS ( Tanggal 14 Oktober 2016) :


1. Keluhan Utama :
Bercak berwarna kemerahan disertai rasa gatal pada daerah perut bawah
sejak 1 bulan yang lalu.
2. Keluhan Tambahan : (-)
3. Riwayat Perjalanan Penyakit :
1 bulan yang lalu, Os mengeluhkan gatal-gatal pada daerah kedua
lipat paha dan sekitar bokong. Setelah merasa gatal os melihat ke sebuah
kaca, tampak kulit bokong os terlihat berwarna kemerahan dan juga
kemerahan pada kedua sisi lipat paha nya. Karena terasa gatal, os pun
sering menggaruk daerah bokong dan lipat paha tersebut setiap os merasa
gatal. Kemudian rasa gatal tersebut berubah menjadi rasa perih akibat os
sering menggaruk nya. Os merasa bercak tersebut semakin melebar jika os
menggaruknya terus-menerus. Dan setelah bercak tidak perih lagi, bercak
tersebut mengalami pengelupasan dan bercak tersebut kembali terasa gatal.
Kemudian setelah itu timbul bercak kemerahan pada perut bawah awalnya
bercak sebesar uang logam lalu lama kelamaan bercak melebar hingga
hampir memenuhi perut bagian bawah bercak yang awal nya kemerahan
lama-lama menghitam. Keluhan gatal pada pasien akan semakin memberat
jika pasien berkeringat.
Os mandi 2x dalam sehari, pagi dan sore menggunakan air PAM
dan pasien mengganti pakaian 2x sehari namun terkadang os jarang

12

mengganti celana dalam dan sering memakai celana yang ketat. Tidak
pernah berganti pakaian dan handuk dengan orang lain.
Karena merasa keluhan gatal tidak membaik, maka Os akhirnya
memutuskan untuk berobat ke poli kulit dan kelamin RSUD Raden
Mattaher Jambi pada tanggal 14 Oktober 2016.

4. Riwayat penyakit dahulu:


Os mengaku tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti Os.

2.3 Pemeriksan Fisik (Tanggal 14 Oktober 2016)


Status Generalis
Keadaan Umum

: Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Kompos Mentis

Tanda Vital

Tekanan Darah

: 110/80 mmHg

Nadi

: 78x/i

Pernafasan

: 20x/i

Suhu

: 36,5C

Kepala

:
Bentuk

Mata

: Normochepali
: Konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-).
Pupil isokor kiri kanan
13

Hidung

: Septum deviasi (-), sekret (-)

Mulut

: Bibir kering (-),


dinding faring hiperemis (-)

Telinga

: Normal, tanda radang (-)

Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening (-) Peningkatan JVP (-

Thoraks

Inspeksi

: Bentuk normal, gerak nafas kedua dada Simetris,


lesi kulit (-)

Palpasi

: Vokal fremitus (+/+) simetris

Perkusi

: Sonor dikedua paru

Auskultasi

Jantung

: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru

: SN vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Abdomen

Inspeksi

: Datar, tampak lesi kulit

Palpasi

: Hepar dan lien tidak teraba membesar

Perkusi

: Timpani

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Ekstremitas Superior : akral hangat, oedem (-), sianosis (-)


Ekstermitas Inferior

: akral hangat, oedem (-), sianosis (-)

Genitalia

: Tidak dilakukan pemeriksaan secara langsung

14

Status Dermatologis
Regio suprapubis

Ekskoriasi

Papul Eritematosa multiple, berbagai ukuran, sirkumkrip, polisiklik


Plak Hiperpigmentasi soliter ukuran 7x5 cm, bentuk tidak teratur,
sirkumkrip dengan skuama ptiriasiformis

Regio inguinal

15

Plak hiperpigmentasi, soliter, dengan ukuran 5x6 cm, bentuk tidak teratur,

sirkumskrip dengan skuama pitiriasiformis.


Papul Eritematosa, multiple, berbagai ukuran, sirkumkrip, polisiklik.

Regio Gluteal

Plak hiperpigmentasi, soliter, dengan ukuran 5x6 cm, bentuk tidak teratur,

sirkumskrip dengan skuama pitiriasiformis.


- Papul Eritematosa, multiple, berbagai ukuran, sirkumkrip, polisiklik.
- Ekskoriasi
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Anjuran yang disarankan :
1. Pemeriksaan KOH
Pemeriksaan laboratorium untuk dermatofitosis yang dilakukan secara
rutin adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 10-20%.
Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikatsi struktur jamur
merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan
secara luas sebagai teknik skrining awal.
Langkah Pemeriksaan
a. Pengambilan sampel
Alat alat yang dibutuhkan : Skalpel , Pinset , Alkohol 70% , Kapas
b. Cara pengambilan sampel
Bersihkan kulit yang akan dikerok dengan kapas alkohol 70% untuk
menghilangkan lemak, debu dan kotoran lainnya. Kemudian Keroklah
bagian yang aktif dengan skalpel dengan arah dari atas kebawah (cara

16

memegang skalpel harus miring membentuk sudut 45 derajat ke


atas). Letakkan hasil kerokan kulit pada kertas atau wadah
Pembuatan sediaan dan pemeriksaan
Alat alat yang dibutuhkan :Kaca objek ,Kaca penutup, Lampu spiritus,
Pinset,dan Reagen yaitu Larutan KOH 10% untuk kulit dan kuku, Larutan
KOH 20% untuk rambut,mikroskop
Cara pembuatan sediaan
Teteskan 1-2 tetes larutan KOH 10% pada kaca objek.Letakkan bahan
yang akan diperiksa pada tetesan tersebut dengan menggunakan pinset yang
sebelumnya dibasahi dahulu dengan larutan KOH tersebut. Kemudian tutup
dengan kaca penutup.Biarkan 15 menit atau dihangatkan diatas nyala api
selama beberapa detik untuk mempercepat proses lisis
Periksa sediaan dibawah mikroskop. Mula-mula dengan perbesaran
objektif 10 X kemudian dengan pembesaran 40 X untuk mencari adanya hypha
dan atau spora, akan tampak gambaran hifa dan spora tergantung jamur yang
menyebabkan penyakitnya.

2. Pemeriksaan Kultur
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun
membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah,
harga yang lebih mahal Pemeriksaan kultur tidak rutin dilakukan pada
diagnosis dermatofitosis. Biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat dan
tidak berespon pada pengobatan sistemik. Kultur dilakukan untuk mengetahui
golongan ataupun spesies dari jamur penyebab tinea kruris. Kultur perlu
dilakukan untuk menentukan spesiesnya karena semua spesies dermatofita
tampak identik pada sediaan langsung.
3. Pemeriksaan Histopatologi

17

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi tidak dilakukan pada gambaran lesi


yang khas. Biopsi dilakukan untuk penegakan diagnosis yang memerlukan
terapi sistemik pada lesi yang luas. Dengan pewarnaan hematoksilin dan
eosin, hifa akan terlihat pada stratum korneum. Pewarnaan yang paling sering
digunakan adalah dengan periodic acid-Schiff (PAS), jamur akan tampak
merah muda dan methenamine silver stains, jamur akan tampak coklat atau
hitam.
2.5 Diagnosis Banding
1.
2.
3.
4.
5.

Tinea cruris
Candida Albicans
Eritrasma
Dermatitis seboroik
Psoriasis intertiginosa
Gambaran klinis tinea kruris dapat menyerupai infeksi oleh Candida

albicans. Namun, pada kandidosis, lebih sering ditemukan pada wanita dan lesi
yang ditemukan lebih meradang dan lembab disertai sejumlah lesi satelit (makula
dan pustul putih) yang berukuran kecil dan banyak.3,5
Lokasi di lipat paha, tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan
eritrasma, dermatitis seboroik, pemfigus vegetans, dan psoriasis intertriginosa.
Eritrasma dapat dibedakan dari pemeriksaan penunjang menggunakan lampu
Wood yang akan memberikan warna merah bata yang dihasilkan oleh bakteri
Corynebacterium minutissimum. Sedangkan, pada infeksi jamur golongan
dermatofita, biasanya tidak menampakkan floresensi pada pemeriksaan lampu
Wood.3,10,13 Dermatitis seboroik bisa mengenai lipat paha, dan terkadang meluas
hingga ke daerah lain yang banyak mengandung kelenjar sebasea, seperti dada
dan ketiak. Pada pemfigus vegetans, lesi disertai maserasi dan erosi. Psoriasis
intertriginosa menunjukkan gambaran skuama dan pustul pada tepi lesi. Namun,
pada psoriasi intertriginosa, lesi yang khas juga dapat ditemukan di bagian tubuh
lain. Biopsi dapat dilakukan untuk psoriasis dengan lesi yang kurang khas.3,5
Eritema intertrigo dan dermatitis kontak juga dapat terjadi di lipat paha.
Eritema intertrigo disebabkan oleh kolonisasi bakteri di lipat paha. Biasanya
ditemukan pada pasien dengan obesitas, baik perempuan maupun laki-laki. Lesi

18

berbatas tegas dengan maserasi di bagian tengah lesi. Dermatitis kontak


(alergi/iritan) yang muncul di lipat paha mungkin dapat disebabkan oleh bahan
pakaian dan juga akibat pemakaian deodaran.5,11

2.6 Diagnosis Kerja


Tinea Cruris

2.7 Penatalaksanaan
Umum
Penatalaksanaan umum yaitu dengan memberikan edukasi kepada pasien,
seperti:
- Daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar dari
-

sumber infeksi serta mencegah pemakaian peralatan mandi bersama


Pengurangan keringat dan penguapan dari daerah lipat paha, seperti
penggunaan pakaian yang menyerap keringat dan longgar juga penting

dalam pencegahan agar daerah lipat paha tetap kering


Daerah lipat paha harus benar-benar dikeringkan setelah mandi dan

diberikan bedak
Pencucian rutin pakaian, sprei, handuk yang terkontaminasi dan
penurunan berat badan pada seorang dengan obesitas juga dapat

dilakukan.
Khusus
Penatalaksanaan khusus yaitu dengan memberikan farmakologi, berupa:
- Sistemik
Griseofulvin dewasa 500-1000 mg perhari, 2 x 1 tablet (500 mg) selama
-

2-3 minggu.
Topikal:
Salep whitfield dioleskan tipis pada tempat lesi 2x sehari

2.8 Prognosis
Quo Ad vitam

: Bonam

Quo Ad functionam

: Bonam

19

Quo Ad sanationam

: Bonam

20

BAB III
PEMBAHASAN

Fakta
1

bulan

yang

Anamnesis
Teori
lalu, Os
Apapun penyebab tinea kruris,

mengeluhkan gatal-gatal pada daerah

keluhan gatal merupakan salah

kedua lipat paha dan sekitar bokong.

satu gejala umum yang menonjol.

Setelah merasa gatal os melihat ke

Nyeri juga sering dirasakan pada

sebuah kaca, tampak kulit bokong os

daerah yang terjadi maserasi dan

terlihat berwarna kemerahan dan juga


kemerahan pada kedua sisi lipat paha

infeksi sekunder.
Tinea
kruris

adalah

nya. Karena terasa gatal, os pun sering

dermatofitosis pada lipat paha,

menggaruk daerah bokong dan lipat

daerah perineum, dan sekitar

paha tersebut setiap os merasa gatal.

anus
Tinea kruris mempunyai lesi

Kemudian rasa gatal tersebut berubah

yang

menjadi rasa perih akibat os sering

eritematosa

menggaruk nya. Os merasa bercak


terus-menerus.

tersebut mengalami pengelupasan dan


bercak tersebut kembali terasa gatal.
Kemudian setelah itu timbul bercak
kemerahan pada perut bawah awalnya
bercak sebesar uang logam lalu lama
kelamaan

bercak

melebar

hingga

hampir memenuhi perut bagian bawah


bercak yang awal nya kemerahan lamalama menghitam. Keluhan gatal pada
pasien akan semakin memberat jika
pasien berkeringat.
Os mandi 2x dalam sehari, pagi dan

plak

berbatas

tegas

paha bagian dalam dan seringkali

Dan

setelah bercak tidak perih lagi, bercak

berupa

meluas dari lipat paha hingga ke

tersebut semakin melebar jika os


menggaruknya

khas

bilateral
Faktor host yang berperan pada
dermatofitosis yaitu genetik, jenis
kelamin,

usia,

obesitas,

penggunaan kortikosteroid dan


obat-obat imunosupresif. Kulit di
lipat

paha

yang

basah

dan

tertutup menyebabkan terjadinya


peningkatan

suhu

kelembaban

kulit

memudahkan

infeksi.

lingkungan,
sanitasi

dan
sehingga
Faktor

berupa

higiene

merupakan

faktor

predisposisi terjadinya penyakit


21

sore menggunakan air PAM dan pasien

jamur.

mengganti pakaian 2x sehari namun


terkadang os jarang mengganti celana
dalam dan sering memakai celana yang
ketat. Tidak pernah berganti pakaian
dan handuk dengan orang lain

Status Dermatologis
Teori

Fakta

Regio Suprapubis
-

soliter

sirkumkrip

khas

eritematosa

dengan

berupa
berbatas

plak
tegas

meluas dari lipat paha hingga ke

skuama ptiriasiformis
Ekskoriasi

Regio Inguinal

anus
Tinea kruris mempunyai lesi
yang

ukuran 7x5 cm, bentuk tidak


teratur,

adalah

daerah perineum, dan sekitar

berbagai ukuran, sirkumkrip,


-

kruris

dermatofitosis pada lipat paha,

Papul Eritematosa multiple,


polisiklik
Plak Hiperpigmentasi

Tinea

paha bagian dalam dan seringkali


-

bilateral
Peradangan di bagian tepi lesi

Plak hiperpigmentasi, soliter,

lebih

dengan ukuran 5x6 cm, bentuk

tengah

tidak

sirkumskrip

menyembuh (central clearing).

dengan skuama pitiriasiformis.


Papul Eritematosa, multiple,

Pada tepi lesi dapat disertai

teratur,

berbagai

ukuran, sirkumkrip,

polisiklik.

terlihat

vesikel,

dengan

tampak

pustul,

bagian
seperti

dan

papul,

terkadang terlihat erosi disertai


keluarnya serum akibat garukan.
Pada lesi kronis dapat ditemukan

Regio Gluteal
-

adanya

Plak hiperpigmentasi, soliter,

likenifikasi

disertai

skuama dan hiperpigmentasi.

dengan ukuran 5x6 cm, bentuk


tidak

teratur,

sirkumskrip
22

dengan skuama pitiriasiformis.


Papul Eritematosa, multiple,
berbagai ukuran, sirkumkrip,

polisiklik.
Ekskoriasi

Gambaran klinis tinea kruris dapat menyerupai infeksi oleh Candida


albicans. Namun, pada kandidosis, lebih sering ditemukan pada wanita dan lesi
yang ditemukan lebih meradang dan lembab disertai sejumlah lesi satelit (makula
dan pustul putih) yang berukuran kecil dan banyak.3,5
Lokasi di lipat paha, tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan
eritrasma, dermatitis seboroik, pemfigus vegetans, dan psoriasis intertriginosa.
Eritrasma dapat dibedakan dari pemeriksaan penunjang menggunakan lampu
Wood yang akan memberikan warna merah bata yang dihasilkan oleh bakteri
Corynebacterium minutissimum. Sedangkan, pada infeksi jamur golongan
dermatofita, biasanya tidak menampakkan floresensi pada pemeriksaan lampu
Wood.3,10,13 Dermatitis seboroik bisa mengenai lipat paha, dan terkadang meluas
hingga ke daerah lain yang banyak mengandung kelenjar sebasea, seperti dada
dan ketiak. Pada pemfigus vegetans, lesi disertai maserasi dan erosi. Psoriasis
intertriginosa menunjukkan gambaran skuama dan pustul pada tepi lesi. Namun,
pada psoriasi intertriginosa, lesi yang khas juga dapat ditemukan di bagian tubuh
lain. Biopsi dapat dilakukan untuk psoriasis dengan lesi yang kurang khas.3,5
Eritema intertrigo dan dermatitis kontak juga dapat terjadi di lipat paha.
Eritema intertrigo disebabkan oleh kolonisasi bakteri di lipat paha. Biasanya
ditemukan pada pasien dengan obesitas, baik perempuan maupun laki-laki. Lesi
berbatas tegas dengan maserasi di bagian tengah lesi. Dermatitis kontak
(alergi/iritan) yang muncul di lipat paha mungkin dapat disebabkan oleh bahan
pakaian dan juga akibat pemakaian deodaran.5,11
Pengobatan untuk tinea kruris dapat secara sistemik dan topikal.
Pengobatan sistemik dapat diberikan Griseofulvin, karena Griseofulvin efektif
23

terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti Trichopytan, Epidermophyton


dan microsporum. Obat ini dapat diberikan pada tinea kruris maupun korporis
karena penyebab dari tinea kruris adalah E.fluccosum dan dapat pula oleh
T.Rubrum dan T.Mentagorophytes. sehingga pemberian Griseofulvin diharapkan
dapat memberikan hasil yang baik pada kasus ini.3,8
Pengobatan dengan Griseofulvin 500-1000 mg per hari, diberikan 2x1
selama 4 minggu. Biasanya pemberian setelah 2 minggu pertama maka pada
pemeriksaan, jamur akan negative tapi sebaiknya diteruskan 2 minggu
selanjutnya. Griseofulvin bersifat fungistatik, untuk lama pengobatan tergantung
dari lokasi penyakit, penyebab penyakit dan imunitas pasien. Setelah sembuh
klinis pemberian obat ini dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif, untuk
mempertinggi absorbsi dalam usus, sebaiknya obat dimakan bersama dengan
makanan yang banyak mengandung lemak. Metabolisme sebagian besar dihati,
kontraindikasi dari pemberian obat ini adalah penyakit hati berat dan kehamilan.
Cara pemberian griseofulvin yaitu per oral. Dengan sediaan terdiri dari 125
mg/tab, 250 mg/tab, dan 500 mg/tab. Obat peroral lain yang juga efektif untuk
dermatofitosis adalah ketokonazol yang bersifat fungistatik dosis 200 mg/hari
selama 2 minggu, itrakonazol 100 mg/hari selama 2 minggu dan terbinafin yang
bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin, selama 2-3
minggu, dosis 62,5 mg-250 mg/hari.8,9
Untuk obat topikal disini dipilih salep whitfield yang terdiri dari asam
benzoate dan asam salisilat dengan perbandingan 2:1 (biasanya 6% dan 3%).
Asam benzoate memiliki efek fungistatik, sedangkan asam salisilat memiliki efek
keratolitik, dioleskan tipis pada lesi, selama 1-2 minggu.10
Prognosis kasus ini baik jika pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan
konsisten. Serta menghindari faktor presdiposisi selama masa pengobatan
berlangsung. Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah 2 minggu awal gejala
klinis sudah menghilang.

24

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U. Mikosis. Dalam Djuanda A, Hamzah M, dan Aisah, S, eds. Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010. Hal. 89-100
2. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In: Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 8th Ed: Volume 2. New York: McGraw-Hill;
2012. p.2277-97
3. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews Disease of the Skin, Clinical
Dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
4. Sobera JO, Elewski BE. Infections, investations, and bites: fungal disease. In:
Bolognia, Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2 nd Ed: Volume 1.
Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier. p.1135-62
5. Hay JR, Ashbee HR. Mycology: superficial mycoses. Burns T, Breathnach S, Cox
N, Griffiths C, eds. In: Rooks Textbook of Dermatology. 8 th Ed: Volume 2.
Australia: Blackwell Publishing. p 36.20-34
6. Budimuldja U. Mycotic diseases in Indonesia, with emphasis on skin fungal
infection. Kor J Med Mycol, 4(1); 1999. Hal. 1-5
8. Kurniati CRSP. Etiopatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin, 20(3):2008, Hal 243-50
9. Mulyaningsih S. Tingkat kekambuhan tinea kruris dengan pengobatan krim
ketokonasol 2% sesuai lesi klinis dibandingkan dengan sampai 3 cm di luar batas
lesi klinis (Laporan Penelitian). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro; 2004
10.Wolff K, Johnson RA. Fungal infection of the skin and hair. In: Fitzpatricks
Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6 th Ed. New York: McGraw
Hill; 2009.
11.Siswati AS, Ervianti E. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam. Bramono,
Kusmarinah, dkk. (Editor). Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013. Hal. 58-74
12.Yosella T. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J MAJORITY, 4(2): 2015. Hal.
122-28
13.Kelly BP, Superficial fungal infections. Pediatrics in Review, 33(4): 2012. p.22-37

26

Anda mungkin juga menyukai