Anda di halaman 1dari 15

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi dan Fisiologi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frotal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung1-3.

Gambar 3.1 Anatomi Sinus Paranasal

12

2.1.1 Embriologi Sinus Paranasal Embriologi pembentukan kavum nasi dan sinus dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, perkembangan kepala embrio ke pembentukan struktur pada kavum nasi. Tahap kedua, dinding lateral kavum nasi mengalami invaginasi dengan membentuk kompleks lipatan, yang disebut konka dan kemudian pembentukan rongga yang dikenal sebagai sinus. Selama kehamilan bulan ke 4 sampai ke 8, dalam perkembangan embrio akan membelah kavum nasi sebagai frontonasal dan pertautan maksila. Prosesus frontonasal akan meluas melewati pembentukan forebrain, yang kemudian akan mempengaruhi pembentukan plakoda olfaktorius hidung. Tonjolan bagian lateral dan medial hidung berkembang dari lekukan plakoda olfactorius hidung, kemudian proses ini berlanjut dengan pembentukan bagian atas maksila dan filtrum1,3. Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian portero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun1. Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok anterior dan posterior. Kelompok anterior terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior yang bermuara pada meatus media. Kelompok posterior terdiri dari sinus etmoid posterior bermuara pada meatus superior dan sinus sfenoid yang bermuara pada resesus sfenoethmoidalis1,2.

2.2.2 Sinus Maksilaris Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksilaris bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa, dengan panjang 38-45 mm, tinggi 36-45 mm, dan lebar 25-33 mm. Sinus maksilaris berbentuk piramid dengan bagian puncak

13

menghadap ke lateral dan meluas ke arah prosesus zygomaticus dari maksila. Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu :1-3 1. Dinding anteriornya adalah permukaan facial os maksilaris yang disebut fossa kanina. 2. Dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila. 3. Dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung. Ostium sinus maksilaris berada di superior dinding medial sinus selanjutnya bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. 4. Dinding superiornya adalah dasar orbita. 5. Dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Sinus maksila disebut juga Antrum Highmore ,merupakan sinus yang sering terinfeksi oleh karena:1 1. Merupakan sinus paranasal yang terbesar. 2. Letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia. 3. Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksilaris. 4. Ostium sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat. 5. Dasar dari sinus maksila berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar 1, premolar 2, molar 1, dan molar 2. Kadang-kadang juga berdekatan dengan akar gigi taring dan molar 3. Akar gigi tersebut dapat menonjol kedalam sinus. Karena letaknya yang berdekatan, bila terjadi infeksi pada gigi dapat menyebar ke dalam sinus. Infeksi pada gigi molar paling sering menyebabkan terjadinya sinusitis maksila. Kadang terjadi sinusitis maksila karena tindakan iatrogenik pada infeksi gigi.

14

2.2.3

Sinus Frontal Sinus frontal terletak di os frontal dan mulai terbentuk sejak bulan keempat

fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus ini berukuran tinggi 2,8 cm, lebar 2,4 cm, dan dalam 2 cm. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. Sinus frontal terletak di antara eksternal dan internal wajah tulang frontal. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri posterior. Adanya infeksi pada sinus frontal dapat menyebar ke daerah ini. Biasanya infeksi ditandai dengan menghilangnya gambaran septum atau lekukan pada dinding sinus pada pemeriksaan rontgen1,2.

2.2.4

Sinus Etmoid Sinus etmoid berbentuk seperti piramid dengan dasar disebelah posterior.

Dindingnya sangat tipis sehingga bila terjadi infeksi dapat menyebar ke rongga sekitar. Ukuran sinus ini dari anterior ke posterior 4-5 cm, lebar bagian anterior 0,5 cm, lebar bagian posterior 1,5 cm dan tinggi 2,4 cm. Sinus etmoid terletak diantara konka nasi media dan dinding medial orbita. Sinus ini berongga-rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon. Sinus etmoid terdiri dari 2 bagian yang letak muaranya berbeda. Pada sinus etmoid anterior, akan bermuara ke meatus nasi medius, sedangkan pada sinus etmoid posterior akan bermuara ke meatus nasi superior. Selsel dari sinus etmoid anterior berukuran kecil dan banyak, terletak didepan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis). Sel-sel dari sinus etmoid posterior biasanya berukuran lebih besar dan lebih sedikit, terletak di posterior lamina basalis. Sinus etmoid sangat penting karena dapat menjadi fokus infeksi dari sinus-sinus lainnya. Pada bagian terdepan sinus etmoid terdepan sinus etmoid terdapat resessus frontalis, yang merupakan bagian sempit dan berhubungan dengan sinus frontal. Bila terdapata pembengkakan atau peradangan

15

pada daerah ini dapat menyebabkan sinusitis frontalis. Di daerah sinus etmoid anterior terdapat infundibulum yang merupakan suata penyempitan dan merupakan tempat bermuaranya sinus maksila. Bila terdapat peradangan atau pembengkakan pada daerah ini dapat menyebabkan sinusitis maksila1,2.

2.2.5

Sinus Sfenoid Sinus sphenoid memiliki volume yang bervariasi antara 5 ml sampai 7,5 ml.

Sinus sphenoid memiliki tinggi 2 cm, lebar 1,7 cm, dan dalam 2,3 cm. Sinus ini terletak di dalam os sphenoid di belakang sinus etmoid posterior. Di sebelah superior, sinus sphenoid berbatasan dengan fossa serebri media dan kelenjar hipofisis. Pada sebelah inferior berbatasan dengan dinding nasofaring. Fossa serebri posterior di daerah pons akan berbatasan dengan sinus sphenoid di bagian posterior. Di sebelah lateral sinus sphenoid berbatasan dengan sinus cavernosus dan arteri carotis interna1,2.

Gambar 3.2 Anatomi Sinus Paranasal Tampak Anterior dan Lateral

16

2.2.6

Kompleks Ostio-Meatal Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada

muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan sinus maksila. Struktur lain yang juga merupakan KOM adalah sel agger nasi, prosesus unsinatus, bula etmoid, hiatus semilunaris inferior dan konka media. Secara fungsional, KOM berperan sebagai jalur drainase dan ventilasi untuk sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait1,2,5.

Gambar 3.3 Kompleks Ostio-meatal

17

2 Fisiologi Sinus Paranasal Sampai saat ini fungsi sinus paranasal belum diketahui secara pasti. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Berdasarkan teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:1-3,5 1. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernapas, sehingga diperlukan berapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. 2. Sebagai penahan suhu (thermal insulators) Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi

kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi. 3. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara didalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberi pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. 4. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.

18

5. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. 6. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.

2.2. Rhinosinusitis 2.2.1 Definisi Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Rinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Bila mengenai beberapa sinus disebut dengan multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Paling sering mengenai sinus maksila, sinus ini disebut juga antrum Highmore, karena letaknya dekat akar gigi rahang atas.1-3,5,6

2.2.2

Klasifikasi Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan

batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8 minggu. Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan1,3. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas1,3.

19

Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah streptococcus pneumonia (30-50%). Hemophylus influenzae (20-40%) dan moraxxela catarrhalis (4%). Pada anak, M. Catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%). Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong ke arah bakteri negatif gram dan anaerob1,3. Sinusitis Dentogen, merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe. Dicurigai adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan nafas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri anaerob. Seringkali diperlukan irigasi sinus maksila1,2,3,6.

2.2.3

Etiologi Beberapa faktor etiologi dan predisposisi penyebab sinusitis, antara lain:1,3-5

1. ISPA akibat virus 2. Rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil 3. Polip hidung 4. Kelainan anatomi; deviasi septum dan hipertrofi konka 5. Sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM) 6. Infeksi tonsil 7. Infeksi gigi 8. Kelainan Imunologik, diskinesia silia pada sindroma Kartegener 9. Luar negeri; penyakit fibrosis kistik.

20

2.2.4

Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya

klirens mukosiliar di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernapasan1,2,5. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi1-3,5,6.

2.2.5 Gejala dan Tanda Klinik Menurut Task Force yang dibentuk oleh the American Academy of Otalaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Sosiety (ARS), gejala klinik pada orang dewasa dapat digolongkan menjadi gejala mayor dan minor. Rinosinusitis kronik dapat ditegakkan berdasarkan adanya dua gejala mayor atau lebih, atau satu gejala mayor ditambah dua gejala minor.3,6,7,8 Gejala mayor berupa : 1. Nyeri atau rasa tekan pada wajah 2. Ingus purulen 3. Gangguan penghidu 4. Post nasal drip

21

5. Obstruksi nasal 6. Sekret di rongga hidung

Gejala minor berupa : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sakit kepala Halitosis Rasa lelah Nyeri gigi Rasa nyeri/penuh telinga Demam Batuk Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi dan pasien mengeluh hidung berbau. Keluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang kadang nyeri juga teras ditempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila. Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang hanya satu atau 2 dari gejala ini:1,3,5,7 Sakit kepala kronik. Post nasal drip. Batuk kronik. Gangguan tenggorok. Gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara Tuba eustachius. Gangguan ke paru seperti bronkitis Pada anak mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.

22

2.2.6

Diagnosa Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini: 1,2,6,7 1. Pemeriksaan rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan rutin untuk melihat tanda patognomonis, yaitu sekret purulen di meatus medius (pada sinusitis

maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan didaerah kantus medius. 2. Pada rinoskopi posterior tampak adanya sekret purulen di nasofaring (post nasal drip). 3. Foto polos, posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. 4. CT scan sinus, merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Tersedianya alat diagnostik CT scan telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih jelas dan terinci. Namun, karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus. 5. Pemeriksaan transluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap, pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya.

23

6. Pemeriksaan mikrobiologi dan tes resistensi, dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. 7. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. 2.2.7 Penatalaksanaan Tujuan terapi sinusitis adalah :1 1. 2. 3. Mempercepat penyembuhan Mencegah komplikasi Mencegah perubahan menjadi kronik

Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Selain itu prinsip pengobatannya yaitu;1,2 1. Atasi masalah gigi, pada sinusitis maksila tipe dentogen untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat dan pemberian antibiotik yang sesuai untuk bakteri anaerob. 2. Konservatif, diberikan obat-obatan seperti antibiotika, dekongestan,

antihistamin, kortikosteroid, dan irigasi sinus. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat

24

bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat. 3. Operatif Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF/ FESS), merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu, karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasi operatif pada sinusitis berupa: Sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversibel. Polip ekstensif. Komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.

2.2.8

Komplikasi Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya

antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut. Komplikasi sinusitis yaitu:1,2,5,6,8 a. Kelainan orbita Kelainan orbita disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita), yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul berupa edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus. b. Kelainan intrkranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus.

Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa: a. Osteomielitis dan abses subperiosteal, paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.

25

b. Kelainan Paru, seperti bronkitis kronis dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut sino bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar di hilangkan sebelum sinusitis disembuhkan.

26

Anda mungkin juga menyukai