Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Penyakit yang disebabkan oleh jamur disebut mikosis. Jamur termasuk tumbuh-

tumbuhan yang tidak berklorofil, oleh karena itu harus hidup sebagai saprofit atau

parasit. Di dalam alam terdapat kira-kira 200.000 spesises jamur, yang tidak semua

bersifat pathogen. Dari jumlah tersebut, hanya ± 100 spesies saja yang patogen bagi

manusia1.

Tinea kruris adalah mikosis superfisial atau disebut juga Eczema marginatum,

Dobie itch, Jockey itch, Ringworm of the groin. yang termasuk golongan

dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan ini dapat

bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung

seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genitokrural saja, atau meluas ke

daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang

lain1.

Indonesia termasuk daerah yang baik bagi pertumbuhan jamur karena beriklim

panas dan lembab. Dalam keadaan demikian ditambah higiene yang kurang sempurna,

infestasi jamur kulit cukup banyak.1 Menurut Rippon infeksi jamur dibagi menjadi tiga

yaitu infeksi kulit superfisial (pitiriasis versikolor, piedra dan tinea nigra), infeksi

kutan (dermatofitosis, kandidiasis kutis dan mukosa), dan infeksi subkutan (misetoma,

basidiobolomikosis, sporotrikosis dan kromoblastomikosis). Beberapa penulis yang

lain menggabungkan infeksi superficial dan infeksi kutan menjadi dermatomikosis

1
superficial sehingga hanya ada dua infeksi jamur meliputi dermatomikosis

superfisialis dan mikosis subkutis2.

Dermatofita tersebar di seluruh dunia dan menjadi masalah terutama di negara

berkembang. Di berbagai negara saat ini terjadi peningkatan bermakna dermatofitosis.

Mikosis superfisial mengenai lebih dari 20-25% populasi sehingga menjadi bentuk

infeksi yang tersering. Di Indonesia angka yang akurat mengenai insidensi mikosis

superfisialis belum ada. Insidensi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia

bervariasi dari yang terendah 2,93% (Semarang) hingga yang tertinggi 27,6%

(Padang). Di Indonesia dermatofitosis menempati urutan kedua setelah Pityriasis

versicolor1.

Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh

jamur dermatofita, yakni Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton

spp. Ketiga genus jamur ini bersifat mencerna keratin atau zat tanduk yang merupakan

jaringan mati dalam epidermis ( Tinea korporis, Tinea kruris, Tinea manus et pedis ),

rambut ( Tinea kapitis ), kuku ( Tinea unguinum ). 3,4 Oleh karena satu spesies

dermatofita dapat menyebabkan kelainan yang berbeda-beda pada satu individu

tergantung dari bagian tubuh yang dikenai, dan sebaliknya berbagai jenis dermatofita

dapat menyebabkan kelainan yang secara klinis sama apabila mengenai bagian tubuh

yang sama, maka dari itu klasifikasi dermatofitosis lebih didasarkan pada regio

anatomis yang terkena dari jamur penyebabnya, walaupun sebenarnya pendekatan

kausatif lebih rasional.3 Kali ini yang akan dibahas adalah mengenai Tinea Kruris.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP TINEA KRURIS

Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang

mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita pada

daerah kruris (sela paha, perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat meluas ke

daerah sekitarnya.3 Berikut ini adalah gambar predileksi terjadinya Tinea kruris.

Gambar 2.1. Predileksi Tinea Kruris

Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.

Peradangan pada tepi lebih nyata daripada bagian tengahnya. Efloresensi terdiri atas

macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini

menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan

keluarnya cairan biasanya akibat garukan. 4

3
2.2 EPIDEMIOLOGI

Di indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis. Tinea

kruris dan Tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Insidensi

dermatomikosis di berbagai rumah sakit pendidikan dokter di Indonesia yang

menunjukkan angka persentase terhadap seluruh kasus dermatofitosis bervariasi dari

2,93% (Semarang) yang terendah sampai 27,6% (Padang) yang tertinggi. Laki-laki

pasca pubertas lebih banyak terkena dibanding wanita, biasanya mengenai usia 18-25

tahun serta 50-65 tahun2.

Paling banyak mengenai daerah tropis karena tingkat kelembapannya yang tinggi

dan dapat memicu pengeluaran keringat yang banyak menjadikan faktor predisposisi

penyakit ini. Higiene dan sanitasi yang tidak dijaga dengan baik juga mempengaruhi

pertumbuhan infeksi jamur dermofita. Untuk faktor keturunan tidak ada hubungannya

dengan penyakit ini.

2.3 ETIOLOGI

Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita

adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini

mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti,

yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan

Epidermophyton. Penyebab tinea kruris terutama adalah Epidermophyton floccosum

dan Trichophyton rubrum. Selain itu juga dapat disebabkan oleh Trichophyton

mentagrophytes dan walaupun jarang dapat disebabkan oleh microsporum gallinae.

Berikut karakteristik dari dermatofita yang umum menyebabkan tinea kruris secara

morfologi koloni dan mikroskopis 4.

4
Gambar 2.2. Karakteristik Dermatofita

2.4 PATOGENESIS

Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau binatang yang

terinfeksi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian,

perabotan, dan sebagainya. Tinea kruris umumnya terjadi pada pria. Maserasi dan

oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga

memudahkan infeksi, selain itu dapat pula terjadi akibat penjalaran infeksi dari bagian

tubuh lain3.

Dermatofita mempunyai masa inkubasi selama 4-10 hari. Infeksi dermatofita

melibatkan tiga langkah utama : perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan

diantara sel, dan perkembangan respon pejamu4.

a) Perlekatan jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat

pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan

flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang di

produksi oleh kelenjar sebasea juga bersifat fungistatik4.

5
b) Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus

stratum korneum dengan kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi.

Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang

juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu

penetrasi jamur ke keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai

lapisan terdalam epidermis4.

c) Perkembangan respon tubuh. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status imun

penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau

Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting

dalam melawan dermatofita. Pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita

sebelumnya, Infeksi primer menyebabkan inflamasi dan tes trichopitin hasilnya

negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh

peningkatan pergantian keratinosit. Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen

dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan di presentasikan dalam

limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke

tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Saat ini, lesi tiba-tiba menjadi

inflamasi, dan barier epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel

yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menyembuh4 .

2.5 GEJALA KLINIS

Penderita merasa gatal dan kelainan lesi berupa plakat berbatas tegas terdiri atas

bermacam-macam efloresensi kulit (polimorfik). Bentuk lesi yang beraneka ragam ini

dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun. Kelainan yang dilihat

dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema,

skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya

6
biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif yang sering disebut dengan

central healing (gambar 2.3) . Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat

garukan7.

Gambar 2.3. Tampak lesi pada Tinea Kruris

Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit

yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak khas

terutama pada pasien imunodefisiensi6.

2.6 DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya kelainan kulit

berupa lesi berbatas tegas dan peradangan dimana pada tepi lebih nyata daripada

bagian tengahnya, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang4.

7
2.6.1 ANAMNESIS

Dari anamnesis, penderita dengan Tinea kruris mengeluh gatal dan kemerahan

di daerah lipat paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu berkeringat

sehingga digaruk kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder. Gatal di derah lipat

paha, sekitar ano-genital, sering bertambah berat sewaktu tidur sehingga digaruk

kemudian timbul erosi dan infeksi sekunder.3 Riwayat pasien sebelumnya adalah

pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak

lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif

berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan

penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis5,7.

2.6.2 PEMERIKSAAN FISIK

Kelainan kulit yang tampak pada Tinea kruris pada sela paha merupakan lesi

berbatas tegas yang simetris pada lipat paha kiri dan kanan, dapat bersifat akut atau

menahun.5,11 Mula-mula sebagai bercak eritematosa, gatal lama kelamaan meluas,

dapat meliputi skrotum, pubis, gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan perut bawah.

Tepi lesi aktif (peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya),

polisiklis, ditutupi skuama dan kadang-kadang dengan banyak vasikel kecil-kecil3,7.

Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit

sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Keluhan sering bertambah

sewaktu tidur sehingga digaruk-garuk dan timbul erosi dan infeksi sekunder. 5 Pada

infeksi akut, ruam biasanya basah dan eksudatif. Pada infeksi kronik, permukaannya

kering dengan tepi papuler anular atau asiner3.

8
2.6.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dari anamnesis, gambaran klinis dan lokalisasinya, tidak sulit untuk

mendiagnosis. Namun tetap diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan

Differential Diagnosis. Sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan

sediaan langsung dari kerokan bagian tepi lesi dengan KOH dan kultur. Kadang –

kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar

ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao 4.

a. Pemeriksaan dengan sediaan basah

Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian tepi lesi

dengan memakai scalpel , pinggir gelas, atau selotip → taruh di obyek glass → tetesi

KOH 10-20 % 1-2 tetes → tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan → lihat di

mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis

sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada

kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium7.

Gambar 2.4 Hifa dan spora pada pemeriksaan KOH

9
b.Pemeriksaan kultur jamur

Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun

membutuhkan waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah, harga

yang lebih mahal dan biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak

berespon pada pengobatan sistemik. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan

spesiesnya karena semua spesies dermatofita tampak identik pada sediaan langsung.

Metode dengan kultur jamur menurut Summerbell dkk. di Belanda pada tahun 2005

bahwa kultur jamur untuk onikomikosis memiliki sensitivitas sebesar 74,6%. Garg

dkk. pada pada tahun 2009 di India melaporkan sensitivitas kultur jamur pada

dermatofitosis yang mengenai kulit dan rambut sebesar 29,7% dengan spesifisitas

100%. Sangat penting bagi masing-masing laboratorium untuk menggunakan media

standar yakni tersedia beberapa varian untuk kultur. Media kultur diinkubasi pada

suhu kamar 26°C (78,8°F) maksimal selama 4 minggu, dan dibuang bila tidak ada

pertumbuhan4.

c.Punch biopsy

Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun

sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc Acid–Schiff,

jamur akan tampak merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver,

jamur akan tampak coklat atau hitam4 .

d.Pemeriksaan lampu wood

Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya

eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.

10
2.7 DIAGNOSIS BANDING

2.7.1 Eritrasma

Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokalisasi di sela paha dan

ketiak. Effloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi

merupakan tanda-tanda khas penyakit ini. batas lesi tegas, jarang disertai infeksi,

flouresensi merah bata yang khas dengan sinar wood. Pemeriksaan dengan lampu

wood dapat menolong dengan adanya fluoresensi merah (coral red).5

Gambar 2.5. Tampak lesi pada Eritrasma

2.7.2 Kandidiasis intertriginosa

Merupakan infeksi jamur dengan predileksi lipatan kulit terutama aksila,

gluteal, genitokrural, interdigiti, retroaurikuler, perianal, yang sebagian besar

disebabkan oleh spesies Candida terutama candida albican, C. glabrata,

C.tropicalis, C. krusei, C.dubliniensis, C.parapsilosis. Dari anamnesis ditemukan

bercak merah pada lipatan kulit, meluas, disertai bintik-bintik merah kecil

disekitarnya dengan keluhan sangat gatal dan rasa panas seperti terbakar.

Effloresensinya berupa bercak eritema, berbatas tegas, maserasi disertai dengan

lesi satelit vesikopustul3.

11
Gambar 2.6. Tampak lesi kandidiasis intertrigenosa yang mengenai
skrotum dan daerah inguinal

2.7.3 Kandidosis vulvovaginal

Merupakan infeksi Candida spp. khususnya Candida albicans pada vagina

dan atau vulva. Ditandai dengan keputihan menggumpal seperti susu yang

tidak berbau dan disertai rasa gatal dan panas pada kemaluan dan daerah

sekitarnya. Pada dinding vagina ditemukan eritema dan edema disertai duh

tubuh berwarna putih (pseudomembran) menggumpal seperti susu basi atau

gumpalan keju. Dan pada vulva dan lipatan paha didapatkan maserasi,

pesudomembran, fisura dan lesi satelit papulopustuler3.

2.7.4 Psoriasis

Penyakit peradangan kulit kronik residif ditandai oleh plak eritema batas

tegas dengan skuama tebal keperakan, kasar dan berlapis, disertai fenomena

bercak lilin, tanda Auspitz dan fenomena Koebner. Bercak merah bersisik

tebal, kumat-kumatan, kadang gatal, dapat disertai nyeri sendi, dan dapat

dicetuskan oleh adanya stres psikologis, kelelahan, infeksi. Tipe vulgaris: plak

12
eritema batas tegas ditutupi skuama tebal keperakan yang kasar dan berlapis

pada daerah predileksi ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit

kepala, lumbosakral bagian bawah, pantat, dan genital3.

Gambar 2.7. Predileksi Psoriasis dan gambaran lesinya

2.8 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan tinea kruris berupa terapi medikamentosa dan non-

medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa dapat dimulai berdasarkan hasil

pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kulit. Pemeriksaan mikroskopik tidak

dapat membedakan spesies namun umumnya semua spesies dermatofit diyakini

memberikan respon yang sama terhadap terapi anti jamur sistemik dan topikal yang

ada8.

2.8.1 PENGOBATAN TOPIKAL

a. Derivat azol : mikonazol 2%, klotrimasol 1%, sangat berguna terhadap kasus-

kasus yang diragukan penyebabnya dermatofita atau candida. Keduanya

merupakan derivat azol broad-spectrum bekerja menghambat sintesis

ergosterol yang penting untuk pembentukan dinding sel jamur8.

13
b. Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam bentuk

salep, Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep8.

2.8.2 PENGOBATAN SISTEMIK

Infeksi dermatofitosis dapat pula diobati dengan terapi sistemik. Beberapa

indikasi terapi sistemik dari infeksi dermatofita antara lain:

a) Infeksi kulit yang luas.

b) Infeksi kulit yang gagal dengan terapi topikal.

c) Infeksi kulit kepala.

d) Onychomicosis dengan melibatkan lebih dari 3 buah kuku.

Medikamentosa sistemik pada tinea kruris, termasuk:

1. Griseovulfin: pada masa sekarang, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi

dengan pemberian griseovulvin. Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum

griseovulfin dalam bentuk fine particle dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g

untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 – 25 mg per

kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab

penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis di lanjutkan 2

minggu agar tidak residif Griseofulvin berikatan dengan sel prekursor keratin

sehingga secara bertahap diganti dengan jaringan yang tidak terinfeksi dan sangat

resisten terhadap invasi jamur/dermatofita8.

2. Derivat Azol: diberikan jika pada beberapa kasus sudah resisten terhadap

griseofulvin. Derivat azol antara lain: itrakonazol, flukonazol, dll. Itrakonazol

bersifat fungistik. Cara kerjanya adalah menghambat pertumbuhan sel jamur

dengan menghambat sintetis ergosterol yang tergantung sitokrom P450. ergosterol

14
ini merupakan komponen vital dari dinding sel jamur. Obat antifungi ini telah

banyak digunakan dan berdasarkan penelitian lebih efektif dibandingkan

griseofulvin. Itrakonazol dosis dewasa: 200 mg/hari, dosis anak-anak: 5 mg/kg

BB/hari diberikan selama 1 minggu.5,7 Dapat juga diberikan Ketokonasol 200 mg

sehari untuk dewasa atau 3-6 mg/kgBB sehari untuk anak-anak lebih dari 2 tahun8.

2.8.3 NON-MEDIKAMENTOSA

Dalam penatalaksanaan secara non medikamentosa, sangatlah penting untuk

mengedukasi pasien mengenai kebersihan diri dan lingkungan untuk membantu

mengatasi penyakit dan pencegahannya. Berikut edukasi yang dapat diberikan kepada

pasien8.

a. Untuk mencegah infeksi berulang, daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap

kering dan terhindar dari sumber-sumber infeksi serta mencegah pemakaian

peralatan mandi bersama-sama.

b. Memakai pakaian yang tipis, memakai pakaian yang berbahan cotton.

c. Tidak memakai pakaian dalam yang terlalu ketat untuk mencegah kelembaban

daerah sela paha.

d. Menggunakan handuk terpisah untuk mengeringkan daerah sela paha setelah

mandi,

e. Pasien dengan Tinea kruris yang mengalami obesitas dianjurkan untuk

menurunkan berat badan,

f. Memakai kaus kaki sebelum mengenakan celana untuk meminimalkan

kemungkinan transfer jamur dari kaki ke sela paha (autoinokulasi).

g. Bubuk antifungal, yang memiliki manfaat tambahan pengeringan daerah sela

paha, mungkin dapat membantu dalam mencegah kambuhnya Tinea kruris4,8.

15
2.9 PROGNOSIS

Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis dan

sosial budayanya, tetapi pada umumnya baik. Selain itu faktor kelembapan dan

kebersihan kulit juga berpengaruh pada prognosis4

BAB III
KESIMPULAN

16
3.1. KESIMPULAN
Tinea kruris merupakan dermatofitosis yang sering ditemukan pada kulit lipat

paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal. Penegakan diagnosis ditegakkan

berdaraskan gejala klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang meningkat saat

berkeringat, dengan bentuk lesi polisiklik / bulat berbatas tegas, efloresensi

polimorfik, dan tepi lebih aktif. Terdapatnya hifa pada sediaan mikroskopis dengan

pemeriksaan potasium hidroksida (KOH). Pemeriksaan metode kuktur jamur dapat

dilakukan namun membutuhkan waktu yang lama. Penatalaksanaan infeksi

dermatofita dapat diobati dengan medikamentosa agen antifungal topikal ataupun

sistemik, non medikamentosa seperti menggunakan pakaian yang menyerap keringat,

mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan membersihkan pakaian

secara teratur

DAFTAR PUSTAKA

1. Riyanto, Eko, Suyoso, Sunarso. 2005. Artikel Deramtomikosis di Instalasi Rawat


Inap Medik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Dr.Soetomo-Surabaya.

17
2. Barankin, B. dan Freiman, A., 2006. Derm Notes: Clinical Dermatology Pocket
Guide. China: FA Davis Company, p.169-70.

3. Wolff K, dan Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology, 8th ed, New York: Mc Graw Hill. p.336-9.

4. Sterry, W., Paus, R., dan Burgdorf, W., 2006. Thieme Clinical Companions:
Dermatology. Jerman: Georg Thieme Verlag KG, p.375-377.
5. William D,Timothy G, Dirk M, George C. 2006. Andrews' diseases of the skin :
clinical dermatology. 10th ed, New York: Mc Graw Hill.
6. Djuanda, Adhi. Dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
7. Wiederkehr M. Tinea Cruris. Available at: www.emedicine.com
/DERM/topic42.htm. Akses: 11 Januari 2017.
8. Panduan praktek klinis SMF Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah.2016.

18

Anda mungkin juga menyukai