Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan golongan jamur
dermatofita.1 Berdasarkan genus mereka, dermatofita dapat diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok: Trichophyton (yang menyebabkan infeksi pada kulit, rambut, dan kuku),
epidermophyton (yang menyebabkan infeksi pada kulit dan kuku), dan Microsporum (yang
menyebabkan infeksi pada kulit dan rambut). Berdasarkan cara penularan, dermatofitosis
diklasifikasikan sebagai anthrofilik, zoofilik, dan geopfilik.2 Akhirnya, berdasarkan bagian
tubuh yang terkena, diklasifikasikan secara klinis menjadi tinea capitis (kepala), tinea fasial
(wajah), tinea barbae (janggut), tinea corporis (tubuh), tinea manus (tangan), tinea cruris
(selangkangan), tinea pedis (kaki), dan tinea unguium (kuku).Varian klinis lainnya termasuk
tinea imbricata, tinea pseudoimbricata, dan granuloma Majocchi.1
Infeksi dermatofitosis diperkirakan mengenai sekitar 20-25% dari populasi di seluruh
dunia.3 Penyakit ini tersebar di seluruh dunia terutama daerah tropis. Menyerang pria
maupun wanita semua umur terutama dewasa. Heterogenitas ini dalam prevalensi infeksi
dermatofitosis di berbagai negara dikaitkan dengan faktor-faktor seperti iklim (kelembaban,
suhu), gaya hidup (higienitas), keterlibatan dalam kegiatan di luar ruangan dan prevalensi
penyakit yang mendasari (diabetes, kekurangan gizi, gangguan fungsi hati dan ginjal, serta
imunosupresi). Faktor lain adalah keengganan pasien untuk mencari pengobatan karena sifat
ringan dari penyakit atau karena malu, kecuali kondisi penyakit menjadi serius sehingga
mempengaruhi kualitas hidup.4
Salah satu pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi bagian tubuh manusia yang
diserang, salah satunya adalah tinea corporis yaitu dermatofitosis yang menyerang daerah
kulit tak berambut (glabrous skin) pada wajah, badan, lengan, dan tungkai. Sedangkan
dermatofitosis yang sering ditemukan pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus
disebut tinea cruris. Tricophyton rubrum merupakan penyebab infeksi yang paling umum
diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea corporis.5 Pada tinea corporis yang
menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada
setiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha dalam hal ini disebut
tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatofitosis (=Tinea, Ringworm) adalah infeksi jamur dermatofit (spesies
Microsporum, Tricophyton dan Epidermophyton) yang menyerang epidermis bagian
superfisialis (stratum korneum), kuku dan rambut.2
Salah satu pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi bagian tubuh manusia
yang diserang, salah satunya adalah Tinea corporis yaitu dermatofitosis pada kulit
tubuh tidak berambut (glabrous skin) kecuali bagian telapak tangan, telapak kaki, dan
daerah inguinal. Sedangkan Tinea cruris adalah dermatofitosis subakut atau kronis
pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.1

2.2 Epidemiologi

Infeksi dermatofitosis diperkirakan mengenai sekitar 20-25% dari populasi di


seluruh dunia.3 Sebuah variasi yang signifikan dalam pola infeksi jamur di berbagai
negara terlihat jelas dari penelitian yang dilakukan di negara yang berbeda seperti
Aljazair, Afrika Selatan, Meksiko, Italia, Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Brasil,
India, dan Australia. Heterogenitas ini dalam prevalensi infeksi dermatofitosis di
berbagai negara dikaitkan dengan faktor-faktor seperti iklim (kelembaban, suhu),
gaya hidup (higienitas), keterlibatan dalam kegiatan di luar ruangan dan prevalensi
penyakit yang mendasari (diabetes, kekurangan gizi, gangguan fungsi hati dan ginjal,
serta imunosupresi). Faktor lain adalah keengganan pasien untuk mencari pengobatan
karena sifat ringan dari penyakit atau karena malu, kecuali kondisi penyakit menjadi
serius sehingga mempengaruhi kualitas hidup.4
Tinea corporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai di daerah
yang panas. Tricophyton rubrum merupakan penyebab infeksi yang paling umum
diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea corporis.5 Distribusi tinea cruris
terjadi diseluruh dunia namun kejadiannya kerap dijumpai pada daerah dengan iklim
yang panas dan lembab. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa,
terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan
dengan tinea cruris. Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang
memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.6

2
2.3 Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas Fungi imperfecti, yang terbagi menjadi tiga genus, yaitu Microsporum,
Tricophyton, dan Epidemophyton.1
Walaupun semua dermatofita bisa menyebabkan tinea corporis, namun
penyebab yang paling umum adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton
mentagrophytes, begitupun dengan penyebab utama dari tinea cruris yaitu
Trichopyhton rubrum (90%), Trichopyhton tonsurans (6%), dan Trichophyton
mentagrophytes (4%).

2.4 Klasifikasi
Terdapat berbagai variasi gambaran klinis dermatofitosis, hal ini bergantung
pada spesies penyebab, ukuran inoculum jamur, bagian tubuh yang terkena, dan istem
imun pejamu. Berdasarkan lokasi anatomi yang terinfeksi, dermatofitosis
diklasifikasikan menjadi :1

 Tinea kapitis : dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala


 Tinea barbae : dermatofitosis pada dagu dan janggut
 Tinea cruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong, dan kadang hingga perut bagian bawah
 Tinea pedis et manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan
 Tinea unguium : dermatofitosis pada kuku
 Tinea corporis : dermatofitosis pada kulit tubuh tak berambut

Selain 6 bentuk tinea masih dikenal istilah yang mempunyai arti khusus, yang
dianggap sebagai sinonim tinea corporis. yaitu :
 Tinea imbrikata : dermatofitosis dengan susunan squama yang
konsentris dan disebabkan oleh trichophyton concentricum.
 Tinea favosa (favus) : dermatofitosis yang disebabkan oleh tricophyton
schoenleini, secara klinis antara lain terbentuk skutula dan berbau seperti tikus
(mousy odor)
 Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan daerah kelainan
 Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis.

3
Pada akhir-akhir ini dikenal nama tinea incognito, yang berarti dermatofitosis
dengan bentuk klinis tidak khas oleh karena telah diobati dengan steroid topical kuat.

2.5 Patogenesis
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempuyai sifat mencernakan keratin. Terjadinya penularan
dermatofitosis adalah melalui 3 cara yaitu:2
 Antropofilik (transmisi dari manusia ke manusia)
Ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam
renang dan udara sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi
keradangan (silent “carrier”). Spesies antopofilik (E. floccosum, M. audouinii,
M. ferrugineum, T. metagorophyte, var. interdigitale = T. interdigitale, T.
rubrum, T. tonsurans) mengakibatkan reaksi radang ringan dan kronis /
kambuh-kambuhna.
 Zoofilik (transmisi dari hewan ke manusia)
Ditularkan melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui bulu
binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan
pada rumah / tempat tidur hewan, tempat makanan dan minuman hewan.
Spesies Zoofilik (M.canis pada anjing dan kucing, T. mentagrophytes var.
mentagrophytes = T. mentagrophytes pada binatang mengerat).
 Geofilik (transmisi dari tanah ke manusia)
Secara sporadis menginfeksi manusia dan menimbulkan reaksi radang
hebat/akut.

Tidak semua orang rentan terhadap infeksi jamur, bahkan ketika mereka
memiliki faktor risiko yang sama. Ada bukti predisposisi famili atau genetik yang
dapat dimediasi oleh defek spesifik pada imunitas bawaan dan adaptif. Salah satu
penyakit jamur pertama yang diduga memiliki predisposisi genetik adalah Tokelau
atau tinea imbricata.7

Patogenesis infeksi dermatofita melibatkan interaksi kompleks antara pejamu,


agen dan lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi seperti itu adalah
penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, limfoma, status
immunocompromised, atau sindrom Cushing, usia yang lebih tua, yang dapat
menghasilkan dermatophytosis yang parah, meluas, atau rekalsitran. Beberapa area

4
tubuh lebih rentan terhadap perkembangan infeksi dermatofita seperti daerah
intertriginosa (lipatan dan selangkangan) di mana terdapat kelebihan keringat,
maserasi, dan pH basa mendukung pertumbuhan jamur. Setelah inokulasi ke kulit
inang, kondisi yang sesuai mendukung infeksi untuk berkembang melalui tahapan
berikut :8

 Adhesi pada keratinosit


Pertama ialah perlekatan ke keratinosit, jamur superfisial harus melewati
berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin di antaranya
sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal lain, sphingosin
yang diproduksi oleh keratinosit. Dan asam lemak yang diproduksi oleh
kelenjar sebasea bersifat fungistatik.
 Penetrasi
penetrasi melalui ataupun di antara sel, setelah terjadi perlekatan spora
harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang
lebih cepat daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh
sekresi proteinase lipase dan enzim mucinolitik yang juga menyediakan
nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke
jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel dermatofita juga bisa
menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul
ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam epidermis.
 Respon Pejamu
Respon imun terhadap infeksi oleh dermatofita dimulai dari mekanisme host
nonspesifik ke respon imun humoral dan cell-mediated
immunity (CMI). Pandangan yang diterima saat ini adalah bahwa respon imun
cell-mediated immunity (CMI bertanggung jawab untuk mengontrol
dermatofitosis.

1. Respon Imun non spesifik

Transferin tak jenuh ditemukan sebagai penghambat dermatofit


dengan mengikat hifa. Commensal pityrosporum membantu lipolisis dan
meningkatkan kolam asam lemak yang tersedia untuk menghambat
pertumbuhan jamur.

5
2. Respon Imun Spesifik
 Respons imun bawaan

Dermatofita mengandung molekul karbohidrat dinding sel (β-


glukan) yang dikenali oleh mekanisme imun bawaan, seperti Dectin-1 dan
Dectin-2, mengaktifkan reseptor 2 dan 4 (TLR-2 dan TLR-4). Dectin-1
memperkuat produksi tumor necrosis factor-α dan IL-17, IL-6, dan IL-10,
yang semuanya menstimulasi kekebalan adaptif. Keratinosit dengan
adanya antigen dermatofita, seperti trichophytin, melepaskan IL-8, kemo-
atraktan neutrophillik yang poten. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan
keterlibatan TLR-2 dan TLR-4 dalam dermatofitosis lokal dan
disebarluaskan oleh T. rubrum. Sebuah ekspresi berkurang TLR-4 di
epidermis bawah dan atas dari kedua pasien dermatofitosis lokal dan
disebarluaskan ditemukan dibandingkan dengan kontrol; Ekspresi TLR-2
dipertahankan pada epidermis atas dan bawah dari ketiga kelompok.

 Respon imun adaptif

- Imunitas humoral: Imunitas humoral terhadap dermatofita tidak


protektif. Tingkat tinggi IgE spesifik dan IgG4 terdeteksi pada
pasien dengan dermatofitosis kronis yang bertanggung jawab untuk
tes IH positif (IgE) pada Trichophyton . Di sisi lain, kadar Ig
rendah pada pasien yang menunjukkan tes kulit jenis hipersensitif
positif (DTH). Tes kulit IH untuk Trichophyton dikaitkan dengan
adanya serum IgE dan IgG (kebanyakan IgG4)
terhadap antigen Trichophyton, keunggulan dari respon
Th2. Disini, IL-4 diproduksi oleh CD4 T-sel (Th2 sel) menginduksi
isotipe antibodi beralih ke IgG4 dan IgE

- Imunitas seluler: Beberapa percobaan telah menunjukkan bahwa


resolusi dermatofitosis dimediasi oleh DTH. Kekebalan terhadap
patogen dapat diatur oleh Th1 atau Th2 subset yang pada akhirnya
akan menentukan hasil dari infeksi. Respon inflamasi akut
berkorelasi dengan tes kulit DTH positif untuk trichophytin dan

6
pembersihan infeksi sedangkan infeksi kronis dikaitkan dengan IH
tinggi dan DTH rendah.

2.6 Gejala Klinis


 Tinea corporis
Kelainan kulit yang tampak pada tinea corporis merupakan lesi bulat atau
lonjong (anular/polisiklik), berbatas tegas terdiri atas bercak eritema, skuama,
kadang-kadang dengan papul dan vesikel di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih
tenang (central healing). Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.
Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain.
Lesi dapat berupa polosiklik karena beberapa lesi menjadi satu. Bentuk tanpa
radang lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang dewasa karena mereka
umumnya mendapat infeksi baru pertama kali.9
Pada tinea corporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama
dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut Tinea corporis et cruris
atau Tinea cruris et corporis.1

Gambar 1. Tinea corporis 9


 Tinea cruris
Durasi bulan ke tahun. Seringkali memiliki riwayat tinea pedis lama dan
riwayat tinea cruris sebelumnya.9
Kelainan kulit yang tampak merupakan lesi berbatas tegas. Tepi lesi aktif
(peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya), bentuk polimorf,

7
ditutupi skuama dan kadang-kadang dengan banyak papul maupun vesikel di
sekelilingnya.1 Umunya hiperpigmentasi postinflamasi pada orang yang berkulit
gelap. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Distribusi pada paha
dan lipat paha; dapat meluas ke bokong. Skrotum dan penis jarang terlibat.9

Gambar 2. Tinea cruris (inguinalis) subakut 9

Gambar 3. Tinea cruris (inguinalis) kronis 9


2.7 Diagnosis 2
1. Anamnesis dan gejala klinis khas
2. Laboratorium :
2.1.Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20% / dapat + tinta Parker
2.1.1. Dari kerokan kulit / skuama / kuku terlihat :

8
a. Hifa bersepta : gambaran double contour ( 2 garis lurus sejajar,
ransparan) besepta / sekat dan bercabang
b. Arthrokonidia / arthrospora : spora berderet, merupakan
pecahan-pecahan ujung hifa

Gambar 4.
Dermatofitosis:
Pemeriksaan KOH
Multiple, bersepta,
struktur seperti pipa
(hifa atau miselia)
dan bentuk spora
pada skala besar

2.1.2. Dari rambut, terlihat salah satu :


a. Arthrokonidia kecil-kecil / besar pada ektothriks (di luar
rambut)
b. Arthrokonidia besar pada endothriks (di dalam rambut)
2.1.3. Hasil KOH negatif : tidak menyingkirkan diagnosis dermatofitosis
2.2.Kultur
Dengan media :
Sabouraud’s Dextrose Agar (SDA) + chloramphenicol + Cyclohexamide
(Actidicn) : Mycobiotik – Mycosel, tumbuh rata-rata 10-14 hari
2.3.Pemeriksaan lapu Wood
Pada tinea kapitis. Daerah yang terkena infeksi akan memperlihatkan
fluoresensi warna kuning kehijauan

2.8 Diagnosis Banding


 DERMATITIS SEBOROIK
Dermatitis kronik yang terjadi pada daerah yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea. Seperti pada muka, kepala, dada. Efloresensi : Patch / plak
eritematosa dengan skuama berwarna kekuningan berminyak dengan batas
tidak tegas.

9
Gambar 5. Dermatitis seboroik 9
 PSORIASIS
Merupakan penyakit kulit yang bersifat kronik,residif,dan tidak infeksius.
Efloresensi : plak eritematosa berbatas tegas ditutupi skuama tebal,berlapis-
lapis dan berwarna putih mengkilat.Terdapat tiga fenomena,yaitu bila di gores
dengan benda tumpul menunjukkan tanda tetesan lilin. Kemudian bila skuama
dikelupas satu demi satu sampai dasarnya akan tampak bintik-bintik
perdarahan,dikenal dengan nama Auspitz sign.Adanya fenomena Koebner /
reaksi isomorfik yaitu timbul lesi-lesi yang sama dengan kelainan psoriasis
akibat bekas trauma / garukan.

Gambar 6. Psoriasis 9

10
 PITIRIASIS ROSEA
Merupakan keradangan kulit akut berupa lesi papuloskuamosa pada
badan,lengan atas bagian proksimal dan paha atas. Efloresensi:papul / plak
eritematosa berbentuk oval dengan skuama collarette(skuama halus di
pinggir). Lesi pertama (Mother patch/Herald patch) berupa bercak yang
besar,soliter,oval dan anular berdiameter dua sampai enam cm. Lesi tersusun
sesuai lipatan kulit sehingga memberikan gambaran menyerupai pohon
cemara (Christmas tree).

Gambar 7. Pitiriasis rosea 9

2.9 Penatalaksanaan

Pada umumnya pengobatan untuk infeksi jamur dermatofitosis secara topikal


saja cukup, kecuali untuk lesi-lesi kronik dan luas serta infeksi pada rambut dan kuku
yang memerlukan pula pengobatan sistemik, oleh karena dermatofitosis merupakan
penyakit jamur superfisial.2
1. Lesi basah / infeksi sekunder
- Kompres sol sodium chloride 0,9% 3-5 hari
- Antibiotic oral 5-7 hari
2. Obat topikal
Indikasi : lesi tidak luas pada Tinea corporis, tinea cruris, tina muanuum dan
Tinea pedis ringan

11
Obat :
- Salep Whitfield sehari 2 kali (acidum salicylicum 3% + acidum
benzoic 6%)
- Salep 2-4 / 3-10 sehari 2 kali (acidum salicylicum 2-3% + sulfur
prespitatum 4-10%)
- Derivat azol : ketokonazol 2%, mikonazol 2%, klotrimasol 1%,
sangat berguna terhadap kasus-kasus yang diragukan
penyebabnya dermatofita atau candida, sehari 2 kali.
Pengobatan umumnya minimal selama 3 minggu (2 minggu sesudah KOH
negatif/ klinis membaik), untuk mencegah kekambuhan pada obat fungistatik.

3. Obat oral
Lamanya : a. Obat fungistatik : 2-4 minggu
b. Obat fungisidal : 1-2 minggu

Obat :
- Griseofulvin
Anak : 10 mg/kgBB/hari
Dewasa : 500 – 1000mg/hari
- Ketokonazole
Anak : 3-6 mg/kgBB/hari
Dewasa : 1 tablet (200 mg)/hari
- Itrakonazole
Anak : 3-5 mg/kgBB/hari
Dewasa : 1 kapsul (100 mg)/hari
- Terbinafine
Anak : 3-5 mg/kgBB/hari
Dewasa : 1 kapsul (250 mg)/hari

Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin, dapat diberikan


griseofulvin dengan dosis yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama atau bisa
juga dipertimbangkan penggunaan derivat azol seperti itrakonazol, flukonazol dll.
Selain pengobatan kausatif tersebut, penting juga diperhatikan pengobatan
simtomatik untuk menanggulangi rasa gatal, panas, maupun nyeri.

12
Tabel 1. Pilihan pengobatan untuk tinea pada lansia, anak-anak, dan
ibu hamil 10

Untuk pasien usia lanjut dengan lesi kulit tunggal dan beberapa
komorbiditas / pada polifarmasi, terapi topikal saja dapat diberikan. Situasi di
mana terapi sistemik diindikasikan meliputi; (a) tinea melibatkan dua atau lebih
daerah secara bersamaan, misalnya, tinea corporis dengan tinea cruris, (b) tinea
corporis dengan keterlibatan luas di mana terapi topikal mungkin tidak praktis, (c)
tinea pedis terutama moccasin atau tipe vesikular, dan (d) kegagalan pengobatan
berulang dengan agen topikal yang berbeda.10

2.10 Prognosis
Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis dan
sosial budayanya, tetapi pada umumnya baik.

13
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : Tn. TW
Umur : 59 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Menikah
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Petani
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Sentani
Suku : Sentani
Tanggal Pemeriksaan : 25 Juni 2018
Ruangan : Poli Kulit
No. RM : 46 99 33

3.2. Anamnesis

Alloanamnesis (adik kandung) di Poliklinik Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)


Abepura
A. Keluhan Utama :
Bercak kehitaman bersisik disertai gatal pada perut bagian bawah, tangan dan
sela paha sejak ± 1 tahun lalu dan berulang.
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik kulit kelamin RSUD Abepura dengan keluhan
bercak kehitaman bersisik disertai gatal pada bagian perut bagian bawah, tangan
dan sela paha sejak ± 1 tahun lalu dan berulang. Pada awalnya di lipatan paha
muncul bintik kecil merah yang makin lama makin melebar hingga mencapai
perut. Keluhan disertai rasa gatal terutama saat berkeringat, sehingga pasien suka
menggaruk hingga membentuk keropeng yang semakin melebar dan membentuk
sisik halus berwarna putih. Gatal dirasakan sama pada siang dan malam hari.
Pasien kemudian berobat ke RS dan keluhan tidak dirasakan lagi sejak 3
minggu yang lalu. Kemudian keluhan yang sama muncul lagi 1 minggu kemudian.

14
Pasien sehari-harinya selain berkebun juga sering turun ke danau untuk
mencari ikan, sehingga terkadang pakaian basah dan dibiarkan mengering sendiri
di badan pasien. Pasien mudah berkeringat dan apabila berkeringat tidak di lap,
keringat dibiarkan mengering sendiri dan tidak ganti baju. Pasien juga sering hanya
mandi 1x sehari menggunakan sabun batang dan menggunakan air dari sumur.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :


 Demensia Alzheimer sejak 2 tahun
 Penyakit asam lambung

D. Riwayat Penyakit Keluarga :


 Pasien mengatakan keluarga tidak memiliki keluhan sama seperti pasien.
 Diabetes Melitus, Hipertensi, Jantung, Asma, disangkal

E. Riwayat Pengobatan :
Pasien sudah pernah berobat sebelumnya dengan menggunakan obat yang
diberikan oleh dokter, yaitu berupa salep dan obat minum Griseovulfin. Setelah
memakai obat salep, keluhan menjadi berkurang. Akan tetapi, setelah minum obat
griseovulfin pasien mengatakan badan seperti terasa panas sehingga pasien
berhenti minum obat tersebut. Keluhan muncul lagi sejak 2 minggu yang lalu dan
penderita belum mendapat pengobatan.

F. Riwayat Alergi :
 Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan.
 Alergi obat Griseovulfin

3.3. Pemeriksaan Fisik


1. Status Generalis
 Keadaan Umum : Baik, tampak sakit ringan
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda Vital :
- Tekanan darah : 150/110 mmHg
- Nadi : 88 x/menit
- Suhu : 36,8o C

15
- Pernafasan : 20 x/menit
- Berat badan : 69 kg
- Tinggi : 167 cm
- Status gizi : Normal (BMI = 24,7%)
 Kepala : Bentuk normocephali
- Kulit kepala : Kelainan kulit (-)
- Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
- Hidung : Tidak ada septum deviasi, sekret (-)
- Mulut : Bibir sianosis (-), karies gigi (-), tonsil T1-T1 tenang,
faring tidak hiperemis
- Telinga : Normotia, serumen -/-
 Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB dan tiroid
 Thorax :
- Inspeksi : Bentuk simetris, gerak napak simetris
- Palpasi : Vokal fremitus sama kuat kanan dan kiri
- Perkusi : Sonor di semua lapang paru
- Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-, bunyi
jantung I-II reguler, gallop (-), murmur (-)
 Abdomen :
- Inspeksi : Datar
- Palpasi : Supel, hepar & lien tidak teraba, nyeri tekan(-)
- Perkusi : Timpani di semua kuadran abdomen
- Auskultasi : Bising usus (+)
 Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas :
- Superior : Oedem (-), deformitas (-), kelainan sendi (-), kelainan
kulit (lihat status dermatologis), kelainan kuku : pitting
nail (-), onikolisis (-),
diskolorasi (-)
- Inferior : Oedem (-), deformitas (-), kelainan sendi (-), kelainan
kulit (-), kelainan kuku : pitting nail (-), onikolisis (-),
diskolorasi (-)

16
2. Status Dermatologis
 Lokasi : Regio abdominal, regio antebrachialis sinistra, regio lipat paha
kiri dan kanan
 Distribusi : Regional
 Bentuk : Bulat hingga tidak teratur dengan permukaan yang tidak rata
dan kasar.
 Susunan : Poliksiklik
 Batas : Sirkumskrip
 Ukuran : Lentikular, numular sampai plakat
 Efloresensi : Primer : makula hiperpigmentasi dengan papul lentikular

Sekunder : plak hiperpigmentasi, skuama halus warna putih,


krusta , dan erosi

Gambar 8. Regio Abdominal

17
Gambar 9. Regio antebrachialis sinistra

Gambar 10. Regio Lipat Paha kiri dan kanan

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan mikologik dengan mengambil kerokan kulit dari lesi di selangkangan dan
ditambah dengan larutan KOH 10%. Didapatkan gambaran hifa 1-2 /LP dan spora 20-
3-/LP

18
Gambar 11. Hasil pemeriksaan KOH
3.5. Resume

Seorang laki-laki berusia 59 tahun, pendidikan terakhir S1, bekerja sebagai


seorang petani, sudah menikah, dan beragama Kristen Protestan, datang ke Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUD Abepura pada tanggal 25 Juni 2018 pukul 10.00 WIB dengan
keluhan utama bercak kehitaman yang bersisik dan terasa gatal pada perut bagian
bawah, tangan kiri serta sela paha.
Pada alloanamnesis didapatkan keluhan bercak kehitaman yang bersisik terasa
gatal sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya berupa bintik kecil yang muncul pada lipat
paha, makin lama makin besar, serta disertai rasa gatal. Gatal tersebut bertambah hebat
apabila penderita berkeringat. Bila terasa gatal, sering digaruk sampai terkadang lecet.
Kulit terasa menebal dan bersisik halus berwarna putih. Pasien pernah mengalami hal
serupa sebelumnya. Selain berkebun, pasien juga sering turun ke danau untuk mencari
ikan sehingga pakaian yang digunakan sering basah dan dibiarkan mengering sendiri
dibadan pasien. Bila berkeringat tidak di lap, keringat dibiarkan mengering sendiri dan
tidak ganti baju. Pasien sering mandi hanya 1x sehari menggunakan sabun batang dan
menggunakan air sumur. Pasien sempat berobat 3 minggu lalu dan diberi salep serta
obat Griseovulfin, namun pasien mengeluh badan terasa panas jika sehabis
mengkonsumsi obat griseovulfin. Pasien memiliki riwayat demensia Alzheimer sejak 2
tahun ini, pasien tidak memiliki penyakit kencing manis dan tidak sedang
mengkonsumsi obat apapun.

19
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Hasil
BMI menunjukkan status gizi pasien tergolong normal. Status dermatologikus
didapatkan distribusi regional pada regio abdominal bagian bawah, antebrachi sinistra
dan sela paha bilateral. Lesinya multipel, sebagian diskret sebagian konfluens, bentuk
ireguler, ukuran bervariasi dari lentikular hingga plakat, berbatas tegas, menimbul dari
permukaan kulit, kering, tepi aktif. Efloresensi makula hiperpigmentasi, papul, plak
hiperpigmentasi, disertai skuama, krusta dan erosi.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan pemeriksaan mikologik (+) dimana
didapatkan gambaran hifa 1-2/LP dan spora 20-30/LP pada sediaan langsung kerokan
kulit dengan KOH 10%.

3.6. Diagnosis Kerja


Tinea corporis et cruris

3.7. Usulan Pemeriksaan

1. Pemeriksaan faal hati. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan terapi pasien,
karena beberapa anti fungi bersifat hepatotoksik.
2. Pemeriksaan kultur jamur menggunakan medium agar dekstrosa Sabouraud 1.
Hasil yang diharapkan tumbuhnya kolonisasi jamur untuk menentukan spesies
jamur.

2.8. Penatalaksanaan

1. Umum
 Memberikan edukasi kepada pasien mengenai penyakit yang diderita serta
pengobatannya
 Memotivasi pasien untuk rutin kontrol dan tidak menghentikan pengobatan
tanpa seizin dokter
 Memberikan edukasi kepada pasien agar tidak menggaruk kulit yang terasa
gatal karna dapat menyebabkan luka dan infeksi sekunder, dan setelah
menyentuh bagian lesi sebaiknya cuci tangan agar tidak menyebar ke bagian
tubuh lain

20
 Memelihara dan menjaga kebersihan
 Menggunakan pakaian yang menyerap keringat, tidak ketat, dan menghindari
kulit lembab
 Tidak menggunakan pakaian, handuk ataupun peralatan pribadi secara
bergantian atau bersama-sama dengan anggota keluarga lain.

2. Khusus
 Topikal
- Anti fungi topikal : Krim Ketokonazol 2% (dioleskan 2 kali
sehari pagi dan sore pada lesi).
 Sistemik

- Anti fungi oral : Itrakonazol tab 100mg 1x1 per hari selama 2
minggu
- Anti histamin oral : Cetirizine tab 10mg 1x1 per hari

2.9. Prognosis

 Quo ad vitam : ad bonam


 Quo ad functionam : ad bonam
 Quo ad sanationam : ad bonam

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa penderita mengeluh adanya bercak kehitaman
disertai rasa gatal pada perut bagian bawah, tangan kiri, serta lipat paha kiri dan kanan sejak
1 tahun yang lalu. Awalnya berupa bintik kecil yang muncul pada lipat paha, makin lama
makin besar, dimana rasa gatal tersebut bertambah hebat apabila penderita berkeringat.
Keluhan gatal ini merupakan keluhan utama yang diakibatkan oleh infeksi jamur khususnya
dermatofitosis, dimana tinea corporis dan cruris termasuk didalamnya. Penyakit ini berjalan
perlahan-lahan, sehingga butuh waktu lama untuk mendapatkan suatu gambaran lesi dengan
diameter yang besar. Pada pasien ini, lesi diawali dengan bintik eritema kecil yang semakin
lama semakin membesar dan meluas, memberikan gambaran klinis yang khas untuk infeksi
tinea corporis dan cruris.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada daerah abdominal setinggi umbilical dan daerah
antebrachii sinistra didapatlan adanya lesi dengan efloresensi berupa makula hiperpigmentasi,
bentuk anular/polisiklik dengan batas tegas, diameter bervariasi, tampak adanya central
healing dan tepi lesi aktif dengan papul-papul eritema diatasnya, disertai skuama putih tipis.
Bentuk dan sifat lesi ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa Tinea corporis
memiliki gambaran lesi dengan bentuk anular/polisiklik dengan central healing dan tepi
aktif. Tepi lesi aktif (peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya), ditutupi
skuama dan kadang-kadang dengan beberapa papul. Bila penyakit ini menjadi menahun,
dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik di daerah lipat paha dengan memperhatikan sifat
lesi yang ada didapatkan efloresensi berupa macula hiperpigmentasi, bentuk geografikal
dengan ukuran seluas lipatan paha, batas tegas, tampak central healing dan tepi lesi aktif
dengan papul dan krusta ditepi, disertai skuama putih tipis. Bentuk dan sifat lesi ini sesuai
dengan teori yang menyebutkan bahwa Tinea cruris memiliki bentuk lesi berupa lesi berbatas
tegas yang bilateral pada lipat paha kiri dan kanan. Mula-mula sebagai bercak eritematosa,
gatal, lama kelamaan meluas, dapat meliputi skrotum, pubis, gluteal, bahkan sampai bokong
dan perut bawah. Tepi lesi aktif (peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah
tengahnya), ditutupi skuama dan kadang-kadang dengan beberapa papul dan vesikel1. Bila
penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan
keluarnya cairan biasanya akibat garukan.

22
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk pasien ini berupa pemeriksaan KOH
10%. Dari hasil pemeriksaan penujang KOH 10% ditemukan gambaran morfologi hifa 1-
2/LP dan spora 20-30/LP. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi kulit tersebut disebabkan oleh
jamur penyebab Tinea corporis dan cruris.
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan memberikan
pengobatan secara topikal dan sistemik. Pertimbangan pemberian pengobatan sistemik pada
pasien ini adalah bahwa telah terjadi perluasan lesi ke daerah abdominal, antebrachii sinistra
dan paha bagian atas dari lesi primer di lipat paha.
Obat topikal yang diberikan adalah krim Ketokonazole 2 % yang dioleskan dua kali
sehari, obat tersebut diberikan selama 2 minggu. Obat sistemik yang diberikan adalah
Itrakonazole 1x100 mg selama 2 minggu.
Ketokonazole dan Itrakonazole merupakan obat golongan azol. Obat tersebut bekerja
dengan menghambat enzim lanosterol 14-alpha-demethylase, yang berfungsi mengubah
lanosterol menjadi ergosterol, suatu komponen penting dari dinding sel jamur. Kerusakan
membran sel jamur tersebut terjadi karena meningkatnya permeabilitas dan ketidakmampuan
sel untuk bereproduksi, sehingga menyebabkan kematian sel jamur.
Prognosis dari dermatofita bergantung pada bentuk klinis, penyebab spesies
dermatofita dan hospesnya sendiri, termasuk sosial budaya dan status imunologisnya. Tapi
pada umumnya prognosis penyakit ini adalah baik.

23
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN
Tinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut
(glabrous skin) kecuali bagian telapak tangan, telapak kaki, dan daerah inguinal.
Sedangkan Tinea cruris adalah dermatofitosis subakut atau kronis pada lipat paha,
daerah perineum, dan sekitar anus..
Gambaran klinis bermula sebagai bercak/patch eritematosa yang gatal dan lama
kelamaan semakin meluas dengan tepi lesi yang aktif (peradangan pada tepi lebih
nyata daripada daerah tengahnya), central healing, batas tegas, bentuk bervariasi,
ditutupi skuama, dan kadang-kadang dengan banyak vesikel kecil-kecil.
Pengobatan dapat diberikan secara topikal dan sistemik. Faktor-faktor
predisposisi terjadinya Tinea cruris dan Tinea corporis adalah kelembapan dan
kurangnya higienitas perorangan. Prognosis penyakit ini adalah baik.

5.2. Saran
Dalam pengobatan tinea corporis dan cruris, selain pengobatan secara
farmakologis, juga penting adanya KIE terhadap pasien dan keluarganya terutama
mengenai higiene perorangan, termasuk juga disiplin dalam menjalani pengobatan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja U, Widaty S. Dermatofitois. Dalam: Menaldi S, Bramono K, Indriatmi W.


Editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: FKUI. 2015. p.109-116
2. Suyoso S, et al. Dermatofitosis. Dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian /
SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 3. Surabaya: UNAIR. 2005.p.59-66
3. Havlickova B, Czaika VA, Fredrich M. Epidemiological Trends in Skin Mycoses
Worldwide. Mycoses. 2008;51:2-15
4. Rahman MH, et al. Prevalence of Superficial Fungal Infections in the Rural Areas of
Bangladesh. Iran J Dermatol 2011;14;86-91
5. Lesher JL, et al. Tinea Korporis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1091473-overview#a6. Accessed on 03 July
2018
6. Wiederkehr M, et al. Tinea Cruris. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1091806-overview#a6. Accesed on 03 July
2018
7. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis:
A comprehensive review. Indian J Dermatol 2016;7;77-86
8. Tainwala R, Sharma YK. Pathogenesis of Dermatophytoses. Indian J Dermatol
2011;56;259-261
9. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. Fitzpatrick Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 7th edition. New York: McGraw-Hill Education. 2013.p.45-620
10. Kaul S, Yadav S, Dogra S. Treatment of Dermatophytosis in Elderly, Children, and
Pregnant Women. Indian J Dermatol 2017;8;310-316

25

Anda mungkin juga menyukai