Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2019


UNIVERSITAS HALU OLEO

BRONKIOLITIS

Oleh :
Zollananda Kurnia Putri, S. Ked
K1A1 14052

Pembimbing :
Dr. Yeni Haryani, M.Kes, Sp. A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM KOTA KENDARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
BRONKIOLITIS
Putri Zollananda Kurnia, Haryani Yeni

A. PENDAHULUAN

Bronkiolitis adalah peradangan pada bronkiolus yang ditandai oleh

sesak napas, mengi, dan hiperinflasi paru. Penyakit bronkiolitis akut

merupakan infeksi respiratorik akut bagian bawah (IRA-B) yang sering pada

bayi. Sekitar 20% anak pernah mengalami satu episode IRA-B dengan mengi

pada tahun pertama.9

Bronkiolitis akut bersifat musiman, pada umumnya terjadi pada usia

kurang dari 2 tahun dengan puncak kejadian pada usia 6 bulan pertama, serta

lebih sering pada laki-laki biasanya dialami lebih berat pada bayi dan ditandai

dengan obstruksi saluran napas dan mengi. 5,9

Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV)

(tersering), Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenzae virus, Enterovirus, dan

Influenzae virus.7

B. DEFINISI

Bronkiolitis adalah Penyakit Infeksi Respiratorik Akut bagian bawah

(IRA-B) yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya

infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara klinis ditandai dengan episode

pertama “wheezing” pada bayi yang didahului dengan gejala Infeksi


respiratorik Akut. Umumnya bronkiolitis menyerang pada anak di bawah

umur 2 tahun dengan kejadian tersering kira-kira usia 6 bulan. 8

C. EPIDEMIOLOGI

Bronkiolitis umumnya musiman, muncul paling sering dalam epidemi

selama bulan-bulan musim dingin. Bronkiolitis adalah penyakit dengan

morbiditas tinggi, tetapi mortalitas rendah. Kematian karena kegagalan

pernapasan pada bronkiolitis jarang dan kisaran untuk bronkiolitis RSV dari

2,9 (Inggris) ke 5,3 (AS) kematian per 100.000 anak di bawah 12 bulan.

Perbedaan mungkin disebabkan oleh prosedur diagnostik juga oleh kondisi

sosial ekonomi. Sebuah studi dari Inggris menggaris bawahi bahwa angka

kematian untuk bronkiolitis pada anak di bawah 12 bulan rendah dan jatuh,

dari 21,5 hingga 1,8 per 100.000 anak (usia 1 hingga 12 bulan) dari tahun

1979 hingga 2000, mencerminkan peningkatan pada anak-anak perawatan

intensif.11

Di Indonesia, bronkiolitis merupakan masalah kesehatan yang utama

karena masih tingginya angka kejadian pada anak anak balita. Bronkiolitis

mengakibatkan sekitar 20% - 30% kematian anak balita. Bronkiolitis juga

merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien pada sarana

kesehatan. Sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15%-

30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit

disebabkan oleh bronkiolitis.8


D. ETIOLOGI

Sebagian besar sekitar 95 % kasus bronkiolitis akut disebabkan oleh

respiratory syncytial virus (RSV). Beberapa penyebab lain seperti

Adenovirus, virus Influenza, virus Parainfluenza, Rhinovirus, dan

mikoplasma, tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkiolitis disebabkan oleh

bakteri. 7

E. FAKTOR RISIKO

Dalam penelitian yang dilakukan di rumah sakit Mexico, ditemukan

RSV adalah virus yang paling sering didapatkan, dan beberapa penyebab

virus pernapasan lainnya. Bayi yang ibunya adalah perokok aktif akan lebih

mungkin berkembang bronkiolitis daripada bayi dari ibu yang tidak

merokok..

Faktor lingkungan lain adalah kondisi rumah yang padat dan terdapat

hama seperti rayap, tikus ataupun kecoa juga akan lebih mungkin

berkembangnya bronkiolitis pada bayi. 1

F. PATOMEKANISME

Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons

inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi

mukus, timbunan debris seluler/ atau sel-sel mati yang terkelupas kemudian

diikuti dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa.8


Gambar 1. Pembengkakan bronkioli pada bronkiolitis.5

Karena tahanan aliran udara berbanding terbalik dengan diameter

penampang saluran respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan

memberikan hambatan aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang

memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus

meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran

respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping

dan hiperinflasi.8
Gambar 2. Patofisiologi bronkiolitis.1

Proses patologis ini akan mengganggu pertukaran gas normal di paru.

Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan

ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang berikutnya akan

menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi hipoksia jaringan.

Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3-4 hari, tetapi silia akan diganti

setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag. 8

G. MANIFESTASI KLINIK

Bronkiolitis dapat didiagnosis berdasarkan tanda dan gejala klinis.

Pada anak kecil, diagnosis berdasarkan pada pola klinis mengi dan
hiperinflasi. Gejala dan tanda klinis biasanya dimulai dengan rinore, demam

ringan, batuk dan nafsu makan menurun, diikuti 1 - 2 hari kemudian oleh

takipnea, hiperinflasi dan wheezing sebagai konsekuensi dari peradangan

saluran napas. Penyakit ini umumnya sembuh sendiri, tetapi mungkin

semakin berat ditandai dengan adanya pernapasan cuping hidung, retraksi

dinding dada subkostal dan hipoksemia.

Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Skala klinis

yang digunakan ada beberapa macam, yaitu Respiratory Distress Assessment

Instrument (RDAI) atau modifikasinya yang mengukur laju

pernafasan/respiratory rate (RR), usaha nafas, beratnya wheezing dan

oksigenasi.9
1.
Tabel Respiratory Distress Assays Instrument (RDAI). Bila skor >

15  Berat, Bila skor < 3 Ringan. 2

Tabel 1. Skor Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)


SKOR Skor
0 1 2 3 4 Maks.
Wheezing :
-Ekspirasi (-) Akhir 1/2 ¾ Semua 4
-Inspirasi (-) Sebagian Semua (-) (-) 2
-Lokasi (-) ≤ 2 dari 4 ≥ 3 dari 4 (-) (-) 2
lap. paru lap. paru
Retraksi :
-Supraklavikular (-) Ringan Sedang Berat 3
-Interkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
-Subkostal (-) Ringan Sedang Berat 3
TOTAL 17

2. Skala klinis yang digunakan Abdul-Ainine dan Luyr adalah :


1. Respiratory Rate (RR): dihitung manual, baik dengan palpasi

dan melihat gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh,

dua kali perhitungan diambil rata-ratanya.

2. Heart Rate (HR) diambil dari pulse oxymetri yang dibaca lima

kali selama pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.

3. Saturasi O2 : dari pulse oxymetri yang dibaca lima kali selama

pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya.

4. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI

menurut Lowell dkk.9

5. Status aktivitas bayi (empat tingkat : tidur, tenang, rewel dan

menangis).

Berdasarkan derajat keparahan, bronkiolitis juga dibagi sebagai berikut:

3. Sedangkan Shuh yang diadaptasi oleh Dobson, untuk menilai skor

klinis sebagai berikut :

1. Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel).

2. Penggunaan otot bantu nafas : Skor 0 (tidak ada retraksi)

hingga 3 (retraksi berat).

3. Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat

inspiratorik dan ekspiratorik).9


H. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

- Sering terjadi pada anak berusia <2 tahun. Sembilan puluh persen

(90)% kasus yang membutuhkan perawatan di rumah sakit terjadi

pada usia 3-6 bulan

- Anak yang menderita bronkiolitis mengalami demam atau riwayat

demam, namun jarang terjadi demam tinggi.

- Rinorrhea, nasal discharge (pilek), sering timbul sebelum gejala

lain seperti batuk, takipneu, sesak napas, dan kesuilitan makan.

- Batuk disertai gejala nasal adalah gejala yang pertama muncul

pada bronkiolitis. Batuk kering dan mengi khas untuk bronkiolitis

- Poor feeding . banyak penderita bronkiolitis mempunyai kesulitan

makan yang berhubungan dengan sesak napas, namun gejala

tersebut bukan hal mendasar untuk diagnosis bronkiolitis.

- Bayi dengan bronkiolitis jarang tampak “toksik”. Bayi dengan

tampilan toksik seperti mengantuk, letargi, gelisah, pucat, motling,

dan takikardi membutuhkan penanganan segera. 7,8

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis

bronkiolitis adalah adanya takipneu, takikardi, dan peningkatan suhu

diatas 38,5oC. Selain itu dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan

dan faringitis.
Obstruksi salurang respiratori bawah akibat respons inflamai akut

akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing.

Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi

obstruksi akan menimbulkan napas cuping hidung dan retraksi dinding

dads (subkosta, interkosta, dan supraklavikula). Bentuk dada tampak

hiperinflasi dan keadaan tersebut membedakan bronkiolitis dari

pneumonia. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan

auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila gejala menghebat,

dapat terjadi pneu, terutama pada bayi prematur, atau berat badan lahir

rendah. 7,8

Fine inspiratory crackles pada seluruh lapang paru sering

ditemukan (tapi tidak selalu) pada penderita bronkiolitis. 7,8

3. Pemeriksaan Penunjang

- Saturasi Oksigen

Pulse oximetry dilakukan pada setiap anak yang datamng kerumah

sakit dengan bronkiolitis. Bayi dengan saturasi oksigen ≤92 %

membutuhkan perawatan diruang intensif. Bayi dengan saturasi

oksigen >94% pada udara ruangan dapat dipertimbangkan untuk

dipulangkan.

- Analisis Gas Darah (AGD)

Umumnya tidak diindikasikan pada bronkiolitis. Pemeriksaan

tersebut diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang

membutuhkan ventilator mekanik.


- Foto Thorax

Foto thorax pada bronkiolitis ringan tidak memberikan informasi

yang dapat mempengaruhi pengobatan. Pada bronkiolitis berat

didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat (patchy infiltrates),

tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma,

pnemonia viral, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran

atelektasi, terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat

bercampur sel-sel mati yang menyumbat, atelektasis, air trapping,

diafragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior.

Gambar 3. Manifestasi klinis virus pernapasan syncytial


(RSV). Tampak hiperinflasi.6
Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen

detection tests (direct immunofluoresence assay dan enzyme-linked

immunosorbent assay, ELISA) atau polymerase chain reaction (PCR),

dan pengukuran titer antibodi pada fase akut dan konvalesense. 7,8

I. DIAGNOSIS BANDING

Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis, perlu memperhatikan

manifestasi klinis yang dapat menyerupai penyakit lain. Diagnosis banding

sebaiknya dipikirkan, misalnya asma, bronchitis, gagal jantung kongestif dan

edema paru yang memiliki gambaran klini menyerupai bronkiolitis.9 Berikut

beberapa gejala penyakit lain yang menyerupai bronkiolitis menurut WHO.

Tabel 3. Diagnosa Banding10


Diagnosis Gejala
Asma Riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan
dengan batuk dan pilek
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Berespons baik terhadap bronkodilator
Wheezing Wheezing selalu berkaitan dengan batuk dan pilek
berkaitan Tidak ada riwayat keluarga dengan asma/eksem/hay fever
dengan batuk Ekspirasi memanjang
atau pilek Cenderung lebih ringan dibandingkan dengan wheezing
akibat asma
Berespons baik terhadap bronkodilator
Benda asing Riwayat tersedak atau wheezing tiba-tiba
Wheezing umumnya unilateral
Air trapping dengan hipersonor dan pergeseran
mediastinum
Tanda kolaps paru
Pneumonia Batuk dengan napas cepat
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
Demam
Crackles/ ronki
Pernapasan cuping hidung
Merintih/grunting

J. PENATALAKSANAAN

Sebagian besar tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif,

yaitu pemberian oksigen, cairan intravena dan kecukupan cairan,

penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, dan nutrisi.

Setelah itu barulah digunakan bronkodilator, anti-inflamasi seperti

kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan pencegahan dengan vaksin

RSV, RSV immunoglobuline (polyclonal), atau humanized RSV

monoclonal antibody (Palivizumab). 8

1. TERAPI SUPORTIF

1. Terapi Oksigen

Beri oksigen pada semua anak dengan wheezing dan distres

pernapasan berat. Metode yang direkomendasikan untuk

pemberian oksigen adalah dengan nasal prongs atau kateter nasal.

Bisa juga menggunakan kateter nasofaringeal. Pemberian oksigen

terbaik untuk bayi muda adalah menggunakan nasal prongs.

Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi

mekanik yaitu pada kasus gagal napas, serta apnea berulang. CPAP

bisa digunakan untuk mempertahankan tekanan positif paru. CPAP

mungkin memberi keuntungan dengan cara membuka saluan napas

kecil, mencegah air trapping dan obstruksi.

2. Terapi Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk mencegah terjadinya

dehidrasi akibat keluarnya cairan lewat evaporasi, karena pernapasan

yang cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi

diperlukan pemberian cairan rumatan. Cara pemberian cairan ini bisa

intravena atau nasogastrik. Akan tetapi, harus hati-hati pemberian

cairan lewat lambung karena dapat terjadi aspirasi dan menambah

sesak napas akibat lambung yang terisi cairan dan menekan

diafragma ke paru-paru.

Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu

dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien tidak dapat

minum, panas, distress napas untuk mencegah terjadinya

dehidrasi.Dapat dibenarkan pemberian retriksi 2/3 dari kebutuhan

rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat

SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone).

Selanjutnya, perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan asam basa

dan elektrolit yang mungkin timbul.

2. MEDIKAMENTOSA

1. Anti Virus

Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik.

Penggunaannya masih kontroversial baik efektivitas maupun

keamanannya. The American Academy of Pediatrics

merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang

diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita


bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru

kronik, imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin

dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita

bronkiolitis dengan penyakit jantung jika diberikan sejak awal.

Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol dengan

dosis 20 mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3-

7 hari. 5

2. Bronkodilator

Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi

saluran respiratory adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema

mukosa dan sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori

kecil pada bayi dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi

adalah kombinasi α-adrenergik dan agonis β-adrenergik.

Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator β-

adrenergik selektif adalah :

a. Kerja konstriktor α-adrenergik yang merupakan dekongestan

mukosa, membatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah

pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation perfusing matching.

b. Relaksasi otot bronkus karena efek β-adrenergik

c. Kerja β-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi

d. Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti

edema

e. Mengurangi sekresi kataral. 8


3. Kortikosteroid

Kortikosteroid yang digunakan adalah predniosn,

prendisolon, metilprednisolom, hidrokortison dan deksametason.

Untuk penyamaan dilakukan konversi rata-rata dosis per hari serta

rata-rata total paparan obat tersebut dalam equivalen mg/kgBB

prednisone. Rata-rata dosis per hari berkisar antara 0,6 – 6,3

mg/kgBB dan rata-rata total paparan antara 3,0 – 18,9 mg/kgBB.

Cara pemberian adalah secara oral, intramuskular dan intravena.

Tidak ada efek yang merugakan yang dilaporkan.

Penelitian meta-analisis tentang pengguaan kortikosteroid sistemik

pada bayi dengan bronkiolitis menunjukkan perbaikan dalam hal

gejala klinis, lama perawatan dan lama timbulnya gejala. 8

4. Antibiotik

Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus

disebabkan oleh virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan.

Terapi antibiotik sering digunakan berlebihan karena khawatir

terhadap infeksi bakteri yang tidak terdeteksi, padahal hal ini justru

akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman yang resisten

terhadap antibiotik tersebut; sehingga penggunaannya diusahakan

hanya berdasarkan indikasi. Pemberian antibiotik dapat

dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang membutuhkan

intubasi dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal napas.


Antibiotik yang dipakai biasanya yang berspektrum luas, namun

untuk Mycoplasma pneumoniae diatasi dengan eritromisin. 5

K. KOMPLIKASI

Jika anak gagal memberikan respons terhadap terapi oksigen atau

keadaan anak memburuk secara tiba-tiba, lakukan pemeriksaan foto dada

untuk melihat kemungkinan pneumotoraks.Tension pneumothorax yang

diikuti dengan distres pernapasan dan pergeseran jantung, membutuhkan

penanganan segera dengan menempatkan jarum di daerah yang terkena

agar udara bisa keluar (perlu diikuti dengan insersi kateter dada dengan

katup di bawah air untuk menjamin kelangsungan keluarnya udara

sampai kebocoran udara menutup secara spontan dan paru

mengembang). 10

L. PENCEGAHAN

Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan

asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit

misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan

dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat

keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari

kontak dengan penderita ISPA.

Langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian

imunisasi pasif (Immunoglobulin) dan imunisasi aktif (Vaksinasi).


1. Immunoglobulin

Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah

meningkatkan antibodi yang menetralisasi protein F dan G dengan cara

pemberian dari luar dan imunisasi dari ibu. Pada manusia, efek

imunoglobulin yang mengandung neutralizing antibody titer tinggi atau

monoklonal terhadap protein F akan mengurangi beratnya penyakit.

Bila pada bayi prematur atau bayi dengan penyakit paru kronis

diberikan RSV hyperimmune globulin atau antibodi monoklonal

terhadap protein F yang disebut dengan Palivizumab setiap bulan,

diberikan secara intramuskular setiap hari, lama perawatan RSV akan

berkurang secara bermakna. Akan tetapi resiko efek samping

kemungkinan meningkat pada bayi dengan penyakit jantung sianotik.

Palivizumab adalah humanized murine monoclonal anti-F

glycoprotein antibody, yang mencegah masuknya RSV kedalam sel

host. 5,8

2. Vaksinasi

Pemberian vaksinasi masih menjadi harapan terbaik sebagai

profilaksis RSV. Selama satu dekade, perkembangan vaksin RSV

cukup signifikan. Namun beberapa penelitian mengungkapkan

penggunaan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated)

sampai saaat ini belum memberikan proteksi yang adekuat.

Respiratory Syncytial Virus (RSV) sangat mudah menular, melalui

droplet atau kontak dengan orang yang terinfeksi maupun lingkungan


sekitar sehingga vaksin RSV juga sangat diperlukan. Masalahnya

adalah pada anak usia 2-3 bulan sistem imun belum sempurna, sehingga

membutuhkan vaksinasi berulang. Selain itu, terdapat kekhawatiran

bahwa pemberian vaksin pada anak yang belum pernah terinfeksi RSV

sebelumnya akan menghasilkan Enhanced Respiratory Disease (ERD).

Salah satu strategi untuk mengatasi masalah tersebut adalah imunisasi

maternal. Strategi ini mirip dengan imunisasi tetanus, di mana imunisasi

pada ibu hamil akan menghasilkan antibodi. Antibodi maternal tersebut

akan melewati plasenta menuju janin. Strategi ini masih memiliki

kekurangan, yaitu antibodi maternal hanya memiliki half-life sebesar 1-

2 bulan. Meskipun begitu, antibodi maternal ini dapat menunda infeksi

RSV hingga anak berusia 5-6 bulan, di mana respon imun anak telah

lebih matur. Pendekatan lain yang dapat dicoba di masa depan adalah

kombinasi imunisasi pasif dan aktif, di mana imunisasi maternal tetap

dilakukan, lalu sebelum anti-bodinya hilang dilakukan imunisasi aktif

pada anak, sehingga memberikan proteksi yang lebih panjang. (masa

depan vaksin).

M. PROGNOSIS

Penelitian di Norwegia menunjukkan bahwa bayi yang dirawat

dengan bronkhiolitis mempunyai kecendrungan menderita asma dan

penurunan fungsi paru pada usia 7 tahun dibandingkan dengan kontrol.

Hal ini menunjukkan adanya hipereaktifitas bronkhial yang menetap

selama beberapa tahun setelah menderita bronkiolitis pada bayi muda,


baik pada RSV positif, maupun RSV negatif. Tidak dapat dibuktikan

secara jelas bahwa bronkiolitis terjadi pada anak dengan kecendrungan

asma, keberhasilan pengobatan dengan kortikosteroid mungkin dapat

mengurangi prevalens asma pada anak dari kelompok pengobatan. 8


DAFTAR PUSTAKA

1. Aceves, M. R, dkk. Risk factors for severe bronchiolitis caused by


respiratory virus infections among Mexican children in an emergency
department. 2018. Wolters Kluwer Health, Inc. Hal: 1-7.
2. Corneli, H. M, dkk. Bronchiolitis. Vol:28. 2012. Pediatric Emergency Care.
3. Erickson, E. N., Mendez, m.d. 2019. Pediatric Bronchiolitis.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBKS19506/
4. Iskandarsyah, Mochamad, dkk. “Masa Depan Vaksin”, Science Corner. 2016.
Hal: 1-15.
5. Junawanto, I., Goutama, I.l., Sylvani. Diagnosis dan Penanganan Terkini
Bronkiolitis pada Anak. Vol:43. 2016. Universitas Katolik Atmajaya
Indonesia.
6. Perth Western Australia. Clinical Practice Guideline Bronchiolitis. 2010.
Princess Margareth Hospital.
7. Piedimonte, G., Perez, M.K. Respiratory Syncytial Virus Infection and
Bronchiolitis. 2014. Department of Community Pediatrics, Independence
Family Health Center, Independence. Hal: 1-12
8. Pudjiadi, AH, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2009, Hal: 30-32.
9. Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirology Anak. Edisi
Pertama. 2015. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit IDAI. Hal:
333-347.
10. World Health Organization. Country For Indonesia. Pedoman Pelayanan
Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten.
Jakarta: WHO Indonesia. 2008.
11. Skjerven, H.O., Bruun, I., Knuut. Acute bronchiolitis in infants, a review.
2014. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency
Medicine.

Anda mungkin juga menyukai