Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

TETANUS

Intan Nursiani
70700119017

Supervisor Pembimbing :
Dr. dr. Nadra Maricar, Sp. S

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2020
Lembar Pengesahan

Referat dengan judul

“TETANUS”

Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui

Pada Tanggal 21 Mei 2020

Oleh:
Pembimbing

Dr. dr. Nadra Maricar, Sp.S

Mengetahui,
Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Dokter
UIN Alauddin Makassar

dr. DewiSetiawati, Sp.OG, M.kes


19810621 200604 2 005

i
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan........................................................................................................................i

DAFTAR ISI..................................................................................................................................ii

DAFTAR TABEL.........................................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR....................................................................................................................iv

BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................2


2.1 Definisi.....................................................................................................................2

2.2 Epidemiologi............................................................................................................2

2.3 Etiologi.....................................................................................................................3

2.4 Patogenesis...............................................................................................................5

2.5 Gejala klinis..............................................................................................................6

2.6 Diagnosis..................................................................................................................9

2.7 Penatalaksanaan.....................................................................................................11

2.8 Pencegahan.............................................................................................................13

2.9 Diagnosis Banding.................................................................................................15

2.10 Komplikasi.............................................................................................................15

2.11 Integrasi Keislaman................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................18

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komplikasi....................................................................................................................15

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Sistem pemantauan,Ringkasan global 2019..............................................................3

Gambar 2.2 Clostrodium Tetanii...................................................................................................4

Gambar 2.3 Patofisiologi Tetanus ................................................................................................6

Gambar 2.4 Trismus dan Risus sardonicus ..................................................................................8

Gambar 2.5 Opistotonus ...............................................................................................................8

Gambar 2.6 Diagnosis Banding ....................................................................................................15

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit akut yang mengenai sistem saraf, yang disebabkan


oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Ditandai dengan
kekakuan dan kejang otot rangka.1 Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
dengan kerja eksotoksin (tetanospasmin) pada sinaps ganglion sambungan sumsum
tulang belakang, sambungan neuromuscular (neuro muscular junction) dan saraf
otonom.1 Bakteri Clostridium tetani ditemukan di seluruh dunia, di tanah, pada
benda mati, di kotoran hewan, dan terkadang dalam kotoran manusia.

Tetanus merupakan penyakit dominan negara-negara belum berkembang, di


negara-negara tanpa program imunisasi yang komprehensif. Secara keseluruhan,
kejadian tahunan tetanus adalah 0,5-1.000.000 kasus. WHO memperkirakan bahwa
pada tahun 2002, ada 213.000 kematian tetanus, 198.000 dari mereka pada anak-
anak muda dari 5 tahun. Tidak ada predileksi jenis kelamin secara keseluruhan yang
telah dilaporkan, kecuali sejauh bahwa laki-laki mungkin memiliki eksposur tanah
lebih dalam beberapa kebudayaan. Tetanus mempengaruhi semua ras. 2 Di Indonesia
sendiri, belum ada jumlah pasti insiden kejadian tetanus.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit akut yang dimediasi racun yang disebabkan oleh
Clostridium tetani. Toksin tetanus menghambat neurotransmitter penghambat di
sistem saraf pusat, menghasilkan kekakuan otot dan kejang yang khas tetanus.
Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur dan angka fatalitas kasus tinggi
(10-80%) di mana perawatan intensif modern tersedia. Tidak ada kekebalan alami
terhadap tetanus; perlindungan dapat diberikan dengan imunisasi aktif dengan vaksin
yang mengandung tetanus toksoid.4
2.2 Epidemiologi
Secara global selama tahun 2011-2016 laporan kasus tetanus selalu kurang dari
20.000 kasus per tahun.Di Inggris kasus tetanus yang ditemukan antara bulan Januari
sampai Desember 2017 berjumlah 5 kasus. Dari 5 kasus tersebut usia pasien berkisar
antara 26 hingga 81 tahun. Semua pasien memiliki riwayat luka baru, yang didapat
dari tempat yang bervariasi (rumah, kebun, di jalan, pantai). 5 Insidens tetanus di dunia
berkisar 1 juta kasus setiap tahun dengan kematian yang bervariasi pada setiap
negara. Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), jumlah
kasus tetanus neonatorum sebanyak 141 kasus pada tahun 2007, turun menjadi 114
kasus pada tahun 2011 dengan case fatality rate (CFR) 60,5%. Profil Kesehatan
Indonesia 2012 menunjukkan kenaikan kasus tetanus neonatorum menjadi 119 kasus,
namun jumlah pasien meninggal turun menjadi 59 kasus dengan CFR 49,6%. Tetanus
dikelompokkan menjadi generalisata, neonatus, lokal dan sefalik. Sekitar 80 %
tetanus merupakan tipe generalisata.6
Di tahun 2017, WHO melaporkan insidensi tetanus neonatorum di Indonesia
sebanyak 25 kasus, dan insidensi tetanus secara keseluruhan adalah 506 kasus.7

2
Gambar 2.1 Sistem pemantauan. Ringkasan global 2019.7

2.3 Etiologi
Tetanus dapat diperoleh di luar ruangan serta dalam ruangan. Sumber infeksi
biasanya luka (sekitar 65% dari kasus), yang sering adalah luka kecil (misalnya, dari
kayu atau logam serpihan atau duri). Tetanus bisa menjadi komplikasi dari kondisi
kronis seperti abses dan gangren. Mungkin menginfeksi jaringan yang rusak oleh
luka bakar, radang dingin, infeksi telinga tengah, prosedur gigi atau bedah, aborsi,
melahirkan, dan intravena (IV) atau subkutan penggunaan narkoba. Selain itu,
mungkin sumber biasanya tidak berhubungan dengan tetanus meliputi intranasal dan
benda asing lainnya dan lecet kornea.8 Kuman yang menghasilkan toksin adalah
Clostridridium tetani, dengan ciri-ciri: 2
 Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran pemukul gendering
 Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob)
dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella
 Menghasilkan eksotosin yang kuat.
 Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi 249,8 ° F (121 ° C) selama 10-15 menit.
 Kuman hidup di tanah dan di  dalam  usus binatang, terutama pada tanah di
daerah pertanian/  peternakan. Spora  dapat  menyebar kemana-mana,
mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam

3
keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan
yang anaerob dapat berubahmenjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan
eksotoksin.2
 C. tetani menghasilkan dua eksotoxins, tetanolisin dan tetanospasmin. Fungsi
tetanolisin tidak diketahui dengan pasti,diperkirakan Tetanolisin mampu secara
lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan
mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri..
Tetanospasmin merupakan racun saraf dan menyebabkan manifestasi klinis
tetanus. 8

Gambar 2.2 Clostrodium Tetanii


Port d’entre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:
1. luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar
yang luas
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridemant) dengan baik
Otitis media, karies gigi, luka kronik
3. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat
dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan adalah
penyebab utama tetanus neonatorum.  

4
2.4 Patofisiologi
Clostroidum tetani biasanya memasuki tubuh melalui luka. masuk 
ke dalam tubuh manusia  dalam  bentuk spora. Dalam keadaan anaerob (oksigen
rendah) kondisi, spora berkecambah menjadi bentuk vegetatif dan menghasilkan
racun tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak
jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan
kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Klinis khas tetanus disebabkan
ketika toksin tetanospasmin yang mengganggu pelepasan neurotransmiter,
menghambat impuls inhibitor yang mengakibatkan kontraksi otot yang kuat dan
spasme otot.8
Racun yang diproduksi dan disebarkan melalui darah dan limfatik. Racun
bertindak di beberapa tempat dalam sistem saraf pusat, termasuk motor endplate,
sumsum tulang belakang, dan otak, dan di saraf simpatis. Transport terjadi pertama
kali di saraf motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf autonom. Jika toksin telah
masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke
neuron di dekatnya. Apabila interneuron inhibitor spinal terpengaruh, gejala-gejala
tetanus akan muncul. Transpor interneuron retrogard lebih jauh terjadi dengan
menyebarnya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer
melewati celah sinaps dengan mekanisme yang tidak jelas.8
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah
toksin menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaps, ia akan memblokade pelepasan
neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirat (GABA). Interneuron
yang menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga
neuron motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu karena jalur yang lebih
panjang, neuron simpatetik preganglion pada ujung lateral dan pusat parasimpatik 
juga dipengaruhi. Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan
pelepasan asetilkolin ke dalam celah neuromuskular dikurangi.9 Dengan hilangnya
inhibisi sentral, terjadi hiperaktif otonom serta kontraksi otot yang tidak terkontrol
(kejang) dalam menanggapi rangsangan yang normal seperti suara atau lampu. 2,8

5
Spasme otot rahang, wajah dan kepala sering terlihat pertama kali karena jalur
aksonalnaya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot
perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat.

Gambar 2.3 Patofosiologi Tetanus


2.5 Gejala Klinik

Periode inkubasi bervariasi 3 - 21 hari dengan rerata 8 hari. Makin jauh lokasi luka
dari SSP, periode inkubasi makin lama. Singkatnya periode inkubasi berkaitan
dengan peningkatan risiko kematian. Pada tetanus neonatorum, gejala biasanya
muncul mulai dari hari ke-4 hingga 14 setelah melahirkan dengan rerata 7 hari.
Toksin tetanus menyebabkan hiperaktivitas otot rangka dalam bentuk rigiditas dan
spasme. Rigiditas merupakan kontraksi otot involunter tonik, sedangkan spasme
merupakan kontraksi otot yang berlangsung lebih singkat, dapat dirangsang oleh
peregangan otot atau stimulasi sensorik sehingga disebut sebagai refleks spasme.6
Secara klinis tetanus ada 4 macam, yaitu tetanus umum, tetanus local, cephalic
tetanus, dan tetanus neonatal.

6
2.5.1 Tetanus Umum
Generalized Tetanus ini adalah bentuk paling umum. Mungkin dimulai
sebagai tetanus lokal yang menjadi umum setelah beberapa hari, atau mungkin
menyebar dari awal. Trismus sering merupakan manifestasi pertama. Dalam
beberapa kasus didahului oleh rasa kaku pada rahang atau leher, demam, dan
gejala umum infeksi. Kekakuan otot lokal dan kejang menyebar dengan cepat
ke otot bulbar, leher, batang tubuh, dan anggota badan. Timbul gejala
kekakuan pada semua bagian seperti trismus, risus sardonicus (Dahi
mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah),
mulut mencucu, opistotonus (kekakuan yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan, trunk muscle), perut seperti papan. Bila
kekakuan semakin berat, akan timbul kejang yang terjadi secara spontan atau
direspon terhadap stimulus eksternal.8
Pada tetanus yang berat terjadi kejang terus menerus atau kekuan pada
otot laring yang menimbulkan apnea atau mati lemas. Pengaruh toksin pada
saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau
kelainan pembuluh darah). Kematian biasanya disebabkan oleh asfiksia dari
laringospasme, gagal jantung, atau shock, yang dihasilkan dari toksin pada
hipotalamus dan sistem saraf simpatik.1,8,9 Terdapat trias klinis berupa
rigiditas, spasme otot dan apabila berat disfungsiotonomik.5

7
Gambar 2.4 Trismus dan Risus Gambar 2.5 Opistotonus
sardonicus
2.5.2 Local Tetanus
Local Tetanus adalah bentuk yang paling jinak. Gejala awal adalah kekakuan,
sesak, dan nyeri di otot-otot sekitar luka, diikuti oleh twitchings dan kejang
singkat dari otot yang terkena. Tetanus lokal terjadi paling sering dalam
kaitannya dengan luka tangan atau lengan bawah, jarang di perut atau otot
paravertebral. Bisa terjadi sedikit trismus yang berguna untuk menegakkan
diagnosis. Gejala dapat bertahan dalam beberapa minggu atau bulan. Secara
bertahap kejang menjadi kurang dan akhirnya menghilang tanpa residu.
Prognosis tetanus ini baik.2,8,9,10
2.5.3 Cephalic Tetanus
Cephalic Tetanus merupakan bentuk tetanus lokal pada luka pada wajah dan
kepala. Masa inkubasi pendek, 1 atau 2 hari. Otot yang terkena (paling sering
wajah) menjadi lemah atau lumpuh. Bisa terjadi kejang wajah, lidah dan
tenggorokan, dengan disartria, disfonia, dan disfagia. Banyak kasus fatal.9

2.5.4 Tetanus Neonatal

8
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak
yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari
pertamama kehidupannya, tetapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke-3
sampai hari ke-28 serta menjadi kaku dan spasme. Tetanus neonatal, biasa
terjadi karena proses melahirkan yang tidak bersih. Gejala klinisnya biasa
terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai dengan kelemahan dan
ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus.11

Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat penyakit menurut modifikasi dari klasifikasi


Albett’s dapat dibagi menjadi IV diantaranya, yaitu :

a. Derajat 1 (ringan):  Trismus ringan sampai sedang, Kekakuan umum: kaku


kuduk, opistotonus, perut papan, tidak dijumpai disfagia atau ringan, tidak
dijumpai kejang, tidak dijumpai gangguan respirasi
b. Derajat II (sedang): Trismus sedang, rigiditas/kekakuan yang tampak jelas,
spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan
frekuensi pernafasan lebih dari 30 x/ menit disfagia ringan.
c. Derajat III (berat): Trismus berat, spastisitas generalisata: otot spastis, kejang
spontan,spasme reflex berkepanjangan frekuensi pernafasan lebih dari 40x/
menit, serangan apneu disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
d. Derajat IV (sangat berat): derajat III ditambah dengan gangguan otonomik
berat melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dengan takikardia
terjadi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya
dapat menetap.
2.6 Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a. Anamnesa
 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan atau patah tulang
terbuka, lukadengan nanah atau gigitan binatang?

9
 Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
 Apakah sedang menderita gigi berlubang?
 Apakah sudah mendapatkan imunisasi DT atau TT, kapan melakukan
imunisasi yang terakhir?
 Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal) dengan kejang yang pertama.1
b. Pemeriksaan fisik
 Tetanus Lokal
- Kekakuan dan spasme yang menetap.
 Tetanus Sefalik
- rismus, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial.
 Tetanus Umum
- Trismus, kekakuan leher, kekakuan dada dan perut (opisthotonus),
fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang umum yang
dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan
sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
 Tetanus Neonatorum
 trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus
yang berat dengan lordosis lumbal.
 Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan
tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal,
ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada
pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.1
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium untuk penyakit tetanus tidak khas, yaitu:
 Lekositosis ringan
 Trombosit sedikit meningkat
 Glukosa dan kalsium darah normal

10
 Enzim otot serum mungkin meningkat-
 Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat8
d. Penunjang lainnya
 EKG dan EEG normal
 Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari
luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan
batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak
ditemukan.8
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi ini berupa: Memulai terapi suportif, debridement luka untuk
membasmi spora dan mengubah kondisi untuk perkecambahan, menghentikan
produksi toksin dalam luka, menetralkan racun terikat, mengendalikan manifestasi
penyakit dan mengelola komplikasi.3
a. jika mungkin bangsal / lokasi yang terpisah harus ditunjuk untuk pasien
tetanus. Pasien harus ditempatkan di daerah yang teduh tenang dan dilindungi dari
sentuhan dan pendengaran stimulasi sebanyak mungkin. Semua luka harus
dibersihkan dan debridement seperti yang ditunjukkan.4
b. Imunoterapi: jika tersedia, berikan dosis tunggal TIHG 3000-6000 IU dengan
injeksi intramuskular atau intravena (tergantung pada persiapan yang tersedia)
sesegera mungkin,2,9 WHO menganjurkan pemberian TIHG dosis tunggal secara
intramuskular dengan dosis 500 IU.9,12 Ditambah dengan vaksin TT 0,5 cc injeksi
intramuskular. Penyakit Tetanus tidak menginduksi imunitas, oleh karena itu
pasien tanpa riwayat imuniasi TT primer harus menerima dosis kedua 1-2 bulan
setelah dosis pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan kemudian.4,12
Dosis anti tetanus serum (ATS) yang dianjuran adalah 100.000 IU dengan
50.000 IU intramuskular dan 50.000 IU intravena. Pemberian ATS harus berhari-
hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus anak pemeberian anti serum
dapatdisertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit.13

11
c. pengobatan antibiotik :

 lini pertama yang digunakan metronidazole 500 mg setiap enam jam


intravena atau secara peroral selama 7-10 hari.1,9 Pada anak-anak
diberikan dosis inisial 15 mg/kgBB secara IV/peroral dilanjutkan dengan
dosisi 30 mg/kgBB setiap enam jam selama 7-10 hari.10
 Lini kedua yaitu Penisilin G 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari. 8(100.000-
200.000 IU / kg / hari intravena, diberikan dalam 2-4 dosis terbagi).
 Alergi Penicilin :Tetrasiklin 2 gram/ hari, makrolida, klindamisin,
sefalosporin dan kloramfenikol juga efektif 2,4,9
d. Kontrol kejang:
 Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari.
 Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam
dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum
10mg/kali diulang setiap kali kejang.
 Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde lambung) dengan
dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam
240 mg/hari.
 Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan
bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480
mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik,
 Magnesium sulfat dapat pula dipertimbangkan digunakan bila ada
gangguan saraf otonom.2,4
e. Kontrol disfungsi otonom: magnesium sulfat seperti di atas; atau morfin.
Catatan: β-blocker seperti propranolol digunakan di masa lalu tetapi dapat
menyebabkan hipotensi dan kematian mendadak; hanya esmalol saat ini
dianjurkan.2,4,8
f. Kontrol pernafasan: obat yang digunakan untuk mengontrol kejang dan
memberikan sedasi dapat mengakibatkan depresi pernafasan. Jika ventilasi

12
mekanik tersedia, ini adalah kurang dari masalah; jika tidak, pasien harus
dipantau dengan cermat dan dosis obat disesuaikan . Kontrol disfungsi
otonom sambil menghindari kegagalan pernafasan. ventilasi mekanik
dianjurkan bila memungkinkan. trakeostomi untuk mencegah terjadinya
apneu. 2,4,8
g. cairan yang memadai dan gizi harus disediakan, seperti kejang tetanus
mengakibatkan metabolisme yang tinggi tuntutan dan keadaan katabolik.
dukungan nutrisi akan meningkatkan kemungkinan bertahan hidup. 1,4
2.8 Pencegahan14
Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka, dan pemberian
ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam memberikan
proteksi pada infeksi tetanus. Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan
kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus (TT) merupakan salah satu pencegahan
yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. TT pertama kali
diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi TT digunakan secara luas pada militer
selama perang dunia II. Terdapat dua jenis TT yang tersedia, adsorbed
(aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. TT tersedia dalam
kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT
atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DaPT.
Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat
diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis.
Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Untuk
mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan
pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu,
setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu
ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan
belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali

13
dengan jadwal sebagai berikut: dosis pertama diberikan segera pada saat
WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang
bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama.
Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat
pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengab
interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan
fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya.
Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan
seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis
DPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan
pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan
dilahirkan.
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka
dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan
benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum
sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi
serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat,
penting diperhatikan adalah jangan membungkus punting tali
pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat,
mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak
dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab.
3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam)
dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis
3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk
anak < 7 tahun: 4 IU/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7
tahun: 250 IU IM dosis tunggal.

14
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.
Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :15

Gambar 2.6 Diagnosis banding


2.10 Komplikasi16

Sistem Tubuh Komplikasi


Jalan Napas Aspirasi*
Laringospasme/obstruksi*
Sedasi dihubungkan dengan obstruksi*
Respirasi Apnea*
Hipoksia Tipe I* (ateletaksis, aspirasi,
pneumonia) dan tipe II* gagal napas (spasme
laring, pemanjangan spasme batang tubuh, sedasi
berlebihan)
ARDS*
Komplikasi dari pemanjangan bantuan ventilasi
(contoh : pneumonia)
Komplikasi trakeostomi (contoh : stenosis
trakea)
Emboli paru
Emfisema mediastinum
Penumotoraks

15
Spasme diafragma

Kardiovaskuler Takikardia*,
hipertensi*,
iskemia*
Hipotensi*,
bradikardia*
Takiaritmia,
bradiaritmia*
Asistol*
Gagal jantung*
Ginjal Gagal ginjal : fase oligouria dan poliuria Stasis
urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis lambung
Ileus
Diare
Perdarahan*
Lain-lain Status konvulsivus
Dehidrasi
Penurunan berat badan*
Tromboemboli*
Sepsis dan gagal organ multipel*
Fraktur vertebra selama spasme
Avulsi tendon selama spasme
* Komplikasi jangka panjang

Tabel 2.1 Komplikasi

2.11 Integrasi Keislaman

Q.S At-Taubah 9: 108

Terjemahnya : Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-


lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid
Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di

16
dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.17

Pada akhir ayat ini Allah swt. menegaskan bahwa Dia menyukai orang-orang
yang sangat menjaga kebersihan jiwa dan jasmaninya, karena mereka
menganggap bahwa kesempurnaan manusia terletak pada kesuciannya lahir
batin. Oleh sebab itu mereka sangat membenci kekotoran lahiriah, seperti
kotoran pada badan, pakaian dan tempat, maupun kotoran batin yang timbul
karena perbuatan maksiat terus-menerus, serta budi pekerti yang buruk,
misalnya rasa riya dalam beramal, atau pun kekikiran dalam menyumbangkan
harta benda untuk memperoleh keridaan Allah swt. Untuk contoh lain terkait
kesehatan yaitu pada kasus tetanus kita dianjurkan untuk setiap luka pada
tubuh untuk selalu di jaga kebersihannya agar tidak menimbulkan penyakit
lain yang tentunya akan mempengaruhi kesehatan manusia itu sendiri.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015
2. Hinfey PB, co autor Ripper J. Tetanus. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview. Update on 2020
May 18th.
3. Perhimpunan Doker Spesialis Saraf Indonesia. 2016. Acuan Panduan Praktik Klinis
Neurologi. Hal 202-205. http://rsjiwajambi.com/wp-
content/uploads/2019/09/Asuhan_Klinis_Terkini__Acuan_Panduan_Praktik_
Klinis_Neurologi-1.pdf Diakses 18 Mei 2020 pukul 14.00.
4. World Health Organization. 2010. Current recommendations for treatment of
tetanus during humanitarian emergencies. Switzerland : World Health
Organization.https://www.who.int/diseasecontrol_emergencies/who_hse_gar_
dce_2010_en.pdf Diakses 18 Mei 2020 pukul 14.00.
5. Public Health England. 2018. Tetanus in England:2017. Health Protection
Report Volume 12 Number 18.
6. Surya Raymond. 2016. Skoring Prognosis Tetanus Generalisata pada Pasien
Dewasa.Dokter Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ende, Nusa Tenggara
Timur (NTT), Indonesia. CDK-238/ vol.43 no.3.
7. WHO. WHO vaccine-preventable disease monitoring system global
summary.http://apps.who.int/immunization_monitoring/globalsummary/incid
ences?c=IDN
8. Sudoyo A., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. Tetanus. Dalam:
IlmuPenyakit Dalam jilid III Ed 4th . FK Universitas Indonesia. Jakarta. 2008.
Hal: 1799-807
9. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor's Principles of
Neurology. 10th ed. United State: McGraw-Hill education; 2014.

18
10. CDC. Tetanus Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable
Diseases. 2015 available from:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf

11. Rahmanto Danawan. 2016. Karya Tulis Ilmiah Faktor-Faktor Risiko Yang
Berpengaruh Pada Kematian Pasien Tetanus Di Rsup Dr. Kariadi Semarang.
Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro.
12. Pike R, Bethesda. Tetanus.  U.S. Department of Health and Human
Services National Institutes of Health: 2016; Available from:
https://medlineplus.gov/tetanus.html ;updated on 2020 May 19th.
13. Behrman, Kliegman, Arvin. Tetanus. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Jilid II Ed 15th. EGC. Jakarta. 2002. Hal : 1004-7.
14. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. 2008. Buku ajar infeksi dan
penyakit tropis, edisi ke-2. Jakarta: Penerbit IDAI.
15. Dr. Kiking Ritarawan. 2004. Bahan Ajar Universitas Sumatera Utara Tetanus.
Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran USU/RSU H. Adam
Malik.http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3456/penysaraf-
kiking2.pdf?sequence=1&isAllowed=y
16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan Tetanus
Pada Anak. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
17. Al-Qur’an dan terjemahan.2010.Departemen Agama RI, Bandung: CV
Diponegoro.

19

Anda mungkin juga menyukai