Anda di halaman 1dari 12

1

NMDA Reseptor Antibodi Ensefalitis



PENDAHULUAN
Ensefalitis adalah inflamasi pada parenkim otak yang menyebabkan
disfungsi neurologi yang terjadi dengan onset akut dan gejala berkembang
dengan cepat.
1,2
Ensefalitis dapat disebabkan oleh berbagai etiologi. Diantara
etiologi tersebut, infeksi oleh virus merupakan etiologi yang paling banyak
dan bisa menyebabkan infeksi yang luas.
3
Namun beberapa tahun yang lalu
diketahui terdapat penyebab ensefalitis lain yaitu ensefalitis yang disebabkan
oleh autoimun. Dimana terdapat antibodi pada antigen membran ekstraseluler
yaitu subunit NR1 yang merupakan bagian dari reseptor NMDA (n-Methyl-
D-Aspartate). Ensefalitis anti reseptor NMDA adalah ensefalitis yang
diperantai oleh proses imun.
3,4
Pada ensefalitis yang disebabkan oleh virus tidak ditemukan antibodi
terhadap anti reseptor NMDA. Namun pada ensefalitis yang positif terhadap
anti reseptor NMDA didapatkan beberapa gejala yang jarang didapatkan pada
ensefalitis oleh virus seperti yang memiliki gejala seperti halusinasi, psikosis,
perubahan kepribadian, dan iritabilitas.
4
Ensefalitis anti reseptor NMDA harus dibedakan dengan ensefalitis yang
disebabkan oleh etiologi lainnya karena selain manifestasinya yang cukup
berbeda, fokus pengobatannya pun berbeda. Pada ensefalitis anti reseptor
NMDA, akan diberikan imunoterapi dan deteksi maupun pengangkatan
teratoma. Penyembuhan dari ensefalitis ini memerlukan waktu beberapa
bulan, dimana diperlukan tim multidisiplin,termasuk di dalamnya adalah
rehabilitasi fisik, terapi okupasi, berbicara, dan bahasa, maupun manajemen
psikiatri.
4,5

Prognosis dari ensefalitis anti reseptor NMDA bergantung pada seberapa
cepat diagnosis dan terapi diberikan. Diperlukan pengetahuan yang cukup
terutama pada gejala dan terapi pada ensefalitis anti reseptor NMDA agar
pasien bisa memperoleh penanganan yang tepat sasaran.
5



2

Definisi
Reseptor NMDA adalah reseptor ionotropik glutamat yang terdiri dari 2
subunit NR1 (GluN1) dan 2 subunit NR2/3 (GluN2/3). Nantinya subunit ini
akan berikatan dengan glutamat dan membentuk ikatan dengan asam amino.
Reseptor NMDA penting dalam proses belajar dan memori. Penurunan fungsi
reseptor NMDA dapat menimbukan gejala mirip skizofrenia, sedangkan
peningkatan aktivitas pada reseptor NMDA akan berkaitan dengan kondisi
demensia atau kejang.
6
Ensefalitis anti reseptor NMDA adalah penyakit inflamasi otak dimana
terjadi proses autoimun dengan sasaran subunit dari NMDA yaitu NR1 dan
mengakibatkan beberapa gejala.
5-7
Gejala pada ensefalitis anti reseptor
NMDA dapat meliputi gejala psikiatri ataupun gejala inflamasi sistem saraf
pusat.
8


Etiologi
Secara umum etiologi ensefalitis dapat dibagi menjadi beberapa kelompok
besar, yaitu infeksi dan sistem imun. Pada ensefalitis yang disebabkan oleh
infeksi, agen infeksi yang paling banyak ditemukan adalah virus. Pada
ensefalitis yang diperantarai oleh sistem imun, proses imun bisa terjadi
karena proses imun akibat infeksi sebelumnya ataupun akibat reaksi terhadap
agen non infeksius, misalnya tumor. Ensefalitis anti reseptor NMDA sendiri
merupakan salah satu ensefalitis yang disebabkan oleh sistem imun.
9

Ensefalitis anti reseptor NMDA pertama kali diteliti lebih lanjut pada
tahun 2005, dimana pada saat itu ada laporan kasus wanita dengan teratoma
ovarium yang memiliki sindrom gangguan neurologi berupa defisit memori,
gejala psikiatri, penurunan kesadaran, dan hipoventilasi. Sesudah diteliti lebih
lanjut, ditemukan bahwa pada kasus tersebut terdapat antibodi spesifik pada
otak yang menyerang reseptor NMDA, antibodi inilah yang diduga
menyebabkan munculnya sindrom tersebut.
7,8




3

Patogenesis dan Patofisiologi
Pada ensefalitis anti reseptor NMDA terbentuk suatu autoantibodi yang
menyerang reseptor glutamat NMDA.

Target utama dari antibodi pada
ensefalitis anti NMDA reseptor adalah NR1 yang merupakan subunit dari
NMDA. Hal ini akan membuat permukaan reseptor NMDA berkurang
dikarenakan antibodi akan berikatan dengan NR1.

Antibodi yang telah
berikatan ini akan merusak reseptor NMDA. Pada pasien dengan ensefalitis
anti NMDA reseptor tidak ditemukan patogen yang menyebabkan ensefalitis
pada limbik.
5,6

Sesudah aktivasi respon imun terdapat ekspansi respon imun di sistem
saraf pusat. Adanya antibodi di sistem saraf pusat diduga karena ada
kerusakan pada sawar darah otak, sehingga antibodi yang disintesis sel
plasma bisa menyerang sistem saraf pusat. Kerusakan sawar darah otak ini
mungkin disebabkan oleh penyakit prodromal lainnya.
10

Berdasarkan gejala yang ditimbulkan, diduga proses autoimun pada
ensefalitis anti reseptor NMDA terjadi di daerah hipokampus dan kortikal.
6,11

Diduga hampir tidak terjadi reaksi imun pada serebelum. Hal ini dikaitkan
dengan jumlah NR2 yang lebih banyak ditemukan pada hipokampus dan
kortikal. Walaupun antibodi berikatan pada NR1, namun diduga NR2 juga
turut serta dalam proses ikatan antibodi dengan NR1.
6

Reseptor NMDA berperan pada proses plastisitas sinaptik. Plastisitas
sinaptik diduga berperan untuk mekanisme memori, belajar dan kognisi.
12

Diduga dengan adanya penurunan reseptor NMDA, inhibisi oleh GABA dan
sinaps glutamat mengakibatkan disinhibisi dari jalur eksitatori dan
peningkatan kadar glutamat di ekstraseluler. Keadaan ini menyebabkan kerja
frontostriatal terganggu dan menyebabkan munculnya gejala psikosis,
katatonia, rigiditas, distonia, dan mutisme. Apabila keadaan ini terjadi pada
batang otak maka akan muncul gejala berupa gangguan gerak yang kompleks
dan gangguan pernapasan yang bisa menimbulkan disfungsi respirasi.
5

Perjalanan penyakit dari ensefalitis anti reseptor NMDA memiliki
beberapa tahap, dimana tahapan ini dapat berakhir pada penyembuhan yang
sempurna atau terbatas, ataupun kematian.
13
Sindrom pada ensefalitis
4

bergantung pada progresivitas dari penurunan jumlah reseptor NMDA yang
tersedia. Makin sedikit jumlah reseptor NMDA yang mampu berfungsi
dengan normal, maka ensefalitis anti reseptor NMDA yang diderita akan
bertambah parah.
5,8
Tumor diduga dapat meningkatkan respon imun terhadap reseptor NMDA
dengan cara menurunkan toleransi imun. Walaupun tumor dapat berperan
pada patogenesis dari ensefalitis anti reseptor NMDA, penyakit ini masih
dapat terjadi tanpa ditemukannya tumor.
5
Ada atau tidaknya tumor tidak
mempengaruhi tingkat keparahan ensefalitis anti reseptor NMDA.
7

Manifestasi Klinis
a. Gejala Prodromal
70% dari pasien ensefalitis anti reseptor NMDA mengalami fase
prodromal. Gejala prodromal yang dialami adalah flu like syndrome,
seperti demam, malaise, nyeri kepala, rhinitis, mual, muntah, dan diare.
5,7

Gejala ini biasanya berlangsung hingga 5 hari, namun dapat berlangsung
hingga lebih dari 2 minggu sebelum gejala pada fase selanjutnya muncul.
b. Gejala Psikiatri
Selanjutnya dalam waktu sekitar 2 minggu, pasien dengan ensefalitis
anti reseptor NMDA akan mulai menunjukan gejala psikiatri, seperti
cemas, paranoia, ketakutan, psikosis, mania, dan insomnia. Pada fase
psikotik ini biasanya pasien memeriksakan diri ke psikiater dan
terdiagnosis sebagai psikosis akut atau skizofrenia. Gejala disregulasi
mood dan depresi dapat berkembang ke gangguan perilaku dan
kepribadian, delusi, atau gangguan berpikir, ide paranoid, dan
halusinasi.
5,13,14

Delapan puluh lima persen pasien dewasa dengan ensefalitis anti
reseptor NMDA awalnya ke psikiater untuk keluhan seperti kecemasan,
agitasi, dan halusinasi auditori dan visual. Pada penelitian ensefalitis anti
reseptor NMDA pada anak, 87% dari sampel menunjukan adanya
perubahan perilaku seperti tantrum, hiperaktif, dan iritabel ataupun
perubahan kepribadian. Pada kasus ensefalitis anti reseptor NMDA pada
5

remaja perempuan ditemukan adanya mania akut dengan psikosis.
5,7
Gejala psikiatri pada ensefalitis anti reseptor NMDA seringkali
mendominasi keadaaan klinis pasien.
10,14


c. Gejala Neurologi
Gejala neurologi biasanya muncul sesudah onset 1 bulan.

Gejala
neurologi utama yang bisa muncul pada anak adalah gangguan gerak,
bangkitan, dan gangguan kognitif. Gejala lain yang sering muncul pada
ensefalitis anti reseptor NMDA dewasa adalah gangguan otonom dan
tidur.
10
Gangguan gerak yang sering terjadi pada anak dengan ensefalitis anti
reseptor NMDA adalah diskinesia orofasial, koreoatetosis, dan distonia.
Pada beberapa kasus ditemukan pula opistotonus dan krisis okulogirus dan
rigiditas. Diskenesia orofasial adalah gerakan seperti mengunyah,
menggigit lidah, lip smacking, dan facial grimacing. Keadaan opistotonus,
distonia, dan krisis okulogirus berhubungan dengan takikardi dan
hipertensi.
Bangkitan berupa kejang parsial, kejang generalisata, dan status
epileptikus dapat terjadi pada ensefalitis anti reseptor NMDA. Namun
diantara bangkitan ini, kejang parsial merupakan bangkitan yang sering
terjadi. Epilepsi dengan onset pada wanita usia muda dan remaja dapat
merupakan manifestasi klinis dari ensefalitis anti reseptor NMDA.
Gangguan kognitif berupa kehilangan ingatan jangka pendek,
penurunan kemampuan berbicara, dan ekolalia sering ditemukan pada
ensefalitis anti reseptor NMDA. Gejala ini sering diikuti dengan
penurunan kesadaran dan periode agitasi dan katatonik.

Keadaan di mana pasien dalam keadaan tidak responsif dengan
hipoventilasi, instabilitas otonom, dan diskinesia merupakan tahapan
sesudah fase psikotik. Pada tahapan ini pasien dalam keadaan membuka
mata namun tidak responsif pada rangsangan visual. Pasien biasanya diam
atau hanya bergumam kata-kata yang tidak jelas. Tonus otot meningkat
dan status katatonik dengan distonik dan postur kataleptik bisa terjadi.
6

Diskinesia dimulai dari wajah atau mulut dan bermanifestasi dengan
menggeretakkan gigi atau distonia rahang.
5
d. Disfungsi Otonom
Gejala disfungsi otonom berupa takikardi, hipertensi, dan hipertermia
banyak terjadi pada kasus ensefalitis anti reseptor NMDA pada anak.
5

Gejala seperti hipotensi, hipotermia, disfungsi ereksi, dan retensi urin juga
dapat terjadi pada ensefalitis anti reseptor NMDA.
11
Instabilitas otonom
dan disritmia pada kelompok usia dewasa terjadi lebih berat dibanding
pada kelompok anak. Hipertermia sebagai gejala pada ensefalitis anti
reseptor NMDA dapat digunakan untuk mengeksklusikan penyakit infeksi.
Hipersalivasi dan inkontinensia urin juga sering terjadi pada ensefalitis
anti reseptor NMDA.
5,11
Pasien dengan ensefalitis anti reseptor NMDA
biasanya memiliki 3 atau lebih gangguan otonom.
11
e. Gejala Lain
Gejala lain yang sering terjadi pada ensefalitis anti reseptor NMDA
kelompok dewasa adalah insomnia, dimana gejala ini sering kali menjadi
gejala awal. Gangguan siklus tidur dan bangun seringkali terganggu,
dimana pasien lebih banyak dalam keadaan sadar. Hipersomnia dapat
terjadi pada proses penyembuhan dari ensefalitis anti reseptor NMDA.
5

Diagnosa
1. Anamnesa
Ensefalitis anti reseptor NMDA biasanya terjadi pada usia kurang dari
50 tahun, terutama pada anak atau remaja. Biasanya keluhan yang
membuat pasien datang ke dokter adalah perubahan perilaku atau psikosis,
gerakan atau pergerakan yang abnormal (diskinesia), kejang, dan
instabilitas otonom, seperti hipoventilasi.
7
2. Pemeriksaan Fisik
Ensefalitis anti reseptor NMDA menunjukan gejala sistemik maupun
neurologis yang nonspesifik. Hal ini membuat tidak ada penunjuk spesifik
pada pemeriksaan fisik. Gejala seperti perubahan kesadaran, gangguan
gerak, bangkitan, dan gangguan neuropsikiatri dapat menjadi
7

pertimbangan dalam diagnosa ensefalitis anti reseptor NMDA. Dari
pemeriksaan neurologi dapat ditemukan disfungsi serebral yang difus
seperti peningkatan refleks tendon, respon plantar ekstensor, abnormalitas
tonus, ataksia, dan kesulitan dalam melakukan motorik halus.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pencitraan saraf, seperti CT (Computed
Tomography) scan kepala tidak terlalu bermanfaat karena sensitivitasnya
yang rendah. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) otak pada
50% kasus ensefalitis anti reseptor NMDA menunjukan hipersensitivitas
pada hipokampus, serebelum, frontobasal, ganglia basalis, medulla
oblongata dan medulla spinalis. Pemeriksaan MRI berkala pada ensefalitis
anti reseptor NMDA tidak menunjukan perubahan yang signifikan, dimana
hasil MRI tetap dalam keadaan normal atau hanya menunjukan sedikit
perubahan.
6
Bahkan didapatkan mayoritas pasien ensefalitits anti reseptor
NMDA memiliki hasil pencitraan saraf yang normal.

Dapat disimpulkan
bahwa pemeriksaan pencitraan memiliki sensitivitas yang rendah dalam
mendiagnosis ensefalitis anti reseptor NMDA.
6,8
Pada pemeriksaan EEG (Electroencephalograms), pasien dengan
ensefalitis anti reseptor NMDA menunjukkan gelombang yang abnormal,
dimana muncul perlambatan yang tidak spesifik. Pada fase katatonik
terjadi perlambatan aktivitas pada gelombang delta-theta. Keadaan ini
tidak berhubungan dengan gerakan abnormal dan tidak membaik dengan
pemberian obat antiepilepsi.
5
Pemeriksaan antibodi terhadap reseptor NMDA pada serum atau cairan
serebrospinal merupakan pemeriksaan diagnostik.
5,8
Pada pemeriksaan ini
didapatkan bahwa antibodi pada serum bereaksi dengan epitope subunit
NR1, dimana reseptor NMDA merupakan hematomer dari subunit NR1.
Pasien dengan teratoma memiliki titer antibodi terhadap reseptor NMDA
yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa teratoma.
5
Titer antibodi
terdapar reseptor NMDA lebih tinggi dibanding titer pada serum.
11
Pada
pasien yang telah mendapat terapi IVIG (Intravenous Immunoglobulins),
maka antibodi terhadap reseptor NMDA hanya terdeteksi pada cairan
8

serebrospinal. Titer antibodi terhadap reseptor NMDA akan naik terus
pada pasien yang tidak mendapat terapi.
5,7

Walaupun pemeriksaan antibodi terhadap reseptor NMDA merupakan
pemeriksaan diagnostik pada ensefalitis anti reseptor NMDA, hal ini tidak
berarti semua pasien yang memiliki antibodi terhadap reseptor NMDA
menderita penyakit ini. Pada sebuah penelitian, diketahui bahwa beberapa
pasien dengan skizofrenia maupun narkolepsi dengan gejala psikotik
memiliki antibodi terhadap reseptor NDMA. Hal ini membuktikan bahwa
dalam penegakan diagnosis, hasil positif pada antibodi reseptor NMDA
harus dikombinasikan pula dengan gejala klinis dari pasien tersebut.
15

Tata Laksana
Penatalaksanaan pada ensefalitis anti reseptor NMDA berpusat pada
imunoterapi dan deteksi serta pengangkatan teratoma. Imunoterapi pada
awal ensefalitis anti reseptor NMDA menunjukan penyembuhan yang lebih
cepat dan menurunkan morbiditas. Imunoterapi sebagai lini pertama yang
digunakan saat ini adalah kortikosteroid, plasmaferesis, atau IVIG.
Kombinasi pengobatan yang bisa digunakan misalnya, IVIG 0,4g/kg berat
badan untuk 5 hari dan methylprednisolone 1g/hari untuk 5 hari. Terapi ini
lebih mudah digunakan dibandingkan dengan plasmaferesis. Walaupun
plasmaferesis dapat menurunkan titer antibodi terhadap reseptor NMDA
dalam beberapa minggu, namun pelaksanaannya lebih sulit, terutama pada
pasien anak, pasien yang kurang kooperatif ataupun pasien dengan
instabilitas otonom.
7
Pada pasien yang sudah menjalani pengangkatan tumor
maka efektivitas terapi lini pertama akan meningkat. Pasien tanpa tumor,
terlambat didiagnosis, ataupun pasien yang tidak menunjukan respon setelah
10 hari diterapi dengan lini pertama memerlukan imunoterapi lini kedua
seperti rituximab, cyclophosphamide atau keduanya. Pada pasien dewasa
digunakan rituximab dengan dosis 375 mg/m
2
tiap minggu dalam 4 minggu
dan dikombinasikan dengan cyclophosphamide 750mg/m
2
yang diberikan
dengan dosis pertama dari rituximab, kemudian akan diikuti dengan
pemberian cyclophosphamide tiap bulan. Terapi ini akan dihentikan apabila
9

pasien sudah menunjukan perbaikan klinis, yang biasanya diikuti dengan
penurunan kadar antibodi terhadap reseptor NMDA di serum maupun cairan
serebrospinal.
14

Untuk gejala psikiatri yang muncul, seperti agitasi, gejala psikotik,
misalnya halusianasi visual dan auditorik, ide paranoid, delusi, gangguan
tidur berupa hypersomnia atau insomnia, dan gangguan mood dapat diatasi
dengan antipsikotik seperti haloperidol, chlorpromazine; antipsikotik atipikal
seperti olanzapine, quetiapine, risperidone, ziprasidone, dan pada pengobatan
ekstrim menggunakan pentobarbital atau fentanyl.
14

Deteksi dan pengangkatan tumor dalam 4 bulan sejak onset, menunjukan
pemulihan yang lebih baik dibanding pasien ensefalitis anti reseptor NMDA
tanpa tumor. Selain itu ensefalitis anti reseptor NMDA tanpa tumor juga
memiliki angka relaps yang lebih tinggi, yaitu 20-25%. Pada pasien tersebut
disarankan menggunakan imunosurpresan (mycophenolate mofetil atau
azathioprine) selama 1 tahun sesudah imunoterapi dihentikan.
7

Komplikasi
Komplikasi dari ensefalitis anti reseptor NMDA yang ridak diobati adalah
sepsis, sudden cardiac arrest, acute respiratory distress, status epileptikus
refrakter, dan perburukan dari tumor.
5
Komplikasi ini dapat menyebabkan
kematian pada ensefalitis anti reseptor NMDA.

Prognosis
Prognosis pada ensefalitis anti reseptor NMDA berkaitan dengan kapan
diagnosis ditegakan, terapi imunomodulator, dan pengangkatan tumor pada
kasus neoplasma. Pada suatu penelitian dengan sampel 31 anak dengan
ensefalitis anti reseptor NMDA, 29% pasien sembuh sempurna, 45%
perbaikan dengan defisit yang sedang, 26% dengan perbaikan yang terbaas,
defisit yang parah, dan perbaikan yang lambat. Pada fase akut, pasien
biasanya perlu dirawat di rumah sakit selama 3-4 bulan, diikuti dengan
rehabilitasi selama beberapa bulan. Gejala yang tersisa biasanya menunjukan
adanya disfungsi frontal dan limbik, termasuk fungsi eksekutif yang terbatas.
10

Pemeriksaan berkala menunjukkan bahwa pasien dengan gejala ini akan
membaik, termasuk masalah perilaku dan bahasa. Atrofi otak pada
pemeriksaan MRI berkala akan menunjukan perbaikan.
Walaupun ensefalitis anti reseptor NMDA dapat membaik sempurna,
terutama pada pasien yang memperoleh diagnosis dan terapi yang sesuai,
penyakit ini dapat berulang pada pasien yang telah sembuh sempurna
sebelumnya, terutama pasien ensefalitis anti reseptor NMDA yang tidak
memiliki tumor.
1,5,10
Angka kekambuhan dari ensefalitis anti reseptor NMDA
adalah sekitar 20-25% dengan jangka waktu relaps sekitar 2 tahun.
11

11

DAFTAR PUSTAKA

1. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrisons
Principles of Internal Medicine: Volumes 1 and 2, 18th Edition. 18th ed.
McGraw-Hill Professional; 2011.
2. Lewis P dan Glaser CA. Encephalitis. Pediatrics in Review. 2005; 26: 353-
363.
3. Dewanto, George., Wita JS, Budi R, dan Yuda T. Panduan Praktis Diagnosis
& Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC; 2007.
4. Gable MS, Gavali S, Radner A, Tilley DH, Lee B, Dyner L, et al. Anti-NMDA
receptor encephalitis: report of ten cases and comparison with viral
encephalitis. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 2009; 28:1421-1429.
5. Jones KC, Benseler SM, dan Moharir M. Anti-NMDA Receptor Encephalitis.
Neuroimag Clin N Am. 2013; 23: 309-320.
6. Gleichman AJ, Spruce LA, Dalmau J, Seeholzer SH, dan Lynch DR. Anti-
NMDA Receptor Encephalitis Antibody Binding is Dependent on Amino Acid
Identity of a Small Region within the GluN1 Amino Terminal Domain. The
Journal of Neuroscience. 2012; 32(32): 11082-11094.
7. Dalmau J, Lancaster E, Hernandez EM, Rosenfeld MR, dan Gordon RB.
Clinical Experience and Laboratory Investigations In Patients With Anti-
NMDAR Encephalitis. Lancet Neurol. 2011; 10(1): 63-74.
8. Luca N, Daengsuwan T, Dalmau J, Jones K, deVeber G, Kobayashi J, Laxer
RM, dan Benseler SM. Anti-N-Methyl-D-Aspartate Receptor Encephalitis: A
Newly Recognized Inflammatory Brain Disease in Children. Arthritis Rheum.
2011;63(8): 2516-2522.
9. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roos KL, et al. The
Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious
Disease Society of America. CID. 2008; 47: 303-327.
10. Lennox BR, Coles AJ, dan Vincent A. Antibody-mediated encephalitis: a
treatable cause of schizophrenia. BJPsych. 2012; 200: 92-94.
11. Ferdinand P dan Mitchell L. Anti-NMDA Receptor Encephalitis. J Clin Cell
Immunol. 2012; S10:1-6.
12

12. Hughes EG, Peng X, Gleichman AJ, Lai M, Zhou L, Tsou R, et al. Cellular
and Synaptic Mechanisms of Anti-NMDA Receptor Encephalitis. The Journal
of Neuroscience. 2010; 30(17): 5866-5875.
13. Chapman MR dan Vause HE. Anti-NMDA Receptor Encephalitis: Diagnosis,
Psychiatric Presentation, and Treatment. Am J Psychiatry. 2011; 168(3): 245-
251.
14. Peery HE, Day GS, Dunn S., et al. Anti-NMDA receptor encephalitis. The
disorder, the diagnosis and the immunobiology, Autoimmun. 2012 March;
AUTREV-01245; No of Pages 10
15. Tsutsui K, Kanbayashi T, Tanaka K, Boku S, Ito W, Tokunaga J, et al. Anti-
NMDA-receptor antibody detected in encephalitis, schizophrenia, and
narcolepsy with psychotic features. BMC Psychiatry. 2012; 12: 37.

Anda mungkin juga menyukai