Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

Sindrom Guillain Barre

Disusun oleh :
Evalusty Karunia Paulus Lopa (112017220)

Pembimbing:

dr. Hexanto Muhartomo, SpS(K).,Mkes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SEMARANG 2019

1
Pendahuluan
Sindrom Guillain-Barre (SGB) sering disebut acute inflamating
demyelinating polyneuropathy atau acute ascending paralysis yang merupakan
kelainan pada saraf yang bersifat autoimun. Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya
kelemahan yang cepat atau bisa terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah,
otot-otot pernafasan dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak
bersifat herediter dan dikenal sebagai Landry’s Paralisis ascending. Pertama
dideskripsikan oleh Landry, 1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut,
ascending dan paralysis motorik dengan gagal napas.1, 2
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua
umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang
pertahun. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1
sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan
atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian pada
3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia. Gejala yang terjadinya
biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul. Sekitar 30 % penderita
memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3 tahun. Tiga persen pasien dengan SGB
dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. Bila
terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu keempat maka
termasuk Chronic Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP).
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis
dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya.1,3,4
Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens Sindrom ini
termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi pada anak-anak,
khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur tersebut frekuensinya
cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa muda. 3

Sejarah

2
Sindrom Guillain Barre (SGB) merupakan sindroma klinis terdiri dari
kelemahan akut pada ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan
bukan oleh penyakit sistemik. John Lettsom, 1787, merupakan orang pertama yang
mengangkat masalah neuropati perifer, mendeskripsikan penyakit ini sebagai akibat
dari konsumsi alkohol yang berlebihan. Deskripsi ini tidak dapat memberikan bukti
tentang adanya kelainan patologis maupun anatomis dari penderita. James Jackson,
1822, kembali mendeskripsikan penyakit ini sebagai alcoholic neuropathy, namun
tanpa kelainan patologis dan anatomis.1,2 Pada tahun 1859, Landry, mempublikasikan
artkelnya yang berjudul “A note on acute ascending paralysis“ yang.bercerita tentang
seorang pasien mengalami paralisis akut meliputi kelemahan otot otot proksimal, otot
pernapasan, kelemahan dan kehilangan refleks, dan takikardi. Paralisis ini dikenal
dengan sebutan Landry’s paralysis.3,4,5 Osler, tahun1982, lebih memperinci dengan
apa yang disebutnya sebagai Acute Febrile Polyneuritis.6 Pada tahun 1916, Guillain,
Barre, dan Strohl mempublikasikan penelitian mereka yang berjudul “On a
syndrome of radiculoneuritis with hyperalbuminosis of cerebrospinal fluid without a
cellular reaction : Remarks on the clinical characteristics and tracings of the tendons
reflexes“. Mereka menemukan kelainaan adanya disosiasi sitoalbumin di dalam
cairan serebrospinal dan disertai dengan radikuloneuritis. Guillain tetap berpendapat
bahwa apa yang mereka bertiga kemukakan sebenarnya adalah Landry’s paralysis.
Tahun 1927, Draganescu dan Claudian memberi nama penyakit ini sebagai Guillain–
Barre Syndrome.7

Definisi
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia
yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dengan manifestasi klinis berupa
kelemahan saraf motorik yang sifatnya akut, progresif disertai arefleksia. Kelainan
ini terkadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, nervi cranialis maupun susunan
saraf pusat.1,2,3,5,7,8
Sinonim

3
-
Acute Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
-
Landry Guillain Barre Syndrome
-
Acute Inflammatory Polyneuropathy
-
Acute Autoimmune Neuropathy
-
Inflammatory Polyradiculoneuropathy

Epidemiologi
SGB merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.4
Insiden SGB yang dilaporkan di negara-negara Barat berkisar 0,89-1,89 kasus per
100.000 orang-tahun, meskipun peningkatan 20% terlihat dengan setiap kenaikan usia
10 tahun setelah dekade pertama.9,10 Rasio pria terhadap wanita dengan sindrom ini
adalah 1.78 (interval kepercayaan 95%, 1,36-2,33). Dua pertiga dari kasus didahului
oleh gejala infeksi saluran pernapasan atas atau diare akut.11 Dalam metaanalisis, agen
infeksi yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni sekitar 30%,
sedangkan cytomegalovirus telah diidentifikasi dalam hingga 10%. Insiden SGB
diperkirakan 0,25-0,65 per 1.000 kasus infeksi C. jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus
sitomegalovirus primer infection.12 Agen lain yang dihubungan dengan SGB adalah
Epstein-Barr, virus varicella-zoster, dan Mycoplasma pneumoniae.9
SGB bukan merupakan penyakit musiman dimana resiko terjadinya adalah
sama di seluruh dunia dengan semua iklim, kecuali di Cina, dimana predileksi SGB
berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung terjadi pada musim panas.
SGB dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden
kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 – 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Angka kematian berkisar antara 5 – 10
%. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan
total terjadi pada 5% penderita SGB. Antara 5 – 10 % sembuh dengan cacat yang
permanen.7
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian
Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III

4
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hamper sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d
Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.9

Klasifikasi
Berikut terdapat beberapa klasifikasi dari SGB, yaitu: 2,4
a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi
saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari
serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikit demielinisasi.
b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)
Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibodi gangliosid
meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala
klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending
dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik
dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsi menunjukkan
degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat,
disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.
c. Miller Fisher Syndrome
Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan.
d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

5
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominan dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal
e. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi
dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya
hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,
penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada SGB disebabkan karena rusaknya
myelin, yang membungkus saraf, disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan
penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali.
SGB menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa
saraf. Oleh karena itu SGB disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy (AIDP).1
Penyebab terjadinya inflamasi pada SGB sampai saat ini belum diketahui. Ada
yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. 2,3 Pada
sebagian besar kasus, SGB didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu
Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus,
hepatitisvirus, dan HIV.1,5 Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi bakteri
seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta,
Salmonella, Legionella dan, Mycobacterium Tuberculosa.1,5 vaksinasi seperti BCG,
tetanus, varicella, dan hepatitis B; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma,
penyakit kolagen dan sarcoidosis; kehamilan terutama pada trimester ketiga ;
8,12
pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu
sebelum timbul SGB 10

6
Pathogenesis
Antigen baik yang berasal dari bakteri maupun virus, memasuki sel Schwann
dari saraf kemudian mereplikasi diri.5 Antigen tersebut mengaktivasi sel limfosit T.
Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan limfosit B dan memproduksi
autoantibodi spesifik.4 Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang
pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem
imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa
infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya
sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin5
bahkan terkadang juga dapat terjadi destruksi pada axon. 6 Teori lain mengatakan
bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan oleh karena antigen yang ada
memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon
imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen tersebut. 5 Destruksi pada myelin
tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien,
sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak
menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh. Temuan patologis
klasik dalam polineuropati inflamasi demielinasi akut adalah infiltrasi sel-sel
inflamasi (terutama sel-sel T dan makrofag) dan daerah demielinasi segmental, yang
sering dikaitkan dengan tanda-tanda degenerasi aksonal sekunder , yang dapat
dideteksi pada radiksr tulang belakang, serta saraf motorik dan sensorik. Ada bukti
aktivasi komplemen awal, yang didasarkan pada ikatan antibodi pada permukaan luar

7
sel Schwann dan deposisi komponen teraktifasi; aktivasi komplemen tersebut
tampaknya memulai vesikulasi myelin. Invasi makrofag terjadi dalam waktu 1
minggu setelah melengkapi kerusakan myelin terjadi. Pada neuropati motorik akson
akut, IgG diaktifkan melengkapi mengikat ke axolemma nodus Ranvier neuron
motorik, diikuti dengan pembentukan kompleks membran-attack.10,11

Gambar Patogenesis dan fase klinikal dari GBS

8
9
Patologi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf


tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama
berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada hari kelima, terlihat beberapa
limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari kesebelas, poliferasi sel
schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada mielin, akson, dan selubung schwan
berjalan secara progresif, sehingga pada hari keenampuluh enam, sebagian radiks dan
saraf tepi telah hancur. Kerusakan mielin disebabkan makrofag yang menembus
membran basalis dan melepaskan selubung mielin dari sel schwan dan akson. 2, 6

10
Manifestasi Klinis
1. Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris secara
natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai
atas. Otot- otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal.
Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot
pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.
2. Keterlibatan saraf kranial
Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf kranial
III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin termasuk
sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias,
Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan
wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena.
Varian Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan
defisit saraf kranial.

11
3. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori
cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh. Gejala sensorik
sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan
ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar
pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis,
sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
5. Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan
parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat
mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi
paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin,
karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.
6. Pernapasan
Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau
orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;
Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan
ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga
sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.

SGB umumnya dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan
1,3,11
diikuti secara cepat oleh paralisa keempat ekstremitas yang bersifat asendens
Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.1,2 Refleks fisiologis akan menurun dan
2,10
kemudian menghilang sama sekali. Secara klinis SGB biasanya digambarkan
dalam 3 fase, yaitu fase progresif, fase plateau dan fase pemulihan. Pada fase
progresif kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan
menyebar secara progresif8, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, 7
ke
ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. .

12
Gb. 3. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan
bervariasi antara berbagai penderita SGB

Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada
yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf kranial, muncul pada
50% kasus, biasanya berupa facial diplegia.8 Kelemahan otot pernapasan dapat
timbul secara signifikan12 dan bahkan 20% pasien memerlukan bantuan ventilator
dalam bernafas.2,8 Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan
dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya
proprioseptif dan sensasi getar.8 Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa
parestesia dan disestesia pada extremitas distal.11 Rasa sakit dan kram juga dapat
menyertai kelemahan otot yang terjadi.5 terutama pada anak anak. Rasa sakit ini
biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak dan dapat
menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis.7,8,9,10

Kelainan saraf otonom sering dijumpai dan dapat berakibat fatal. Kelainan ini
dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac
arrest, facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam
berkeringat.11 Hipertensi terjadi pada 10-30 % pasien sedangkan aritmia terjadi
pada 30 % dari pasien.10 Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan
gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, 9 dan yang paling sering (50%)
adalah bilateral facial palsy.4 Gejala-gejala tambahan adalah kesulitan untuk

13
mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan
bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur.3

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang
bersifat difus dan paralisis.3 Refleks tendon akan menurun atau bahkan
menghilang. Rasa tebal pada tangan dan kaki menyerupai pola ‘sarung tangan
dan kaus kaki juga dijumpai pada awal penyakit’. Refleks batuk yang lemah
dan risiko aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot
intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk
mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan.9,10,12

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan LCS
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan
kadar protein (1- 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini
oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumin.1,3,5,6.8
Pemeriksaan LCS pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil
apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu
pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan
menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3,4,7,9 pada kultur LCs
1,3
tidak ditemukan adanya virus ataupun bakteri Peningkatan jumlah
protein dalam cairan serebrospinal bias melebihi 45 mg/dl (normal < 40
mg/dl) yang puncaknya terjadi pada 4 sampai 5 minggu dan setelah itu
berangsur-angsur kembali normal.13,14

b. Pemeriksaan EMG
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas
normal, kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada

14
akhir minggu kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan
adanya perbaikan.10 Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat
adanya keterlambatan atau bahkan blok dalam penghantaran impuls,
gelombang F yang memanjang dan latensi distal yang memanjang 4,7,9,10.
Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya
penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya
kecepatan konduksi saraf motorik.7 Pemeriksaan MRI akan memberikan
hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke 13 setelah
timbulnya gejala. 10,15,16,.17
c. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika
dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan
memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar.

Kriteria Diagnosis
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai
disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnostik SGB menurut National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)5
Gejala utama

1. Kelemahan motoric yang progresif pada lebih dari satu ekstermitas.


Keparahan bervariasi, mulai dari kelemahan minimal pada tungkai dengan
atau tanpa ataksia ringan, hingga paralisis total pada keempat ekstermitas
dan batang tubuh, paralisis bulbar dan fasial dan oftalmoplegia eksternal.
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general.

Gejala yang memperkuat penegakan diagnosis

15
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS

1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik

1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

Diagnosis Banding
a. Poliomielitis

16
Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak
ditemukan gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan
Cairan cerebrospinal pada fase awal tidak normal dan didapatkan
peningkatan jumlah sel.4,8,11,12
b. Myositis Akut
Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya paroksimal,
didapatkan kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan
Serebrospinal normal. 4,11
c. Myastenia gravis
Didapatkan infiltrate pada motor end plate, kelumpuhan tidak bersifat
ascending, ophtalmoplegia. 4,8,12
d. CIPD (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradical Neuropathy)
Didapatkan progresifitas penyakit lebih lama dan lambat. Juga
ditemukan adanya kekambuhan kelumpuhan atau pada akhir minggu
keempat tidak ada perbaikan.

Tatalaksana
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara
umum bersifat simtomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan
terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Menurut petunjuk guideline
dari American Academy of Neurology (AAN), maka pengobatan SGB yang
dimulai secara dini dalam waktu 2 – 4 minggu setelah gejala pertama timbul,
dapat mempercepat waktu penyembuhan. Plasmaparesis atau immunoglobulin
intravena (IVIg) dosis tinggi sama efektifnya dan dapat digunakan sebagai terapi
awal. Kombinasi dari kedua terapi ini tidak lebih baik secara signifikan

17
dibandingkan digunakan sendiri. IVIg biasanya lebih dipilih sebagai terapi awal
karena kemudahannya dalam administrasi dan keamanannya.

a. Sistem Otonom
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan
observasi tanda tanda vital.1 Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab
paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam.
Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi
1,4
dan vasoaktif juga harus disiapkan Pasien dengan progresivitas yang lambat
dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.1 Pasien dengan
progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. 1 Namun ada pihak
yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun
juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa
yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan.4,12

b. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru.
Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah
penyembuhan mulai, maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
meningkatkan kekuatan otot.14
c. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang
paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya
gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam
waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.13
d. Imunoglobulin IV

18
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4g/kgBB/hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg
tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan
PE atau IVIg. 1,3, 4,7,12
e. Pengelolaan Tambahan : Gejala Nyeri pada fase akut dan kronis
Nyeri adalah gejala yang umum dan parah pada pasien dengan SGB. Adanya
nyeri penting, terutama pada pasien yang tidak mampu berkomunikasi karena
intubasi. Nyeri biasa gejala yang muncul sebelum onset kelemahan mungkin
membingungkan dan menunda dalam mendiagnosis SGB. Nyeri dijumpai hingga
89% dari pasien dengan SGB. Perbedaan gejala rasa sakit yang terkait dengan
GBS dapat dibedakan selama fase penyakit: parestesia atau dysaesthesia, nyeri
punggung atau radikular, meningisme, nyeri otot, nyeri sendi, dan pain visceral.
Nyeri pada SGB bisa sangat parah, dan pengobatan sering tidak berhasil.
Kortikosteroid, opioid, gabapentin, dan carbamazepine disarankan untuk menjadi
efektif, meskipun laporannya terbatas. Kemungkinan asal nyeri adalah
multifaktorial. Nyeri pada fase akut SGB mungkin dari nosiseptif karena
inflamasi. Saraf berdiameter kecil di kulit, bertanggung jawab atas nosisepsi,
yang terkena dampak pada SGB. Pengurangan jumlah saraf intraepidermal
ditemukan pada biopsi kulit dari pasien dengan SGB. Kemudian pada perjalanan
penyakit, nyeri neuropatik non-nosiseptif mungkin timbul dari degenerasi dan
bahkan mungkin regenerasi saraf sensorik. Biopsi kulit mungkin bisa membantu
menjelaskan mekanisme timbulnya nyeri pada neuropati di SGB. 15,16,17

Komplikasi

19
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan
ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena
dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi. 3
Pada negara-negara maju, 5% dari pasien dengan sindrom Guillain-Barré meninggal
akibat komplikasi medis seperti sepsis, emboli paru, atau henti jantung yang tidak
dapat dijelaskan, mungkin terkait dengan dysautonomia / disfungsi otonom.
Disfungsi otonom adalah komplikasi umum pada dua pertiga pasien SGB. Distribusi
saraf otonom yang luas mungkin menyebabkan berbagai tanda dan gejala akibat
kegagalan atau overaktivitas simpatis dan parasimpatis. Gejalanya termasuk aritmia
jantung, fluktuasi tekanan darah, respon tidak normal hemodinamik terhadap obat,
kelainan keringat, kelainan pupil, dan disfungsi kandung kemih dan defekasi.
Meskipun disfungsi otonom biasanya tidak membahayakan, namun, komplikasi
kardiovaskuler dapat terjadi mengancam jiwa. 3-10% dari pasien SGB dapat
meninggal, dan beberapa pasien ini penyebabnya kemungkinan mati mendadak. Oleh
karena itu, pengenalan disfungsi otonom penting untuk memprediksi pasien akan
mengalami gagal otonom yang serius, oleh karena itu perlu pemantauan terus
menerus.15,18

Prognosis
Prognosis SGB sulit untuk diprediksi pada pasien karena bervariasi. Usia lanjut
umumnya menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Tingkat keparahan SGB
tampaknya ditentukan pada tahap awal penyakt. Suatu RCT yang telah menyelidiki
efek IVIg atau PE pada pasien yang tidak dapat berjalan dan menyimpulkan bahwa
sekitar 20% pasien tetap dapat berjalan tanpa bantuan setelah 6 bulan. Penilaian
neurofisiologis juga diperlukan untuk membantu untuk menilai risiko kegagalan
pernapasan, yang tertinggi pada pasien dengan penurunan kapasitas vital lebih dari
20% . Studi blok konduksi saraf Peroneal pada usia di atas 40 tahun adalah prediktor
independen kecacatan pada 6 bulan. Sekitar 95 % pasien SGB dapat bertahan hidup
dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti

20
dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.3,10
Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian pada 5% pasien, yang disebabkan
oleh gagal napas dan aritmia.2,3 Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu
setelah gejala pertama kali timbul 3. 3 % pasien dengan SGB dapat mengalami relaps
yang lebih ringan beberapa tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya relapsing inflammatory polyneuropathy.12 75% pasien terjadi
penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:
a. pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun

Kesimpulan
SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
simetris yang bersifat ascenden yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses
autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, saraf otonom, hingga nervus
kranialis. Hingga saat ini penyebab SGB masih belum diketahui secara pasti, namun
sebagian besar berkaitan dengan adanya proses infeksi yang terjadi sebelum gejala
SGB muncul. Manifestasinya dapat berupa, kelemahan motorik, gangguan sensorik
hingga gangguan otonom hingga dapat menyebabkan gagal nafas. Pemeriksaan
penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre adalah pemeriksaan LCS, EMG dan MRI.
Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,
mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Hingga saat ini para
peneliti masih mencari alternatif terapi yang paling tepat dan pilihan terapi yang
paling efektif saat ini adalah dari Plasma Exchange (PE) dan Intravenous inffusion of
human Immunoglobulin (IVIg).
Daftar Pustaka

21
1. Zhong M, Cai F. Current perspectives on Guillain-Barré syndrome. World J
Pediatr 2007;3(3):187-194
2. Hughes CA. Pathogenesis and treatment of inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy. Acta neurol. belg., 2000, 100, 167-170
3. Walling A, Dickson G. Guillain-Barré Syndrome. AAFP.2013.(87).3: 166-97
4. McClellan, K., Armeau, E., Parish, T. Recognizing Guillain-Barré Syndrome in
the Primary Care Setting. The Internet Journal ofAllied Health Sciences and
Practice. Jan 2007,(5):1
5. Phitadia A, Kakadia N. Guillain-Barré syndrome (SGB). Pharmacological report.
2010. 220-232
6. Yuki N, Hartung HP. Guillain–Barré Syndrome. N Engl J Med 2012;366:2294-
304.
7. Malgorzata QW, Georgios M,Sijan Wang, James S. Malter, Andrew J. Waclawik.
Plasma Exchange After Initial Intravenous Immunoglobulin Treatment in
Guillain-Barre´ Syndrome: Critical Reassessment of Effectiveness and Cost-
Efficiency. J Clin Neuromusc Dis 2010;12:55–61
8. Pieter A, Liselotte R, Bart C J. Clinical features, pathogenesis, and treatment of
Guillain-Barré syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939–50. Available from URL:
www.thelancet.com/neurology Vol 7 October 2008 [ cited on April 23th 2015]
9. Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from :
URL: http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf.
[diakses tanggal 24 April 2014].
10. Meena A. K., Khadilkar S. V. Murthy J. M. K.Treatment guidelines for
Guillain–Barré Syndrome. Ann Indian Acad Neurol. 2011; 14. S73–S81.
11. Walling A D. Adjunctive steroid therapy for guillain-barré syndrome. Am fam
physician. 2004 ;70(6):1157-1161.
12. Winer JB. Treatment of Guillain-Barre´ syndrome. Q J Med 2002; 95:717–721
13. Cortese I, Chaundry V, So YT, Cantor F, Comblath DR. Evidence-based guideline
update: Plasmapheresis in neurologic disorder. Neurology. 2011. 294-302
14. Khan F, Amatya B, Brand C, Turner-Stokes L. Multidisciplinary care for Guillain-
Barré syndrome (Review). Cochrane Library 2010

22
15. Richard A,Hughes C,Anthony V. Swan,Jean-Claude R,Djillali A, Rinske Konings.
Immunotherapy for Guillain-Barre syndrome:a systematic review. Brain (2007),
130, 2245-2257
16. Berncl C, Hans-Peter H. Guillain Barré syndrome and chronic inflammatory
demyetinating polyradicutoneuropathy. Neuroimmunology. 2003
17. Nachamkin I, Mishu I, Ho T. Campylobacter species and guillain-barre´
syndrome. Clinical microbiology reviews, 1998, 555–567
18. Fokke C, Berg, Drenthen J, Walgaard C, Doorn P. Diagnosis of Guillain-Barre´
syndrome and validation of Brighton criteria. Brain 2014: 137; 33–43

23

Anda mungkin juga menyukai