Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Spinal canal stenosis merupakan suatu kondisi penyempitan kanalis


spinalis atau foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar saraf
yang keluar dari foramen tersebut. Semakin tinggi angka harapan hidup
seseorang di suatu negara, semakin meningkat populasi orang dengan usia
lanjut dengan aktivitas yang terpelihara secara monoton. Spinal canal stenosis
atau canal stenosis yang terjadi pada lumbal menjadi salah satu masalah yang
sering ditemukan, yang merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang
pada populasi usia lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun
di Amerika. Pria lebih tinggi insidennya daripada wanita.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

1
Spinal kanal stenosis adalah suatu kondisi penyempitan kanalis spinalis
atau foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar
dari foramen tersebut.

2.2 Anatomi
Vertebra dari berbagai regio berbeda dalam ukuran dan sifat khas
lainnya, vertebra dalam satu daerah pun memiliki sedikit perbedaan. Vertebra
terdiri dari corpus vertebra dan arkus vertebra.
Corpus vertebra adalah bagian ventral yang memberi kekuatan pada
columna vertebralis dan menanggung berat tubuh. Corpus vertebra, terutama
dari vertebra thoracica IV ke caudal, berangsur bertambah besar supaya dapat
memikul beban yang makin berat. Arkus vertebra adalah bagian dorsal
vertebra yang terdiri dari pediculus arcus vertebra dan lamina arkus vertebra.
Pediculus arcus vertebra adalah taju pendek yang kokoh dan
menghubungkan lengkung pada corpus vertebra, insisura vertebralis
merupakan torehan pada pediculus arcus vertebra. Insisura vertebralis superior
dan incisura vertebralis inferior pada vertebra-vertebra yang bertangga
membentuk sebuah foramen intervetebrale. Pediculus arcus vertebrae
menjorok ke arah dorsal untuk bertemu dengan dua lempeng tulang yang lebar
dan gepeng yakni lamina arcus vertebrae. Arcus vertebrae dan permukaan
dorsal corpus vertebrae membatasi foramen vertebrale. Foramen vertebrale
berurutan pada columna vertebrale yang utuh, membentuk canalis vertebralis
yang berisi medulla spinalis, meningens, jaringan lemak, akar saraf dan
pembuluh darah.
Vertebrae lumbalis I-V memiliki ciri khas, corpus vertebrae pejal, jika
dilihat dari cranial berbentuk ginjal, foramen vertebrale berbentuk segitiga,
lebih besar dari daerah servical dan thoracal, prosesus transversus panjang dan
ramping, prosesus accesorius pada permukaan dorsal pangkal setiap prosesus,
prosesus articularis facies superior mengarah ke dorsomedial, facies inferior
mengarah ke ventrolateral, prosesus mamiliaris pada permukaan dorsal setiap
prosesus articularis, prosesus spinosus pendek dan kokoh.

2
Gambar 2.1 Anatomi Vertebra
Struktur lain yang tidak kalah penting dan menjadi istimewa adalah
sendi lengkung vertebra articulation zygapophysealis (facet joint), letaknya
sangat berdekatan dengan foramen intervertebrale yang dilalui saraf spinal
untuk meninggalkan canalis vertebralis. Sendi ini adalah sendi sinovial datar
antara prosesus articularis (zygoapophysis) vertebra berdekatan. Sendi ini
memungkinkan gerak luncur antara vertebra. Jika sendi ini mengalami cidera
atau terserang penyakit, saraf spinal dapat ikut terlibat. Gangguan ini dapat
mengakibatkan rasa sakit sesuai dengan pola susunan dermatom, dan kejang
pada otot-otot yang berasal dari miotom yang sesuai.

2.3 Fisiologi
Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air,
kolagen, dan proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen
tersusun dalam lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan membuat
ikatan intervertebra. Proteoglikan berperan sebagai komponen hidrodinamik
dan elektrostatik dan mengontrol turgor jaringan dengan mengatur pertukaran
cairan pada matriks diskus. Komponen air memiliki porsi sangat besar pada
berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban mekanis yang diberikan
pada segment tersebut.

3
2.4 Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya
nukleus pulposus mengalami dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan
tekanan berkurang, memicu robekan pada annulus. Kolagen memberikan
kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus tersusun secara eksklusif oleh
kolagen tipe-II, yang membantu menyediakan level hidrasi yang lebih tinggi
dengan memelihara cairan, membuat nucleus mampu melawan beban tekan
dan deformitas. Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam
jumlah yang sama, namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih
tua dari 50 tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus.
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding
pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai keratin sulfat
dan kondroitin sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus berkaitan dengan
proteoglikan, pada nuleus lebih padat daripada di annulus. Sejalan dengan
penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan sintesisnya juga menurun.
Annulus tersusun atas serat kolagen yang kurang padat dan kurang
terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan nukleus dan membentuk
jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus.

Gambar 2.2 Spinal Canal


2.5 Etiologi
Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan kanal
meliputi struktur tulang dan jaringan lunak. Struktur tulang meliputi: osteofit
sendi facet (merupakan penyebab tersering), penebalan lamina, osteofit pada
corpus vertebra, subluksasi maupun dislokasi sendi facet (spondilolistesis),

4
hipertrofi atau defek spondilolisis, anomali sendi facet kongenital. Struktur
jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum flavum (penyebab tersering),
penonjolan annulus atau fragmen nukleus pulposus, penebalan kapsul sendi
facet dan sinovitis, dan ganglion yang bersal dari sendi facet. Akibat kelainan
struktur tulang jaringan lunak tersebut dapat mengakibatkan beberapa kondisi
yang mendasari terjadinya spinal canal stenosis

2.6 Epidemiologi
Spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang
merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi usia
lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun di Amerika.
Merupakan penyakit terbanyak yang menyebabkan bedah pada spina pada usia
lebih dari 60 tahun. Lebih dari 125.000 prosedur laminektomi dikerjakan
untuk kasus lumbar spinal stenosis. Pria lebih tinggi insidennya daripada
wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras, jenis kelamin, tipe tubuh,
pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar ke-4 k-5 dan lumbar ke-3 ke-4.

2.7 Klasifikasi
Kalsifikasi spinal canal stenosis dapat dibagi congenital/developmental
and acquired types, yaitu:
1. Congenital-developmental stenosis
a. Idiopathic
b. Achondroplastic
2. Acquired stenosis
a. Degenerative (most common type)
b. Combined congenital and degenerative stenosis
c. Spondylitic/spondylolisthetic
d. Iatrogenic (ex postlaminectomy, postfusion)
e. Posttraumatic
f. Metabolic (ex Paget’s disease, fluorosis)

2.9 Gejala Klinis


1. Sakit punggung. Orang dengan stenosis tulang belakang mungkin atau
mungkin tidak memiliki sakit punggung.
2. Nyeri seperti terbakar pada bokong atau kaki (linu panggul). Tekanan
pada saraf tulang belakang dapat mengakibatkan rasa sakit di daerah
pasokan saraf. Rasa sakit dapat digambarkan sebagai nyeri atau rasa

5
seperti terbakar. Ini biasanya dimulai di daerah bokong dan memancarkan
ke kaki. Rasa sakit di kaki yang sering disebut "sciatica."
3. Mati rasa atau kesemutan pada bokong atau kaki. Saat tekanan pada saraf
meningkat, mati rasa dan kesemutan sering disertai nyeri terbakar.
Meskipun tidak semua pasien akan mempunyai keluhan nyeri terbakar dan
mati rasa dan kesemutan pada kedua kakinya.
4. Kelemahan di kaki atau "foot drop." Setelah tekanan pada saraf mencapai
tingkat kritis, kelemahan dapat terjadi pada satu atau kedua kaki. Beberapa
pasien akan memiliki drop foot, atau merasakan kaki mereka di tanah saat
berjalan.
5. Lebih sedikit nyeri dengan bersandar ke depan atau duduk. Studi dari
lumbar tulang belakang menunjukkan bahwa bersandar ke depan benar-
benar dapat menambah ruang yang tersedia untuk saraf. Banyak pasien
merasa nyaman ketika membungkuk ke depan dan terutama dengan duduk.
Nyeri biasanya diperparah dengan berdiri tegak dan berjalan. Beberapa
pasien memperhatikan bahwa mereka bisa naik sepeda statis atau berjalan
bersandar pada keranjang belanja. Berjalan lebih dari 1 atau 2 blok,
bagaimanapun, dapat membuat pada linu panggul menjadi semakin parah
atau terjadi kelemahan.
6. Abnormal fungsi usus / dan atau fungsi kandung kemih
7. Hilangnya fungsi seksual

2.10 Faktor Resiko


Risiko terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada orang yang:
1. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
2. Berjenis kelamin wanita
3. Berusia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan
pertambahan usia)
4. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya

2.11. Diagnosis
Diagnosis stenosis tulang belakang dimulai dengan anamnesis yang
lengkap dan pemeriksaan fisik. Anamnesis berupa keluhan serta gejala gejala
yang dirasakan penderita. Setelah membahas gejala dan riwayat medis, dokter
akan memeriksa punggung Anda. Ini meliputi dengan cara melihat punggung

6
dan mendorong pada daerah yang berbeda untuk melihat apakah itu
menimbulkan rasa yang menyakitkan. Dokter bisa meminta penderita
membungkuk ke depan, ke belakang, dan sisi ke sisi untuk mencari
keterbatasan atau rasa sakit. Pemeriksaan fisik ini dapat membantu dengan
menentukan keparahan kondisi dan apakah atau tidak adanya kelemahan dan /
atau mati rasa.
Dapat pula dengan tes pencitraan seperti x-ray, magnetic resonance
imaging (MRI), atau computerized tomography (CT) scan untuk memastikan
diagnosa.
1. X-ray. Meskipun mereka hanya memvisualisasikan tulang, sinar-X dapat
membantu menentukan apakah Anda memiliki stenosis spinal. X-ray akan
menunjukkan perubahan proses penuaan, seperti kehilangan ketinggian
disk atau tulang taji.
X-ray diambil sambil bersandar ke depan dan ke belakang dapat
menunjukkan "ketidakstabilan" pada sendi Anda. Sinar-X juga dapat
menunjukkan terlalu banyaknya mobilitas. Ini sering disebut
spondylolisthesis.
2. Magnetic resonance imaging (MRI). Pemeriksaan ini dapat membuat
gambar yang lebih baik dari jaringan lunak, seperti otot, cakram, saraf,
dan sumsum tulang belakang.
3. Tes tambahan. Computed tomography (CT) scan dapat membuat
penampang gambar tulang belakang. juga dapat dilakukan myelogram.
Dalam prosedur ini, zat warna disuntikkan ke tulang belakang untuk
membuat saraf muncul lebih jelas. Hal ini dapat membantu dokter
menentukan apakah pada saraf sedang terjadi dikompresi

2.12 Tatalaksana
Pengobatan non operatif
1. Pilihan pengobatan non operatif difokuskan untuk mengembalikan fungsi
dan menghilangkan rasa sakit. Meskipun metode non-bedah tidak
meningkatkan penyempitan kanal tulang belakang, banyak orang
melaporkan bahwa perawatan ini membantu meringankan gejala.
Terapi fisik. Latihan peregangan, pijat, penguatan lumbal dan perut sering
membantu mengatasi gejala.

7
Traksi lumbal. Walaupun mungkin membantu dalam beberapa pasien,
traksi memiliki hasil yang sangat terbatas. Tidak ada bukti ilmiah
keefektifannya.
2. Obat anti-inflamasi. Karena rasa nyeri stenosis disebabkan oleh tekanan
pada saraf tulang belakang, mengurangi inflamasi (pembengkakan) di
sekitar saraf dapat meredakan nyeri. Nonsteroid antiinflammatory drugs
(NSAID) awalnya memberikan penghilang rasa sakit. Ketika digunakan
selama 5-10 hari, mereka juga dapat memiliki efek anti inflamasi.
Kebanyakan orang terbiasa dengan NSAID tanpa resep dokter, seperti
aspirin dan ibuprofen. Baik terlaludijual bebas atau kekuatan resep, obat-
obat ini harus digunakan dengan hati-hati. Mereka dapat menyebabkan
gastritis atau ulkus lambung. Jika timbul refluks asam atau sakit perut saat
menggunakan anti-inflamasi, dapat konsultasi pada dokter.
3. Injeksi steroid. Kortison adalah anti inflamasi kuat. Suntikan kortison
pada sekitar saraf atau di "ruang epidural" bisa mengurangi
pembengkakan dan rasa sakit. Tetapi sebetulnya tidak dianjurkan untuk
menerima ini, karena pemberian yang lebih dari 3 kali per tahun. Suntikan
ini lebih cenderung untuk mengurangi rasa sakit dan mati rasa namun
bukan mengurangi kelemahan pada kaki.
4. Akupuntur. Akupuntur dapat membantu dalam mengobati rasa sakit untuk
kasus-kasus yang kurang parah. Meskipun sangat aman, namun
kesuksesan pengobatan ini secara jangka panjang belum terbukti secara
ilmiah.
Pengobatan operatif
1. Pembedahan untuk lumbal spinal stenosis umumnya ditunda pada pasien
yang memiliki kualitas hidup yang buruk karena rasa sakit dan
kelemahan. Pasien mungkin mengeluhkan ketidakmampuan untuk
berjalan untuk jangka waktu yang panjang tanpa duduk. Ini sering
menjadi alasan bahwa pasien mempertimbangkan operasi. Ada dua
pilihan operasi utama untuk mengobati stenosis tulang belakang lumbal:
laminektomi dan fusi spina. Kedua opsi dapat menghilangkan rasa sakit
yang sangat baik. Dan perlu mengetahui keuntungan serta kerugiannya.

8
a) Laminektomi. Prosedur ini melibatkan mengeluarkan tulang, taji
tulang, dan ligamen yang menekan saraf. Prosedur ini juga dapat
disebut "dekompresi." Laminektomi dapat dilakukan dengan
operasi terbuka, di mana dokter melakukan sebuah sayatan yang
besar untuk mengakses tulang belakang. Prosedur ini juga dapat
dilakukan dengan menggunakan metode minimal invasif, di mana
dibuat beberapa sayatan kecil.
b) Spinal fusion. Jika arthritis telah berlanjut terhadap ketidakstabilan
tulang belakang, kombinasi dekompresi dan stabilisasi atau spinal
fusion dapat dianjurkan.
Pada spinal fusion, dua atau lebih vertebra disembuhkan secara
permanen atau menyatu bersama-sama. Cangkok tulang diambil
dari tulang panggul atau tulang pinggul yang digunakan untuk
memadukan tulang belakang.
Fusion menghilangkan gerakan antara tulang dan mencegah
terjadinya selip yang akan memperburuk setelah operasi. Dokter
bedah juga dapat menggunakan batang dan baut untuk menahan
tulang belakang di tempat agar tulang menyatu. Penggunaan batang
dan baut membuat fusi tulang terjadi lebih cepat dan kecepatan
pemulihan.

2.13 Komplikasi
1. stenosis tulang belakang yang memberat dapat menyebabkan disfungsi
usus dan / atau disfungsi kandung kemih.
2. Bedah komplikasi termasuk infeksi, cedera neurologis, pseudarthrosis,
sakit kronis, dan cacat.

2.14 Prognosis
Prognosis baik bila dekompresi adekuat, stabilitas sendi facet terjaga,
pembedahan lebih awal, pemakaian korset post-op, latihan pasca operasi.
Prognosis buruk bila terjadi dominan back pain, segmen yang terkena
multilevel, penundaan lama pembedahan, terdapt tanda defisist neurologis,
wanita, operasi sebelumnya gagal, pasien dengan penyakit sistemik kronis.

9
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nomor RM : 697456
Nama : IPIPP
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 27 tahun
Alamat : Br. Payangan Tengah, Marga, Tabanan
Bangsa : Indonesia
Suku : Bali
Agama : Hindu
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Kunjungan : 19 Juni 2018 pukul 17.30 WITA.

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Panas

10
Riwayat Penyakit Sekarang

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Keluarga

Riwayat Sosial

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pasien Masuk Rumah Sakit (19/06/2018)
Primary Survey
Airway : Lapang
Breathing : Spontan, Dada simetris (+), RR 20 kali/menit, SpO2 99% room air
Circulation : Tekanan Darah 110/70 mmHg, Nadi 88 kali/menit reguler,
suhu axilla 36,5oC
Disability : GCS E3 V4 M5

Berat badan : 80 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 22.03 kg/m2

Secondary Survey
Kepala : Normocephali
Leher : Tenderness (-), jejas (-),
Mata : Refleks pupil +/+, conjunctiva anemis (-/-)
THT : Otorrhea -/-, Rhinorrhea -/-
Maxillofacial: Memar (-), bengkak (-), floating maxilla (-), maloklusi (-)

11
Thorax : Pergerakan dada simetris
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis : tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis : tidak teraba
Perkusi : Batas Atas :ICS II
Batas Bawah : ICS V
Batas Kanan : PSL Dextra
Batas Kiri : MCL Sinistra
Auskultasi : Suara jantung S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Paru :
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Normal
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-) , wheezing (-/-)

Abdomen:
Inspeksi : Jejas (-), distensi (-)
Auskultasi : BU (+) Normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Defans (-), Nyeri tekan (-)
Pelvis : Jejas (-), stabil
Extremitas: hangat ++/++ edema - -/- -

Status Neurologis
Motoris
Tenaga: Tonus: N N
N N

Tropi N N
N N

12
3.4 Assessment
Canal stenosis
Unstable spine

3.5 Usulan Pemeriksaan Penunjang


- Cek Laboratorium
- X-ray Thoracolumbal AP/Lateral
- MRI lumbosacral

3.6 Hasil Pemeriksaan Penunjang


3.6.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium (18/06/2018)
Darah Lengkap

PARAMETER HASIL SATUAN NORMAL KET


Darah Lengkap 5 Diff
Hemoglobin 14,5 gr/dL 13,2 – 17,3
Hematokrit 42,2 % 40,0 – 52,0
Lekosit 14,4 103/uL 3,8 – 10,6 H
Trombosit 254 103/uL 150 – 440
Eritrosit 5,00 106/uL 4,4 – 5,9
Hitung Jenis (Diff)
Neu% 62,8 % 40,0 – 74,0
Lym% 30,41 % 19,0 – 48,0
Mono% 4,95 % 3,40 – 9,00
Eos% 1,47 % 0,6 – 7,0
Baso% 0,825 % 0,0 – 1,5
Index Eritrosit
MCV 84,8 fl 82 – 92
MCH 29,8 pg 27 – 31

13
MCHC 34,2 g/dL 32 – 36
RDW 13,0 % 11,6 – 14,8
MPV 6,21 fl 6,8 – 10,0 L

Kimia Klinik

PARAMETER HASIL SATUAN NORMAL KET


Glukosa 107 mg/dL 74 – 106 H
SGOT 30 U/L 0 – 50
SGPT 37 U/L 0 – 50
Kreatinin 1.0 Mg/dL 0.60-1.10

Elektrolit

PARAMETER HASIL SATUAN NORMAL KET


Natrium 136 mmol/L 135 – 147
Kalium 3,7 mmol/L 3,5 – 5,0
Klorida 106 mmol/L 95 – 105 H
? 7.8 Mg/dL 8.8-10.2 L

3.6.2 Hasil Pemeriksaan Foto Rontgent (17/04/2018)


Hasil Foto Rontgen Thoracolumbal AP/Lateral :
 Alignment baik,
 Curve TL melurus
 Tak tampak kompresi/Listhesis
 Mineralisasi tulang baik
 Tak tampak osteofit, pedikal dan spatium intervertebral baik
 Tak tampak paravertebral mass
Kesimpulan :
Paralumbal Muscle Spasm
Tak tampak listhesis/kompresi

14
3.6.3 Hasil Pemeriksaan MRI (19/04/2018)
Hasil Pemeriksaan MRI Lumbosacral (Tampak T12) Axial T1/T2, Sagital
T1/T2, myelografi tanpa kontras :
 Alignment baik, curve LS melurus
 Tak tampak oesteophyte, pedicle dan spatium intervertebral lainnya baik
 Tak tampak kompresi/Listhesis
 Tampak perubahan intensitas bone marrow pada L4 superoposterior
 Tampak loss of intense pada diskus interverterbralis pada L1-2, L3-4, dan
L4-5
 Disc level L1-2 : Dalam batas normal
 Disc level L2-3 : Dalam batas normal
 Disc level L3-4 : Tampak buldging disc yang menekan paracentral kanan,
sisi kanan thecal disc dan menekan sisi kanan nerve root, yang
menyebabkan stenosis canal central sisi kanan
 Disc level L4-5 : Tampak buldging disc yang menekan paracentral kiri, sisi
kiri thecal disc dan menekan sisi kiri nerve root, yang menyebabkan
stenosis canal central sisi kiri
 Disc level L5-S1 : Dalam batas normal
 Conus medullaris berakhir pada L1
 Tak tampak lesi hipo/hiperdens pada spinal cord
 MR Myelografi : hambatan pada aliran CSF L3-4

Kesimpulan :
Sesuai gambaran HNP pada :
Disc level L3-4 : Buldging disc yang menekan paracentral kanan, sisi
kanan thecal disc dan menekan sisi kanan nerve root, yang menyebabkan
stenosis canal central sisi kanan

15
Disc level L4-5 : Buldging disc yang menekan paracentral kiri, sisi kiri
thecal disc dan menekan sisi kiri nerve root, yang menyebabkan stenosis
canal central sisi kiri
Curve LS melurus (muscle spasm)
Tampak hambatan pada aliran CSF L3-4
Tak tampak kompresi/Listhesis
Tampak perubahan intensitas bone marrow pada L4 superoposterior
Tampak loss of intense pada diskus interverterbralis pada L1-2, L3-4, dan L4-5

3.7 Diagnosis Kerja


Canal stenosis
Unstable spine

3.8 Penatalaksanaan
Terapi medikamentosa :
- IVFD NS 18 tpm
- Anbacim 1gr tiap 8 jam intravena
- Paracetamol 1gr tiap 8 jam intravena
- Ondancetron 1mg tiap 8 jam intravena
- Fentanil 300 mg + Keterolac 90 mg dalam spuit 20cc/24jam
Terapi non-medicamentosa :
- MRS ICU
- Transfusi PRC 2 kolf jika Hb <11gr%
Terapi Pembedahan :
Pro laminectomy dekompresi + fusi vertebra posterior

3.9 FollowUp pasien Post Operasi (21/05/2018)


S : Nyeri
O : Kesadaran : Compos Mentis (E4 V5 M6)
Tekanan Darah : 100/70 mmHg

16
Nadi : 80 x/mnt
RR : 18 x/mnt
Tax : 36.7 0C
Berat badan : 80 kg
Tinggi badan : 165 cm
BMI : 22.03 kg/m2

Status General
Kepala : Normocephali
Leher : Tenderness (-), jejas (-)
Mata : Refleks pupil +/+, conjunctiva anemis (-/-)
THT : Otorrhea -/-, Rhinorrhea -/-
Maxillofacial: Memar (-), bengkak (-), floating maxilla (-), maloklusi (-)
Toraks :
Inspeksi : Dada kanan dan kiri simetris
Palpasi : Tenderness -/-, krepitasi (-) thorax dextra
Perkusi : Sonor / Sonor
Auskultasi : Cor : S1-S2 normal reguler murmur (-)
Pulmo : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen:
Inspeksi : Jejas (-), distensi (-)
Auskultasi : BU (+) Normal
Palpasi : Defans (-)
Perkusi : Timpani
Pelvis : Jejas (-), stabil
Extremitas : hangat ++/++ edema - -/- -
Status Neurologis
Motoris
Tenaga: Tonus: N N
N N

Tropi N N
N N

17
A : Post laminectomy dekompresi + fusi vertebra posterior
Canal Stenosis
Unstable spine

P : IVFD RL 18 tpm
Anbacim 1gr tiap 8 jam intravena
Paracetamol 1gr tiap 8 jam intravena
Ondancetron 1mg tiap 8 jam intravena
Fentanil 300 mg + Keterolac 90 mg dalam spuit 20cc/24jam

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki berusia 29 tahun datang ke IGD BRSU Tabanan pada


tanggal ….. pukul … mengeluh lemah pada kaki kanan sejak 3 minggu sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan dikatakan muncul tiba-tiba hingga pasien tidak bisa
menggerakkan kaki kanannya. Riwayat demam, mual, dan muntah disangkal oleh
pasien. Riwayat lemah pada bagian tubuh yang lain disangkal oleh pasien.
Riwayat penurunan kesadaran disangkal sebelumnya disangkal. Dikatakan pasien
tidak memiliki riwayat penyakit sistemik seperti darah tinggi, diabetes, penyakit
jantung, penyakit ginjal, dan penyakit kongenital. Pasien juga tidak memiliki
riwayat alergi terhadap makanan ataupun obat-obatan. Pasien mengatakan 10
tahun yang lalu pernah mengalami kecelakaan menggunakan sepeda motor. Sejak
kejadian tersebut pasien sering merasakan kesemutan pada kaki kanannya. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6). Pada
pemeriksaan penunjang foto thoracolumbal AP/Lat didapatkan kesan paralumbal
muscle spasm. Pada pemeriksaan penunjang MRI didapatkan pada Disc. Level
L3-4 terdapat bulging disc yang menekan paracenteral kanan, sisi kanan thecal sae
dan menekan sisi kanan nerve root, yang menyebabkan stenosis canal central sisi

18
kanan. Pada disc level L4-5 terdapat bulging disc yang menekan paracentral kiri,
sisi kiri thecal sac dan menekan sisi nerve root, yang menyebabkan sedikit
stenosis canal central sisi kiri. Dan pada MRI didapatkan muscle spasm, adanya
hambatan CSF pada 1,3-4, tmpak perubahan intensitas bone marrow pada L4
superoposterior, dan tampak loss of intense pada discus intervertebralis pada L1-2,
L3-4, dan L4-5.

Pasien mengeluh lemah pada kaki bagian kanan yang terjadi secara tiba-tiba , hal
ini bersesuaian dengan gejala klinis dari spinal kanal stenosis yang terjadi foot
drop. Foot drop terjadi setelah penekanan pada saraf mencapai tingkat kritis.
Pasien juga sebelumnya memiliki riwayat trauma, pernah mengalami kecelakaan
10 tahun yang lalu yang dapat menjadi salah satu factor resiko terjadinya spinal
kanal stenosis. Pada pemeriksaan thoracolumbal dan MRI didapatkan kesan
menyokong gambaran Hernia Nukleus Pulposus yang merupakan salah satu
etiologi terjadinya spinal kanal stenosis.

Terapi medikamentosa yang diberikan berupa IVFD NS 18 tpm, Ambacim


1 gr tiap 8 jam IV, Paracetamol 1000 mg flash tiap 8 jam IV, Ondancentron 8 mg
tiap 8 jam IV. Terapi non-medikamentosa pada pasien ini yaitu MRS ICU yang
bertujuan untuk observasi ketat terhadap gejala dan komplikasi yang mungkin
terjadi. Terapi pembedahan pada pasien ini yaitu dilakukan Laminektomi yang
bertujuan untuk dekompresi tulang belakang. Prognosis pasien dapat dilihat
melalui adanya keluhan nyeri punggung kembali, onset dilakukan pembedahan,
dan latihan pasca operasi.

19
BAB V
SIMPULAN

Spinal canal stenosis merupakan penyakit degeneratif yang paling sering


ditemukan pada orang lanjut usia. Gejala yang sering ditimbulkan adalah nyeri
pinggang bawah. Penanganannya tergantung berat ringannya gejala, dapat
konservatif maupun operatif. Komplikasi dan hasil terapinya bergantung pada
kondisi penderita dan pemulihannya yang lama juga harus dipertimbangkan
mengingat pasien yang umumnya usia tua.

20
DAFTAR PUSTAKA

Adam RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology. 7th ed. McGraw Hill
co. New York. 2005: 194-212.
Amundsen T, Weber H, Lilleås F, Nordal HJ, Abdelnoor M, Magnaes B. Lumbar
spinal stenosis. Clinical and radiologic features. Spine (Phila Pa 1976). May
15 1995;20(10):1178-86.
Bernhardt M, Hynes RA, Blume HW, White AA 3rd. Cervical spondylotic
myelopathy. J Bone Joint Surg Am. Jan 1993;75(1):119-28.Caputy AJ,
Luessenhop AJ. Long-term evaluation of decompressive surgery for
degenerative lumbar stenosis. J Neurosurg. Nov 1992;77(5):669-76.

Frohna WJ, Della-Giustina D. Chapter 276. Neck and Back Pain. In: Tintinalli JE,
Stapczynski JS, Cline DM, Ma OJ, Cydulka RK, Meckler GD, eds.
Tintinalli's Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide. 7th ed.
New York: McGraw-Hill; 2011.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6392280.diakses 25
Desember 2013.

Greenberg MS. Spinal stenosis. In: Handbook of Neurosurgery. Vol 1. Lakeland,


Fla: Greenburg Graphics, Inc; 1997:207-217.

21
Harkey HL, al-Mefty O, Marawi I, Peeler DF, Haines DE, Alexander LF.
Experimental chronic compressive cervical myelopathy: effects of
decompression. J Neurosurg. Aug 1995;83(2):336-41.

Heller JG. The syndromes of degenerative cervical disease. Orthop Clin North
Am. Jul 1992;23(3):381-94.

Kalichman L, Cole R, Kim DH, Li L, Suri P, Guermazi A, et al. Spinal stenosis


prevalence and association with symptoms: the Framingham Study. Spine J.
Jul 2009;9(7):545-50.

Keith L. Moore, Anne M R. Agur. Anatomi Klinis Dasar. 2002.


Jakarta:Hipokrates.

Luke A, Ma C. Chapter 41. Sports Medicine & Outpatient Orthopedics. In:


Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW, eds. CURRENT Medical
Diagnosis & Treatment 2013. New York: McGraw-Hill;
McRae, Ronald. Clinical Orthopaedic examination. 2004. Fifth Edition: 151-152.
Steven R. Garfin, Harry N. Herkowitz and Srdjan Mirkovic. Spinal Stenosis.
Journal Bone Joint Surg Am. 1999; 81:572-86.
White AA III, Panjabi MM. Clinical Biomechanics of the Spine. 2nd ed.
Philadelphia, Pa: JB Lippincott; 1990:342-378.

22

Anda mungkin juga menyukai