Anda di halaman 1dari 37

Refleksi Kasus Mei 2018

“TERAPI CAIRAN INTRAOPERATIF

PADA PASIEN EPIDURAL HEMATOME”

Disusun Oleh:
Syavira Andina Anjar
N 111 16 094

Pembimbing Klinik:
dr. FARIDNAN, Sp.An

DEPARTEMEN ILMU ANASTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Sebagian besar tubuh manusia terdiri atas cairan yang jumlahnya berbeda-
beda tergantung usia dan jenis kelamin serta banyaknya lemak di dalam tubuh.
Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan air, elektrolit serta nutrien-nutrien
yang lain. Dalam waktu 24 jam jumlah air dan elektrolit yang masuk setara
dengan jumlah yang keluar. Pengeluaran cairan dan elektrolit dari tubuh dapat
berupa urin, tinja, keringan dan uap air pada saat bernapas.
Dalam keadaan normal, jumlah cairan dan elektrolit selalu seimbang,
artinya intake (asupan) air dan elektrolit akan dikeluarkan dalam jumlah yang
sama. Asupan air dan elektrolit berasal dari minuman dan makanan yang
dikonsumsi sehari-hari serta dari hasil oksidasi dalam tubuh. Air dikeluarkan dari
tubuh dalam bentuk urin, tinja, dan insensible water loss atau pengeluaran yang
tidak dirasa, seperti keringat dan pernapasan. Gangguan
keseimbangan/homeostasis air dan elektrolit harus segera diterapi untuk
mengembalikan keseimbangan air dan elektrolit tersebut, dalam hal ini dilakukan
terapi cairan.
Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukkan air, elektrolit
serta zat-zat makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat pasien harus
berpuasa lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok
hipovolemik, anoreksia berat, mual muntah dan lain-lain. Dengan terapi cairan
kebutuhan akan air da elektrolit akan terpenuhi. Selain itu terapi cairan juga dapat
digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara rutin atau juga
digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa.
Terapi cairan meliputi penggantian kehilangan cairan, memenuhi
kebutuhan air, elektrolit, dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali
keseimbangan normal dan pulihnya perfusi jaringan serta oksigenasi sel, untuk
mencegah terjadinya iskemia jaringan maupun kegagalan fungsi organ. Dalam
pemberian cairan pada pasien perioperatif, harus memperhitungkan kebutuhan

1
cairan basal, penyakit yang menyertai, medikasi, teknik dan obat anestetik serta
kehilangan cairan akibat pembedahan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terapi cairan
A. Definisi terapi cairan
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara ataupun mengganti
cairan tubuh dengan pemberian cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid
(plasma ekspander) secara intravena untuk mengatasi berbagai masalah
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, meliputi mengantikan volume
cairan yang hilang akibat perdarahan, dehidrasi atau syok.
Terapi cairan perioperative meliputi tindakan terapi yang dilakukan
pada masa pra-bedah, selama pembedahan, dan pasca bedah. Dalam
pembedahan dengan anestesia yang memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, maka terapi cairan berfungsi untuk mengganti cairan saat puasa
sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat
pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang
pindah ke rongga ketiga.
B. Cairan tubuh
Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan, pada bayi prematur
jumlahnya sebesar 80% dari berat badan, bayi normal sebesar 70-75% dari
berat badan, sebelum pubertas 65-70% dari berat badan, orang dewasa normal
sekitar 50-60% dari berat badan. Kandungan air di dalam sel lemak lebih
rendah dari pada kandungan air di dalam sel otot, sehingga cairan total pada
orang gemuk lebih rendah dari pada mereka yang tidak gemuk.
Total body Water (TBW) dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan
intraseluler (CIS) dan cairan ekstra seluler (CES) seperti terlihat pada gambar

3
Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Pada seorang laki- laki
dewasa dengan berat 70 kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter berada
dalam sel darah merah yang berada di dalam intravaskuler. Komposisi CIS
dan kandungan airnya bervariasi menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya,
jaringan lemak memiliki jumlah air yang lebih sedikit dibanding jaringan
tubuh lainnya.
Komposisi dari CIS bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun
terdapat perbedaan umum antara CIS dan cairan interstitial. CIS mempunyai
kadar Na+, Cl- dan HCO3- yang lebih rendah dibanding CES dan
mengandung lebih banyak ion K+ dan fosfat serta protein yang merupakan
komponen utama intra seluler.
Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam
keadaan stabil namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi melalui
mekanisme pasif seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak membutuhkan
energi sebagaimana transport aktif.
Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES),
yaitu seluruh cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari mairan
ekstrasluler adalah cairan interstisiel, yang merupakan tiga perempat cairan
ekstraseluler, dan plasma, yaitu seperempat cairan ekstraseluler. Plasma
adalah bagian darah nonselular dan terus menerus berhubungan dengan cairan
interstisiel melalui celah-celah membran kapiler. Celah ini bersifat sangat

4
permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam cairan ekstraseluler,
kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraseluler terus bercampur, sehingga
plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang sama kecuali untuk
protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma.
Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh
terpisah dari plasma oleh lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu
berarti dalam keseimbangan cairan tubuh, akan tetapi pada beberapa keadaan
dimana terjadi pengeluaran jumlah cairan transeluler secara berlebihan maka
akan tetap mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Cairan
yang termasuk cairan transseluler yaitu :Cairan serebrospinal, cairan dalam
kelenjar limfe, cairan intra okular, cairan gastrointestinal dan empedu, cairan
pleura, peritoneal, dan perikardial.
Komponen cairan ekstraseluler terbagi menjadi seperti pada tabel
berikut: Komponen CES pada seorang laki-laki dewasa ( BB 70 Kg)
Cairan Berat Volume (%)
Badan (%)
Cairan 15 10,5
interstitial 5 3,5
Plasma 1 0,7
Cairan 21 14,7
transeluler
Total CES

C. Komposisi Cairan Tubuh


Secara garis besar, komposisi cairan tubuh yang utama dalam plasma,
interstitial dan intraseluler ditunjukkan pada tabel berikut: Komposisi Plasma,
interstitial, dan Intraselular ( mmol/L)

5
Substansia Plasma Cairan interstitial Cairan
intraseluler
Kation 1
Na+ 153 145 0
K+ 4,3 4,1 159
Ca2+ 2,7 2,4 <1
Mg2+ 1,1 1 40
Total 161,1 152,5 209
Anion
Cl- 112 117 3
HCO3- 25,8 27,1 7
Protein 15,1 <0,1 45
Lainnya 8,2 8,4 154
Total 161,1 152,5 209

D. Kehilangan Cairan Tubuh


Secara garis besar dikenal 3 macam kehilangan cairan tubuh, yaitu :

a) Kehilangan cairan sebagai akibat kehilangan air dari badan baik


karena kekurangan pemasukan air atau kehilangan air berlebihan
melalui paru, kulit, ginjal atau saluran cerna. Keadaan ini sering
disebut dengan pure dehydration atau dehydration hypertonic atau
water deficit atau water deficiency atau pure water depletion.
Kehilangan cairan tipe ini biasa terjadi karena :
 Pemasukan air tidak mencukupi (kehabisan air minum
dipadang pasir, disfagia, koma, rangsangan haus yang
hilang pada penyakit kerusakan otak seperti tumor,
meningitis, poliomeilitis tipe bulbar
 Kehilangan cairan karena pengeluaran melalui ginjal
berlebihan (diabetes insipidus)

6
 Kehilangan cairan karena sebab lain seperti terlalu lama
terkena sinar matahari tanpa minum, hiperventilasi, demam,
luka bakar, gastroenteritis akut)
b) Kehilangan cairan karena kelebihan elektrolit (solute loading
hypertonicity). Kehilangan cairan karena ekstresi urin yang
mengandung banyak elektrolit.
c) Kehilangan cairan karena hiperosmolaritas. Hal ini terjadi jika
cairan ekstraselular karena suatu sebab menjadi hiperosmoler,
misalnya karena hiperosmoler hiperglikemia.

Yang Mempengaruhi Kebutuhan Cairan


Yang menyebabkan adanya suatu peningkatan terhadap kebutuhan
cairan harian diantaranya :
 Demam ( kebutuhan meningkat 12% setiap 10 C, jika suhu > 370 C )
 Hiperventilasi
 Suhu lingkungan yang tinggi
 Aktivitas yang ekstrim / berlebihan
Setiap kehilangan yang abnormal seperti diare atau poliuria

Yang menyebabkan adanya penurunan terhadap kebutuhan cairan


harian diantaranya yaitu :
 Hipotermi ( kebutuhannya menurun 12% setiap 10 C, jika suhu <370
C)
 Kelembaban lingkungan yang sangat tinggi
 Oliguria atau anuria
 Hampir tidak ada aktivitas
 Retensi cairan misal gagal jantung

E. Dehidrasi

Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari


natrium menjadi isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L)
atau hipernatremik (.150 mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang

7
paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi hipernatremik atau
hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.

Dehidrasi Isotonik. Didefinisikan sebagai suatu keadaan jumlah


kehilangan air sebanding dengan jumlah kehilangan elektrolit natrium (Na+).
Kadar Na+ pada kondisi dehidrasi isotonik berkisar antara 135-145 mmol/L
dengan osmolalitas serum berkisar antara 275-295 mOsm/L. Terapi umumnya
dengan cairan kristaloid yang bersifat isotonik, seperti:

• NaCl 0,9% atau Dextrose 5% dalam NaCl 0,225% (untuk pediatrik)

• RL (Ringer’s Lactate) atau NaCl 0,9% (untuk dewasa)

Dehidrasi Hipotonik Didefinisikan sebagai suatu keadaan kehilangan air


lebih kecil dibandingkan kehilangan elektrolit Na+. Kadar Na+ pada kondisi
dehidrasi hipotonik <135 mmol/L dengan osmolalitas serum <275 mOsm/L.
Terapi yang dapat diberikan untuk mengatasi dehidrasi hipotonik ini adalah:

• NaCl 0,9% disertai dextrose 5% dalam NaCl 0,225% untuk seluruh


pemenuhan kekurangan cairan (untuk pediatrik)

• Fase I: 20 mL/kgBB RL atau NaCl 0,9%; fase II: Koreksi defi sit natrium
(untuk dewasa)

Dehidrasi Hipertonik. Didefinisikan sebagai suatu keadaan kehilangan air


lebih besar dibandingkan kehilangan elektrolit Na+. Kadar Na+ pada kondisi
dehidrasi hipertonik >145 mmol/L dengan osmolalitas serum >295 mOsm/L.
Terapi yang dapat diberikan untuk mengatasi dehidrasi hipertonik ini adalah:

• Dextrose 5% dalam NaCl 0,45% atau Dextrose 5% dalam . kekuatan RL


(untuk pediatrik)

• Fase I: 20 mL/kgBB RL atau NaCl 0,9%; fase II: Dextrose 5% dalam


NaCl 0,45% diberikan ≥48 jam agar tidak terjadi edema otak dan kematian
(untuk dewasa)

Ditinjau dari segi banyaknya defisit cairan dan elektrolit yang hilang,
maka dehidrasi dapat dibagi atas :

8
1. Dehidrasi ringan (defisit 4%BB)
2. Dehidrasi sedang (defisit 6%BB)
3. Dehidrasi berat (defisit 8%BB)
4. Syok ( defisit dari 12% dari BB)

Defisit cairan interstitial dengan gejala sebagai berikut :


 Turgor kulit yang jelek

 Mata cekung

 Ubun-ubun cekung

 Mukosa bibir dan kornea kering


Defisist cairan intravaskuler dengan gejala sebagai berikut :
 Hipotensi, takikardi

 Vena-vena kolaps

 Capillary refill time memanjang

 Oliguri

 Syok ( renjatan)
Dehidrasi hipotonik ( hiponatremik )
 Pada anak yang diare yang banyak minum air atau cairan hipotonik
atau diberi infus glukosa 5%

 Kadar natrium rendah ( <130 mEq/L)

 Osmolaritas serum < 275 mOsm/L

 Letargi, kadang- kadang kejang


Dehidrasi hipertonik
 Biasa terjadi setelah intake cairan hipertonik ( natrium, laktosa )
selama diare

 Kehilangan air >> kehilangan natrium

 Konsentrasi natrium > 150 mmol/ L

9
 Osmolaritas serum meningkat > 295 mOsm/L

 Haus, irritable

 Bila natrium serum mencapai 165 mmol/L dapat terjadi kejang

Berikut tabel yang menggambarkan tentang beberapa gangguan elektrolit.

10
Rumatan Cairan menurut rumus Hollyday-Segar

Berat Badan Jumlah Cairan

< 10 kg 100 ml/kg/hari

11 – 20 kg 1000 ml + 50 ml/kg/hari untuk setiap kg di


atas 10 kg

> 20 kg 1500 ml + 20 ml/kg/hari untuk setiap kg di


atas 20 kg

Cara rehidrasi yaitu hitung cairan dan elektrolit total (rumatan +


penggantian defisit) untuk 24 jam pertama. Berikan separuhnya dalam 8 jam
pertama dan selebihnya dalam 16 jam berikutnya.

1. Kelebihan Volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat
iatrogenic (pemberian cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan
kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian cairan intravena glukosa yang

11
menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat insufisiensi renal
(gangguan GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.

2. Perubahan Konsentrasi
Perubahan konsentrasi cairan tubuh dapat berupa hipernatremia atau
hiponatremia maupun hiperkalemia atau hipokalemia.
Rumus untuk menghitung defisit elektrolit :
 Defisit natrium (mEq total) = (Na serum yang diinginkan – Na
serum sekarang) x 0,6 x BB (kg)
 Defisit Kalium (mEq total) = (K serum yang diinginkan [mEq/liter]
– K serum yang diukur) x 0,25 x BB (kg)
 Defisit Klorida (mEq total) = (Cl serum yang diinginkan
[mEq/liter] – Cl serum yang diukur) x 0,45 x BB (kg)

3. Perubahan komposisi
Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa mempengaruhi
osmolaritas cairan ekstraseluler. Sebagai contoh misalnya kenaikan
konsentrasi K dalam darah dari 4 mEq menjadi 8 mEq, tidak akan
mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler tetapi sudah cukup
mengganggu otot jantung. Demikian pula halnya dengan gangguan ion
kalsium, dimana pada keadaan hipokalsemia kadar Ca kurang dari 8 mEq,
sudah akan timbul kelainan klinik tetapi belum banyak menimbulkan
perubahan osmolaritas.

F. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit


Gangguan keseimbangan air dan elektrolit dapat terjadi karena:
 Gastroenteritis, demam tinggi ( DHF, difteri, tifoid )
 Kasus pembedahan ( appendektomi, splenektomi, section cesarea,
histerektomi )
 Penyakit lain yang menyebabkan pemasukan dan pengeluaran tidak
seimbang ( kehilangan cairan melalui muntah )

12
G. Gangguan keseimbangan cairan pada pembedahan

Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan


hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-
faktor preoperatif, intraoperatif dan postoperatif, seperti pada table :

Faktor-faktor Faktor-faktor Faktor-faktor


preoperatif intraoperatif postoperatif
 Kondisi yang telah ada  Induksi anestesi  Stres akibat operasi
 Prosedur diagnostik  Kehilangan darah dan nyeri pasca
 Pemberian obat yang abnormal. operasi.
 Preparasi bedah  Kehilangan abnormal  Peningkatan
 Penanganan medis cairan ekstraselular ke katabolisme
terhadap kondisi yang third space jaringan.
telah ada  Kehilangan cairan  Penurunan volume
 Restriksi cairan akibat evaporasi dari sirkulasi yang
preoperatif luka operasi efektif.

 Defisit cairan yang  Risiko atau adanya


telah ada sebelumnya ileus postoperatif.

H. Terapi Cairan
Terapi cairan berfungsi untuk tujuan:
1. Mengganti kekurangan air dan elektrolit.
2. Untuk mengatasi syok.
3. Untuk mengatasi kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang
diberikan. Terapi cairan preoperatif meliputi tindakan terapi
yang dilakukan pada masa pra-bedah, selama pembedahan dan
pasca bedah. Pada penderita yang menjalani operasi, baik
karena penyakitnya itu sendiri atau karena adanya trauma
pembedahan, terjadi perubahan-perubahan fisiologi.
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;
 Resusitasi cairan

13
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh,
sehingga seringkali dapat menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan
pula untuk ekspansicepat dari cairan intravaskuler dan
memperbaiki perfusi jaringan.
 Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan
nutrisi yang diperlukan oleh tubuh
Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :

Prinsip pemilihan cairan dimaksudkan untuk :


 Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui urine,
IWL, dan feses
 Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan
pada :
 Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24
jam )
 Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )

Cairan pengganti ( replacement )


o Sekuestrasi ( cairan third space )
o Pengganti darah yang hilang
o Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan drainase

14
Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat dilakukan
penghitungan untuk menghitung berapa besarnya cairan yang hilang
tersebut :
 Refraktometer
Defisit cairan : BD plasma – 1,025 x BB x 4 ml
Ket. BD plasma = 0,001
 Dari serum Na+
Air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium – 1 )
Ket. Plasma Na = 140
 Dari Hct
Defisit plasma (ml) = vol.darah normal – (vol.darah normal x nilai Hct awal )
Hct terukur
Sementara kehilangan darah dapat diperkirakan besarnya melalui
beberapa kriteria klinis seperti pada tabel di bawah ini ;
Klas I Klas II Klas III Klas IV
Kehilangan Sampai 750 750-1500 1500-2000 >2000
darah ( ml)
Kehilangan Sampai 15% 15-30% 30-40% >40%
darah ( %EBV)
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tek. Darah Normal Normal Menurun Menurun
(mmHg)
Tek. Nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun
(mmHg) meningkat
Frek. Napas 14-20 20-3- 30-35 >35
Produksi urin >30 20-30 5-15 Tidak ada
(ml/jam)
SSP / status Gelisah Gelisah sedang Gelisah dan Bingung dan
ringan
mental bingung letargi
Cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid
pengganti darah dan darah
( rumus 3 :1)

Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid.
Kristaloid merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik

15
dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik,
maupun hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain :
aman, nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan
kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah kemampuannya terbatas
untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.
Penggolongan jenis cairan berdasarkan sifat osmolaritasnya :
a) Cairan hipotonik
Cairan hipotonik osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut
dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan “ditarik”
dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan
berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya
mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel “mengalami”
dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik,
juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan
ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel,
menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial
(dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan
Dekstrosa 2,5%.
b) Cairan Isotonik
Cairan Isotonik osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya
mendekati serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga terus
berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang
mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah
terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan),
khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.
Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan
garam fisiologis (NaCl 0,9%).
c) Cairan hipertonik

16
Cairan hipertonik osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,
sehingga “menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam
pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan
produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya
kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45%
hipertonik, Dextrose 5% + Ringer-Lactate, Dextrose 5% + NaCl 0,9%,
produk darah (darah), dan albumin.
Penggolongan jenis cairan berdasarkan kelompoknya :
a) Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler. Cairan
kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid)
ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi
defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang
intravaskuler sekitar 20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling
banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan
susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang
terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati
menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan
adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan
menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan
dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit
cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam
jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang interstitial sehingga
timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya oksigenasi
jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter

17
NaCl 0,9. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat
menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
b) Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
“plasma substitute” atau “plasma expander”. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler.
Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan
secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik atau pada
penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang
banyak (misal luka bakar). Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis
larutan koloid:
Koloid alami
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60°C
selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi
protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa
globulin dan beta globulin.
Koloid sintetis
1. Dextran
Dextran 40 dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 dengan
berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc
mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran
70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan
Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat
sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah.
Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat
mengurangi platelet adhesiveness, menekan aktivitas faktor VIII,
meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian
Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat

18
menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan
memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.
2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)
Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 –
1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik
30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan
dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam
waktu 8 hari. Low molecullar weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch)
mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena
potensinya sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas
yang rendah dan tidak mengganggu koagulasi maka Penta starch dipilih
sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat
molekul rata-rata 35.000 dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.

Tabel Perbandingan Kristaloid dan Koloid

Keunggulan
1. Lebih mudah tersedia 1. Ekspansi volume
dan murah plasma tanpa ekspansi
2. Komposisi serupa interstitial
dengan plasma (Ringer 2. Ekspansi volume lebih
asetat/ringer laktat) besar
3. Bisa disimpan di suhu 3. Durasi lebih lama
kamar 4. Oksigenasi jaringan
4. Bebas dari reaksi lebih baik
anafilaktik 5. Insiden edema paru
5. Komplikasi minimal dan/atau edema sistemik
lebih rendah

Kekurangan
1. Edema bisa mengurangi 1. Anafilaksis

19
ekspansibilitas dinding
dada 2. Koagulopati
2. Oksigenasi jaringan 3. Albumin bisa
terganggu karena memperberat depresi
bertambahnya jarak miokard pada pasien syok
kapiler dan sel
3. Memerlukan volume 4
kali lebih banyak

Berikut ini tabel beberapa jenis cairan kristaloid dan kandungan masing-
masing :
Nama Na+ K+ Mg+ Cl- Laktat Dekstrose Kalori
produk (gr/L) (Kcal/L)
Ringer 130 4 - 109 28 - -
laktat
NaCl 154 - - 154 - - -
0,9%
Dextrose - - - - - 27 108
5%

Berikut ini tabel yang menunjukkan pilihan cairan pengganti untuk suatu
kehilangan cairan yaitu :
Kehilangan Kandungan rata- rata Cairan pengganti yang sesuai
(mmol/ L)
Na+ K+
Darah 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% /
koloid / produk darah
Plasma 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9% /
koloid
Rongga ketiga 140 4 Ringer asetat / RL / NaCl 0,9%
Nasogastrik 60 10 NaCl 0,45% + KCl 20 mEq/L
Sal. Cerna atas 110 5-10 NaCl 0,9% ( periksa K+ dengan teratur
)
Diare 120 25 NaCl 0,9% + KCl 20 mEq/L

Tatalaksana terapi cairan 4,6


 Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan
akut cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk

20
memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan luka
bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian
infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat
(RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik
bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
 Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh
dan nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35
ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan
K+ = 1 mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti
cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal,
keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan
insensible water losses. Digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu:
Rumus Holiday Segar
Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan
kandungan karbohidrat atau infus yang hanya mengandung karbohidrat
saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung karbohidrat adalah larutan
KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's dextrose, dll. Sedangkan
larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%.
Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang
antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang
ketiga, ke ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya
tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :
6-8 ml/kg untuk bedah besar.
4-6 ml/kg untuk bedah sedang.
2-4 ml/kg untuk bedah kecil.

Terapi Cairan Preoperatif


Defisit cairan dan elektrolit pra bedah dapat timbul akibat
dipuasakannya penderita terutama pada penderita bedah elektif (sekitar 6-

21
12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai penyakit
bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi
cairan pada penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya
insensible water loss akibat hiperventilasi, demam dan berkeringat banyak.
Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti dengan
rumus cairan rumatan sebelum dilakukan pembedahan.

Terapi Cairan Intraoperatif


Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung
berdasarkan kebutuhan dasar ditambah dengan kehilangan cairan akibat
pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau
evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur
pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.
a) Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis
misalnya bedah mata (ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan
cairan rumatan saja selama pembedahan.
b) Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat
diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar
ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma
pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa
cairan garam seimbang seperti Ringer Laktat.
c) Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam
untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.
Terapi Cairan Postoperatif
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
a) Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan
basal sekitar ± 50 ml/kgBB/24 jam. Penderita dengan keadaan
umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian
karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi

22
kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai
50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%.
Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan
bila perlu larutan garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung
sampai penderita dapat minum dan makan.
b) Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:
 Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 12%
setiap kenaikan 1°C suhu tubuh.
 Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung
atau muntah.
 Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui
trakeostomi dan humidifikasi.
c) Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama
pembedahan yang belum selesai. Bila kadar hemoglobin kurang
dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk
memperbaiki daya angkut oksigen.
Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan
terapi cairan tersebut. Monitoring organ-organ vital dilanjutkan
secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis,
tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas,
suhu tubuh dan warna kulit.
Prognosis terapi cairan
Pada umumnya baik, terutama jika pendapat penanganan cepat dan
adekuat. Kematian terjadi jika mempunyai penyakit dasar yang berat dan
penanganan yang tidak adekuat.

23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 IDENTITAS PASIEN


1. Nama : An. S
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Usia : 16 Tahun
4. Berat Badan : 55/’ kg
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : Pelajar
7. Alamat : Parigi
8. Tanggal Operasi : 19 Mei 2018

2.2 ANAMNESIS (Subjektif) (S)


 Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
 Riwayat Penyakit Sekarang :
12 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami kecelakan lalu
lintas saat subuh ditabrak oleh sepeda motor dan kepala terbentur.
Kronologis lengkap kejadian tidak diketahui oleh keluarga pasien. Saat
ditemukan oleh keluarga, pasien berada di rumah penduduk sekitar
lokasi kejadian, keadaan pasien sudah tidak sadar, tetapi ayah pasien
mengatakan bahwa pasien mengalami muntah 2 kali, kejang (-), dan
gangguan kesadaran (+). Saat dibawa ke Rumah Sakit Anutaloko pasien
dalam keadaan tidak sadarkan diri, kepala pasien bengkak, terdapat
memar di atas mata kanan dan kiri dahi kanan dan kiri.

 Riwayat AMPLE
o A (Alergy) : Tidak didapatkan Alergi terhadap obat, asma (-)
o M (Medication) : tidak sedang menggunakan pengobatan tertentu

24
o P (Past History of Medication) : Riwayat DM (-), HT (-), icterus (-),
riwayat penggunaan obat-obat (-).
o L (Last Meal) : Pasien terakhir makan pukul 04:00 pagi sebelum
operasi, mual (-), muntah (+)
o E (Elicit History) : Nyeri kepala yang semakin memberat SMRS

2.3 Pemeriksaan Fisik Pre Operasi (Objektif) (O)


B1 (Breath) : Airway paten, reguler, simetris, RR 34 x/menit,
pernapasan cuping hidung (+), snoring (-), stridor (-),
buka mulut lebih 3 jari, Mallampati score tidak dapat
dinilai. Auskultasi : Suara napas bronchovesiculer,
rhonki (-/-), wheezing (-/-)
B2 (Blood) : Akral hangat, nadi ireguler kuat angkat, frek
54x/menit, CRT 2” , TD: 110/58 mmHg, ictus cordis
teraba di SIC 5, S1-S2 reguler, murmur (-) gallop (-)
B3 ( Brain) : Composmentis, GCS E1V2M5, refleks cahaya +/+
(menurun)
B4 (Bladder) : BAK : kateter (+)
B5 (Bowel) : cembung (+)
B6 (Bone) : Nyeri (+), krepitasi (+) morbilitas (-), ekstremitas
deformitas (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang (Objektif) (O)


Pemeriksaan Lab
Darah : RBC : 3.56 106/mm3 WBC :13.9 103/mm3
HB : 11 g/dl HCT : 33,3 %
PLT : 113 103/mm3 HBsAg: non reaktif
GDS : 196 mg/dl
Creatinin : 1,60 mg/dl
Urea : 43,5 mg/dl
SGOT : 43 U/L
SGPT : 20 U/L
Ct Scan : Epidural Hematome

25
2.5 DIAGNOSIS (Assesment) (A)
 Ps. ASA III
 Epidural Hematome temporal dextra
 Epidural Hematoma sinistra
 Fraktur frontal
 Fraktur temporal

2.6 PERSIAPAN PRE OPERATIF (Planning) (P)


 Di Ruangan
- Surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi
(+)
- Persiapan Whoole blood (+) 1 bag
- Persiapan Packed Red cell 2 bag
- IVFD RL 500 ml
- Persiapan General Anestesi
- Teknik anestesi, General Anastesi Intubasi ETT
- Persiapan Tindakan Operatif Craniotomy evakuasi Hematome

2.7 DURANTE OPERATIF


 Di Kamar Operasi
o Persiapan dasar Intubasi
o Laringoskop
o ETT
o Introducer (stylet)
o Oral dan nasal airway
o Suction
o Assistant yang terlatih
o STATICS: Scope → stetoskop, laringoskop
Tubes → ETT (cuffed) size 6,5 mm
Airway → orotracheal airway

26
Tape → plester untuk fiksasi
Introducer → untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan
Connector → penyambung antara pipa dan ventilator
Suction → memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
o Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut, dan
EKG.
o Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi : sulfas atrofin,
lidokain, adrenalin, dan efedrin.
 Laporan Anestesi Durante Operatif
 Jenis anestesi : General anestesi dengan teknik intubasi
ETT No. 6,5
 Lama anestesi : 00.00 – (-)
 Lama operasi : 00.10 – 02.25 (2 jam 15 menit)
 Anestesiologi : dr. Sofyan Bulango, Sp.An
 Ahli Bedah : dr. Franklin Sinanu, Sp.BS
 Posisi : Supinasi
 Infus : 1 line di tangan kiri dan 1 line di kaki
kanan
 Jumlah medikasi
- Fentanyl 100 mg
- Propofol 150 mg
- Dexamethasone 2 mg
- Ranitidin 50 mg
- Ondansentron 4 mg
- Metronidazole 500 mg
- Midazolam 5 mg

27
Keterangan:
: Mulai anestesi
: Mulai operasi
: Operasi selesai

 Cairan
 Pemberian Cairan:
o Cairan masuk :
Pre-operatif kristaloid RL 500 cc
Durante operatif : Kristaloid RL 2200 cc + NaCl 0,9% 800 cc +
WB 750 cc
Total input cairan : 3.750 cc
o Cairan keluar :
Perdarahan :
kasa 4x4 (20 buah) 15 x 20 = 300 cc
Kasa lipat (1 buah )  150 x 4= 600 cc
Tabung suction + 700 cc

28
Urin : ± 100 cc

Total output cairan : Perdarahan 1.600 cc, Urin ± 100 cc


1.7 Post Operatif
1. Nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Memasang O2 2 L/menit nasal kanul.
3. Analgetik.
o Nadi : 88 x/menit
o RR: 22 x/menit
o TD: 130/80
o VAS Score: 6
4. Skor pemulihan pasca anestesi:
 Bromage Score
o Dapat mengangkat tungkai bawah : 0
o Tidak dapat menekuk lutut tapi dapat mengangkat kaki : 1
o Tidak dapat mengangkat kaki tetapi dapat menekuk lutut : 2
o Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali : 3
o Keterangan : Pasien dapat dipindah ke bangsal jika skor kurang
dari 2, akan tetapi pada pasien setelah selesai operasi langsung
dimasukkan ke ICU untuk pemantauan lebih lanjut.
 Alderete Score
o Aktivitas = Dua ekstremitas tidak dapat digerakkan (0)
o Respirasi = Dangkal namun pertukaran udara adekuat (1)
o Sirkulasi = TD ± 20% dari nilai pre anestesi (2)
o Kesadaran = sadar, siaga, orientasi (2)
o Warna kulit = pucat (1)
o Skor Pasien (6): pasien ACC dipindahkan ke ICU.

29
BAB III
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi


anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik (ASA), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan. Yaitu
general anestesi dengan intubasi.

Berdasarkan hasil pra operatif tersebut, maka dapat disimpulkan status


fisik pasien pra anestesi. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat
klasifikasi status fisik pra anestesia menjadi 5 kelas, yaitu :

ASA I : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik

ASA II : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.

ASA III : pasien penyakit bedah disertai dnegan penyakit sistemik berat yang
disebabkan oleh berbagai penyebab tetapi tidak mengancam jiwa.

ASA IV : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
secara langsung mengancam kehidupnnya.

ASA V pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperassi ataupun tidak selama 24 jam
passien akan meninggal.

ASA VI Pasien yang didiagnosis mati otak yang organ tubuhnya di keluarkan
untuk tujuan donor

Pada kasus ini, pasien perempuan usia 33 tahun dengan diagnosis G4P2A1
Gravid 34-35 minggu + Impending Eklamsia dengan rencana tindakan Sectio
Caessaria. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan
penunjang didapatkan pasien mengeluhkan nyeri kepala sejak mengalami
kehamilan, dengan tekanan darah 180/130 mmHg, serta hasil pemeriksaan

30
urinalisis yaitu adanya protein (++), maka disimpulkan keadaan umum pasien
tergolong dalam status fisik ASA II (E) karena pasien dilakukan operasi cito, E
yang berarti emergensi.

Pada pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis regional
anastesi. Adapun indikasi dilakukan regional anastesi adalah karena pada kasus
ini operasi yang dilakukan bersifat emergensi dengan puasa yang tidak adekuat,
hal ini dimaksudkan untuk menghindari aspirasi isi lambung, sehingga dapat
dilakukan proteksi lebih dini.

Secara umum indikasi bagi pelaksanaan anastesi regional adalah :5


a. Setiap prosedur, dimana anastesi local akan menghasilkan kondisi
operasi yang lebih nyaman/memuaskan.
b. Penyakit paru, dimana posisi operasi masih dapat ditolerir oleh pasien.
c. Riwayat reaksi yang tidak baik terhadap anastesi umum.
d. Operasi-operasi bersifat emergensi dengan puasa yang tidak adekuat

Beberapa kontraindikasi bagi dilakukannya spinal anastesi antara lain:

Kontraindikasi Mutlak :

a. Infeksi diarea suntikan


b. Terapi antikoagulan
c. Gangguan perdarahan
d. Hipovolemi dan syok
e. Terapi beta bloker
f. Septikemia
g. Curah jantung yang terbatas
h. Tekanan intracranial meningkat

Kontraindikasi Relatif :

a. Terapi MAOI
b. Penyakit neurologi aktif

31
c. Penyakit jantung sistemik
d. Skoliosis
e. Riwayat operasi laminektomi
Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait
tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan
fisik. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi
untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan. Pada pasien ini,
pemeriksaan fisik ataupun laboraturium tidak menunjukkan adanya gangguan
yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan.

Pada kasus ini pasien tidak dipuasakan karena operasi yang bersifat
emergensi yang apabila menilik pada teori bahwa sebelum dilakukan operasi lebih
baiknya pasien dipuasakan selama 10 jam. Tujuan puasa untuk mencegah
terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat
dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang
diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.

Adapun tindakan terapi cairan yang dilakukan pada pasien ini yaitu
sebagai berikut :

 Terapi Cairan
 BB : 64 Kg
 EBV : 65 cc/kg BB x 64 kg = 4,160 cc
 Jumlah perdarahan : ± 1.600 cc
% perdarahan : 1.600/4.160 x 100% = 38,4 %
 Pemberian Cairan:
o Cairan masuk :
Pre-operatif kristaloid RL 500 cc
Durante operatif : Kristaloid RL 2200 cc + NaCl 0,9% 800 cc +
WB 750 cc
Total input cairan : 3.750 cc

32
o Cairan keluar :
Perdarahan :
kasa 4x4 (20 buah) 15 x 20 = 300 cc
Kasa lipat (1 buah )  150 x 4= 600 cc
Tabung suction + 700 cc

Urin : ± 100 cc

 Perhitungan Cairan
Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : (4x10) + (2x10) + (1x44) = 104 ml/jam
2. Cairan defisit urin selama 3 jam 15 menit = 100 ml
3. Stress Operasi Besar : 8 cc x 64 kg = 512 ml/jam
4. Defisit darah selama 3 jam 15 menit = 1.600 ml
Jika diganti dengan cairan kolid atau darah 1:1
Jika diganti dengan cairan kristaloid 3:1
Perhitungan cairan pengganti darah :
Transfusi + 3 x cairan kristaloid = volume perdarahan
750 + 3x =1.600
3x= 850
X : 3 x 850 = 2.550 ml
Untuk mengganti kehilangan darah 1.600 cc diperlukan ± 2.550
cairan kristaloid.
Total kebutuhan cairan selama 3 jam 15 menit operasi : 100 + 512 +
2.550 = 3.162 ml
a. Cairan masuk :
 Kristaloid : 3000 mL
 Whole blood : 750
 Total cairan masuk : 3750 ml
b. Keseimbangan kebutuhan:
Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 3750 ml – 3.162 ml = 588 ml

33
Pada pasien ini diberikan obat sedatif secara intravena yaitu Propofol 70
mg I.V karena memiliki efek yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang
cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur
oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat
dicapai dalam waktu 30 detik. Sedatif Propofol ini diberikan dipertengahan saat
operasi berlangsung karena operasi yang berlanjut dengan tindakan histerektomi,
yang sudah pasti akan memperpanjang durasi operasi.

Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan


pada pemeriksaan fisik tekanan darah 130/ 90 mmHG, nadi 72 x/menit, dan laju
respirasi 20 x/menit. Pembedahan dilakukan selama 3 jam 15 menit dengan
perdarahan ± 1.600 cc. Pasien kemudian langsung dipindahkan ke ICU dengan
Bromage Score 3 dan Alderete Score 6.

34
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :

1. Pada kasus dilakukan operasi sectio caessaria dan histerektomi pada


perempuan usia 33 Tahun, dan setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, maka ditentukan status fisik ASA II E dan dilakukan jenis anestesi
dengan Regional Anestesi dengan teknik Sub Arachnoid Blok (Spinal).
2. Berdasarkan penggunaannya cairan dibagi atas beberapa golongan, yaitu
cairan pemeliharaan (maintenance),cairan pengganti puasa, cairan pengganti
operasi dan pengganti perdarahan, tetapi pada pasien ini tidak dilakukan
penggantian cairan puasa karena operasi yang emergensi dengan lama puasa
yang tidak diketahui dengan jelas.
 Kebutuhan cairan pemeliharaannya pada kasus 104 ml/jam
 Total kebutuhan cairan selama operasi 3 jam 15 menit
adalah 3.162 mL
 Perdarahan pada kasus ini adalah 1.600 cc diganti dengan
750 CC Whole blood sehingga diperlukan ± 2.550 cairan
kristaloid untuk mengganti sisanya
 Keseimbangan cairan pada kasus 588 ml

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI

2. Dobson, M. Penuntun Klinis Praktis Anastesi . EGC:Jakarta; 2015.


3. Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.
Philadelphia: LippincoETT, Williams, and Wilkins.
4. Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange
Medical Book. 2006.

5. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta


Kedokteran FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius. 2002.
6. Desai AM, General Anesthesia. Accessed on April 5 2017. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview#showall.
7. General Anesthesia. Accessed on April 4 2017. Available at
http://www.mayoclinic.com/health/anesthesia/MY00100

8. Handoko, Tony. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi


kedua. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2002.
9. Farmakologi FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2012.
10. Muhardi, M, dkk. Anestesiologi. Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia. 1989.

36

Anda mungkin juga menyukai