Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

APPENDICITIS
Kepaniteraan Klinik Bagian Bedah Umum RS Royal Prima Medan

Disusun oleh:

NITA KARMILA 133307010128


DZUL AKBAR INSANI 133307010082

Pembimbing:
dr. Johannes Apul Simarmata, Sp.B

Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Bagian Bedah Umum

Fakultas Kedokteran Universitas Prima Indonesia

Rumah Sakit Royal Prima

Medan

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Pembimbing

Dr. Johannes Apul Simarmata Sp.B

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi
kekuatan dan kesempatan serta rahmat-Nya kepada kami, sehingga referat ini
dapat terselesaikan dengan waktu yang di harapkan walaupun dalam bentuk yang
sangat sederhana, referat ini membahas tentang “Apendisitis” dan kiranya referat
ini dapat meningkatkan pengetahuan kita khususnya tentang bagaimana dalam
menegakkan diagnosa pasien dengan “Apendisitis”.
Dengan adanya referat ini, mudah-mudahan dapat membantu
meningkatkan minat baca dan belajar teman-teman. Selain itu kami juga berharap
semua dapat mengetahui dan memahami tentang materi ini, karena akan
meningkatkan mutu individu kita.
Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih sangat
minim, sehinggga saran dari doter pembimbing serta kritikan dari semua pihak
masih kami harapkan demi perbaikan referat ini. Kami ucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan referat ini.

Medan, 24 Desember 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2
2.1. Anatomi Apendiks ...................................................................... 2
2.2. Histologi Apendiks ..................................................................... 4
2.3. Fisiologi Apendiks ...................................................................... 6
2.4. Definisi Apendisitis .................................................................... 6
2.5. Epidemiologi Apendisitis............................................................ 7
2.6. Etiologi dan Patofisiologi Apendisitis ........................................ 8
2.7. Manifestasi Klinis Apendisitis .................................................... 11
2.8. Diagnosis Apendisitis ................................................................. 13
2.9. Diagnosis Banding Apendisitis ................................................... 23
2.10. Penatalaksanaan Apendisitis ..................................................... 25
2.11. Komplikasi Apendisitis............................................................. 30
2.12. Prognosis Apendisitis................................................................ 31

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 32

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan peradangan pada umbai cacing atau apendisitis


versiformis. Orang awam menyebutnya sebagai peradangan pada usus buntu.
Usus buntu ini merupakan penonjolan kecil berbentuk halus sebesar jari
kelingking yang berada di usus besar tepatnya di daerah perbatasan dengan usus.
Sesuai namanya, usus buntu merupakan benar-benar saluran usus yang ujungnya
buntu. Usus buntu ini memiliki beberapa fungsi pertahanan tubuh, namun bukan
merupakan organ yang penting.

Apendisitis merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan


beberapa indikasi untuk dilakukan operasi abdomen kegawatdaruratan. Insidensi
apendisitis akut di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus
kegawatan abdomen. Apendisitis umumnya penyakit pada usia belasan dan awal
20-an dengan penurunan setelah usia 30 tahun.

Diagnosis apendisitis harus ditegakkan dini dan tindakan harus segera


dilakukan. Keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan penyulit perforasi dengan
segala akibatnya. Peranan pemeriksaan penunjang khusunya di bidang radiologi
sangat penting untuk membantu penegakan diagnosis apendisitis sehingga
penanganan yang diberikan dapat dilakukan dengan cepat, tepat, dan akurat
berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI APENDIKS


Apendiks atau Appendix vermiformis (dari bahasa latin “worm” = cacing)
merupakan organ berbentuk tabung, penjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15
cm) yang panjangnya melekat pada sekum kurang lebih 2-3 cm di bawah ileocecal
junction di bawah valvula ileocecal, dan berpangkal di sekum (menonjol dari
dinding posterolateral sekum), yaitu pada pertemuan ketiga taenia coli: 1) Taenia
1.5.8.9
libera, 2) Taenia Colica, 3) Taenia omentum. Sekum merupakan bagian
pertama usus besar. Proksimal dimana apendiks melekat pada terminal ileum pada
usus halus berhubungan dengan sekum. Pada hubungan ini valvula ileocecal
mengatur masuknya chyme ke dalam kolon. Apendiks mempunyai mesenterium
sendiri yang disebut sebagai meso-apendiks, yang gambarannya dapat membantu
5
membedakannya dengan sekum yang tidak mempunyai mesenterium.
Apendiks lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
1
rendahnya insiden apendisitis pada usia itu.
Posisi apendiks terhadap sekum bervariasi, yaitu terdiri atas posisi
1
retrosekal (65%), antesekal, pelvinal, medial, preileal, postileal, dan lain-lain.
Pada posisinya yang normal, Appendix vermiformis terletak pada dinding
abdomen di bawah titik Mc Burney. Titik Mc Burney dicari dengan menarik garis
dari spina iliaka superior kanan ke umbilicus. Titik tengah garis ini merupakan
pangkal apendiks. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan
ini memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
1
panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens atau di tepi
1
lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.

2
Gambar 1. Tipe Lokasi Appendiks vermiformis pada system digestive

 Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontoriun sacri


 Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan
biasanya retroperitoneal.
 Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
 Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
 Pelvic descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor
 Retrocaecal : intraperitoneal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke
atas ke belakang caecum.

Gambar 2. Titik McBurney


Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan cabang
dari a.ileokolika. Arteri apendikuler ini berfungsi untuk menyalurkan darah yang
kaya akan oksigen dan nutrisi ke apendiks. Arteri ini melewati meso-apendiks dan
sampai pada bagian apendiks (terbentang dari mesenterium = meso-apendiks dan
5.8
berhubungan dengan apendiks terhadap ileum terminal. Arteri assesorius dapat

3
dipercabangkan dari a.ileokolika atau arteri sekum posterior yang mensuplai
8
sebagian terhadap apendiks. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis
1
pada infeksi, apendiks akan mengalami ganggren.

Gambar 3. Vaskularisasi Appendiks vermiformis

Gambar 4. Anatomi Appendiks vermiformis

Persyarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.


mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persyarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula
1
disekitar umbilikus.

4
2.2 HISTOLOGI APENDIKS
Banyak ahli anatomis yang berkeyakinan bahwa apendiks merupakan
struktur rudimenter (belum sempurna) pada usus besar dan tidak mempunyai
fungsi pada manusia. Ahli anatomi lainnya cenderung tidak setuju sebab Appendix
vermiformis pada bayi dan anak-anak terbentuk baik dan mempunyai gambaran
histologikal yang dibangun dengan baik sebagai organ lymphoid. Hal ini diyakini
bahwa Appendix vermiformis mempunyai peranan penting dalam fungsi immune
yang sampai sekarang belum ditemukan. Yang jelas bahwa Appendix vermiformis
5
tidak memperlihatkan fungsi digestive pada manusia.

Gambar 5. Histologi Appendiks vermiformis

 Tunika mucosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.


 Tunika submucosa : banyak folikel lymphoid.
 Tunika muscularis : stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale
( gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.
 Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum
visceral
Secara histologi, lapisan dari Appendix vermiformis sesuai dengan lapisan
yang pada usus besar dimana terdiri atas tunika mukosa, lamina propria, tunika
5.9
submukosa, dan tunika muskularis. Sama seperti mukosa pada usus besar
(sekum/ kolon). Pada lamina propria terlihat penuh diisi oleh jaringan limfatis
yang terdiri atas aggregasi limfosit, scattered limfosit (limfosit yang tersebar-

5
sebar) dan folikel limfoid sehingga terlihat seolah-olah mengelilingi mukosa
secara utuh, pada beberapa tempat terlihat jaringan limfatis ini menembus
5.9
muskularis mukosa dan masuk ke dalam submukosa. Pada tunika submukosa
terdiri atas anyaman penyambung padat dengan sedikit jaringan limfatis, tunika
muskularis terdiri dari lapisan dalam yang serat ototnya berjalan sirkuler dan
9
bagian luar berjalan longitudinal, pada apendiks tidak dijumpai tenia koli.
Lumen di luar tunika mukosa, lamina propria, tunika submukosa, tunika
muskularis, dan tunika adventisia, tidak ditemukan adanya glandula digestive atau
5
duktus sekretorius untuk produksi dari enzim pencernaan dan fungsi pencernaan.
Bagaimanapun, semua setuju bahwa pemotongan Appendix vermiformis
tidak memperlihatkan adanya kehilangan fungsi dari sistem digestive maupun
5
sistem imun seseorang.

2.3 FISIOLOGI APENDIKS


Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum. Hambatan
1
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.

Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated


lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,
ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.

Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu


setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa
dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada
jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.5

6
2.4 DEFINISI APENDISITIS
Apendisitis merupakan peradangan pada Appendix vermiformis sebagai
penyebab abdomen akut yang paling sering dimana memerlukan tindakan bedah
mayor segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Penyakit ini
dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, akan tetapi
sebagian besar kasus ditemukan pada usia antara 20 sampai dengan 30 tahun
1.2
dimana lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan perempuan.
1
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Sebagai faktor pencetus
berupa penyumbatan pada lumen appendiks, berupa hiperplasia folikel limfoid,
fekalith, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
3
neoplasma.
Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus dan
periumbilikus dimana nyeri tersebut akan beralih ke kuadran kanan bawah yang
selanjutnya menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga
3
keluhan berupa anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Sekali diagnosis apendisitis dibuat, penderita disiapkan untuk menjalani
pembedahan, dan apendiks dengan segera dibuang setiap saat, siang atau malam.
Bila pembedahan dilakukan sebelum ruptur dan tanda-tanda peritonitis terjadi,
perjalanan pasca bedah umumnya tanpa komplikasi, dan penderita dikeluarkan
11
dari rumah sakit dalam beberapa hari.

2.5 EPIDEMIOLOGI APENDISITIS


Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada negara
1
berkembang. Di Amerika Serikat apendisitis berlangsung pada 7% populasi, yaitu
sekitar 1,1 kasus per 1000 penduduk dalam setahunnya. Secara internasional
insiden apendisitis jarang ditemukan pada mereka yang mempunyai kebiasaan
4
mengkonsumsi serat.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, dimana lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan perempuan,
yaitu sebesar 57% kasus ditemukan pada laki-laki dan 43% kasus menyerang

7
2.5
perempuan. Insiden tertinggi ditemukan pada kelompok umur antara 20 sampai
dengan 30 tahun, dimana puncaknya terdapat pada usia kurang dari 20 tahun, 80%
5.7
pada mereka dengan usia kurang dari 50 tahun, setelah itu menurun.
Meskipun jarang, pernah dilaporkan kasus apendisitis neonatal dan
1
prenatal. Pasien dengan usia yang lebih dari 60 tahun dilaporkan sebanyak 50%
7
meninggal akibat apendisitis. Penelitian menunjukkan bahwa apendisitis
supurative akut sebenarnya berbeda dengan apendisitis akut, dimana insiden
apendisitis supuratif akut dapat mengenai semua umur, sedangkan pada
14
apendisitis akut sebagian besar mengenai usia puberitas.

2.6 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI APENDISITIS


Penyebab apendisitis berhubungan dengan blokade (sumbatan/ obstruksi)
pada lumen apendiks. Secara umum penyebab obstruksi pada lumen apendiks
adalah pengentalan mucus, feses (fekalith), calculus, tumor, atau worm ball
(Exyuriasis vermicularis) yang selanjutnya mengeras dan dapat dilihat sebagai
5
struktur yang disebut sebagai appendicolith.

Gambar 6. Menunjukkan perubahan pada Appendix vermiformis yang


menyebabkan akut apendisitis. Gambar kiri menunjukkan pembengkakan
apendiks yang menempel pada sekum. Gambar kanan menunjukkan appendicolith
yang menyumbat lumen apendiks.

8
Biasanya, infeksi bakteri dan virus pada traktus digestive berperan
terhadap pembengkakan nodus limfoid, dimana akan menekan apendiks dan
menyebabkan obstruksi. Pembengkakan tersebut dikenal sebagai hyperplasia
limfoid. Luka traumatik pada abdomen mungkin berperan terhadap terjadinya
apendisitis pada sebagian kecil orang. Genetik mungkin sebagai faktor lainnya,
dimana sebagai contohnya apendisitis dapat ditemukan pada keluarga dengan
varian genetik dimana seseorang cenderung untuk mengalami obstruksi pada
2
lumen apendiks. Obstruksi ini berakibat buruk pada apendiks karena fisiologi
normal sekresi musinous oleh mukosa ke dalam lumen dapat menyebabkan
5
edema.

Obstruksi lumen (fekalit, tumor, dan lain-lain)

Mukus yang diproduksi mukosa akan mengalami bendungan

Peningkatan tekanan intra lumen/ dinding apendiks

Aliran darah berkurang

Edema dan ulserasi mukosa Apendisitis akut fokal

Terputusnya aliran darah Nyeri epigastrium


(nyeri viseral)
Obstruksi vena, edema bertambah
dan bakteri menembus dinding

Peradangan peritonium Apendisitis supuratif akut

Aliran arteri terganggu Nyeri di daerah kanan


bawah (nyeri somatik)

Infark dinding apendiks

9
Ganggren Apendisitis ganggrenosa

Dinding apendiks rapuh perforasi

Infiltrat Apendisitis perforasi

Infiltrat periapendikularis

Obstruksi lumen apendiks tersebut oleh apendikolith menyebabkan mukus


yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
3
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal.
Peningkatan tekanan intraluminal selanjutnya akan menyebabkan
penekanan pada pengaliran vena apendiks. Dimana vena apendiks menjadi kolaps
sehingga tekanannya menjadi berkurang untuk pengaliran vena, di samping itu
juga menyebabkan tidak efektifnya pengaliran limfatik. Perubahan siklus dinamik
ini menyebabkan iskemia pada apendiks. Beberapa kondisi tersebut
mempermudah invasi bakteri (diapedesis bakteri) pada dinding lumen yang
selanjutnya berkembang proses inflamasi. Inflamasi ini merupakan promotor
terhadap terjadinya edema dan eksudasi yang menyebabkan pembengkakan hebat
3.5
dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang
3
ditandai dengan nyeri epigastrium.
Yang selanjutnya seperti lingkaran setan, dimana apabila tidak diobati
maka sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan invasi bakteri yang lebih hebat dan menembus dinding,
3.5
iskemia dan inflamasi hebat, serta pembengkakan yang lebih hebat. Peradangan
yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut sebagai apendisitis supuratif
3
akut. Apendisitis supuratif akut sebagian besar berhubungan dengan obstruksi
14
lumen apendiks oleh fekalith atau hiperplasia.

10
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
3.5
yang diikuti dengan terbentuknya gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis ganggrenosa. Bila dinding yang telah rapuh tersebut pecah, akan
terjadi apendisitis perforasi, pengeluaran pusnya ke dalam rongga peritoneum
yang mengakibatkan peritonitis dan dapat berkembang menjadi septisemia dan
2.3.5
menyebabkan kematian.
Patologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian melibatkan
1
seluruh lapisan dinding abdomen dalam waktu 24-48 jam pertama. Bila semua
proses tersebut berjalan lambat maka usaha pertahanan tubuh adalah membatasi
proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau
adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal
dengan istilah infiltrate apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan
berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan
1.3
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
3
darah.
Penelitian apidemiologik menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan
higiene seseorang mempengaruhi terjadinya apendisitis. Berdasarkan Medical
Journal of Australia, “Teori Diet”, khususnya konsumsi serat yang tidak cukup,
telah meningkatkan pelaporan geografi penyakit tersebut, tetapi tidak secara
12
penuh menjelaskan epidemiologinya. Insiden apendisitis sedikit pada mereka
yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi makanan yang tinggi serat. Diet tinggi
serat akan menurunkan viskositas dari feses, menurunkan bowel transit time, dan
mengecilkan formasi fekalith yang membuat individu cenderung mengalami
4
obstruksi pada lumen apendiksnya.

11
2.7 MANIFESTASI KLINIS APENDISITIS
Gejala apendisitis akut dapat dibedakan ke dalam dua tipe, yaitu gejala
tipikal dan gejala atipikal (Hobler, K. 1998).Gejala tipikal meliputi nyeri samar-
samar dan tumpul yang bermula pada umbilikus atau periumbilikus sebelum
terlokalisir pada fossa iliaca kanan (sebelah kanan bawah abdomen). Nyeri
biasanya berhubungan dengan penurunan nafsu makan (74-78% kasus), demam,
mual (61-92% kasus), dan muntah (50% kasus) yang dapat berlangsung atau
tidak. Ketika muntah berlangsung, beberapa saat kemudian selalu diikuti oleh
sakit perut yang hebat. Pada saat muntah mendahului terjadinya nyeri ini
2.4
menunjukkan bahwa terjadi obstruksi pada usus.
Gejala atipikal muncul dalam 2-12 jam dimana nyeri berpindah ke perut
kanan bawah ke titik Mc Burney, nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat, yang bersifat menetap dan
1.12
diperberat bila berjalan atau batuk. Tidak semua orang yang menderita
2
apendisitis mengalami semua gejala tersebut.
Variasi letak Appendix vermiformis, umur pasien, serta beratnya inflamasi
4
membuat gejala dari apendisitis tidak konsisten. Bila letak apendiks retrosekal
retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan
bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri
lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi
1
m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi
1.4
peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. Disamping itu
peradangan apendiks dekat dengan vesika urinaria maupun ureter dapat
menyebabkan gejala iritasi, hematuri atau pyuria. Cystitis pada pasien laki-laki
jarang hadir. Cystitis pada pasien laki-laki dipertimbangkan jika terjadi inflamasi
4
apendiks dekat dengan pelvis.

12
Pada pengamatan jasmani: untuk apendisitis akut tampak penderita yang
kesakitan, jalannya agak membungkuk ke depan. Tampak perut agak tegang.
Nyeri tekan di perut atas tetapi lebih jelas nyeri tekan dan nyeri lepas di perut
kanan bawah. Sedangkan untuk apendisitis kronik tidak nampak penderita yang
kesakitan. Tetapi pada perabaan perut teraba nyeri tekan di perut atas, dan lebih
15
jelas nyeri tekan dan nyeri lepas di perut kanan bawah.
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis
diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi 80-90% apendisitis baru diketahui
1
setelah terjadi perforasi.
1. Tanda Awal :
Nyeri dimulai di epigastrium atau di region umbilicalis disertai mual dan
anoreksia
2. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik Mc.Burney :
 Nyeri tekan
 Nyeri lepas
 Defans muskuler
3. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung :
 Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
 Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg)
 Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti nafas dalam,
berjalan, batuk, atau mengedan.

13
2.8 DIAGNOSIS APENDISITIS
Diagnosis apendisitis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis,
dan pemeriksaan penunjang lainnya.

2.8.1 Anamnesis
Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis suatu penyakit.
Hampir 80% diagnosis penyakit dapat ditegakkan melalui anamnesis. Dalam
kasus apendisitis, seorang dokter akan mengajukan banyak pertanyaan antara lain:
Keluhan utama ? Dialami sejak kapan ? Lokasinya ? Pola nyeri ? Berat ringannya
gejala ? Kondisi medik lainnya ? Riwayat penyakit dalam keluarga ? Riwayat
pengobatan ? Riwayat penyakit sebelumnya ? Riwayat penggunaan alkohol,
2
merokok ?
Pada umumnya pada kasus apendisitis, pasien datang dengan keluhan
utama nyeri perut kanan bawah dengan sifat nyeri samar-samar dan tumpul yang
bermula pada umbilikus atau periumbilikus sebelum terlokalisir pada fossa iliaca
kanan (sebelah kanan bawah abdomen) yang diikuti oleh anoreksia, nausea, dan
2.4
muntah. Pada kasus apendisitis akut yang klasik gejala-gejala ini umumnya
berlangsung lebih dari 1-2 hari, yang dalam 2-12 jam dimana nyeri berpindah ke
perut kanan bawah ke titik Mc Burney, nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas
letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat, yang bersifat menetap dan
1.11.12
diperberat bila berjalan atau batuk. Sementara pada kasus apendisitis kronis
1
terdapat riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu.
Sangat penting untuk menanyakan riwayat penyakit sebelumnya, riwayat
penyakit dalam keluarga, riwayat pengobatan maupun riwayat penggunaan
alkohol maupun merokok, disebabkan banyak gangguan lain yang juga
memberikan gambaran klinis akut abdomen yang harus dibedakan dengan
2.11
apendisitis akut.

14
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
A. Palpasi
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan bisa
1.4
disertai nyeri lepas (ditemukan pada 96% pasien), tapi ini tidak spesifik. Nyeri
tekan perut kiri bawah ditemukan hanya pada pasien dengan situs inversus atau
anatomi apendiks yang panjang sampai pada kuadran perut kiri bawah, hal ini
4
jarang. Defans muskuler menunjukkan
adanya rangsangan peritoneum parietal.
Nyeri tekan perut kanan bawah ini
merupakan kunci diagnosis. Pada
penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri di perut kanan bawah
2.4.12
yang disebut tanda Rovsing.

Pada apendisitis retrosekal atau


retroileal diperlukan palpasi dalam untuk
1
menentukan adanya nyeri. Dapat pula
ditemukan nyeri perut kanan bawah apabila
tekanan di perut kiri bawah dilepaskan yang
1
disebut sebagai tanda Blumberg.

B. Perkusi
Didapatkan nyeri ketok pada perut kanan bawah, ini menandakan terjadi
2
proses inflamasi pada apendiks.

C. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus
1
paralitik dapat hilang pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.

15
Pemeriksaan fisis lainnya yang perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis antara lain melalui pemeriksaan colok dubur, pemeriksaan
1.2..4.12
uji psoas, maupun pemeriksaan uji obturator.
 Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan
nyeri bila di daerah infeksi bisa dicapai dengan
jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika.
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering
meragukan maka kunci diagnosis adalah nyeri
1
terbatas pada saat dilakukan colok dubur.

 Pemeriksaan uji Psoas


Uji psoas merupakan pemeriksaan
yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak
apendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi
sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi
panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
1.2.4
menempel pada m.psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
4
Uji psoas ini ditemukan pada sebagian kecil pasien dengan apendisitis akut. Uji
12
psoas dilakukan pada apendiks yang letaknya retrosekal.
 Pemeriksaan uji Obturator
Uji obturator digunakan untuk
melihat apakah apendiks yang meradang
kontak dengan m.obturator internus
2
yang merupakan dinding panggul kecil.
Gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang akan
menimbulkan nyeri pada apendiks
1.4
pelvis.

16
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis
klinis apendisitis akut masih mungkin salah sekitar 15-20% kasus. Untuk
menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut bila diagnosis
meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan
1
pengamatan setiap 1-2 jam. Kesulitan untuk mendiagnosis apendistis akut ini
dapat pula dipermudah dengan melakukan beberapa pemeriksaan penunjang,
antara lain terdiri atas pemeriksaan labolatorium (pemeriksaan darah rutin, kimia
darah, urinalisis, C-Reactive Protein), pemeriksaan radiologi, dan tes lainnya
4
(Clinical Score).

A. Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan darah rutin biasanya digunakan untuk melihat ada tidaknya
1
infeksi, seperti peningkatan jumlah leukosit. Akan terjadi leukositosis ringan
(10.000-20.000/ml) pada 80-85% pada pasien dewasa, yang disertai dengan
peningkatan jumlah netrofil lebih dari 75% berlangsung pada 78% pasien, terlebih
1.3.4
pada kasus dengan komplikasi. Demam ditemukan pada 4% pasien dengan
apendisitis akut dimana jumlah sel darah putihnya kurang dari 10.000/ml dan
4
netrofil kurang dari 75%.
 Pemeriksaan Kimia Darah
Pemeriksaan kimia darah mahal, dan penemuannya tidak spesifik.
Pemeriksaan kimia darah ini biasanya memperlihatkan adanya dehidrasi, atau
2
kelainan elektrolit maupun cairan.
 Pemeriksaan Urinalisis
Pemeriksaan urine juga perlu dilakukan untuk membedakannya dengan
2.3
kelainan pada ginjal dan saluran kemih, misalnya infeksi traktus urinarius. Satu
studi pada 500 pasien dengan apendisitis akut menampakkan adanya gejala traktus
urinarius seperti disuria dan nyeri panggul kanan. Satu dari tujuh pasien
mengalami puyria dengan 10 Leukosit/LPB, dan satu dari enam pasien ditemukan

17
lebih dari 3 eritrosit/LPB. Seorang dokter mungkin melakukan pemeriksaan
urinalisis untuk melihat kehamilan pada seorang wanita dalam usia subur (mereka
2
yang mempunyai periode menstruasi yang teratur).
 Pemeriksaan C-Reactive Protein
C-Reactive Protein (CRP) merupakan reaktan yang dihasilkan oleh hati
yang merespon terhadap infeksi bakteri. Level serum meningkat setelah 6-12 jam
pada inflamasi akut jaringan. Spesifitas 50-87%. Tiga studi pada orang dewasa
dengan kombinasi leukosit <10.500/ml, neutrofil <75%, dan CRP normal (99-
4
100%), memberikan hasil negative terhadap apendisitis akut.

B. Pemeriksaan Radiologi
 USG Abdomen
USG abdomen merupakan metode lainnya yang digunakan untuk
mengevaluasi apendisitis. Terutama digunakan pada anak-anak, pasien yang
kurus, dan kadang-kadang efektif digunakan pada wanita hamil. Meskipun CT-
Scan merupakan pemeriksaan gold standar radiologi untuk mendiagnosis
apendisitis, akan tetapi terdapat beberapa alasan mengapa USG-Abdomen
dipertimbangkan dalam mendiagnosis, antara lain : 1) Biaya lebih murah, 2)
Aman digunakan pada wanita hamil, 3) dan tersedia di institusi kesehatan
5
lainnya.
Beberapa studi mengemukakan bahwa USG abdomen memiliki sensitifitas
85-90% dan spesifitas 92-96%. Lima studi mengemukakan bahwa USG abdomen
pada anak-anak memiliki sensitifitas sebesar 85-95% dan spesifitas antara 47-
96%. Dan satu studi mengemukakan bahwa pada pasien geriatrik dengan perforasi
apendisitis, dengan pemeriksaan USG abdomen memiliki sensitifitas 35% dan
4
spesifitas 98%.

18
Gambar 7. menunjukkan adanya abses pada apendiks melalui
pemeriksaan USG-abdomen longitudinal

Gambar 8. Menunjukkan apendisitis yang ditandai dengan adanya cairan yang


mengisi apendiks (tengah gambar) dan penebalan dinding apendiks
5
Beberapa keuntungan USG abdomen pada kasus apendisitis, antara lain :
 Tidak invasif
 Waktu lebih singkat
 Tidak membutuhkan kontras
 Dapat lebih mudah pada anak kecil yang banyak bergerak
 Pemaparan terhadap radiasi lebih sedikit
 Mempunyai kemampuan yang besar untuk menemukan penyebab
nyeri perut lainnya seperti kista ovarium, kehamilan ektopik, atau
abses tuba ovarium).

19
 Apendikografi
Pemeriksaan apendikografi tidak mempunyai peran diagnosis dalam kasus

appendisitis. Kontra indikasi dari pemeriksaan ini pada pasien dengan peritonitis

dan curiga perforasi. Nonfilling apendiks merupakan tanda nonspesifik karena

appendiks yang tidak terisi kontras dapat terjadi pada ±10-20% pada orang

normal. Keuntungan dari pemeriksaan ini dapat untuk menegakkan diagnosis

penyakit lain yang menyerupai apendisistis. Kerugian pemeriksaan ini adalah

tingginya hasil nondiagnostik, eksposi radiasi, sensitivitas yang tidak tinggi,

pemeriksaan ini tidak cocok untuk pasien gawat darurat. Pemeriksaan

apendikografi sekarang jarang dilakukan dalam kasus appendisitis pada era

sonografi dan CT scan.

Temuan appendikografi pada appendisitis:

- Non filling appendiks

- Irregularitas nodularitas dari appendiks yang memberikan gambaran

edema mukosa yang disebabkan oleh karena inflamasi akut.

- Efek massa pada sekum serta usus halus yang berdekatan.

Gambaran pengisian penuh dengan kontras pada apendiks, apendiks normal.

Dari pemeriksaan menggunakan barium, kriteria diagnosis appendisitis :

(1) non filling apendiks dengan desakan local sekum; (2) pengisian dari apendiks

dengan penekanan local pada sekum ; (3) nonfilling apendiks dengan adanya

20
massa pelvis (kabur pada kuadran bawah kanan dengan perubahan letak usus

halus akibat desakan); (4) pola mukosa apendiks irregular dengan terhentinya

pengisian.

Gambaran foto oblique superior kanan abdomen dengan barium enema


single kontras. Tampak Sekum (C) dan appendix yang mengalami osifikasi
dan kontur yang ireguler (tanda panah).

 CT-Scan Abdomen
CT-Scan abdomen merupakan
Gold Standar bagi pemeriksaan radiologi
yang penting dalam mengevaluasi pasien
apendisitis dengan gejala yang tidak khas
terutama mereka yang tidak jelas
anamnesis dan pemeriksaan fisis (CT-
Scan abdomen jarang digunakan pada
wanita yang hamil maupun anak-anak
mengingat efek radiasi yang
4.12
ditimbulkan).

Keuntungan dari CT-Scan


abdomen meliputi sensitifitas dan akurasi
yang tinggi dibandingkan dengan tehnik

21
pemeriksaan radiologi lainnya (sensitifitas dan spesifitas CT-Scan abdomen
4.12
hampir sama yaitu mencapai 95% = sensitivitas: 94%, spesifitas: 95%) , dalam
hal ini CT-Scan abdomen lebih akurat dibandingkan dengan USG abdomen untuk
4
mendiagnosis apendisitis pada orang dewasa dan anak remaja. Keuntungan
lainnya CT-Scan tidak invasive, dan mempunyai potensi untuk mengevaluasi
4.5
kelainan akut abdominal lainnya. Kerugiannya antara lain pasien akan terpapar
oleh radiasi, berpotensi untuk menimbulkan reaksi anafilaktik pada pemakaian
kontras intravena, waktunya lebih lama jika digunakan kontras melalui mulut, dan
4
pasien akan merasa tidak nyaman jika digunakan kontras melalui rektum.
CT-Scan abdomen merupakan metode yang dapat digunakan untuk
6
membedakan periappendiks flegmon dengan abses.
 Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen merupakan pemeriksaan radiologi yang dapat
menunjukkan adanya obstruksi usus atau perforasi, benda asing dan pada kasus
1.6
yang jarang dapat memperlihatkan adanya apendikolith pada apendiks. Adanya
apendikolith pada pasien dengan gejala apendisitis yang jelas adalah besar
kemungkinan merupakan apendisitis, tetapi ini hanya berlangsung pada beberapa
4
kasus (10% kasus).

Gambar 9. Menunjukkan adanya air fluid level dengan suspek


appendicitis atau obstruksi usus halus. Tidak terdapat efek massa atau
apendikolith pada area apendiks. Gambaran radiologi ini tidak menyingkirkan
adanya apendisitis tetapi kemungkinan adanya nyeri abdomen.

22
Gambar 10. Menunjukkan foto polos abdomen posisi supine yang diambil pada
pasien dengan keluhan utama nyeri perut kanan bawah yang hebat. Adanya lesi
pada tulang panggul kanan yang mungkin menyebabkan nyeri. Foto polos
abdomen dapat digunakan untuk mengevaluasi kasus lain yang yang
menyebabkan nyeri akut maupun kronik abdomen.

C. Clinical Diagnostic Score


Pemeriksaan lainnya yaitu melalui sistem skoring. Yang terkenal adalah
yang dikenal dengan istilah MANTRELS Score (Skor Alvarado).

Characteristic Score

M = Migration of pain to the RLQ 1

A = Anorexia 1
N = Nausea and vomiting 1
T = Tenderness in RLQ 2
R = Rebound pain 1
E = Elevated temperature 1
L = Leukocytosis 2
S = Shift of WBC to the left 1
Total 10
Nilai :
– <4 : bukan
– 4-7 : ragu-ragu (observasi)
– >7 : appendisitis akut (operasi dini)

23
2.9 DIAGNOSIS BANDING

Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai


1
diagnosis banding. Gastroenteritis adalah kelainan yang sering dikacaukan
dengan apendisitis. Pada kelainan ini muntah dan diare lebih sering. Demam dan
leukosit akan meningkat jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul.
Lokasi nyeri tidak jelas dan berpindah-pindah. Hiperperistaltik merupakan gejala
yang khas. Gastroenteritis biasanya berlangsung akut, suatu observasi berkala
3
akan dapat menegakkan diagnosis.

Tabel . Diagnosa Banding Apendisitis

1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering
ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan
appendisitis.

24
2. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai
dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan
disertai dengan perasaan mual-muntah.
3. Ileitis akut
Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak
jarang anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi,
appendiktomi insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang
membingungkan.
4. DHF
Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni,
leukopeni, rumple leed (+), hematokrit meningkat.
5. Peradangan pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau
adnecitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat
kontak sexual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri
perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada
colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri.
6. Kehamilan ektopik
Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan
perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina
didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas, dan pada
kuldosentesis akan didapatkan darah
7. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi
kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan
dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan
gejala-gejala appendisitis.

25
8. Batu ureter atau batu ginjal
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal
kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto
polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit
tersebut.

2.10 PENATALAKSANAAN APENDISITIS


Pada penatalaksanaan pasien dengan apendisitis beberapa hal yang perlu
dilakukan antara lain: 1) Penatalaksanaan sebelum operasi, 2) Operasi
apendektomi, 3) Penatalaksanaan pascaoperasi 4) Penatalaksanaan gawat darurat
3
non-operasi.

2.10.1 Penatalaksanaan Sebelum Operasi


Penatalaksanaan pada pasien apendisitis dimulai dengan memelihara
pasien dari makanan maupun minuman apapun sebagai persiapan operasi. Drips
intravena untuk hidrasi pasien. Antibiotik diberikan secara intravena seperti
cefuoxamine dan metronidazole untuk membunuh bakteri dan mengurangi infeksi
12
perut maupun komplikasi postoperative pada luka di perut. Antibiotik yang
4
digunakan merupakan antibiotik gram negative spektrum luas dan anaerobik.
Bagaimanapun secara umum, apendisitis tidak dapat diobati hanya dengan
2
pemberian antibiotik saja, tetapi memerlukan operasi.
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis
seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan.
Pasien diminta tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila
dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan
abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang
secara periodik. Foto abdomen dan torak tegak dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan
dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya
3
gejala.

26
2.10.2 Operasi Apendiks
Pembedahan pada kasus apendisitis akut dilakukan oleh ahli bedah dengan
mengangkat apendiks. Pada operasi ini diperlukan kerja sama dengan ahli
anestesi, dan biasanya anestesi yang digunakan dapat berupa anestesi umum jika
lambung kosong (tidak terisi makanan sejak 6 jam yang lalu), dapat pula dengan
12
menggunakan anestesi spinal. Operasi dapat saja dengan membuat insisi kecil
pada perut bagian bawah (apendektomi) atau dengan menggunakan laparoskop
yaitu membuat insisi kecil sebanyak tiga atau empat buah. Pada kasus lain yang
dicurigai apendisitis dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan laparoskopi.
Laparoskopi lebih disukai pada operasi terbuka karena insisi lebih kecil sehingga
luka yang dihasilkan sedikit, waktu perawatan di rumah sakit lebih cepat, dan
2.4
nyeri lebih sedikit. Kerugiannya yaitu membutuhkan biaya yang lebih mahal,
dan waktu operasi kira-kira 20 menit lebih lama dibandingkan dengan open
4
apendektomi. Pembedahan laparoskopi dikenal juga sebagai minimally invasive
surgery (MIS), bandaid surgery, atau keyhole surgery, atau pinhole surgery yang
merupakan tehnik operasi modern pada abdomen dengan membuat insisi kecil
17
(biasanya 0.5-1.5cm).
Operasi laparoskopi apendektomi ini berhasil kira-kira 90% pada
apendisitis perforasi. Kontraindikasinya pada pasien dengan intra-abdominal
4
adhesi yang signifikan.
Apendektomi direncanakan pada infiltrate periapendikuler tanpa pus yang
telah ditenangkan. Sebelumnya pasien diberikan antibiotik kombinasi yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8
minggu kemudian, dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan
penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang
1
menjadi abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.

27
SERI APENDEKTOMI

Appendix terinfeksi

Lokasi Insisi Apendektomi

Prosedur Insisi Apendektomi

Post Operasi Apendektomi

28
Open Appendectomy

Pada apendektomi, untuk mencapai apendiks ada tiga cara yang secara
tehnik operatif mempunyai keuntungan dan kerugian :
 Insisi menurut Mc Burney (grid incision atau muscle splitting incision).
Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada garis yang
menghubungkan SIAS (Spina Iliaka Anterior Superior) dengan umbilicus
pada batas sepertiga lateral (titik Mc Burney). Sayatan ini mengenai kutis,
subkutis, dan fasia. Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut
arah serabutnya, setelah itu akan tampak peritoneum parietal (mengkilat dan
berwarna biru keabu-abuan) yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum.
Sekum dikenali dari ukurannya yang lebih besar, mengkilat, lebih
kelabu/putih, dan tidak mempunyai haustrae dan taenia koli. Basis apendiks
3
dicari pada pertemuan ketiga taenia koli.
Tehnik inilah yang paling sering digunakan karena keuntungannya tidak
mungkin terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi
minimum pada alat-alat tubuh, dan masa istirahat pasca bedah yang lebih
pendek karena penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan
operasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan
3
operasi dapat diperluas dengan memotong otot secara tajam.
 Insisi menurut Roux (Muscle cutting incision). Lokasi dan arah sayatan sama
dengan Mc Burney, hanya sayatannya langsung menembus dinding otot perut
tanpa memperdulikan arah serabut sampai tampak peritoneum.
Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah diperluas,

29
sederhana, dan mudah. Kerugiannya bahwa diagnosis harus tepat sehingga
lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah
sehingga pendarahan lebih banyak, masa istirahat pasca operasi lebih lama
karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih
sering, kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi, dan masa penyembuhan
3
lebih lama.
 Insisi Pararektal. Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m.rectus
abdominis dextra secara vertical dari cranial ke kaudal sepanjang 10 cm.
Keuntungannya, tehnik ini dapat dipakai pada kasus-kasus apendisitis yang
belum pasti dan kalau perlu sayatan dapat diperpanjang dengan mudah.
Sedangkan kerugiannya, sayatan ini tidak secara langsung mengarah ke
apendiks atau sekum, kemungkinan memotong saraf dan pembuluh darah
3
lebih besar, dan untuk menutup luka operasi diperlukan jahitan penunjang.

2.10.3 Penatalaksanaan Pascaoperasi


Pascaoperasi apendektomi, perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital
untuk mengetahui terjadinya perdarahan dalam, syok, hipertermia, atau gangguan
pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi
cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Selama itu pasien
dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau
peritonitis umum, maka pasien dipuasakan terus sampai fungsi usus kembali
normal. Kemudian berikan minum mulai dari 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu
naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari
berikutnya diberikan makanan lunak. Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan
untuk duduk ditempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien dapat
duduk dan berdiri di luar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan
3
diperbolehkan pulang.

30
2.10.4 Penatalaksanaan Gawat Darurat Non-Operasi
Bila tidak ada fasilitas bedah, berikan penatalaksanaan seperti dalam
peritonitis akut. Dengan demikian, gejala apendisitis akut akan mereda, dan
3
kemungkinan terjadinya komplikasi akan berkurang.

2.11 KOMPLIKASI APENDISITIS


Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi
penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecendrungan untuk menjadi
3
progresif dan perforasi. Komplikasi apendisitis yang paling sering adalah ruptur.
Ruptur terjadi apabila apendisitis tidak didiagnosa dan ditangani dengan cepat dan
tepat.

Mereka yang beresiko tinggi mengalami ruptur apendiks adalah bayi, anak-
anak, dan mereka yang lebih tua. Ruptur ini dapat berkembang menjadi abses dan
peritonitis. Peritonitis merupakan infeksi yang sangat berbahaya, dimana terjadi
perforasi sehingga bakteri dan bagian lainnya bocor ke dalam rongga perut. Pada
beberapa pasien peritonitis ini menyebabkan kegagalan organ dan terjadi
2
kematian.

2.12 PROGNOSIS APENDISITIS


Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi yaitu peritonitis. Serangan
berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminology apendisitis
3.12
kronik sebenarnya tidak ada. Waktu penyembuhan bergantung pada usia,
kondisi pasien, keadaan gizi, komplikasi dan berbagai kondisi lainnya (konsumsi
alkohol), tetapi biasanya penyembuhannya berlangsung antara 10-28 hari. Untuk
anak-anak yang usianya lebih muda (sekitar 10 tahun) penyembuhan berlangsung
kira-kira 3 minggu. Seorang dokter menganjurkan agar pasien tidak
12
mengkonsumsi alkohol setelahnya.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Jong de Wim, Sjamsuhidajat.Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum.


th
In; R. Sjamsuhidajat, Wing de Jong, editors. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2 ed.
Jakarta. Buku Kedokteran EGC; 2002. 639-46
2. Anonyma. Appendicitis. Available from URL;
http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=57743. Last
update July 22, 2007.
3. Mansjoer Alif. Bedah Digestif. In; Arif Mansjoer, Suprohaita, Wahyu Ika
th
Wardhani, Wiwiek Setiowulan, editors. Kapita Selekta Kedokteran. 3 ed.
Jakarta. Media Aesculapius FKUI; 2000. 307-13.
4. Craig Sandy. Appendicitis, acute. William Lober, MD, Francisco Talavera,
PharmD, PhD, Eugene Hardin, MD, John Halamka, MD, Jonathan Adler, MD,
editors. Available from URL; http://www.emedicine.com/emerg/topic41.htm.
Last up date July 22, 2007.
5. Joseph Nicholas, Garrett James. Radiography of Acute Appendicitis. Nicholas
Joseph, James Garrett, editors. Available from URL;
http://www.ceessentials.net/article17.html. Last up date July 22, 2007.
6. Yamada Tadataka. Approach to The Patient with Acute Abdomen. In;
Tadataka Yamada,M.D, David H.Alpers,M.D, Neil Kaplowitz, M.D, Loren
Laine,M.D, Chung Owyang,M.D, Don W.Powell,M.D, editors.
th
Gastroenterology. 4 ed. USA. Wolters Kluwer Company; 2003. 818.
7. Lipsky S. Martin. Abdominal Pain in Adults. In; Martin S.Lipsky,M.D,
Richard Sadovsky,M.D, editors. Gastrointestinal Problems. USA. Wolters
Kluwer Company, 2000. 3, 9, 11, 14, 17.
8. Long Sarah Melanie. The Intestine. Daniel Horton-Szar, Paul M Smith,
st
editors. Gastrointestinal System. 1 ed. USA. Mosby; 2002. 119.
9. Lianury N Robby. Usus Besar. Robby N Lianury. Histologi Sistem
Gastrohepatologi. Makassar. FKUH. 2002. 23.

32
10. Anonyma. Appendectomy Series. Available from URL;
http://health.allrefer.com/health/appendectomy-appendectomy-series-2.html.
Last up date July 22, 2007.
11. Price A. Sylvia, Wilson M. Lorraine. Lambung dan Duodenum. In; Sylvia
th
Anderson Price, Lorraine McCaerty Wilson, editors. Patofisiologi. 4 ed.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002. 401-2.
12. Hobler. Appendicitis. Available from URL;
http://en.wikipedia.org/wiki/Vermiform_appendix. Last up date July 22, 2007.
13. Anonyma. Human Anatomy. Available from URL;
http://www.factmonster.com/ce6/sci/A0804398.html. Last up date July 22,
2007.
14. Hobler E Kirtland, MD. Acute and Suppurative Appendicitis: Disease
Duration and its Implications for Quality Improvement. Available from URL;
http://xnet.kp.org/permanentejournal/spring98pj/appendicitis.html. Last up
date July 22, 2007.
15. Hadi Sujono. Nyeri Epigastrik; Penyebab dan Pengelolaannya. Available
from URL;
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/03_NyeriEpigastrik.pdf/03_NyeriEpigas
trik.html. Last up date July 22, 2007.
16. Forbes Alastair. Colon II. In Alastair Forbes, JJ. Misiewicz, Carolyn C Compton,
Marc S Levine, M Shafi Quraishy, Stephen E Rubesin, Paul J Thuluvath. Atlas of
th
Clinical Gastroenterology. 4 ed. USA. Elsevier Mosby; 2005. 188-9.
17. Anonyma. Laparoscopic Surgery. Available from URL;
http://en.wikipedia.org/wiki/Laparotomy. Last up date July 22, 2207.
18. Labeda Ibrahim. Akurasi Diagnosis Apendisitis Akut berdasarkan Sistem Skor
Kalesaran Mei-Oktober 1998. In: dr Ibrahim Labeda, SpB-KBD, dr. Murni A.
Rauf, SpB-KBD, dr.Djumadi Achmad, Sp.PA, dr. Nadjib Bustan, dan dr. John
Pieter, editors. Kumpulan Makalah Ilmiah Sebagai Peserta Program Pendidikan
Dokter Spesialis I Ilmu Bedah FK-UH. 1999.

33

Anda mungkin juga menyukai