Anda di halaman 1dari 13

KELOID

BAB I

PENDAHULUAN

Keloid merupakan lesi yang menebal, meninggi serta meluas melebihi batas luka yang
ditandai dengan adanya produksi serat kolagen yang berlebihan serta hiperplasia fibroblas.
Keloid tampak secara klinis berupa nodul, berwarna hiperpigmentasi atau merah muda
sampai kecoklatan dengan batas tegas. Permukaan biasanya halus dan mengkilat dengan tepi
rata, namun dapat ireguler. Predileksi keloid pada tempat-tempat tegangan kulit yang tinggi
seperti pada sternum, bahu, mandibular dan lengan. Kelainan ini lebih sering mengenai ras
kulit hitam dan lebih banyak terjadi pada remaja dan dewasa muda antara usia 10 sampai 30
tahun.1

Saat ini, terdapat berbagai modalitas terapi yang tersedia untuk tata laksana keloid.
Banyak modalitas terapi yang tersedia untuk keloid, salah satunya adalah injeksi steroid
intralesi. Modalitas terapi ini biasanya digunakan sebagai terapi lini pertama maupun terapi
preventif yang biasanya dikombinasikan dengan tindakan bedah. Masing-masing terapi
menunjukkan kelebihan dan kekurangan. Pilihan terapi untuk keloid dapat dibagi menjadi
metode bedah atau nonbedah yang terdiri atas gel silikon, kompresi perban, injeksi
kostikosteroid intralesi, penggunaan imiquimod, bleomisin, pembedahan eksisi, radioterapi,
cryoterapi dan laser.1,2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Keloid adalah tonjolan atau tumor yang padat lunak, dengan permukaan licin serta
terkadang terdapat telangiektasia, berkembang melebihi batas luka dan menginvasi jaringan
normal yang berdekatan. Keloid merupakan lesi yang menebal, meninggi serta meluas
melebihi batas luka yang ditandai dengan adanya produksi serat kolagen yang berlebihan
serta hiperplasia fibroblas. Lesi keloid timbul setelah terjadi trauma, inflamasi,
pembedahan atau luka bakar pada individu dengan predisposisi. Keloid jarang mengalami
regresi sehingga seringkali memberikan dampak sosial dan psikologis pada individu
dengan keloid. Predileksi keloid pada tempat-tempat tegangan kulit yang tinggi seperti
pada sternum, bahu, mandibular dan lengan. 1
Keloid dibedakan menjadi keloid minor dan keloid mayor. Keloid minor yaitu adanya
suatu parut yang abnormal dengan ukuran kecil yang akan bertambah tinggi dan tidak
mengalami regresi serta ia berkembang satu tahun setelah terjadi cidera. Sedangkan untuk
keloid mayor memiliki pertumbuhan tinggi yang lebih dari 0,5 cm dalam perjalanan waktu
dengan rasa gatal dan nyeri mulai dari lokasi luka sampai melewati pada area normal.3
2.2 Epidemiologi
Di negara berkembang, dalam 1 tahun terdapat 100 juta penderita yang mengeluhkan
jaringan parut; 80 juta mengalami jaringan parut hipertrofik akibat pembedahan elektif atau
trauma, sedangkan 15 juta penderita mengeluh keloid akibat luka bakar ataupun sebab
lainnya.4 Secara epidemiologi keloid paling banyak terjadi usia 10 sampai 30 tahun,
namun jarang terjadi pada usia muda dan usia tua. Tidak ada perbedaan kejadian antara
pria dan wanita. Perkembangan keloid disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan.
Insiden yang lebih tinggi terlihat pada individu berkulit gelap keturunan Afrika, Asia, dan
Hispanik. 3
Riwayat keloid pada keluarga akan meningkatkan insidens keloid. Gen yang diduga
memiliki peran terjadinya keloid adalah HLA-B14, HLA-B21, HLA-BW16, HLA-BW35,
HLA-DR5, dan HLA-DQW3. Keloid dapat terjadi pada semua ras, kecuali albino, dan ras
kulit hitam memiliki risiko hingga 15 kali lebih besar. Angka kejadian keloid lebih tinggi
pada saat masa pubertas dan kehamilan, dan menurun pada masa menopause. Hormon
juga diduga menjadi penyebab. Diduga ada peranan sel mast pada terjadinya keloid. 5
2.3 Etiologi
Etiologi keloid masih belum diketahui sepenuhnya. Keloid lebih sering dialami oleh
orang kulit hitam. Perbedaan jenis kelamin tidak terbukti sebagai faktor predisposisi
keloid. Diduga ada faktor genetik yang berperan. Studi Genome Wide Association
Studies (GWAS) di Jepang yang melibatkan 824 pasien dengan keloid dibandingkan
dengan 3205 pasien kontrol memperlihatkan polimorfisme pada empat nukleotida tunggal
pada tiga regio kromosom (1q41, 3q22.3-23, 15q21.3). Lokus 1q41 dan 15q21 terbukti
sebagai faktor predisposisi genetik pada pembentukan keloid. 2
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Jannah dkk mengatakan bahwa distribusi
penyebab keloid tertinggi pada oleh karena adanya trauma sebesar 28,15% utamanya
akibat kecelakaan lalu lintas yang memberikan lesi pada kulit yang cukup besar sehingga
menjadi predileksi timbulnya keloid dengan ukuran yang rata-rata >10 cm. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang telah dilakukan Fania Wardani pada 2018 yang juga menyatakan
bahwa kasus penyebab tertinggi oleh karena trauma. Disusul dibawahnya oleh karena
paska bedah (18,44%), luka bakar (17,47%), serta kasus keloid oleh karena idiopatik
(tidak diketahui penyebabnya) sebesar 11,65%. Kasus idiopatik ini diduga karena trauma
kecil yang tidak disadari oleh pasien seperti misalnya bekas garukan, folikulitis dan
gigitan serangga. Orang yang memiliki kecenderungan memiliki keloid ketika ada trauma
kecil sudah dapat menimbulkan timbulnya keloid tersebut. 6
2.4 Patofisiologi
Proses penyembuhan luka terjadi melalui 3 fase yang kompleks dan tumpang tindih,
yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, serta fase penggantian jaringan (remodelling).
Proses inflamasi diawali dengan hemostasis, yaitu pembentukan clot oleh benang-benang
fibrin yang dimediasi oleh platelet. Platelet nantinya juga akan menghasilkan mediator-
mediator untuk menarik makrofag serta fibroblas ke daerah luka. Fase proliferasi meliputi
re-epitelialisasi atau pembentukan dan penyusunan epitel baru oleh keratinosit,
angiogenesis, serta pembentukan kolagen dan matriks ekstraseluler. Makrofag, melalui
aktivasi dari platelet derived growth factor (PDGF) dan transforming growth factor beta-1
(TGFB-1) menginduksi proliferasi fibroblas yang kemudian menghasilkan kolagen tipe
III (fibroplasia) untuk pemadatan luka. Fase remodelling merupakan penggantian dari
kolagen tipe III menjadi tipe I yang lebih kuat, hingga terjadi perbandingan 4:1 (seperti
pada kulit normal). Pada awalnya koordinasi ikatan kolagen belum beraturan, pada fase
remodelling, susunan kolagen lebih teratur. Kondisi ini menyebabkan kekuatan jaringan
kulit baru meningkat. Terbentuknya jaringan parut hipertrofik akibat pengulangan fase
penyembuhan luka dari awal sehingga terjadi penumpukan matriks ekstraseluler yang
berlebihan. Sedangkan pada keloid, faktor penyebab utamanya bukan hanya
penyembuhan luka yang tidak optimal, melainkan faktor genetik/ras serta lebih banyak
terjadi pada kulit yang berwarna gelap. Dengan demikian, luka kecil tanpa komplikasi
pun dapat berkembang menjadi keloid. 4
2.5 Gejala Klinis
Keloid dapat timbul segera setelah trauma atau beberapa tahun setelah trauma muncul
dari skar matur.5 Secara klinis keloid berupa nodul, berwarna hiperpigmentasi atau merah
muda sampai kecoklatan dengan batas tegas. Permukaan biasanya halus dan mengkilat
dengan tepi rata, namun dapat ireguler. 1
Keluhan utama pasien datang pada umunya karena gangguan kosmetik, namun keloid
juga dapat disertai gejala kemerahan, gatal, nyeri, rasa terbakar, dan penonjolan reguler
maupun ireguler. Tempat predileksi tersering adalah cuping telinga, dada, bahu, dan
perut.2
2.6 Diagnosis banding
Parut hipertrofik dan keloid merupakan jenis jaringan parut abnormal. Kedua jenis
parut abnormal ini memiliki tampilan klinis yang dapat dibedakan. Selain tampilan klinis,
perbedaan keduanya dapat dilihat secara histologis. Pada jaringan parut hipertrofik,
penumpukan kolagen tersusun paralel pada lapisan epidermis, sedangkan pada keloid,
penumpukan kolagen tidak beraturan serta ditemukan jumlah pembuluh darah yang lebih
banyak dibandingkan parut hipertrofik. Jaringan parut hipertrofik dan keloid masing-
masing memiliki dua subtipe. Parut hipertrofik dibedakan menjadi parut linear dan difus,
sedangkan keloid dibagi menjadi keloid minor dan mayor. Parut linear berbentuk garis
memanjang berwarna kemerahan disertai rasa gatal, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tindakan pembedahan. Jaringan parut difus berbentuk lebar dan terjadi pada kasus
luka bakar.4
Gambaran histopatologis, pada skar hipertrofik ditemukan gambaran terorganisir,
kolagen tipe III yang paralel epidermis, terdapat nodul mengandung miofibroblas dan banyak
mengandung asam mukopolisakarida. Ekspresi ATP rendah. Sedangkan pada keloid
ditemukan gambaran tidak terorganisir, luas, tebal. Kolagen tipe I&III tanpa nodul atau
miofibroblas. Vaskularisasi sangat buruk. Ekspresi ATP tinggi.5

2.7 Tatalaksana keloid


Saat ini terdapat berbagai macam pengobatan untuk keloid, namun belum ada pengobatan
tunggal yang terbukti paling efektif.7 Angka keberhasilan lebih tinggi bila dilakukan terapi
kombinasi. Keterlambatan proses epitelisasi hingga 10-14 hari meningkatkan angka kejadian
scar hipertrofik/keloid. Lokasi, ukuran, kedalaman luka, usia pasien, dan keberhasilan terapi
sebelumnya merupakan pertimbangan klinisi untuk menentukan terapi. 5 Monstrey S, et al,
mengelompokkan tatalaksana untuk mencegah dan mengobati jaringan parut abnormal secara
invasif dan non-invasif, baik yang sudah direkomendasikan maupun yang masih dalam
proses investigasi. Terapi konservatif non-invasif merupakan terapi awal untuk seluruh jenis
jaringan parut, namun efektivitasnya dalam terapi dan pencegahan rekurensi keloid dikatakan
masih belum optimal.4
 Terapi Non-Invasif
Pencegahan dimulai dari terapi konvensional non-invasif seperti, moisture
balance, menghindari sinar UV, serta pemberian silicone gel sheet dengan atau tanpa
terapi kompresi. Evaluasi parut harus dilakukan dalam 4-8 minggu setelah
pembedahan untuk memastikan apakah terapi lanjutan perlu dilakukan. 4
a. Terapi tekan
Efektivitas dari terapi tekan ini masih kontroversial. Mekanisme kerja yang
diharapkan adalah dengan pemberian tekanan, maka sintesis kolagen menurun
karena terbatasnya suplai darah dan oksigen, serta nutrisi ke jaringan scar dan
apoptosis diharapkan meningkat. Tekanan kontinu (15-40 mmHg) diberikan
minimal 23 jam dan/atau 1 hari selama minimal 6 bulan atau selama scar masih
aktif. Terapi ini terbatas karena sering menyebabkan maserasi, eksema, ataupun
bau tidak sedap karena penggunaan bahan kain. Terapi tekan biasanya berhasil
lebih baik pada anak-anak. 5
Terapi tekan/kompresi ini menggunakan pressure garment (pada area luka luas)
atau tapping berfungsi untuk mencegah terjadinya regangan berlebihan pada luka
serta memberikan kondisi hipoksia, sehingga mampu menekan sintesis kolagen.4
b. Silicone Gel Sheeting
Silicone gel sheeting bekerja dengan cara meningkatkan temperatur parut 1-2
derajat dari suhu tubuh, keadaan ini akan meningkatkan aktivitas kolagenase.
Penggunaan dianjurkan ≥12 jam dan/ atau 1 hari dimulai sejak 2 minggu pasca
penyembuhan luka. Penggunaan silicone sheet ini lebih disukai pada area yang
sering bergerak.5
Kondisi lembap sangat bermanfaat untuk akselerasi penyembuhan luka serta
terapi parut. Moisturizer serta silicone gel sheet mampu mencegah penguapan dan
dehidrasi pada luka ataupun parut. Selain itu, silicone gel mampu meningkatkan
suhu pada parut, kondisi ini meningkatkan aktivitas kolagenase untuk mendegradasi
kolagen.4
 Terapi invasif
a. Pemberian kortikosteroid intralesi
Pemberian kortikosteroid intralesi dianggap sebagai terapi andalan untuk
keloid. Kortikosteroid bekerja mensupresi proses inflamasi luka. Selain itu,
kortikosteroid mampu mengurangi sintesis kolagen dan glikosaminoglikan,
menghambat pertumbuhan fibroblas, dan meningkatkan degradasi kolagen dan
fibroblas. Jenis kortikosteroid yang sering digunakan adalah triamcinolone
acetonide 10-40 mg/mL (disesuaikan dengan ukuran parut serta usia pasien) yang
disuntikkan ke papilla dermis tiap 2-4 minggu dapat dilakukan hingga 6 bulan
memberikan hasil yang cukup baik, pada kasus tertentu terkadang dibutuhkan
tambahan sesi. Efek samping pemberian steroid ini adalah atrofi, depigmentasi,
teleangiektasis kulit dan rasa nyeri di area penyuntikan. 4,5
Walaupun 50 - 100% pasien memberikan respons, 9-50% mengalami
rekurensi. Injeksi kortikosteroid dapat dikombinasikan dengan terapi lain seperti
pembedahan, pulse-dye laser, radiasi, injeksi 5-FU, dan krioterapi sehingga
mampu meningkatkan respons terapi, menurunkan tingkat rekurensi serta
menurunkan efek samping kortikosteroid intralesi. 4
b. Terapi bedah
Tindakan bedah untuk revisi jaringan parut diindikasikan jika parut menetap
(setelah tindakan prevensi) selama lebih dari 1 tahun. Hal ini karena kolagen
pada jaringan parut akan mengalami pematangan dan mencapai kekuatan
regangan (70-80% kulit normal) dalam 12-18 bulan setelah terjadi luka. Jika
revisi dilakukan sebelum terjadi pematangan serta mencapai kekuatan regangan,
risiko terjadi parut yang buruk meningkat. Walaupun demikian, pada kasus
jaringan parut menyebabkan kontraktur, revisi dengan pembedahan dini bisa
dipertimbangkan. Penanganan kontraktur pasca-luka bakar pada dada dan ketiak
lebih optimal jika dilakukan flapping dibandingkan penggunaan skin graft. 4
Eksisi untuk revisi jaringan parut dapat dilakukan secara bertahap/intralesi
ataupun total. Eksisi intralesi biasanya untuk keloid yang memiliki tingkat
rekurensi tinggi dengan menyisakan tepi jaringan parut yang kemudian akan
ditutup secara primer dengan teknik jahit subkutan untuk mengurangi regangan
jaringan. Diharapkan dengan pengurangan ukuran lesi, terapi tambahan injeksi
kortikosteroid dapat lebih efektif. Prosedur ini dapat diulangi 3-6 bulan setelah
eksisi pertama jika ukuran keloid cukup besar. Sebaliknya, pendapat lain
mengatakan bahwa tepi bagian jaringan parut yang disisihkan memiliki aktivitas
kolagen lebih tinggi. Eksisi total dapat melalui beberapa desain, seperti elips, z
plasty, w plasty, Geometric Brokenline Closure dilanjutkan dengan penutupan
primer, skin grafting, atau flap. Revisi dengan pembedahan cukup sering
dilakukan, namun karena tingginya tingkat rekurensi pasca-pembedahan, revisi
keloid biasanya dikombinasi dengan beberapa prosedur lain, seperti terapi
radiasi, injeksi kortikosteroid intralesi, ataupun terapi adjuvan lain. Agbenorku
menunjukkan bahwa “triple therapy” pembedahan, triamcinolone, dan silicone
sheet menunjukkan respons sebanyak 80% dengan tingkat rekurensi 12,5%. 4
c. Terapi non-bedah
1. Laser
Berdasarkan studi meta-analisis, jika dibandingkan dengan jenis laser lain,
penggunaan pulse dye laser 585-nm menunjukkan bukti klinis kuat untuk terapi
jaringan parut. Penggunaan PDL sebagai terapi tunggal menghasilkan perbaikan
sebanyak 57-83%, konsistensi jaringan parut lebih lunak, ukuran parut
mengecil, gatal, serta eritema berkurang.4
Terapi 585-nm pulse dye laser (PDL) memberikan hasil yang cukup
baik. Tanpa overlap, dengan fluence 6,0-7,5 J/cm2 (7 mm spot) atau 4,5-5,5
J/cm2 (10 mm spot) sangat dianjurkan untuk terapi scar hipertrofik ataupun
keloid. Untuk hasil maksimal, sebaiknya terapi diulang hingga 2-6 kali.
Dengan panas yang merusak kolagen, terapi 585 nm PDL dapat membentuk
kolagenesis baru, namun efek samping yang dapat muncul yaitu
hipo/hiperpigmentasi serta blister. Sering terjadi purpura pasca-terapi yang
bertahan hingga 7-10 hari. 4
Terapi 1064-nm Neodym: YAG Laser juga memberikan hasil yang
cukup baik. Mekanisme kerjanya serupa dengan PDL, tetapi Nd:YAG
mampu menembus jaringan lebih dalam, sehingga sangat baik untuk terapi
keloid yang tebal. Ditemukan perbaikan pigmentasi, vaskularisasi, dan
ukuran scar setelah 5-10 terapi dengan interval 1-2 minggu menggunakan
fluence rendah. 5
2. Radioterapi
Superficial x-rays, electron-beam therapy, dan brachytherapy dosis rendah
atau tinggi memberikan hasil yang cukup baik. Radioterapi menghambat
neovaskular dan proliferasi fibroblas, sehingga produksi kolagen menurun.
Terapi sebaiknya dimulai sejak 24-48 jam pasca-tindakan eksisi dengan dosis
total 40 Gy untuk mencegah efek samping seperti hipo- atau hiperpigmentasi,
eritema, telangiektasis, dan atrofi.5
Radioterapi bekerja menekan proliferasi fibroblas dan pembentukan
kolagen, serta meningkatkan apoptosis sel pada dosis 15-30 gy yang
diberikan sebanyak 6 sesi segera setelah pembedahan. Terapi ini cukup
efektif sebagai terapi kombinasi dengan pembedahan pada keloid yang
menetap, walaupun respons terapi sebagai terapi tunggal masih
kontroversial. Namun demikian, terapi ini kurang disarankan pada anak-anak
karena risiko kanker lebih besar. 4
3. Cryoterapi
Terapi berbasis suhu rendah (krioterapi) menunjukkan hasil klinis
cukup baik pada parut yang kecil dan parut hipertrofik, dibandingkan dengan
keloid. Krioterapi internal dengan memasukkan metal rod ke dalam keloid
akan menciptakan suhu rendah yang ekstrim sehingga menyebabkan nekrosis
jaringan. Pada studi Har-Shai Y, et al, pemberian satu kali krioterapi intralesi
menghasilkan penurunan volume parut sebanyak 54% tanpa rekurensi dalam
18 bulan. 4
Dapat digunakan sebagai terapi tunggal ataupun kombinasi dengan terapi
injeksi kortikosteroid untuk hasil lebih maksimal. Untuk kombinasi terapi,
disarankan cryotheraphy terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan injeksi
triamcinolon acetonide. Cryotherapy menyebabkan kerusakan vaskular,
sehingga terjadi anoksia dan nekrosis jaringan.5
4. Injeksi Intralesi
- Beberapa injeksi intralesi lain adalah verapamil, 5-FU, bleomisin, serta
intraferon alfa-2b. Walaupun respons dari terapi-terapi ini sebanding atau
superior dibandingkan kortikosteroid, terapi paling optimal untuk keloid
masih belum dapat ditentukan. Namun, terapi kombinasi lebih disarankan
dari terapi tunggal. Verapamil serta 5-FU sering dipilih untuk
menghindari efek samping atrofi dan telangiektasis akibat kortikoteroid
atau pada parut yang resisten kortikosteroid. Berikut penjelasannya: 4
- Verapamil merupakan calcium antagonist yang bekerja pada parut
dengan menurunkan produksi kolagen dan meningkatkan proses fibrinase.
Dosis pemberiannya 0,5-5 mL (2,5 mg/mL) selama periode 2 bulan,
disesuaikan dengan ukuran keloid.
- Kombinasi kortikosteroid dan 5-FU bukan hanya meningkatkan respons
terapi, namun dapat menurunkan efek samping kortikosteroid. 5-
Fluorouracil (5-FU) Zat kemoterapi kanker ini bekerja dengan cara
meningkatkan apoptosis fibroblas. Dosis pemberian 5-FU adalah 0,5-2
mL/ minggu selama 12 minggu. Injeksi 5-FU intralesi (50 mg/mL) setiap
minggu selama 12 minggu berhasil mengurangi ukuran scar hingga 50%
pada rata-rata pasien tanpa kegagalan dan rekuren dalam 24 bulan
kemudian. Efek samping yang mungkin muncul adalah nyeri, ulserasi, dan
sensasi terbakar.
- Injeksi Interferon (IFN) Merupakan terapi yang cukup potensial karena IFN
mampu mengurangi sintesis kolagen tipe I dan III. Secara spesifik INF-α2b
memiliki efek antagonis terhadap TGF-β dan histamin. Interferon alfa 2a
intralesi 1,5x106 IU 2 kali sehari dalam 4 hari memberikan respons klinis
yang lebih baik, mampu mereduksi ukuran scar hingga 50% di hari ke 9
serta penurunan rekurensi pascarevisi pembedahan dibandingkan injeksi
kortikosteroid. Efek samping yang sering muncul adalah flu like symptoms
dan nyeri di area penyuntikan.
- Injeksi bleomisin 1,5 IU.mL dengan tusukan berulang menunjukkan
perbaikan sebanyak 84%. Bleomycin sulfate bekerja menghambat langsung
sintesis kolagen melalui mekanisme penghambatan terhadap stimulasi TGF-
β1. Penyuntikan intralesi sebanyak 3-5 kali dalam 1 bulan telah terbukti
menurunkan 69,4% keloid. Efek samping hiperpigmentasi dan atrofi dermal.
Walaupun cukup menjanjikan tetapi masih dibutuhkan penelitian lebih
lanjut.
d. Terapi lainnya
Beberapa terapi alternatif lain yang masih dikembangkan, yaitu Platelet Rich
Plasma (PRP), calcineurin inhibitors, retinoic acid, tamoxifen, avotermin (human
recombinant TGF-B3 derivate), anti-TGF-B, depigmentasi, serta imiquinod dan
tacrolimus topikal. 4

Gambar 1. Pedoman tatalaksana keloid. 4


BAB III

KESIMPULAN

Keloid merupakan masalah kulit yang dapat muncul akibat baru pasca-pembedahan,
trauma, ataupun luka bakar. Keloid merupakan hasil dari pertumbuhan berlebih jaringan ikat
yang melewati batas awal luka. Pemahaman akan mekanisme penyembuhan luka, serta
pengenalan risiko terjadinya parut abnormal dapat menurunkan risiko timbulnya parut
sebelum, saat, dan setelah terapi pembedahan atau perawatan luka. Terdapat berbagai pilihan
modalitas terapi yang tersedia untuk tatalaksana keloid. Hingga saat ini, belum ada terapi
tunggal yang menunjukkan respons klinis dan pencegahan rekurensi optimal, sehingga terapi
kombinasi masih menjadi pilihan. Respons serta penurunan rekurensi dari terapi kombinasi
masih sangat bervariasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pratiwi IAI, Wardhana M. Keloid aurikularis dekstra yang diterapi kombinasi eksisi intralesi
dan injeksi kortikosteroid dengan anestesi tumesen: sebuah laporan kasus. Intisari Sains
Medis. 2020; 11(2)
2. Bahat A, Krisanti RIA. Tata laksana laser pada keloid. MDVI. 2019; 46(4)
3. Komalasari KW, dkk. Keloid yang diterapi dengan kombinasi bedah eksisi dan injeksi
kortikosteroid intralesi: sebuah laporan kasus. Intisari Sains Medis. 2022; 13(3)
4. Primasari M. Pencegahan dan tatalaksana jaringan parut abnormal. CDK-283. 2020; 47(2)
5. Sinto L. Scar hipertrok dan keloid: patosiologi dan penatalaksanaan. CDK-260. 2018;
45(1)
6. Jannah AR, Listyawan MY, Perdanakusuma DS. Epidemiologi keloid di rsud dr. soetomo
surabaya periode 2017 – 2018. Jurnal Kesehatan Soetomo. 2021; 8(2)
7. Ojeh N, Bharatha A, Gaur U. Keloids: current and emerging therapies. Scars, Burns &
Healing. 2020; 6(1)

Anda mungkin juga menyukai