Anda di halaman 1dari 30

Referat

DROWNING

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik SeniorBagian/SMF Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
RSUD Cut Meutia Aceh Utara

Disusunoleh:
Muchtar Ridha, S.Ked
140611015

DokterPembimbing:
dr. Dicky, Sp.An

BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RSU CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas

berkat dan hidayah-Nya sehingga makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada

waktunya.

Pada makalah ini, kami menyajikan teori mengenai drowning. Adapun

tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik

Anestesi Rs Cut Meutia Kota Lhokseumawe.

Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan pula terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada dr. Dicky Sp.An, atas kesediaan beliau sebagai

pembimbing dalam penulisan makalah ini. Besar harapan kami, melalui makalah

ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai drowning semakin bertambah.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,

baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan

segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

demi perbaikan makalah ini.Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai

pihak baik secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih.Semoga

makalah ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan

khususnya bidang kesehatan.

Lhokseumawe, September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ..............................................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................1


1.1. Latar Belakang ......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................3
2.1. Definisi Tenggelam...............................................................................3
2.2. Mekanisme Tenggelam .........................................................................4
2.3. Klasifikasi Tenggelam ..........................................................................7
2.3.1. Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru ....................................7
2.3.2. Berdasarkan Lokasi Tenggelam.....................................................8
2.3.3. Klasifikasi Lain ..............................................................................9
2.4. Cara Kematian ......................................................................................10
2.5. Patofisiologi ..........................................................................................11
2.7 Tatalaksana................................................................................................25
BAB 3 KESIMPULAN ............................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Tenggelam adalah bentuk kematian akibat asfiksia karena terhalangnya

udara masuk ke dalam saluran pernafasan yang disebabkan tersumbatnya oleh

cairan. Terhalangnya udara masuk ke paru paru tidak perlu orang harus terbenam

ke air, tetapi tertutup saluran nafas atas oleh cairan cukup untuk membuatnya mati

tenggelam (Amri.A, 2017).

Tenggelam adalah kematian akibat mati lemas (asfiksia) disebabkan

masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan. Pada umumnya tenggelam

merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung maupun karena ada faktor-

faktor tertentu seperti korban dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat,

bahkan bisa saja dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan..

Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi

cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke

dalam cairan (FKUI, 2013).

Setiap tahun, sekitar 150.000 kematian dilaporkan di seluruh dunia akibat

tenggelam,dengan kejadian tahunan mungkin lebih dekat ke 500.000.Menurut

WHO, pada tahun 2004, 388.000 orang meninggal akibat tenggelam (WHO,

2013) .Beberapa negara terpadat di dunia gagal untuk melaporkan insiden hampir

tenggelam.Ini menyatakan bahwa banyak kasus tidak pernah dibawa ke perhatian

medis, kejadian di seluruh dunia membuat pendekatan akurat yang hampir

mustahil.Mayoritas (sekitar 96%) kematian akibat tenggelam terjadi pada negara

4
yang berpenghasilan rendah dan menengah. 60% kematian akibat tenggelam

terjadi di kawasan Pasifik Barat dan Asia Tenggara. Di seluruh dunia, anak di

bawah 5 tahun merupakan tingkat usia dengan mortalitas akibat tenggelam

tertinggi( WHO, 2013)

Sedangkan pada data yang diperoleh dari RS. Dr. Soetomo Surabaya

didapatkan 23 orang meninggal karena tenggelam mulai bulan Januari 2011

hingga September 2011. Sedangkanpada 4 tahun terakhir didapatkan 93 kasus

meninggal sejak Januari 2007 hingga Desember 2010 (Wilianto, W, 2012)

Pada penelitian yang dilakukan di manado ditemui dari kelompok usia,

kematian dengan asfiksia terbanyak dialami pada kelompok usia 17-25 tahun

yaitu sebanyak 7 kasus (33.3%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh (Khalil et al, 2014) , yang mendapatkan angka kematian terbanyak pada

kelompok usia remaja akhir sampai dewasa muda sebesar 64.5%. Hasil penelitian

ini menunjukkan bahwa kematian dengan asfiksia terbanyak ialah laki-laki

sebanyak 17 kasus (65%) sedangkan perempuan sebanyak 9 kasus (35%). Hal ini

sejalan dengan penelitian (Khalil et al, 2014) yang melaporkan bahwa kematian

dengan asfiksia jauh lebih banyak pada laki-laki dengan jumlah 2.839 kasus

dibandingkan perempuan dengan jumlah 426 kasus dari total 3.265 kasus

(Rey,Nikita.2017)

Pada kasus mati tenggelam ini bisa mengetahui serta memperkirakan cara

kematian mayat yang terendam dalam air, diperlukan pemeriksaan luar dan dalam

pada tubuh korban serta pemeriksaan tambahan lain sebagai penunjang seperti

pemeriksaan getah paru untuk penemuan diatom, pemeriksaan darah secara kimia

5
(Gettler test),pemeriksaan histopatologi dan penentuan berat jenis plasma untuk

menemukan tanda intravital tersebut. Hal tersebut tidak mudah, terutama bagi

mayat yang telah lama tenggelam, atau pada mayat yang tidak lengkap, atau

hanya ada satu bagian tubuhnya saja (Kumari, Mayuri, 2016)

6
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Tenggelam


Tenggelam adalah bentuk kematian akibat asfiksia karena terhalangnya

udara masuk ke dalam saluran pernafasan yang disebabkan tersumbatnya oleh

cairan. Terhalangnya udara masuk ke paru paru tidak perlu orang harus terbenam

ke air, tetapi tertutup saluran nafas atas oleh cairan cukup untuk membuatnya mati

tenggelam (Amri.A, 2017)

Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi

cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh

kedalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan

gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian

(Onyekwelu, 2014)

Mekanisme lain menyebutkan karena ketidakseimbangan elektrolit serum

yang mempengaruhi fungsi jantung (refleks kardiak) dan bisa juga disebabkan

karena laringospasme sebagai akibat refleks vagal (FKUI, 2013).

Adapun faktor resiko yang menyebabkan terjadinya tenggelam ini merupakan

banyak fakotr yang menyebabkan. Beberapa faktor yang menyebabkannya ialah

usia, orang yang menggunakan napza dan konsumsi alkohol, musim, serta jenis

air di mana para korban ditemukan (Razch, Efelin, 2015)

7
2.2. Mekanisme Tenggelam
Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat

spasme laring, asfiksia karena gagging dan choking, refleks vagal, fibrilasi

ventrikel (air tawar), dan edema pulmoner (dalam air asin) (FKUI,2013)

1. Refleks Vagal

Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post mortem tidak

ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam paru-parunya

sehingga sering disebut tenggelam kering (dry drowning).

2. Spasme Laring

Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang

sekali terjadi. Spasme laring tersebut disebabkan karena rangsangan air yang

masuk ke laring. Pada pemeriksaan post mortem ditemukan adanya tanda-tanda

asfiksia, tetapi paru-parunya tidak didapati adanya air atau benda-benda air

(Dahlan, 2000)

3. Pengaruh air yang masuk paru-paru

Hipoksia dan asidosis serta efek multiorgan dari proses ini yang

menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada tenggelam. Kerusakan sistem saraf

pusat dapat terjadi karena hipoksemia yang terjadi karena tenggelam (kerusakan

primer) atau dari aritmia, gangguan paru, atau disfungsi multiorgan (Cantwell PG,

2013).

Pada peristiwa tenggelam di air tawar akan menimbulkan anoksia disertai

gangguan elektrolit. Cairan yang teraspirasi dan terdapat pada paru-paru

menghasilkan vasokonstriksi dan hipertensi yang diperantarai oleh nervus vagus.

8
Air tawar berpindah lebih cepat dari membran kapiler-alveoli ke mikrosirkulasi.

Ini akan mengakibatkan hemodilusi dan hemolisis.Dengan pecahnya elektrolit

maka ion kalium intrasel akan terlepas sehingga menimbulkan hiperkalemia yang

akan mempengaruhi kerja jantung (terjadi fibrilasi ventrikel). Pemeriksaan post

mortem ditemukan tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl jantung kanan lebih tinggi

dari jantung kiri dan adanya buih serta benda-benda air pada paru-paru.Selain itu,

air tawar cenderung lebih hipotonik dibandingkan plasma dan menyebabkan

gangguan surfaktan alveoli. Hal ini akan menyebabkan instabilitas alveoli,

atelektasis, dan penurunan komplians paru (Cantwell PG, 2013).

Pada peristiwa tenggelam di air asin, akan mengakibatkan terjadinya

anoksia dan hemokonsentrasi. Air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam

jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema paru, hemokonsentrasi,

dan hipovolemia. Tidak terjadi gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan post

mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl pada jantung kiri

lebih tinggi daripada jantung kanan dan ditemukan buih serta benda-benda air.

Dibandingkan dengan tenggelam pada air tawar, kematian pada tenggelam di air

asin prosesnya lebih lambat (FKUI, 2013).Air asin, yang bersifat hiperosmolar,

akan menarik cairan ke dalam alveoli dan menyebabkan dilusi surfaktan. Cairan

yang kaya protein akan bereksudasi secara cepat ke alveoli dan instertitial paru.

Hal ini menyebabkan komplians paru berkurang, dan membran kapiler-alveoli

rusak dan terjadi perpindahan cairan sehingga terjadi hipoksia (Cantwell PG,

2013).

9
2.2.1. Wet Drowning
Pada wet drowning, yang mana terjadi inhalasi cairan, diketahui terjadi

proses dari korban menahan napas. Karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar

O2, terjadi megap-megap dan dapat timbul regurgitasi dan aspirasi isi lambung.

Refleks laringospasme yang diikuti dengan pemasukan air akan muncul.

Kemudian korban kehilangan kesadaran dan terjadi apnoe. Penderita kemudian

akan megap-megap kembali sampai beberapa menit, bahkan penderita dapat

kejang. Penderita kemudian dapat berakhir dengan henti napas dan jantung.

2.2.2. Dry Drowning


15-20% kematian akibat tenggelam merupakan dry drowning, yang mana

tidak disertai dengan aspirasi cairan. Kematian ini biasanya terjadi dengan sangat

mendadak dan tidak tampak adanya tanda-tanda perlawanan. Mekanisme

kematian yang pasti masih tetap spekulatif.Cairan yang mendadak masuk dapat

menyebabkan 2 macam mekanisme kematian:

1. Laringospasme yang akan menyebabkan asfiksia dan kematian

2. Mengaktifkan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi refleks vagal

yang akan mengakibatkan cardiac arrest.

Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning:

1. Intoksikasi alkohol (mendepresi aktivitas kortikal)

2. Penyakit yang telah ada, misalnya aterosklerosis

3. Kejadian tenggelam/terbenam secara tak terduga/mendadak

4. Aktivitas fisik berlebih (peningkatan sirkulasi katekolamin, disertai

kekurangan oksigen, dapat menyebabkan cardiac arrest.

10
2.3 Klasifikasi Tenggelam
2.3.1. Berdasarkan Morfologi Penampakan Paru
Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam

dibedakan atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet

drowning).

1. Tipe kering (dry drowning),

Tenggelam tipe kering paling banyak terjadi pada anak-anak dan dewasa

yang banyak dibawah pengaruh obat-obatan (hipnotik sedatif) atau alkohol,

dimana mereka tidak memperlihatkan kepanikan atau usaha penyelamatan diri

saat tenggelam. Selain itu, airtidak teraspirasi masuk ke traktus respiratorius

bawah atau ke lambung. Kematian terjadi secara cepat, merupakan akibat dari

refleks vagal yang dapat menyebabkan henti jantung atau akibat dari spasme

laring karena masuknya air secara tiba-tiba ke dalam hidung dan traktus

respiratorius bagian atas.

Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning seperti

intoksikasi alkohol (mendepresi aktivitas kortikal), adanya penyakit yang

sebelumnya (seperti aterosklerosis), kejadian tenggelam/terbenam secara tak

terduga/mendadak, ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan sirkulasi

katekolamin, disertai kekurangan oksigen, dapat menyebabkan cardiac arrest).

2. Tipe basah (wet drowning)

Pada tenggelam tipe basah (wet drowning) terjadi aspirasi cairan. Aspirasi

1-3 ml/kgBB air akan signifikan dengan berkurangnya pertukaran udara. Aspirasi

air sampai paru menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru. Air tawar

bergerak dengan cepat ke membran kapiler alveoli. Surfaktan menjadi rusak

11
sehingga menyebabkan instabilitas alveoli, ateletaksis dan menurunnya

kemampuan paru untuk mengembang.

Pada wet drowning, yang mana terjadi inhalasi cairan, korban menahan

napas karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar O2 terjadi megap-megap,

dapat terjadi regurgitasi dan aspirasi isi lambung kemudian adanya laringospasme

yang diikuti dengan pemasukan air. Setelah itu, korban kehilangan kesadaran dan

terjadi apnoe. Penderita kemudian megap-mega kembali, bisa sampai beberapa

menit diikuti kejang-kejang. Penderita akhirnya mengalami henti napas dan

jantung.

2.3.2. Berdasarkan Lokasi Tenggelam


Jika ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadinya tenggelam, maka

dapat dibedakan menjadi tenggelam di air tawar dan tenggelam di air asin.

1. Air tawar

Air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar, sehingga terjadi

hemodilusi yang hebat sampai 72 persen yang berakibat terjadinya hemolisis.

Oleh karena terjadi perubahan biokimiawi yang serius, dimana kalium dalam

plasma meningkat dan natrium berkurang, juga terjadi anoksia yang hebat pada

myocardium. Hemodilusi menyebabkan cairan dalam pembuluh darah atau

sirkulasi, menjadi berlebihan, terjadi penurunan tekanan sistol dan dalam waktu

beberapa menit terjadi fibrilasi ventrikel. Jantung untuk beberapa saat masih

berdenyut dan lemah, terjadi anoksia cerebri tang hebat, hal yang menerangkan

mengapa kematian terjadi dengan cepat. Air masuk ke paru paru ke alveol. Karena

konsentrasi darah lebih tinggi dari air, maka cairan di paru paru masuk ke dalam

sirkulasi darah, terjadi hemodilusi yang diikuti dengan hemolisus, akibatnya kadar

12
ion K dalam serum darah meningkat dan kadar ion Na turun dan disertai

peningkatan volume darah, beban jantung bertambah berat, terjadi hipoksia dan

fibrilasi ventrikel, berakhir terjadi kematian akibat anoksia otak. Dalam penelitian

didapati penambahan volume darah bisa sampai 72% serta Kadar ion Chlor kiri

turun sampai 50% (Amir,A, 2017)

2. Air asin

Pada tenggelam di air laut terjadi pertukaran elektrolit dari air asin ke

darah mengakibatkan peningkatan natrium plasma, air akan ditarik dari sirkulasi

pulmonal ke dalam jaringan intertisial paru yang akan menimbulkan edema pulmo

yang hebat dalam waktu yang singkat dan peningkatan hematokrit (hipovolemia).

Peningkatan viskositas darah (hemokonsentrasi) menyebabkan sirkulasi aliran

darah menjadi lambat dan anoksia pada miokardium yang menimbulkan payah

jantung dan kematian yang terjadi kurang lebih 8-9 menit setelah tenggelam.Air

Asin yang masuk ke dalam paru lebih hipertonik sehingga dapat menarik air dari

pembuluh darah. Akibatnya nterjadi oedem paru, darah menjadi hemokonsentrasi.

Kadar ion chlor jantung kiri meningkat 30-40%, kadar ion Mg dalam darah

meningkat sehingga menyebabkan terjadinya Hipoksia dan kematian dapat

disebabkan oleh Oedem paru. (Amir,A, 2017)

2.3.3. Klasifikasi lain


Klasifikasi tenggelam menurut Levin (1993) adalah sebagai berikut:

1. Typical drowning

Keadaan dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban saat

korban tenggelam.

2. Atypical drowning

13
a. Dry Drowning

Keadaan dimana hanya sedikit bahkan tidak ada cairan yang masuk ke

dalam saluran pernapasan.

b. Immersion Syndrome

Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba masuk ke dalam air dingin

( suhu < 20°C ) yang menyebabkan terpicunya reflex vagal yang menyebabkan

apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan

menyebabkan terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral.

c. Submersion of the Unconscious

Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsi atau penyakit jantung,

hipertensi atau konsumsi alkohol yang mengalami trauma kepala saat masuk ke

air .

d. Delayed Dead

Keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24 jam

setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.

2.4 Cara Kematian pada Korban Tenggelam


Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena:

1. Kecelakaan

Peristiwa tenggelam karena kecelakaan sering terjadi karena korban jatuh

ke laut, danau, sungai. Pada anak-anak kecelakaan sering terjadi di kolam renang

atau galian tanah berisi air. Faktor-faktor yang sering menjadi penyebab

kecelakaan antara lain karena mabuk atau serangan epilepsi.

2. Bunuh diri

14
Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri kedalam air sering kali

terjadi. Kadang - kadang tubuh pelaku diikat dengan pemberat agar supaya tubuh

dapat tenggelam dengan mudah.

3. Pembunuhan

Banyak cara yang digunakan misalnya dengan melemparkan korban ke

laut atau memasukkan kepala ke dalam bak berisi air.

Pada kasus korban tenggelam yang sudah membusuk, identifikasi amat

sukar atau sudah tidak diketahui tempat kejadiannya, tidak ada saksi, maka tak

dapat diklasifikasikan kecelakaan atau bunuh diri/pembunuhan.

Seperti dijelaskan ada beberapa cara kematian tipe tenggelam, maka sebab

kematian tenggelam juga terjadi karena berbagai bentuk:

1. Asfiksia, karena spasme Laring

2. Fibrilasi, ventikuler karena tenggelam di air tawar

3. Oedem paru, karena tenggelam di air asin.

4. Inhibisi vaglm karena reflex (Amir,A 2017).

2.5 Patofisiologi
Anak yang terbenam dengan spontan akan berusaha menyelamatkan diri

secara panik disertai berhentinya pernapasan (breath holding). 10 sampai 12%

korban tenggelam dapat langsung meninggal, dikenal sebagai dry drowing karena

tidak dijumpai aspirasi air di dalam paru. Mereka meninggal akibat asfiksia waktu

tenggelam yang disebabkan spasme laring. Spasme laring tersebut akan diikuti

asfiksia dan penurunan kesadaran serta secara pasif air masuk ke jalan napas dan

paru. Akibatnya, terjadilah henti jantung dan kematian yang disertai aspirasi

cairan dan dikenal sebagai wet drowning. Kasus seperti ini lebih banyak terjadi,

15
yakni 80 sampai 90%. Perubahan patofisiologi yang diakibatkan oleh tenggelam,

tergantung pada jumlah dan sifat cairan yang terhisap serta lamanya hipoksemia

terjadi. Setiap jaringan pada tubuh mempunyai respons yang berbeda-beda

terhadap hipoksemia dan kepekaan jaringan otak merupakan organ yang dominan

mengalami disfungsi sistem organ pada tubuh terhadap hipoksia.

Terhadap air laut atau air tawar akan mengurangi perkembangan paru,

karena air laut bersifat hipertonik sehingga cairan akan bergeser dari plasma ke

alveoli. Tetapi, alveoli yang dipenuhi cairan masih bisa menjalankan fungsi

perfusinya sehingga menyebabkan shunt intra pulmonary yang luas. Sedangkan

air tawar bersifat hipotonik sehingga dengan cepat diserap ke dalam sirkulasi dan

segera didistribusikan. Air tawar juga bisa mengubah tekanan permukaan

surfaktan paru sehingga ventilasi alveoli menjadi buruk sementara perfusi tetap

berjalan. Ini menyebabkan shunt intrapulmonary dan meningkatkan hipoksia. Di

samping itu, aspirasi air tawar atau air laut juga menyebabkan oedem paru yang

berpengaruh terhadap atelektasis, bronchospasme, dan infeksi paru..

Perubahan kardiovaskuler yang terjadi pada korban hampir tenggelam

terutama akibat dari perubahan tekanan parsial (PaO2) dan keseimbangan asam

basa. Sedangkan faktor lain yang juga berpengaruh adalah perubahan volume

darah dan konsentrasi elektrolit serum. Korban hampir tenggelam kadang-kadang

telah mengalami bradikardi dan vasokonstriksi perifer yang intensif sebelumnya.

Oleh sebab itu, sulit memastikan pada waktu kejadian apakah aktivitas mekanik

jantung terjadi. Bradikardi bisa timbul akibat refleks diving fisiologis pada air

dingin, sedangkan vasokonstriksi perifer bisa juga terjadi akibat hipotermi atau

16
peninggian kadar katekolamin. Aspirasi air yang masuk ke paru dapat

menyebabkan vagotonia, vasokonstriksi paru dan hipertensi. Air segar dapat

menembus membran alveolus dengan menghambat kerja surfaktan.

Hipoksia dan iskemia selama tenggelam akan terus berlanjut sampai

ventilasi, oksigenasi, dan perfusi diperbaiki. Sedangkan iskemia yang berlangsung

lama bisa menimbulkan trauma sekunder meskipun telah dilakukan resusitasi

jantung paru yang adekuat. Oedem cerebri yang difus sering terjadi akibat trauma

sitotoksik yang disebabkan oleh anoksia dan iskemia susunan syaraf pusat yang

menyeluruh. Kesadaran yang hilang bervariasi waktunya, biasanya setelah 2

sampai 3 menit terjadi apnoe dan hipoksia. Kerusakan otak yang irreversible

mulai terjadi setelah 4 sampai 10 menit anoksia. Ini memberikan gambaran bahwa

hipoksia mulai terjadi dalam beberapa detik setelah orang tenggelam, diikuti oleh

berhentinya perfusi dalam 2 sampai 6 menit. Otak dalam suhu normal tidak akan

kembali berfungsi setelah 8 sampai 10 menit anoksia walaupun telah dilakukan

tindakan resusitasi. Anoksia dan iskemia serebri yang berat akan mengurangi

aktivitas metabolik akibat peninggian tekanan intrakranial serta perfusi serebri

yang memburuk. Ini dipercayai menjadi trauma susunan saraf pusat sekunder.

Hampir sebagian besar korban tenggelam memiliki konsentrasi elektrolit

serum normal atau mendekati normal ketika masuk rumah sakit. Hiperkalemia

bisa terjadi karena kerusakan jaringan akibat hipoksemia yang menyeluruh. Pasien

hampir tenggelam setelah dilakukan resusitasi biasanya fungsi ginjal seperti

albuminuria, Hb uria, oliguria, dan anuria kemudian bisa menjadi nekrosis tubular

akut.

17
AIR TAWAR AIR LAUT

Osmolaritas < darah Osmolaritas > darah

Hipotonik Hipertonik

Hipervolemik Hipovolemik

Hemodilusi Hemokonsentrasi

Tabel 2. Perbedaan antara sifat air tawar dan air laut

Tenggelam dalam air tawar

inhalasi air tawar

alveolus paru-paru

absorbsi dalam jumlah besar

hipervolemi ← hemodilusi hebat (±72%) → hemolisis

↓ ↓

tekanan sistole menurun perubahan biokimiawi

↓ ↓

fibrilasi ventrikel K+ meningkat, Na+ dan Cl- menurun

↓ ↓

anoksia cerebri → MENINGGAL ← anoksia myocardium

18
Air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar sehingga terjadi

hemodilusi yang hebat sampai 72 persen yang berakibat terjadinya hemolysis,

oleh karena terjadi perubahan biokimiawi yang serius, dimana Kalium dalam

plasma meningkat dan Natrium berkurang, juga terjadi anoksia yang hebat pada

myocardium. Hemodilusi menyebabkan cairan dalam pembuluh darah atau

sirkulasi menjadi berlebihan, terjadi penurunan tekanan systole, dan dalam waktu

beberapa menit terjadi fibrilasi ventrike. Jantung untuk beberapa saat masih

berdenyut dengan lemah, terjadi anoksia cerebri yang hebat, hal ini yang

menerangkan mengapa kematian terjadi cepat.

Tenggelam dalam Air Asin

inhalasi air asin



alveolus paru-paru

hemokonsentrasi

hipovolemi ← cairan sirkulasi berdifusi keluar → hematokrit meningkat

↓ ↓

viskositas darah meningkat K+ menurun, Na+ dan Cl- mening

↓ ↓

payah jantung

MENINGGAL

19
Terjadi hemokonsentrasi, cairan dari sirkulasi dapat tertarik keluar sampai

sekitar 42 persen, dan masuk ke dalam jaringan paru-paru sehingga terjadi edema

pulmonum yang hebat dalam waktu relatif singkat. Pertukaran elekrolit dari air

asin ke dalam darah mengakibatkan meningkatnya hematokrit dan peningkatan

kadar Natrium plasma. Fibrilasi ventrikel tidak terjadi, namun terjadi anoksia pada

myocardium dan disertai peningkatan viskositas darah, akan menyebabkan

terjadinya payah jantung. Tidak terjadi hemolisis, melainkan hemokonsentrasi,

tekanan sistolik akan menetap dalam beberapa menit.

Kematian Mendadak dalam Air Dingin

Mati mendadak segera setelah seseorang masuk ke dalam air yang dingin,

sering disinggung, walaupun tanpa penyebab langsung, oleh karena spasme laring

atau vagal refleks yang menyebabkan cardiac arrest. Keadaan tersebut, yaitu yang

mendadak tadi, hanya dapat dijelaskan oleh karena terjadinya fibrilasi ventrikel

pada koeban, dan dapat dibuktikan bahwa pada orang yang masuk ke air yang

dingin atau tersiram air yang dingin dapat menimbulkan ventricular ectopic beat.

Perubahan yang terjadi pada organ-organ saat tenggelam :

a. Perubahan Pada Paru-Paru

Aspirasi paru terjadi pada sekitar 90% korban tenggelam dan 80 – 90% pada

korban hamper tenggelam. Jumlah dan komposisi aspirat dapat mempengaruhi

perjalanan klinis penderita, isi lambung, organism pathogen, bahan kimia toksisk

dan bahan asing lain dapat memberi cedera pada paru dan atau menimbulkan

obstruksi jalan nafas.

20
b. Perubahan Pada Kardiovaskuler

Pada korban hampir tenggelam kadang-kadang menunjukkan

bradikardi berat. Bradikardi dapat timbul karena refleks fisiologis saat berenang di

air dingin atau karena hipoksia. Perubahan pada fungsi kardiovaskuler yang

terjadi pada hampir tenggelam sebagian besar akibat perubahan tekanan parsial

oksigen arterial (PaO2) dan gangguan keseimbangan asam-basa.

c. Perubahan Pada Susunan Saraf Pusat

Iskemia terjadi akibat tenggelam dapat mempengaruhi semua organ tetapi

penyebab kesakitan dan kematian terutama terjadi karena iskemi otak. Iskemi otak

dapat berlanjut akibat hipotensi, hipoksia, reperfusi dan peningkatan tekanan intra

kranial akibat edema serebral.Kesadaran korban yang tenggelam dapat mengalami

penurunan. Biasanya penurunan kesadaran terjadi 2 – 3 menit setelah apnoe dan

hipoksia. Kerusakan otak irreversibel mulai terjadi 4 – 10 menit setelah anoksia

dan fungsi normotermik otak tidak akan kembali setelah 8 – 10 menit anoksia.

Penderita yang tetap koma selama selang waktu tertentu tapi kemudian bangun

dalam

d. Perubahan Pada Ginjal

Fungsi ginjal penderita tenggelam yang telah mendapat resusitasi biasanya tidak

menunjukkan kelainan, tetapi dapat terjadi albuminuria, hemoglobonuria, oliguria

dan anuria. Kerusakan ginjal progresif akan mengakibatkan tubular nekrosis akut

akibat terjadinya hipoksia berat, asidosis laktat dan perubahan aliran darah ke

ginjal.

21
e. Perubahan Cairan dan Elektrolit

Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan tetapi selalu

menelan banyak cairan. Air yang tertelan, aspirasi paru, cairan intravena yang

diberikan selama resusitasi dapat menimbulkan perubahan keadaan cairan dan

elektrolit. Aspirasi air laut dapat menimbulkan perubahan elektrolit dan

perubahancairan karena tingginya kadar Na dan Osmolaritasnya. Hipernatremia

dan hipovolemia dapat terjadi setelah aspirasi air laut yang banyak. Sedangkan

aspirasi air tawar yang banyak dapat mengakibatkan hipervolemia dan

hipernatremia. Hiperkalemia dapat terjadi karena kerusakan jaringan akibat

hipoksia yang luas

2.7 Tatalaksana

Banyak usaha yang dilakukan dalam mengembangkan protokol yang dapat

memperbaharui hasil penatalaksanaan pasien-pasien tenggelam. Namun, belum

ada pengobatan klinis yang lebih unggul dari penanganan supportif yang

konvensional. Belum ada pengobatan klinis yang unggul pada keadaan hipoksia

selain tindakan pencegahan dan resusitasi segera.

Resusitasi awal di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit korban

tenggelam harus difokuskan kepada menjamin oksigenasi, ventilasi, sirkulasi yang

adekuat, keadaan asam basa, serta saluran napas harus bebas dari bahan muntah

dan benda asing yang dapat mengakibatkan obstruksi dan aspirasi.

Otak adalah organ yang dituju dalam pengobatan. Pencegahan trauma otak

pada korban dilakukan dengan mengangkat korban dari air secepatnya dan

22
resusitasi jantung paru dasar harus dilakukan. Ini perlu segera dilakukan karena

hipoksia dengan cepat berkembang dalam beberapa detik ke keadaan apnoe. Oleh

karena itu, apabila tidak mungkin mengangkat korban dari air, secepatnya

ventilasi mulut ke mulut harus dilakukan segera setelah penolong menarik korban.

Kemudian harus segera diberikan oksigen. Dukungan oksigen harus diberikan

tanpa memandang keadaan pasien. Apabila korban dicurigai mengalami trauma

leher maka harus dibuat posisi netral dan melindunginya dengan gips cervical

(cervical colar).

Prinsip pertolongan di air :

a. Raih ( dengan atau tanpa alat ).

b. Lempar ( alat apung ).

c. Dayung ( atau menggunakan perahu mendekati penderita ).

d. Renang ( upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung ).

Penanganan Korban :

a. Pindahkan penderita secepat mungkin dari air dengan cara teraman.

b. Bila ada kecurigaan cedera spinal satu penolong mempertahankan posisi

kepala, leher dan tulang punggung dalam satu garis lurus. Pertimbangkan

untuk menggunakan papan spinal dalam air, atau bila tidak memungkinkan

pasanglah sebelum menaikan penderita ke darat.

c. Buka jalan nafas penderita, periksa nafas. Bila tidak ada maka upayakan

untuk memberikan nafas awal secepat mungkin dan berikan bantuan nafas

sepanjang perjalanan.

23
d. Upayakan wajah penderita menghadap ke atas.

e. Sampai di darat atau perahu lakukan penilaian dini dan RJP bila perlu.

f. Berikan oksigen bila ada.

g. Jagalah kehangatan tubuh penderita, ganti pakaian basah dan selimuti.

h. Lakukan pemeriksaan fisik, rawat cedera yang ada.

i. Segera bawa ke fasilitas kesehatan.

Metode Resusitasi Jantung Paru

Dalam menangani korban tenggelam, penolong harus mengutamakan jalan

napas dan oksigenasi buatan. RJP yang harus dilakukan adalah RJP (A-B-C)

Adapun bentuk bantuan hidup dasar yang bisa diberikan dibagi menjadi dua

jenis, yaitu untuk korban sadar dan korban tidak sadar

A. Korban Sadar

1. Penolong tidak boleh langsung terjun ke air untuk melakukan

pertolongan, karena korban dalam keadaan panik dan sangat berbahaya

bagi penolong. Sedapat mungkin, penolong untuk selalu memberikan

respon suara kepada korban dan sambil mencari kayu atau tali atau

mungkin juga pelampung dan benda lain yang bisa mengapung disekitar

lokasi kejadian yang bisa digunakan untuk menarik korban ke tepian atau

setidaknya membuat korban bisa bertahan di atas permukaan air.

2. Aktifkan sistem penanganan gawat darurat terpadu (SPGDT).

Bersamaan dengan tindakan pertama di atas, penolong harus segera

mengaktifkan SPGDT, untuk memperoleh bantuan atau bisa juga dengan

24
mengajak orang-orang yang ada disekitar tempat kejadian untuk

memberikan pertolongan.

3. Jika memang ditempat kejadian ada peralatan atau sesuatu yang bisa

menarik korban ketepian dengan korban yang dalam keadaan sadar, maka

segera berikan kepada korban, seperti kayu atau tali, dan usahakan

menarik korban secepat mungkin sebelum terjadi hal yang lebih tidak

diinginkan. Setelah korban sampai ditepian segeralah lakukan pemeriksaan

fisik dengan terus memperhatikan ABC untuk memeriksa apakah ada

cedera atau hal lain yang dapat mengancam keselamatan jiwa korban dan

segera lakukan pertolongan pertama kemudian kirim ke pusat kesehatan

guna mendapat pertolongan lebih lanjut.

4. Jika tidak ada peralatan atau sesuatu yang bisa menarik korban, maka

penolong bisa segera terjun ke air untuk menghampiri korban. Tapi harus

diingat, penolong memiliki kemampuan berenang yang baik dan

menghampiri korban dari posisi belakang korban.

5. Jika korban masih dalam keadaan sadar dan bisa ditenangkan, maka

segera tarik (evakuasi) korban dengan cara melingkarkan salah satu tangan

penolong pada tubuh korban melewati kedua ketiak korban atau bisa juga

dengan menarik krah baju korban (tapi ingat, hal ini harus dilakukan hati-

hati karena bisa membuat korban tercekik atau mengalami gangguan

pernafasan) dan segera berenang mencapai tepian. Barulah lakukan

Pertolongan Pertama seperti pada no. 3 di atas.

25
6. Jika Korban dalam keadaan tidak tenang dan terus berusaha menggapai

atau memegang penolong, maka segera lumpuhkan korban. Hal ini

dilakukan untuk mempermudah evakuasi, kemudian lakukan tindakan

seperti no 5 dan kemudian no. 3 di atas.

B. Korban tidak sadar

Seperti halnya dalam memberikan Pertolongan Pertama untuk korban tenggelam

dalam keadaan sadar, maka untuk korban tidak sadar sipenolong juga harus

memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan evakuasi korban dari

dalam air agar baik penolong maupun korban dapat selamat.

Adapun tindakan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Segera hampiri korban, namun tetap perhatikan keadaan sekitar

untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terhadap diri penolong.

Lakukan evakuasi dengan melingkarkan tangan penolong ditubuh

korban seperti yang dilakukan pada no. 3 untuk korban sadar.

2. Untuk korban yang dijumpai dengan kondisi wajah berada di

bawah permukaan air (tertelungkup), maka segera balikkan badan

korban dan tahan tubuh korban dengan salah satu tangan penolong.

Jika penolong telah terlatih dan bisa melakukan pemeriksaan nadi dan

nafas saat menemukan korban, maka segera periksa nafas dan nadi

korban. Kalau nafas tidak ada maka segera buka jalan nafas dengan

cara menggerakkan rahang korban dengan tetap menopang tubuh

26
korban dan berikan nafas buatan dengan cara ini. Dan jika sudah ada

nafas maka segera evakuasi korban ke darat dengan tetap

memperhatikan nafas korban.

3. Ketika penolong dan korban telah sampai ditempat yang aman (di

darat), maka segera lakukan penilaian dan pemeriksaan fisik yang

selalu berpedoman pada ABC. Berikan respon kepada korban untuk

menyadarkannya.

4. Ketika respon ada dan korban mulai sadar, maka segera lakukan

pemeriksaan fisik lainnya untuk mengetahui apakah ada cedera lain

yang dapat membahayakan nyawa korban. Jika tidak ada cedera dan

korban kemudian sadar, berikan pertolongan sesuai dengan yang

diperlukan korban, atau bisa juga dengan mengevakuasi korban ke

fasilitas kesehatan terdekat untuk pemeriksaan secara medis.

5. Jika tidak ada respon dan tidak ada nafas, segera buka jalan nafas

dengan cara ini, periksa jalan nafas dengan cara look, listen, feel

selama 3-5 detik. Jika tidak ada nafas maka segera berikan bantuan

pernafasan (bantuan hidup dasar) dengan cara ini lalu periksa nadi

karotis. Apabila nadi ada, maka berikan bantuan nafas buatan sesuai

dengan kelompok umur korban hingga adanya nafas spontan dari

korban (biasanya nafas spontan ini disertai dengan keluarnya air yang

mungkin menyumbat saluran pernafasan korban ketika tenggelam),

lalu posisikan korban dengan posisi pemulihan. Terus awasi jalan

nafas korban sambil penolong berupaya untuk menyadarkan seperti

27
tindakan no. 4 di atas atau mencari bantuan lain untuk segera

mengevakuasi korban.

6. Ketika tindakan no.5 tidak berhasil (tidak ada respon, tidak nafas

dan tidak ada nadi), maka segera lakukan Resusitasi Jantung Paru.

28
BAB 3
KESIMPULAN

Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi

cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh

kedalam cairan, Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa

asfiksia akibat spasme laring, asfiksia karena gagging dan choking, refleks vagal,

fibrilasi ventrikel (air tawar), dan edema pulmoner (dalam air asin)

Pada peristiwa tenggelam di air tawar, terjadi hemolisis dan hemodilusi

sehingga menyebabkan hiperkalemia. Kematian terjadi karena fibrilasi

ventrikel.Pada peristiwa tenggelam di air asin, karena konsentrasi elektrolit air

asin lebih tinggi daripada plasma,air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam

jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema paru, hemokonsentrasi,

dan hipovolemia.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Amir,A. 2017.Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Ramadhan


2. Ilmu Kedokteran Forensik, Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2013
3. WHO. 2013. Drowning. Available from:
http://www.who.int/violence_injury_prevention/other_injury/drowning/en/
4. Kumari, Mayuri, Forensic Identification of drowning death by the use diatom
analysis, International Journal of Development Research , 2016, ISSN 2230-
9926
5. Wilianto W. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam (Review).
Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia 2012;14(3): 39-46.
6. Onyekwelu E. Drowning and Near Drowning. Internet Journal of
Health20148(2).
7. Dahlan S. 2000. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan
Penegak Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
8. Cantwell PG, Verive MJ, Shoff WH, Norris RL, Talavera F, Lang ES, et al.
2013. Drowning. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/772753-overview.
9. Razch, Efelin. Drowning-related fatalities during a 5-year period (2008–
2012) in South-West Hungary – A retrospective study. Journal of forensic and
legal medicine. 2015

10. Malik, MK. Role Of Diatom In Forensic Investigation: Case Studies From
Haryana. International Journal Of Forensic Science & Pathology.2013.

11. N, Kaushik .Role of Diatoms in Diagnosis of Death Due to Drowning: Case


Studies.International Journal of Medical Toxicology and Forensic Medicine.
2016.

12. Khalil ZH, Naeem M, Adil M, Khan MZI, Abbas SH, Alam N. Asphyxial
death: a four year retrospective study in Peshawar. J Postgrad Med Inst.
2014; 28(1):24-6.

13. Rey.E.K Nikita,Mallo.F.Johannis,Kristanto,Erwin, Gambran Kasus Kematian


dengan Asfiksia di Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUP
Prof.Dr. R.D Kandou ManadoPeriode 2013-2017.2017

30

Anda mungkin juga menyukai