ii
BAB 1
PENDAHULUAN
berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas dan mayoritas
Penyebab dari SSJ dan NET ini belum diketahui dengan pasti, namun beberapa
faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab antara lain alergi obat, infeksi, dan
idiopatik. Beberapa obat yang dianggap sebagai penyebab alergi obat tersering
Sindrom Stevens-Johnson dilaporkan terjadi pada 8,57% dari kasus erupsi kulit
atau sebesar 81 kasus. Insidensi SSJ dan NET semakin meningkat karena salah
satu penyebabnya adalah alergi obat dan dewasa ini semua obat dapat diperoleh
secara bebas19. Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang
timbul tergolong sebagai kegawatdaruratan karena reaksi alergi obat yang timbul
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
ialah reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan
epidermis luas, disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula
eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi
penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang
berbeda hanya dalam persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua
Pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh dokter anak A.M. Stevens
dan F.C. Johnson setelah mendiagnosa seorang anak dengan keterlibatan okular
dan oral akibat reaksi obat. Hampir seluruh obat-obatan dapat menyebabkan SSJ,
seperti ibuprofen. Pada umumnya obat tersebut adalah obat anti konvulsan,
Baik SSJ maupun NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.
mekanisme, SJS dan NET ini dianggap variasi dan kontinu penyakit yang
yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan menggunakan istilah
2
SJS menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit < 10%
dari permukaan tubuh, NET melibatkan perluasan > 30% dari luas permukaan
2.2 Epidemiologi
Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan
NET diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET
dapat terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade ke-4 dan
2.3 Etiologi
diketahui obat-obatan adalah etiologi utama yang dapat terjadi pada orang dewasa
atau anak-anak. Terdapat lebih dari 100 obat yang dikenal sebagai penyebab
SSJ/NET. Sebuah penelitian case control mengevaluasi resiko SSJ dan NET yang
resiko NET termasuk HIV, radioterapi, dan lupus eritematosus. Sebagai contoh
radioterapi dapat memicu atau memperburuk NET dimana djumpai lesi kulit yang
maksimal pada tempat yang terpapar. Infeksi herpes yang baru dapat berperan
3
dalam perkembangan SSJ akan tetapi tidak pada kasus SSJ/NET overlap atau
NET. Pada pasien HIV telah dilaporkan memiliki 100x lipat lebih tinggi terkena
SJS /NET. NET telah dilaporkan pada pasien lupus eritematosus sistemik, pasien-
resiko tinggi atau telah menggunakan obat-obat tersebut untuk waktu yang lama.
Insufisiensi renal dapat menjadi faktor resiko efek samping kulit yang serius yang
transplantasi sumsum tulang, beberapa dapat berat menjadi graft versus host
2.5 Patogenesis
yang penting dalam perkembangan SSJ dan NET. Walaupun interaksi Fas-FasL
keratinosit.
masif. Reaksi ini dicetuskan sel T CD4+ dan CD 8+ yang menghasilkan mediator
dijumpai adanya CD8+ killer lymphocytes (sel NK) pada epidermis dan CD4+
pada dermis pada reaksi bulosa yang berat, dijumpai sel CD8+ pada epidermis.
Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada darah perifer penderita SSJ ataupun
4
NET. Sel sitotoksik CD8+ mengekspresikan reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh
melalui perforin dan granzyme B, tidak melalui Fas atau Trail. Jadi ikatan obat
dan protein akan diproses, kemudian akan dipresentasikan oleh sel penyaji antigen
(APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi toleran atau reaksi efektor
seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap obat,
keratinosit5,7 .
reaktif. Sitokin penting seperti IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas
Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas dikatakan
menyebabkan kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat ini
bahwa peningkatan level FasL dapat ditemukan pada serum pasien dengan SSJ
dan NET, dan levelnya meningkat secara konsisten ketika sebelumnya terdapat
pelepasan kulit1,7.
keratinosit. Ketika limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi
5
Fas yang menyebabkan pengambilan FADD (Fassociated Death Domain
Protein). FADD merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8,
Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel T
SSJ dan NET biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat
(biasanya setelah 4-30 hari). Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi yang
cepat dalam beberapa jam. Biasanya terpapar oleh obat yang sama5,6.
Spektrum efek samping kutaneus berat yang dapat menunjukkan varian proses
penyakit yang sama termasuk SSJ dan NET. Eritema multiforme (EM), EM
mayor, dan EM mayor atipikal adalah reaksi kutaneus yang biasanya tampak
mempercayai bahwa SSJ dan NET berada dalam satu spektrum keparahan dan
tergantung pada riwayat lesi kulit dan luasnya area permukaan tubuh yang terlibat.
6
Secara klinis setiap pola reaksi tersebut ditandai dengan adanya trias erosi
membran mukosa, lesi target, dan nekrosis epidermal dengan pengelupasan kulit2.
Gejala Prodromal
melebihi 39°C ( 102,2°F) sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari
sebelum timbul kelainan pada kulit. Timbul rasa nyeri menelan, konjungtiva
terasa gatal dan panas disertai silau bila terkena cahaya. Hal ini menandakan
non spesifik, sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya
dengan keluhan eksantema. Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise
Lesi kulit yang nyeri sering pertama kali tampak ada badan dan kemudian
setelah 4 hari. Erupsi biasanya simetris, terdistribusi pada wajah, tubuh bagian
atas dan proksimal ekstremitas, namun bisa sampai seluruh badan. Lesi kulit awal
yang bersatu secara progresif. Lesi target atipikal dengan warna gelap di tengah
meluas dan difus. Epidermis nekrotik mudah terlepas karena trauma gesekan,
meninggalkan daerah yang merah dan erosi. Bula SSJ/NET kendur dan dapat
dijumpai Nikolsky’s sign2,3. Bila terkena sentuhan lesi ini terasa sakit. Pasien
dapat diklasifikasikan berdasarkan total permukaan tubuh yang terkena, yaitu SSJ
apabila total permukaan tubuh yang terkena adalah < 10%. NET apabila total
7
permukaan tubuh yang terkena >30% dan SSJ/NET overlapping dengan NET bila
pada 90% kasus dan mendahului atau diikuti erupsi pada kulit. Dimulai dengan
eritema yang diikuti oleh erosi mukosa bukal, mata, dan genital yang terasa nyeri.
nyeri saat BAK. Kavitas oral dan batas bibir lebih banyak terkena dan gambaran
erosi hemoragik yang nyeri tertutup grayish white pseudomembrane dan krusta
pendek maupun jangka panjang yang disebabkan oleh fibrosis dan striktur. Dalam
Uretritis terjadi sekitar 2/3 pasien , hal ini dapat menyebabkan retensi urin serta
erosi genital. Keterlibatan ini ditandai dengan ulseratif vaginitis, bula vulva dan
8
sinekia vagina. Dalam jangka panjang dapat terjadi adhesi vagina dan stenosis,
paru dan gastrointestinal. Komplikasi pada paru dijumpai 25% kasus yang
ditandai dengan sesak nafas, hipersekresi bronkus, hipoksia, hemaptoe dan edema
paru. Keterlibatan bronkus pada SSJ/NET tidak berhubungan dengan beratnya lesi
pada kulit. Pada beberapa kasus yang dilaporkan, apabila terjadi gagal nafas akut
segera setelah munculnya kelainan kulit, maka prognosisnya lebih jelek. Kelainan
melena, dan perforasi kolon. Kelainan pada ginjal biasanya berupa proteinuria,
2.7 Diagnosis
Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui
suprabasal. Lesi akhirnya akan memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan
sedang pada papilla dermis dapat terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit
dan makrofag10,13,14.
9
2.8 Tatalaksana
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting
multidisiplin tim pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan
komplikasi yang mengancam jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan
Penatalaksanaan Umum
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala
apakah waktu penghentian obat berhubungan dengan prognosis pasien NET atau
SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih rendah apabila
obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih
dari 1 hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat
10
penyebab dengan waktu paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih
tinggi2.
disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya kurang dari luka bakar pada
tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran
vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran
sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang
hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena
nyaman pasien3,15.
Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga
luas area tubuh yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral
karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan
kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral
dan meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila
Antibiotik
11
antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara
urin dan penurunan kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri
pada kultur kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular
sangat disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah
dikultur dari darah biasanya sama dengan yang dikultur dari kulit.5,10,15
Perawatan Luka
ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine, silver
akut yang sama pada SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%.
Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar
adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien
12
penyakit ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata,
kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep
mata.2,15
makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang asam dan kasar.
Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada
mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-
Perawatan vulvovaginal
harus dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari
pengobatan ini untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan
sehari pada pasien dengan lesi ulseratif sampai resolusi fase akut penyakit.
13
Pemberian kortikosteroid topical ini disertai dengan krim antijamur topical untuk
Kortikosteroid Sistemik
bila diberikan pada fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak
mortalitas dan efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah
mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti
penurunan secara bertahap (tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-
14
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama :-
Umur : 25 bulan
BB : 76 kg
3.2 Anamnesis
a. Keadaan Umum
RR : 22 x/menit
TD : 120/80 mmHg
morbiliformis, erosi, nikolski sign +; reg. mukosa bibir: lesi mukosa, erosi; reg.
3.4 Diagnosis
Problem List
Initial Diagnosis
NET
15
DD :
SJS
Planning Diagnosis :
Biopsi Kulit
DL
Elektrolit
3.6. Perencanaan/Planning
Planning Terapi
MRS
boraks gliserin
infus glukosa 5%
Gentamisin 2x80mg
Debridement
Konsultasi spesialis
Planing Monitoring
Keluhan pasien
TTV
Elektrolit
Planning Edukasi
16
Kondisi, diagnosis. terapi, dan prognosis dari kondisi pasien saat
ini.
17
BAB IV
PEMBAHASAN
dengan keluhan muncul lepuhan seluruh badan. Lepuhan terjadi awalnya di badan
kemudian menyebar dengan cepat. lepuhan disertai gatal dan perih serta panas
badan, pasien juga mengalami nyeri telan. Lepuhan mudah pecah dan timbul
seperti lepuhan yang bisa bergerak jika ditekan. awalnya sebelum MRS pasien
minum obat 4 jam timbul lepuhan di badan dan kemudian menyebar ke seluruh
badan dan disertai demam. dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 120/80, nadi 90,
sign+/ Reg. mukosa bibir dan vagina: lesi mukosa +, erosi+. Mata: hiperemi+
CVI+.
penderita secepat mungkin dibawa keruang perawatan intensif atau unit luka
monitoring ttv, keseimbangan cairan dan elektrolit, perawatan luka pada kulit dan
18
DAFTAR PUSTAKA
1 Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson
syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11
2 Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson syndrome,
toxic epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451
3 Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw;2008;349-55
4 French L, Prins C. Erythema multiforme, Stevens-Jhonson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors.
Dermatology.2 ed . NewYork: Elsevier Inc; 2008:347-54
5 Mahadi IDR. Sindroma Stevens Johnson. Dalam: Simposium dan Pelatihan
“What’s new in Dermatology”. Banda Aceh, 10 Juli 2010; 1-5
6 Torres MJ, Mayorga C, Blanca M. Nonimmediate Allergic Reactions Induced by
Drugs: Pathogenesis and Diagnostic Test. Dalam: J Investing Allergol Clind
Immunol 2009;19:80-90
7 Chung WH, Hung SI. Genetic markers and danger signals in stevens Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Allergology International,
2010;59:325-32
8 Hamzah M. Sindrom Stevens Johnson. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi keenam, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007;163-65
9 Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toksik. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2007;166-68
10 Yim H, Park JM, Suk Kong, Kim D, Hur J, Chun W, et all. A clinical study of
stevens Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Efficacy of treatment
in Burn Intensive care unit. Dalam: J.Korean Surg Soc: 2010(78):133-39
11 Michaels B, Q James. The role of systemic corticosteroid therapy in erythema
multiforme major and stevens Johnson syndrome. Dalam: Clinical Aesthetic
Dermatology;2009;2:51-55
12 Widgerow DA. Toxic epidermal necrolysis-management issues and treatment
options. Dalam: Int J Burn Trauma; 2011;1(1);42-50
13 Ho, H. Diagnosis and management of stevens johnsosn syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Dalam: Hongkong Medical Bulletin;2010 Vol.13 No 10.
14 Milton H. Nirken et all. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis : Pathogenesis, Clinical manifestations and diagnosis, MD Employee
of UpToDate Inc , Feb 2015
15 Whitney A High, MD et all. Steven Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis : Management, Prognosis and Long term sequelae. MD Employee of
UpToDate Inc, March 2015
16 Maja Mockenhaupt, MD, PhD. The Current Understanding of Steven Johnsos
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Rev Clin Immunol 7 (6), 803
– 815 ( 2011 )
19
17 Perdoski. Kedaruratan Kulit. Dalam: Panduan pelayanan medis dokter spesialis
kulit dan kelamin, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK
UI/RSCM:2011:263-7
18 Darmstadt GL, Sidbury R.Stevens-Johnson Syndrome. In : Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB .editors.Textbook of Pediatrics. 17thEd Philadelphia,
WB Saunders,2004:2181-4
19 Lee HY.Epidemiology of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis in Southeast Asia. Dermatologica Sinica;31.2013:217-20.
20 Thomson LA. Drug-induced skin. In:Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006. 2013 [last updated 2013 Aug 12; cited 2014
Apr 3]. Available from : http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
20