Anda di halaman 1dari 21

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2

2.1. Definisi ............................................................................................. 2

2.2. Epidemiologi .................................................................................... 3

2.3. Etiologi ............................................................................................ 3

2.4. Faktor Resiko ................................................................................... 4

2.5. Patogenesis ....................................................................................... 5

2.6. Gejala klinis .................................................................................... 6

2.7. Diagnosis ......................................................................................... 9

2.8. Tatalaksana ...................................................................................... 10

BAB III LAPORAN KASUS......................................................................... 15

BAB IV PEMBAHASAN .............................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 19

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah

penyakit mukokutaneus yang bersifat mengancam nyawa dengan karakteristik

berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas dan mayoritas

berhubungan dengan konsumsi obat4.

Penyebab dari SSJ dan NET ini belum diketahui dengan pasti, namun beberapa

faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab antara lain alergi obat, infeksi, dan

idiopatik. Beberapa obat yang dianggap sebagai penyebab alergi obat tersering

ialah analgetik/antipiretik, antikonvulsan, antibiotik dan antimalaria18.

Sindrom Stevens-Johnson dilaporkan terjadi pada 8,57% dari kasus erupsi kulit

atau sebesar 81 kasus. Insidensi SSJ dan NET semakin meningkat karena salah

satu penyebabnya adalah alergi obat dan dewasa ini semua obat dapat diperoleh

secara bebas19. Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang

timbul tergolong sebagai kegawatdaruratan karena reaksi alergi obat yang timbul

tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan dapat mengakibatkan

kematian, SSJ dan NET adalah beberapa bentuk kegawatdaruratan tersebut20.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksis (NET)

ialah reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan

epidermis luas, disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula

eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi

lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis. Karena kesamaan dalam

temuan klinis dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya

penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang

berbeda hanya dalam persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua

penyakit dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal (NE)1.

Pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh dokter anak A.M. Stevens

dan F.C. Johnson setelah mendiagnosa seorang anak dengan keterlibatan okular

dan oral akibat reaksi obat. Hampir seluruh obat-obatan dapat menyebabkan SSJ,

seperti ibuprofen. Pada umumnya obat tersebut adalah obat anti konvulsan,

antibiotik (seperti sulfa, penicillin dan sefalosporin), dan antiinflamasi1,2,3.

Baik SSJ maupun NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.

Karena kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta

mekanisme, SJS dan NET ini dianggap variasi dan kontinu penyakit yang

dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta persentase permukaan tubuh

yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan menggunakan istilah

eritema multiforme mayor untuk SSJ dan NET3.

2
SJS menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit < 10%

dari permukaan tubuh, NET melibatkan perluasan > 30% dari luas permukaan

tubuh sedangkan SJS/NET menampilkan pasien dengan perluasan kulit 10-30%

dari luas permukaan tubuh1,2,14.

2.2 Epidemiologi

Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan

NET diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET

dapat terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade ke-4 dan

sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 6.3,14 .

2.3 Etiologi

Etiologi SSJ/NET masih belum diketahui secara pasti, namun sekarang

diketahui obat-obatan adalah etiologi utama yang dapat terjadi pada orang dewasa

atau anak-anak. Terdapat lebih dari 100 obat yang dikenal sebagai penyebab

SSJ/NET. Sebuah penelitian case control mengevaluasi resiko SSJ dan NET yang

berhubungan dengan pengobatan. Antibiotik sulfonamide (khususnya

sulfametoksazol kombinasi dengan trimetoprim), karbamazepin, fenitoin,

fenobarbital, obat-obat antiinflamasi nonsteroid tipe oksikam, allopurinol,

klormezanon, aminopenisillin, sefalosporin,lamotrigin,Nevirapin, kuinolon, dan

antibiotik siklik dihubungkan dengan resiko relatif tertinggi 1,2,5,14.

2.4 Faktor Resiko

Faktor resiko nonmedikasi yang telah dihipotesiskan dapat meningkatkan

resiko NET termasuk HIV, radioterapi, dan lupus eritematosus. Sebagai contoh

radioterapi dapat memicu atau memperburuk NET dimana djumpai lesi kulit yang

maksimal pada tempat yang terpapar. Infeksi herpes yang baru dapat berperan

3
dalam perkembangan SSJ akan tetapi tidak pada kasus SSJ/NET overlap atau

NET. Pada pasien HIV telah dilaporkan memiliki 100x lipat lebih tinggi terkena

SJS /NET. NET telah dilaporkan pada pasien lupus eritematosus sistemik, pasien-

pasien ini dapat mengalami NET walaupun tidak mengkonsumsi obat-obatan

resiko tinggi atau telah menggunakan obat-obat tersebut untuk waktu yang lama.

Insufisiensi renal dapat menjadi faktor resiko efek samping kulit yang serius yang

diinduksi allopurinol. Kasus SSJ/NET pernah dilaporkan terjadi setelah

transplantasi sumsum tulang, beberapa dapat berat menjadi graft versus host

disease. Radioterapi bersama terapi anti epilepsi juga pernah dilaporkan

menyebabkan NE pada tempat radiasi tersebut2,14.

2.5 Patogenesis

Patogenesis NET belum diketahui secara jelas. Penerapan teknik

farmakogenomik dan biologi molekular pada studi sebelumnya lebih lanjut

mengungkapkan bahwa disposisi genetik sebagaimana mediator imun adalah hal

yang penting dalam perkembangan SSJ dan NET. Walaupun interaksi Fas-FasL

sudah dipertimbangkan sebagai efektor utama yang menyebabkan apoptosis

keratinosit.

Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya reaksi sitotoksik

yang diperantarai sel melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang

masif. Reaksi ini dicetuskan sel T CD4+ dan CD 8+ yang menghasilkan mediator

sitotoksik yang berakibat apoptosis keratinosit. Penelitian imunopatologis

dijumpai adanya CD8+ killer lymphocytes (sel NK) pada epidermis dan CD4+

pada dermis pada reaksi bulosa yang berat, dijumpai sel CD8+ pada epidermis.

Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada darah perifer penderita SSJ ataupun

4
NET. Sel sitotoksik CD8+ mengekspresikan reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh

melalui perforin dan granzyme B, tidak melalui Fas atau Trail. Jadi ikatan obat

dan protein akan diproses, kemudian akan dipresentasikan oleh sel penyaji antigen

(APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi toleran atau reaksi efektor

seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap obat,

MHC (major histocompatibility complex - restricted cytotoxic reactions) melawan

keratinosit5,7 .

Sekarang telah diterima dengan baik bahwa ekspansi oligoklonal CD 8+

bereaksi terhadap obat-obatan tertentu, memiliki kecocokan mayor dengan

jaringan sitotoksik yang rumit dan terbatas berlawanan dengan keratinosit.

Selanjutnya, regulasi CD4+ CD 25+ sel T telah menunjukkan pentingnya

pencegahan kerusakan epidermal hebat yang diinduksi limfosit T sitotoksik

reaktif. Sitokin penting seperti IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas

ligand (Fas-L) juga ada pada lesi kulit SSJ/NET1,2,5,7.

Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas dikatakan

menyebabkan kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat ini

bahwa peningkatan level FasL dapat ditemukan pada serum pasien dengan SSJ

dan NET, dan levelnya meningkat secara konsisten ketika sebelumnya terdapat

pelepasan kulit1,7.

Viard et al. mengatakan bahwa aktivasi Fas menyebabkan apoptosis

keratinosit. Ketika limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi

kaskade enzim intraseluler yang disebut kaspase yang kemudian menyebabkan

kematian sel. Limfosit T sitotoksik dapat menginduksi kaskade kaspase melalui

perforin/granzyme atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan menginduksi perubahan pada

5
Fas yang menyebabkan pengambilan FADD (Fassociated Death Domain

Protein). FADD merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8,

yang fungsinya membawa bersama-sama cetakan-cetakan prokaspase 8. Cetakan

ini kemudian mengalami autoaktivasi membentuk kaspase 8 yang selanjutnya

mengaktifkan kaskade kaspase yang berujung pada apoptosis keratinosit.1,2,7

Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel T

sitotoksik mengeluarkan perforin yang akan membuat saluran 16 nm pada

membran sel target. Kemudian granzyme B melewati saluran ini dan

mengaktifkan kaskade kaspase. Obat-obatan dapat mengaktifkan sel T dengan

bertindak sebagai hapten, prohapten atau dengan interkasi farmakologi langsung

antar obat, molekul MHC dan reseptor sel T7.

2.6 Gejala Klinis

SSJ dan NET biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat

(biasanya setelah 4-30 hari). Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi yang

cepat dalam beberapa jam. Biasanya terpapar oleh obat yang sama5,6.

Spektrum efek samping kutaneus berat yang dapat menunjukkan varian proses

penyakit yang sama termasuk SSJ dan NET. Eritema multiforme (EM), EM

mayor, dan EM mayor atipikal adalah reaksi kutaneus yang biasanya tampak

setelah infeksi daripada setelah pengobatan. Kasus-kasus berat EM mayor dan

EM mayor atipikal dapat dibingungkan dengan SSJ. Kebanyakan peneliti

mempercayai bahwa SSJ dan NET berada dalam satu spektrum keparahan dan

berbeda dengan penyakit-penyakit EM2,3. Diferensiasi antara SSJ dan NET

tergantung pada riwayat lesi kulit dan luasnya area permukaan tubuh yang terlibat.

6
Secara klinis setiap pola reaksi tersebut ditandai dengan adanya trias erosi

membran mukosa, lesi target, dan nekrosis epidermal dengan pengelupasan kulit2.

Gejala Prodromal

Gejala non spesifik (prodromal) seperti demam, dengan temperature

melebihi 39°C ( 102,2°F) sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari

sebelum timbul kelainan pada kulit. Timbul rasa nyeri menelan, konjungtiva

terasa gatal dan panas disertai silau bila terkena cahaya. Hal ini menandakan

gejala awal keterlibatan mukosa..Sepertiga pasien dimulai dengan adanya gejala

non spesifik, sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya

dengan keluhan eksantema. Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise

dapat mendahului perkembangan lesi kulit selama 2 minggu1,3,14.

Lesi Pada Kulit

Lesi kulit yang nyeri sering pertama kali tampak ada badan dan kemudian

menyebar cepat ke muka, leher, dan ekstremitas dengan keterlibatan maksimal

setelah 4 hari. Erupsi biasanya simetris, terdistribusi pada wajah, tubuh bagian

atas dan proksimal ekstremitas, namun bisa sampai seluruh badan. Lesi kulit awal

dikarakteristikkan dengan makula eritematosa, merah kehitaman bentuk ireguler

yang bersatu secara progresif. Lesi target atipikal dengan warna gelap di tengah

sering terlihat. Lesi nekrotik yang berkonfluensi menimbulkan eritema yang

meluas dan difus. Epidermis nekrotik mudah terlepas karena trauma gesekan,

meninggalkan daerah yang merah dan erosi. Bula SSJ/NET kendur dan dapat

dijumpai Nikolsky’s sign2,3. Bila terkena sentuhan lesi ini terasa sakit. Pasien

dapat diklasifikasikan berdasarkan total permukaan tubuh yang terkena, yaitu SSJ

apabila total permukaan tubuh yang terkena adalah < 10%. NET apabila total

7
permukaan tubuh yang terkena >30% dan SSJ/NET overlapping dengan NET bila

mengenai total permukaan tubuh yang terkena adalah antara 10-30%1,2,3,5,14.

Lesi Pada Mukosa

Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu sedikitnya 2 tempat) diamati

pada 90% kasus dan mendahului atau diikuti erupsi pada kulit. Dimulai dengan

eritema yang diikuti oleh erosi mukosa bukal, mata, dan genital yang terasa nyeri.

Biasanya diikuti dengan gangguan pencernaan, fotofobia, sinekia konjungtiva dan

nyeri saat BAK. Kavitas oral dan batas bibir lebih banyak terkena dan gambaran

erosi hemoragik yang nyeri tertutup grayish white pseudomembrane dan krusta

pada bibir.Stomatitis dan mucositis menyebabkan gangguan asupan oral sehingga

mengakibatkan malnutrisi dan dehidrasi1,2,3,5,14.

Pada 85% pasien terdapat lesi konjungtiva, umumnya bermanifestasi

hyperemia, erosi, edema pada konjungtiva, fotofobia dan lakrimasi. Dapat

memungkinkan terjadi shedding of eyelashes. Bentuk yang berat dapat

menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, pan opthalmitis dan konjungtivitis

purulen. Sinekia antara eyelid dan konjungtiva sering terjadi3,14.

Keterlibatan membran mukosa dapat mengakibatkan komplikasi jangka

pendek maupun jangka panjang yang disebabkan oleh fibrosis dan striktur. Dalam

sebuah analisis retrospektif, 60% pasien SSJ/NET mengalam manifestasi okular

selama stadium akut dari sindroma. Keterlibatan kornea dapat mengakibatkan

ulserasi kornea, perforasi, dan perubahan kornea sklerotik yang permanen2.

Urogenital sering terlibat pada penderita SJS/NET terutama wanita.

Uretritis terjadi sekitar 2/3 pasien , hal ini dapat menyebabkan retensi urin serta

erosi genital. Keterlibatan ini ditandai dengan ulseratif vaginitis, bula vulva dan

8
sinekia vagina. Dalam jangka panjang dapat terjadi adhesi vagina dan stenosis,

terhambat aliran kemih serta retensi urin, cystitis berulang, hematocolpos.

Adenosis vulvovaginal terkait adanya metaplasti serviks atau kelenjar epitel

endometrium pernah dilaporkan pada penderita SJS/NET14.

Gejala Ekstra Kutan

SSJ/NET dapat melibatkan organ visceral terutama komplikasi pada paru-

paru dan gastrointestinal. Komplikasi pada paru dijumpai 25% kasus yang

ditandai dengan sesak nafas, hipersekresi bronkus, hipoksia, hemaptoe dan edema

paru. Keterlibatan bronkus pada SSJ/NET tidak berhubungan dengan beratnya lesi

pada kulit. Pada beberapa kasus yang dilaporkan, apabila terjadi gagal nafas akut

segera setelah munculnya kelainan kulit, maka prognosisnya lebih jelek. Kelainan

pada gastro dari SSJ intestinal jarang ditemukan. Kelainan gastrointestinal

biasanya berupa nekrosis epithelial esofagus, diare, perdarahan gastrointestinal,

melena, dan perforasi kolon. Kelainan pada ginjal biasanya berupa proteinuria,

mikroalbuminuria, hematuria dan azotemia. Dapat pula ditemukan adanya akut

tubular nekrosis, glomerulonefritis3.

2.7 Diagnosis

Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui

pemeriksaan biopsi kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan

immunofluoresence. Lesi awal menunjukkan apoptosis keratinosit pada lapisan

suprabasal. Lesi akhirnya akan memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan

pelepasan epidermis dari dermis. Infiltrasi sel mononuclear dengan kepadatan

sedang pada papilla dermis dapat terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit

dan makrofag10,13,14.

9
2.8 Tatalaksana

Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting

yang harus dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan

multidisiplin tim pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan

suportif termasuk menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah

komplikasi yang mengancam jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan

luka bakar yang luas.1,2

Penatalaksanaan Umum

Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti

pada luka bakar . Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan

perawatan luka, manajemen cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan

mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan pengobatan infeksi15.

Penghentian Obat Penyebab

Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala

obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir.

Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi penyebab

terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian untuk menentukan

apakah waktu penghentian obat berhubungan dengan prognosis pasien NET atau

SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih rendah apabila

obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih

dari 1 hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat

10
penyebab dengan waktu paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih

tinggi2.

Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi

SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan

dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan

elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai secepat mungkin dan

disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya kurang dari luka bakar pada

tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran

vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran

sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang

perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C

hingga 30˚C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena

kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa

nyaman pasien3,15.

Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga

memerlukan tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan

luas area tubuh yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral

karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan

kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral

dan meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila

terdapat lesi mukosa mulut3.

Antibiotik

Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat

menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan

11
antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara

lain perubahan status mental, mengigil, hipoterimia, menurunnya pengeluaran

urin dan penurunan kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri

pada kultur kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular

sangat disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah

Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Spesies Staphylococus yang

dikultur dari darah biasanya sama dengan yang dikultur dari kulit.5,10,15

Perawatan Luka

Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan

agresif tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan

bukanlah halangan untuk reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi

sel-sel stem berkenaan dengan sitokin peradangan.3

Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan, elektrolit, dan

mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan pemberian analgetik

dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan antiseptic yang

ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine, silver

nitrate untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.3,15

Perawatan Mata dan Mulut

Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap

SSJ/NET. Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular

akut yang sama pada SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%.

Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar

konjungtiva. Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan

adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien

12
penyakit ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata,

inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang

menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan

kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep

mata.2,15

Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga

kebersihan rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan

mengoleskan topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan

sehingga dapat mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya

direkomendasikan bila penderita tidak mengalami pharyngealdysphagia. Hindari

makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang asam dan kasar.

Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada

mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-

kumur soda bikarbonat, hydrogen peroksida dengan konsentrasi ringan.

Pemberian topikal pada bibir seperti vaselin, lanolin.5

Perawatan vulvovaginal

Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini

harus dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari

pengobatan ini untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan

aglutinasi labial serta mencegah adenosis vagina ( bila dijumpai keterlibatan

metaplastik serviks / endometrium, epitel kelenjar divulva atau vagina ).

Pencegahan dengan memberikan kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali

sehari pada pasien dengan lesi ulseratif sampai resolusi fase akut penyakit.

13
Pemberian kortikosteroid topical ini disertai dengan krim antijamur topical untuk

mencegah kandidiasis vagina.15

Kortikosteroid Sistemik

Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi

menemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit

bila diberikan pada fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak

menghentikan perkembangan penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan

mortalitas dan efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah

dilaporkan yang telah diobati dengan kortikosteroid, akan meningkatkan resiko

SSJ/NET. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak dapat direkomendasikan sebagai

pedoman utama pengobatan SSJ/NET.

Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk

mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti

penurunan secara bertahap (tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-

40 mg sehari. Dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis

permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena

pada umumnya penyebab SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada SSJ/NET,

kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis.

Kortikosteroid juga mempunyai efek anti-apoptosis pada banyak jaringan

termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-FasL.5,11,12,15

14
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama :-

Umur : 25 bulan

BB : 76 kg

Jenis Kelamin : Laki-laki

3.2 Anamnesis

a. Keluhan Utama : Lepuhan seluruh badan

b. Keluhan Penyerta : Lepuhan berawal di badan dan menyebar keseluruh tubuh

dengan cepat, demam, nyeri telan, nyeri kepala

c. Riwayat Penyakit Dahulu : Sebelumnya minum obat antalgin

3.3 Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

Vital Sign : Nadi : 90x/menit, kuat, irama teratur

RR : 22 x/menit

TD : 120/80 mmHg

b. Status lokalis : reg. generalisata: makula eritematosa lesi tidak jelas

morbiliformis, erosi, nikolski sign +; reg. mukosa bibir: lesi mukosa, erosi; reg.

mata: CvI+, PCI+.

3.4 Diagnosis

Problem List

 Erupsi Alergi Obat

Initial Diagnosis

NET

15
DD :

 SJS

Planning Diagnosis :

 Biopsi Kulit

 DL

 Elektrolit

3.6. Perencanaan/Planning

Planning Terapi

 MRS

 boraks gliserin

 kompres NaCl 0,9%

 infus NaCl 0,9%

 infus glukosa 5%

 kortikosteroid I.v. 2x5mg tappering off

 Gentamisin 2x80mg

 Debridement

 Konsultasi spesialis

 Stop obat pemicu

Planing Monitoring

 Keluhan pasien

 TTV

 Elektrolit

Planning Edukasi

Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien:

16
 Kondisi, diagnosis. terapi, dan prognosis dari kondisi pasien saat

ini.

 Biasakan untuk selalu konsultasi sebelum meminum obat.

17
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang laki-laki datang bersama temannya ke UGD Rumah sakit UMM

dengan keluhan muncul lepuhan seluruh badan. Lepuhan terjadi awalnya di badan

kemudian menyebar dengan cepat. lepuhan disertai gatal dan perih serta panas

badan, pasien juga mengalami nyeri telan. Lepuhan mudah pecah dan timbul

seperti lepuhan yang bisa bergerak jika ditekan. awalnya sebelum MRS pasien

minum obat 4 jam timbul lepuhan di badan dan kemudian menyebar ke seluruh

badan dan disertai demam. dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 120/80, nadi 90,

rr 22x/menit, temp 39C. dari pemeriksaan efloresensi didapatkan hasil reg.

generalisata: makula eritematosa batas tidak jelas, morbiliformis, erosi+, nikolsky

sign+/ Reg. mukosa bibir dan vagina: lesi mukosa +, erosi+. Mata: hiperemi+

CVI+.

NET adalah penyakit yang membahayakan jiwa. dalam penatalaksanaan

penderita secepat mungkin dibawa keruang perawatan intensif atau unit luka

bakar.Penatalaksanaan terdiri dari identifikasi dan eliminasi faktor penyebab,

monitoring ttv, keseimbangan cairan dan elektrolit, perawatan luka pada kulit dan

mukosa. penggunaan steroid sistemik, pemberian antibiotik.

18
DAFTAR PUSTAKA

1 Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson
syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11
2 Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson syndrome,
toxic epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451
3 Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw;2008;349-55
4 French L, Prins C. Erythema multiforme, Stevens-Jhonson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors.
Dermatology.2 ed . NewYork: Elsevier Inc; 2008:347-54
5 Mahadi IDR. Sindroma Stevens Johnson. Dalam: Simposium dan Pelatihan
“What’s new in Dermatology”. Banda Aceh, 10 Juli 2010; 1-5
6 Torres MJ, Mayorga C, Blanca M. Nonimmediate Allergic Reactions Induced by
Drugs: Pathogenesis and Diagnostic Test. Dalam: J Investing Allergol Clind
Immunol 2009;19:80-90
7 Chung WH, Hung SI. Genetic markers and danger signals in stevens Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Allergology International,
2010;59:325-32
8 Hamzah M. Sindrom Stevens Johnson. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi keenam, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007;163-65
9 Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toksik. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2007;166-68
10 Yim H, Park JM, Suk Kong, Kim D, Hur J, Chun W, et all. A clinical study of
stevens Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Efficacy of treatment
in Burn Intensive care unit. Dalam: J.Korean Surg Soc: 2010(78):133-39
11 Michaels B, Q James. The role of systemic corticosteroid therapy in erythema
multiforme major and stevens Johnson syndrome. Dalam: Clinical Aesthetic
Dermatology;2009;2:51-55
12 Widgerow DA. Toxic epidermal necrolysis-management issues and treatment
options. Dalam: Int J Burn Trauma; 2011;1(1);42-50
13 Ho, H. Diagnosis and management of stevens johnsosn syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Dalam: Hongkong Medical Bulletin;2010 Vol.13 No 10.
14 Milton H. Nirken et all. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis : Pathogenesis, Clinical manifestations and diagnosis, MD Employee
of UpToDate Inc , Feb 2015
15 Whitney A High, MD et all. Steven Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis : Management, Prognosis and Long term sequelae. MD Employee of
UpToDate Inc, March 2015
16 Maja Mockenhaupt, MD, PhD. The Current Understanding of Steven Johnsos
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Rev Clin Immunol 7 (6), 803
– 815 ( 2011 )

19
17 Perdoski. Kedaruratan Kulit. Dalam: Panduan pelayanan medis dokter spesialis
kulit dan kelamin, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK
UI/RSCM:2011:263-7
18 Darmstadt GL, Sidbury R.Stevens-Johnson Syndrome. In : Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB .editors.Textbook of Pediatrics. 17thEd Philadelphia,
WB Saunders,2004:2181-4
19 Lee HY.Epidemiology of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis in Southeast Asia. Dermatologica Sinica;31.2013:217-20.
20 Thomson LA. Drug-induced skin. In:Adverse Drug Reactions, 2nd ed.
Pharmaceutical Press. 2006. 2013 [last updated 2013 Aug 12; cited 2014
Apr 3]. Available from : http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf

20

Anda mungkin juga menyukai