Anda di halaman 1dari 18

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang1

Nekrolisis epidermal toksik (TEN) adalah gangguan dermatologi berpotensi

mengancam nyawa yang ditandai dengan eritema luas, nekrosis, dan detasemen

bulosa epidermis dan membran mukosa, yang mengakibatkan pengelupasan kulit

dan kemungkinan sepsis dan / atau kematian (lihat gambar di bawah). Keterlibatan

membran mukosa dapat mengakibatkan perdarahan gastrointestinal, gagal

pernafasan, kelainan mata, dan komplikasi urogenital.

NET adalah yang paling umum adalah akibat induksi obat. Namun,

gangguan tersebut memiliki etiologi potensial lainnya, termasuk infeksi,

keganasan, dan vaksinasi. NET istimewa dan tidak mudah diprediksi.

Beberapa penulis percaya bahwa sindrom Stevens-Johnson (SJS, juga

dikenal sebagai eritema multiforme utama) adalah manifestasi dari proses yang

sama yang terlibat dalam NET, dengan yang terakhir yang melibatkan lebih luas

epidermal detasemen nekrotik. NET melibatkan lebih dari 30% dari permukaan

tubuh, sedangkan SJS melibatkan kurang dari 10%.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksis (NET) ialah

reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan

epidermis luas, disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula

eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi

lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis. Karena kesamaan dalam

temuan klinis dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya

penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang

berbeda hanya dalam persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka

kedua penyakit dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal (NE)2

2.2 Epidemiologi

Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan NET

diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET dapat

terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade ke-4 dan
3,4
sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6. Penyakit

infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN, yaitu pada

pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi umum,

dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV positif.

Perbedaan regional pada peresepan obat, latar belakang genetik dari pasien

(HLA, enzim metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama dengan

radioterapi dapat berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit
tersebut 10% untuk SJS, 30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk NET.
1,3,4,5,6

2.3 Etiologi 7,8,9,10,11,12

NET dapat disebabkan oleh obat-obatan atau infeksi atau dapat idiopatik. Obat

adalah pemicu penyebab utama. Banyak obat telah terlibat, termasuk antibiotik,

obat antiepilepsi, obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID), ampisilin, allopurinol,

kortikosteroid (topikal dan sistemik), dan obat antiretroviral nevirapine dan

abacavir.

Obat antibakteri terkait dengan NET adalah sebagai berikut:

 Sulfonamida

 Kloramfenikol

 Makrolid (misalnya, eritromisin)

 Penisilin

 Kuinolon (misalnya, ciprofloxacin, trovafloxacin)

Antikonvulsan terkait dengan NET meliputi:

 Phenobarbital

 Fenitoin

 Karbamazepin

 Asam Valproat

 Lamotrigin

Pasien dengan SSJ dan NET juga harus dievaluasi kemungkinan penyakit

dasarnya yang memungkinkan sebagai penyebab timbulnya reaksi. Infeksi

Mycoplasma pneumonia dan herpes simpleks merupakan infeksi tersering yang

menyebabkan SSJ dan NET. Infeksi adalah penyebab SSJ pada anak-anak yang
tersering dimana seringkali diimplikasikan dengan Mycoplasma pneumonia.

Infeksi penyebab lainnya yaitu virus herpes simpleks, Mycobacterium tuberculosis,

streptokokus grup A, virus hepatitis B, dan virus Eipstein-Barr. Dalam sebuah

ulasan sistemik dari literature Jepang yang dipublikasikan, hampir 70% kasus SSJ

dianggap disebabkan oleh obat-obatan dan 10% oleh M.pneumoni atau kombinasi

M.pneumonia dan/atau obat-obatan. Seluruh kasus NET dicurigai disebabkan

terutama obat-obatan.13

Gambar 1. Tabel Obat Pencetus NET14


2.4 Patofisiologi

Patogenesis NE belum diketahui secara jelas. Penerapan teknik

farmakogenomik dan biologi molekular pada studi sebelumnya lebih lanjut

mengungkapkan bahwa disposisi genetik sebagaimana mediator imun adalah

hal yang penting dalam perkembangan SSJ dan NET. Walaupun interaksi

Fas-FasL sudah dipertimbangkan sebagai efektor utama yang menyebabkan

apoptosis keratinosit.

Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya reaksi sitotoksik

yang diperantarai sel melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang

masif. Reaksi ini dicetuskan sel T CD4+ dan CD 8+ yang menghasilkan

mediator sitotoksik yang berakibat apoptosis keratinosit. Penelitian

imunopatologis dijumpai adanya CD8+ killer lymphocytes (sel NK) pada

epidermis dan CD4+ pada dermis pada reaksi bulosa yang berat, dijumpai sel

CD8+ pada epidermis. Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada darah

perifer penderita SSJ ataupun NET. Sel sitotoksik CD8+ mengekspresikan

reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh melalui perforin dan granzyme B, tidak

melalui Fas atau Trail. Jadi ikatan obat dan protein akan diproses, kemudian

akan dipresentasikan oleh sel penyaji antigen (APC) ke sel naive yang akan

menghasilkan reaksi toleran atau reaksi efektor seperti gejala

hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap obat, MHC (major

histocompatibility complex - restricted cytotoxic reactions) melawan

keratinosit.5,15 Sekarang telah diterima dengan baik bahwa ekspansi

oligoklonal CD 8+ bereaksi terhadap obatobatan tertentu, memiliki

kecocokan mayor dengan jaringan sitotoksik yang rumit dan terbatas


berlawanan dengan keratinosit. Selanjutnya, regulasi CD4+ CD 25+ sel T

telah menunjukkan pentingnya pencegahan kerusakan epidermal hebat yang

diinduksi limfosit T sitotoksik reaktif. Sitokin penting seperti IL-6, Tumor

Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas ligand (Fas-L) juga ada pada lesi kulit

SSJ/NET2,7,13,15

Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas dikatakan

menyebabkan kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat

ini bahwa peningkatan level FasL dapat ditemukan pada serum pasien dengan

SSJ dan NET, dan levelnya meningkat secara konsisten ketika sebelumnya

terdapat pelepasan kulit.2,15

Viard et al. mengatakan bahwa aktivasi Fas menyebabkan apoptosis

keratinosit. Ketika limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi

aktivasi kaskade enzim intraseluler yang disebut kaspase yang kemudian

menyebabkan kematian sel. Limfosit T sitotoksik dapat menginduksi kaskade

kaspase melalui perforin/granzyme atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan

menginduksi perubahan pada Fas yang menyebabkan pengambilan FADD

(Fassociated Death Domain Protein). FADD merupakan molekul yang

melekat pada Fas dan prokaspase 8, yang fungsinya membawa bersama-sama

cetakan-cetakan prokaspase 8. Cetakan ini kemudian mengalami Universitas

Sumatera Utara 8 autoaktivasi membentuk kaspase 8 yang selanjutnya

mengaktifkan kaskade kaspase yang berujung pada apoptosis keratinosit.2,7

Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel

T sitotoksik mengeluarkan perforin yang akan membuat saluran 16 nm pada

membran sel target. Kemudian granzyme B melewati saluran ini dan


mengaktifkan kaskade kaspase. Obat-obatan dapat mengaktifkan sel T

dengan bertindak sebagai hapten, prohapten atau dengan interkasi

farmakologi langsung antar obat, molekul MHC dan reseptor sel T.7

Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa alel Human Leukocyte

Antigen (HLA-B*1502) berhubungan kuat pada subyek etnik Cina/Asia

dengan SSJ dan NET yang diinduksi karbamazepin tetapi tidak dengan erupsi

eksantematosa diinduksi karbamazepin atau sindroma hipersensitivitas obat

(juga dikenal sebagai reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik atau

DRESS). Satu dari laporan pertama menunjukkan bahwa HLA-B*1502

dijumpai pada 100% pasien SSJ yang diinduksi karbamazepin tetapi hanya

sebesar 3% dari pasien yang mentoleransi karbamazepin dan pada 9%

populasi umum. HLA-B*1502 terjadi pada 10-15% individu dari Cina

selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, Taiwan, dan mempunyai

angka prevalensi 2-4% lebih tinggi di kelompok Asia selatan lainnya

termasuk India.2,7

2.5 Manifestasi Klinis

Baik SSJ maupun NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran

mukosa. Karena kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta

mekanisme, SJS dan NET ini dianggap variasi dan kontinu penyakit yang

dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta persentase permukaan tubuh

yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan menggunakan istilah

eritema multiforme mayor untuk SSJ dan NET.3

 SJS menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan


kulit < 10% dari permukaan tubuh
 NET melibatkan perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh3
2.6 Diagnosis disertai Tanda dan Gejala 2,3,4,5,8,9,14,15

SSJ dan NET biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat

(biasanya setelah 4-30 hari). Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi

yang cepat dalam beberapa jam. Biasanya terpapar oleh obat yang sama.

Spektrum efek samping kutaneus berat yang dapat menunjukkan varian proses

penyakit yang sama termasuk SSJ dan NET.

Eritema multiforme (EM), EM mayor, dan EM mayor atipikal adalah

reaksi kutaneus yang biasanya tampak setelah infeksi daripada setelah

pengobatan. Kasus-kasus berat EM mayor dan EM mayor atipikal dapat

dibingungkan dengan SSJ. Kebanyakan peneliti mempercayai bahwa SSJ dan

NET berada dalam satu spektrum keparahan dan berbeda dengan penyakit-

penyakit EM.

Diferensiasi antara SSJ dan NET tergantung pada riwayat lesi kulit dan

luasnya area permukaan tubuh yang terlibat. Secara klinis setiap pola reaksi

tersebut ditandai dengan adanya trias erosi membran mukosa, lesi target, dan

nekrosis epidermal dengan pengelupasan kulit. Gejala Prodromal Gejala non

spesifik (prodromal) seperti demam, dengan temperature melebihi 39°C

(102,2°F) sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari sebelum timbul

kelainan pada kulit. Timbul rasa nyeri menelan, konjungtiva terasa gatal dan

panas disertai silau bila terkena cahaya. Hal ini menandakan gejala awal

keterlibatan mukosa..Sepertiga pasien dimulai dengan adanya gejala non

spesifik, sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya


dengan keluhan eksantema. Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise

dapat mendahului perkembangan lesi kulit selama 2 minggu.

Lesi Pada Kulit Lesi kulit yang nyeri sering pertama kali tampak ada

badan dan kemudian menyebar cepat ke muka, leher, dan ekstremitas dengan

keterlibatan maksimal setelah 4 hari. Erupsi biasanya simetris, terdistribusi

pada wajah, tubuh bagian atas dan proksimal ekstremitas, namun bisa sampai

seluruh badan. Lesi kulit awal dikarakteristikkan dengan makula eritematosa,

merah kehitaman bentuk ireguler yang bersatu secara progresif.

Lesi target atipikal dengan warna gelap di tengah sering terlihat. Lesi

nekrotik yang berkonfluensi menimbulkan eritema yang meluas dan difus.

Epidermis nekrotik mudah terlepas karena trauma gesekan, meninggalkan

daerah yang merah dan erosi. Bula SSJ/NET kendur dan dapat dijumpai

Nikolsky’s sign. Bila terkena sentuhan lesi ini terasa sakit. Pasien dapat

diklasifikasikan berdasarkan total permukaan tubuh yang terkena, yaitu SSJ

apabila total permukaan tubuh yang terkena adalah < 10%. NET apabila total

permukaan tubuh yang terkena >30% dan SSJ/NET overlapping dengan NET

bila mengenai total permukaan tubuh yang terkena adalah antara 10-30%. Lesi

Pada Mukosa Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu sedikitnya 2

tempat) diamati pada 90% kasus dan mendahului atau diikuti erupsi pada kulit.

Dimulai dengan eritema yang diikuti oleh erosi mukosa bukal, mata, dan

genital yang terasa nyeri. Biasanya diikuti dengan gangguan pencernaan,

fotofobia, sinekia konjungtiva dan nyeri saat BAK. Kavitas oral dan batas bibir

lebih banyak terkena dan gambaran erosi hemoragik yang nyeri tertutup

grayish white pseudomembrane dan krusta pada bibir.Stomatitis dan mucositis


menyebabkan gangguan asupan oral sehingga mengakibatkan malnutrisi dan

dehidrasi. Pada 85% pasien terdapat lesi konjungtiva, umumnya bermanifestasi

hyperemia, erosi, edema pada konjungtiva, fotofobia dan lakrimasi. Dapat

memungkinkan terjadi shedding of eyelashes. Bentuk yang berat dapat

menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, pan opthalmitis dan

konjungtivitis purulen. Sinekia antara eyelid dan konjungtiva sering terjadi.

Keterlibatan membran mukosa dapat mengakibatkan komplikasi jangka

pendek maupun jangka panjang yang disebabkan oleh fibrosis dan striktur.

Dalam sebuah analisis retrospektif, 60% pasien SSJ/NET mengalam

manifestasi okular selama stadium akut dari sindroma. Keterlibatan kornea

dapat mengakibatkan ulserasi kornea, perforasi, dan perubahan kornea

sklerotik yang permanen. Urogenital sering terlibat pada penderita SJS/NET

terutama wanita. Uretritis terjadi sekitar 2/3 pasien , hal ini dapat menyebabkan

retensi urin serta erosi genital. Keterlibatan ini ditandai dengan ulseratif

vaginitis, bula vulva dan sinekia vagina. Dalam jangka panjang dapat terjadi

adhesi vagina dan stenosis, terhambat aliran kemih serta retensi urin, cystitis

berulang, hematocolpos. Adenosis vulvovaginal terkait adanya metaplasti

serviks atau kelenjar epitel endometrium pernah dilaporkan pada penderita

SJS/NET. Gejala Ekstra Kutan SSJ/NET dapat melibatkan organ visceral

terutama komplikasi pada paru-paru dan gastrointestinal. Komplikasi pada

paru dijumpai 25% kasus yang ditandai dengan sesak nafas, hipersekresi

bronkus, hipoksia, hemaptoe dan edema paru. Keterlibatan bronkus pada

SSJ/NET tidak berhubungan dengan beratnya lesi pada kulit. Pada beberapa

kasus yang dilaporkan, apabila terjadi gagal nafas akut segera setelah
munculnya kelainan kulit, maka prognosisnya lebih jelek. Kelainan pada gastro

dari SSJintestinal jarang ditemukan. Kelainan gastrointestinal biasanya berupa

nekrosis epithelial esofagus, diare, perdarahan gastrointestinal, melena, dan

perforasi kolon. Kelainan pada ginjal biasanya berupa proteinuria,

mikroalbuminuria, hematuria dan azotemia. Dapat pula ditemukan adanya akut

tubular nekrosis, glomerulonefritis.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang

dapat menegakkan diagnose SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat

menunjukkan anemia, limfopenia dan jumlah leukosit yang normal atau

leukositosis nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia dapat terjadi pada

1/3 pasien. Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya

infeksi bakteri yang lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena

adanya insidensi infeksi bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan

dengan morbiditas dan mortalitas.

Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah

langkah pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala

perubahan harus diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level gas

darah arteri. Tingkat serum bikarbonat dibawah 20 µm mengindikasikan

prognosis yang buruk. Pada umumnya disebabkan oleh alkalosis pernafasan

yang terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh

asidosis metabolik. Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan

pada SSJ/NET adalah gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia,

hipoproteinemia, insufisiensi ginjal, azotemia prerenal, leukositosis ringan,

anemia, neutropenia, sedikit peningkatan enzim hepar dan amilase,


hiperglikemia.Serum urea nitrogen > 10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L

dianggap penanda keparahan penyakit. Seluruh kasus yang disangkakan SSJ

dan NET harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan biopsi kulit untuk

histopatologi dan pemeriksaan immunofluoresence. Lesi awal menunjukkan

apoptosis keratinosit pada lapisan suprabasal. Lesi akhirnya akan

memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan pelepasan epidermis dari

dermis. Infiltrasi sel mononuclear dengan kepadatan sedang pada papilla

dermis dapat terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit dan makrofag.

2.7 Diagnosis Banding

Gambar 2. Diagnosis Banding NET18


Gambar 3. Perbedaan NET dan SJS19

2.8 Penatalaksanaan 13,14,15,16,17

1. Penatalaksaaan umum:

a. Penghentian obat penyebab

b. Menjaga keseimbangan cairan, termoregulasi dan nutrisi

c. Antibiotik

d. Perawatan luka

e. Perawatan mata

f. Perawatan mulut

2. Penatalaksanaan spesifik

a. Kortikosteroid spesifik: dexamethasone IV 4-6x5 sehari

b. IVIG
c. Siklosporin A 3 hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau oral (lesi di

kaki dan telinga yang paling ampuh).

d. GNF

Gambar 3. Algoritma Tatalaksana NET18


BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksis (NET) ialah

reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan

epidermis luas, disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula

eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi

lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis. Karena kesamaan dalam

temuan klinis dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya

penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang

berbeda hanya dalam persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua

penyakit dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal (NE).

Baik SSJ maupun NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran

mukosa. Karena kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta

mekanisme, SJS dan NET ini dianggap variasi dan kontinu penyakit yang

dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta persentase permukaan tubuh

yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan menggunakan istilah

eritema multiforme mayor untuk SSJ dan NET


DAFTAR PUSTAKA

1. Cohen, Victor, et al. 2017. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). Dapat diakses

melalui https://emedicine.medscape.com/article/229698-overview#a3 [21

Februari 2018]

2. Harr Thomas, French LE. Toxic Epidermal Necrolysis And Stevens Johnson

Syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11

3. Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns

Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,

Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology

in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw;2008;349-55

4. Milton H. Nirken et all. Steven-Johnson Syndrome And Toxic Epidermal

Necrolysis : Pathogenesis, Clinical Manifestations And Diagnosis, MD

Employee of UpToDate Inc , Feb 2015

5. Mahadi IDR. Sindroma Stevens Johnson. Dalam: Simposium dan Pelatihan

“What’s new in Dermatology”. Banda Aceh, 10 Juli 2010; 1-5

6. Torres MJ, Mayorga C, Blanca M. Nonimmediate Allergic Reactions Induced

by Drugs: Pathogenesis and Diagnostic Test. Dalam: J Investing Allergol

Clind Immunol 2009;19:80-90

7. Roujeau JC, Kelly JP, Naldi L, Rzany B, Stern RS, Anderson T, et al.

Medication Use And The Risk Of Stevens-Johnson Syndrome Or Toxic

Epidermal Necrolysis. N Engl J Med. 1995 Dec 14. 333(24):1600-7. [Medline].

8. Das S, Roy AK, Biswas I. A Six-Month Prospective Study To Find Out The

Treatment Outcome, Prognosis And Offending Drugs In Toxic Epidermal


Necrolysis From An Urban Institution In Kolkata. Indian J Dermatol. 2013

May. 58(3):191-3. [Medline]. [Full Text].

9. Thammakumpee J, Yongsiri S. Characteristics Of Toxic Epidermal Necrolysis

And Stevens-Johnson Syndrome: A 5-Year Retrospective Study. J Med Assoc

Thai. 2013 Apr. 96(4):399-406. [Medline].

10. Moshfeghi M, Mandler HD. Ciprofloxacin-Induced Toxic Epidermal

Necrolysis. Ann Pharmacother. 1993 Dec. 27(12):1467-9. [Medline].

11. Ernst ME, Ernst EJ, Klepser ME. Levofloxacin And Trovafloxacin: The Next

Generation Of Fluoroquinolones?. Am J Health Syst Pharm. 1997 Nov 15.

54(22):2569-84. [Medline].

12. Creamer JD, Whittaker SJ, Kerr-Muir M, Smith NP. Phenytoin-Induced Toxic

Epidermal Necrolysis: A Case Report. Clin Exp Dermatol. 1996 Mar.

21(2):116-20. [Medline].

13. Knowles S, Shear NH. Clinical Risk Management Of Stevens Johnson

Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451

14. Maja Mockenhaupt, MD, PhD. The Current Understanding of Steven Johnsos

Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Rev Clin Immunol 7 (6),

803 – 815 (2011)

15. Chung WH, Hung SI. Genetic Markers And Danger Signals In Stevens Johnson

Syndrome And Toxic Epidermal Necrolysis. Dalam: Allergology International,

2010;59:325-32

16. Milton H. Nirken et all. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal

Necrolysis : Pathogenesis, Clinical manifestations and diagnosis, MD

Employee of UpToDate Inc , Feb 2015


17. Ho, H. Diagnosis and management of stevens johnsosn syndrome and toxic

epidermal necrolysis. Dalam: Hongkong Medical Bulletin;2010 Vol.13 No 10.

18. Perdoski. Kedaruratan Kulit. Dalam: Panduan pelayanan medis dokter spesialis
kulit dan kelamin, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK

UI/RSCM:2011:263-7

19. Auquier-Dunant A, Mockenhaupt M, Naldi L, Correia O, Schroder W, Roujeau


JC. Correlations Between Clinical Patterns And Causes Of Erythema

Multiforme Majus, Stevens-Johnson Syndrome, And Toxic Epidermal

Necrolysis: Results Of An International Prospective Study. Arch Dermatol.

2002;138(8):1019-24

Anda mungkin juga menyukai