Anda di halaman 1dari 15

Definisi

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksok (NET) merupakan reaksi

mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga

terlepas. Makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi

lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis. Kedua penyakit ini mirip dalam gejala klinis

dan histopatologis, faktor resiko, penyebab dan patogenesisnya, sehingga saat ini digolongkan

dalam proses yang identik, hanya dibedakan berdasarkan keparahan saja. Pada SSJ, terdapat

epidermolisis sebesar < 10% luas permukaan badan (LPB), sedangkan pada NET >30%.

Keterlibatan 10%-30% LPB disebut sebagai overlap SSJ-NET. (FKUI)

Gambar 1. Gambaran luas permukaan pelepasan epidermis pada SSJ, NET dan SSJ overlap NET
Etiologi

Etiologi SSJ/NET masih belum diketahui secara pasti, namun sekarang diketahui obat-

obatan adalah etiologi utama yang dapat terjadi pada orang dewasa atau anak-anak. Terdapat lebih

dari 100 obat yang dikenal sebagai penyebab SSJ/NET. Sebuah penelitian case control

mengevaluasi resiko SSJ dan NET yang berhubungan dengan pengobatan. Antibiotik sulfonamide

(khususnya sulfametoksazol kombinasi dengan trimetoprim), karbamazepin, fenitoin,

fenobarbital, obat-obat antiinflamasi nonsteroid tipe oksikam, allopurinol, klormezanon,

aminopenisillin, sefalosporin,lamotrigin,Nevirapin, kuinolon, dan antibiotik siklik dihubungkan

dengan resiko relatif tertinggi.1,2,5,14

Pasien dengan SSJ dan NET juga harus dievaluasi kemungkinan penyakit dasarnya yang

memungkinkan sebagai penyebab timbulnya reaksi. Infeksi Mycoplasma pneumonia (Sontheiner

dkk, 1978) dan herpes simplek (Orthon, 1984) merupakan infeksi tersering yang menyebabkan

SSJ dan NET. Infeksi adalah penyebab SSJ pada anak-anak yang tersering dimana seringkali

diimplikasikan dengan Mycoplasma pneumonia. Infeksi penyebab lainnya yaitu virus herpes

simpleks, Mycobacterium tuberculosis, streptokokus grup A, virus hepatitis B, dan virus Eipstein-

Barr. Dalam sebuah ulasan sistemik dari literature Jepang yang dipublikasikan, hampir 70% kasus

SSJ dianggap disebabkan oleh obat-obatan dan 10% oleh M.pneumoni atau kombinasi

M.pneumonia dan/atau obat-obatan. Seluruh kasus NET dicurigai disebabkan terutama obat-

obatan.2
Tabel 1. Obat-obatan yang dapat beresiko menyebabkan SSJ dan NET

(dikutip sesuai dengan keputakaan no 3 )

Faktor Resiko

Faktor resiko nonmedikasi yang telah dihipotesiskan dapat meningkatkan resiko NET

termasuk HIV, radioterapi, dan lupus eritematosus. Sebagai contoh radioterapi dapat memicu atau

memperburuk NET dimana djumpai lesi kulit yang maksimal pada tempat yang terpapar. Infeksi

herpes yang baru dapat berperan dalam perkembangan SSJ akan tetapi tidak pada kasus SSJ/NET

overlap atau NET. Pada pasien HIV telah dilaporkan memiliki 100x lipat lebih tinggi terkena SJS

/NET. NET telah dilaporkan pada pasien lupus eritematosus sistemik, pasien-pasien ini dapat

mengalami NET walaupun tidak mengkonsumsi obat-obatan resiko tinggi atau telah menggunakan

obat-obat tersebut untuk waktu yang lama. Insufisiensi renal dapat menjadi faktor resiko efek

samping kulit yang serius yang diinduksi allopurinol. Kasus SSJ/NET pernah dilaporkan terjadi
setelah transplantasi sumsum tulang, beberapa dapat berat menjadi graft versus host disease.

Radioterapi bersama terapi anti epilepsi juga pernah dilaporkan menyebabkan NE pada tempat

radiasi tersebut.2,14

Epidemiologi

SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang, secara umum insidens SSJ adalah 1-6

kasus/juta penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2 kasus/juta penduduk/tahun. Angka kematian

NET adalah 25-35%, sedangkan angka kematian SSJ adalah 5%-12%. Penyakit ini dapat terjadi

pada setiap usia, terjadi peningkatan resiko pada usia diatas 40 tahun. Perempuan lebih sering

terkena dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5: 1. Data dari ruang rawat inap RSCM

menunjukkan bahwa selama tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan rincian: SSJ 47,4%,

overlap SSJ-NET 19,3% dan NET 33,3%. (fkui)

Patofisiologi dan Patogenesis

Patogenesis NET belum diketahui secara jelas. Penerapan teknik farmakogenomik dan

biologi molekular pada studi sebelumnya lebih lanjut mengungkapkan bahwa disposisi genetik

sebagaimana mediator imun adalah hal yang penting dalam perkembangan SSJ dan NET.

Walaupun interaksi Fas-FasL sudah dipertimbangkan sebagai efektor utama yang menyebabkan

apoptosis keratinosit.

Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya reaksi sitotoksik yang diperantarai

sel melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang masif. Reaksi ini dicetuskan sel T CD4+
dan CD 8+ yang menghasilkan mediator sitotoksik yang berakibat apoptosis keratinosit. Penelitian

imunopatologis dijumpai adanya CD8+ killer lymphocytes (sel NK) pada epidermis dan CD4+

pada dermis pada reaksi bulosa yang berat, dijumpai sel CD8+ pada epidermis. Jumlah sel CD4+

ini dijumpai meninggi pada darah perifer penderita SSJ ataupun NET. Sel sitotoksik CD8+

mengekspresikan reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh melalui perforin dan granzyme B, tidak

melalui Fas atau Trail. Jadi ikatan obat dan protein akan diproses, kemudian akan dipresentasikan

oleh sel penyaji antigen (APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi toleran atau reaksi

efektor seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap obat, MHC

(major histocompatibility complex - restricted cytotoxic reactions) melawan keratinosit.5,7

Sekarang telah diterima dengan baik bahwa ekspansi oligoklonal CD 8+ bereaksi terhadap

obatobatan tertentu, memiliki kecocokan mayor dengan jaringan sitotoksik yang rumit dan terbatas

berlawanan dengan keratinosit. Selanjutnya, regulasi CD4+ CD 25+ sel T telah menunjukkan

pentingnya pencegahan kerusakan epidermal hebat yang diinduksi limfosit T sitotoksik reaktif.

Sitokin penting seperti IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas ligand (Fas-L) juga ada

pada lesi kulit SSJ/NET.1,2,5,7

Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas dikatakan menyebabkan

kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat ini bahwa peningkatan level FasL

dapat ditemukan pada serum pasien dengan SSJ dan NET, dan levelnya meningkat secara

konsisten ketika sebelumnya terdapat pelepasan kulit.1,7

Viard et al. mengatakan bahwa aktivasi Fas menyebabkan apoptosis keratinosit. Ketika

limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi kaskade enzim intraseluler yang

disebut kaspase yang kemudian menyebabkan kematian sel. Limfosit T sitotoksik dapat

menginduksi kaskade kaspase melalui perforin/granzyme atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan
menginduksi perubahan pada Fas yang menyebabkan pengambilan FADD (Fassociated Death

Domain Protein). FADD merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8, yang

fungsinya membawa bersama-sama cetakan-cetakan prokaspase 8. Cetakan ini kemudian

mengalami autoaktivasi membentuk kaspase 8 yang selanjutnya mengaktifkan kaskade kaspase

yang berujung pada apoptosis keratinosit.1,2,7

Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel T sitotoksik

mengeluarkan perforin yang akan membuat saluran 16 nm pada membran sel target. Kemudian

granzyme B melewati saluran ini dan mengaktifkan kaskade kaspase. Obat-obatan dapat

mengaktifkan sel T dengan bertindak sebagai hapten, prohapten atau dengan interkasi farmakologi

langsung antar obat, molekul MHC dan reseptor sel T.7

Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa alel Human Leukocyte Antigen (HLA-

B*1502) berhubungan kuat pada subyek etnik Cina/Asia dengan SSJ dan NET yang diinduksi

karbamazepin tetapi tidak dengan erupsi eksantematosa diinduksi karbamazepin atau sindroma

hipersensitivitas obat (juga dikenal sebagai reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik atau

DRESS). Satu dari laporan pertama menunjukkan bahwa HLA-B*1502 dijumpai pada 100%

pasien SSJ yang diinduksi karbamazepin tetapi hanya sebesar 3% dari pasien yang mentoleransi

karbamazepin dan pada 9% populasi umum. HLA-B*1502 terjadi pada 10-15% individu dari Cina

selatan, Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, Taiwan, dan mempunyai angka prevalensi 2-4%

lebih tinggi di kelompok Asia selatan lainnya termasuk India.2,7


Gambar 2. Apoptosis keratinosit yang diinduksi sinaps imun dari interaksi obat.

Manifestasi Klinis

SSJ dan NET biasanya mulai dengan demam, sakit kepala, batuk, dan pegal, yang dapat

berlanjut dari 1-14 hari. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan

batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah

ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar,

dan mudah dilepas bila digosok. Pada NET, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya

dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah

kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan

demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok. Pada SSJ dan NET, pasien mendapat lepuh

pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

(kupdf.com_makalah-sindrom-steven-johnson.pdf)
Kehilangan kulit dalam NET serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama

berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit

yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian

utama akibat NET. (kupdf.com_makalah-sindrom-steven-johnson.pdf)

Gejala awal termasuk :

 Ruam

 Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

 Bengkak pada kelopak mata, atau mata merah

 Konjungitivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam kelopak mata dan bola

mata)

 Demam terus-menerus atau gejala seperti flu

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari

ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai

koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri

kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. (kupdf.com_makalah-sindrom-steven-johnson.pdf)

Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

a) Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah

sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat

kelainannya generalisata. (kupdf.com_makalah-sindrom-steven-johnson.pdf)

b) Kelainan selaput lendir di orifisium

Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh

kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing

8% dan 4%). Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan

ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang

sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan dimukosa dapat juga terdapat

difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan

penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan

keluhan sukar bernafas. (kupdf.com_makalah-sindrom-steven-johnson.pdf)

c) Kelainan mata

Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis

kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis dan

iridosiklitis. Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis

dan onikolisis. (kupdf.com_makalah-sindrom-steven-johnson.pdf)


Diagnosis

SSJ dan NET biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat (biasanya setelah 4-30

hari). Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi yang cepat dalam beberapa jam. Biasanya

terpapar oleh obat yang sama.5,6

Spektrum efek samping kutaneus berat yang dapat menunjukkan varian proses penyakit

yang sama termasuk SSJ dan NET. Eritema multiforme (EM), EM mayor, dan EM mayor atipikal

adalah reaksi kutaneus yang biasanya tampak setelah infeksi daripada setelah pengobatan. Kasus-

kasus berat EM mayor dan EM mayor atipikal dapat dibingungkan dengan SSJ. Kebanyakan

peneliti mempercayai bahwa SSJ dan NET berada dalam satu spektrum keparahan dan berbeda

dengan penyakit-penyakit EM.2,3 Diferensiasi antara SSJ dan NET tergantung pada riwayat lesi

kulit dan luasnya area permukaan tubuh yang terlibat. Secara klinis setiap pola reaksi tersebut

ditandai dengan adanya trias erosi membran mukosa, lesi target, dan nekrosis epidermal dengan

pengelupasan kulit.2

 Gejala Prodromal

Gejala non spesifik (prodromal) seperti demam, dengan temperature melebihi 39°C (

102,2°F) sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari sebelum timbul kelainan pada kulit.

Timbul rasa nyeri menelan, konjungtiva terasa gatal dan panas disertai silau bila terkena cahaya.

Hal ini menandakan gejala awal keterlibatan mukosa..Sepertiga pasien dimulai dengan adanya

gejala non spesifik, sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya dengan

keluhan eksantema. Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise dapat mendahului

perkembangan lesi kulit selama 2 minggu.1,3,14

 Lesi Pada Kulit


Lesi kulit yang nyeri sering pertama kali tampak ada badan dan kemudian menyebar cepat

ke muka, leher, dan ekstremitas dengan keterlibatan maksimal setelah 4 hari. Erupsi biasanya

simetris, terdistribusi pada wajah, tubuh bagian atas dan proksimal ekstremitas, namun bisa sampai

seluruh badan. Lesi kulit awal dikarakteristikkan dengan makula eritematosa, merah kehitaman

bentuk ireguler yang bersatu secara progresif. Lesi target atipikal dengan warna gelap di tengah

sering terlihat. Lesi nekrotik yang berkonfluensi menimbulkan eritema yang meluas dan difus.

Epidermis nekrotik mudah terlepas karena trauma gesekan, meninggalkan daerah yang merah dan

erosi. Bula SSJ/NET kendur dan dapat dijumpai Nikolsky’s sign.2,3. Bila terkena sentuhan lesi ini

terasa sakit.

Pasien dapat diklasifikasikan berdasarkan total permukaan tubuh yang terkena, yaitu SSJ

apabila total permukaan tubuh yang terkena adalah < 10%. NET apabila total permukaan tubuh

yang terkena >30% dan SSJ/NET overlapping dengan NET bila mengenai total permukaan tubuh

yang terkena adalah antara 10-30%.1,2,3,5,14

 Lesi Pada Mukosa

Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu sedikitnya 2 tempat) diamati pada 90% kasus

dan mendahului atau diikuti erupsi pada kulit. Dimulai dengan eritema yang diikuti oleh erosi

mukosa bukal, mata, dan genital yang terasa nyeri. Biasanya diikuti dengan gangguan pencernaan,

fotofobia, sinekia konjungtiva dan nyeri saat BAK. Kavitas oral dan batas bibir lebih banyak

terkena dan gambaran erosi hemoragik yang nyeri tertutup grayish white pseudomembrane dan

krusta pada bibir.Stomatitis dan mucositis menyebabkan gangguan asupan oral sehingga

mengakibatkan malnutrisi dan dehidrasi.1,2,3,5,14


Pada 85% pasien terdapat lesi konjungtiva, umumnya bermanifestasi hyperemia, erosi,

edema pada konjungtiva, fotofobia dan lakrimasi. Dapat memungkinkan terjadi shedding of

eyelashes. Bentuk yang berat dapat menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, pan opthalmitis

dan konjungtivitis purulen. Sinekia antara eyelid dan konjungtiva sering terjadi. 3,14

Keterlibatan membran mukosa dapat mengakibatkan komplikasi jangka pendek maupun

jangka panjang yang disebabkan oleh fibrosis dan striktur. Dalam sebuah analisis retrospektif, 60%

pasien SSJ/NET mengalam manifestasi okular selama stadium akut dari sindroma. Keterlibatan

kornea dapat mengakibatkan ulserasi kornea, perforasi, dan perubahan kornea sklerotik yang

permanen.2

Urogenital sering terlibat pada penderita SJS/NET terutama wanita. Uretritis terjadi sekitar

2/3 pasien , hal ini dapat menyebabkan retensi urin serta erosi genital. Keterlibatan ini ditandai

dengan ulseratif vaginitis, bula vulva dan sinekia vagina. Dalam jangka panjang dapat terjadi

adhesi vagina dan stenosis, terhambat aliran kemih serta retensi urin, cystitis berulang,

hematocolpos. Adenosis vulvovaginal terkait adanya metaplasti serviks atau kelenjar epitel

endometrium pernah dilaporkan pada penderita SJS/NET.14

 Gejala Ekstra Kutan

SSJ/NET dapat melibatkan organ visceral terutama komplikasi pada paru-paru dan

gastrointestinal. Komplikasi pada paru dijumpai 25% kasus yang ditandai dengan sesak nafas,

hipersekresi bronkus, hipoksia, hemaptoe dan edema paru. Keterlibatan bronkus pada SSJ/NET

tidak berhubungan dengan beratnya lesi pada kulit. Pada beberapa kasus yang dilaporkan, apabila

terjadi gagal nafas akut segera setelah munculnya kelainan kulit, maka prognosisnya lebih jelek.

Kelainan pada gastro dari SSJintestinal jarang ditemukan. Kelainan gastrointestinal biasanya
berupa nekrosis epithelial esofagus, diare, perdarahan gastrointestinal, melena, dan perforasi

kolon. Kelainan pada ginjal biasanya berupa proteinuria, mikroalbuminuria, hematuria dan

azotemia. Dapat pula ditemukan adanya akut tubular nekrosis, glomerulonefritis.3

Diagnosis Banding

Tidak adanya lesi pada membran mukosa atau hanya terbatas pada satu bagian harus selalu

meningkatkan kecurigaan terhadap diagnosis alternatif : staphylococcal scalded skin syndrome

pada bayi, purpura fulminans pada anak-anak dan dewasa muda, acute generalized, exanthematous

pusstulosis, thermal burns, phototoxicity,atau tekanan bula pada orang dewasa. Penyakit bullous

Linear immunoglobulin A dan pemphigus paraneoplastik muncul dengan hanya sedikit

perkembangan akut. Penemuan patologis dan hasil positif pada tes direct immunofluorescence

penting diagnosis ini.8,9

Tabel 3. Diagnosis banding SSJ dan NET

(Dikutip sesuai kepustakaan nomor: 13)


Penatalaksanaan

Komplikasi

Steven Johnson Syndrome sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut :

 Oftalmologi : ulserasi kornea, uveitis anterior, panophtalmitis, kebutaan

 Gastroenterologi : Esophageal strictures

 Genitourinaria : nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal

 Pulmonari : pneumonia

 Kutaneus : timbulnya jaringan parut dan kerusakan jaringan permanen, infeksi kulit

sekunder

 Infeksi sistemik, sepsis

 Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer 2002) (dokumen.tips_57294946-stevens-

johnsonpdf.pdf)

Prognosis

Keparahan dan prognosis SSJ-NET dapat dinilai dengan skala SCORTEN. Skala

SCORTEN ialah skala untuk menentukan keparahan dan prognosis penyakit kulit berlepuh.

11_217Sindrom%20Stevens-Johnson%20Diduga%20Akibat%20Siprofloksasin.pdf)
(Dikutip sesuai kepustakaan nomor:3)

Anda mungkin juga menyukai