Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Steven-Johnson (SSJ) pertama kali ditemukan pada tahun 1922.


Sindroma Steven-Johnson (SSJ) merupakan reaksi hipersensitivitas yang
dimediasi oleh kompleks imun dengan gambaran eritema multiformis yang berat.
Sindrom ini dikenal sebagai eritema multiformis mayor, tetapi banyak literatur
yang tidak setuju dengan pendapat ini.1
Sindroma

Steven-Johnson

(SSJ)

merupakan

reaksi

akut

pada

mukokutaneus yang mengancam nyawa dengan karakteristik nekrosis dan


hilangnya lapisan epidermis. Steven dan Johnson pertama kali melaporkan dua
kasus erupsi kutaneus diseminata yang berkaitan dengan stomatitis erosif dan
gangguan okular hebat. SSJ melibatkan kulit dan membran mukosa. Gejala minor
yang muncul dapat melibatkan membran mukosa mulut, hidung, mata, vagina,
uretra, gastroinstestinal dan saluran pernafasan bawah dan dapat berkembang
selama perjalanan penyakit. Saluran cerna dan saluran pernafasan dapat menjadi
nekrosis. Sehingga bisa disimpulkan bahwa SSJ merupakan gangguan sistemik
serius yang berpotensi meningkatkan morbiditas dan bahkan kematian. Namun,
sering terjadi kesalahan diagnosis pada penyakit ini.1,2
Secara umum, kasus SSJ/TEN diperkirakan berjumlah 1-6 kasus per satu
juta orang per tahun dan secara respektif diperkirakan 0,4-1,2 kasus satu juta
orang per tahun. Terdapat 1,89 kasus per tahun yang dilaporkan di Jerman Barat
dan Berlin pada tahun 1966. Insidensi yang terendah dilaporkan oleh Chan et al di
Singapura. Penyakit ini dapat mengenai semua usia, yang risikonya meningkat
pada usia dekade keempat, dengan rasio seks 0,6. Diperkirakan hanya 10 kasus
dari 50 kasus SSJ/TEN ditemukan pada pasien HIV dan diperkirakan terdapat 15
kasus SSJ/TEN pada pasien AIDS. Pasien dengan penyakit vaskular dan kanker
juga berisiko tinggi. Secara keseluruhan, angka mortalitas SSJ 5-12%.2,3
Patofisiologi penyakit ini masih belum jelas, namun sekarang ini obatobatan menjadi faktor penyebab utama. Lebih dari 100 jenis obat dilaporkan
1

menjadi penyebab yang diperkirakan sekitar 70% kasus. Selain itu, peran agen
infeksi juga dilaporkan pada beberapa kasus. Virus herpes simpleks ditemukan
pada beberapa kasus, terutama pada anak-anak. Selain itu, beberapa faktor lain
juga dapat menyebabkan SSJ namun kasus ini masih harus diidentifikasi lebih
lanjut.2,3
Dalam banyak kasus, dapat disimpulkan masih tingginya mortalitas
SSJ/TEN, bahkan pada kasus berat dapat mencapai 30%. Selain itu, karena
penggunaan obat yang merupakan penyebab utama, sehingga diperlukan
identifikasi dan pengenalan pada penyakit ini untuk menghilangkan penyebab dan
perbaikan kondisi serta mencegah kekambuhan dan komplikasinya.4,5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Sindroma Steven-Johnson (SSJ) merupakan reaksi hipersensitivitas yang
melibatkan kompleks imun-antibodi, pada mukokutaneus dengan karakteristik
nekrosis atau hilangnya lapisan kulit dan mengenai membran mukosa yang terjadi
karena respon obat-obatan, infeksi maupun penyakit lainnya. Ringan beratnya
gejala ditentukan berdasarkan persentasi area permukaan tubuh (Body Surface
Area/BSA).1,2
2.2. ETIOLOGI
Terdapat 4 kategori etiologi pada SSJ, antara lain1 :
1. Infeksi
Hampir setengah pasien dengan SSJ dilaporkan dengan infeksi saluran
pernafasan atas. Agen penyebab infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur maupun
protozoa. Bakteri penyebab SSJ diantaranya streptokokus -hemolitikus grup A,
difteri, Brucellosis, mikobakteria, Mycoplasma pneumonia, tuleremia, dan tifoid.
Kasus incomplete dilaporkan setelah terdapat infeksi Mycoplasma pneumonia.
Virus penyebab SSJ yang dilaporkan antara lain virus herpes simpleks (HSV),
AIDS, virus coxsackie, dan variola. Pada anak, virus penyebab yang
teridentifikasi yaitu virus Epsteins-Barr dan enterovirus. Selain itu ada penelitian
yang menunjukkaan kemungkinan SSJ juga disebabkan oleh jamur seperti
coccidioidomycosis, dermatofitosis, dan histoflasmosis. Protozoa juga dilaporkan
sebagai penyebab SSJ, antara lain seperti malaria dan trichomoniasis.1,2,3,6
2. Induksi Obat
Sindroma Steven-Johnson (SSJ)/TEN paling sering disebabkan obatobatan. Patogenesisnya multifaktor dan mungkin disebabkan dinamika antara
faktor didapat

dan konstisional

yang

berkaitan

dengan obat maupun

metabolismenya. Ada berbagai macam obat yang telah diidentifikasi dapat


3

menyebabkan SSJ/TEN dan berkaitan dengan penyakit lokal dan peresepan obat.
Tabel di bawah ini merupakan obat-obatan yang dapat menginduksi SSJ2,5,6
Tabel 2.1. Obat-obatan yang Dapat Menginduksi SSJ/TEN2
High Risk
Allopurinol

Lower Risk
Acetic Acid NSAIDs

Doubtful Risk
Paracetamol

No Evidence of Risk
Aspirin

Sulfamethoxazole
Sulfadiazine
Sulfapyridine

(e. g. diclofenac)
Aminophenicilins
Cephalosporins
Quinolones

(acetaminophen)
Pyrazolones analgesic
Corticosteroids
Other NSAIDs

Sulfonylurea
Thiazide diuretics
Furosemide

Sulfadoxine
Sulfasalazine
Carbamazepine
Lamotrigine

Cyclins
Macrolides

Phenobarbital

(except aspirin)
Seetraline

Aldactone
Calcium Channel Blockers
Blockers
Angiotensi-converting
enzyme inhibitor
Angiotensin II receptor

antagonist
Phenytoin
Statins
Phenylbutazone
Hormones
Nevirapine
Vitamins
Oxicam NSAIDa
Thiacetazone
(Sumber : Allanore IV dan Roujeau JC. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome
and Toxic Epidermal Necrolysis) Dalam Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Seventh
Edition. Volume 1 & 2. United States of America : Mc-Graw Hill. Companies. Section 6. Hal 349355.)

3. Kehamilan
Kehamilan dapat menginduksi SSJ, walaupun kasus SSJ pada kehamilan
sangat jarang namun pernah dilaporkan pada wanita usia 23 tahun. G2A1 usia
gestasi 37 minggu, dengan tanda klinis SSJ setelah disuntik dengan sefotaksim.
Terdapat juga satu kasus stenosis vaginal diikuti SSJ pada kehamilan. SSJ pada
kehamilan dapat berakibat fatal karena imunocompromise. Walaupun demikian,
diagnosis awal dan penatalaksanaan yang tepat dapat menyelamatkan ibu dan
anak.7
4. Idiopatik
Penyakit SSJ ini merupakan penyakit idiopatik (penyebabnya tidak
diketahui) dan diketahui sebagai sindroma hipersensitivitas yang melibatkan
kompleks imun antibodi.8
2.3. PATOGENESIS

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai


faktor. Lebih dari setegah jumlah kasus yang pernah ditemukan, tidak dapat
dipastikan penyebab spesifik dari SSJ ini. Walaupun pada umumnya SSJ sering
berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Sekitar 50% penyebab SSJ adalah
obat. Peringkat tertinggi penyebab SSJ adalah obat-obat sulfonamid, -lactam,
imidazol dan NSAID, sedangkan peringkat selanjutnya adalah kuinolon,
antikonvulsan aromatik dan alopurinol. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ
diantaranya: infeksi (virus herpes simplex, dan Mycoplasma pneumoniae),
makanan (coklat), dan vaksinasi, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Faktor fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar-X) juga berperan sebagai pencetus
(trigger).9
Sindroma Steven-Johnson memiliki karakteristik khas dengan onset akut
terjadinya eritema yang diikuti nekrosis secara meluas dan menyerang epidermis
serta membran mukosa. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun
sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan IV. Oleh karena
proses hipersensitiftas, maka muncul gejala kerusakan kulit yang pada akhirnya
terjadi: 1) kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, 2) stres
hormonal diikuti

peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan

glukosuria, 3) kegagalan termoregulasi, 4) kegagalan fungsi imun, dan 5)


infeksi.1,9
2.3.1. Marker Genetik yang Beperan dalam SSJ
Dalam beberapa tahun terakhir telah banyak laporan kasus yang
membahas mengenai hubungan genetik antara HLA dan SSJ. Korelasi kuat antara
dua komponen genetik tersebut pertama kali ditemukan di Han, China, pada tahun
2004. Pasien-pasien SSJ yang diinduksi Carbamazepine (CBZ) ditemukan 100%
membawa genetik HLA-B*1502, dan hanya 3% dari pembawa genetik HLAB*1502 yang toleransi dengan karbamazepine. Pada ras Eropa dan Jepang kasus
SJS yang diinduksi CBZ sangat jarang ditemukan. Hal yang unik adalah HLAB*1502 ternyata hanya ditemukan pada orang Han China keturunan Asia dan hal
ini mungkin bisa memberi penjelasan tentang resiko yang sangat besar terjadinya

SSJ yang diinduksi CBZ di Asia Tenggara dibandingkan Bangsa Eropa dan
Jepang.10
Selain itu, ditemukan juga HLA-B*5801yang menjadi marker genetik
pada pasien-pasien SSJ yang diinduksi allupurinol. Dalam penelitian lain juga
disebutkan HLA-B*1502, HLA-B*5902, HLA-B*4801, HLA-B*5701, HLADR7, HLA-DQ3, dan HLA-A*0206 mungkin juga memiliki peran penting
sebagai marker genetik penyebab SSJ. Namun hal ini masih perlu penelitian lebih
lanjut.3,10,11,12

Gambar 2.1. Marker genetik dan sinyal pada SSJ/TEN


(Sumber : Chung WH dan Hung S. 2010. Genetic Markers and Danger Signals in Stevens-Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. J Allergology International. Vol 59 No. 4. Hal : 325332)

2.3.2. Obat-obatan, HLA, dan T-Cell Mediated Immunity pada SSJ


Patogenesis terjadinya respon sitotoksik pada SSJ dimulai akibat
kesalahan pengenalan obat oleh molekul HLA kelas I yang menginisiasi aktivasi
sel T dan menyebabkan terjadinya ekspansi klonal sel T sitotoksik CD8+ di kulit.
Hal ini dipengaruhi immun HLA-restricted. Lebih jauh lagi, ditemukan 5 peptida
yang menunjukkan afinitas tinggi penyebab kesalahan pengenalan HLA terhadap
beberapa obat yang lokasinya berada di Antigen Presenting Cell (APC).3,10,11
2.3.3. Keikutsertaan Sel Natural Killer (NK) pada SSJ

Selain sel T sitotoksik, sel Natural Killers juga terlibat dalam terjadinya
SSJ. Dalam beberapa penelitian terakhir, disebutkan bahwa granulosin yang
disekresi oleh sel T sitotoksik dan sel Natural Killers, merupakan kunci utama
yang bertanggung jawab dalam kematian keratinosit pasa SSJ.10
2.3.4. Sinyal dan Mediator Berbahaya yang Menginduksi Terjadinya
Apoptosis Keratinosit pada SSJ
1. Apoptosis yang Diinduksi Fas-FasL
Beberapa penelitian menemukan dalam perjalanan terjadinya apoptosis
keratinosit, banyak ditemukan Fas-FasL yang disebut menjadi salah satu faktor
pencetus kematian sel. Namun teori ini masih banyak mengalami perdebatan
karena beberapa peneliti memperkirakan bahwa Fas-FasL tidak mempengaruhi
apoptosis. Fas-FasL hanya ditemukan disekresikan oleh keratinosit, namun tidak
menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu, temuan ini diperkuat dengan
sebuah penelitian yang mengatakan Fas-FasL tidak berada di permukaan
membran keratinosit, melainkan lebih cenderung melakukan perpindahan ke
permukaan sel selama terjadinya kerusakan keratinosit.3,10,11,12
2. Perforin/Granzim B dalam Perjalanan Apoptosis
Dalam cairan yang ditemukan pada ruam penyakit TEN, ditemukan
granzyme B dalam konsentrasi tinggi. Perforin dan Granzim B dihasilkan oleh
granula sekretori hasil aktivasi sel limfosit T sitotoksik dan sel NK. Perforin
mengikat dan mengaktifkan sebuah channel di membran sel target untuk
memasukkan Granzim B untuk mengkativasi tahapan-tahapan dalam perjalanan
apoptosis.3,10,11

3. Sinyal dan Sitokin Lain yang Berhubungan dengan Patogenesis SSJ


Selain yang disebutkan diatas, ada beberapa mediator lain yang berperan
dalam patogenesis SSJ antara lain tumor necrosis factor (TNF)-, interferon
(IFN)-, dan interleukin (IL)-10. Lesi berupa bula pada SSJ mensekresi IFN- dan
7

menstimulasi keratinosit untuk mengekspresikan TNF-, FasL, and IL-10,


sehingga ketiganya ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada cairan bulla sebagai
mekanisme pertahanan melawan sel limfosit T-sitotoksik. TNF- ini memiliki
mekanisme regulasi terhadap Fas-FasL, sehingga mengaktifasi TNF-reseptor 1
(TNF-R1) dan menginisisasi FADD (Fas-associated death domain protein).3,10,11
4. Granulisin Sebagai Faktor Mayor Penyebab Terjadinya Apoptosis
Keratinosit pada SSJ
Ribonukleat Acid (RNA) granulosin yang banyak ditemukan dalam sel-sel
kulit yang melepuh merupakan molekul sitotoksik yang paling signifikan menjadi
penyebab apoptosis keratinosit. Analisis Westernblot menunjukkan bahwa
granulosin dalam cairan bulla merupakan bentuk utama sekret 15 kDa. Secara in
vitro granulosin 15 kDa murni dapat mencetus sitotoksisitas secara signifikan
yang menyebabkan terjadinya kulit melepuh pada SSJ.3,10,11,12
Meskipun telah banyak penelitian tentang patogenesis SSJ, namun masih
begitu banyak hal dari SSJ yang tetap menjadi misteri. Sebagai contoh, bagaimana
proses ketika orang minum obat dapat mencetuskan sekresi granulosin. Kemudian
bagaimana Sel T CD8+/NK bisa menyebabkan sekresi granulosin pada SSJ. Lalu
apa hubungan spesifik obat, dengan HLA, dan sinyal-sinyal sitotoksik, yang
semuanya masih perlu penelitian lebih lanjut.3,10,11,12

Gambar 2.2. Patogenesis penyebab terjadinya apoptosis

(Sumber : Chung WH dan Hung S. 2010. Genetic Markers and Danger Signals in StevensJohnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. J Allergology International. Vol 59 No. 4. Hal
: 325-332)

2.4. MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis SSJ dimulai dengan13 :
a.

Sindroma prodromal yang non-spesifik dan reaksi konstisional berupa


meningkatnya suhu tubuh (demam), sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan,
nyeri dada, mialgia, sehingga penderita berobat. Dalam keadaan ini, penderita
sering

b.

mendapat

pengobatan

antibiotik

dan

antiinflamasi

sehingga

menyebabkan bias dalam mengidentifikasi obat penyebab SSJ.


Gejala kulit tampak berupa makula eritematus yang menyerupai morbiliform
rash, timbul pada muka, leher, dagu, tubuh dan ekstremitas. Sering ditemukan
lesi target (target lesions) dan bula dengan Nikolsky sign positif. Lesi

c.

membesar dan bertambah banyak.


Kelainan membran mukosa. Bibir dan mukosa mulut terasa sangat sakit,
disertai kelainan mukosa yang eritematus, sembab dan disertai bula yang
kemudian akan pecah sehingga timbul erosi yang tertutup pseudomembrane
(necrotic epithelium dan fibrin). Bibir mengalami massive hemorragic crusts.
Kelainan kelamin juga sering didapat berupa bula yang hemoragik dan erosi.
Sindroma Steven-Johnson (SSJ), TEN dan eritema multiformis harus

dibedakan walaupun penyebab penyakit dan mekanismenya sama dengan gejala


klinis yang hampir sama. Tabel 2.2. dan Gambar 2.1. akan memperlihatkan
perbedaan antara ketiganya.12
Tabel 2.2. Klasifikasi berdasarkan reaksi kulit12

(Sumber : Gerull et al. 2011. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome: A
Review. Crit Care Med. Vol 39 No. 6. Hal 1-12)

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang pada SSJ antara lain :
1. Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laju nafas dan oksigenasi darah merupakan langkah awal yang
dilakukan di ruang emergensi. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan
analisis gas darah arterial (AGDA). Kadar bikarbonat di bawah 20 mM
mengindikasikan diagnosis yang buruk. Biasanya hal tersebut disebabkan oleh
alkalosis respiratorik yang berkaitan dengan gangguan spesifik bronkhi dan yang
lebih jarang karena asidosis metabolik.2,14
Hilangnya cairan transdermal masif dikarenakan ketidakseimbangan
elektrolit, hipoalbuminemia, dan hipoproteinemia, insufisiensi renal transien, dan
azotemia prerenal. Meningkatnya kadar BUN juga menjadi tanda kegawatan.
Pemderita juga dapat mengalami anemia dengan leukositosis sedang dan
trombositopenia. Pemeriksaan lain yang dianjurkan dinilai berdasarkan skor
SCORTEN.2,14
Pemeriksaan kultur darah, kulit dan luka dilakukan untuk menilai insiden
infeksi bakterial pada darah dan sepsis yang menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas.1,14
2. Pemeriksaan Histopatologi
Biopsi kulit dan imunoflurosensi merupakan pemeriksaan histologi yang
rutin dilakukan, bahkan jika gejala klinis telah tegak, dan ini merupakan cara
untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada fase awal, gangguan epidermal
memiliki karakteristik apoptosis keratinosit yang tipis pada lapisan suprabasal,
kemudian dengan cepat mengenai sub-epidermal. Infiltrat sel mononuklear tebal
pada dermis papiler juga tampak, terutama direpresentasikan lomfosit dan
monosit. Di antara populasi sel T, limfosit CD8+ dengan fenotipe gambaran sel
sitotoksik yang menunjukkan reaksi imunologi. Eosinofil jarang terlihat. Hasil
imunofloresensi langsung negatif.2,14

10

2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan dengan gambaran
histologikal. Gejala klinis khas berupa makula eritematus dan livid pada kulit,
dengan Nikolsky sign positif yang diinduksi tekanan mekanis pada kulit, yang
diikuti beberapa menit sampai jam setelah onset terjadi. Nikolsky sign tidak
spesifik pada SSJ/TEN.3,4,14
2.7. DIAGNOSIS BANDING
1.
Penyakit yang memiliki gejala yang mirip2,12
a. Epidermal Nekrolisis Terbatas
- Erythema multiforme major
- Varisela
b. Epidermal Nekrolisis Berat
- Acute generalized exanthematous pustulosis
- Generalized bullous fixed drug eruption
2.
Penyakit yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding2
a. Paraneoplastic pemphigus
b. Linear immunoglobulin A bullous disease
c. Pressure blister after coma
d. Phototoxic reaction
e. Graft-versus-host disease
3.
Penyakit yang tidak bisa menjadi diagnosis banding2
a. Staphilococcal scaled skin syndrome
b. Thermal burns
c. Purpura fulminans
d. Chemical Toxicity
2.8. TATALAKSANA
Sindroma Steven-Johnson (SSJ)adalah penyakit yang mengancam jiwa
dan membutuhkan managemen optimal dengan cepat mendeteksi dan menarik
obat yang kemungkinan menjadi penyebab serta perawatan suportif yang tepat di
rumah sakit.2,5 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan
SSJ, antara lain sebagai berikut.
a.

Perawatan simtomastis
Pasien dengan gejala di kulit yang tidak terlalu luas atau pasien dengan

SCORTEN 0 sampai 1 dapat ditangani di tempat rawat biasa. Namun jika pasien
mengalami gejala klinis yang lebih berat dengan nilai SCORTEN yang lebih
tinggi, pasien seharusnya dirawat di Intensif Care Unit atau di Burn Center2.

11

Pengobatan suportif terdiri dari pemantauan dan perbaikan hemodinamik


dan pencegahan komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Tujuannya kurang lebih
sama dengan penatalaksanaan pada penyakit luka bakar.1,2,4,5
Pada kasus epidermal nekrolisis ini, dapat terjadi kehilangan cairan yang
signifikan akibat erosi kulit, yang akhirnya dapat menyebabkan hipovolemik dan
ketidakseimbangan elektrolit. Karena itu harus segera dilakukan pergantian cairan
harian secara adekuat. Jumlah cairan yang diberikan tidak harus sama dengan
kasus pada pasien luka bakar, karena pada kasus SSJ tidak terjadi edema
intertisial2.
Suhu lingkungan harus diatur diatas 28oC sampai 30oC (82,4oF-86oF). Bisa
digunakan tempat tidur khusus yang dapat mengatur suhu untuk membuat pasien
merasa nyaman2.
Pemberian nutrisi yang adekuat dengan nasogastric tube (NGT) bila
diperlukan untuk mempercepat kesembuhan dan untuk mencegah resiko
translokasi bakteri dari saluran gastrointestinal.2,5
Untuk mengurangi infeksi, diperlukan tindakan aseptik dan penanganan
luka secara hati-hati. Bila perlu dilakukan kultur kulit, darah, dan urin, secara
rutin, untuk melihat bakteri dan jamur yang mungkin menginfeksi.2
Pemberian antibiotik sebagai profilaksis tidak terlalu dianjurkan,
namunbila ditemukan tanda-tanda infeksi, antibiotik bisa menjadi pilihan. Bisa
diberikan profilaksis antikoagulan selama perawatan di rumah sakit. Tindakan
debridement pada epidermis yang mengalami nekrosis, tidak terlalu dianjurkan.2,4
Belum ada standar khusus untuk perawatan luka, tetapi tetap sesuai
prosedur antiseptik. Dan ini membutuhkan pengalaman, kehati-hatian, dan
protokol ketat serta penatalaksanaan yang adekuat. Untuk mata, perlu dilakukan
pemeriksaan harian oleh dokter spesialis mata. Bila perlu diberikan tetes mata,
antibiotik dan antiseptik topikal, dan vitamin A setiap 2 jam pada fase akut. Untuk
mulut harus di kompres setiap hari dengan cairan antifungal dan antiseptik.2,5
b.

Penatalaksanaan Spesifik
1. Pemberian Kortikosteroid
Pada dasarnya, pemberian kortikosteroid sistemik dalam kasus ini masih

kontroversial. Pada beberapa kasus ditemukan, pemberian steroid pada fase awal
dapat mencegah perburukan gejala penyakit. Namun di beberapa kasus lain,
12

steroid tidak mampu mencegah progresifitas penyakit, bahkan membuat


meningkatnya mortalitas, terutama akibat sepsis.1,2,5
2. Imunoglobulin Intravena
Pemberian immunoglobulin belum menjadi standar pengobatan, namun
jika tetap diberikan adalah bertujuan untuk mencegah potensi nefrotoksik.2
3. Cyclosporin A
Cyclosporin A merupakan suatu agen immunosupressif yang sangat baik
untuk penatalaksanaan SSJ. Obat ini mengaktivasi sitokin T helper 2,
menginhibisi mekanisme sitotoksik CD8+ , dan sebagai anti apoptosis efek dengan
menginhibisi Fas-L, faktor nukleus k B, dan TNF-2.
4. Plasmafaresis atau Hemodialisis
Plasmaforesis atau hemodialisis digunakan untuk menghilangkan efek
obat penyebab SSJ, hasil metabolismenya, atau membuang mediator inflamasinya
seperti sitokin2.
5. Agen Anti-TNF
c.

Pencegahan2
-

Melakukan patch test pada obat-obat yang akan digunakan yang dicurigai

akan menimbulkan alergi.


Berhati-hati dalam penggunaan obat-obatan tertentu.

2.9. KOMPLIKASI
Sepsis merupakan penyebab utama yang berakibat kematian. Erosi yang
luas merupakan risiko infeksi bakteri dan jamur yang dapat menimbulkan
komplikasi pada pernafasan dan gagal multi-organ. Jika gagal nafas terjadi, maka
diperlukan ventilator.2,4
Komplikasi pada mata terjadi pada 75% pasien, sehingga terapi awal
sangat dibutuhkan. Hiperpigmentasi dan hipopigmentasi biasa terjadi dan
terkadang terdapat skar dan distrofia kuku. Adhesi genital mengakibatkan
dispareunia, nyeri dan perdarahan. Komplikasi gastrointestinal (misal : striktur
esofagus), bronkial, genitourinaria (nekrosis tubular ginjal, stenosis vagina, dan
lain-lain), dan anal jarang terjadi. Gangguan stres post-trauma juga bisa terjadi,

13

sehingga dibutuhkan bantuan psikiater. Semua pasien SSJ/TEN harus dipantau


perkembangannya untuk menilai komplikasi yang dapat timbul belakangan.2,4

2.10. PROGNOSIS
Sindroma

Steven-Johnson

(SSJ)/TEN

merupakan

penyakit

yang

mengancam nyawa. Angka mortalitas dilaporkan 1-5%, yang meningkat pada


pasien yang tua dan bergantung pada luas area permukaan kulit yang terkena. Lesi
biasanya membaik sekitar 1-2 minggu, tanpa infeksi sekunder. Kebanyakan pasien
membaik tanpa gejala sisa. Gejala sisa yang mungkin muncul berupa simblefaron,
sinekia konjungtiva, entropian, tidak tumbuhnya bulu mata, skar kutaneus,
pigmentasi iregular, erupsi nevus, dan erosi persisten pada membran mukosa,
fimosis, sinekia vaginal, distrofia kuku, dan rambut rontok. Gejala sisa yang
serius seperti gagal nafas, gagal ginjal, dan kebutaan menentukan prognosis.
Hampir 15% pasien dengan SSJmeninggal karena bakterimia dan sepsis. Skor
SCORTEN merupakan varibel yang digunakan untuk menilai prognosis
berdasarkan faktor risiko.1,2,3,4,5
Tabel 2.3. SCORTEN

(Sumber : HHF Ho. 2008. Diagnosis and Management Stevens-Johnson Syndrome and Toxic
Epidermal Necrolysis. The Hongkong Medical Diary. Vol.13 No.10)

14

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Sindroma Steven-Johnson (SSJ) merupakan reaksi hipersensitivitas yang
dimediasi oleh kompleks imun dengan gambaran eritema multiformis yang
berat menyerang mukokutaneus dengan karakteristik nekrosis dan
hilangnya lapisan epidermis.
2. Sindroma Steven-Johnson (SSJ) adalah penyakit yang mengancam jiwa
dan membutuhkan managemen optimal dengan cepat mendeteksi dan
menarik obat yang kemungkinan menjadi penyebab serta perawatan
suportif yang tepat serta adekuat di rumah sakit.
3. Pengobatan suportif yang tepat terdiri dari pemantauan dan perbaikan
hemodinamik sehingga diharapkan dapat mencegah komplikasi dan
menurunkan resiko kematian.
B. SARAN
Dalam penyususnan tinjauan kepustakaan ini banyak sekali terdapat
kekurangan yang sangat membutuhkan saran untuk perbaikan kedepan. Karena
itu, kami selaku penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang
membangun, agar kedepannya tinjauan kepustakaan ini menjadi lebih baik dalam
memberikan informasi dan ilmu pengetahuan.

15

DAFTAR PUSTAKA

1.

Tyagi S et al. 2010. Stevens-Johnson Syndrome-A life threatening skin


disorder : A review. J. Chem. Pharm. Res, 2 (2) : 618-626. Diakses pada
tanggal 23 Juli 2013. Diunduh dari www.jocpr.com

2.

Allanore IV dan Roujeau JC. 2008. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson


Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis) Dalam Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine. Seventh Edition. Volume 1 & 2. United States of
America : Mc-Graw Hill. Companies. Section 6. Hal 349-355.

3.

Harr T dan French LE. 2010. Toxic Epidermal Necrolysis and StevensJohnson Syndrome. Orphanet Journal of Rare Disease 539. Diakses pada
tanggal 23 Juli 2013. Diunduh dari http://www.ojrd.com

4.

HHF Ho. 2008. Diagnosis and Management Stevens-Johnson Syndrome and


Toxic Epidermal Necrolysis. The Hongkong Medical Diary. Vol.13 No.10.
Diakses pada tanggal 23 Juli 2013. Diunduh dari http://www.googleadvanced.com

5.

Lehloenya R. 2007. Management of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic


Epidermal Necrolysis. J. Current Alergy and Clinical Immunology. Vol 20,
No. 3. Diakses pada tanggal 23 Juli 2013. Diunduh dari http://www.googleadvanced.com

6.

Mockenhaupt M. 2011. The Current Understanding of Stevens-Johnson


Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Diakses pada tanggal 23 Juli
2013. Diunduh dari http://www.medscape.org

7.

Jain S et al. 2011. Steven Johnson Syndrome in Pregnancy. J MGIMS, Vol 16,
No
(ii) 48-50. Diakses pada tanggal 23 Juli 2013. Diunduh dari
http://www.google-advanced.com

16

8.

Krishnagoudar B et al. 2012. Stevens-Johnson Syndrome Due to Phenytoin :


A Case Report. World Journal of Pharmaceutical Research. Volume 1. Issue
4. 1165-1169. Diakses pada tanggal 23 Juli 2013. Diunduh dari www.wjpr.net

9.

Harsono A. 2006. Naskah lengkap Continuing Education Ilmu Kesehatan


Anak XXXVI Kuliah Sindroma Steven Johnson : Diagnosis dan
Penatalaksanaan. Surabaya : Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI.
Diakses pada tanggal 23 Juli 2013. Diunduh dari www.idai.com

10. Chung WH dan Hung S. 2010. Genetic Markers and Danger Signals in
Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. J Allergology
International. Vol 59 No. 4. Hal : 325-332. Diakses pada tanggal 23 Juli
2013. Diunduh dari www.jsaweb.jp
11. Khalili B dan Bahna SL. 2006. Phatogenesis and Recent Therapeutic Trends
in Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. J Annals of
Allergy, Asthma & Immunology. Volume 97. Hal 272-281. Diakses pada
tanggal 23 Juli 2013. Diunduh dari http://www.google-advanced.com
12. Gerull et al. 2011. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson
Syndrome : A Review. Crit Care Med. Vol 39 No. 6. Hal 1-12. Diakses pada
tanggal 23 Juli 2013. Diunduh dari http://www.google-advanced.com
13. Murtiastutik D. 2011. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 2. Surabaya :
Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP)
14. Lee SC. 2012. Diagnosis Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis. KAAACI Annual International Congress and East Asia Allergy
Simposium.

17

Anda mungkin juga menyukai