Anda di halaman 1dari 29

KONSEPASUHAN KEPERAWATAN

PADA ANAK DENGAN


SLE (SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)

OLEH KELOMPOK VI
KELAS D1.A

1. SANG AYU PUTU WIDYA WISTARANI (C2121041)

2. NI MADE INTAN DWANI ANANTRA (C2121042)

3. I DEWA GEDE RAINDRA JAYA (C2121043)

4. I WAYAN YUSTANA YASA GIRI (C2121044)

5. IDA BAGUS GEDE YOGI AMBARA (C2121045)

6. NI KADEK YONI WEDYANDHARI (C2121046)

7. DEWA AYU MUTIARI CANDRA DEWI (C2121047)


8. NI MADE DWI SEPTIAWATI (C2121048)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES BINA USADA BALI
2021
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
SISTEMIK LUPUS ERYTHEMSTOSUS (SLE)

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak
normal melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat
terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang
kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. ( Silvia & Lorraine, 2006 )
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit radang yang menyerang
banyak sistem dalam tubuh, dengan perjalanan penyakit bisa akut atau kronis, dan
disertai adanya antibodi yang menyerang tubuhnya sendiri
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun multisystem
dengan manifestasi dan sifat yang sangat berubah – ubah, penuakit ini terutama
menyerang kulitr, ginjal, membrane serosa, sendi, dan jantung.(Robins, 2007)

2. Epidemiologi

Penyakit lupus atau systemic lupus erythematosus (SLE) prevalensinya dalam


populasi tertentu kira – kira satu kasus per 2500 orang, penyakit ini cenderung terjadi
pada perempuan (kira – kira 9:1), yang menyerang satu diantara 700 perempuan usia
subur. systemic lupus erythematosus (SLE) lebih sering ditemukan pada ras tertentu
seperti ras kulit hitam, Cina, dan Filipina. Penyakit ini terutama diderita oleh wanita
muda dengan puncak kejadian pada usia 15-40 tahun (selama masa
reproduktif)dengan perbandingan wanita dan laki-laki 5:1)
Di Indonesia, data unutk kasus SLE masih belum ada yang mencakup semua
wilayah Indonesia. Data tahun 2002, berdasarkan data pasien yang datang ke
poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam di RSUP Cipto Mangunkosumo Jakarta,
terdapat 1,4% kasusu dari total seluruh kunjungan pasien. Sedangkan unutuk RS
Hasan Sadikin Bandung, terdapat 10,5% (291pasien) dari total pasien yangberkunjung
ke poliklinik reumatologi pada tahun 2010.
3. Etiologi
Etiologi Penyebab SLE belum diketahui dengan pasti. Etiopatologi SLE diduga
melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan
faktor lingkungan. Faktor yang terlibat dalam imunopatologenesis SLE adalah:
a. Faktor genetik
Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan penyakit, elemen genetik
yang paling banyak diteliti kontribusinya terhadap SLE pada manusia adalah
gen dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC), kejadian SLE yang
lebih tinggi terjadi pada kembar monozigotik (25%) dibandingkan dengan
kembar dizigotik (3%). Peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita
SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada
kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan
dalam patogenesis.
b. Faktor hormonal
SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan. Serangan
pertama kali SLE jarang terjadi pada usia puberetas dan setelah manopouse.
Hormon esterogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen yang
tidak kuat pada laki-laki maupun perempuan, mungkin bertanggung jawab
terhadap perubahan respon imun. Konsetrasi progesteron didapatkan lebih
rendah pada penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.
c. Autoantibodi
Antibodi ini ditunjukkan kepada self molecules yang terdapat pada nukleus,
sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan
faktor koagulasi.keterlibatan antibodi anti-DNA pada nefritis lupus didukung
oleh adanya bukti-bukti: 1) Observasi klinis pada sebagian besar pasien
menunjukkkan bahwa nefritis aktif berhubungan dengan peningkatan titer anti-
DNA dan penurunan nilai total komplemen hemolitik. 2) Antibodi anti-DNA
lebih suka mengendap di ginjal,sehingga diduga bahwa komplek imun DNA-
antibodi anti-DNA merupakan mediator inflamasi yang utama.
d. Faktor Lingkungan
1) Faktor fisik/kimia : Amin aromatic, Hydrazine, Obat-obatan (prokainamid,
hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin, penisilamin)
2) Faktor makanan : Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan, L-canavanine
(kuncup dari elfalfa)
3) Agen infeksi : Retrovirus dan DNA bakteri/endotoksin
4) Hormone dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen): Terapi sulih
(HRT), pil kontrasepsi oral, Paparan estrogen prenatal. (Nurarif & Kusuma,
2016 hal. 97)

4. Patogenesis
Lupus ditandai oleh peradangan kronis atau berulang mempengaruhi satu atau
lebih jaringan dalam hubungan dengan beberapa autoantibodi. Beberapa, seperti anti -
sel merah dan antibodi antiplatelet, jelas patogen, sedangkan yang lain mungkin hanya
penanda kerusakan toleransi. Etiologi tetap misteri, tetapi seperti dalam banyak
penyakit kronis, tampaknya mungkin bahwa penyakit ini dipicu oleh agen lingkungan
dalam kecenderungan tiap individu (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
a. Faktor Endogen
Banyak autoantibodi (terutama ANAs) diarahkan terhadap antigen intraseluler
biasanya 'tak terlihat' untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini menunjukkan
autoimunitas yang berkembang, setidaknya dalam beberapa kasus, sebagai
konsekuensi dari kematian sel yang tidak normal atau disregulasi termasuk kematian
sel terprogram (apoptosis). Dalam mendukung Konsep ini telah menjadi pengakuan
bahwa model hewan lupus di MLR / lpr mencit karena mutasi genetik FAS. Aktivasi
FAS menyebabkan apoptosis, kelainan FAS mencegah apoptosis yang normal
menyebabkan proliferasi limfositik tidak terkendali dan produksi autoantibodi.
Sebuah homolog manusia model hewan adalah sindro limfoproliferatif autoimun
(ALPS), karena mutasi dari FAS, anak-anak mengembangkan limfadenopati besar
dan splenomegali dengan produksi autoantibody(Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).

b. Faktor Eksogen
Bahkan sedikit yang diketahui tentang pemicu yang bertanggung jawab untuk
sebagian besar bentuk lupus. Obat seperti antikonvulsan dan antibiotik (khususnya
minocycline) dapat menyebabkan lupus. Sinar matahari dapat memicu kedua
manifestasi kulit dan sistemik lupus (dan neonatal lupus). Menelan jumlah yang
sangat besar kecambah alfalfa juga dapat menyebabkan lupus, pemicu aktif muncul
menjadi L-canvanine.Peran, jika ada, dari virus dan bakteri dalam memicu lupus
tetap jelas meskipun perlu penelitian yang cukup besar. Tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa infeksi tertentu adalah penting dalam menyebabkan lupus.
Menariknya, ada peningkatan penyakit rematik pada orang dengan infeksi HIV, dan
penyakit autoimun termasuk lupus tampaknya menjadi lebih umum ketika ada
restorasi kompetensi kekebalan dengan penggunaan obat anti retro virus yang sangat
aktif (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).

(King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. 2007)


Pathway SLE pada Anak
5. Klasifikasi

Ada tiga jenis type lupus :

a. Cutaneous Lupus

Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas pada
kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka, leher, atau kulit
kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada daerah kulit yang terkena
sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar fluorescent). Meski terdapat beberapa
macam tipe ruam pada lupus, tetapi yang umum terdapat adalah ruam yang timbul,
bersisik dan merah, tetapi tidak gatal.
b. Discoid Lupus

Tipe lupus ini dapat menyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ.
Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan kulit dan
sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal, darah ataupun organ
dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena. SLE pada sebagian orang dapat
memasuki masa dimana gejalanya tidak muncul (remisi) dan pada saat yang lain
penyakit ini dapat menjadi aktif (flare).

c. Drug-induced lupus

Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf. Obat yang
umumnya dapat menyebabkan drug-induced lupus adalah jenis hidralazin (untuk
penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid (untuk penanganan detakjantung
yang tidak teratur/tidak normal). Tidak semua orang yang memakan obat ini akan
terkena drug-induced lupus. Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi obat itu
yang bakal membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit sekali
yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala lupus ini
biasanya akan hilang dengan sendirinya

Dari ketiganya, Discoid Lupus paling sering menyerang. Namun, Systemic Lupus
selalu lebih berat dibandingkan dengan Discoid Lupus, dan dapat menyerang organ atau
sistem tubuh. Pada beberapa orang, cuma kulit dan persendian yang diserang. Meski
begitu, pada orang lain bisa merusak persendian, paru-paru, ginjal, darah,organ atau
jaringan lain.
Terdapat perbedaan antara klasifikasi dan diagnosis SLE. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan kombinasi gambaran klinis dan temuan laboratorium dan mungkin tidak
memenuhi kriteria klasifikasi American College of Rheumatology (ACR) (Tabel 1),
yang didefinisikan dan divalidasi untuk keperluan uji klinis.
Penggunaan tabel ini ketat daripada yang dibutuhkan untuk mendiagnosa lupus.
Hal ini penting karena kadang-kadang pengobatan akan tidak tepat akan tertunda
menunggu kriteria klasifikasi yang harus dipenuhi (Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).
Diagnosa medis definitif didasarkan pada adanya empat atau lebih gejala tersebut.
Laboratorium tes ini termasuk jumlah sel darah lengkap dengan diferensial, Panel kimia
metabolisme, urinalisis, antinuclear antibodi, anti-DNA antibodi, komplemen 3 (C3),
komplemen 4 (C4), imunoglobulin kuantitatif, plasma reagen cepat (RPR),lupus
anticoagulant, dan antiphospholipid antibodi (Lehman, 2002 dalam (Ward, Susan L and
Hisley, Shelton M. 2009).
6. Gejala klinis
Gejala klinis yang mungkin muncul pada pasein SLE yaitu:

a. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

b. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi)


dan penurunan beratbadan
c. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis

d. Kulit: ruam kupu-kupu (butter• ly atau malar rash), fotosensitivitas,


lesi membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura,
urtikaria, vaskulitis.
e. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik

f. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

g. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.

h. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

i. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)

j. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

k. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,


gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.
Kecurigaan terhadap adanya SLE jika terdapat dua atau lebih tanda gejala diatas.
7. Pemeriksaan Fisik

● Inspeksi : inspeksi kulit dilakukan untuk menemukan ruam eritematous. Plak


eritematous pada kulit dengan skuama yang melekat dapat terlihat pada kulitkepala,
muka atau leher. Inspeksi kulit kepala dilakukan untuk menemukan gejala alopesia,
dan inspeksi mulut serta tenggorok untuk ulserasi yang mencerminkan gangguan
gastrointestinal. Selain itu juga untuk melihat pembengkakan sendi.
● Auskultasi : dilakukan pada kardiovaskuler untuk mendengar friction rub perikardium
yang dapat menyertai miokarditis dan efusi pleura. Efusi pleura serta infiltrasi
mencerminkan insufisiensi respiratorius dan diperlihatkan oleh suara paru yang
abnormal.
● Palpasi : dilakukan palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan, dan sendi yang
terasa hangat.

8. Pemeriksaan Diagnostik

● Pemeriksaan lab :

a. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah bisa menunjukkan adanya antibodi antinuklear, yang terdapat


pada hampir semua penderita lupus. Tetapi antibodi ini juga bisa ditemukan pada
penyakit lain. Karena itu jika menemukan antibodi antinuklear, harus dilakukan
juga pemeriksaan untuk antibodi terhadap DNA rantai ganda. Kadar yang tinggi
dari kedua antibodi ini hampir spesifik untuk lupus, tapi tidak semua penderita
lupus memiliki antibodi ini. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar
komplemen (protein yang berperan dalam sistem kekebalan) dan untuk
menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan untuk memperkirakan
aktivitas dan lamanyapenyakit.

b. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein.

● Radiology : Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.


9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis

Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR) 1982, diagnosis


SLEdapat ditegakkan secara pasti jika dijumpai empat kriteria atau lebih dari 11 kriteria,
yaitu:
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah

malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasilabial


Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan kerato• k dan sumbatan

folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut


atrofik
Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap

sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang


dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnta tidak terasa nyeri

dan dapat terlihat oleh pemeriksa


Artritis Atritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi

perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia


Serosis
a. riwayat penyakit pleuritik berdasarkan anamnesa
- Pleuritis
atau terdapat efusi pleura
- perikarditis
b. dapat dilihat pada rekaman EKG atau pericardial

friction rub atau terdapat efusi pleura


Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0,5 gram/hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder
eritrosit,

hemoglobin, granular, tubular, atau campuran


Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolik (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)
Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolik (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)

Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulus

b. Lekopenia <4000/mm3 pada dua kali


pemeriksaan atau lebih, atau
c. Limfopenia <1500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih, atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan

obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan
titer yang abnormal, atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap
antigen nukluear Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid
yang didasarkan atas:
- Kadar serum antibodi antikordiolipin abnormal
baik IgG atau IgM
- Tes lupus antikoagulan positif menggunakan
metode standar, atau
- Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absropsi antibodi
treponema
Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
positif (ANA) pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan
setingkat pada kurun waktu perjalanan penyakit tanpa
keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dnegan
sindrom lupus yang diinduksi obat
10. Therapy/Tindakan Penanganan

Pilar pengobatan yang untuk penderita SLE sebaiknya dilakukan


secaraberkesinambungan. Pilar pengobatan yang bisa dilakukan:

a. Edukasi dan Konseling

Pasien dan keluarga penderita SLE memerlukan informasi yang benar


dan dukungan dari seluruh keluarga dan lingkungannya. Pasien memerlukan
informasitentang aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan
misalnya dengan cara melindungi kulit dari sinar matahari dengan
menggunakan tabir surya atau pakaian yang melindungi kulit, serta
melakukan latihan secara teratur. Pasien juga memerlukan informasi tentang
pengaturan diet agar tidak mengalami kelebihan berat badan, osteoporosis,
atau dislipidemia. Informasi yang bisa diperlukan kepada pasein adalah:
- Penjelasan tentang penyakit lupus dan penyebabnya

- Tipe dari penyakit SLE dan karakteristik dari tipe-tipe penyalit SLE

- Masalah terkait dengan fisik, kegunaan istirahta latihan terutama yang


terkait dengan pengobatan steroid seperti osteoporosis, kebutuhan
istirahat, pemakaian alat bantu, pengaturan diet, serta cara mengatasi
infeksi
- Masalah psikologis yaitucara pemahaman diri pasien SLE, mengatasi
rasa leleah, stres, emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
hubungan dengan keluarga, serta cara mengatasi nyeri.
- Pemakaian obat mencakup jenis obat, dosis, lama pemberian, dan yang
lainnya. Kebutuahn pemberian vitamin dan mineral.
- Kelompok pendukung bagi penderita SLE

Edukasi juga perlu diberikan untuk mengurangi stigma psikologis


akibat adanya anggota keluarga yang menderita SLE

b. Program Rehabilitasi

Pasien SLE memerlukan berbagai latihan untuk mempertahankan


kestabilan sendi karena jika pasien SLE diberikan dalam kondisi
immobilitas selama lebih dari 2 minggu dapat mengakibatkan penurunan
massa otot hingga 30%. Tujuan, indikasi, dan teknis pelaksanaan program
rehabilirasi melibatkan beberapa hal, yaitu:
- Istirahat

- Terapi fisik

- Terapi dengan modalitas

- Ortotik, dan yang lainnya.

c. Pengobatan Medikamentosa

Jenis obat yang dapat digunakan pada pasein SLE adalah:

- OAINS

- Kortikosteroid

- Klorokuin

- Hidroksiklorokuin (saat ini belum tersedia di Indonesia)

- Azatioprin

- Siklofosfamid

- Metotreksat

- Siklosporin A

- Mikofenolat mofetil

Jenis obat yang paling umum digunakan adalah kortikosteroid yang


dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Namun, penggunaan
kortikosteroid menimbulkan efek samping. Cara mengurangi efek samping
dari penggunaan kortikosteroid adalah dengan mengurangi dosis obatnya
segera setelah penyakit terkontrol. Penurunan dosis harus dilakukan dengan
hati-hati untuk menghindari aktivitas penyakit muncul kembali dan
terjadinya defisiensi kortikol yang muncul akibat penekanan aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal kronis. Penurunan dosis yang dilakuakn
secara bertahap akan memberikan pemulihan terhadap fungsi adrenal.
Penggunaan sparing agen kortikosteroid dapat diberikan untuk
memudahkan menurunkan dosis kaortokosteroid dan mengobtrol penyakit
dasarnya. Obat yang sering digunakan sebagai sparing agen kortokosteroid
adalah azatioprin, mikofenolat mofenil, siklofosfamid, dan metotrexate.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Manajemen Keperawatan
Asuhan keperawatan didasarkan pada pengelolaan rasa sakit dan peradangan,
mengatasi gejala, dan mencegah komplikasi. Pengobatan rasa sakit dan peradangan
pada SLE ringan umumnya dicapai dengan nonsteroidal obat anti inflamasi
(NSAID). Obat antimalaria juga digunakan dalam SLE ringan untuk mengontrol
gejala radang sendi, ruam kulit, sariawan, demam, dan kelelahan. Perawat perlu
memberitahu orang tua yang kadang-kadang memakan waktu lama sebelum terapi
efek obat antimalaria yang jelas.
Perawatan SLE membutuhkan penambahan kortikosteroid. Kortikosteroid
diberikan kepada anak ketika anak tidak merespon NSAID atau obat antimalaria.
Kortikosteroid sangat efektif dalam mengurangi peradangan dan gejala, meskipun
mereka juga memiliki efek samping yang serius dari imunosupresi. Selama periode
eksaserbasi, kortikosteroid dapat dimulai dalam dosis tinggi. Setelah gejala di bawah
kontrol, dosisnya adalah meruncing ke terendah tingkat terapeutik. Hal ini penting
untuk memberitahu orang tua bahwa steroid harus perlahan meruncing ketika saatnya
untuk menghentikan obat.
2) Pengobatan
Jenis obat yang paling ampuh yang digunakan untuk mengobati SLE parah
termasuk agen imunosupresif. obat-obat ini digunakan ketika penyakitnya sudah
mencapai keadaan yang serius di mana tanda-tanda parah dan gejala yang hadir.
Agen Imunosupresif juga dapat ditentukan jika ada kebutuhan untuk menghindari
kortikosteroid. Keputusan untuk menggunakan immunosuppressives membutuhkan
pertimbangan serius karena efek samping signifikan, terutama yang berkaitan dengan
imunosupresi umum. Contoh agen imunosupresif digunakan dalam pengobatan SLE
termasuk azathioprine (Imuran), siklofosfamid (Cytoxan), dan methotrexate
(Rheumatrex). Setiap obat memiliki risiko yang unik dan serius seperti depresi
sumsum tulang dan hepatotoksisitas. Perawat harus memperkuat informasi tentang
aksi obat sebagai serta efek samping dengan orang tua sebelum pemberian obat ini.
Selain obat- obatan, asuhan keperawatan juga berfokus pada perawatan paliatif
danmemberikan dukungan psikososial. Sekarang penting bahwa mempertahankan
gizi anak yang baik, istirahat dan berolahraga, menghindari matahari, dan mendorong
ekspresi perasaan tentang kondisi tersebut.
3) Diet Makanan
Diet untuk SLE adalah diet rendah garam. Istirahat dan latihan termasuk
periode di mana anak aktif selama remisi dan beristirahat selama eksaserbasi .
Penghindaran dari paparan sinar matahari ditekankan karena fotosensitif ruam yang
terjadi dengan SLE . Penggunaan tabir surya kegiatandi luar ruangan yang penting ,
dan perencanaan di bawah naungan atau tinggal di dalam rumah mungkin
diperlukan. Karena kondisi ini mungkin terjadi kesulitan bagi anak dan keluarga
untuk mengatasi dan mengerti, mendorong ekspresi perasaan atau bergabung dengan
kelompok pendukung didorong . orangtua harus memberitahu guru, pelatih , dan
orang lain tentang anak mereka kondisi sehingga mereka dapat membantu memantau
anak dan memperoleh pengobatan yang diperlukan jika diperlukan . Merupakan
perawat tanggung jawab untuk membantu anak dan keluarga mengidentifikasi
kemungkinan pemicu , seperti sinar matahari dan stres emosional, dan membantu
keluarga untuk menemukan cara untuk menghindarinya. (Ward, SusanL and Hisley,
Shelton M. 2009)
4) Paparan sinar Matahari
Paparan sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan eksaserbasi ruam lupus dan
juga gejala-gejala sistemik seperti nyeri sendi dan kelelahan. Ada laporan bahwa
pasien yang secara teratur menggunakan tabir surya (SPF 15 atau lebih) telah secara
signifikan lebih rendah keterlibatan ginjal, trombositopenia dan rawat inap, dan
membutuhkan treatment siklofosfamid yang menurun. Semua anak dengan SLE
harus disarankan untuk memakai tabir surya setiap hari untuk semua kulit yang
terbuka (termasuk telinga), tidak hanya pada hari-hari cerah karena awan tidak
menghilangkan paparan sinar UV (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
5) Diit dan Latihan
Tidak ada persyaratan khusus diet tetapi karena kortikosteroid- diinduksi berat
badan, makanan tinggi kalori dan garam harus dihindari. Latihan harus didorong.
Cukup banyak anak berpartisipasi di sekolah penuh waktu, kecuali selama periode
penyakit aktif berat. Kegagalan untuk menghadiri sekolah harus diwaspadai tim
kesehatan untuk kemungkinan masalah psikososial. Komunikasi dengan guru
sekolah diserahkan kepada kebijaksanaan keluarga, dengan keterlibatan tim klinis
jika diminta(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
6) Fatique dan Tidur
Kelelahan adalah salah satu gejala yang paling umum. Hal ini biasanya akan
membaik sebagaimana perbaikan penyakit. Beberapa orang tua merasa sulit selama
ini untuk memungkinkan anak-anak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan.
Terapi okupasi dan fisik dapat sangat membantu dalam membantu untuk
mengembangkan kegiatan yang lebih baik dan perilaku tidur.

Beberapa pola tidur anak-anak bisaberubah pada awal SLE. Hal ini biasanya
berhubungan dengan kortikosteroid. Beberapa anak menjadi hiperaktif dan murung,
dan mengalami kesulitan tidur. Hal ini dapat ditingkatkan dengan mengambil dosis
kortikosteroid sore hari lebih awal. Beberapa anak pada kortikosteroid dosis tinggi
perlu buang air kecil beberapa kali di malam hari dan bisa sulit untuk jatuh kembali
untuk tidur. Keterkaitan dosis dan kortikosteroid sekali memunculkan sedikit
masalah (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
7) Dampak SLE untuk Anak dan Keluarga
Ketika diagnosis ditegakkan, kemampuan sumber daya keluarga dan dukungan
sangat diperlukan. Pendidikan sering merupakan langkah pertama dalam membantu
keluarga merasa bahwa mereka memiliki kontrol. Hal ini penting untuk diingat untuk
tidak terlalu membebani keluarga pada beberapa kunjungan pertama setelah
diagnosis. Perawat dapat memainkan peran kunci dalam membantu mereka dengan
belajar tentang penyakit dengan sering telepon tindak lanjut dan kunjungan.
Informasi tertulis dan review dari penyakit dan efek samping pengobatan yang sering
diperlukan(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Remaja sering memberikan tantangan yang unik karena mereka dapat
menggunakan penyangkalan sebagai mekanisme koping. Hal ini tidak selalu
mekanisme buruk,tetapi bisa membuat frustasi bagi anggota keluarga. Sbagian besar
anak mampu bersekolah penuh waktu. Banyak yang memilih untuk tidak
memberitahu teman-teman atau guru tentang penyakit mereka. Seringkali remaja
akan melanjutkan semua kegiatan mereka sebelumnya karena mereka tidak ingin
berbeda dari yang lain(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Seringkali kronisitas SLE tidak sepenuhnya dipahami oleh keluarga atau anak
hingga memasuki tahun kedua atau ketiga setelah diagnosis. Saat ini, meskipun
penyakit ini mungkin terkontrol baik dengan obat dan hanya sedikit obat yang
diperlukan, dukungan dan pendidikan yang lebih lanjut diperlukan. Ketidakpastian
SLE, di mana seorang anak dapat berjalan dengan baik selama beberapa tahun dan
kemudian memiliki flare dari penyakit mereka, sangat menegangkan. Hal ini
kembalimemperkuat kronisitas SLE dan keluarga mungkin memiliki waktu yang
lebih sulit menghadapi flare penyakit daripada di diagnosis asli. Sebuah hubungan
salin percaya dengan tim perawatan medis sangat penting dengan komunikasi
terbuka dan jujur dengan baik anak dan orang tua(Malleson, Pete; Tekano, Jenny.
2007).
Anak-anak dengan SLE dan keluarga mereka memerlukan tim kesehatan
profesional untuk membantu mereka melalui sampai dewasa. Sebagai anak-anak
bertambah tua adalah penting bahwa tim kesehatan mendorong keluarga untuk
memberikan peningkatan kontrol manajemen penyakit pada anak. Ini transisi dari
manajemen penyakit dari orang tua kepada anak dapat dibantu dengan memiliki
transisi yang klinik remaja spesifik dijalankan bersama oleh anak dewasa dan dokter.
Ketidakpastian lupus dengan flare dan remisi berarti bahwa pemantauan ketat akan
selalu dibutuhkan, tetapi banyak anak beradaptasi dengan tantangan ini dan tidak
membiarkan Penyakit mereka mengganggu berlebihan dengan kehidupan mereka.
Hal ini dapat sangat diperlukan penghargaan untuk mmembantu tumbuh menjadi
orang- orang dewasa yang sehat sukses (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian :

a. Data subyektif :

- Pasien mengeluh terdapat ruam-ruam merah pada wajah yang menyerupai


bentuk kupu-kupu.
- Pasien mengeluh rambut rontok.

- Pasien mengeluh lemas

- Pasien mengeluh bengkak dan nyeri pada sendi.

- Pasien mengeluh sendi merasa kaku pada pagi hari.

- Pasien mengeluh nyeri

b. Data obyektif :

- Terdapat ruam – ruam merah pada wajah yang menyerupai bentuk kupu-kupu.

- Nyeri tekan pada sendi.

- Rambut pasien terlihat rontok.

- Terdapat luka pada langit-langit mulut pasien.

- Pembengkakan pada sendi.

- Pemeriksaan darah menunjukkan adanya antibodi antinuclear.

2. Masalah Keperawatan

a. Nyeri akut

b. Kelelahan

c. Risiko infeksi

d. Gangguan citra tubuh

e. Risiko cedera

f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan NOC NIC
Nyeri akut Kontrol Nyeri (hal.247) Management Nyeri (hal.198)
Indicator Aktivitas
Factor yang berhubungan:
- Mengenali onset nyeri - Melakukan pengkajian
Agen injuri fisik
nyeri termasuk lokasi,
- Menjelaskan factor
karateristik, onset/durasi,
penyebab
frekuensi, kualitas atau
- Melaporkan perubahan nyeri
keparahan nyeri, dan factor
- Melaporkan gejala yang pencetus nyeri
tidak terkontrol - Observasi tanda nonverbal
- Menggunakan sumber daya dari ketidaknyamanan,
yang tersedia untuk terutama pada pasien yang
mengurangi nyeri tidak bisa berkomunikasi
- Mengenali gejala nyeri yang secara efektif
berhubungan dengan penyakit - Gunakan strategi komunikasi
- Melaporkan nyeri terkontrol terapeutik untuk mengetahui
pengalama nyeri pasien dan
respon pasien terhadap nyeri
- Kaji pengetahuan dan
kepercayaan pasien
tentang nyeri
- Tentukan dampak dari nyeri
terhadap kualitas hidup
(tidur, selera makan,
aktivitas, dll)
- Evaluasi keefektifan
manajemen nyeri yang
pernah diberikan
sebelumnya
Control factor lingkungan
yang dapat mempengaruhi
ketidaknyamanan pasien
- Kolaborasi dengan pasien,
anggota keluarga, dan
tenaga kesehatan lain untuk
implementasi manajemen
nyeri nonfarmakologi
- Dukung pasien untuk
menggunakan pengobatan
nyeri yang adekuat

Kelelahan Tingkat kelelahan (hal 575) Managemen Energi (


Karakteristik : Indikator hal 177) Aktivitas:
Faktor yang berhubungan : - Kaji status fisik pasien
- Kelelahan
anemia untuk kelelahan dengan
- Kualitas tidur memperhatikan umur dan

- Kualitas istirahat perkembangan


- Dorong pasien untuk
- Hematocrit
mengungkapkan perasaan
tentang keterbatasan
- Gunakan instrument yang
valid untuk mengukur
kelelahan
- Tentukan aktivitas yang
boleh dilakukan dan
seberapa berat aktivitasnya
- Monitor asupan nutrisi
untuk mendukung sumber
energy yang adekuat
- Konsultasi dengan ahli gizi
tentang peningkatan asupan
energy
Bantu pasien untuk beristirahat
sesuai jadwal

- Dorong pasien untuk tidur


siang
- Bantu pasien melakukan
aktivitas fisik reguler
Risiko infeksi Faktor Keparahan Infeksi (hal. 145) Kontrol Infeksi (hal 134)
risiko : Imunosupresi Indikator : Aktivitas:
- Demam - Pertahankan teknik isolasi
jika diperlukan
- Nyeri
- Batasi jumlah pengunjung
- Limpadenopati
- Ajarkan kepada tenaga
- Penurunan jumlah sel darah kesehatan untuk
putih meningkatkan cuci tangan

- Risk control - Ajarkan pasien dan


pengunjung untuk cuci
tangan
- Cuci tangan sebelum dan
sesudah melakukan
perawatan kepada pasien
- Lakukan perawatan aseptic
pada IV line
- Tingkatkan asupan nutrisi
yang adekuat
- Dorong pasien untuk
istirahat
- Ajarkan pada pasien dan
keluarga cara untuk mencegah
infeksi
Gangguan citra tubuh Citra Tubuh ( hal 79) Peningkatan Citra Tubuh
Karakteristik: Indicator: (hal 324)
- Perilaku menghindari Gambaran internal diri Aktivitas:
salah satu bagian tubuh Keserasian anatara realitas
- Tentukan harapan pasien
- Respon nonverbal tubuh, ideal tubuh, dan
tentang citra tubuhnya
terhadap perubahan pada penampilan tubuh
berdasarkan tingkat
tubuh
- Kepuasan terhadap perkembangan
penampilan tubuh
- Bantu pasien mendiskusikan
- Perilaku menggunakan strategi
penyebab penyakit dan
untuk meningkatkan fungsi
penyebab terjadinya
tubuh
perubahan pada tubuh
- Bantu pasien menetapkan
batasan perubahan actual
pada tubuhnya
- Gunakan anticipatori
guidance untuk
menyiapkan pasien untuk
perubahan yang dapat
diprediksi pada tubuhnya
- Bantu pasien menentukan
pengaruh dari kelompok
sebaya dalam
mempresentasikan citra
tubuh
- Bantu pasien
mendiskusikan perubahan
yang disebabkan karena
masa pubertas
- Identifikasi kelompok
dukungan unutk pasien
- Monitor frekuensi
pernyataan pasien tentang
kritik terhadap dirinya
- Gunakan latihan pengakuan
diri dengan kelompok sebaya
Risiko Cedera Kontrol Risiko ( hal 248) Identifikasi risiko (hal.115)
Factor Risiko: Indicator: Aktivitas:
Disfungsi autoimun - Mencari informasi tentang - Review riwayat kesehatan
risiko pada kesehatannya pasien
- Identifikasi factor risiko - Review data yang berasal
dari pengkajian risiko
- Mengakuir factor risiko
- Tentukan sumber daya
personal
yang tersedia seperti
- Monitor factor risiko
tingkat pendidikan,
lingkungan
psikologis, finansial, dan
- Melakukan strategi
dukungan keluarga
untuk control risiko
- Identifikasi sumber-sumber
ynag dapat meningkatkan
risiko
- Identifikasi factor risiko
biologis, lingkungan, dan
perilaku serta hubungan
antara factor risiko
- Tentukan rencana untuk
mengurangi risiko
- Diskusikan dan rencanakan
aktivitas mengurangi risiko
dengan berkolaborasi dengan
pasein dan keluarga
- Implementasikan rencana
aktivitas mengurangi risiko
Ketidakseimbangan nutrisi Status nutrisi : asupan makanan Manajemen Nutrisi ( hal. 197)
kurang dari kebutuhan tubuh dan cairan (hal.553) - Kaji adanya alergi makanan
Berhubungan dengan : Setelah dilakukan tindakan - Kolaborasi dengan ahli gizi
Ketidakmampuan untuk keperawatan selama….nutrisi untuk menentukan jumlah
memasukkan atau mencerna kurang teratasi dengan indikator: kalori dan nutrisi yang
nutrisi oleh karena faktor - Asupan makanan dan cairan dibutuhkan pasien
biologis, psikologis atau secara oral - Yakinkan diet yang dimakan
ekonomi. - Asupan kalori protein lemak mengandung tinggi serat
DS: karbohidrat,serat untuk mencegah konstipasi

- Nyeri abdomen - Ajarkan pasien bagaimana


- Albumin serum
membuat catatan makanan
- Muntah - Hematokrit harian.
- Kejang perut - Hemoglobin - Monitor adanya penurunan
BB dan gula darah
- Rasa penuh tiba-tiba
- Monitor lingkungan selama
setelah makan
makan
DO:
- Jadwalkan pengobatan dan
- Diare tindakan tidak selama jam
- Rontok rambut yang makan
berlebih - Monitor turgor kulit
- Kurang nafsu makan - Monitor kekeringan, rambut
kusam, total protein, Hb dan
- Bising usus berlebih
kadar Ht
- Konjungtiva pucat - Monitor mual dan muntah
Denyut nadi lemah - Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
- Monitor intake nuntrisi
- Informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat
nutrisi
- Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan suplemen
makanan seperti NGT/ TPN
sehingga intake cairan yang
adekuat dapat
dipertahankan.
- Atur posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama makan
- Kelola pemberan anti
emetik:.....
- Anjurkan banyak minum
- Pertahankan terapi IV line
- Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oval

4. Implementasi

Pelaksanaan atau implementasi adalah tindakan yang direncanakan dalam


rencana keperawatan (Tarwoto Wartonah, 2015). Perawat melakukan pengawasan
terhadap efektifitas intervensi yang dilakukan, bersamaan pula menilai perkembangan
pasien terhadap pencapaian tujuan hasil yang diharapkan.

Pelaksanaan atau implementasi keperawatan adalah suatu komponen dari proses


keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan yang dilakukan dan diselesaikan (Perry & Potter, 2005).

Implementasi keperawatan disesuaikan dengan intervensi yang dibuat.


5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan
intervensi keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan
(Deswani, 2009). Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan
untuk menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana
keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan
(Manurung, 2011). Komponen evaluasi dapat dibagi menjadi 5 komponen (Pinnell
dan Meneses, 1986, hlm.229- 230)

Jenis- jenis Evaluasi dalam asuhan keperawatan antara lain :

a. Evaluasi formatif (proses)


Evaluasi formatif adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas
peayanan asuhan keperawatan. Evaluasi proses harus dilaksanakan segera
setelah perencanaan keperawatan diimplementasikan untuk membantu menilai
efektivitas intervensi tersebut. Evaluasi proses harus terus menerus
dilaksanakan hingga tujuan yang telah ditentukan tercapai. Metode
pengumpulan data dalam evaluasi proses terdiri atas analisis rencana asuhan
keperawatan, pertemuan kelompok, wawancara, observasi klien, dan
menggunakan form evaluasi. Ditulis pada catatan perawatan. Contoh:
membantu pasien duduk semifowler, pasien dapat duduk selama 30 menit
tanpa pusing.
b. Evaluasi Sumatif (hasil)
Rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan sesuai
waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan perkembangan. Focus evaluasi hasil
(sumatif) adalah perubahan perilaku atau status kesehatan klien pada akhir
asuhan keperawatan.Tipe evaluasi ini dilaksanakan pada akhir asuhan
keperawatan secara paripurna. Hasil dari evaluasi dalam asuhan keperawatan
adalah : Tujuan tercapai/masalah teratasi: jika klien menunjukkan perubahan
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Tujuan tercapai sebagian/masalah
teratasi sebagian: jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari standar dan
kriteria yang telah ditetapkan. Dan Tujuan tidak tercapai/masalah tidak
teratasi: jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali
dan bahkan timbul masalah baru.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Howard B.K, Dochterman J.M. (2008). Nursing Interventions Classifivation
(NIC) fifth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Burn, Catherine E, et all. (2004). Pediatric Primary Care : A Handbook for Nurse Practitioner.
USA : Saunders

Herdman, T. Heather. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions &


Classification 2012-2014. UK: Wiley‐Blacwell, A John Wiley & Sons Ltd

Kasjmir, Yoga dkk. (2011). Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk


Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia

King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. (2007). Systemic lupus erythematosus: modern strategies
for management – a moving target. Best Practice & Research Clinical Rheumatology
Vol. 21, No. 6, pp. 971–987, 2007 doi:10.1016/j.berh.2007.09.002 available online at
http://www.sciencedirect.com

Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic Lupus
Erythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2. Published By
Elsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, ML., Swansosn, E. (2008). Nursing


OutcomesClassification (NOC) Fourth edition. St. Louis: Mosby Elseiver.

Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s Essentials of
Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC

Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. (2009). Maternal-child nursing care: optimizing
outcomes for mothers, children, and Families. United States of America : F.A. Davis
Company

Anda mungkin juga menyukai