Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistemik lupus Erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit yang


mengakibatkan kerentanan pada individu atau kelompok karena dapat mengganggu
semua organ dalam tubuh sehingga memerlukan dukungan perawatan tidak hanya di
Rumah Sakit tetapi juga di keluarga, kelompok khusus maupun masyarakat. Komalig
(2008) menyebutkan bahwa SLE adalah gangguan kekebalan (autoimun) sehingga
menyerang tubuh sendiri. Gangguan terhadap kekebalan tubuh ini menjadikan SLE
rentan karena menyebabkan masalah kesehatan (Health risk), memerlukan
pengendalian diri terhadap keluhan yang dialami (Limited control), meningkatkan
beban pikiran (Disenfranchisement), menyalahkan diri sendiri terhadap masalah yang
dialami (Victimization), kurangnya penanganan terhadap SLE karena kejadian SLE
masih sedikit (Disadvantages social status) dan masalah SLE belum memiliki
perlindungan kesehatan secara efektif (Powerlessness) (Hitchcock, at al., 1999).
Masalah kesehatan pada SLE ini akan mempengaruhi angka kesakitan dan angka
kematian di dunia.

Prevalensi klien SLE merupakan fenomena gunung es artinya jumlah yang


tercatat belum menunjukkan jumlah yang terjadi sebenarnya. Jumlah SLE di seluruh
dunia tahun 2006 sebanyak 5 juta orang dan Amerika sebagai negara maju mencatat
jumlah klien SLE tahun 1990 sebanyak 1.400.000 sampai 2 juta orang (Syahran,
2009). Salah satu negara di Asia yang memiliki penduduk terpadat yaitu Cina dengan
perbandingan jumlah SLE sebanyak 70 orang dari 100.000 penduduk (Malaviya,
1989; dalam Jiang, 1989). Indonesia sebagai negara berkembang memiliki klien SLE
sekitar 200 ribu - 500 ribu pada tahun 2006. Hal ini dihitung berdasarkan
perbandingan antara kejadian SLE dengan jumlah penduduk, yaitu 1:1.000 (Syahran,
2009). Tercatat di Yayasan Lupus Indonesia (YLI) tahun 2006 sebanyak 789 orang
(Syahran, 2009). Kota besar lainnya seperti Surabaya telah mendiagnosis SLE

1
sebanyak 215 orang tahun 2006 dengan mencatat pasien baru sejumlah 20 hingga 30
orang tiap bulan (Nasiroh, 2007).

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang kami rumuskan dari proposal seminar kasus ini adalah
sebagai berikut :

1.2.1 Apa definisi Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

1.2.2 Apa etiologi Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

1.2.3 Apa Manifestasi Klinis Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

1.2.4 Bagaimana Patofisiologi Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

1.2.5 Apa Pemeriksaan Fisik pada Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

1.2.6 Apa Penatalaksanaan Medis pada Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk memahami bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan


Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menjelaskan definisi Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

2. Menjelaskan etiologi Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

3. Menjelaskan Manifestasi Klinis Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

4. Menjelaskan Patofisiologi Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

5. Menjelaskan Pemeriksaan Fisik pada Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

6. MenjelaskanPenatalaksanaan Medis pada Sistemic Lupus Eritomatosus (SLE)

2
BAB 2

TINJAUAN KASUS

2.1 Pengertian

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun bersifat sistemik


yang terkait dengan adanya autoantibodi terhadap komponen inti sel (Buyon, 2008).
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik
merupakan penyakit radang multisystem yang sebabnya belum diketahui, dengan
perjalanan penyakit yangmungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam antibody dalam tubuh
(Tjokronegoro & Utama, 1996)
Semula Lupus digambarkan sebagi suatu gangguan kulit pada sekitar tahun 1800-
an , dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk kupu-kupu, melintasi
tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang menyerupai gigitan serigala. Lupus
adalah kata lain dalam Bahasa latin yang berarti serigala. Lupus discoid adalah nama
sekarang yang diberikan pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada
gangguan kulit ((Price & Wilson, 2005)
SLE adalah suatu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya belum
diketahui secara jelas. Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma, polimiositis, atritis
rheumatoid, dan sindrom sjogren. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan ringan
sampai gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Namun demikian keadaan
yang paling sering ditemukan adalah keadaan eksaserbasi atau remisi yang
berlangsung dalam waktu yang lama.
Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun dengan
spektrum bervariasi dan melibatkan berbagai organ. Penyakit ini merupakan sindrom
klinis yang didasari disregulasi sistem imun dan ditandai oleh pembentukan auto-
antibodi antinukleus (ANA), terutama anti dsDNA yang selanjutnya akan membentuk
kompleks imun dan terjadi inflamasi serta kerusakan jaringan.
Pada anak, insidens SLE mencapai 10-20 kasus per 100.000 anak dan umumnya
lebih sering ditemukan pada anak perempuan di atas usia 10 tahun. Secara
keseluruhan, gejala klinis pasien SLE, 15%-17% timbul pada umur di bawah 16

3
tahun dengan puncak insidens pada umur 10-14 tahunm sangat jarang muncul di
bawah usia 4 tahun. Insidens pasti SLE pada anak sulit ditentukan, (missed-
diagnosis) (Sari Pediatri, 2016).

2.2 Penyebab

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan
oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh
awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan
(cahaya matahari, luka bakar termal).
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi
dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Sistem imun tubuh kehilangan
kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.
Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara terus
menerus. Antibody ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun sehingga
mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakkan multiorgan.
Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh
dalam melawan infeksi.
Pada lupus dan penyakit autoimun lainnya, sistem pertahanan tubuh ini berbalik
melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri.
Antibodi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit
menahun. Mekanisme maupun penyebab dari penyakit autoimun ini belum
sepenuhnya dimengerti tetapi diduga melibatkan faktor lingkungan dan keturunan.
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus: infeksi, antibiotik
(terutama golongan sulfa dan penisilin), sinar ultraviolet, stres yang berlebihan, obat-
obatan tertentu, dan hormon.
Meskipun lupus diketahui merupakan penyakit keturunan, tetapi gen penyebabnya
tidak diketahui. Penemuan terakhir menyebutkan tentang gen dari kromosom 1.
Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara
kandung) yang telah maupun akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa

4
hanya sekitar 5% anak dari penderita lupus yang akan menderita penyakit ini. Lupus
seringkali disebut sebagai penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria.
Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-
15 kali lebih sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal mungkin bisa
menjelaskan mengapa lupus lebih sering menyerang wanita. Meningkatnya gejala
penyakit ini pada masa sebelum menstruasi dan/atau selama kehamilan mendukung
keyakinan bahwa hormon (terutama estrogen) mungkin berperan dalam timbulnya
penyakit ini.
Faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor
yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa
faktor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE menurut Musai
(2010):
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak
90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
Diketahui peneliti dari Australian National University (ANU) di Canberra
berhasil mengidentifikasikan untuk pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit
lupus. Dengan pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti

5
berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang diderita pasien yang
diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan jumlah molekul tertentu yang
disebut interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
Pada lupus enteritis terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun,
yaitu:
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang
berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan
reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari
sel T.
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor untuk
autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan
autoantibodi menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibodi Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada
SLE, seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai
antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun
lebih mudah mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri

6
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE. Agen
infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan
Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi menjadi
kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat. Hal ini
menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.
4) Obat-obatan Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid. (Musai, 2010)

2.3 Tanda dan Gejala

Diagnosis SLE di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis ACR 1997 revisi.
Diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR
untuk SLE (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)

Tabel 1. Kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik

Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah
malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat

7
oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi
perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia.
Serositis: Pleuritis atau Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritc friction rub yang
Perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub
atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila
tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidakseimbangan elektrolit).
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolic (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologic a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh
obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer
yang abnormal
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear
Sm
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas:
1. kadar serum antibodiantikardiolipin abnormal baik
IgG atau IgM,
2. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda
standard, atau
3. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan di-
konfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi
treponema.
Antibodi antinuclear positif Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
(ANA test) pemeriksaan imuno- fluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan
obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus
yang diinduksi obat.

8
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85%
dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif,
maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila
hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif
dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka
panjang diperlukan.

2.4 Patofisiologi

PREDISPOSISI GENETIK  Tenaga Pendorong Abnormal Terhadap Sel T

Sel T mengalami Sel T autoreaktif


perubahan struktur
dan fungsi Induksi dan ekspansi sel B
Pengalihan informasi tak terkendali Induksi dan ekspansi sel B

Reseptor salah menerim permintaan sel T Induksi dan ekspansi sel B

Induksi dan ekspansi sel B

ANA Beredar dalam sirkulasi


Beredar dalam sirkulasi

Menyerang nucleus (DNA & RNA)


fiksasi komplemen pada organ Komplek imun mengendap

fiksasi komplemen pada organ aktivasi komplemen  substansi penyebab timbulnya reaksi radang
Plak eritematosa Risiko
Timbul berbagai Hipertermi Infeksi
9
manisfestasi klinis
Kerusakan Integritas Kulit

Keletihan Produkdi ATP Kekacauan sel


menurun
Nyeri sendi berkepanjangan Nyeri Akut
Penurunan berat
badan Ketidakseimbangn
Nutrisi: Kurang dari
Adanya satu atauKebutuhan
beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
Tubuh
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel
TCD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai
akibatnyamuncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik
yangmemproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar
ultraviolet danberbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap
antigen yang terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon
dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat
protein danatau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri
khasautoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen
integralsemua jenis sel.Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody).
Denganantigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupagangguan
klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imundalam hati, dan
penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan inimemungkinkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap
pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinyafiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa
ini menyebabkan aktivasi komplemen yangmenghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi
radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat
yang bersangkutan sepertiginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya..
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia dan Perhimpunan Dokter Penyakit
Dalam Indonesia (2011), selain terpenuhinya minimal 4 dari 11 kriteria pasien dengan

10
SLE menurut ACR, berikut pemeriksaan yang harus dilakukan dalam penegakan
diagnosis SLE, diantaranya adalah:

a. Pemeriksaan Imunologi
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah
tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya
pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE
ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat
positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai
SLE misalnya 8 infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed
connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan
atau pada orang normal.
Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,
tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan
berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang
terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan
menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak
sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes
antibody terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP,
Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil
ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik untuk SLE, jarang
didapatkan pada penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang
tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang
rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan
SLE.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang
diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE.
Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15%-30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai
pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan
dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk

11
SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
Rekomendasi:
1) Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
2) Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
3) Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE
Tabel 2. Jenis autoantibodi pada SLE dan makna klinisnya (Buyon, 2008)
Antibodi Frekuensi Makna klinis
Anti Nuclear Antibody 90% Tidak spesifik untuk manifestasi klinis tertentu;
hanya digunakan untuk tujuan diagnosis
Anti-dsDNA 40-60% Terkait manifestasi klinis nefritis; dapat
memprediksi flare atau peningkatan aktivitas
penyakit.
Anti-RNP 30%-40% Terkait manifestasi klinis Raynaud’s,
musculoskeletal; tidak dapat menilai aktivitas
penyakit.
Anti Ribosomal-P 10%-20% Terkait manifestasi klinis gangguan SSP difus,
psikosis, depresi mayor; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti-SSA/ Ro 30%–45% Terkait manifestasi klinis kekeringan
konjungtiva dan mukosa mulut, SCLE, lupus
neonatal, fotosensitivitas; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Anti-SSB/ La 10%-15% Terkait manifestasi klinis kekeringan
konjungtiva dan mukosa mulut, SCLE, lupus
neonatal, fotosensitivitas; tidak dapat menilai
aktivitas penyakit.
Antiphospholipid 30% Terkait manifestasi klinis gangguan pembekuan
darah; tidak dapat menilai aktivitas penyakit.

b. Pemeriksaan Darah Lengkap


Menurut ARA (1992), pemeriksaan DL bertujuan untuk melihat kadar hemoglobin,
trombosit, serta leukosit dalam darah. Pada pasien dengan SLE kemungkinan
pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil sebagai berikut:
1) Anemia hemolitik
2) Leukosit <4.000/mm3
3) Limfosit <1.500/mm3
4) Trombosit <100.000/mm3
c. Pemeriksaan Urine Lengkap
Menurut ARA (1992), pada pasien dengan SLE kemungkinan pemeriksaan UL
menunjukkan hasil sebagai berikut:
1) Proteinuria> 0,5 gr/24 jam
2) Hematuria

12
2.6 Penatalaksanaan Medis

Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya
dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer
sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
a. Edukasi / Konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan
dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan
perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan
masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain
melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir
surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus
memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan
berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan
pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun
akibat pemakaian obat-obatan. Butir-butir edukasi pada pasien SLE adalah sebagai
berikut:

1) Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.


2) Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3) Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu
maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4) Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE,
mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan
keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri.
5) Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka
panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk
antibiotikum.

13
6) Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya.

Terkait dengan pendekatan biopsikososial dalam penatalaksanaan SLE, maka


setiap pasien SLE perlu dianalisis adanya masalah neuro-psikologik maupun sosial.
Berdasarkan data penelitian di RSCM (2010) ditemukan adanya gangguan fungsi
kognitif sebesar 86,49%.21 Pembuktian dilakukan menggunakan alat pemeriksaan
yang lebih teliti seperti TRAIL A, TRAIL B maupun Pegboard. Hal ini
memperlihatkan besarnya gangguan neuropsikiatrik yang tersembunyi pada SLE,
karena secara nyata gangguan tersebut tidak melebihi 20%. Adanya stigmata
psikologik pada keluarga pasien masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Namun
adanya gangguan •isik dan kognitif pada pasien SLE dapat memberikan dampak
buruk bagai pasien didalam lingkungan sosialnya baik tempat kerja atau rumah.
Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik
akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan
keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat
dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan
kesehariannya.
b. Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE
dibiarkan dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu
penurunan kekuatan otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas.
Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas
fisik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri,
menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti
transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang
cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot.

14
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
1) Istirahat
2) Terapi fisik
3) Terapi dengan modalitas
4) Ortotik

c. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya,
selanjutnya dapat dilihat pada tabel (Perhimpunan Reumatlogi Indonesia dan
Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia, 2011):
Tabel 3. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Pemantauan
Jenis Jenis Evaluasi
Dosis Labo-
obat Toksisitas Awal Klinis
ratorik
Perdarahan
saluan cerna, Darah
hepatotoksi, Darah rutin, rutin,
Gejala
Tergantung sakit kepala, kreatinin, kreatinin,
OAINS Gastrointesti
OAINS hipertensi, urin rutin, AST/ALT
nal
Aseptic AST/ALT setiap 6
meningitis, bulan
nefrotoksik.
Cushingoid,
hipertensi,
Gula darah,
dislipidemi,
Tergantung Profil lipid,
Kortiko- osteonekros,
derajat DXA, Tekanan darah Glukosa
steroid hiperglisemi,
SLE tekanan
katarak,
Darah
oesteo-
porosis
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Funduskopi
(3,5-4 keluhan GIT, mata, dan
mg/kg rash, G6PD pada lapangan
BB/hr) mialgia, pasien pandang
sakit berisiko mata setiap 3-6
kepala, bulan
anemi
hemolitik
pada pasien
dengan

15
defisiensi
G6PD
Darah tepi
lengkap
tiap 1-2
minggu
50-150 mg Mielo-
dan
per hari, supresif, Darah tepi
selanjutnya
dosis hepatotoksi, lengkap, Gejala
Azatioprin 1-3 bulan
terbagi 1-3, gangguan kreatinin, mielosupresif
interval.
tergantung limfo- AST/ALT
AST  ap
berat badan. proliferatif
tahun dan
pap smear
secara
teratur.
Per oral: 50- Mielo- Darah tepi
150 mg per supresif, lengkap
hari. gangguan dan urin
Darah tepi
IV: 500-750 limfo- lengkap
lengkap, Gejala
mg/m2 proliferatif, tiap bulan,
Siklo- hitung jenis mielosupresif,
dalam keganasan, sitologi
fosfamid leukosit, hematuria dan
Dextrose imunosupres, urin dan
urin infertilitas.
250 ml, sistitis pap smear
lengkap.
infus hemoragik, tiap tahun
Selama 1 infertilitas seumur
jam. sekunder hidup.
Darah tepi
lengkap
Darah tepi
terutama
lengkap,
hitung
7.5 – 20 mg foto
Mielo- trombosit
/ minggu, toraks,
supresif, Gejala tiap
dosis serologi
fibrosis mielosupresif, 4-8
tunggal hepatitis B
hepatik, sesak nafas, minggu,
Meto- atau terbagi dan
sirosis, mual AST /
treksat 3. Dapat C pada
infiltrat dan muntah, ALT dan
diberikan pasien
pulmonal ulkus albumin
pula Risiko
dan mulut. tiap 4-8
melalui tinggi,
fibrosis. minggu,
injeksi. AST, fungsi
urin
hati,
lengkap
kreatinin.
dan
kreatinin.
Siklo- 2.5–5 mg/kg Pem- Darah tepi Gejala Kreatinin,
sporin A BB, atau bengkakan, lengkap, hipersensitifi LFT,
sekitar 100 nyeri gusi, kreatinin, tas terhadap Darah tepi
– 400 mg peningkatan urin castor oil (bila lengkap.
per tekanan lengkap, obat diberikan

16
darah,
peningkatan
pertumbuhan
hari dalam
rambut, injeksi),
2 dosis,
gangguan tekanan darah,
tergantung LFT.
fungsi fungsi hati dan
berat
ginjal, nafsu ginjal.
badan.
makan
menurun,
tremor.
Darah tepi
1000 – Darah tepi Gejala lengkap
Miko-
2.000 Mual, diare, lengkap, gastrointestinal terutama
fenolat
mg dalam 2 leukopenia. fese seperti mual, leukosit
mofetil
dosis. lengkap. muntah. dan hitung
jenisnya.

A. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Diri Klien
Nama : ...................................Tanggal Masuk RS
: ....................
Tempat/Tanggal Lahir : ........................Sumber Informasi
: ....................

17
Umur : ...................................Agama
: ....................
Jenis Kelamin : ...................................Status Perkawinan
: ....................
Pendidikan : ...................................S u k u
: .....................
Pekerjaan : ...................................Lama Bekerja
: ....................
Alamat :............................................................................
..................
b. Keluhan utama:

c. Riwayat Penyakit:
1) Riwayat penyakit saat ini

2) Riwayat penyakit dahulu

3) Riwayat penyakit keluarga

d. Keluarga terdekat yang dapat dihubungi (orang tua, wali, suami,


istri, dan lain-lain)
1) Pekerjaan : Pendidikan :

2) Alamat :

e. Alergi :
Tipe Reaksi Tindakan
........................... ................................... .............................
...........
........................... ................................... .............................
...........
f. Kebiasaan : merokok/kopi/obat/alkohol/lain-lain
Jika ya jelaskan

g. Obat-obatan :

18
Lamanya :

Sendiri :

Orang lain (resep) :

h. Pola nutrisi :
1) Frekuensi/porsi makan :

2) Berat Badan : Tinggi Badan:

3) Jenis makanan :

4) Makanan yang disukai :

5) Makanan tidak disukai :

6) Makanan pantangan :

7) Nafsu makan : [ ] baik


[ ] sedang, alasan :
mual/muntah/sariawan/dll
[ ] kurang, alasan :
mual/muntah/sariawan/dll
8) Perubahan BB 3 bulan terakhir:
[ ] bertambah ........................... kg
[ ] tetap
[ ] berkurang ........................... kg
i. Pola eliminasi :
Buang air besar
1) Frekuensi : Waktu : pagi/siang/sore/malam
2) Warna : Konsistensi
:.....................................
3) Penggunaan Pencahar : ........................................

Buang air kecil

19
1) Frekuensi : ............................ Warna
:.....................................
2) Bau : ............................
j. Pola tidur dan istirahat :
1) Waktu tidur (jam) :

2) Lama tidur/hari :

3) Kebiasaan pengantar tidur:

4) Kebiasaan saat tidur :

5) Kesulitan dalam hal tidur : [ ] menjelang tidur


[ ] sering/mudah terbangun
[ ] merasa tidak puas setelah bangun
tidur
k. Pola aktivitas dan latihan :
1) Kegiatan dalam pekerjaan
:...........................................................................
2) Olah raga
:...........................................................................
3) Kegiatan di waktu luang
:...........................................................................
l. Kesulitan/keluhan dalam hal ini: [ ] pergerakan tubuh
[ ] bersolek
[ ] mandi, berhajat [ ] mudah merasa kelelahan
[ ] mengenakan pakaian [ ] sesak nafas setelah
mengadakan aktivitas

m. Pola kerja :
1) Jenis pekerjaan : .....................................
lamanya ...........................
2) Jumlah jam kerja : ......................................
lamanya ...........................

20
3) Jadwal kerja
: .................................................................................
4) Lain-lain (sebutkan)
: .................................................................................
n. Riwayat Keluarga
1) Genogram :
Keterangan :

: Perempuan sehat : Laki-laki meninggal

: Laki – laki sehat : Perempuan meninggal

: Laki-laki sakit : Serumah

: Perempuan sakit

o. Riwayat Lingkungan
1) Kebersihan Lingkungan :

2) Bahaya :

3) Polusi :

p. Aspek Psikososial
1) Pola pikir dan persepsi
2) Alat bantu yang digunakan :
[ ] kaca mata [ ] alat bantu
pendengaran
Lainnya:

q. Kesulitan yang dialami :


[ ] sering pusing
[ ] menurunnya sensitifitas terhadap panas dingin
[ ] membaca/menulis
r. Persepsi diri
1) Hal yang dipikirkan saat ini :

21
2) Harapan setelah menjalani perawatan:

3) Perubahan yang dirasa setelah sakit :

4) Suasana hati :

s. Hubungan/komunikasi : .............................................................
..............................
1) Bicara
[ ] jelas bahasa
utama : ................................
[ ] relevan bahasa
daerah : ................................
[ ] mampu mengekspresikan
[ ] mampu mengerti orang lain
2) Tempat tinggal
[ ] sendiri
[ ] bersama orang lain,
yaitu ...................................................................
t. Kehidupan keluarga
1) adat istiadat yang dianut
: ........................................
2) pembuatan keputusan dalam keluarga
: ........................................
3) pola komunikasi
: ........................................
4) keuangan : [ ] memadai[ ]
kurang
5) Kesulitan dalam keluarga:
[ ] hubungan dengan orang tua
[ ] hubungan dengan sanak keluarga
[ ] hubungan dengan suami/istri
u. Kebiasaan seksual

22
1) Gangguan hubungan seksual disebabkan kondisi sebagai
berikut :
[ ] fertilitas [ ] menstruasi
[ ] libido [ ] kehamilan
[ ] ereksi [ ] alat
kontrasepsi

v. Pemahaman terhadap fungsi


seksual : ......................................................................
w. Pertahanan koping
1) Pengambilan keputusan
[ ] sendiri
[ ] dibantu orang lain;
sebutkan ..................................................................
2) Yang disukai tentang diri
sendiri :..................................................................
3) Yang ingin dirubah dari
kehidupan : ............................................................
4) Yang dilakukan jika sedang stress :
[ ] pemecahan masalah [ ] cari
pertolongan
[ ] makan [ ]
makan obat
[ ] tidur
[ ] lain-lain (misalnya marah, diam dll)
sebutkan .........................................
x. Sistem nilai – kepercayaan
1) Siapa atau apa yang menjadi sumber
kekuatan : ..........................................
2) Apakah Tuhan, Agama, Kepercayaan penting untuk anda :
[ ] ya [ ] tidak
3) Kegiatan Agama atau Kepercayaan yang dilakukan (macam
dan frekuensi)
Sebutkan :

23
4) Kegiatan Agama atau Kepercayaan yang ingin dilakukan
selama di rumah sakit, Sebutkan :

y. Pengkajian Fisik
1) Vital Sign
Tekanan darah :
Suhu :
Nadi :
Pernafasan :
2) Kesadaran :
GCS :
Eye :
Motorik :
Verbal :
3) Keadaan umum :
Sakit/ nyeri : 1. ringan 2. sedang 3. berat

Skala nyeri :
Nyeri di daerah :
4) Status gizi : 1. gemuk 2. normal 3. Kurus
BB : …………..TB : …………….
5) Sikap : 1. tenang 2. gelisah 3. menahan nyeri
6) Personal hygiene : 1. bersih 2. Kotor 3.
lain-lain…….
7) Orientasi waktu/ tempat/ orang : 1. baik 2.
terganggu……
z. Pemeriksaan Fisik Head To Toe
1) Kepala
Bentuk : 1. mesochepale 2. mikrochepale
3. hidrochepale 4. lain- lain……………
Lesi/ luka : 1. hematom 2. perdarahan 3. luka sobek
4. lain-lain………….
2) Rambut
Warna : ……………….
Kelainan : rontok/ dll………….
3) Mata

24
Penglihatan : 1. normal 2. kaca mata/ lensa 3. lain-
lain…….
Sklera : 1. ikterik 2. tidak ikterik
Konjungtiva : 1. anemis 2. tidak anemis
Pupil : 1. isokor 2.anisokor 3. midriasis 4.
Katarak
Kelainan : kebutaan kanak/kiri……….
Data tambahan

4) Hidung
Penghidu : 1. normal 2. ada
gangguan…………
Sekret/ darah/ polip : ……………….
Tarikan caping hidung: 1. ya 2. Tidak
5) Telinga
Pendengaran : 1. normal 2. kerusakan 3. tuli
kanan/kiri
4. tinnitus 5. alat bantu dengar 6.
Lainnya
Skret/ cairan/ darah : 1. ada/tidak 2. bau…….. 3.
warna………
6) Mulut Dan Gigi
7) Bibir : 1. lembab 2. kering 3. cianosis 4. pecah-
pacah
8) Mulut dan tenggorokan: 1. normal 2. lesi 3.
stomatitis
9) Gigi : 1. penuh/normal 2. ompong 3. lain-
lain………..
10) Leher
11) Pembesaran tyroid : 1. ya 2. tidak
12) Lesi : 1. tidak 2. ya, di sebelah…….
13) Nadi karotis : 1. teraba 2. tidak
14) Pembesaran limfoid : 1. ya 2. Tidak
15) Thorax

25
16) Jantung : 1. nadi …………x/ menit, 2. kekuatan: kuat/
lemah 3. irama : teratur/ tidak 4. lain-
lain…………….

17) Paru : 1. frekwensi nafas : teratur/ tidak


kwalitas : normal/
dalam/ dangkal
suara nafas : vesikuler/ ronchi/
wheezing
batuk : ya/ tidak
sumbatan jalan nafas: sputum/ lendir/ darah/
ludah
Retraksi dada : 1. ada 2. tidak ada
18) Abdomen
Peristaltik usus :1. Ada: x/meni 2. tidak
ada
3. hiperperistaltik
4. lain-lain

Kembung : 1. ya 2. Tidak
Nyeri tekan : 1. tidak 2. ya di kuadran
/bagian
Ascites : 1. ada 2. tidak ada
Lainnya:
19) Genetalia
Pimosis : 1. ya 2. Tidak
Alat Bantu : 1. ya 2. Tidak
Kelainan : 1. tidak 2. ya,
berupa………….
20) Kulit
Turgor : 1. elastis 2. kering 3. lain-lain
Laserasi : 1. luka 2. memar 3.lain-lain
di daerah…………..
Warna kulit : 1. normal (putih/sawo matang/ hitam)
2. pucat 3.
cianosis 4. ikterik

26
5. lain-lain……………….
21) Ekstrimitas
Kekuatan otot :

ROM : 1. penuh 2. terbatas

Hemiplegi/parese : 1. tidak 2. ya, kanan/kiri


Akral : 1. hangat 2. Dingin
Capillary refill time : 1. < 3 detik 2. > 3 detik
Edema : 1. tidak ada 2. ada di daerah

Lain-lain :

Data pemeriksaan fisik neurologis

Data Penunjang
i. Pemeriksaan Penunjang; Laboratorium DLL
ii. Program Terapi

27
2. Nursing Care Plan
Berdasarkan NANDA (2015-2017), NOC (2016), NIC (2016), NCP yang dapat disusun sebagai kemungkinan pada pasien
dengan SLE, adalah sebagi berikut:

Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


No. Diagnosa Keperawatan
(NOC) (NIC)
1 Kerusakan Integritas Kulit Setelah dilakukan tindakan Perlindungan infeksi
□ Monitoradanya tanda dan gejala
Kerusakan pada epidermis dan/ keperawatan 3 x 24 jam diharapkan
infeksi sitemik dan local
dermis. integritas jaringan kulit dan membrane
□ Berikan perawatan kulit yang tepat
Batasan Karakteristik : mukosa tidak terganggu
untuk area local
□ Kerusakan integritas Integritas Jaringan: Kulit & □ Ajarkan pasien dan keluarga cara
kulit Membrane Mukosa menghindari infeksi
Faktor yang berhubungan : □ Tidak ada lesi pada kulit
Eksternal □ Tidakk ada jaringan parut
□ Agens farmaseutikal □ Tidak adda lesi pada
Internal
membrane mukosa
□ Gangguan metabolism
□ Imunodifisiensi Respon Alergi: Lokal
□ Perubahan hormonal
□ Tidak ada Eritema setempat
□ Peningkatan suhu kulit
setempat (local)
□ Tidak ada pengelupasan kulit
2. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan Analgesic Administration
Batasan karakteristik selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri □ Cek riwayat alergi terhadap obat

28
□ Laporan tentang perilaku berkurang dengan kriteria hasil : □ Pilih analgesik yang tepat atau
nyeri/perubahan aktivitas NOC: kombinasi dari analgesik lebih dari
(mis., anggota keluarga, Pain Level satu jika diperlukan
pemberi asuhan) □ Melaporkan gejala nyeri □ Tentukan analgesik yang diberikan
□ Keluhan tentang
berkurang (narkotik, non-narkotik, atau NSAID)
karakteristik nyeri □ Melaporkan lama nyeri
berdasarkan tipe dan keparahan nyeri
dengan menggunakan berkurang
□ Tentukan rute pemberian analgesik
□ Tidak tampak ekspresi wajah
standar isntrumen nyeri
dan dosis untuk mendapat hasil yang
kesakitan
(mis., McGill Pain
□ Tidak gelisah maksimal
Questionnaire, Brief Pain
Respirasi dalam batas normal (dewasa: □ Evaluasi efektivitas pemberian
Inventory)
16-20 kali/menit) analgesik setelah dilakukan injeksi.
Factor yang berhubungan
Selain itu observasi efek samping
□ Agens cedera biologis
pemberian analgesik seperti depresi
(mis., infeksi, iskemia,
□ pernapasan, mual muntah, mulut
neoplasma)
kering dan konstipasi.
□ Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
3. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan asuhan keperawatan NIC Label: Nutrition Management
kurang dari kebutuhan tubuh. selama 3 x 24 jam, diharapkan  Tentukan status gizi pasien dan
Definisi: asupan nutrisi tidak kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi kemampuan pasien untuk memenuhi
cukup untuk memenuhi dengan kriteria hasil sebagai berikut: kebutuhan gizi.
kebutuhan metabolik. NOC Label: Nutritional Status:  Identifikasi adanya alergi atau intoleransi
29
Batasan Karakteristik: Nutrient Intake makanan yang dimiliki pasien.
 Ciptakan lingkungan yang optimal pada
 Berat badan 20% atau lebih  Asupan kalori adekuat
dibawah rentang berat  Asupan protein adekuat saat mengkonsumsi makan (misalnya,
 Asupan lemak adekuat bersih, berventilasi, santai, dan bebas dari
badan ideal  Asupan karbohidrat adekuat
 Kehilangan rambut  Asupan serat adekuat bau yang menyengat).
 Asupan vitamin adekuat  Anjurkan pasien untuk duduk pada posisi
berlebihan
 Ketidakmampuan  Asupan mineral adekuat tegak di kursi, jika memungkinkan.
 Asupan zat besi adekuat  Anjurkan keluarga untuk membawa
memakan makanan  Asupan kalsium adekuat
 Kurang informasi  Asupan natrium adekuat
makanan favorit pasien, sementara pasien
 Kurang minat pada berada di rumah sakit atau fasilitas
makanan perawatan, yang sesuai.
Faktor yang berhubungan: NOC Label: Nutritional Status
 Monitor kecenderungan terjadinya
 Faktor biologis  Asupan gizi tidak menyimpang
 Ketidakmampuan makan penurunan dan kenaikan berat badan.
dari rentang normal
 Ketidakmampuan  Asupan makanan tidak
mencerna makanan menyimpang dari rentang
 Ketidakmampuan NIC Label: Bowel Management
normal
mengabsorpsi nutrient  Catat tanggal buang air besar terakhir.
 Asupan cairan tidak
 Kurang asupan makanan  Monitor buang air besar termasuk
menyimpang dari rentang
konsistensi, bentuk, volume, dan warna,
normal
dengan cara yang tepat.
 Energy tidak menyimpang dari
 Monitor bising usus.
rentang normal  Instruksikan pasien mengenai makanan
 Ratio berat badan/tinggi badan
tinggi serat, dengan cara yang tepat.
tidak menyimpang dari rentang
normal
 Hidrasi tidak menyimpang dari
30
rentang normal
4. Risiko infeksi Setelah diberikan asuhan keperawatan NIC Label: Infection control
Definisi: selama 3 x 24 jam diharapkan risiko  Bersihkan lingkungan dengan baik setelah
pasien diberikan tindakan
Rentan mengalami invasi dan infeksi berkurang dengan kriteria
 Ganti peralatan perawatan per pasien
multiplikasi organisme hasil:
sesuai protokol institusi
patogenik yang dapat NOC Label: Infection severity  Batasi jumlah pengunjung
mengganggu kesehatan Kriteria Hasil :  Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan

Faktor risiko:  Tidak ada kemerahan perawatan pasien


 Kurang pengetahuan untuk  Tidak ada cairan [luka] yang  Berikan terapi antibiotic yang sesuai
 Monitor tanda-tanda vital
menghindari pemajanan berbau busuk
pathogen  Tidak ada demam NIC Label: Infection Protection
 Malnutrisi  Tidak ada menggigil  Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
 Penyakit kronis (mis.,  Tidak ada hilang nafsu makan
sistemik dan lokal
 Tidak ada peningkatan jumlah sel
diabetes mellitus)  Monitor kerentanan terhadap infeksi
Pertahanan tubuh primer tidak darah putih  Periksa kondisi setiap sayatan bedah atau
NOC Label: Risk control: Infection
adekuat luka
 Gangguan integritas kulit Process  Tingkatkan asupan nutrisi yang cukup
Pertahanan tubuh sekunder  Secara konsisten menunjukkan
tidak adekuat mengidentifikasi tanda dan gejala
 Imunosupresi infeksi
 Leukopenia  Secara konsisten menunjukkan
 Penurunan hemoglobin
mempertahankan lingkungan yang
 Supresi respon inflamasi
bersih
(mis., interleukin 6 (IL-6),
 Secara konsisten menunjukkan
C-reaktive protein [CRP])
mencuci tangan
 Vaksinasi tidak adekuat
 Secara konsisten menunjukkan
31
Pemajanan terhadap pathogen menggunakan alat pelindung diri
 Secara konsisten menunjukkan
lingkungan meningkat
 Terpajan pada wabah melakukan imunisasi yang
direkomendasikan
 Secara konsisten menunjukkan
memonitor perubahan status
kesehatan
 Secara konsisten menunjukkan
mengidentifikasi factor risiko
infeksi
NOC Label: Immune Status
 Fungsi gastrointestinal tidak
terganggu
 Suhu tubuh tidak terganggu
 Integritas kulit tidak terganggu
 Integritas mukosa tidak
terganggu
 Tingkat sel T4
 Tingkat sel T8

32
5. Hypertermia Setelah diberikan asuhan keperawatan NIC Label: Hyperthermia treatment
Definisi: selama 1 x 24 jam diharapkan suhu  Pantau suhu dan tanda-tanda vital lainnya
 Monitor warna kulit dan suhu
Suhu inti tubuh di atas kisaran tubuh dalam batas normal (36,00C  Beri obat atau cairan IV (misalnya,
normal karena gegagalan -37,50C) dengan kriteria hasil: antipiretik, agen antibakteri, dan agen anti
termoregulasi NOC Label: Thermoregulation menggigil)
Batasan karakteristik:  Denyut nadi radial tidak terganggu
 Kejang  Melaporkan kenyamanan suhu
 Kulit kemerahan
 Tidak ada peningkatan suhu kulit
 Kulit terasa hangat
Factor yang berhubungan  Tidak ada hipertermia
 Peningkatan laju
 Tidak ada perubahan warna kulit
metabolisme
 Penyakit
 Sepsis
NOC Label: Blood transfusion
reaction
Kriteria Hasil :
 Tidak demam
 Tidak gelisah
 Tidak gatal
 Tidak menggigil
 Kulit tidak kemerahan
 Denyut nadi tidak terganggu
 Pernafasan tidak terganggu

33
34
BAB 4

PEMBAHASAN

Pengkajian dimulai dari identitas klien yang bernama Ny. S perempuan berusia 25 tahun beralamat Gresik, Jawa Timur. Klien dirawat
diruang Pandan Wangi RSUD Dr. Soetomo dengan diagnose medis SLE+Lupus Nefritis+HD Reg.Sel-Jum+Dilated
Cardiomyopathii+Efusi Perikard+Hipokalemia+Riw.NPSLE+HT Stg I JNC VII+Abdominal Pain.

Pada awal MRS, klien datang dengan mengeluh nyeri di daerah perut bagian atas sebelah kanan hilang timbul dan muncul
tidak tentu waktunya, nyeri terasa seperti tertusuk, nyeri akan meningkat saat pasien miring ke sebelah kanan, nyeri yang timbul
disertai sesak napas. Pada saat pengkajian pasien mengeluh nyeri perut bagian atas sampai tengah sebelah kanan disertai sesak napas,
nyeri yang dirasakan hilang timbul, munculnya nyeri tiba-tiba dan tidak tentu, saat nyeri timbul pasien mengatakan sampai tidak
sanggup untuk ambulasi. Pasien juga mengeluh tidak sanggup untuk bergerak sehingga semua kegiatan yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya dibantu oleh suaminya. Pasien mengatakan nyeri yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk, nyeri akan
lebih terasa saat pasien miring ke kanan, untuk skala nyerinya 8 (nyeri berat). Pasien mengatakan tidak mual/muntah, tetapi enggan
untuk makan/nafsu makan menurun terutama saat nyerinya muncul. Saat ditanyakan mengenai keluhan nyeri sendi, pasien
mengatakan tidak terlalu merasakannya, akan terasa hanya saat pasien berdiri lama. Semua tanda gejala yang dialami pasien tidak
terdapat di teori manifestasi klinis yang dikeluhkan pasien SLE. Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia (2011), diagnosis SLE
dapat ditegakkan jika memenuhi minimal 4 dari 11 kriteria ACR untuk SLE. Adapun kriteria diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
adalah sebagai berikut:

Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat
nasolabial.
59
Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut
atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien
atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih
sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau
efusia.
Serositis: Pleuritis atau Riwayat nyeri pleuritk atau pleuritc friction rub yang
Perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti
efusi pleura.
Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal c. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+
bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
d. Silinder seluler: dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi c. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolic (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit).
d. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolic (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologic e. Anemia hemolitik dengan retikulosis
f. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan
atau lebih
g. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih
h. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
60
Gangguan imunologik d. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan
titer yang abnormal
e. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm
f. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid
yang didasarkan atas:
4. kadar serum antibodiantikardiolipin abnormal
baik IgG atau IgM,
5. Tes lupus antikoagulan positif menggunakan
metoda standard, atau
6. hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan di-
konfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi
treponema.
Antibodi antinuclear Titer abnormal dari antibodi antinuklear berdasarkan
positif (ANA test) pemeriksaan imuno- fluoresensi atau pemeriksaan
setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit
tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 08 April 2019 pasien mengeluh nyeri perut kuadran kanan atas, nyeri terasa seperti
tertusuk, nyeri akan bertambah berat saat pasien miring ke kanan. Nyeri menyebar ke semua bagian perut ditandai dengan wajah
tampak meringis dan pasien waspada di daerah perut saat pemeriksaan palpasi dan perkusi. Sebagaimana dijelaskan dalam pengertian
penyakit SLE menurut Price & Wilson (2005), Systemic Lupus Erithematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun dengan spektrum
bervariasi dan melibatkan berbagai organ yang selanjutnya akan membentuk kompleks imun sehingga terjadi inflamasi serta
kerusakan jaringan di berbagai organ tersebut. Keluhan yang dialami pasien dapat disimpulkan berhubungan dengan adanya batu
empedu (Cholelithiasis), yang dibuktikan melalui hasil pemeriksaan USG pasien, dimana dalam perjalanan penyakit SLE peningkatan
antibodi menimbulkan reaksi inflamasi sehingga terjadi infeksi percabangan bilier yang kemudian mengakibatkan pigmen empedu
61
(bilirubin) terkonyugasi dan membentuk endapan yang kemudian menjadi batu empedu sampai terjadinya obstruksi yang
menyebabkan terjadinya distensi yang menimbulkan rasa nyeri di perut kuadran kanan atas. Keluhan nyeri yang dirasakan pasien
disertai dengan keluhan sesak napas. Dimana saat keluhan nyeri dirasakan berkurang maka keluhan sesaknya pun ikut berkurang.
Keluhan sesak inipun dapat dihubungkan dengan efek kerusakan yang ditimbulkan oleh peningkatan autobodi yang menimbulkan
reaksi inflamasi di pleura hingga terjadinya efusi pleura yang mengakibatkan ekspansi paru tidak maksimal sehingga terjadi sesak
napas. Keluhhan sesak napas yaang dialami pasien juga dapat dihubungkan dengan penyakit yang diderita pasien sebagai komplikasi
dari penyakit SLE ini adalah CKD. Hal ini sejalan dengan teori dimana sesak nafas yang terjadi pada pasien CKD diakibatkan
penimbunan cairan hipertensif (Suryono, 2001). Hal ini sejalan dengan Corwin (2009) dalam Ratri (2015) menyatakan bahwa pasien
CKD akan terjadi hipertrofi ventrikel yang mengakibatkan payah jantung kiri sehingga bendungan atrium kiri naik, mengakibatkan
tekanan vena pulmonalis sehingga kapiler paru naik terjadi edema paru yang mengakibatkan difusi O2 dan CO2 terhambat sehingga
pasien merasakan sesak. Pasien juga mengeluh batuk sebelumnya, tapi saat pengkajian pasien sudah tidak batuk. Gejala ini terjadi
karena pasien juga mengalami efusi pleura yang sebagian besar besar kasus yang dialami salah satunya batuk kering (non produktif),
dyspnea (sesak nafas) dan orthopnea (Dugdale, 2014).

Keluhan yang ketiga adalah penurunan nafsu makan. Keluhan ini merupakan efek dari nyeri yang dirasakan pasien, karena
suami pasien mengatakan sejak sering mengeluh nyeri perut kuadran kaanan atas, pasien sering enggan untuk makan, bahkan saat
nyerinya timbul sama sekali tidak maau makan. Hal ini menyebabkan interpretasi IMT pasien berdasarkan BB dan TB saat ini
adaalaah kurus (underweight), sehingga perlu diangkat sebagai masalah keperawatan yaitu Kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh
Penulis mengangkat diagnosa keepawatan utamaa Nyeri akut karena saat dilakukan pengkajian didapatkan data subjektif
pasien mengatakan nyeri perut kuadran kanan atas, nyeri yang diarasakan seperti tertusuk, hilang timbul dan muncul tidak tentu,
dengan skala nyeri 8 (berat), kemudian dari data objektif didapatkan Keadaan umu lemah, wajah tampak meringis menahan sakit,
terdapat nyeri tekan pada daerah perut, Nadi 102 x/menit, Td 170/80 mmHg, RR 28 x/menit, gelisah daan sulit untuk tidur . Teori

62
diatas mengacu pada teori menurut SDKI (2016) menyatakan bahwa tanda gejala nyeri akut antara lain keluhan nyeri (P,Q,R,S&T)
dan adanya tanda gejala yang tampak seperti ekspresi wajah meringis, nyeri tekan, gelisah, sulit tiddur, takikardia. Karena keluhan
nyeri hilang timbul maka evaluasi tindakan setiap harinya kadang menjelaskan bahwa keluhan nyeri pasien berkurang dan kadang
meningkat.

Intervensi yang diberikan untuk diagnosa keperawatan nyeri akut yaitu manajemen nyeri dan pemberian analgesik Aktivitas
yang dilakukan untuk manajemen nyeri antara lain mengkaji keluhan nyeri secara komprehensif, memonitor keluhan nyeri dan hal-hal
yang memperberat atau meringankan nyeri, memonitor tanda-tanda vital, memberikan posisi yang nyaman, mengajarkan teknik
relaksasi (misalnya latihan napas dalam, kompres hangat atau imajinasi terbimbing), memotivasi pasien untuk mempraktikkan teknik
relaksasi yang diajarkan saat nyeri timbul untuk mengontrol nyeri. Aktivitas yang dilakukan untuk pemberian anlgesik antara lain
melakukan tindakan kolaborasi dengan tim kesehatan lain yaitu dokter dalam pemberian terapi analgesik..

Tindakan/implementasi keperawatan dilakukan selama 6 hari penulis tidak menemukan hambatan, semua rencana yang telah
ditetapkan dapat dilaksanakan. Tindakan keperawatan dilaksanakan selama 6 hari yaitu memonitor keluhan nyeri dan hal-hal yang
memperberat atau meringankan nyeri, memonitor tanda-tanda vital, memberikan posisi yang nyaman, mengajarkan teknik relaksasi
(misalnya latihan napas dalam, kompres hangat atau imajinasi terbimbing), memotivasi pasien untuk mempraktikkan teknik relaksasi
yang diajarkan saat nyeri timbul untuk mengontrol nyeri dan melakukan tindakan kolaborasi dalam pemberian terapi analgesik.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 6 hari didapatkan bahwa masih terasa nyeri tapi sudah berkurang begitupun dengan
keluhan sesak napas, untuk keluhan penurunan nafsu makan masih dirasakan pasien.

BAB 5
63
PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan pada laporan kasus yang penulis buat, maka penulis menyimpulkan beberapa hal antara lain :
1. Pengkajian pada pasien SLE didapatkan hasil bahwa pasien mengeluh nyeri dan sesak.

2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada laporan kasus ini yaitu Nyeri akut, Pola nafas tidak efektif dan Defisit nutrisi
3. Dalam perencanaan keperawatan laporan kasus asuhan keperawatan pada pasien SLE, yaitu masalah keperawatan Nyeri Akut,
Berikan posisi yang nyaman, Praktikkan dan ajarkan teknik relaksasi pada klien untuk mengurangi/menngontrol nyeri (mis.
Napas dalam,kompres hangat,imajinasi terbimbing,dsb), Motivasi klien untuk mengulang praktik teknik relaksasi saat nyeri
timbul, jika memungkinkan, Kolaborasi dalam pemberian analgetik, Monitor TTV, Monitor keluhan nyeri (SDKI, 2016).
4. Dalam perencanaan keperawatan laporan kasus asuhan keperawatan pada pasien SLE, yaitu masalah keperawatan Pola Nafas
Tidak Efektif, Posisikan semi fowler atau fowler, Pertahankan pemberian Oksigen Simpel Mask 12 lpm, Monitor frekuensi,
irama, kedalaman, dan upaya napas, Monitor saturasi oksigen, Monitor pola napas, Monitor bunyi napas tambahan, Monitor
adanya produksi sputum, Dokumentasikan hasil pemantauan (SDKI, 2016).
5. Dalam perencanaan keperawatan laporan kasus asuhan keperawatan pada pasien SLE, yaitu masalah keperawatan Defisit
Nutrisi Kolaborasi dengan ahli gizi dalam perubahan menu sesuai dengan diit klien dan lebih disukai klien, jika
memungkinkan, Anjurkan makan dengan posisi duduk , Dampingi klien saat makan, Monitor asupan makanan, Monitor hasil
pemeriksaan laboratorium (SDKI, 2016).
6. Implementasi keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah – masalah keperawatan yang muncul pada kasus ini tidak
jauh berbeda dengan perencanaan yang sudah disusun.
7. Evaluasi keperawatan merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan. Berdasarkan hal tersebut permasalahan yang muncul
pada diagnosa tersebut teratasi dan pasien pulang sehingga harus dilanjutkan intervensi discharge planning yaitu mengajari
cara mengatasi nyeri, dan mengatur diit utnuk pasien..

64
5.2 Saran

Berdasarkan kasus yang diambil penulis dengan judul asuhan keperawatan pada pasien CKD stage V, acites permagna,
hipoalbumin dengan diagnosa keperawatan hipervolemia di ruang Gladiol Atas RSUD Sukoharjo demi kebaikan selanjutnya
maka penulis menyarankan kepada :

1. Instalasi pelayanan kesehatan diharapkan mampu meningkatkan kinerja perawat dan tenaga medis yang lain sehingga mampu
meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan SLE.
2. Tenaga kesehatan khususnya perawat diharapkan untuk melanjutkan asuhan keperawatan yang sudah dikelola oleh penulis
yang bertujuan untuk pemulihan kesehatan pasien.
3. Pasien dan Keluarga pasien diharapkan mampu mengenali atau mengetahui bagaimana cara mengatasi nyeri dan mengatur diit
yang sesuai untuk pasien SLE

65
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.M. Butcher, H.K. Dochterman, J.M. Wagner, C.M. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Singapore :
Elsevier Global Rights.

Herdman, T.H. 2015-2017. NANDA Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: definisi & klasifikasi 2015-2017. Jakarta :
EGC

Lahita RG, Tsokos G, Buyon JP, and Koike T. Systemic Lupus Erythematosus. 4th edition. London: Academic Press; 2004.

Moorhead, S. Johnson, M. Maas, M.L. Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC). Singapore: Elsevier
Global Rights.

Price, S.A. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol. 2 Edisi 6. Jakarta: EGC

Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan
Reumatologi Indonesia: Jakarta

Tjokronegoro, A. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Komalig, dkk. (2008). Faktor-faktor yang Dapat Meningkatkan Resiko Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta. Badan
Litbangkes.

Hitchkock, J., Schubert, P., Thomas, S. (1999). Community Health Nursing: Caring in Action. NewYork: Delmar Publishers.

Syahran (2009). Care For Lupus Syamsi Dhuha Foundation. http://inseparfoundation.wordpress.com/2009/04/30/lupus.


Diakses tanggal 12 Desember 2009.

Malaviya AN, Ansari MA, Singh YN et al.(1989). Epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus Systemic in India.

Nasiroh, (2007). Jumlah Pasien Lupus di RSU dr Soetomo Meningkat. http://www.detiknews.com. Diakses tanggal 22 Januari
2010
66
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................................................i

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................................2

1.3 Tujuan..........................................................................................................................................2

1.3.1 Tujuan Umum......................................................................................................................2

1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN KASUS...............................................................................................................................3

2.1 Pengertian....................................................................................................................................3

2.2 Penyebab.....................................................................................................................................4

2.3 Tanda dan Gejala.........................................................................................................................7

2.4 Patofisiologi...............................................................................................................................10

2.6 Penatalaksanaan Medis.............................................................................................................14

BAB 3 LEMBAR ASUHAN KEPERAWATAN ..................................................................................................37

BAB 4 PEMBAHASAN.................................................................................................................................59

BAB 5 PENUTUP.........................................................................................................................................64

5.1 Simpulan..........................................................................................................................................64

5.2 Saran................................................................................................................................................65

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................................66

Anda mungkin juga menyukai