KEPERAWATAN PERIOPERATIF
Oleh Agustina Melviani, 1206218852
Fase ini dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika
pasien dikirim ke meja operasi. Pada fase pra operasi ini pasien di persiapkan baik secara
fisik maupun secara psikologis sebelum masuk ke ruang operasi. Pada fase pra operasi,
harus dilaksanakan persiapan fisik dan psikologis pada pasien untuk menghadapi operasi.
Pada kegawatdaruratan, fase ini berjalan cepat sehingga pemeriksaan pra operasi sering
kali tidak cukup dan fase ini tidak disadari oleh pasien. Pengkajian yang dilakukan pada
fase ini meliputi pengkajian psikososial dan pengkajian fisik umum, dimana peran perawat
pada fase ini mengidentifikasi ada atau tidaknya dampak dari operasi yang dapat terjadi
pada pasien selama menjalani operasi di ruang operasi (Malley, A., et al., 2015). Berikut
ini merupakan tahapan pengkajian fisik, pengkajian psikologis, dan perawatan praoperasi
yang termasuk kedalam perawatan perioperatif (Balck & Hawks, 2014).
e) Aktivitas Pra Operasi Sesaat Sebelum Operasi (Black & Hawks, 2014):
Periksa gelang pengenal, apakah sesuai dengan rekam medis
Semua riwayat alergi harus dicatat. Apabila pasien memiliki alergi,
pasang gelang penanda alergi
Periksa dan catat tanda vital. Apabila terdapat perbedaan mencolok
dengan data dasar, laporkan kepada tim bedah atau anestesi
Lembar persetujuan telah ditandatangani
Persiapan kulit dilakukan lengkap bila diminta sebelum operasi
Permintaan persiapan operasi dilakukan,seperti enema dan pemasangan
IV line
Pasien tidak makan dan minum selama 8 jam sebelum operasi
Pastikan pasien sudah buang air kecil. Catat jumlah urin yang keluar
Gigi palsu telah dilepas dan disimpan di tempat yang aman
Adanya gigi palsu, prostesis harus dicatat dan diketahui oleh tim
anestesi
Apabila pasien menggunakan alat pendengar, sampaikan kepada tim.
Pasien tetap memakai alat tersebut sehingga tim bedah dan anestesi
dapat berkomunikasi dengan pasien
Barang berharga milik pasien disimpan sesuai kebijakan
Pasien telah melepaskan perhiasan dan tindik
Pasien telah memakai pakaian rumah sakit dan topi pelindung. Perban
elastis atau kaos kaki emboli telah digunakan jika memang diminta
Make up pasien dibersihkan supaya kulit sebenarnya dapat diamati
Fase intra operasi dimulai ketika pasien dipindahkan ke tempat tidur di ruang
operasi dan berakhir saat dipindahkan ruangan lain yang memberikan layanan
pemulihan paska operasi atau pembedahan. Aktivitas keperawatan pada fase ini
berfokus pada keselamatan pasien, dukungan emosi, memfasilitasi prosedur,
mencegah infeksi, memperhatikan respon fisiologis pasien terhadap anastesi dan
prosedur operasi serta menentukan kondisi gawat darurat (Balck & Hawks, 2014).
a) Masalah Keperawatan
1. Mengatur posisi klien, posisi klien tidak boleh menghalangi respirasi dan
sirkulasi, tidak boleh memberikan penekanan yang besar pada kulit, dan
tidak boleh membatasi area yang terekspos untuk operasi. Faktor yang
dipertimbangkan dalam pemberian posisi adalah tempat operasi, umur dan
ukuran tubuh klien, tipe anastesi yang dipakai, dan nyeri yang dirasakan
jika bergerak seperti karena artritis (Black & Hawks, 2014).
Pada fase paska operasi, hipotensi dapat terjadi karena efek samping obat,
ventilasi yang tidak adekuat, kehilangan darah, nyeri, dan sebagainya. Sedikit
penurunan tekanan darah merupakan hal yang wajar. Perawat perlu mengukur
tekanan darah setiap 5-15 menit sekali untuk melihat variasinya. Apabila terdapat
tanda syok, perawat harus memberikan oksigen, menaikkan tungkai bawah klien
di atas jantung, meningkatkan pemberian cairan intravena, lapor kepada dokter
anastesi dan bedah, serta harus terus mengawasi pasien (Black & Hawks, 2014).
Setelah dari ruang unit paska anastesi, pasien dipindahkan ke ruang rawat
biasa. Status pernapasan, sirkulasi dan neurologis pasien harus tetap selalu di
monitor. Selain itu, perawat juga perlu memonitor luka, akses intravena, selang
drainase, dan tingkat nyeri pasien. Perawat memonitor luka dengan memeriksa
balutan dan rembesan yang muncul. Perawat harus memperhatikan metode yang
dipilih dokter bedah karena sebagian besar dokter lebih suka melakukan sendiri
penggantian balutan yang pertama. Perawat perlu memperhatikan perubahan citra
tubuh pasien terkait luka dan membantu pasien menerima perubahan dengan
menunjukkan sikap penerimaan terhadap penampilan pasien dan membantu
pasien mengungkapkan perasaannya tentang penampilan dirinya setelah operasi.
Selain itu, pasien dan keluarga perlu dilatih cara merawat luka (Black & Hawks,
2014).
Selain perawatan luka, akses intravena perlu deperiksa kepatenanya, jenis cairan,
dan laju tetesan. Apabila tidak ada komplikasi selama pembedahan dan pasien
dapat minum tanpa mual, maka akses intravena ditutup sehingga hanya berfungsi
sebagai jalur medikasi. Hal ini akan memberikan kenyamaman pada pasien.
Kemudian, perawat juga perlu memeriksa drainase yang terpasang pada diri
pasien setelah operasi. Cek apakah drainase perlu disambungkan dengan alat
penyedot atau cukup menggunakan gravitasi untuk mengeluarkan produksi cairan
paska pembedahan. Catat jumlah, warna, dan konsistensi dari cairan drainase.
NGT yang dipasang dengan tujuan dekompresi harus tetap dibiarkan terpasag
sampai peristaltik muncul. NGT diklem terlebih dahulu sebelum diputuskan
untuk melepasnya agar dapat diketahui toleransi pasien. Pasien paska operasi
yang baru menjalani operasi akan mengalami nyeri, medikasi nyeri harus
diberikan sebelum nyeri bertambah parah. Catat tanggal dan waktu obat
diberikan, jumlah dan metode pemberian. Catat juga deskripsi nyeri yang
dirasakan klien dan efektivitas obat yang diberikan (Black & Hawks, 2014).
Intervensi keperawatan
Membersihkan sekresi dari jalan nafas : membalikkan pasien dari satu
sisi ke sisi lainnya, membuka mulut pasien secara manual tetapi hati-
hati dengan menggunakan spatel lidah, bila pasien muntah balikkan
badan klien dalam posisi miring, bila perlu lakukan suction untuk
membersihkan lendir atau sisa muntahan
- Pengaturan posisi : tempat tidur di jaga agar tetap datar sampai
pasien kembali sadar, lutut difleksikan dan bantal diletakkan di
antara tungkai
Menghilangkan ketidaknyamanan pasca operatif.
Meredakan nyeri : teknik relaksasi, teknik distraksi, analgetik oral /
IV / IM, therapi kognitif
- Menghilangkan kegelisahan : merupakan gejala defisit oksigen dan
hemorrhagi, bisa juga diakibatkan oleh posisi selama fase intra
operatif, cara penanganan jaringan oleh ahli bedah, dan reaksi
tubuh terhaap pemulihan anesthesia. Dapat dihilangkan dengan
analgesik pasca operatif yang diresepkan dan perubahan posisi
secara rutin.
- Menghilangkan mual dan muntah : pengaruh anesthesia untuk
mengeluarkan mukus dan saliva dalam lambung yang tertelan
selama periode anesthesia. Bila berlebihan dapat dihilangkan
dengan agens anesthestik dan antiemetik. Posisi pasien selama
mual-muntah adalah dengan dibalikkan miring ke salah satu sisi
untuk meningkatkan drainage mulut, mencegah aspirasi muntahan,
dan suction jika diperlukan. Jika muntah tidak kunjung berhenti,
maka perlu dilakukan pemasangan NGT.
- Menghilangkan distensi abdomen : diakibatkan oleh akumulasi gas
dalam saluran intestinal. Penanganannya dengan memasang selang
kateter rektak, selang NGT, meminta pasien untuk sering berbalik,
melakukan latihan dan mobilisasi dini jika keadaan pasien
memungkinkan.
- Menghilangkan cegukan : diakibatkan oleh spasme intermitten
diafragma dan dimanifestasikan dengan adanya bunyi “hik”(bunyi
koarse), akibat dari vibrasi pita suara yang tertutup ketika udara
secara mendadak masuk ke dalam paru-paru. Terbukti bahwa
sebenarnya tidak ada tindakan yang paling efektif untuk mengatasi
cegukan. Remedi paling tua dan sederhana adalah dengan menahan
nafas, terutama pada saat minum. Selain itu penggunaan medikasi
fenotiasin, dengan menekankan jari tangan pada kelopak mata yang
tertutup selama beberapa menit dan dengan merangsang muntah
dapat berhasil pada beberapa kasus
Mempertahankan suhu tubuh normal : ruangan dipertahankan pada
suhu yang nyaman dan penggunaan selimut untuk mencegah
kedinginan.
Menghindari cedera : restrain boleh digunakan hanya bila keadaan
pasien benar-benar mendesak untuk menggunakannya. Meski begitu,
penggunaan restrain harus diawasi jangan sampai mencederai pasien,
mengganggu terapi IV, selang dan peralatan pemantau. Apabila
kegelisahan disebabkan oleh nyeri, maka dianjurkan penggunaan
analgesik dan sedatif.
Mempertahankan status nutrisi yang normal : makin cepat pasien dapat
mentoleransi diet yang biasa, makin cepat fungsi GI tract yang normal
akan pulih kembali. Ambulasi dini dan latihan di tempat tidur dapat
membantu memperlancar kembalinya fungsi GI tract. Cairan
merupakan substansi pertama yang dapat ditoleransi oleh pasien. Jus
buah dan teh dapat diberikan sebagai asupan selanjutnya jika tidak
terjadi mual dan muntah (bukan es atau cairan hangat). Setelah itu
makanan secara bertahap diberikan mulai dari yang paling lunak
sampai pada makanan padat biasa sesuai dengan toleransi pasien.
Meningkatkan fungsi urinarius yang normal : membiarkan air mengalir
di kran dan kompres hangat pada perineum merupakan upaya yang
dianjurkan untuk merangsang eliminasi pasien. Masukan dan haluaran
harus terus dicatat.
Meningkatkan eliminasi usus : auskultasi abdomen dengan stetoskop
digunakan untuk mendeteksi adanya bising usus, sehingga jika bising
usus telah terdengar, diet pasien secara bertahap dapat ditingkatkan.
Memulihkan mobilitas : pasien dengan mobilitas terbatas harus dibalik
dari posisi satu ke posisi lainnya setiap 2 jam.
Ambulasi dini : ditentukan oleh kestabilan sistem cerebro vaskuler dan
neuromuskuler pasien, tingkat aktivitas fisik pasien yang lazim, dan
sifat pembedahan yang dilakukan. Ambulasi dini dapat menurunkan
insiden komplikasi pasca operasi. Ambulasi dini tidak diperkenankan
melebii toleransi pasien. Kondisi pasien menjadi faktor penentu dan
kemajuan langkah diikuti dengan memobilisasi pasien : pasien diminta
untuk bergerak secara bertahap dari posisi berbaring ke posisi duduk
dampai semua tanda pusing telah hilang (dengan menaikkan bagian
kepala tempat tidur), pasien dapat dibaringkan dengan posisi benar-
benar tegak dan dibalikkan sehingga kedua tungkai menjuntai di atas
tepi tempat tidur dan setelah persiapan ini, pasien dapat dibantu untuk
berdiri di sisi tempat tidur.
Pengaturan posisi : posisi telentang tanpa menaikkan kepala, berbaring
miring ke salah satu sisi dengan lengan atas ke depan, posisi fowler-
posisi paling umum tetapi juga merupakan posisi yang paling sulit
untuk dipertahankan.
Latihan di tempat tidur :
- Latihan nafas dalam untuk menyempurnakan ekspansi paru.
- Latihan lengan melalui rentang gerak penuh, dengan perhatian
khusus pada abduksi dan rotasi eksternal bahu.
- Latihan tangan dan jari.
- Latihan kaki untuk mencegah foot drop dan deformitas dan untuk
membantu dalam mempertahankan sirkulasi yang baik.
- Latihan fleksi dan mengangkat tungkai untuk menyiapkan pasien
untuk membantu aktivitas ambulasi.
- Latihan kontraksi abdomen dan gluteal.
Mengurangi ansietas dan mencapai kesejahteraan psikososial
- Dukungan psikologis selama fase post operatif.
- Kunjungan keluarga dekat selama beberapa saat.
- Eksplorasi kekhawatiran pasien tentang hasil pembedahan dan
pikiran tentang masa depannya.
- Jawab pertanyaan-pertanyaan pasien dengan meyakinkan tanpa
masuk ke dalam suatu pembahasan yang mendetail.
- Berada di dekat pasien untuk mendengarkan, mempertegas
penjelasan dokter, dan memperbaiki miskonsepsi yang ada.
- Instruksikan teknik relaksasi dan aktivitas pengalihan.
Tindakan :
Pencegahan infeksi
Kebanyakan infeksi terjadi pada salah satu dari empat tempat anatomi :
luka bedah, saluran kemih, aliran darah atau saluran pernafasan. Infeksi
dapat terjadi karena adanya hal-hal berikut :
- Dorongan kepada pasien untuk batuk dan nafas efektif serta sering
mengubah posisi.
- Penggunaan peralatan steril.
- Antibiotik dan antimikroba.
- Mempraktikkan teknik aseptic.
- Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien.
- Pencegahan kerusakan kulit.
- Pantau tanda-tanda hemorrhagi dan drainage abnormal.
- Pantau adanya perdarahan.
- Perawatan insisi dan balutan.
- Penggantian selang intravena dan alat invasif lainnya sesuai
program.
Referensi
Black, J.M & Hawks, J. H. (2014). Keperwatan medikal bedah. Jakarta: Salemba Media
Malley, A., Kenner, C., Faan, K., T., & Blakeney, B. (2015). The role of the nurse and the
preoperative assessment in patient transitions. AORN Journal. 102 (2). 181-189.
DOI: 10.1016/j.aorn.2015.06.004.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Brunner & suddarth’s
textbook of medical surgical nursing. 12th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins