Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN PERIOPERATIF
Oleh Agustina Melviani, 1206218852

1. Pengertian Keperawatan Perioperatif

Keperawatan perioperatif adalah layanan keperawatan terintegrasi pada rangkaian total


pembedahan mulai dari waktu sebelum pembedahan atau pra-operasi, periode intra-
operasi, dan periode setelah pembedahan selesai atau paska operasi (Black & Hawks,
2014). Tujuan dari keperawatan perioperatif adalah membantu klien dan keluarga dalam
menghadapi pembedahan, membantu memfasilitasi pencapaian hasil yang diharapkan,
serta membantu klien dengan memberikan layanan keperawatan untuk memenuhi
kebutuhanya yang mengalami penurunan kemampuan perawatan diri akibat operasi (Black
& Hawks, 2014).

2. Konsep Keperawatan Perioperatif


Keperawatan perioperatif bersifat bepusat pada klien dimana harus memiliki dan
menerapkan pengetahuan terkait anatomi, fisiologi, psikologi, sosiokultural serta
keyakinan agama atau kepercayaan. Sehingga, pembrian intervensi yang telah dirncanakan
mampu untuk diimplementasikan dengan cara yang efisien dan tepat (Black & Hawks,
2014). Berikut ini merupakan kategori pembedahan berdasarkan tingkat urgensinya
menurut Smeltzer, et al. (2010);
1. Emergensi, indikasi pembedahan tanpa penundaan, contoh kasus: perdarahan
hebat, obstruksi usus atau kandung kemih, fraktur tulang kepala, luka tembak atau
tusuk dan luka bakar luas.
2. Urgen, indikasi pembedahan dilakukan dalam 24 jam, contoh kasus: infeksi
kandung empedu akut, dan batu ginjal atau ureter.
3. Diperlukan, indikasi pembedahan dilakukan terjadwal dalam hitungan minggu atau
bulan, contoh kasus: hiperplasia prostat tanpa obstruksi, gangguan tiroid, dan
katarak.
4. Elektif, indikasi pembedahan tidak membahayakan jika tidak dilakukan, contoh
kasus: perbaikan skar dan perbaikan vagina.
5. Opsional, indikasi pembedahan pilihan pribadi, contoh kasus: operasi kosmetik
(Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
3. Periode Perioperatif

a. Fase Pra Operasi

Fase ini dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat dan berakhir ketika
pasien dikirim ke meja operasi. Pada fase pra operasi ini pasien di persiapkan baik secara
fisik maupun secara psikologis sebelum masuk ke ruang operasi. Pada fase pra operasi,
harus dilaksanakan persiapan fisik dan psikologis pada pasien untuk menghadapi operasi.
Pada kegawatdaruratan, fase ini berjalan cepat sehingga pemeriksaan pra operasi sering
kali tidak cukup dan fase ini tidak disadari oleh pasien. Pengkajian yang dilakukan pada
fase ini meliputi pengkajian psikososial dan pengkajian fisik umum, dimana peran perawat
pada fase ini mengidentifikasi ada atau tidaknya dampak dari operasi yang dapat terjadi
pada pasien selama menjalani operasi di ruang operasi (Malley, A., et al., 2015). Berikut
ini merupakan tahapan pengkajian fisik, pengkajian psikologis, dan perawatan praoperasi
yang termasuk kedalam perawatan perioperatif (Balck & Hawks, 2014).

 Pengkajian Fisik Pra Operasi


Sebelum perawat melakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh kepada pasien yang
sedang dipersiapkan untuk masuk ke ruang operasi, terlebih dahulu diperiksa
mengenai riwayat mdis, riwayat pembedahan dan pembiusan yang pernah dijalani,
penyakit atau luka serius, nyeri, penyakit kronis, usia lanjut, dan riwayat medikasi.
Riwayat medis itu sendiri dipergunakan untuk mengkaji pemahaman serta
pengetahuan pasien dan keluarga tentang pembedahan yang akan dijalani sehingga
dapat membantu perawat menentukan kebutuhan edukasi apa yang perlu diberikan
pada klien sebelum operasi dilakukan sehingga dapat membantu menurunkan tingkat
kecemasan klien. Kemudian dikajinya riwayat pembedahan dan pembiusan guna
mengetahui apakah terdapat reaksi yang tidak diinginkan dari diri pasien yang dapat
berpengaruh pada pembedahan shingga nantinya hal tersebut dapat diantisipasi atau
pun dicegah. Hal yang terakhir sebelum dilakukanya pemeriksaan fisik adalah
pengkajian penyakit atau luka serius meliputi riwayat Alergi, Bleeding tendency,
Cortison or steroid use, Diabetes mellitus, dan Emboli (ABCDE) (Black & Hawks,
2014).
Pemeriksaan fisik pra operasi dilakukan pada semua pasien yang akan
menjalani operasi untuk mengidentifikasi status kesehatan saat ini sebagai dasar untuk
pembanding selama dan setelah pembedahan. Pengkajian fisik pra operasi dilakukan
dengan pengkajian fokus, dimana pengkajian yang dilakukan terlebih dahulu adalah
pada bagian tubuh yang akan dioperasi dan perawat harus mencatat semua temuan
tidak lazim. Kemudian mengkaji bagian tubuh secara umum. Dokumentasikan semua
temuan yang tidak lazim dan komunikasikan dengan tim bedah (Black & Hawks,
2014).
Sistem Tubuh Hal yang perlu dikaji
Kardiovaskular Kaji detak jantung, meliputi kecepatan, irama, dan
abnormalitas. Kaji tangan dan kaki pasien untuk mengecek
temperatur, warna, nadi perifer, capillary refill time, dan
edema. Kaji riwayat tromboembolisme dan obat yang
dikonsumsi. Kaji hasil dari pemeriksaan EKG, kadar
hemoglobin, hematokrit, dan elektrolit digunakan untuk
mengetahui fungsi kardiovaskular. Pengkajian kardiovaskular
merupakan pengkajian yang kritis karena masalah jantung
menyebabkan 30% kematian terkait pembedahan
(Ignatavicius & Workman, 2013).
Respirasi Mengkaji usia, riwayat merokok, dan penyakit kronis yang
diderita. Observasi postur pasien, kecepatan dan irama napas,
usaha napas, dan ekspansi dada klien. Kaji sianosis, kaji
adanya suara napas abnormal, dan nyeri dada. Melakukan
pengecekan hasil rontgen dada, hasil oksimetri, dan hasil
AGD pasien untuk mengkaji status respirasi. Selain itu,
adanya uji fungsi paru tambahan dilakukan dalam situasi
tertentu (Black & Hawks, 2104).
Muskuloskeletal Kaji gerakan sendi, deformitas, dan riwayat muskoloskeletal
pada pasien (fraktur, artritis, cedera sendi). Masalah
muskuloskeletal akan mempengaruhi posisi pasien selama
dan setelah operasi. Apabila pasien memiliki prostesis,
pastikan electrocautery pads tidak ditempatkan di dekat
prostesis. Selain itu, sistem muskuloskeletal dapat dikaji
dapat dikaji melalui gerakan aktif dan pasif (Black & Hawks,
2014).
Gastrointestinal Kaji status nutrisi pasien. Pembedahan meningkatkan
kecepatan metabolisme dan deplesi kalium, vitamin C dan
vitamin B yang diperlukan untuk penyembuhan luka dan
pembekuan darah. Pada pasien dengan penurunan protein,
keterlambatan pemulihan dapat terjadi (Black & Hawks,
2014).
Integumen Kaji integritas kulit pada bagian yang akan dioperasi. Cek
keberadaan lesi, ulkus dekubitus, jaringan nekrotik, dan
turgor kulit (Black & Hawks, 2014).
Ginjal Fungsi ginjal yang adekuat diperlukan untuk mengeliminasi
sampah metabolik, mempertahankan keseimbangan cairan
dan elektrolit, serta membuang obat anestesi. Kaji pola buang
air kecil pasien, penampakan urin, keseimbangan asupan dan
keluaran, serta kadar BUN dan kreatinin yang menunjukan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan urea dan sampah
protein (Black & Hawks, 2014)
Hati Penyakit hati kronis, seperti sirosis, meningkatkan resiko
pembedahan karena hati yang rusak tidak dapat
mendetoksifikasi medikasi dan obat anestesi. Klien dengan
gangguan fungsi hati sering kali mengalami malnutrisi,
lemah, dan gangguan pembekuan sehingga diperlukan diet
tinggi kalori sebelum operasi (Balck & Hawks, 2014).
Neurologis Abnormalitas neuologis yang penting diketahui adalah sakit
kepala, pusing, kepala terasa melayang, bunyi berdenging di
telinga, pupil yang tidak sama, dan riwayat kejang. Selain itu,
orientasi klien juga perlu dikaji. Pengkajian neurologis dapat
dilakukan dengan mengkaji saraf kranial, respon refleks pada
tungkai atas dan bawah, serta refleks sensori (Black &
Hawks, 2014).
Endoktrin Klien dengan diabetes berisiko mengalami keterlambatan
penyembuhan luka dan resiko peningkatan infeksi luka
pembedaham. Selain itu juga terdapat risiko komplikasi
kardiovaskular, neurologis, penglihatan, dan ginjal (Black &
Hawks, 2014).
 Pengkajian Psikologis Pra Operasi
Pengkajian lainya yang perlu dikaji pada fas pra operatif adalah pengkajian kesehatan
psikologis yang terkait dngan keyakinan dan budaya terkait pembedahan, kemampuan
menoleransi stres perioperatif, kebiasaan gaya hidup, dan riwayat sosial. Kemampuan
menolerir stres perlu dikaji karena selama periode perioperatif terdapat banyak stressor
fisiologis, seperti nyeri, kerusakan jaringan, anestesi, demam,dan imobilisasi, yang
akan mempengaruhi stres psikologis. Hasil dari stres yang timbul selama fase pra
operatif anatara lain seperti cemas dan ketakutan. Riwayat sosial seperti tuntutan
pekerjaan dapat membantu perawat dalam menerapkan asuhan keperawatan (Black &
Hawks, 2014).
 Perawatan Pra Operasi
a) Perawatan Kulit
Perawatan kulit pra operasi meliputi mandi pada malam sebelum operasi dan
pencukuran rambut yang berada pada sekitar area yang akan dilakukanya
operasi, jika diperlukan. Bagian tubuh yang akan dioperasi dibersihkan pada
malam sebelum operasi dengan sabun dan air atau cairan antimikroba untuk
mengurangi mikroba yang ada di kulit. Pencukuran dilakukan untuk
mengindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena
rambut dapat menjadi area berkumpulnya kuman. Pencukuran di area pubis
biasanya dilakukan jika operasi berada di daerah sekitar perut dan paha,
misalnya apendiktomi, hernitommi, uretrholithiasis, dan sebagainya. Selain
mandi dan dilakukanya pencukuran, pasien yang memiliki atau memeakai
tindik, sebaiknya tindiknya dilepas untuk mengurangi risiko terjadinya infeksi
(Black & Hawks, 2014).
b) Persiapan Saluran Pencernaan
Persiapan saluran cerna perlu dikosongkan sebelum operasi untuk mengurangi
resiko muntah, aspirasi, dan obstruksi usus, memvisualisasikan usus selama
pembedahan, dan mencegah kontaminasi feses ke saluran usus selama bedah
abdominal. Pada klien dengan anestesi umum, cairan dan makanan tidak boleh
diberikan 8-10 jam sebelum operasi. Klien dengan status Nothing per Oral I
(NPO) perlu dijelaskan alasan melarang makan dan minum, termasuk kepada
keluarga, dan diberi tanda “NPO” pada tempat tidur. Perawat juga perlu
menandai kardeks dengan status NPO dan menginformasikan bagien diet
tentang status NPO klien. Selain puasa, persiaapan saluran cerna yang dapat
dilakukan pada fase pra operasi adalah enema dan NGT. Enema dapat
diberikan dengan pasien yang akan menjalani prosedur bedah yang melibatkan
saluran cerna, area perianal, dan rongga pelvis dan NGT digunakan untuk klien
yang memerlukan drainase setelah operasi pembedahan dilakukan (Black &
Hawks, 2014).
c) Edukasi Kesehatan Pada Fase Pra Operasi
Edukasi pra operasi sangat penting untuk mencapai hasil pembedahan yang
positif. Edukasi pra operasi dapat mengurangi kejadian komplikasi paska
operasi dan lama rawat inap setelah dilakukanya operasi. Tingkat kecemasan,
dan ketakutan pasien merupakan salah satu target intervensi keperawatan yang
akan diberikan pada pasin pra operasi. Informasi yang diberikan kepada pasien
dapat berupa sensori, psikososial, dan prosedural. Informasi sensori berfokus
pada aspek penglihatan, pendengaran, dan perasaan saat berada di ruang
operasi. Perawat dapat memberikan gambaran dengan cara menjelaskan kepada
klien kondisi ruang operasi, misalnya ruang operasi dan sediaan obat cair terasa
dingin dan terdapat ruang bedah yang dilengkapi musik untuk membantu klien
relaks. Informasi psikososial mencakup kemampuan menghadapi masalah dan
kekhawatiran. Perawat dapat melibatkan bantuan dari orang lain, seperti
rohaniawan, untuk memberikan dukungan psikososial. Informasi prosedural
menjelaskan prosedur yang dijalani selama periode perioperatif.
d) Evaluasi Anastesi Pada Saat Pra Operasi
Sewaktu pra operasi, tim anastesi akan mengunjungi klien untuk melakukan
pemeriksaan pernapasan, kardiovaskular, dan neurologis. Risiko umum
pembedahan atau kemampuan klien untuk bertahan terhadap kondisi
pembedahan dikaji berdasarkan ASA (American Society of Anasthesia).
Berikut klasifikasi ASA:
 ASA 1 : klien yang sehat
 ASA 2: klien dengan penyakit sistemik ringan
 ASA 3: klien dengan penyakit sistemik yang parah
 ASA 4 : klien dengan penyakit sistemik yang parah yang mengancam
nyawa secara konstan
 ASA 5: klien yang berisiko tinggi meninggal yang tidak memiliki
harapan hidup jika tidak menjalani operasi
 ASA 6: klien yang sudah dinyatakan mati otak yang organnya akan
diambil untuk tujuan donor

e) Aktivitas Pra Operasi Sesaat Sebelum Operasi (Black & Hawks, 2014):
 Periksa gelang pengenal, apakah sesuai dengan rekam medis
 Semua riwayat alergi harus dicatat. Apabila pasien memiliki alergi,
pasang gelang penanda alergi
 Periksa dan catat tanda vital. Apabila terdapat perbedaan mencolok
dengan data dasar, laporkan kepada tim bedah atau anestesi
 Lembar persetujuan telah ditandatangani
 Persiapan kulit dilakukan lengkap bila diminta sebelum operasi
 Permintaan persiapan operasi dilakukan,seperti enema dan pemasangan
IV line
 Pasien tidak makan dan minum selama 8 jam sebelum operasi
 Pastikan pasien sudah buang air kecil. Catat jumlah urin yang keluar
 Gigi palsu telah dilepas dan disimpan di tempat yang aman
 Adanya gigi palsu, prostesis harus dicatat dan diketahui oleh tim
anestesi
 Apabila pasien menggunakan alat pendengar, sampaikan kepada tim.
Pasien tetap memakai alat tersebut sehingga tim bedah dan anestesi
dapat berkomunikasi dengan pasien
 Barang berharga milik pasien disimpan sesuai kebijakan
 Pasien telah melepaskan perhiasan dan tindik
 Pasien telah memakai pakaian rumah sakit dan topi pelindung. Perban
elastis atau kaos kaki emboli telah digunakan jika memang diminta
 Make up pasien dibersihkan supaya kulit sebenarnya dapat diamati

b. Fase Intra Operatif

Fase intra operasi dimulai ketika pasien dipindahkan ke tempat tidur di ruang
operasi dan berakhir saat dipindahkan ruangan lain yang memberikan layanan
pemulihan paska operasi atau pembedahan. Aktivitas keperawatan pada fase ini
berfokus pada keselamatan pasien, dukungan emosi, memfasilitasi prosedur,
mencegah infeksi, memperhatikan respon fisiologis pasien terhadap anastesi dan
prosedur operasi serta menentukan kondisi gawat darurat (Balck & Hawks, 2014).

 Anggota Tim Pembedahan Pada Saat Fase Intraoperasi


Tim pembedahan terdiri dari sekelompok tenaga kesehatan yang terdiri dari
dokter bedah, dokter anastesi, perawat. Dokter bedah menjadi ketua tim dan
mengambil keputusan terkait prosedur bedah. Dokter anastesi mempertahankan
jalan napas, memastikan pertukaran gas yang adekuat, dan memonitor sirulasi dan
respirasi. Peran perawat pada periode perioperatif bertindak secara indpenden dan
menjadi anggota tim, antara lain (Black & Hawks, 2014):
a) Perawat Sirkulator
Perawat sirkulator memeriksa klien sebelum operasi, merencanakan tindakan
keperawatan yang optimal selama operasi, mengoordinasikan semua personel
di ruang operasi, dan memonitor personel yang tidak berlisensi serta cost
compliance yang berhubungan dengan prosedur di ruang operasi. Perawat
sirkulator tidak memakai pakaian steril dan dapat keluar masuk ruang operasi.
Berikut tugas spesifik perawat sirkulator (Black & Hawks, 2014):
 Memastikan semua peralatan dapat bekerja dengan baik
 Menjamin alat yang dipakai steril dan menjamin kesediaan alat tersebut
 Memonitor ruangan dan tim dari pelanggaran teknik steril
 Membantu tim anestesi dengan induksi dan monitoring fisiologis
 Mengurus spesimen
 Berkordinasi dengan departemen lain jika diperlukan, misalnya radiologi
 Mencatat perawatan yang diberikan
 Meminimalkan percakapan dan hambatan di ruang operasi
b) Perawat Scrub
Perawat scrub bertugas mempersiapkan semua peralatan yang diperlukan
untuk prosedur, semua peralatan steril, mempertahankan kondisi steril pada
area steril, mengurus peralatan dan persediaannya selama operasi, dan
membersihkannya jika operasi telah selesai. Selamat pembedahan, perawat
scrub bersama perawat sirkulator harus menghitung jumlah peralatan sebelum
dan sesudah operasi.
c) Registered Nurse First Assistant (RNFA)
RNFA merupakan perawat berpengalaman dan telah menjalani pendidikan
khusus. RFNA bekerja dengan dokter bedah utama selama operasi. Tugasnya
antara lain menggunakan instrumen untuk memegang dan memotong, retraksi
dan menangani jaringan, menjahit.
d) Certified Registered Nurse Anesthetist (CRNA)

CRNA adalah perawat yang bertugas khusus memasukkan obat anestesi.

 Layanan Keperawatan Intra Operatif

a) Masalah Keperawatan

Masalah keperawatan yang mungkin muncul selama operasi adalah:


1. Potensial injuri berhubungan dengan posisi yang tidak tepat
2. Potensial infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

3. Pontensial hipoventilasi berhubungan dengan anastesi, nyeri, dan


penurunan usaha napas

b) Tindakan Keperawatan Intra Operatif

1. Mengatur posisi klien, posisi klien tidak boleh menghalangi respirasi dan
sirkulasi, tidak boleh memberikan penekanan yang besar pada kulit, dan
tidak boleh membatasi area yang terekspos untuk operasi. Faktor yang
dipertimbangkan dalam pemberian posisi adalah tempat operasi, umur dan
ukuran tubuh klien, tipe anastesi yang dipakai, dan nyeri yang dirasakan
jika bergerak seperti karena artritis (Black & Hawks, 2014).

2. Mempertahankan asepsis, perawat sirkulator tidak termasuk tim steril dan


bertugas memonitor daerah steril untuk mempertahankan sterilitas peralatan
dan personel. Jika ada suspek atau terkontaminasinya daerah steril,
peralatan yang terkontaminasi dan pakaian harus diganti yang baru dan
steril. Dressing luka perlu diperhatikan sebagai salah satu cara mencegah
infeksi. Drainase dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan dan sekresi
dari jaringan sekitar area operasi yang dapat menjadi area pertumbuhan
bakteri (Black & Hawks, 2014).
3. Mencegah hipoventilasi, hipoventilasi akibat efek anastesi perlu dicegah
dengan mengikuti standar resmi. Contohnya, berdasarkan standar dari
American Society of Anesthesiologists dan American Association of Nurse
Anesthetist, pasien harus dimonitor pernapasan, detak jantung, tekanan
darah setiap 5 menit dan penyedia anastesi harus hadir selama tindakan
(Black & Hawks, 2014).
c. Fase Paska Operasi
Fase paska operasi dimulai saat pasien dipindahkan ke unit pemulihan dan
berakhir saatt kondisi pasien kembali ke fungsi optimal kembali.

 Periode Paska Anstesi

Tujuan dari perawatan paska anastesi adalah membantu kembalinya fungsi


fisiologis klien setelah prosedur anastesi dengan perawatan yang aman dan
disesuaikan dengan kebutuhan klien dan keluarga setelah anastesi. Pada fase ini
perawat perlu mengobservasi secara ketat dan terus menerus. Komplikasi yang
paling mungkin terjadi adalah masalah pernapasan, perdarahan, atau masalah
jantung (Black & Hawks, 2014). Intervensi keperawatan primer untuk melindungi
jalan napas adalah memposisikan kepala klien dengan dagu diekstensikan ke
depan untuk mencegah obstruksi pernapasan. Klien yang tidak dapat
mengeluarkan mukus atau muntahan memerlukan penyedotan segera. Alat bantu
jalan napas oral atau napas mungkin diperluan pada beberapa pasien untuk
mengontrol patensi jalan napas dan lidah sehingga tidak menimbulkan masalah
baru (Black & Hawks, 2014).

Pada fase paska operasi, hipotensi dapat terjadi karena efek samping obat,
ventilasi yang tidak adekuat, kehilangan darah, nyeri, dan sebagainya. Sedikit
penurunan tekanan darah merupakan hal yang wajar. Perawat perlu mengukur
tekanan darah setiap 5-15 menit sekali untuk melihat variasinya. Apabila terdapat
tanda syok, perawat harus memberikan oksigen, menaikkan tungkai bawah klien
di atas jantung, meningkatkan pemberian cairan intravena, lapor kepada dokter
anastesi dan bedah, serta harus terus mengawasi pasien (Black & Hawks, 2014).

 Perawatan Setelah Operasi

Setelah dari ruang unit paska anastesi, pasien dipindahkan ke ruang rawat
biasa. Status pernapasan, sirkulasi dan neurologis pasien harus tetap selalu di
monitor. Selain itu, perawat juga perlu memonitor luka, akses intravena, selang
drainase, dan tingkat nyeri pasien. Perawat memonitor luka dengan memeriksa
balutan dan rembesan yang muncul. Perawat harus memperhatikan metode yang
dipilih dokter bedah karena sebagian besar dokter lebih suka melakukan sendiri
penggantian balutan yang pertama. Perawat perlu memperhatikan perubahan citra
tubuh pasien terkait luka dan membantu pasien menerima perubahan dengan
menunjukkan sikap penerimaan terhadap penampilan pasien dan membantu
pasien mengungkapkan perasaannya tentang penampilan dirinya setelah operasi.
Selain itu, pasien dan keluarga perlu dilatih cara merawat luka (Black & Hawks,
2014).

Selain perawatan luka, akses intravena perlu deperiksa kepatenanya, jenis cairan,
dan laju tetesan. Apabila tidak ada komplikasi selama pembedahan dan pasien
dapat minum tanpa mual, maka akses intravena ditutup sehingga hanya berfungsi
sebagai jalur medikasi. Hal ini akan memberikan kenyamaman pada pasien.
Kemudian, perawat juga perlu memeriksa drainase yang terpasang pada diri
pasien setelah operasi. Cek apakah drainase perlu disambungkan dengan alat
penyedot atau cukup menggunakan gravitasi untuk mengeluarkan produksi cairan
paska pembedahan. Catat jumlah, warna, dan konsistensi dari cairan drainase.
NGT yang dipasang dengan tujuan dekompresi harus tetap dibiarkan terpasag
sampai peristaltik muncul. NGT diklem terlebih dahulu sebelum diputuskan
untuk melepasnya agar dapat diketahui toleransi pasien. Pasien paska operasi
yang baru menjalani operasi akan mengalami nyeri, medikasi nyeri harus
diberikan sebelum nyeri bertambah parah. Catat tanggal dan waktu obat
diberikan, jumlah dan metode pemberian. Catat juga deskripsi nyeri yang
dirasakan klien dan efektivitas obat yang diberikan (Black & Hawks, 2014).

 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul :


- Bersihan jalan nafas inefektif b.d efek depresan dari medikasi dan agen
anesthetik
- Nyeri dan ketidaknyamanan pasca operatif
- Risiko perubahan suhu tubuh
- Risiko cedera b.d status anesthesia
- Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
- Perubahan eliminasi urinarius (retensi urine) b.d penurunan aktivitas, efek
medikasi, dan penurunan masukan cairan
- Konstipasi b.d penurunan motilitas lambung dan usus selama fase intra
operatif
- Kerusakan mobilitas fisik b.d efek depresan dari anesthesia, penurunan
intoleransi aktivitas dan pembatasan aktivitas yang diprogramkan
- Ansietas tentang diagnosis pasca operatif

 Intervensi keperawatan
 Membersihkan sekresi dari jalan nafas : membalikkan pasien dari satu
sisi ke sisi lainnya, membuka mulut pasien secara manual tetapi hati-
hati dengan menggunakan spatel lidah, bila pasien muntah balikkan
badan klien dalam posisi miring, bila perlu lakukan suction untuk
membersihkan lendir atau sisa muntahan
- Pengaturan posisi : tempat tidur di jaga agar tetap datar sampai
pasien kembali sadar, lutut difleksikan dan bantal diletakkan di
antara tungkai
 Menghilangkan ketidaknyamanan pasca operatif.
 Meredakan nyeri : teknik relaksasi, teknik distraksi, analgetik oral /
IV / IM, therapi kognitif
- Menghilangkan kegelisahan : merupakan gejala defisit oksigen dan
hemorrhagi, bisa juga diakibatkan oleh posisi selama fase intra
operatif, cara penanganan jaringan oleh ahli bedah, dan reaksi
tubuh terhaap pemulihan anesthesia. Dapat dihilangkan dengan
analgesik pasca operatif yang diresepkan dan perubahan posisi
secara rutin.
- Menghilangkan mual dan muntah : pengaruh anesthesia untuk
mengeluarkan mukus dan saliva dalam lambung yang tertelan
selama periode anesthesia. Bila berlebihan dapat dihilangkan
dengan agens anesthestik dan antiemetik. Posisi pasien selama
mual-muntah adalah dengan dibalikkan miring ke salah satu sisi
untuk meningkatkan drainage mulut, mencegah aspirasi muntahan,
dan suction jika diperlukan. Jika muntah tidak kunjung berhenti,
maka perlu dilakukan pemasangan NGT.
- Menghilangkan distensi abdomen : diakibatkan oleh akumulasi gas
dalam saluran intestinal. Penanganannya dengan memasang selang
kateter rektak, selang NGT, meminta pasien untuk sering berbalik,
melakukan latihan dan mobilisasi dini jika keadaan pasien
memungkinkan.
- Menghilangkan cegukan : diakibatkan oleh spasme intermitten
diafragma dan dimanifestasikan dengan adanya bunyi “hik”(bunyi
koarse), akibat dari vibrasi pita suara yang tertutup ketika udara
secara mendadak masuk ke dalam paru-paru. Terbukti bahwa
sebenarnya tidak ada tindakan yang paling efektif untuk mengatasi
cegukan. Remedi paling tua dan sederhana adalah dengan menahan
nafas, terutama pada saat minum. Selain itu penggunaan medikasi
fenotiasin, dengan menekankan jari tangan pada kelopak mata yang
tertutup selama beberapa menit dan dengan merangsang muntah
dapat berhasil pada beberapa kasus
 Mempertahankan suhu tubuh normal : ruangan dipertahankan pada
suhu yang nyaman dan penggunaan selimut untuk mencegah
kedinginan.
 Menghindari cedera : restrain boleh digunakan hanya bila keadaan
pasien benar-benar mendesak untuk menggunakannya. Meski begitu,
penggunaan restrain harus diawasi jangan sampai mencederai pasien,
mengganggu terapi IV, selang dan peralatan pemantau. Apabila
kegelisahan disebabkan oleh nyeri, maka dianjurkan penggunaan
analgesik dan sedatif.
 Mempertahankan status nutrisi yang normal : makin cepat pasien dapat
mentoleransi diet yang biasa, makin cepat fungsi GI tract yang normal
akan pulih kembali. Ambulasi dini dan latihan di tempat tidur dapat
membantu memperlancar kembalinya fungsi GI tract. Cairan
merupakan substansi pertama yang dapat ditoleransi oleh pasien. Jus
buah dan teh dapat diberikan sebagai asupan selanjutnya jika tidak
terjadi mual dan muntah (bukan es atau cairan hangat). Setelah itu
makanan secara bertahap diberikan mulai dari yang paling lunak
sampai pada makanan padat biasa sesuai dengan toleransi pasien.
 Meningkatkan fungsi urinarius yang normal : membiarkan air mengalir
di kran dan kompres hangat pada perineum merupakan upaya yang
dianjurkan untuk merangsang eliminasi pasien. Masukan dan haluaran
harus terus dicatat.
 Meningkatkan eliminasi usus : auskultasi abdomen dengan stetoskop
digunakan untuk mendeteksi adanya bising usus, sehingga jika bising
usus telah terdengar, diet pasien secara bertahap dapat ditingkatkan.
 Memulihkan mobilitas : pasien dengan mobilitas terbatas harus dibalik
dari posisi satu ke posisi lainnya setiap 2 jam.
 Ambulasi dini : ditentukan oleh kestabilan sistem cerebro vaskuler dan
neuromuskuler pasien, tingkat aktivitas fisik pasien yang lazim, dan
sifat pembedahan yang dilakukan. Ambulasi dini dapat menurunkan
insiden komplikasi pasca operasi. Ambulasi dini tidak diperkenankan
melebii toleransi pasien. Kondisi pasien menjadi faktor penentu dan
kemajuan langkah diikuti dengan memobilisasi pasien : pasien diminta
untuk bergerak secara bertahap dari posisi berbaring ke posisi duduk
dampai semua tanda pusing telah hilang (dengan menaikkan bagian
kepala tempat tidur), pasien dapat dibaringkan dengan posisi benar-
benar tegak dan dibalikkan sehingga kedua tungkai menjuntai di atas
tepi tempat tidur dan setelah persiapan ini, pasien dapat dibantu untuk
berdiri di sisi tempat tidur.
 Pengaturan posisi : posisi telentang tanpa menaikkan kepala, berbaring
miring ke salah satu sisi dengan lengan atas ke depan, posisi fowler-
posisi paling umum tetapi juga merupakan posisi yang paling sulit
untuk dipertahankan.
 Latihan di tempat tidur :
- Latihan nafas dalam untuk menyempurnakan ekspansi paru.
- Latihan lengan melalui rentang gerak penuh, dengan perhatian
khusus pada abduksi dan rotasi eksternal bahu.
- Latihan tangan dan jari.
- Latihan kaki untuk mencegah foot drop dan deformitas dan untuk
membantu dalam mempertahankan sirkulasi yang baik.
- Latihan fleksi dan mengangkat tungkai untuk menyiapkan pasien
untuk membantu aktivitas ambulasi.
- Latihan kontraksi abdomen dan gluteal.
 Mengurangi ansietas dan mencapai kesejahteraan psikososial
- Dukungan psikologis selama fase post operatif.
- Kunjungan keluarga dekat selama beberapa saat.
- Eksplorasi kekhawatiran pasien tentang hasil pembedahan dan
pikiran tentang masa depannya.
- Jawab pertanyaan-pertanyaan pasien dengan meyakinkan tanpa
masuk ke dalam suatu pembahasan yang mendetail.
- Berada di dekat pasien untuk mendengarkan, mempertegas
penjelasan dokter, dan memperbaiki miskonsepsi yang ada.
- Instruksikan teknik relaksasi dan aktivitas pengalihan.

 Mempertahankan volume cairan adekuat


Selama fase intra operatif, kehilangan cairan yang berlebihan banyak
terjadi bersamaan dengan pembedahan sebagai akibat meningkatnya
perspirasi, sekresi mukus dalam paru-paru, dan kehilangan darah.

Tindakan :

- Penggantian cairan dan elektrolit per IV


- Penggantian cairan per oral secara bertahap setelah mual-muntah
menghilang dan bising usus terdengar

 Pencegahan infeksi
Kebanyakan infeksi terjadi pada salah satu dari empat tempat anatomi :
luka bedah, saluran kemih, aliran darah atau saluran pernafasan. Infeksi
dapat terjadi karena adanya hal-hal berikut :

- Penggunaan selang dan kateter, proses penyakit, atau oleh prosedur


pembedahan.
- Efek ansethesia dan bedah mengurangi daya tahan tubuh terhadap
infeksi.
- Pasien dapat terpajan pada agen infeksius selama hospitalisasi.
- Organisme yang ditemukan pada infeksi yang didapat di RS
menyebar luas dan resisten (kebal) terhadap antibiotik.
- Terjadi pelanggaran dalam teknik aseptik dan praktik mencuci
tangan yang tidak baik.
Tindakan pengendalian :

- Dorongan kepada pasien untuk batuk dan nafas efektif serta sering
mengubah posisi.
- Penggunaan peralatan steril.
- Antibiotik dan antimikroba.
- Mempraktikkan teknik aseptic.
- Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien.
- Pencegahan kerusakan kulit.
- Pantau tanda-tanda hemorrhagi dan drainage abnormal.
- Pantau adanya perdarahan.
- Perawatan insisi dan balutan.
- Penggantian selang intravena dan alat invasif lainnya sesuai
program.

 Evaluasi post operatif


- Fungsi pulmonal tidak terganggu.
- Hasil oksimetri nadi menunjukkan saturasi oksigen yang adekuat.
- Tanda-tanda vital stabil, termasuk tekanan darah.
- Orientasi tempat, peristiwa dan waktu.
- Haluaran urine tidak kurang dari 30 ml/jam.
- Mual dan muntah dalam kontrol, nyeri minimal.
Contoh Aktivitas Keperawatan pada Periode Perioperatif

Fase Pra Operasi


1) Pengecekan Pre-Admisi
 Pengkajian pre operasi (fisik dan psikologis)
 Menginisiasi edukasi sesuai kebutuhan pasien
 Melibatkan keluarga
 Memverifikasi tes diagnostik yang diperlukan
 Memverifikasi keperluan pre operasi dari dokter (puasa, mandi, dll)
 Mulai merencanakan discharge plannning dengan mengkaji kebutuhan pasien
paska operasi
2) Admisi ke Ruang Operasi
 Melengkapi pengkajian pre operasi
 Mengkaji komplikasi risiko paska operasi
 Memverifikasi bahwa informed consent sudah ditandatangani
 Berkordinasi dengan keluarga dan perawat serta tenaga kesehatan lain
3) Area Holding
 Mengkaji status pasien, tingkat nyeri dasar, status nutrisi
 Review charts
 Mengidentifikasi pasien
 Memverfikasi area operasi
 Memasang akses intravena
 Memberikan medikasi jika diperlukan
 Memberikan dukungan psikososial kepada pasien
 Mengkomunikasikan status emosional pasien ke tim kesehatan
Fase Intra Operasi
1) Mempertahankan Keselamatan
 Menjaga teknik aseptik dan lingkungan yang terkontrol
 Mengatur sumber daya manusia dan alat dengan efektif
 Memindahkan pasien ke meja operasi
 Memposisikan pasien berdasarkan area operasi
 Memastikan alat yang tersedia cukup
 Melengkapi dokumentasi intraoperasi
2) Monitoring Fisiologis
 Mengukur keseimbangan cairan pasien dan dampaknya
 Memisahkan data kardiopulmonal normal dan abnormal
 Melaporkan perubahan tanda-tanda vital
3) Dukungan Fisiologis (Sebelum Induksi dan Jika Pasien Sadar)
 Memberikan dukungan emosi
 Berdiri di dekat pasien dan menyentuhnya
 Mengkaji status emosi secara berkelanjutan
Fase Paska Operasi
1) Memindahkan Pasien ke Unit Paska Anastesi
 Mengidentifikasi pasien
 Sampaikan jenis operasi yang dijalani
 Sampaikan jumlah dan jenis anastesi yang diberikan
 Laporkan tanda-tanda vital pasien
 Deskripsikan faktor intraoperatif (kateter, drainase, obat, kejadian tidak disangka
yang terjadi saat operasi, dsb)
 Laporkan tingkat kesadaran pasien
 Laporkan kebutuhan alat
 Berkomunikasi dengan keluarga
2) Pengkajian Paska Operasi di Ruang Pemulihan
 Monitor tanda vital dan status fisiologis
 Monitor tingkat nyeri dan berikan anti nyeri
 Jaga kepatenan jalan napas
 Berikan medikasi, cairan, darah yang diperlukan
 Kaji kesiapan pasien untuk dipindahkan ke ruang rawat atau rumah
3) Unit Perawatan Bedah
 Memonitor tanda-tanda vital
 Monitor tingkat nyeri
 Mengkaji status fisiologis
 Memberikan edukasi terkait discharged planning
4) Rumah atau Klinik
 Lakukan follow up dengan kunjungan atau melalui telepon
 Kaji efek anastesi dan operasi terhadap diri pasien (citra tubuh)
 Ulangi edukasi yang telah diberikan dan jawab pertanyaan keluarga tentang rawat
jalan
Sumber: Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010

Referensi

Black, J.M & Hawks, J. H. (2014). Keperwatan medikal bedah. Jakarta: Salemba Media
Malley, A., Kenner, C., Faan, K., T., & Blakeney, B. (2015). The role of the nurse and the
preoperative assessment in patient transitions. AORN Journal. 102 (2). 181-189.
DOI: 10.1016/j.aorn.2015.06.004.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2010). Brunner & suddarth’s
textbook of medical surgical nursing. 12th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins

Anda mungkin juga menyukai