Anda di halaman 1dari 32

BAB I PENDAHULUAN Apendik disebut juga dengan umbai cacing.

Appendik sering menimbulkan masalah kesehatan khususnya pada orang muda sampai orang dewasa. Insiden yang jarang dijumpai pada orang tua dan anak-anak, namun kadang menimbulkan masalah kesehatan yang lebih berat pada kelompok usia tersebut. Insiden apendisitis akut di Negara maju akan lebih tinggi dibandingkan di Negara berkembang. Namun demikian dalam tiga dasa warsa terakhir ini insidennya menurun secara bermakna. Hal ini diduga meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam kehidupan seharihari. Apendisitis akut ditemukan pada semua umur, hanya pada anak dengan umur kurang dari satu tahun jarang ditemukan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun dengan insiden pada laki-laki dan perempuan sebanding kecuali pada umur 25 tahun laki-laki lebih banyak daripada perempuan Penanganan apendisitis akut yang kurang tepat akan dapat menyebabkan komplikasi yang salah satunya adalah periappendikuler infiltrate. Merupakan salah satu komplikasi dari apendisitis akut yang paling tersering pada umur 20-30 tahun. Periappendicular infiltrate terjadi jika massa appendik yang mengalami apendisitis akut terjadi mikroperforasi dan ditutupi oleh omentum atau lekukan dari usus halus sebagai pertahanan tubuh untuk mencegah perluasan infeksi. Imformasi masyarakat mengenai pentingnya penanganan periappendikuler infiltrate juga masih sangat minim. Sehingga banyak kasus apendisitis akut yang tidak dibawa ke rumah sakit akan mengalami penyulit berupa periappendikuler infiltrate yang tentu saja penanganannya lebih sulit dari apendisitis akut. Maka dipandang perlu oleh penulis memperdalam pengetahuan dengan menulis suatu tinjauan pustaka tentang periapendikular infiltrat sebagai salah satu komplikasi dari apendisitis. Namun seelum itu dipandang perlu mengulas lebih jauh tentang apendisitis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Apendiks Apendik merupakan organ yang suatu struktur tubuler melekat pada dasar sekum yang menyatu pada tinea coli, panjangnya kira-kira 8-10 cm. Lumen sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal, namun demikian pada bayi apendiks

berbentuk kerucut. Ini mungkin menjadi penyebab kecilnya angka insiden apendisitis pada anak-anak. Pada 65-75% kasus appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya appendiks terletak

retroperitoneal yaitu 20% dibelakang sekum, dibelakang kolon asendens, atau 5% disebelah tepi lateral kolon asendens.

Gambar 1. Lokasi dan anatomi apendiks vermiformis

Persarafan simpatis berasal dari nervus vagus yang megikuti arteri mesenterika superior dan arteri appendicularis. Sedangkan persarafan parasimpatis berasal dari nervus thorakalis X. oleh karena itu nyeri viseralis dari apendisitis berasal dari umbilikus. Pengaliran darah appendik berasal dari arteri appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat misalnya karena trombosis pada infeksi maka appendik akan mengalami ganggren.

Gambar 2. Gambaran histologi apendiks vermiformis

2.2 Fisiologi Appendiks Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu dialirkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks sangat berperan dalam patogenesis apendisitis. Apendik menghasilkan imunoglobulin sekretor melalui sistem GALT (gut assosiated lymphoid tissue) yang tedapat di sepanjang saluran cerna. Jenis imunoglobulin secretor yang dihasilkan adalah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif

dalam

mencegah

infeksi.

Namun

demikian

pengangkatan

appendik

tidak

mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan yang diangkat relatif kecil. 2.3 Apendisitis Akut 2.3.1 Epidemiologi Insiden apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi dibandingkan di Negara berkembang. Namun demikian dalam tiga dasa warsa terakhir ini insidennya menurun secara bermakna. Hal ini diduga meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam kehidupan sehari-hari. Apendisitis akut ditemukan pada semua umur, tapi jarang ditemukan pada anak dengan umur kurang dari satu tahun atau umur lebih tua di atas 30 tahun. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun. Insiden pada laki-laki dan perempuan sebanding kecuali pada umur-umur pubertas dan 25 tahun, laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dengan rasio 3:2.(Silen, 2007) 2.3.2 Etiologi Apendisitis sebagian besar merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Obstruksi merupakan faktor pencetus yang paling sering, dapat disebabkan oleh fekalit (30%), hyperplasia folikel limfoid, benda asing, tumor/neoplasma appendik, cacing askaris dan striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya. (Humes dan Simpson, 2006) Penyebab lain dari obstruksi adalah adanya erosi mukosa appendik oleh parasit E. hystolitika. (Humes dan Simpson, 2006) Penelitian menunjukkan kebiasaan makan makanan yang rendah serat dan konstipasi sebagai presdiposisi dalam timbulnya apendisitis akut. Konstipasi akan menyebabkan obstruksi fungsional karena meningkatnya tekanan intrasekal sehingga kuman intrasekal meningkat. Hal ini yang akan meningkatkan resiko apendisitis akut. (R Sjamsuhidajat & Wim de jong, 2004)

Gambar 3. Berbagai Faktor etiologi Apendisitis 2.3.3 Patofisiologi Patofisiologi appendisitis dapat mulai di mukosa kemudian melibatkan seluruh lapisan apendik dalam 24-48 jam pertama. Obstruksi lumen menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut semakin banyak yang melebihi kapasitas diatas 0,1-0,2 ml, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga meningkatkan tekanan intralumen sampai 60cmH2O. Tekanan ini akan menghambat aliran limfe, menyebabkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat ini terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri visceral yaitu nyeri epigastrium dan sekitar umbilikus. (Silen, 2007) Sekresi mukus yang berlanjut menyebabkan tekanan intralumen terus meningkat, terjadi obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri somatik yang ditandai dengan migrasi nyeri ke daerah kuadran kanan bawah. Keadaan ini disebut sebagai apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu karena tekanan yang meningkat, dinding yang teregang serta sifat arterial apendiks tanpa kolateral maka dapat terjadi iskemik diikuti gangrene apendiks. Menyebabkan dinding apendiks yang rapuh mudah mengalami perforasi.

Gambar 3. Proses patofisiologi apendisitis akut - peritonitis (Silen, 2007) Dalam proses patofisologi yang lambat, tubuh berusaha membentuk pertahanan tubuh dengan menutup apendiks dengan omentum dan usus halus atau oleh adneksa yang berdekatan sehingga terbentuk massa lokal yang disebut dengan periappendikular infiltrate. Di dalamnya dapat terjadi abses akibat nekrosis jaringan yang telah mengalami infeksi. Jika tidak terbentuk abses maka massa apendikuler akan menjadi

tenang sehingga selanjutnya massa apendikuler tersebut akan melepaskan diri secara lambat.(Silen, 2007) Apendik yang pernah mengalami proses radang tidak akan pernah mengalami sembuh sempurna tetapi akan terbentuk jaringan parut yang menimbulkan perlengkatan pada jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut akan menyebabkan keluhan yang berulang pada daerah Mc burney dan jika apendik tersebut mengalami peradangan kembali maka disebut mengalami eksaserbasi akut (R Sjamsuhidajat & Wim de jong, 2004). 2.3.4. Gambaran Klinis Apendisitis akut sering disertai dengan gejala khas yang didasari oleh adanya radang akut dari apendik dengan atau tanpa rangsangan peritoneum lokal. Gejala khas dari apendisitis akut adalah adanya nyeri kolik yang samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini disertai dengan mual dan muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam (2-12 jam) nyeri akan beralih ke perut kuadran kanan bawah di daerah McBurney (Ligath Sign). Nyeri tersebut merupakan nyeri somatik setempat, terasa lebih jelas, lebih tajam dan menetap serta progresif di daerah setempat. Kadang tidak terdapat nyeri epigastrium tetapi ada konstipasi sehingga pasien merasa perlu untuk mendapatkan pencahar. Tindakan ini berbahaya karena akan dapat mempercepat proses perforasi. Pada kasus terjadi perangsangan peritoneum maka pasien akan mengeluhkan nyeri diperberat dengan pasien batuk atau saat berjalan. Pasien juga bisa mengeluh panas yang sumer-sumer (subfebris).(Humes dan Simpson, 2006) Gejala apendisitis tidak khas pada pasien dengan varian lokasi apendik. Jika letak apendik retroperitoneal atau retrosekal, karena terlindung oleh sekum maka nyeri perut kanan bawah tidak begitu menonjol dan tidak ditemukan adanya rangsangan peritoneal. Rasa nyeri akan lebih mengarah pada perut sisi kanan dan akan nyeri saat berjalan karena akan terdapat konstraksi musculus psoas. Appendik yang terletak pada rongga pelvis bila terdapat radang maka akan dapat merangsang pengosongan

rectum . Jika perlengketan terjadi pada kantung kemih, maka akan terjadi peningkatan frekuensi miksi (R Sjamsuhidajat & Wim de jong, 2004).

Gambar 4. Gambaran apendiks letak retrosekal Gejala apendisitis juga bergantung pada usia. Gejala apendisitis akut pada anak tidak begitu jelas. Gejala awalnya sering hanya rewel dan sering tidak melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam anak akan muntah-muntah dan anak akan mengalami lemah dan letargik. Karena hal tersebutlah sering terjadi apendisitis pada anak diketahui setelah terjadi perforasi. Dimana pada bayi apendisitis akan didiagnosa 8090% setelah terjadi perforasi appendik (Ravitch, 1982). Pada beberapa keadaan apendisitis akut sulit ditangani sehingga tidak ditangani pada waktunya misalnya pada orang usia lanjut sehngga sering ditemukan adanya perforasi pada usia ini. Pada kehamilan keluhan utama apendisitis adalah adanya nyeri perut, mual dan muntah. Yang perlu diperhatikan bahwa pada kehamilan trimester pertama sering terjadi keluhan mual-muntah, pada kehamilan lanjut, appendik dan sekum akan terdorong kearah kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan pada perut kanan bawah tetapi lebih kearah lumbal kanan.

2.3.5 Pemeriksaan Fisik Demam biasanya ringan berkisar antara 37,5-38,5 oC, bila suhu mendekati 400 C menunjukkan ada penyulit (Abses/Perforasi). Pada inspeksi perut tidak ditemukan adanya gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada pasien dengan periappendikuler infiltrate. Pada palpasi ditemukan adanya nyeri yang berbatas tegas di daerah iliaka kanan bisa disertai dengan nyeri lepas. Nyeri tekan pada perut kanan bawah merupakan kunci diagnose. Ada berbagai karakter nyeri tekan pada perut kanan bawah pertanda adanya rangsangan peritoneal yaitu meliputi: a. Dunphys sign, nyeri pada tekanan Intra-abdominal yang naik misalnya bila batuk atau jalan b. Nyeri tekan dengan Defans Muskuler (kaku perut seperti papan) c. Rebound Phenomene (Blumberg Sign) nyeri dirasakan pada perut bagian kanan bawah setelah menekan perut bagian kiri dan dilepas secara mendadak d. Rovsing Sign : nyeri perut kanan bawah yang dirasakan setelah menekan daerah colon descendens terus kearah colon transversum e. Tenhorn Sign : nyeri perut kanan bawah muncul setelah menarik testis kanan Karena terjadi pergeseran kearah kraniolateral dorsal oleh uterus maka nyeri apendisitis akut pada kehamian trimester II dan III akan berpindah ke pinggang kanan kearah umbilikus . Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus , bukan akibat pergeseran appendiknya. Peristaltik usus biasanya normal. Peristatik usus dapat menghilang pada ileus paralitik akibat adanya peritonitis generalisata akibat appendik perforasi. Pemeriksaan colok dubur menimbulkan rasa nyeri pada arah jam 1000 1100 , terutama saat infeksi dapat dicapai oleh jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvis.

Pemeriksaan uji psoas dan obturator sign lebih untuk mengetahui letak dari apendik. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas dengan cara pasien mengangkat tungkai kanan dalam posisi ekstensi. Bila appendik yang meradang menempel pada musculus psoas mayor maka tes tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendik meradang saat kontak dengan musculus oburator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Nyeri perut kanan bawah timbul pada saat pasien memfleksikan dan endorotasi sendi panggul kanan (apendisitis pelvis). 2.3.6 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang sangat jarang, lebih dititik beratkan pada diagnosis secara klinis, biasanya diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan ekslusi diferensial diagnosis. Tidak ada sistem pemeriksaan khusus yang dipilih namun sering dilakukan pemeriksaan urin dan darah lengkap. Pemeriksaan urin yang tidak menunjukan kelainan, diperlukan untuk menyingkirkan adanya kelainan pada saluran kemih. Pada pemeriksaan darah 80-90% kasus ditemukan leukositosis, yang tidak terlalu tinggi (sekitar 10.000 15.000), LED dan CRP meningkat ditemukan sebagai tanda radang akut jika terjadi infiltrat. Pada pemeriksaan ginekologis tidak ditemukan tanda-tanda kehamilan. Pemeriksaan radiologis sangat membantu ketika diagnosis apendiksitis diragukan berdasarkan gejala klinis dan anamnesis. Foto Polos Abdomen bila ada kecurigaan batu ureter. USG, laparoskopik diagnostic dan CT scan abdomen dapat dilakukan bila diagnose meragukan. 2.3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding Sistem diagnosis apendisitis lebih dominan didasarkan pada gambaran klinis baik yang digali dengan anamnesis maupun pemeriksaan fisik. Sistem diagnosis tersebut dikenal sebagai ALVARADO/MANTRELS score: yaitu a. Apendisitis point pain b. Leukositosis 2 2

10

c. Vomitus d. Anoreksis e. Rebound Tenderness f. Abdominal migrate pain g. Degree of C > 37,5 h. Observasi Hemogram > 72%/ geser kiri

1 1 1 1 1 1

Nilai komulatif lebih dari tujuh memperlihatkan bahwa pasien tersebut didiagnosis sebagai apendisitis akut yang perlu pembedahan dini. Ada tiga terminologi dalam diagnosis apendisitis akuta yaitu apendiksitis akuta simple, peradangan apendik tanpa disertai gangrene, perforasi, abses. Apendisitis akuta komplikata, terdapat gangren, perforasi atau massa infiltrate. Apendisitis akuta negatif, tidak ditemukannya peradangan apendik setelah dilakukan operasi apendisektomi pada pasien yang semula dicurigai apendisitis. Diagnosis Banding: 1. Gastro-Enteritis (diare-muntaber) : limfadenitis mesenterik, entero-kolitis, ileitis terminalis yang dibedakan dengan gejala mual, muntah, diare, hiperperistaltik namun leukositosis dan demam tidak menonjol. Nyeri tidak terlokalisir. 2. Kelainan genitalia interna pada wanita: dismenorea dapat terjadi pada siklus menstruasi dan menghilang setelah 24 jam. Salfingitis akut mirip dengan apendisitis tapi ada riwayat keputihan dan infeksi urin, nyeri hebat pada vaginal tusea. Ectopic pregnansi, hamil anggur. 3. Kelainan saluran air kemih: urolitiasis pielum, ada riwayat nyeri pinggang menyebar keinguinal, eritrosituria (+). Pielonefritis akut; ada demam tinggi menggigil, nyeri ketok kostovertebral, balotment (+) 4. Kelainan-kelainan lain didalam abdomen : ulkus peptikum, kolesistitis, pankreatitis, divertikulits, perforasi karsinoma kolon
11

Penyakit-penyakit diluar abdomen : pneumonia, pleuritis, infark miokard 2.3.7 Penatalaksanaan Tindakan yang paling tepat dan paling baik untuk apendisitis akut adalah apendiktomy. Pada apendisitis akut tanpa adanya komplikasi biasanya tidak diperlukan antibiotik kecuali pada apendisitis ganggrenosa atau apendisitis perforate. Penundaan tindakan pembedahan dapat menyebabkan adanya abses dan perforasi. Apenditektomi dapat dilakukan secara terbuka atau degan laparoskopi. Penanganan pasien dengan apendisitis dapat dilihat pada diagram dibawah ini.

Gambar 5. Mekanisme tatalaksana pasien apendisitis akut

12

Gambar 6. proses pembedahan apendiktomy (Douglas W., 2003)

13

2.4 Periappendikular Infiltrate Periappendikular Infiltrate merupakan salah satu komplikasi dari apendisitis akut yang paling tersering pada umur 20-30 tahun. Ditemukan 3-6% kasus apendisitis ditemukan dengan komplikasi apendikular infiltrate. Berdasarkan penelitian Okafor dkk, 2003 di rumah sakit Nigeria , periapendikular infiltrate terjadi pada dekade 3-4, ini terjadi kemungkinan karena omentum, sekum dan lekukan usus yang kompeten dalam membentuk dinding perlindungan dalam mencegah terjadinya perforasi lebih lanjut. Hanya 3,3% periapendikular infiltrate terjadi pada kelompok umur diatas 60 tahun, dan begitu juga halnya dengan kelompok umur dibawah 10 tahun. Dalam terminologi diagnosis, periappendikular infiltrate termasuk apendisitis komplikata. Periappendikular infiltrate terjadi jika massa appendik yang mengalami apendisitis akut terjadi mikroperforasi dan ditutupi oleh omentum atau lekukan dari usus halus sebagai pertahanan tubuh untuk mencegah perluasan infeksi. Mikroperforasi terjadi karena iskemia yang menyebabkan ulserasi dinding, nekrosis transmural dan penetrasi bakteri. Secara patologis pada periapendikular infiltrate terjadi massa radang pada daerah apendik yang terjadi karena reaksi imflamasi apendik dan jaringan/organ sekitarnya, seperti pembengkaan/penebalan pada dinding transmural dari apendiks, dinding sekum dan usus halus, yang terbungkus oleh omentum diluar komponen tersebut (Willemsen dkk., 2002).

Gambar 7. Gambaran laparoskopik Apendikular infiltrate

14

Pembentukan massa apendikular infiltrate bertujuan mencegah perluasan infeksi apendik ke seluruh organ abdominal sehingga memungkinkan penyembuhan infiltrate radang pada apendik secara spontan yang terjadi 7-14 hari setelah radang akut. Pada massa periappendikuler yang belum sempurna masih memungkinkan terjadi akumulasi pus yang berlebih membentuk abses dan penyebaran pus ke rongga peritoneum sehingga dapat menimbulkan peritonitis purulenta generalisata. Periappendikuler infiltrate ini biasanya timbul setelah 3-5 hari riwayat apendisitis akut yang tidak ditangani dengan pembedahan. Riwayat klasik apendisitis akut yang dikuti oleh adanya massa pada diregio iliaka kanan dan disertai demam dengan waktu lebih dari 3 hari mengarahkan diagnose ke periappendikuler infiltrate. Namun kadang hal ini sulit dibedakan dengan penyakit chron, karsinoma sekum dan perlu juga disingkirkan adanya kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberculosis, dan kelainan ginekologik. Kunci diagnosis ini terletak pada anamnesis dari gejala khas apendisitis akut. Diagnosis yang sulit ditegakan dengan melihat gambaran klinis dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang misalnya dengan USG dan CT scan abdomen. Gambaran yang tampak pada USG adalah space-occupaying mass pada kuadran kanan bawah menandakan ada proses massa radang atau abses. Dengan USG dapat 75-95% kasus apendikular infiltrate dapat didiagnosis,dengan sensitifitas positive sensitivities of 75%-90%, spesifisitas 86%-100%, akurasi 87%-96%, 91%-94% dan negative predictive values 89%-97%.

predictive values

Gambaran yang tampak pada USG adalah dalam potongan sejajar sumbu panjang tampak gambaran blind ended, struktur tubuler bertambah panjang lebih dari 6 mm, lumen yang terdistensi oleh pus dan fekalit didalamnya. Sedangkan gambaran melintang tampak donat sign, dengan penebalan dinding apendik, membentuk lapisan-lapisan dari lumen sampai serosa (Jain dkk., 2006). USG dapat membedakan peripaendikular infiltrat terhadap penyakit Chron dengan melihat gambaran penebalan dinding mural dan perubahan infiltratif lebih dominan disekitar apendik. Pada pasien dengan umur diatas 40 tahun perlu dicurigai massa yang terbentuk merupakan keganasan apendik, pemeriksaan penunjang yang diperlukan misalnya colonoscopy, barium enema dan small bowel X ray.
15

Gambar 8. Gambaran USG apendisitis sejajar sumbu apendik dan melintang Penanganan massa apendikular infiltrate sampai sekarang masih menjadi kontroversi dikalangan klinisi (Meshikhes, 2008). Beberapa ahli bedah menyarankan, pada anak karena massa apendikular yang tidak sempurna perlu segera dioperasi untuk mencegah terjadinya penyulit. Selain itu pada minggu pertama operasi

periappendikuler infiltrate masih mudah. Pada anak dilakukan persiapan operasi selamam 2-3 hari (Samuel dkk., 2002). Selian itu pada ibu hamil dan orang lanjut usia untuk mencegah terjadi perkembangan menjadi peritonitis purulenta generalisata maka dianjurkan dilakukan pembedahan secepatnya. Pada pasien dewasa, massa periapendikuler dengan dinding yang sempuna dianjurkan untuk dilakukan terapi konservatif diikuti interval apendiktomy. Pasien dirawat dahulu dan diberikan antibiotik sambil dilakukan pengawasan suhu tubuh., ukuran massa periappendikuler dan gejala peritonitis yang timbul. Bila sudah tidak terdapat demam dan massa periappendikuler hilang dan leukosit normal penderita boleh pulang dan appenditektomy dapat dilakukan 2-3 bulan agar pendarahan akibat perlengketan dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam penelitian oleh Arshad ddk., 2008, disebutkan tindakan pembedahan interval apendiktomy memiliki banyak kelebihan dibandingkan tindakan dilakukan lebih dini. Dari penelitian ini diketahui pembedahan dini lebih berbahaya walaupun lama perawatan rumah sakit post operasi lebih singkat, bahaya tersebut seperti pendarahan lebih banyak, wound sepsis, perlengketan post operasi dan residual abses. Selain itu pada masa interval tersebut

16

dapat dilakukan pemeriksaan tambahan untuk mengesklusi penyakit Chron dan keganasan apendik.

Gambar 9. Tabel perbandingan komplikasi post operasi dan lama perawatan rumah sakit antara pembedahan interval dan dini (Arshad ddk., 2008) Jika tidak terjadi perbaikan maka appenditektomi dilakukan pada minggu 3 setelah riwayat apendisitis akut. Bila terjadi perforasi maka akan terjadi abses apendik. Hal ini disertai dengan kenaikan suhu dan fekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan teraba pembengkakan massa serta betambahnya angka leukosit. Kalau sudah terjadi abses maka dianjurkan dilakukan drainase perkutan saja dan appendtektomy dilakukan setelah 6-8 minggu. Sedangkan jika komplikasi berlanjut dengan adanya peritonitis generalisata maka perlu dilakukan laparotomi eksplorasi secara emergensi (Willemsen dkk., 2002). Tatalaksana terapi konservatif yang dilakukan dari periappendikuler infiltrate dengan interval appendiktomy meliputi: MRS, pemberian cairan intravenous, analgesik dan antibiotik spektrum luas seperti Cefuroxime, Meteronidazole, serta pengawasan tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien. Jika tidak ada keluhan, dari pemeriksaan fisik dan laboratorium dalam batas normal maka perlu dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan pembedahan.

17

BAB III LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien Nama Umur Jenis kelamin Suku Agama Pendidikan Status perkawinan Pekerjaan Alamat Tanggal MRS : NLY : 18 tahun : Perempuan : Bali : Hindu : SMA : Belum menikah : Tidak bekerja : Br. Sedang Kaja Abiansemal : 20/05/2013 pk. 16.30 wita

Tanggal Pemeriksaan : 22/05/2013 pk. 11.00 wita

3.2 Anamnesis Keluhan utama : nyeri perut kanan bawah Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluh nyeri pada perut kanan bawah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dikatakan muncul setelah operasi sampai saat diperiksa. Nyeri dirasakan berbeda dengan nyeri sebelum dioperasi dan dirasakan seperti tertusuk, dari awal muncul nyeri dikatakan nyeri memberat. Nyeri dirasakan terus menerus sepanjang hari dan semakin sakit jika dilakukan perubahan posisi. Tidak ada hal yang dapat membuat nyeri berkurang. Saat ini pasien masih mengeluh sedikit mual. Mual dirasakan sudah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Mual dirasakan seperti rasa tidak nyaman terutama pada area ulu hati dan rasa seperti ingin muntah. Mual dikatakan sudah sedikit berkurang dibanding saat sebelum masuk rumah sakit. tidak ada hal yang dapat membuat rasa mual pasien berkurang.

18

Pasien juga mengatakan selera makannya masih berkurang. Pasien sudah tidak mengeluhkan muntah. Saat ini panas badan sudah tidak dirasakan oleh pasien. Pasien juga sudah tidak mengeluhkan nyeri pada perut bagian lain. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien merasakan nyeri sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada awalnya, keluhan nyeri perut kanan bawah pasien dikatakan muncul tiba-tiba, dirasakan menetap dan tidak terlalu berat. Pasien mengatakan bahwa nyeri perut kanan hampir dirasakan sepanjang hari. Nyeri dirasakan seperti ditusuk pisau dan bertambah berat jika pasien mengangkat maupun menekuk kaki kanannya. Selain itu nyeri dirasakan semakin bertambah jika pasien batuk, bersin, maupun berjalan biasa. Tidak ada hal yang dapat mengurangi rasa nyeri pasien. Pasien tidak mengkonsumsi obat apapun untuk mengatasi nyerinya tersebut. Pasien juga dikeluhkan mengalami mual-mual sejak 3 hari sebelum MRS. Keluhan mual-mual tersebut dikatakan muncul tiba-tiba dan terjadi hilang timbul. Pada awalnya, mual-mual yang dialami pasien tidak begitu berat, namun 1 hari sebelum MRS mual-mual terus bertambah berat. Mual-mual pasien dikatakan bertambah berat jika pasien makan lebih banyak dan sedikit berkurang jika pasien istirahat. Mual-mual yang dialami pasien dikatakan disertai dengan muntah-muntah. Pasien muntah setiap mengalami mual. Muntahan berisi makanan dan minuman yang dikonsumsi pasien. Panas badan dirasakan di seluruh tubuh sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Panas badan dirasakan seperti membakar tubuhnya. Suhu tubuh dikatakan tidak terlalu tinggi dan turun dengan obat penurun panas, tetapi hanya bertahan 3 hingga 4 jam, kemudian panas badan timbul lagi. Tidak ada aktivitas atau hal yang memperberat panas badan. Awalnya pasien merasakan panas badan timbul mendadak hampir bersamaan dengan timbulnya nyeri dan panas badan dirasakan terus menerus sepanjang hari. BAB dan BAK pasien dikatakan tidak mengalami gangguan. Frekuensi BAB dikatakan rutin 1-2 kali setiap harinya. BAB pasien dikatakan konsistensinya padat

19

tanpa disertai adanya darah dan lendir. Pasien dikatakan tidak pernah mengalami BAB kehitaman sebelumnya. BAK dikatakan rutin 5x sehari, dan tidak dikeluhkan nyeri baik saat kencing maupun setelah kencing. Kencing pasien berwarna kuning, tidak berbusa atapun berisi serpihan batu. Pasien sempat di rawat di RSUD Badung pada pertengahan Maret selama 10 hari. Pasien mengatakan nyeri pada perut bagian bawah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri juga menyebar pada seluruh bagian perut dan dirasakan paling nyeri pada perut bagian bawah. Saat itu nyeri timbul secara mendadak, nyeri dirasakan terutama selesai berkemih. Pasien mengatakan nyeri pada perut kanan bawahnya seperti terbakar. Nyeri dirasakan sepanjang hari terutama pada saat selesai berkemih. Nyeri tidak mau berkurang dengan perubahan posisi tertentu. Pasien tidak minum obat selain yang didapat dari rumah sakit. Saat itu pasien juga mengeluhkan panas badan. Panas badan dirasakan di seluruh tubuh sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Panas badan dirasakan seperti rasa membakar pada tubuhnya. Suhu tubuh dikatakan cukup tinggi. Tidak ada aktivitas atau hal yang memperberat atau memperingan panas badan. Awalnya pasien merasakan panas badan timbul mendadak hampir bersamaan dengan timbulnya nyeri pada perut kanan bawah dan panas badan dirasakan terus menerus sepanjang hari. Keluhan lain seperti mual, muntah, nyeri saat berjalan, tidak dikeluhkan oleh pasien. Riwayat Pengobatan Pasien tidak pernah minum obat atau ke dokter sebelumnya untuk meringankan penyakitnya. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Riwayat asma, hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit jantung dalam keluarga tidak diketahui. Riwayat Sosial Pasien belum menikah dan tinggal bersama keluarganya. Saat ini pasien tidak bekerja. Pasien dahulu bekerja sebagai pegawai swasta di sebuah restoran di Renon.
20

Pasien mengaku kerap memakan masakan yang pedas. Hampir setiap hari pasien mengkonsumsi sambal dan rujak buah. Sebelum merasakan nyeri yang luar biasa, pasien mengaku mengkonsumsi rujak pedas 2 piring dan es campur. Pasien menyangkal pernah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya.

3.1

Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda Vital Keadaan umum : Lemah Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)

Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi Pernapasan Suhu aksila Nyeri Berat badan Tinggi badan BMI Status General Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterus (-/-), reflex pupil (+/+) isokor, edema palpebral (-/-) THT Telinga Hidung : : bentuk normal (+/+), inflamasi (-/-), discharge (-/-) : bentuk normal, discharge (-/-), deviasi septum (-), napas cuping hidung (-) : 64 kali/menit, regular, isi cukup : 20 kali/menit, tipe torakoabdominal : 36,8 oC : 6/10, sias kanan : 52 Kg : 160 Cm : 20,31 Kg/m2

21

Tenggorokan : tonsil (T1/T1), faring hiperemis (-), atropi papil lidah (-) bibir sianosis (-) Leher Aksila Thoraks Cor Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak nampak : ictus cordis teraba di ICS V, 1 jari lateral MCL S : batas atas MCL S, ICS II batas kanan PSL D, ICS III batas bawah ICS V, 1 jari lateral MCL S batas kiri ICS V, 1 jari lateral MCL S Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-) Pulmo Inspeksi : dinding dada simetris saat statis dan dinamis, retraksi subcostal (-), suprasternal (-) dan supraklavikula (-) Palpasi N N N : vokal fremitus N N N : Pembesaran kelenjar getah bening (-/-) : Pembesaran kelenjar getah bening (-/-) :

Perkusi

Sonor Sonor : Sonor Sonor Sonor Sonor

22

Auskultasi : + + + + + +

vesikuler -

ronchi -

wheezing

Abdomen Inspeksi Auskultasi Perkusi

: : luka post op (+) terawat, distensi (-), pulsasi epigastrial (-) : bising usus (+) normal, bruit (-) : timpani (+), shifting dullnes (-), undulating wave (-), nyeri ketok CVA (-/-)

Palpasi

: nyeri tekan (+) sias kanan, massa (-), murphy sign (-) hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ballotement (-), vesika urinaria teraba kosong

Inguinal Ekstremitas

: pembesaran kelenjar getah bening (-/-) : hangat + + + + edema -

3.2 a.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Darah Lengkap (20 Mei 2013)

23

Pemeriksaan WBC % Neut % Lymph % Mono # Neut # Lymph # Mono RBC Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC RDW Platelet MPV Kesan : Leukositosis

Hasil 19,00 87,00 5,00 9,00 17,20 1,00 1,70 4,53 13,50 38,70 85,10 27,90 32,70 12,50 164,30 8,90

Satuan 103L % % % 103L 103L 103L 106L g/dL % fL Pg g/dL % 103L fL

Normal 4,10 - 11,00 50,00 - 70,00 25,00 - 40,00 2,00 - 11,00 2,50 - 7,50 0,80 - 4,00 2,00 7,70 4,50 - 5,90 12,00 - 17,50 37,00 - 53,00 80,00 - 100,00 26,00 - 34,00 31,00 - 36,00 11,60 - 14,80 150,00 - 440,00 6,80 - 10,00

Remarks Tinggi Tinggi Rendah Tinggi

Kimia Darah (20 Mei 2013) Pemeriksaan SGOT SGPT BUN Creatinin Gula darah sewaktu Kesan : normal Hasil 10,00 8,00 21,00 0,74 108,00 Satuan U/L U/L mg/dL mg/dL mg/dL Normal 11 - 33 11 - 50 8,00 - 23,00 0,70 - 1,20 70,00 - 120,00 Remarks

Urine Lengkap (20 Mei 2013) Pemeriksaan pH Leucocyte Nitrite Protein Glucose Ketone Urobilinogen Bilirubin Erytrocyte Hasil 5,00 Neg Neg 30,00 neg Neg Norm Neg Neg Satuan Leu/L mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL mg/dL ery/L
24

Normal 5-8 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 1 mg/dl Negatif Negatif

Remarks

1+

Specific Gravity Colour Sedimen Urine Leukosit Eritrosit Sel Epitel Granular Bakteri Tes kehamilan Kesan : normal

1,015 P.yel 0-1 1-2 Neg Neg Neg

mg/dL /lp /lp /lp /lp

1,005-1,020 P.yellow-yellow < 6/lp < 3/lp -

USG Abdomen (21 Mei 2013) Lumen lumen usus kesan normal, tidak tampak tanda tanda disstended Lumen usus area McBurney kesan prominent 9 mm Lien Kedua ginjal Uterus tidak menebal Tidak tampak pemadatan kelenjar getah bening paraaorta abdominalis Tidak tampak cairan bebas di ruang intraperitoneal maupun pleura Kesan : Observasi lanjut tanda peradangan apendiks Organ organ abdomen lain dalam batas normal : bentuk, ukuran, dan echoparencim dalam batas normal. Tidak

tampak vena lienalis. SOL (-) : bentuk, ukuran, dan parenkim dalam batas normal, tidak

tampak dilatasi/bendungan pada sistem pelvocalyceal ginjal. Echo batu/SOL (-) : ukuran dan echotekstur dalam atas normal, endometrial line

3.5 Diagnosis Apendiksitis akut post apedisektomy hari 2

3.6 Penatalaksanaan Rencana terapi IVFD RL 20 tpm


25

Ceftriakson inj 2x1 Metronidazole Ondansentron 3x1 amp k/p Ranitidin 2x1 Monitoring Tanda tanda vital Nyeri Keluhan

3.7 Prognosis Ad vitam Ad fungsionam : dubius ad bonam : dubius ad bonam

Follow Up
Tgl 20 Mei 2013 S Nyeri perut kanan bawah (+), mual O KU : lemah Kes : GCS E4V5M6 Vital sign TD :110/70 mmHg N :87x/mnt RR : 18x/mnt Tax : 37,3oC VAS : 7-8 St. Generalis : Mata : an -/Thorax : A Apendiksitis akut P - IVFD RL 30 tpm - Pantoprazol 2x1 amp - Ondansentron 3x1 amp k/p - Ketorolac 3x1 amp k/p - Cefotaxime 3x1

26

Cor: S1S2 tgl reg, murmur (-) Pulmo: ves +/+, rhonki -/, wheezing -/Abdomen: Inspeksi: distensi (-) Auskultasi: BU (+) normal Palpasi: Nyeri tekan mcburney (+), H/L tidak teraba Perkusi: timpani 21 Mei 2013 Nyeri perut post op (+), KU : sakit sedang Kes : GCS E4V5M6 Vital sign TD :110/70 mmHg N :87x/mnt RR : 18x/mnt Tax : 37,3oC VAS : 6-7 St. Generalis : Mata : an -/Thorax : Cor: S1S2 tgl reg, murmur (-) Pulmo: ves +/+, rhonki -/, wheezing -/Abdomen: Inspeksi: luka post op (+) terawatt, distensi (-) Auskultasi: BU (+) normal Palpasi: Nyeri tekan (+), H/L tidak teraba Perkusi: timpani KU : sakit sedang Kes : GCS E4V5M6 Vital sign TD :110/70 mmHg N :87x/mnt RR : 18x/mnt Tax : 37,3oC VAS : 6-7 St. Generalis : Mata : an -/Post op Apendisektomy hari 0

amp - Planning diagnosis: DL, Kimia darah, UL, USG abdomen

- IVFD RL 20 tpm - Ceftriakson iv 2x1 gram - Metronidazole iv 2x500 mg - Ranitidin iv 3x1 mg - Ondancentron iv 3x2 mg - Ketorolac iv 1x30 mg

22 Mei 2013

Nyeri perut post op (+), mual (+)

Post op Apendisektomy hari 1

- IVFD RL 20 tpm - Ceftriakson iv 2x1 gram - Metronidazole iv 2x500 mg - Ranitidin iv 3x1 mg - Ondancentron iv 3x2 mg - Ketorolac iv 1x30 mg

27

Thorax : Cor: S1S2 tgl reg, murmur (-) Pulmo: ves +/+, rhonki -/, wheezing -/Abdomen: Inspeksi: luka post op (+) terawatt, distensi (-) Auskultasi: BU (+) normal Palpasi: Nyeri tekan (+), H/L tidak teraba Perkusi: timpani KU : sakit sedang Kes : GCS E4V5M6 Vital sign TD :110/70 mmHg N :87x/mnt RR : 18x/mnt Tax : 37,3oC VAS : 5-6 St. Generalis : Mata : an -/Thorax : Cor: S1S2 tgl reg, murmur (-) Pulmo: ves +/+, rhonki -/, wheezing -/Abdomen: Inspeksi: luka post op (+) terawatt, distensi (-) Auskultasi: BU (+) normal Palpasi: Nyeri tekan (+), H/L tidak teraba Perkusi: timpani KU : sakit sedang Kes : GCS E4V5M6 Vital sign TD :110/70 mmHg N :87x/mnt RR : 18x/mnt Tax : 37,3oC VAS : 3-4 St. Generalis : Mata : an -/-

23 Mei 2012

Nyeri perut post op (+), mual (-)

Post op Apendisektomy hari 2

- IVFD RL 20 tpm - Ceftriakson iv 2x1 gram - Metronidazole iv 2x500 mg - Ranitidin iv 3x1 mg - Ondancentron iv 3x2 mg - Ketorolac iv 1x30 mg

24 Mei 2013

Nyeri perut post op (+), mual (-)

Post apendisektomy hari 3

- IVFD RL 20 tpm - Ceftriakson iv 2x1 gram - Metronidazole iv 2x500 mg - Ranitidin iv 3x1 mg - Ondancentron iv 3x2 mg - Ketorolac iv 1x30 mg

28

Thorax : Cor: S1S2 tgl reg, murmur (-) Pulmo: ves +/+, rhonki -/, wheezing -/Abdomen: Inspeksi: luka post op (+) terawatt, distensi (-) Auskultasi: BU (+) normal Palpasi: Nyeri tekan (+), H/L tidak teraba Perkusi: timpani

29

BAB 1V PENUTUP 3.1Simpulan Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa: 1. Secara anatomis dan fisiologis appendik merupakan organ yang komplek namun belum jelas sampai sekarang fungsi organ tersebut pada manusia. Anatomi dan fisiologi organ apendik sangat berpengaruh pada resiko kejadian serta variasi gejala klinis apendisitis yang muncul pada seseorang. 2. Apendisitis akut ditemukan pada semua umur, insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun. Insiden pada laki-laki dan perempuan sebanding kecuali pada umur-umur pubertas dan 25 tahun, laki-laki lebih banyak dari pada perempuan 3. Obstruksi merupakan faktor pencetus apendisitis, dapat disebabkan oleh fekalit, hyperplasia folikel limfoid, benda asing, tumor/neoplasma appendik, cacing askaris, striktur, erosi mukosa appendik oleh E. hystolitika dan konstipasi yang menyebabkan obstruksi fungsional 4. Patofisiologi appendisitis dapat mulai di mukosa kemudian melibatkan seluruh lapisan apendik. Obstruksi lumen menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan yang menghambat aliran limfe, obstruksi vena dan aliran arteri terganggu menyebabkan edema, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, iskemik diikuti gangrene apendiks. Menyebabkan dinding apendiks yang rapuh mudah mengalami perforasi. 5. Apendisitis akut sering disertai gejala khas yang didasari oleh adanya radang akut dari apendik dengan atau tanpa rangsangan peritoneum local seperti nyeri visceral di daerah epigastrium disekitar umbilicus, disertai dengan mual dan muntah, nafsu makan menurun kemudian nyeri akan beralih ke perut kuadran kanan bawah di daerah McBurney (Ligath Sign). Selain itu disertai nyeri pertandan rangsangan peritoneal.
30

6. Sistem diagnosis apendisitis lebih dominan didasarkan pada gambaran klinis baik yang digali dengan anamnesis maupun pemeriksaan fisik yang dikenal sebagai ALVARADO/MANTRELS score. Diagnosis banding yang perlu dipikirkan adalah Gastro-Enteritis, kelainan genitalia interna pada wanita, saluran air kemih, ulkus peptikum, kolesistitis, pankreatitis, divertikulits, dan perforasi karsinoma kolon 7. Tindakan yang paling tepat dan paling baik untuk apendisitis akut adalah apendiktomy yang dapat dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Pada apendisitis akut tanpa adanya komplikasi biasanya tidak diperlukan antibiotik kecuali pada apendisitis ganggrenosa atau apendisitis perforate. Apenditektomi 8. Periappendikular Infiltrate merupakan salah satu komplikasi dari apendisitis akut yang paling tersering pada umur 20-30 tahun kira-kira 3-6% kasus. Gejala Biasanya timbul setelah 3-5 hari riwayat apendisitis akut yang tidak ditangani dengan riwayat klasik apendisitis akut yang dikuti oleh adanya massa pada diregio iliaka kanan dan disertai demam dengan waktu lebih dari 3 hari. Kesulitan diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang misanya dengan USG dan CT scan abdomen 9. Penanganan massa apendikular infiltrate masih menjadi kontroversi, pada anak karena massa apendikular yang tidak sempurna perlu segera dioperasi sedangkan pada pasien dewasa, massa periapendikuler dengan dinding yang sempuna dianjurkan untuk dilakukan terapi konservatif diikuti interval apendiktomy. Tindakan pembedahan interval apendiktomy memiliki banyak kelebihan dibandingkan tindakan dilakukan lebih dini. Bila terjadi perforasi, abses apendik dilakukan drainase perkutan dilanjutkan appendtektomy setelah 6-8 minggu. jika komplikasi berlanjut dengan adanya peritonitis generalisata maka perlu dilakukan laparotomi eksplorasi secara emergens.

31

DAFTAR PUSTAKA Arshad, Malik. A. Aziz, Laghari. Qasim, Mallah dan TalpurJ, K. Altaf Hussain. 2008. Early Appendicectomy in Appendicular Mass. Ayub Med Coll Abbottabad. 20(1): 70-72 Douglas W., Md. Wilmore. 2003. ACS Surgery: Principles and Practice 200. New York. WebMD Professional Publishing. Ebbell, Mark H. 2008. Diagnosis of Appendicitis: Part I. History and Physical Examination. American Family Physician www.aafp.org/afp. (available acsessed: Mei 22, 2013) Humes, D J. dan Simpson, J. 2006. Acute Appendicitis BMJ. 333: 530-534 Jain, RK. Jain, M. Rajak, CL. Mukherjee, S. Bhattacharya, PP. Shah dan MR. 2006. Imaging In Acute Appendicitis: A Review. Ind J Radiol Imag.16(4):523-532 Meshikhes, Abdul-Wahed. 2008. Management of Appendiceal Mass: Controversial Issues Revisited J Gastrointest Surg 12:767775 R. Sjamsuhidajat & Wim de jong. 2004. Buku ajar Ilmu Bedah edisi ke-2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 640-645 Samuel, M. Hosie, G. dan Holmes, K. 2002. Prospective Evaluation of Nonsurgical Versus Surgical Managementof Appendiceal Mass. EnglandJournal of Pediatric Surgery. 37 (6): 882-886 Silen, William. Acute Appendicitis and Peritonitis dalam Harrison, T.R. 2005. HARRISONS PRINCIPLES of InternalMedicine 16th Edition. New York.
McGraw-Hill

Willemsen, Paul J. Hoorntje, Lidewij E. Eddes, Eric-Hans dan Ploeg, Rutger J. 2002. The Need for Interval Appendectomy after Resolution of an Appendiceal Mass Quesioned Digestive Surgery 19(3): 216

32

Anda mungkin juga menyukai