Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDIKTOMI

1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-
15), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insidens apendisitis pada usia itu (Departemen Bedah UGM, 2010).
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar submukosa dan
mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan pembuluh darah dan
kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan
pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks
retrosekal, maka tidak tertutup oleh peritoneum viserale (Departemen Bedah UGM, 2010).
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika
superior dan apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat,
2004).  
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral.
Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangrene (Sjamsuhidajat, 2004). 

1
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekreator
yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang
saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh (Sjamsuhidajat, 2004).

2. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Penyakit ini mengenai
semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia 10 sampai 30 tahun (mansjoer, 2000).  Apendisitis adalah infeksi pada apendiks
karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasia jaringan limfoid dan
cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Erosi mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti E. Coli. Apendisitis merupakan penyebab
yang paling umum dari inflamasi akut kuadran kanan bawah rongga abdomen dan
penyebab yang paling umum dari pembedahan abdomen darurat. Pria lebih banyak terkena
daripada wanita, remaja lebih banyak dari orang dewasa. Insiden tertinggi adalah mereka
yang berusia 10 sampai 30 tahun (Baughman, 2000).

2
3. Klasifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik
(Sjamsuhidayat, 2005).

 a) Apendisitis akutApendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala apendisitis akut ialah nyeri samar-samar dan
tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan
ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mc Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam
dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

 b) Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya : riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik
dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%. 

4. Epidemiologi
Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar
wilayah indonesia  hingga  saat  ini  masih  tinggi.  Di  Indonesia,  jumlah  pasien  yang 
menderita  penyakit  apendiksitis  berjumlah  sekitar  7%  dari  jumlah  penduduk  di 
Indonesia  atau sekitar  179.000  orang.  Dari  hasil  Survey  Kesehatan  Rumah  Tangga 
(SKRT)  di  indonesia, apendisitis  akut  merupakan  salah  satu  penyebab  dari  ikut 
abdomen  dan beberapa indikasi  untuk  dilakukan  operasi  kegawatdaruratan  abdomen. 
Insidens apendiksitis  di Indonesia  menempati  urutan  tertinggi  di  antara  kasus 
kegawatan  abdomen lainnya (Depkes 2009). 
Data  epidemiologi  apendisitis  jarang  terjadi  pada  balita,  insidennya  hanya  1%.
Apendisitis mengalami peningkatan pada masa pubertas, dan mencapai puncaknya pada
saat remaja  dan  awal  20-an,  sedangkan  penderita  apendisitis  mengalami  penurunan
menjelang dewasa (Pieter,2005). Hal ini berkaitan dengan bentuk anatomis dari apendiks

3
pada laki-laki lebih lurus  daripada apendiks perempuan, sehingga resiko untuk masuknya
makanan dan terjadi sumbatan lebih tinggi.  

5. Etiologi dan faktor resiko Apendisitis


Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris
dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis adalah E. coli  (Sjamsuhidajat, 2004).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah
timbulnyaapendisitisakut(Sjamsuhidajat,2004). 

6.Patofisiologi

Apendiksitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh


hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma. Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan

4
menyebabkan obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang
akhirnya sebagai kausa sumbatan. Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus. Pada saat ini terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Sumbatan menyebabkan nyeri sekitar umbilicus dan
epigastrium, nausea, muntah. invasi kuman E Coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan
mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah
peritonitis lokal kanan bawah.Suhu tubuh mulai naik.Bila sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di area kanan bawah. Keadaan
ini yang kemudian disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri
terganggu akan terjadi infark diding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini
disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah, akan
menyebabkan apendisitis perforasi. Bila proses tersebut berjalan lambat, omentum dan usus
yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut akan menyebabkan abses atau
bahkan menghilang. Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi
mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000)

6. Manifestasi klinis
Menurut Pieter, 2005 manifestasi klinis apendisitis akut antara lain: 
1. Tanda awal
 Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksia
2. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di
titik Mc Burney
 nyeri tekan
 nyeri lepas
 defans muskuler
3. nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
 nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
 nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
 nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,

5
 mengedan

7. Pemeriksaan Diagnostik Apendisitis


a) Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan terlihat
distensi perut.
 Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosa
appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah
yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan
juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).
 Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk menentukan letak
appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini terasa nyeri,
maka kemungkinan appendiks yang meradang terletak di daerah pelvic. 
 Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat
hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan
ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut
akan menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks yang meradang kontak dengan obturator
internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
b) Tes laboratorium
Jumlah leukosit berkisar antara 10.000 dan 16.000/mm³ dengan pergeseran ke kiri
(lebih dari 75 persen neutrofil) pada 75 persen kasus yang ada. 96 persen diantaranya
leukositosis atau hitung jenis sel darah putih yang abnormal. Tetapi beberapa pasien dengan
apendisitis memiliki jumlah leukosit yang normal. Pada urinalisis tampak sejumlah kecil
eritrosit atau leukosit. 
c) Foto sinar-X
Tak tampak kelainan spesifik pada foto polos abdomen. Barium enema mungkin dapat
untuk diagnosis tetapi tundakan ini dicadangkan untuk kasus yang meragukan 

6
d)Appendikogram 
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang
diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum pemeriksaan
kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram
diexpertise oleh dokter spesialis radiologi. 
e) Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning
(CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 9697%
f) Analisa
Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah
g) Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase
untuk membantu mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu, dan pankreas.
h) Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG)
untuk memeriksa adanya kemungkinan kehamilan
i) Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum.
Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk
kemungkinan karsinoma colon. 
j) Pemeriksaan foto polos abdomen
Tidak menunjukkan tanda pasti appendicitis, tetapi mempunyai arti penting dalam
membedakan appendicitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter kanan

8. Penatalaksanaan
Bila  diagnosis  klinis  sudah  jelas,  tindakan  paling  tepat  dan  merupakan  satu -
satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa  komplikasi biasanya
tidak diperlukan  pemberian  antibiotik,  kecuali  pada  apendisitis  gangrenosa  atau 
apendisitis  perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi (Sjamsuhidajat, 2004).   
Apendektomi  bisa  dilakukan  secara  terbuka  ataupun  dengan  cara  laparoskopi.  Bila
apendektomi  terbuka,  insisi  McBurney  paling  banyak  dipilih  oleh  ahli  bedah.  Pada
penderita  yang  diagnosisnya  tidak  jelas  sebaiknya  dilakukan  observasi  terlebih  dahulu.

7
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostic pada kasus
meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Sjamsuhidajat,
2004).  
Penanggulangan  konservatif  terutama  diberikan  pada  penderita  yang  tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik
berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi
dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik 

Operasi
Bila  diagnosa  sudah  tepat  dan  jelas  ditemukan  appendicitis  maka  tindakan  yang
dilakukan  adalah  operasi  membuang  appendiks  (appendektomi).  Penundaan
appendektomi  dengan  pemberian  antibiotik  dapat  mengakibatkan  abses  dan  perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah). Alternatif lain operasi
pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi.
Operasi ini  dilakukan dengan bantuan  video  camera  yang  dimasukkan  ke  dalam
rongga perut  sehingga  jelas  dapat  melihat  dan  melakukan  appendektomi  dan  juga  dapat
memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah
laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu
dan setengah sentimeter sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007). 

Adapun pendapat lain, adalah sebagai berikut : 


Penatalaksanaan apendisitis tergantung dari nyeri apendisitisnya akut atau
kronis.Penatalaksanaan  bedah  ada  dua  cara  yaitu  non  bedah  (non  surgical)  dan
pembedahan (surgical). 

1. Non bedah (non surgical) 


Penatalaksanaan ini dapat berupa :
a. Batasi diet dengan makan sedikit dan sering (4-6 kali perhari)
b. Minum cairan adekuat pada saat makan untuk membantu proses pasase makanan
c. Makan perlahan dan mengunyah sempurna untuk menambah saliva pada makanan  
d. Hindari makan bersuhu ekstrim, pedas, berlemak, alkohol, kopi, coklat, dan jus jeruk
e. Hindari makan dan minum 3 jam sebelum istirahat untuk mencegah masalah refluks
nonturnal
f. Tinggikan kepala tidur 6-8 inchi untuk mencegah refluks nonturnal

8
g.Turunkan berat badan bila kegemukan untuk menurunkan gradient tekanan gastro
esophagus
h. Hindari tembakan, salisilat, dan fenibutazon yang dapat memperberat esofagistis.

2. Pembedahan 
Yaitu  dengan  apendiktomi.  Operasi  apendisitis  dapat  dipersiapkan  hal -hal  sebagai
berikut:  
Insisi tranversal 5 cm atau oblik dibuat di atas titik maksimal nyeri tekan atau massa yang 
dipalpasi  pada  fosa  iliaka  kanan.  Otot  dipisahkan  ke  lateral  rektus abdominalis.
Mesenterium  apendikular  dan  dasar  apendiks  diikat  dan  apendiks  diangkat.  Tonjolan
ditanamkan  ke  dinding  sekum  dengan  menggunakan  jahitan  purse  string  untuk
meminimalkan kebocoran intra abdomen dan sepsis. Kavum peritoneum dibilas dengan
larutan tetrasiklin dan luka ditutup. Diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi luka
sepsis pasca operasi yaitu metronidazol supositoria (Syamsuhidayat, 2004).

9. Komplikasi
Komplikasi  utama  apendisitis  adalah  perforasi  apendiks  yang  dapat  berkembang 
menjadi peritonitis  atau  abses.  Insidens  perforasi  adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih
tinggi  pada  anak  kecil  dan lansia.  Perforasi  secara  umum  terjadi  24  jam  setelah  awitan
nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan  toksik,
dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002). 
Komplikasi  yang  paling  sering  adalah  perforasi  apendisitis. 
Perforasi  usus  buntu dapat  mengakibatkan  periappendiceal abses  (pengumpulan nanah 
yang  terinfeksi)  atau peritonitis difus  (infeksi  selaput  perut  dan  panggul).  Alasan  utama 
untuk  perforasi appendiceal  adalah  keterlambatan  dalam  diagnosis  dan  perawatan. 
Secara  umum, semakin  lama  waktu  tunda  antara  diagnosis  dan  operasi,  semakin  besar 
kemungkinan perforasi. Risiko perforasi 36 jam setelah onset gejala setidaknya 15%. Oleh
karena itu, setelah didiagnosa radang usus buntu, operasi harus dilakukan tanpa menunda -
nunda. 
Komplikasi  jarang  terjadi  pada  apendisitis  adalah  penyumbatan  usus.  Penyumbatan
terjadi ketika peradangan usus buntu sekitarnya menyebabkan otot usus untuk  berhenti
bekerja,  dan  ini  mencegah  isi  usus  yang  lewat.  Jika  penyumbatan  usus  di  atas  mulai
mengisi dengan cairan dan gas, distensi perut, mual dan muntah dapat terjadi. Kemudian
mungkin  perlu  untuk  mengeluarkan  isi  usus  melalui  pipa  melewati  hidung  dan
9
kerongkongan dan ke dalam perut dan usus.  Sebuah komplikasi apendisitis ditakuti adalah
sepsis, suatu kondisi dimana bakteri menginfeksi  masuk  ke  darah  dan  perjalanan  ke 
bagian  tubuh  lainnya.  

Kebanyakan komplikasi setelah apendektomi adalah (Hugh A.F. Dudle y, 1992):  


1. Infeksi luka dan perforasi. 
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga
perut.  Perforasi  jarang  terjadi  dalam  12  jam  pertama  sejak  awal  sakit,  tetapi meningkat
tajam  sesudah  24  jam. Perforasi  dapat diketahui  praoperatif pada 70% kasus  dengan
gambaran  klinis  yang  timbul  lebih  dari  36  jam  sejak  sakit,  panas  lebih dari  38,50C,
tampak  toksik,  nyeri  tekan  seluruh  perut,  dan  leukositosis  terutama polymorphonuclear
(PMN).  Perforasi,  baik  berupa  perforasi  bebas  maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan peritonitis 
2. Abses residual 
Abses  merupakan  peradangan  appendiks  yang  berisi  pus.  Teraba  massa  lunak  di
kuadran  kanan bawah  atau  daerah  pelvis.  Massa  ini  mula -mula  berupa  flegmon dan
berkembang  menjadi  rongga  yang  mengandung  pus.  Hal  ini  terjadi  bila  appendicitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum 
3. Sumbatan usus akut,  
4. Ileus paralitik 
5. Fistula tinja eksternal 
6. Peritonitis 
Peritonitis  adalah  peradangan  peritoneum,  merupakan  komplikasi  berbahaya  yang dapat
terjadi  dalam  bentuk  akut  maupun  kronis.  Bila  infeksi  tersebar  luas  pada permukaan 
peritoneum  menyebabkan  timbulnya  peritonitis  umum.  Aktivitas  peristaltik berkurang
sampai  timbul  ileus  paralitik,  usus  meregang,  dan  hilangnya  cairan  elek trolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. 

10. Pencegahan
Pencegahan Primer  
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
appendicitis. Upaya  pencegahan  primer  dilakukan  secara  menyeluruh  kepada masyarakat.
Upaya yang dilakukan antara lain:  
a. Diet tinggi serat 

10
Berbagai  penelitian  telah  melaporkan  hubungan  antara  konsumsi  serat  dan insidens
timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet  tinggi  serat
mempunyai  efek  proteksi  untuk  kejadian  penyakit  saluran pencernaan.  Serat  dalam
makanan  mempunyai  kemampuan  mengikat  air, selulosa,  dan  pektin  yang  membantu 
mempercepat  sisi -sisa  makanan  untuk diekskresikan  keluar  sehingga  tidak  terjadi
konstipasi  yang  mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.
b. Defekasi yang teratur  
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang
mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari mempunyai
suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan  keteraturan  pola
aktivitas  peristaltik  di  kolon.  Frekuensi  defekasi  yang  jarang akan  mempengaruhi
konsistensi  feces  yang  lebih  padat  sehingga  terjadi  konstipasi. Konstipasi  menaikkan
tekanan  intracaecal  sehingga  terjadi  sumbatan  fungsional appendiks  dan  meningkatnya
pertumbuhan  flora  normal  kolon.  Pengerasan  feces memungkinkan adanya bagian yang
terselip masuk ke saluran appendiks dan menjadi media  kuman/bakteri  berkembang  biak
sebagai  infeksi  yang  menimbulkan peradangan pada appendiks
Pencegahan Sekunder  
Pencegahan  sekunder  meliputi  diagnosa  dini  dan  pengobatan  yang  tepat  untuk
mencegah
timbulnya komplikasi 

11. Asuhan Keperawatan Teoritis


Menurut Doenges (2000) pengkajian pada pasien dengan :
a. Pre Appendiktomi
1)   Aktivitas
 Gejala : Malaise
2)   Sirkulasi
 Tanda: Tachicardia
3)   Eliminasi
 Gejala : Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang)
 Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan penurunan/ tidak ada
bising usus
4)   Makanan/ cairan

11
 Gejala : Anoreksia, mual/muntah
5)   Nyeri/ kenyamanan
 Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan umbilikus, yang meningkat berat dan
terlokalisasi pada titik Mc Burney (setelah jarak antara umbilikus dan tulang ileum
kanan). Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan
samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau
sekitar (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
berupa nyeri umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di
abdomen kanan bawah somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium
biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk. (W.
De Jong,R. Sjamsuhidajat, 2004)
 Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang dengan lutut
ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki
kanan/ posisi duduk tegak.
6) Keamanan
 Tanda : demam (biasanya rendah). Demam terjadi bila sudah ada komplikasi, bila
belum adakomplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-
38,5º
7) Pernafasan
 Tanda : takipnea/ pernafasan dangkal
8)  Penyuluhan/ pembelajaran
 Gejala : Riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri abdomen contoh
pielitis akut, batu uretra, dapat terjadi pada berbagai usia

b.  Post Appendiktomi


1)   Sirkulasi
Gejala : riwayat masalah jantung, edema pulmonal, penyakit vaskuler perifer.
2)   Integritas ego
Gejala : perasaan takut, cemas, marah, apati.
Tanda : tidak dapat beristirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang, stimulasi
simpatis
3)   Makanan/ cairan
Gejala : insufisiensi pangkreas, malnutrisi, membran mukosa yang kering
4)   Pernafasan
Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok
5)   Keamanan
Gejala : alergi, defisiensi imun, riwayat keluarga tentang hipertermi malignan/reaksi
anastesi, riwayat penyakit hepatik, riwayat transfusi darah
Tanda : munculnya proses infeksi yang melelahkah, demam

12
A. DIAGNOSA KEPERAWATAN PRE OP

1. Hipertermi
DS : 
- Klien mengeluh 
demam 
DO :  
- suhu : 38,5 0 c
- Leukosit : 30000/ dl

Etiologi 

Inflamasi apendiks
↓ 
apendisitis
↓ 
Reaksi inflamasi
↓ 
Merangsang sintesa dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
meradang 
↓ 
Menstimulasi pusat termoregulator di hypothalamus 

Peningkatan suhu tubuh 
↓ 
Hiperthermi

Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolism akibat peradangan

2. Nyeri akut/kronis
DS
 - mengeluh nyeri perut kanan
 - Nyeri hilang timbul
 - Kadang menyebar disektar umbilicus
DO:
- Nyeri tekan lepas 
- Nadi : 110x/menit 
- RR : 25 x/m 

Etiologi 
↓ 
Inflamasi apendiks
↓ 
apendisitis
↓ 

13
Respon peradangan 
Nyeri akut 
- Skala nyeri 8

Pelepasan mediator nyeri (histamin, bradikinin, prostaglandin, serotonin) 

Merangsang nosiseptor pada ujung saraf bebas
↓ 
Pengiriman impuls nyeri ke medulla spinaslis (N. Thorakalis X) 
↓ 
nyeri

B. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju metabolism akibat peradangan 
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, masalah
keperawatan hipertermi dapat diatasi dengan
Kriteria hasil (NOC):
a. Thermoregulation 
- Suhu tubuh dalam batas normal (36-37,5 C)
- Kulit tidak teraba panas 
- Nadi dan RR dalam rentang normal (RR: 16-20x/menit, N: 60-100x/menit)  
Intervensi (NIC) 
a. Fever treatment 

 Kaji suhu tubuh klien secara berkala 


 Monitor warna dan suhu kulit 
 Monitor tekanan darah, nadi, dan RR 
 Monitor WBC, Hb, dan Hct 
 Berikan kompres air dengan suhu normal; hindari penggunaan alkohol. 
 Tingkatkan sirkulasi udara 
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah 
 Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membrane mukosa 
 Pantau intake dan output pasien 
 Dorong pasien untuk meningkatkan intake cairannya 
 Kolaborasikan dengan tim medis tentang pemberian antipiretik 
 Kolaborasikan pemberian cairan IV 

14
2. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan agen cidera 
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, nyeri dapat diatasi
dengan
Kriteria hasil (NOC):
a. Pain Level 
- Melaporkan nyeri berkurang
- Ekspresi wajah menunjukan penurunan nyeri
- RR : 20 x/menit
- Nadi : 80 x/ menit 
Intervensi  
a. Pain management
 Kaji nyeri (lokasi, karakter, onset/durasi, frekuensi, intensitas).
 Amati isyarat nonverbal ketidaknyamanan.
 Gunakan komunikasi terapeutik untuk mengetahui riwayat nyeri klien.
 Kaji pengetahuan dan kepercayaan klien tentang nyeri.
 Kaji penggunaan metode pereda nyeri farmakologi saat ini.
 Tentukan pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup klien (nafsu makan, aktifitas).
 Berikan informasi kepeda klien tentang penyebab nyeri.
 Kontrol lingkungan yang dapat mempegaruhi respon nyeri klien.
 Kurangi/ hilangkan faktor yang dapat meningkatkan nyeri.
 Pastikan pemberian analgesic farmakologi sebelum prosedur operasi.

A. DIAGNOSA KEPERAWATAN POST OP

1. Resiko Infeksi

 
- Terdapat luka bekas operasi Post appendiktomi
↓ 
Teputusnya kontinuitasjaringan akibat insisi 

Resiko pemajanan mikro organism
↓ 
Resiko infeksi 

Resiko Infeksi Berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat
15
2. Nyeri Akut

DS:
 - Klien mengeluh nyeri pada area operasi
DO:
 - Nadi : 110x/menit
 - RR : 25 x/m
Post Appendiktomi
↓ 
Teputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi 

Berkurangnya efek anastesi 

Pengiriman impuls nyeri ke medulla spinalis oleh serabut  saraf sekitar
↓ 
Nyeri akut 

Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera (post operasi)

3. Kerusakan Integritas Jaringan 

DS: -
Do : - Terdapat luka bekas
Post operasi 
↓ 
Teputusnya kontinuitas jaringan akibat insisi  Kerusakan integritas  jaringan berhubungan 
dengan faktor mekanik  oprasi pengambilan jaringan apendik yang radang 

Kerusakan integritas jaringan 

B. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko Infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adequate 
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, resiko infeksi klien dapat diatasi
dengan 

16
Kriteria hasil (NOC):
Tissue Integrity : kulit dan mucous membrane
 - Temperatur kulit disekitar luka sama dengan di temperature di area yang perut
 - Tekstur dan Integritas kulit sekitar luka baik
 -  Pigmen warna kulit yang luka merah segar dan tak ada tanda-tanda necrosis
Intervensi (NIC) :
a. Infection Control
 Monitor status hemodynamic pasien (Hb, Ht, Leukosit, Trombosit)
 Kontrol lingkungan untuk mencegah infeksi
 Perawatan dan pergantian peralatan atau protocol yang digunakan pasien (pergantian
balutan sesuai indikasi)
 Lakukan teknik aseptic pada setiap prosedur tindakan invasive yang ditujukan pada
pasien (seperti saat penggantian balutan menggunakan sarung tangan steril)
 Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan pada pasien
 Ajari pasien dan keluarga untuk mengenal tanda dan gejala infeksi
 Berikan antobiotik jika diperlukan
b. Infection Protection
 Monitor tanda dan gejala sistemik yang berhubungan dengan infeksi
 Observasi kulit, jaringan, dan mucous membrane pada luka dan sekitar luka
 Tingkatkan intake nutrisi dan cairan untuk menunjang penyembuhan luka pasienmenjadi
cepat
 Anjurkan meningkatkan istirahat untuk mempercepat proses penyembuhan luka
 Ajari pasien dan keluarga untuk mengenali tanda dan gejala infeksi serta bagaimana cara
untuk menghindari resiko infeksi (misalnya : modifikasi lingkungan untuk mencegah
timbulnya sarang kuman, bakteri atau virus)

2. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera (post operasi) 


Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, nyeri klien berkurang dengan  

Kriteria hasil: 
Pain level 
 - Mengatakan nyeri berkurang
 - Ekspresi wajah menunjukan nyeri berkurang

17
Pain control
 - Melaporkan nyeri berkurang
Intervensi 
NIC: 
Pain Management
 Kaji keluhan nyeri klien secara komprehensif termasuk lokasi,karakteristik,
onset/durasi,frekuensi, kualitas, intensitas dan besarnya keluhan nyeri yang dirasakan
klien.
 Observasi tanda non verbal klien akibat nyeri
 Kaji pengaruh budaya terhadap persepsi nyeri klien
 Kaji faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan persepsi nyeri klien, seperti lingkungan,
suhu, suara dan lain-lain
 Jelaskan  kondisi yang dialami klien saat ini
 Kolaborasikan pemberian analgesik yang sesuai untuk kondisi klien
 Anjurkan klien untuk istiharahat secara adequate untuk mempercepat penyembuhan.
 Gunakan strategi komunikasi terapeutik dan teknik relaksasi (pemberian music, nafas
dalam, dll) untuk membantu klien untuk meringankan nyeri.
 Monitor kepuasan pasien tehadap manajemen nyeri.

3. Kerusakan Integritas Jaringan berhubungan dengan faktor mekanik


Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2 x 24 jam, nyeri klien berkurang dengan 

Kriteria hasil (NOC):


a. Tissue integrity : Skin and mucous membranes 
- Jaringan bekas luka dapat menutup
- Tidak terjadi nekrosis
- Tidak ditemukan eritema 

Intervensi (NIC) : 
a. Wound care
 Monitor karakteristik dari luka, termasuk drainase, warna, ukuran dan bau
 Bersihkan dengan normal salin dan nontoxic cleanser
 Berikan salep yang cocok untuk lesi
 Gunakan teknik steril dressing ketika melakukan perawatan luka

18
 Jelaskan pada pasien untuk menghindari posisi yang dapat menyebabkanketegangan pada
luka
 Ajarkan pada pasien dan keluarga proses perawatan luka Jelaskan pada pasien tentang
tanda-tanda infeksi (rubor, calor, dolor, fungsiolesa) 

19
20

Anda mungkin juga menyukai