Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN DIAGNOSA

MEDIS APENDISITIS DI RUANG KUMALA


RSUD H.MOCH.ANSARI SALEH BANJARMASIN

OLEH:
MASWARDI SYUKUR, S.Kep
NPM.1714901210028

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS B KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2018
LAPORAN PENDAHULUAN
APENDISITIS

I. KONSEP PENYAKIT
a. Anatomi
b.

Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung. Dimana panjang dari


organ ini kira-kira 10 cm (kisaran 3-15cm) dan organ ini berpangkal di
sekum. Dibagian proksimal dari lumennya sempit, sedangkan dibagian distal
melebar. Namun pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada bagian
pangkal dan mengecil pada arah ujungnya. Pada 65% kasus, apendiks terletak
di intraperitoneal dan pada kasus selebihnya apendiks terletak di
retroperitoneal, yaitu dibelakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di
tepi lateral kolon asendens (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan
persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. maka dari itu, apabila
pasien yang menderita apendisitis, nyeri yang dirasakan pasien bermula di
sekitar umbilikus. Untuk peredaran darah apendiks berasal dari arteri
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral (Sjamsuhidajat & Jong,
2005).
b. Definisi
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atu umbai
cacing (apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Infeksi ini
biasanya mengakibatkan peradangan akut sehingga memerluka tindakan
bedah segera untuk memecahkan komplikasi yang umumnya berbahaya.
(Huda, Nurarif Amin & Kusuma Hardi. Tahun 2016).

Apendisitis adalah peradangan pada Apendiks yang berbahaya jika tidak


ditangani dengan segera di mana terjadi infeksi berat yang bisa menyebabkan
pecahnya lumen usus (Williams & Wilkins, 2011).

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan


penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua
umurbaik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-
laki berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut
Smeltzer C. Suzanne (2001), Apendisitis adalah penyebab paling umum
inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan
merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.

Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi


pada umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling
sering terjadi.

c. Etiologi
Penyebab yang paling umum dari apendiksitis adalah abstruksi lumen oleh
feses yang akhirnya merusak suplai aliran darah dan mengikis mukosa yang
menyebabkan inflamasi. Selain itu appendiksitis juga disebabkan oleh
penyumbatan lumen appendik oleh hiperplasia foliksi limfoid, fekalit, benda
asing, stiktor karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya dan neoplasma
( Mansjoer, 2000 ).

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan


rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada faktor
prediposisi yaitu:
1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi
ini terjadi karena:
 Heperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
 Adanya faekolit dalam lumen appendiks.
 Adanya benda asing seperti biji – bijian.
 Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
streptococcus.
3. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30
tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan
limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk appendiks
 Appendik terlalu panjang
 Massa apendiks yang pendek
 Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
 Kelainan katup di pangkal appendiks

d. Tanda gejala
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah
nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau
periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan
terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian
dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke titik Mc
Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan
adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Terkadang
apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5
derajat celcius.

Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai
akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks
ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut:
 Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri
lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan
gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan.
Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang
menegang dari dorsal.
 Bila apendiks terletak di rongga pelvis
 Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga
peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat
dan berulang-ulang (diare).
 Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya
dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit
dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada
waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut
beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

1. Pada anak-anak
 Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali
anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian
akan terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena
ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi.
Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.
2. Pada orang tua berusia lanjut
 Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3. Pada wanita
 Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang
gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses
ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya.
Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester,
gejalaapendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan
dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan
pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral,
sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio
lumbal kanan.

e. Patofisiologi
Appendiks terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat tersumbat,
kemungkinan oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor atau benda asing.
Proses inflamasi meningkatkan tekanan intraluminal yang akan menghambat
aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi
mukosa menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara
progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi dikuadran kanan bawah dari
abdomen. Akhirnya appendiks yang terinflamasi berisi pus. (Smeltzer,
Suzanne, C., 2001).

Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat menyebabkan


peradanganyang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri kanan bawah disebut apendisitis supuratif akut. Bila
kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangren yang disebut apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh pecah akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses
di atas berjalan lambat, omentum dan usus berdekatan akan bergerak ke arah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang dsebut infiltrat apendikularis.

Peradangan appendiks dapat menjadi abses atau menghilang.Pada anak-anak,


omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih
tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang menjadi
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Pada orang tua perforasi mudah
terjadi karena ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
f. Pemeriksan penunjang
NO Jenis Peeriksaan Manfaat

1 Pemeriksaan fisik  Inspeksi: kan tampak adanya pembengkakan rongga perut dimana dinding
perut tampak mengencang (distensi).
 Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana
merupakan kunci dari diagnosis apendisitis akut.
 Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertaambah bila
pemeriksaan dubur atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
 Suuhu dubur yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih menunjang
lagi adanya radang usus buntu.
 Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji Psoas akan positif dan
tanda perangsangan peritoneum tidak brgitu jelas, sedangkan bila apendiks
terletak di rongga pelvis maka obturator sign akan positif dan tanda
perangsangan peritonieum akan lebih menonjol.

2 Tes laboratorium Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-18.000/mm3.
Jika terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks
sudah mengalami perforasi (pecah)

3 Radiologi  Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit (jarang membantu)
 Ultrasonografi (USG), CT-Scan
 Kasus kronik dapat dilakukan rintgen foto abdomen, USG abdomen dan
apendikogram.
g. Kompliksi
Komplikasi utama apendiksitis adalah perforasi apendiks, yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insiden perforasi adalah 105
sampai 32%. Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan
suhu 37,7o C atau lebih tinggi, nyeri tekan abdomen yang kontinue.

h. Penatalaksanaan
1. Apendiktomi yaitu pembedahan untuk mengangkat apendiks
pembedahan di indikasikan bila diagnosa apendiksitis telah ditegakkan.
Hal ini dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko perforasi.
Pilihan apendiktomi Cito (segera) untuk apendiks akut, abses dan
perforasi. Pilihan apendiktomi elektif untuk apendiksitis kronik.
2. Pemberian terapi antibiotik untuk mengurangi risiko peritonitis dengan
sepsis misal metronidazol atau antibiotika spektrum luas.
3. Pemberian terapi analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.
4. Terapi cairan dengan elektrolit untuk mengganti cairan yang hilang
memenuhi kebutuhan cairan.
5. Bed rest total posisi fowler.
6. Diet rendah serat.
(Suratun & Lusianah, 2010)

i. Klasifikasi
Apendesitis dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: (Medical Jurnal, 2005):
1. Apendisitis akut , dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis,
yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis purulenta
difusi yaitu sudah bertumpuk nanah (Docstoc, 2010).
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial,
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva
yaitu apendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua (Docstoc, 2010).
Adapun klasifikasi apendisitis menurut Syamsuhidjayat (2004), mengatakan
bahwa Apendisitis terdiri dari lima bagian antara lain:
1. Apendisitis Akut
Apendisitis akut adalah peradangan apendiks yang timbul meluas dan
mengenai peritoneum pariental setempat sehingga menimbulkan rasa
sakit di abdomen kanan bawah. Hal ini akan menyebabkan peritonitis.
Peritonitis merupakan proses peradangan lokal atau umum pada
peritoneum. Peritonitis disertai rasa sakit yang semakin hebat, rasa nyeri,
kembung, demam dan keracunan.
2. Apendisitis Infiltrat (Masa Periapendikuler)
Apendisitis infiltrat atau masa periapendikuler terjadi
bila apendisitis ganggrenosa di tutupi pendinginan oleh omentum.
3. Apendisitis Perforata
Ada fekalit didalam lumen, umur (orang tua atau anak muda) dan
keterlambatan diagnosa merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya perforasi apendiks karena dinding apendiks mengalami
ganggren, rasa sakit yang bertambah, demam tinggi, rasa nyeri yang
menyebar dan jumlah leukosit yang tinggi merupakan tanda
kemungkinan terjadinya perforasi.
4. Apendisitis Rekuren
Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis akut pertama kali sembuh
spontan, namun apendiks tidak pernah kembali ke bentuk aslinya karena
terjadi fibrosis dan jaringan parut. Resikonya untuk terjadinya serangan
lagi sekitar 50%.
5. Apendisitis Kronis
Fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan infiltrasi
sel inflamasi kronik.
Skor alvarado adalah suatu sistem skoring yang digunakan untuk
mendiagnosis apendisitis akut. Skor ini mempunyai 6 komponen klinik dan
2 komponen laboratorium dengan total skor poin 10. Skor ini dikemukakan
oleh Alfredo Alvarado dalam laporannya pada tahun 1986. Adapun cara
pengkajian penyakit apendisitis akut dapat menggunakan Alvarado score:
No. Skor Keterangan
1 1-4 Tidak dipertimbangkan mengalami apendisitis akut
2 5-6 Dipertimbangkan kemungkinan Dx apendisitis akut
tetapi tidak memerlukan tindakan operasi segera.
3 7-8 Dipertimbangkan kemungkinan mengalami
apendisitis akut.
4 9 -10 Hampir definitif mengalami apendisitis akut dan
dibutuhkan tindakan bedah
j. Pathway
1. Obstruksi, infeksi bakteri,
Hipertermi Febris
Definisi: Apendisitis fibrosis dinding usus
adalah peradangan
akibat infeksi pada
usus buntu atu umbai Apendisitis Peradangan pada Kerusakan kontrol suhu
cacing (apendiks). jaringan terhadap inflamasi

Operasi Secresi mucus berlebih


Klasifikasi: pada lumen apendik
1. Apendisitis akut
2. Apendisitis rekurens Luka incisi Ansietas Apendik teregang
3. Apendisitis kronis
4. Apendisitis Infiltrat
5. Apendisitis Perforata Pintu masuk kuman
Kerusakan jaringan Manifestasi
klinis: nyeri
Ujung saraf terputus Resiko infeksi samar (nyeri
6.Komplikasi: tumpul) di
perforasi daerah
apendiks, Kerusakan integritas epigastrium,
Pelepasan prostaglandin
peritonitis, jaringan mual, muntah,
abses nafsu makan
Stimulasi dihantarkan menurun.
Spasme dinding apendik Tekanan intraluminal
lebih dari tekanan vena
Spinal cord
Nyeri
Hipoxia jaringan
apendik
Cortex cerebri Nyeri dipresepsikan
Etiologi: infeksi Ulcerasi
bakteri, obtruksi
pada lumen
Resiko ketidakefektifan Perforasi
apendiks, erosi perfusi gastrointestinal
mukosa karena
parasite.
Anestesi Reflek batuk Akumulai sekret

Ketidakefektifan
Peristaltik usus Depresi sistem respirasi bersihan jalan nafas

Destensi abdomen Anorexia

Ketidakseimbangan
Gangguan rasa nyaman Mula & muntah nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

Risiko kekurangan
volume cairan
II. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian
1) Identitas klien
 Nama, alamat, tanggal lahir, diagnosa medis dll.
2) Riwayat Keperawatan
 Riwayat kesehatan saat ini : keluhan nyeri pada luka post operasi
apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan
leukosit.
 Riwayat kesehatan masa lalu
3) Pemeriksaan fisik
 Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada
tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi
jantung.
 Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan
leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan,
mimisan splenomegaly.
 Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan
keluhan sakit pinggang.
 Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan
dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau
tidak.
 Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya
pembesaran kelenjar getah bening.
b. Intervensi dan Implementasi
1. Hipertermi 5. Ketidakefektifan bersihan jalan napas
NOC : Termiregulasi, keseimbangan suhu tubuh NOC : status respiratori (ventilasi)
NIC : kaji penyebab hipertermi, observasi suhu NIC : monitor status oksigen, anjurkan pasien untuk istirahat ,
badan, ajarkan pemberian kompres hangat, ajarkan teknik napas dalam
kolaborasi pemberian obat antipiretik
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
NOC : status nutrisi
2. Ansietas
NIC : kaji adanya alergi makanan, monitor jumlah intake output,
NOC : mengalami penurunan kecemasan
kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
NIC : kaji tingkat kecemasan, ajarkan teknik
nutrisi yang dibutuhkan
relaksasi, kolaborasi pemberian obat untuk
7. Gangguan rasa nyaman
mengurangi kecemasan
NOC : status lingkungan yang nyaman
NIC : kaji tingkat rasa aman, memberikan keamanan dan
3. Risiko infeksi
mengurangi takut
NOC : Infeksi dapat diatasi
8. Risiko kekurangan volume cairan
NIC : kaji adanya tanda-tada infeksi, monitor TTV,
NOC : balance cairan, hidrasi
kolaborasi pemberian antibiotic
NIC : monitor status hidrasi, monitor TTV, kolaborasi pemberian
cairan IV
4. Kerusakan integritas jaringan
9. Nyeri
NOC : status sirkulasi
NOC : Nyeri berkurang
NIC : kaji adanya daerh tertentu yang hanya peka
NIC : kaji tingkat yeri, lokasi, karakteristik nyeri, ajarkan teknik
terhadap panas/dingin/tajam/tumpul, instruksikan
napas dalam, observasi TTV, kolaborasi pemberian analgetik.
keluarga untuk mengobservasu kulit jika ada isi
atau laserasi.

III. DAFTAR PUSTAKA


Arif, Mansjoer, dkk., ( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3,
Medica Aesculpalus, FKUI, Jakarta.
Huda Nurarif Amin & Kusuma Hardi. (2016). Aplikasi Asuhan
keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi
Jilid 1. Jogjakarta: Mediaction.
R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi
II, Jakarta : EGC
Sjamsuhidajat, R. dan De Jong W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta: EGC
Smelthzer, Suzanne C Brenda G Bare, ( 2001), Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner and Suddart, Edisi 8, Jakarta : EGC
Suratun, Lusianah. (2010). Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media.
Williams, L. & Wilkins. (2011). Memahami berbagai macam penyakit.
Jakarta Barat: PT Indeks.
Banjarmasin, 04 Mei 2018.
Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(Yurida Olviani, M.Kep) (Selvy Novita, S.Kep., Ns)

Anda mungkin juga menyukai