KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang tiada
terhingga serta shalawat dan salam pada Rasulullah beserta keluarga dan para
sahabatnya sehingga makalah studi kasus yang berjudul Asuhan Keperawatan Pasien
Yang Menggunakan Ventilasi Mekanik Pada ACS ini dapat penulis selesaikan sesuai
dengan jadwal yang telah di telah ditentukan.
Dalam Penyelesaian makalah studi kasus ini tidak terlepas dari berbagai kendala.
Namun atas dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, kendala tersebut
dapat teratasi. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. DR. Mardjo Soebiandono, SpB selaku Direksi PERTAMEDIKA dan Pembina
Yayasan Pendidikan PERTAMEDIKA.
2. Dr. Dany Amrul Ichdan, SE, MSc selaku Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan
PERTAMEDIKA.
3. Muhammad Ali, SKM, M.Kep selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
PERTAMEDIKA.
4. Wasijati, SKp selaku Kepala Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
5. Dr. Kurniawan SpJp selaku Direktur Rumah Sakit Pusat Pertamina
6. Ns. Dewi Siti Oktavianti M.Kep selaku Koordinator Keperawatan Medikal
Bedah Program Profesi Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan PERTAMEDIKA dan
Pembimbing Manajamen Keperawatan
7. Ns. Diana Rhismawati, M.Kep., SP.KMB selaku pembimbing dalam penyusunan
makalah ini
8. NS. Yori Umahara S.Kep selaku Kepala Ruangan ICU dan pembimbing dalam
pembuatan makalah ini
9. Perawat Ruang ICU RS Pusat Pertamina atas kerjasamanya, sehingga laporan ini
dapat selesai sesuai dengan waktunya.
2
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Studi Kasus
C. Manfaat Studi Kasus
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Acute Coronary Syndrom
B. Gagal Napas Acute Lung Oedema
C. Ventilasi Mekanik
D. Konsep Asuhan Keperawatan
BAB 3. TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi Keperawatan
D. Implementasi Keperawatan
E. Evaluasi
BAB 4. PEMBAHASAN
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR REFERENSI
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
A. Latar Belakang
Masalah pernapasan menempati urutan tertinggi dalam menentukan prioritas
penanganan kegawadaruratan maupun kekritisan. Berbagai penyakit yang
berkaitan dengan pernapasan pada akhirnya akan berujung pada kondisi gagal
napas. Kegagalan pernapasan merupakan sindrom pertukaran gas yang tidak
memadai karena disfungsi dari satu atau komponen penting dari sistem
pernapasan. Jadi tidak hanya didefiniskan dengan nilai PaO2< 60 mmHg dengan
atau tanpa PaCO2> 45 mmHg, tetapi banyak proses yang akan melibatkan lebih
dari satu komponen pernapasan sehingga penilaian setiap kompartemen bisa
memberikan dasar untuk intervensi yang akan diberikan. ( Smyth,2005 ).
Sehingga gagal nafas bisa terjadi akibat adanya penurunan PaO2 atau
peningkatan PaCO2 atau keduanya.
Pembahasan makalah kali ini, penulis akan memaparkan proses gagal napas dari
kasus Acute Coronary Sindrom. STEMI merupakan salah satu dari masalah ACS
yang diikuti dengan kejadian acut lung edema berjumlah sekitar 18 %. Salah satu
penatalaksanaan edema paru yang disebabkan oleh kegagalan pompa jantung
akibat STEMI adalah dengan cara pemberian bantuan napas menggunakan
ventilasi mekanik. Terbukti pasien dengan STEMI yang membutuhkan tindakan
intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik sebanyak 21 %, dibandingkan dengan
NSTEMI 13%, dan UAP 5%. ( J. Figueras,et, all, 2004 )
6
Data yang diperoleh dari ruangan ICU Rumah Sakit Pusat Pertamina periode
Juli 2019 sampai dengan September 2019 didapatkan pasien ACS baik STEMI
maupun Nstemi yang di rawat di ruang ICU banyak 27 pasien atau sebesar dan
pasien dengan diagnosisi ALO sebesar 24 pasien serta pasien dengan ALO ec
ACS yang menggunakan ventilasi mekanik sebanyak 29 % .Untuk itu perawat
memiliki peranan yang cukup besar mengingat perawat bagian dari komponen
utama unit pelayanan kesahatan. Kemampuan dan ketepatan perawat dalam
melakukan proses keperawatan sangat dibutuhkan untuk keselamatan pasien
sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Dari data diatas, kelompok tertarik untuk menyusun suatu laporan makalah dan
di presentasikan tentang Asuhan Keperawatan Pasien Yang Menggunakan
Ventilasi Mekanik Pada Acut Coronary Sindrom STEMI di ruangan Intensive
Care Unit (ICU) di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta (RSPP), dimana
diperlukan kecepatan dan ketepatan dalam mengkaji pasien dengan gagal napas
pada ACS STEMI agar berbagai resiko komplikasi yang dapat ditimbulkan tidak
terjadi.
D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah dengan metode
kepustakaan, yakni dengan mengumpulkan bahan-bahan ilmiah yang bersifat teoritis
dengan membaca buku-buku ilmiah, diktat dan sumber kepustakaan lain seperti
internet, membaca jurnal-jurnal yang terkait dengan materi, dan studi kasus.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2 Etiologi
Menurut Alpert (2010) pembagian infark miokard atau disebut juga acut
myocardial infarction, berdasarkan penyebabnya yang heterogen, antara lain :
1. Infark miokard tipe 1
9
Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura dn diseksi
plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ktersediaan
oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-
hal tersebut merupakan akibat dari anemia aritmia dan hiper atau hipotensi.
2. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vasokontrriksi dan spasme arteri
menurunkan aliran darah miokard.
3. Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan petanda biokimiawi (biomarker) tidak
ditemukan.
4. Infark miokard tipe 4
a. Tipe 4a
Peningkatan kadar biomarker infark biomarker (contohnya troponin) 3 kali
lebih besar dari normal akibat pemasangan PCI yang memicu terjadinya
infark miokard.
b. Tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent thrombosis.
5. Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari normal. Kejadian infark
miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.
3. Faktor Resiko
Faktor – faktor resiko penyebab SKA dibagi menjadi dua yaitu faktor resiko yang
dapat dirubah dan faktor resiko yang tidak dapat diubah:
1. Faktor yang tidak dapat diubah
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Ras
d. Riwayat keluarga
2. Faktor yang dapat diubah
10
a. Merokok
b. Hiperlipedemia
c. Hipertensi
d. Diabetes mellitus
e. Gaya hidup
f. Stress
4 Patofisiologi ACS
Sebagian besar SKA adalah manefistasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak
dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti
oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah thrombus
yang kaya trombosit (white trombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh
darah koroner, baik secara total maupun parsial atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh darah koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokontriksi sehingga memperberat gangguan aliran
darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang lenih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah coroner,
obstruksi subtotal yang disertai vasokontriksi yang dinamis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung akibat dari iskemia, selain
nekrosis adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan
sttuning (setelah iskemia hilang), distirmia, dan remodeling ventrikel (perubahan
bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA yang tidak mengalami
koyak plak seperti diatas, mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat
spasme lokal dari arteri koroner epikardial. Penyempitan arteri koroner tanpa spasme
maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progesi plak atau resetenosis setelah
intervensi koroner perkutan (PCI).
11
Beberapa faktor ektrinsik seperti demam, anemia, hipotensi, takikardi dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang sudah terdapat plak.
Perubahan morfologi pembuluh darah koroner akibat penimbunan lemak pada
area lumen pembuluh darah koroner, maka lambat laun plak tersebut menjadi
rapuh, Pada saat plak yang rapuh tersebut lepas , maka terbentuk sumbatan
pada aliran darah koroner . Dilain pihak pada lapisan pembuluh darah koroner
tersebut akan terjadi kikisan maka inilah pemicu terjadinya thrombus, kadang
kejadian ini diserta tanda atau keluhan dari klien seperti nyeri dada. Keluhan
nyeri dada timbul sebagai tanda supply oksigen tidak sesuai dengan kebutuhan
otot jantung. Dengan demikian otot jantung menjadi iskemi.
5 KLASIFIKASI ACS
Klasifikasi SKA dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segmen elevation miokard
infraction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI non ST segment
elevation myocardial infraction)
12
6 Penegakan Diagnosis
Penegakkan pada diagnosa SKA dimana penegakkan diagnosa ini untuk
mengantisipasi terjadinya IMA maka menurut kriteria WHO diagnosa IMA dapat
ditegakkan berdasarkan terpenuhinya minimal 2 dari 3 kriteria dibawah ini :
13
1. Anamnesa
Pada saat anamnesa keluhan nyeri dada harus benar-benar dikaji karena keluhan
nyeri dada merupakn keluhan yang lazim pada IMA. Terobosan yang dapat
dilakukan bagaimana dengan mudah dan cepat mendeteksi secara dini
manifestasi keluhan serangan jantung yaitu menggunakan format pengkajian
PQRST. Format pengkajian tersebut merupakan pemandu dalam
memepermudah sepert ;
a. Format P ( POSITION ) dapat dikembangkan sebagai pencetus timbulnya
serangan jantung atau menyatakan posisi nyeri dada yang dirasakan ada
berkaitannya dengan area lokasi jantung jantung pada area substernal
kiri.
b. Format Q ( QUALITAS ) artinya kualitas dari nyeri dada yang dirasakan
oleh klien. Oleh karena kwalitas nyeri dada ini bervariasi, maka yang
diutarakan kline bervariasi juga. Untuk itu untuk menilai tingkat nyeri
dada tersebut maka digunakan dengan menggunakan skala nyeri.
Rentang skala nyeri yang digunakan adalah dari skala 0 sampai
dengan 10, yang artinya jika hasil tingkat nyeri dada menunjukan skala
nyeri dada angka 0 artinya klien tidak mengalami nyeri dada tipikal (
atipikal angina ), tetapi jika dalam pengkajian skala nyeri dada tersebut
menunjukan angka yang bermakna sampai dengan
lebih dari angka 7 maka dikatakan adalah nyeri dada tipikal ( tipikal
angina ).
c. Format R ( Radiation ) artinya lokasi nreri dada atau radiasi dari
penjalaran nyeri yang menggambarkan area aliran darah yang
mengalami hambatan tersebut , yaitu disebelah dada kiri dan menjalar
kerahang, lengan kiri sampai akhirnya kejari kiri dan punggung.
14
2. Laboratorium
Enzim jantung yang paling spesifik adalah troponin dan CK-MB. Kedua enzim ini
mulai meningkat 4-8 jam setelah terjadinya infark. Peningkatan tekanan enzim
tersebut dikatakan bermakna bila terjadi peningkatan paling sedikit 1 ½ kali nilai
batas normal. Pemeriksaan kadar enzim untuk menegakkan diagnosis yang pasti
harus dilakukan secara periodik atau serial, hal ini untuk menghindari atau
menyingkirkan hasil yang negatif serta berguna untuk mengetahui luasnya infark.
15
3. Elektrokardiografi (EKG)
Pada umumnya penalaran elektrokardiografi (EKG) akan memberikan gambaran
tentang kejadian SKA. Namun demikian EKG hanyalah salah satu pemeriksaan
dalam menegakkan diagnosis penyakit jantung. Oleh karena itu EKG tidak 100%
dapat menggambarkan atau mengetahui adanya kejadian infark karena ada kriteria
lain yang menentukan diagnosa SKA antara lain enzim dan kajian nyeri dada. Hal
yang perlu diketahui dan dipahami pada gambaran EKG yaitu perubahan pada
segmen ST, gelombang T dan gelombang Q.
Perubahan gambaran EKG pada UAP dan NSTEMI berupa depresi segmen ST >
0,05 mV, gelombang T terbalik > 0,2 mV.
Perubahan gambaran EKG pada IMA meliputi hiperakut T, ST elevasi yang di
ikuti terbentuknya gelombang Q patalogis, kembalinya segmen ST pada garis
16
isoelektris dan inversi gelombang T. Perubahan ini harus di temui minimal pada 2
sandapan yang berdekatan.
Perubahan EKG cukup spesifik, tetapi tidak cukup untuk mendiagnosis IMA pada
fase yang masih dini karena masih membutuhkan pemeriksaan penunjang lainnya.
Berdasarkan kelainan EKG IMA dibagi atas 2 yaitu :
a. IMA dengan gelombang Q
Mula-mula terjadi elevasi segmen ST yang konveks pada hantaran yang
mencerminkan daerah IMA. Kadang baru terjadi beberapa jam setelah
serangan. Depresi segmen ST yang resiprokal terjadi pada hantaran yang
berlawanan.
Diikuti terbentuknya gelombang Q patologis yang menunjukkan IMA
transmural (terjadi 24 jam pertama IMA). Setelah elevasi segmen ST
berkurang, gelombang T terbalik (inversi). Keduanya dapat menjadi normal
setelah beberapa hari atau minggu.
b. IMA non gelombang Q
Tidak ada Q patologis, hanya dijumpai depresi segmen ST dan inversi simetrik
gelombang T.
Berdasarkan ditemukannya kelainan EKG, dapat diprediksi lokasi infark
myocard.
WAVE / ELEVASI
LOKASI INFARK A. KORONER
ST
Anteroseptal V1 dan V2 LAD
Anterior V3 dan V4 LAD
Lateral V5 dan V6 LCX
Anterior ekstrinsif I, a VL, V1 – V6 LAD / LCX
High lateral I, a VL, V5 dan V6 LCX
Posterior V7 – V9 (V1, V2*) LCX, PL
Inferior II, III, dan a VF PDA
Right ventrikel V3R – V4R RCA
17
7 Penatalaksanaan ACS
Keberhasilan penanganan ACS membutuhkan waktu yang sangat cepat untuk
membatasi kerusakan miokard dan meminimalkan komplikasi. Terapi yang diberikan
harus bisa mengatasi trombus yang menyumbat di intrakoroner dan memberikan anti
ischemic untuk mencukupi keseimbangan antara suplai oksigen dan demand di
miokard.
Meskipun aspek terapi tertentu yang umum untuk semua ACS, ada sedikit perbedaan
yang penting dalam penanganan pasien dengan ST segmen elevasi (STEMI)
dibandingkan dengan mereka yang tidak ST elevasi segmen (UA dan NSTEMI).
18
Pasien dengan STEMI biasanya memiliki total oklusi dari arteri koroner dan tindakan
yang benefit adalah reperfusi segera (farmakologis atau mekanik), sementara pasien
tanpa elevasi ST tidak dilakukan.
Tindakan umum di rumah sakit untuk setiap pasien dengan ACS di rawat di
perawatan intensif, di mana terus menerus dilakukan pemantauan EKG untuk
aritmia.
Pasien awalnya dipertahankan bedrest untuk meminimalkan kebutuhan oksigen
miokard, sementara gunakan face mask, nasal canul atau jenis lainnya untuk
meningkatkan suplai oksigen. Analgesik, seperti morfin, diberikan untuk mengurangi
nyeri dada dan kecemasan dan dengan demikian dapat mengurangi kebutuhan
oksigen miokard.
19
8 Komplikasi ACS
1. Disfungsi Ventrikular Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk
ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses
ini disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi
infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal
jantung dan prognosis lebih buruk.
2. Gangguan Hemodinamik Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab
utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal
(10 hari infark) dan sesudahnya.
3. Gagal Napas, merupakan akibat dari kondisi lanjut komplikasi jantung mengalami
kondisi gagal pemompaan darah keseluruh sistem tubuh sehingga terjadi
penumpukan sejumlah cairan di dalam jantung dan didalam pembuluh darah yang
berdampak terjadinya kegagalan difusi O2 di tingkat sistem respirasi
4. Syok kardiogenik Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan
90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
5. Infark ventrikel kanan Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel
kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda kussmaul, hepatomegali) dengan
atau tanpa hipotensi.
6. Aritmia paska STEMI Mekanisme aritmia terkait infark mencakup
ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan
perlambatan konduksi di zona iskemi miokard.
7. Ekstrasistol ventrikel depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif
dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.
20
8. Takikardia dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya
dalam 24 jam pertama.
9. Fibrilasi atrium.
10. Aritmia supraventrikular
11. Asistol ventrikel
12. Bradiaritmia dan Blok
13. Ruptur muskulus papilaris,
Nekrosis iskemik dan rupture otot papilary LV bisa mengakibatkan akut severe
regurgitasi mitral, karena katup leaflet kehilangan lampiran penahan. Pada
sebagian rupture dapat menyebabkan regurgitasi moderate yang secara tidak
langsung dapat mengakibatkan gejala gagal jantung atau edema paru. Biasanya
disebabkan oleh infark yang melibatkan inferolateral dan otot papilaris
posteromedial.
B. Gagal Nafas
1. Pengertian
Gagal napas merupakan salah satu alasan tersering masuk rawat intensive care
unit (ICU) dan sering menyebabkan kormobiditas pada pasien akut. Gagal napas juga
menyebabkan kematian akibat pneumonia dan penyakit paru obstruksi kronis di
Amerika Serikat. ( Fournier, 2014 ).
Gagal napas merupakan keadaan ketidakmampuan tubuh untuk menjaga
pertukaran gas seimbang dengan kebutuhan tubuh sehingga mengakibatkan
hipoksemia dan atau hiperkapnia. Dikatakan gagal napas apabila PaCO2 > 45 mmHg
atau PaO2< 55mmHg. (Boedi Swidarmoko, 2010: 259)
Gagal nafas dapat juga diartikan sebagai tidak berfungsinya respirasi yang
menyebabkan ketidaknormalan oksigenasi atau ventilasi (eliminasi CO2) yang parah,
cukup untuk menyebabkan kerusakan fungsi organ organ vital. Kriteria kadar gas
arteri untuk gagal nafas tidak mutlak bisa ditentukan dengan mengetahui PO2 kurang
dari 60 mmHg dan PCO2 diatas 50 mmHg. (Tierney, Lawrence dkk. 2002. Diagnosis
21
saat di ukur dengan puls oksimetri dan pemeriksaan analisa gas darah (AGD) akan
memperlihatkan kadar saturasi yang akurat serta keseimbangan asam basa.
Valvular
Kardiogenik
Non-valvular
Edema Paru
Tekanan Rendah
Alveolus
Peningkatan
Non-kardiogenik Permeabilitas
Alveolus
Neurogenik
2 Etiologi
Edema paru kardiogenik disebabkan karena peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam interstitium dan alveolus
paru. Peningkatan tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan vena paru, dan tekanan
mikrovaskular paru dapat menyebabkan edema paru.
Obstruksi Aliran Atrium
Obstruksi aliran atrium dapat disebabkan karena stenosis katub mitral, atau
dalam kasus yang jarang dapat disebabkan oleh myxoma atrium, thrombosis pada
katub prostetik, atau adanya membrane kongenital di atrium kiri (contohnya, cor
triatrium). Stenosis mitral sering disebabkan karena demam rematik, yang akhirnya
dapat bermanifestasi sebagai edem paru. Penyebab lainnya terjadinya edem paru
kardiogenik yang bersamaan dengan stenosis katub mitral adalah penurunan
25
pengisian ventrikel kiri, yang dapat disebabkan oleh takikardia dan aritmia (penyebab
tersering adalah atrial fibrilasi) (Henry & Sovari, 2012).
Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri
Disfungsi sistolik merupakan penyebab tersering terjadinya edem paru
kardiogenik, hal ini didefinisikan sebagai penurunan kontraktilitas sel miokardium
yang dapat menurunkan volume output jantung. Penurunan output jantung
menstimulasi aktivitas simpatik dan meningkatkan volume darah dengan
mengaktivasi sistem rennin-angiotensin-aldosteron yang nantinya akan menyebabkan
penurunan waktu pengisian ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
(Henry & Sovari, 2012).
Kegagalan ventrikel kiri kronis, biasanya disebabkan karena penyakit gagal
jantung kongestif atau kardiomiopati. Penyebab eksaserbasi akut penyakit ini
meliputi, infark miokard akut (IMA), pasien dengan ketidakpatuhan pembatasan diet
garam, pasien dengan ketidakpatuhan mengkonsumsi obat diuretic, anemia berat,
sepsis, thyrotoksikosis, myokarditis, toksin myocardial (alkohol, kokain, agen
kemoterapi), penyakit katub jantung kronis, stenosis aorta, regurgitasi aorta, dan
regurgitasi mitral (Henry & Sovari, 2012).
Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri
Infark dan iskemia dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi diastolic
ventrikel kiri. Dengan mekanisme yang hampir sama, kontusio myocardial
menyebabkan disfungsi baik sistolik maupun diastolic. Disfungsi diastolic merupakan
pertana penurunan pada distensisitas atau compliance diastolic ventrikel kiri. Karena
distensisitas ventrikel kiri menurun, peningkatan tekanan diastolic diperlukan untuk
mendapatkan stroke volume yang normal. Meskipun kontraktilitas ventrikel kiri
normal, penurunan output jantung dalam hubungannya dengan peningkatan tekanan
akhir diastolic, menyebabkan timbulnya edema paru hidrostatik. Abnormalitas
diastolic dapat pula disebabkan karena konstriksi pericarditis dan tamponade jantung
(Henry & Sovari, 2012).
Disritmia
26
dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah tekanan
hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis adalah
tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan ke
kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding kapiler
dalam mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid plasma,
yang cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan osmotic
koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari kepiler (Henry &
Sovari, 2012).
Filtrasi cairan dapat meningkat dengan perubahan parameter dari hukum
Starling tersebut. Edema paru kardiogenik secara predominan terjadi karena
gangguan aliran pada atrium kiri atau karena disfungsi ventrikel kiri. Pada edem paru
yang terjadi karena peningkatan tekanan kapiler paru, maka tekanan kapiler parunya
harus lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan koloid osmotic plasma. Tekanan
kapiler paru normalnya 8 – 12 mmHg, dan tekanan osmotic koloidnya adalah 28
mmHg (Henry & Sovari, 2012).
Sistem limfa memainkan pernana penting dalam menjaga agar cairan di paru
selalu seimbang dengan cara membuang cairan, koloid, atau liquid dari ruang
interstitial dengan kecepatan 10 – 20 mL/jam. Pada peningkatan tekanan kapiler arteri
paru melebihi 18 mmHg, hal ini dapat meningkatkan filtrasi dari cairan ke dalam
ruang interstitium, namun kecepatan pembuangan sistem limfa tidak ikut meningkat.
Hal ini berbeda dengan peningkatan tekanan atrium kiri yang kronis, dengan
kecepatan pembuangan sistem limfe bisa sampai 200 mL/jam, yang dapat
memproteksi paru dari edema paru (Henry & Sovari, 2012).
3. Stadium
Terdapat tiga stadium pada edema paru kardiogenik menurut prosesnya.
Stadium pertama atau biasa disebut sebagai stage 1 adalah peningkatan tekanan
28
atrium kiri yang dapat menyebabkan distensi dan pembukaan pembuluh paru kecil.
Pada stadium ini, pertukaran gas darah tidak terganggu.
Pada stadium kedua atau stage 2, cairan dan koloid berpindah ke ruang
interstitium paru dari kapiler paru, namun peningkatan aliran limfa dapat secara
efisien membuang cairan tersebut. Berlanjutnya filtrasi cairan yang terus-menerus
dapat membuat kapasitas drainase limfatik tidak dapat mengkompensasinya lagi.
Akumulasi cairan di ruang interstitium dapat mengganggu pertukaran gas yang dapat
menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia pada stadium ini dapat menstimulasi
terjadinya takipneu. Takipneu dapat terjadi karena stimulasi reseptor juxtapulmonary
kapiler.
Pada stadium terakhir atau stage 3, filtrasi cairan di ruang interstitial berlanjut
yang akhirnya sampai memenuhi ruang tersebut (diperkirakan 500 mL cairan).
Akhirnya cairan berpindah dari ruang interstitium ke epitel alveolar, dan akhirnya
memenuhi ruang alveolar. Pada stadium ini, abnormalitas pertukaran gas dapat
dilihat, kapasitas vital, dan volume respiratory menurun, yang menyebabkan
hipoksemia menjadi lebih berat (Henry & Sovari, 2012).
4. Manifestasi Klinis
Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya memiliki gejala klinis gagal
jantung kiri. Pasien biasanya mengeluhkan sesak nafas yang tiba-tiba dan berat, rasa
cemas, dan perasaan seperti tenggelam. Manifestasi klinis dari edema paru
kardiogenik akut mencerminkan bukti adanya hipoksia dan peningkatan tonus
simpatis. Pada pasien dengan edema paru kardiogenik, keluhan paling sering adalah
sesak nafas dan diaphoresis atau keringat berlebihan. Pasien biasanya mengeluhkan
dispneu saat aktifitas, ortopneu, dan paroksismal nocturnal dispneu. Batuk adalah
keluhan yang sering dan dapat memberikan petunjuk awal adanya perburukan edema
pada paru pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang kronis. Sputum berwarna pink
dan berbusa mungkin dikeluhkan oleh pasien dengan penyakit yang parah. Kadang
disertai suara serak dikarenakan gangguan di persarafan laring karena stenosis mitral
atau hipertensi pulmonal. Nyeri dada harus diwaspadai oleh dokter sebagai
29
kemungkinan untuk infark miokardial akut, atau diseksi aorta dengan regurgitasi
aorta (Henry & Sovari, 2012).
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan dalam evaluasi pasien
dengan penyakit edema paru kardiogenik adalah sebagai berikut; hitung darah
lengkap, pemeriksaan ini digunakan untuk membantu dalam menilai apakah terdapat
anemia berat, sepsis, atau infeksi yang dapat dinilai dari hitung leukosit; hitung
elektrolit, pasien dengan CHF kronis sering mendapatkan terapi diuretic yang
merupakan suatu predisposisi abnormalitas elektrolit, terutama hipokalemia dan
hipomagnesia; BUN dan kreatinin, pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui
apakah terdapat gagal ginjal dan mengantisipasi respon diuretic, pada disfungsi
sistolik, penurunana BUN dan kreatinin merupakan pertanda adanya hipoperfusi dari
ginjal; Oksimetri, pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui adanya hipoksia,
pemeriksaan ini penting dalam memonitoring respon pasien untuk suplementasi
oksigen dan terapi lainnya; analisis gas darah digunakan untuk melihat secara akurat
saturasi oksigen (Henry & Sovari, 2012).
c. Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai hipertrofi atrium kiri dan ventrikel
kiri. Selain itu dapat digunakan sebagai indicator disfungsi kronis ventrikel kiri.
Elektrokardiogram juga dapat digunakan untuk melihat takidisritmia akut atau
bradidisritmia pada penyakit iskemia atau infark miokardial akut sebagai salah satu
penyebab dari edema paru kardiogenik (Henry & Sovari, 2012).
d. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiograf pada pasien dengan gagal jantung kronis sangat
penting dilakukan sebagai pemeriksaan diagnosis untuk mengetahui etiologi dari
edema paru. Ekokardiograf dapat digunakan untuk mengetahui fungsi dari sistolik
maupun diastolic ventrikel kiri, gangguan fungsi katub, dan mengetahui penyakit
pericardial. Selain itu, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui beberapa
30
etiologi mekanis penyebab edema paru seperti, rupture akut otot papilar, ventricular
septal defect akut, tamponade jantung, rupture ventrikel kiri, vegetasi katub yang
akhirnya dapat menimbulkan regurgitasi aorta (Henry & Sovari, 2012).
e. Pemeriksaan Radiologi
Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran tersebut
adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau kerley lines,
peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa interlobar biasanya
tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat akumulasi cairan
di daerah tersebut.
Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika jaringan
ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya sekitar 6 cm
dari hilus dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini biasanya disebut
sebagai septal lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru atau di sekitar sudut
costofrenikus. Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan tebal hanya 1 mm. Kerley
31
lines C merupakan Kerley lines B en face, merupakan opasitas reticular pada basis
paru. Kerley lines D, merupakan garis yang sama dengan Kerley lines B, dan akan
terlihat hanya pada lateral chest radiograph. Peribronchial cuffing adalah penebalan
dinding bronkus dan terlihat seperti ringlike density. Peribronchial cuffing terjadi
ketika terdapatnnya akumulasi cairan di jaringan ikat sekitar dinding bronkus.
Peribronchial cuffing bentuknya ringerlike, kecil, multiple, seperti donat.
Gambar 4. [Gambar Atas] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala
panah putih), Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Bawah] Peribronchial
cuffing, pleural effusion.
6. Tatalaksana
Manajemen utama pada pasien dengan edema paru kardiogenik termasuk
didalamnya adalah resusitasi ABC (airway, breathing, dan circulation). Oksigen
seharusnya diberikan pada semua pasien untuk menjaga saturasi oksigen lebih dari
90%. Penyakit yang mendasari seperti aritmia atau infark miokard seharusnya
diterapi dengan sesuai. Oksigen diberikan melalui face mask¸ CPAP, intubasi, dan
ventilasi mekanis dapat dipilih tergantung dari keadaan hipoksemia dan asidosis, serta
kesadaran pasien (Henry & Sovari, 2012).
C. Ventilasi Mekanik
1. Definisi Ventilasi Mekanik dan Ventilator
32
Ventilasi mekanik diindikasikan untuk alasan fisiologis dan klinis (Urden, Stacy,
Lough, 2010). Ventilasi mekanik diindikasikan ketika modalitas manajemen
noninvasif gagal untuk memberikan bantuan oksigenasi dan/atau ventilasi yang
adekuat. Keputusan untuk memulai ventilasi mekanik berdasarkan pada kemampuan
pasien memenuhi kebutuhan oksigenasi dan/atau ventilasinya. Ketidakmampuan
pasien untuk secara klinis mempertahankan CO2 dan status asam-basa pada tingkat
yang dapat diterima yang menunjukkan terjadinya kegagalan pernafasan dan hal
tersebut merupakan indikasi yang umum untuk intervensi ventilasi mekanik (Chulay
& Burns, 2006).
2008). Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekshalasi
terjadi dengan pasif. Ini berarti bahwa bila komplain atau tahanan
paru pasien terhadap perubahan aliran, volume udara yang diberikan
berubah (Hudak & Gallo, 2010).
Secara klinis saat paru pasien menjadi lebih kaku (kurang
komplain) volume udara yang diberikan ke pasien menurun-kadang
secara drastis (Hudak & Gallo, 2010). Volume udara atau oksigen
bisa bervariasi karena dipengaruhi resistensi jalan nafas dan
perubahan komplain paru, sehingga volume tidal yang dihantarkan
tidak konsisten (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Perawat
harus sering memonitor tekanan inspirasi, kecepatan, dan volume
tidal (VT) ekshalasi untuk meyakinkan ventilasi menit yang adekuat
dan untuk mendeteksi berbagai perubahan pada komplain dan
tahanan paru. Pada pasien yang status parunya tak stabil,
penggunaan ventilator tekanan tidak dianjurkan. Namun pada pasien
komplain parunya sangat stabil, ventilator tekanan adekuat dan
dapat digunakan sebagai alat penyapihan pada pasien terpilih
(Hudak & Gallo, 2010).
2) Time-Cycled
Ventilator time-cycled bekerja pada prinsip dasar bahwa bila
pada waktu praset selesai, inspirasi diakhiri (Hudak & Gallo, 2010;
Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Waktu ekspirasi ditentukan
oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah nafas per menit).
Normal rasio I:E (inspirasi:ekspirasi) 1:2 (Hudak & Gallo, 2010).
Kebanyakan ventilator memiliki suatu kontrol kecepatan yang
menentukan kecepatan respirasi, tetapi siklus waktu yang murni
jarang digunakan pada pasien dewasa. Ventilator tersebut digunakan
pada bayi baru lahir dan infant (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever,
2008).
35
3) Volume-Cycled.
Ventilator volume yang paling sering digunakan pada unit
kritis saat ini (Hudak & Gallo, 2010; Smeltzer, Bare, Hinkle,
Cheever, 2008). Prinsip dasar ventilator ini adalah bila volume
udara yang ditujukan diberikan pada pasien, inspirasi diakhiri. Ini
mendorong volume sebelum penetapan (VT) ke paru pasien pada
kecepatan pengesetan. Keuntungan ventilator volume adalah
perubahan pada komplain paru pasien, memberikan VT konsisten
(Hudak & Gallo, 2010). Volume udara yang dihantarkan oleh
ventilator dari satu pernafasan ke pernafasan berikutnya relatif
konstan, sehingga pernafasan adekuat walaupun tekanan jalan nafas
bervariasi (Ignatavicius & Workman, 2006; Smeltzer, Bare, Hinkle,
Cheever, 2008).
2) Assist Mode
Pada mode assist, hanya picuan pernafasan oleh pasien
diberikan pada VT yang telah diatur. Pada mode ini pasien harus
mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk
memicu pernafasan, udara tak diberikan (Hudak & Gallo, 2010).
Kesulitannya buruknya faktor pendukung “lack of back-up” bila pasien
menjadi apnea model ini kemudian dirubah menjadi assit/control, A/C
(Rab, 2007).
3) Masalah mekanis
Malfungsi ventilator adalah potensial masalah serius. Tiap 2
sampai 4 jam ventilator diperiksa oleh staf keperawatan atau
pernafasan. VT tidak adekuat disebabkan oleh kebocoran dalam
sirkuit atau manset, selang, atau ventilator terlepas, atau obstruksi
aliran. Selanjutnya disebabkan oleh terlipatnya selang, tahanan
sekresi, bronkospasme berat, spasme batuk, atau tergigitnya selang
endotrakeal (Hudak & Gallo, 2010).
4) Barotrauma
Ventilasi mekanik melibatkan „pemompaan” udara ke dalam
dada, menciptakan tekanan posistif selama inspirasi. Bila PEEP
ditambahkan, tekanan ditingkatkan dan dilanjutkan melalui
ekspirasi. Tekanan positif ini dapat menyebabkan robekan alveolus
atau emfisema. Udara kemudian masuk ke area pleural,
menimbulkan tekanan pneumothorak-situasi darurat. Pasien dapat
mengembangkan dispnea berat tiba-tiba dan keluhan nyeri pada
daerah yang sakit (Hudak & Gallo, 2010).
5) Penurunan curah jantung
Penurunan curah ditunjukkan oleh hipotensi bila pasien
pertama kali dihubungkan ke ventilator ditandai adanya kekurangan
tonus simpatis dan menurunnya aliran balik vena. Selain hipotensi,
tanda dan gejala lain meliputi gelisah yang dapat dijelaskan,
penurunan tingkat kesadaran, penurunan halauan urin, nadi perifer
lemah, pengisian kapiler lambat, pucat, lemah dan nyeri dada
(Hudak & Gallo, 2010).
41
7) Peningkatan IAP
Peningkatan PEEP bisa membatasi pengembangan rongga
abdomen ke atas. Perubahan tekanan pada kedua sisi diafragma bisa
menimbulkan gangguan dalam hubungan antara intraabdomen atas
dan bawah, tekanan intrathorak dan intravaskuler intraabdomen
(Valenza et al., 2007 dalam Jakob, Knuesel, Tenhunen, Pradl,
Takala, 2010). Hasil penelitian Morejon & Barbeito (2012),
didapatkan bahwa ventilasi mekanik diidentifikasi sebagai faktor
predisposisi independen untuk terjadinya IAH. Pasien-pasien
dengan penyakit kritis, yang terpasang ventilasi mekanik,
menunjukkan nilai IAP yang tinggi ketika dirawat dan harus
dimonitor terus-menerus khususnya jika pasien mendapatkan PEEP
walaupun mereka tidak memiliki faktor risiko lain yang jelas untuk
terjadinya IAH.
Setting optimal ventilasi mekanik dan pengaruhnya terhadap
fungsi respirasi dan hemodinamik pada pasien dengan acute
respiratory distress syndrome (ARDS) berhubungan dengan IAH
masih sangat jarang dikaji. Manajement ventilator yang optimal
pada pasien dengan ARDS dan IAH meliputi: monitor IAP, tekanan
42
2. Keluhan utama
Untuk mengkaji keluhan pasien dalam keadaan sadar baik, bisa dilakukan dengan
cara pasien diberi alat tulis untuk menyampaikan keluhannya. Keluhan pasien
yang perlu dikaji adalah rasa sesak nafas, nafas terasa berat, kelelahan dan
ketidaknyamanan.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem neurologi
Pengkajian meliputi tingkat kesadaran, adalah nyeri kepala, rasa ngantuk,
gelisah dan kekacauan mental.
b. Sistem kardiovaskuler
Penkajian kardiovaskuler dilakukan untuk mengetahui adanmya gangguan
hemodinamik yang diakibatkan setting ventilator (PEEP terlalu tinggi) atau
disebabkan karena hipoksia. Pengkajian meliputi tekanan darah, nadi, irama
jantung, perfusi, adakah sianosis dan banyak mengeluarkan keringat.
5. Sistem pernafasan
a. Setting ventilator meliputi:
1) CMV/IPPV (Controlled Respiration/Controlled Mandatory Ventilation/
Intermitten Positive Pressure Ventilation)
2) SIMV (Syncronized Intermitten Mandatory Ventilation)
3) ASB/PS (Assisted Spontaneus Breathing/Pressure Suport)
4) CPAP (Continous Possitive Air Presure)
b. FiO2: Persentase oksigen yang diberikan
c. PEEP: Positive End Expiratory Pressure
d. Frekuensi nafas
e. Gerakan nafas apakah sesuai dengan irama ventilator
f. Expansi dada kanan dan kiri apakah simetris atau tidak
g. Suara nafas: adalah ronkhi, whezing, penurunan suara nafas
h. Adakah gerakan cuping hidung dan penggunaan otot bantu tambahan
i. Sekret: jumlah, konsistensi, warna dan bau
j. Humidifier: kehangatan dan batas aqua
k. Tubing/circuit ventilator: adakah kebocoran tertekuk atau terlepas
45
6. Sistem urogenital
Urine output dan kualitasnya harus dipantau secara ketat. Produksi urin 0,5- 1
cc/KgBB/jam.
Adakah penurunan produksi urine (berkurangnya produksi urine menunjukkan
adanya gangguan perfusi ginjal)
7. Sistem gastroinstinal
Kaji keluhan nyeri abdomen, inspeksi permukaan abdomen, ada tidaknya penurunan
bising usus. Kaji keluhan hematemesis atau melena, mengindikasikan ada perdarahan
gastrointestinal akibat pemasangan ventilasi mekanik.
9. Sistem Integumen
Perhatikan kerusakan integritas kulit akibat pemasangan ETT seperti pemberian
plester, dan juga akibat imobilisasi. Observasi tanda-tanda dekubitus, pertahankan
kulit agar tetap bersih dan kering.
2.Diagnosa Keperawatan
46
3 Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan
1. Bersihan jalan NOC: Respiratory NIC: Airway Management Atur
nafas tidak status: Airway Patency posisi pasien untuk
efektif. Kriteria hasil (1 – 5): meningkatkan ekspansi paru
Frekuensi napas dalam (seperti semifowler)
rentang normal Lakukan fisioterapi dada jika
Irama pernapasan teratur diperlukan
Mampu mengeluarkan Ajarkan dan anjurkan untuk
sputum melakukan teknik nafas dalam
Suara nafas vesikular dan batuk efektif
Auskultasi bunyi nafas, catat
NOC: Mechanical ventilasi yang turun atau hilang
Vetilation Weaning Kolaborasi pemberian obat – obat
Response: Adult bronchodilator /mucolitik
47
perawat
Letakan bel pemanggil didekat
pasien atau dalam jangkauan
pasien
Antisipasi kebutuhan pasien
6 Resiko tinggi NOC : Pengendalian NIC : Pengendalian infeksi,
terjadinya resiko proses infeksi meminimalkan penyebaran dan
infeksi Kriteria Hasil : penularan agen infeksius
1. Faktor resiko infeksi Pantau tanda dan gejala infeksi (
akan hilang misal, suhu tubuh, denyut jantung,
2. Terbebas dari tanda dan drainase, sekresi, penampilan urin,
gejala infeksi suhu kulit, keletihan dan malaise.
3. Memperlihatkan hygiene Kaji faktor yang dapat
personal yang adekuat meningkatkan kerentanan terhadap
4. Mengindikasikan status infeksi ( misal, usia lanjut,
gastrointestinal, malnutrisi)
pernapasan, Pantau hasil laboratorium
genitoutinaria dalam ( misal leukosit, hitung jenis,
batas normal protein serum, albumin)
Amati penampilan praktek hygiene
personal untuk perlindungan
terhadap infeksi
Ajarkan pengunjung untuk
mencuci tangan sebelum dan
sesudah masuk ruangan.
Kolaboratif.
Ikuti protokol instansi untuk
melaporkan hasil yang di curigai
atau kultur positif.
54
4 Implementasi
Melakukan tindakan perawatan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dengan melakukan prioritas masalah yang harus segera di tangani dan
merupakan tindakan mandiri perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
5 Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah asuhan keperawatan yang diberikan dapat
mengatasi masalah keperawatan yang terjadi pada pasien.
56
BAB III
TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
1. Data Umum
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 80 tahun
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Alamat : Jl. Cabe IV I A 22 Pondok Cabe Ciputat Tangerang
Dx. Medis : ALO, Stemi Inferoposterior
Unit Rawat : ICU
Masuk RS : 29 September 2019
Tgl pengkajian: 30 September 2019
2. Riwayat Keperawatan
Klien datang ke IGD RSPP dengan keluhan sesak nafas berat 2 jam sebelum
masuk RS, Sesak di rasakan saat klien BAB di kamar mandi, sesak di sertai
keringat dingin Lemas dan muntah-muntah. Kemudian klien di bawa ke RS,
saat di IGD RSPP klien semakin sesak, klien diberi terapi NTG dosis awal 5
micro/menit dan pemberin lasik. dilakukan pemeriksaan EKG terdapat
gambaran ST elevasi di lead II, III, Avf dan di V7,V8,V9, pasien di
rencanakan untuk Primeri Percutaneus Coronari Intervensi (PPCI) tetapi
kondisi tidak stabil kemudian pasien dipindahkan ke Ruang ICU, pada saat di
ruang ICU kondisi klinis tidak stabil pasien semakin sesak dan desaturasi, dari
hasil laboratorium analisa gas darah di temukan asisdosis respiratorik ( PH
7.30, PO2 75 PCO2 52, HCO3 32 BE 5,3 ) kemudian pasien di lakukan
intubasi.
57
B. Pengkajian
1. Airway
Pasien terintubasi tanggal 30 september 2019, ETT ukuran 7,5 dengan batas
bibir 22 cm, produksi sputum banyak dengan karakteristik sekret kentaltidak
terdapat kebocoran pada selang ETT
2. Breating
Pasien terpasang ventilator dengan modus SIMV/PS 8 mmHg, dengan RR 10
X/mnt PEEP 5 Tidal Volume 420 cc, FiO2 80 % I:E rasio 1:2 , tidak terdapat
sianosis baik ferifer maupun sentral dengan kedalaman normal, suara nafas
ronchi di ½ lapangan paru.
3. Sirkulasi
Bunyi jantung S1 dan S2 Normal, Gallop dan Murmur tidak di jumpai,
Tekanan darah 114/85 mmHg, MAP 89 mmHg, dengan frekuensi jantung 107
X/mnt. Tidak terdapat distensi vena jugularis.
Pulsasi nadi ulnaris dan dorsalis pedis teraba kuat, dengan CRT 1 detik, tidak
terdapat edema baik stremitas atas dan bawah
58
4. Disabiliti
Kesadaran Compos Mentis dengan GCS 10 V ETT ( E ; 4 M : 6 V ETT),
pupil kanan dan kiri 2 mm, reflek cahaya posistif. Motorik kanan dan kiri
tidka ada klemahan.
1 Lokalisasi nyeri
2 Gelisah, mencabut ETT
Terintubasi 0 Tolerans terhadap ventilator 1
/ekstubasi 1 Batuk masih toleran/menguap
atau bergumam
2 Melawan ventilator
Otot 0 Rileks 1
1 Tegang, kaku, resisten ringan
terhadap tahanan pasif Total 5
2 Sangat tegang atau kaku, sangat
resisten terhadap tahanan pasief
Pengkajian resiko dekubitus
Skala braden 13 : resiko tinggi
5. Eliminasi
Intake 959,5 cc dengan Urine 2210 CC ba,ance cairan -1250 cc
Dengan kebutuhan cairan aktual
Pasien terpasang kateter urin no 16 warna urin merah
Hasil laboratorium
Elektrolit tanggal 30 september 2019
Natrium 138 Ureum 41
Kalium 4,2 creatinin 0,8
Clorida 99
Calsium 8,6
Magnesium 1.8
6. Terapi
Aspilet po 1 x 80
Atorvastatinn 1x20 mg po
Pantoprazole 40 mg 1x1 IV
Clopidogrel 75 1x1 tab
Ramipril 2,5 1x1 tab
Spironolactone 25 1x1 tab
Meropenem 1 gr 1x1 IV
Amikain 1 gr 1x1 IV
Lasix 5 mg/jam
NTG 20 mcg/kgbb/mnt
Vascon 0,05 mg/kgbb/mnt
A. DATA FOKUS
DATA SUBYEKTIF DATA OBYEKTIF
• Kesadaran Compos Mentis
• GCS 10 V Ett ( E 4 M 6 V ett)
• Tekanan darah 103/65 mmHG
HR 110 -117 x/mnt
• Nadi teraba cepat, tidak teratur
• Pengisian kapiler 2 detik
• Akral dingin
• Terpasang ETT no 7,5 dengan kedalaman
21 cm di mulut
61
B. Analisa Data
No Data Masalah Etiologi
1 DS : - Penurunan cardiac output Gangguan
DO : kontraktilitas
• Kesadaran Compos Mentis, jantung
GCS 10 V Ett ( E 4 M 6 V
ett)
• BP 103/65 mmHG HR 110 -
117 x/mnt
• Nadi teraba cepat, tidak
teratur , akral dingin
• Urine: 2210cc/24jam
• ECG : ST, HR 110 X/mnt
AXis LAD, P Wave (N), PR
interval 0,20, QRS duration
0,08” ST Elevasi di lead
II,III,avf, V7,V8,V9 dan ST
Depresi di Lead I, avL V1,
V2, V3, V4, V5
• Hasil Lab tanggal 30
september 2019:
CK 4735, CKMB 568 Tronin
T 6434
• EF 29 %
• Terapi : Vascon 0,005
mcg/kgbb/mnt
2 DS : - Ketidakefektifan Peningkatan
DO: kebersihan jalan nafas produksi
• Kesadaran Compos Mentis, mukus/sputum
GCS 10 V Ett ( E 4 M 6 V
ett)
• BP 103/65 mmHG HR 110 -
117 x/mnt RR 15 x/mnt
saturasi 99%
• Terpasang ETT no 7,5
dengan kedalaman 21 cm
di mulut
• Terlihat secret jumlah
banyak warna putih kental
• Gambaran Foto torax :
infiltrat kedua paru
• Terdengar suara nafas
ronchi di ½ lapangan
63
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang di dapat :
1. Penurunan cardiac output berhubungan dengan gangguan kontraktilitas jantung
2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan banyaknya mukus dan
adanya jalan nafas buatan (ETT)
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Difusi alveolar kapiler terganggu
4. Resiko disfungsi penyapihan ventilator berhubungan dengan Hipersekresi jalan
nafas dan anxietas