Anda di halaman 1dari 64

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang tiada
terhingga serta shalawat dan salam pada Rasulullah beserta keluarga dan para
sahabatnya sehingga makalah studi kasus yang berjudul Asuhan Keperawatan Pasien
Yang Menggunakan Ventilasi Mekanik Pada ACS ini dapat penulis selesaikan sesuai
dengan jadwal yang telah di telah ditentukan.
Dalam Penyelesaian makalah studi kasus ini tidak terlepas dari berbagai kendala.
Namun atas dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, kendala tersebut
dapat teratasi. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. DR. Mardjo Soebiandono, SpB selaku Direksi PERTAMEDIKA dan Pembina
Yayasan Pendidikan PERTAMEDIKA.
2. Dr. Dany Amrul Ichdan, SE, MSc selaku Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan
PERTAMEDIKA.
3. Muhammad Ali, SKM, M.Kep selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
PERTAMEDIKA.
4. Wasijati, SKp selaku Kepala Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
5. Dr. Kurniawan SpJp selaku Direktur Rumah Sakit Pusat Pertamina
6. Ns. Dewi Siti Oktavianti M.Kep selaku Koordinator Keperawatan Medikal
Bedah Program Profesi Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan PERTAMEDIKA dan
Pembimbing Manajamen Keperawatan
7. Ns. Diana Rhismawati, M.Kep., SP.KMB selaku pembimbing dalam penyusunan
makalah ini
8. NS. Yori Umahara S.Kep selaku Kepala Ruangan ICU dan pembimbing dalam
pembuatan makalah ini
9. Perawat Ruang ICU RS Pusat Pertamina atas kerjasamanya, sehingga laporan ini
dapat selesai sesuai dengan waktunya.
2

10. Teman-teman Program Profesi S1 keperawatan – Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan


PERTAMEDIKA.
11. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang turut
berpartisipasi sehingga selesainya penelitian ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, untuk itu
kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi pembacanya.

Jakarta, Oktober 2019

Penulis
3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan Studi Kasus
C. Manfaat Studi Kasus
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Acute Coronary Syndrom
B. Gagal Napas Acute Lung Oedema
C. Ventilasi Mekanik
D. Konsep Asuhan Keperawatan
BAB 3. TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi Keperawatan
D. Implementasi Keperawatan
E. Evaluasi
BAB 4. PEMBAHASAN
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR REFERENSI
4

BAB I
PENDAHULUAN
5

A. Latar Belakang
Masalah pernapasan menempati urutan tertinggi dalam menentukan prioritas
penanganan kegawadaruratan maupun kekritisan. Berbagai penyakit yang
berkaitan dengan pernapasan pada akhirnya akan berujung pada kondisi gagal
napas. Kegagalan pernapasan merupakan sindrom pertukaran gas yang tidak
memadai karena disfungsi dari satu atau komponen penting dari sistem
pernapasan. Jadi tidak hanya didefiniskan dengan nilai PaO2< 60 mmHg dengan
atau tanpa PaCO2> 45 mmHg, tetapi banyak proses yang akan melibatkan lebih
dari satu komponen pernapasan sehingga penilaian setiap kompartemen bisa
memberikan dasar untuk intervensi yang akan diberikan. ( Smyth,2005 ).
Sehingga gagal nafas bisa terjadi akibat adanya penurunan PaO2 atau
peningkatan PaCO2 atau keduanya.

Kegagalan pernapasan pada pasien di unit critical care (CCU) merupakan


penyebab utama morbiditas dan kematian. Pasien bisa masuk CCU karena
kegagalan napas sekunder yang diakibatkan oleh sepsis, gagal jantung, dan
gangguan neurologi. Sangat jelas sekali bahwa kegagalan pernapasan melibatkan
beragam patologi. (Neema, 2003). Di Skandinavia tingkat mortalitas pada pasien
yang mengalami gagal napas adalah sebanyak 40 %.

Pembahasan makalah kali ini, penulis akan memaparkan proses gagal napas dari
kasus Acute Coronary Sindrom. STEMI merupakan salah satu dari masalah ACS
yang diikuti dengan kejadian acut lung edema berjumlah sekitar 18 %. Salah satu
penatalaksanaan edema paru yang disebabkan oleh kegagalan pompa jantung
akibat STEMI adalah dengan cara pemberian bantuan napas menggunakan
ventilasi mekanik. Terbukti pasien dengan STEMI yang membutuhkan tindakan
intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik sebanyak 21 %, dibandingkan dengan
NSTEMI 13%, dan UAP 5%. ( J. Figueras,et, all, 2004 )
6

Data yang diperoleh dari ruangan ICU Rumah Sakit Pusat Pertamina periode
Juli 2019 sampai dengan September 2019 didapatkan pasien ACS baik STEMI
maupun Nstemi yang di rawat di ruang ICU banyak 27 pasien atau sebesar dan
pasien dengan diagnosisi ALO sebesar 24 pasien serta pasien dengan ALO ec
ACS yang menggunakan ventilasi mekanik sebanyak 29 % .Untuk itu perawat
memiliki peranan yang cukup besar mengingat perawat bagian dari komponen
utama unit pelayanan kesahatan. Kemampuan dan ketepatan perawat dalam
melakukan proses keperawatan sangat dibutuhkan untuk keselamatan pasien
sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Dari data diatas, kelompok tertarik untuk menyusun suatu laporan makalah dan
di presentasikan tentang Asuhan Keperawatan Pasien Yang Menggunakan
Ventilasi Mekanik Pada Acut Coronary Sindrom STEMI di ruangan Intensive
Care Unit (ICU) di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta (RSPP), dimana
diperlukan kecepatan dan ketepatan dalam mengkaji pasien dengan gagal napas
pada ACS STEMI agar berbagai resiko komplikasi yang dapat ditimbulkan tidak
terjadi.

B. Tujuan Studi Kasus


1.Tujuan Umum
Mahasiswa profesi stase keperawatan kritis mampu melakukan asuhan
keperawatan pasien yang menggunakan ventilasi mekanik pada ACS STEMI
melalui pendekatan ilmu pengetahuan dan keterampilan serta standard proses
keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Kelompok mampu mengetahui dan memahami tentang :
a. Konsep ACS
b. Konsep Gagal Nafas Acute Lung Edema
c. Konsep Ventilasi Mekanik
d. Studi kasus pasien dengan ALO pada Stemi dengan Ventilasi mekanik
7

D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah dengan metode
kepustakaan, yakni dengan mengumpulkan bahan-bahan ilmiah yang bersifat teoritis
dengan membaca buku-buku ilmiah, diktat dan sumber kepustakaan lain seperti
internet, membaca jurnal-jurnal yang terkait dengan materi, dan studi kasus.

1.4 Ruang Lingkup


Adapun batasan dari makalah ini hanya membahas tentang asuhan keperawatan
pasien gagal nafas pada ACS STEMI.

1.5 Manfaat Penulisan


1.5.1 Bagi Penulis
Penulis mampu mengimplementasikan ilmu dan keterampilan khususnya pada
pasien gagal nafas pada acs dengan pendekatan proses keperawatan.
1.5.2 Bagi unit kerja dan rumah sakit
Sebagai pendukung pencapaian mutu asuhan keperawatan pada unit kerja dan
berdampak secara langsung terhadap kualitas mutu pelayanan rumah sakit.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini disusun menjadi lima BAB, yang terdiri dari :
BAB 1: Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, metode
penulisan, ruang lingkup, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan
BAB 2 : Tinjauan Pustaka
BAB 3: Tinjauan Kasus yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi
keperawatan.
BAB 4 : Pembahasan
BAB 5 : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
8

BAB 2
TINJAUAN TEORI

A. Acut Coronary Syndrom


1. Pengertian
Akut Coronary syndrome (ACS) adalah suatu kondisi yang dapat mengancam
kehidupan yang menyerang pasien dengan penyakit arteri koroner kapan saja.
(Lilly, 2011)
Sindrom serangan jantung akut adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menguraikan suatu kelompok gejala akibat dari iskemia myocardial akut dan
mencakup angina tidak stabil (UA), non ST segmen elevasi MI (NSTEMI) dan
ST segmen elevation MI (STEMI) (AHA, 2013).
Gejala utama yang mengindikasikan seseorang didiagnosa dan mendapat
pengobatan karena dicurigai adanya ACS adalah nyeri dada, dan berdasarkan
Elektrokardiogram (EKG) dibagi menjadi dua : pasien dengan nyeri dada akut
dan menetap > 20 menit dengan peningkatan ST-segmen elevation, pasien
dengan nyeri dada akut tidak menetap tanpa kenaikan ST-segmen elevation.
(ESC, 2015).
Yang dikatakan ACS tipe STEMI adalah oklusi koroner akut dengan iskemia
miokard berkepanjangan yang pada ahirnya akan menyebabkan kematian
miositkardiak, dimana kerusakan miokard yang terjadi tergantung pada: 1) letak
dan lamanya sumbatan aliran darah, 2) ada atau tidaknya aliran kolateral, 3)
luas wilayah miokard yang diperdarahi pembuluh darah yang tersumbat. ( dr
Irmalita at al, 2009.

2 Etiologi
Menurut Alpert (2010) pembagian infark miokard atau disebut juga acut
myocardial infarction, berdasarkan penyebabnya yang heterogen, antara lain :
1. Infark miokard tipe 1
9

Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura dn diseksi
plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ktersediaan
oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Hal-
hal tersebut merupakan akibat dari anemia aritmia dan hiper atau hipotensi.
2. Infark miokard tipe 2
Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vasokontrriksi dan spasme arteri
menurunkan aliran darah miokard.
3. Infark miokard tipe 3
Pada keadaan ini, peningkatan petanda biokimiawi (biomarker) tidak
ditemukan.
4. Infark miokard tipe 4
a. Tipe 4a
Peningkatan kadar biomarker infark biomarker (contohnya troponin) 3 kali
lebih besar dari normal akibat pemasangan PCI yang memicu terjadinya
infark miokard.
b. Tipe 4b
Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent thrombosis.
5. Infark miokard tipe 5
Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari normal. Kejadian infark
miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner.

3. Faktor Resiko
Faktor – faktor resiko penyebab SKA dibagi menjadi dua yaitu faktor resiko yang
dapat dirubah dan faktor resiko yang tidak dapat diubah:
1. Faktor yang tidak dapat diubah
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Ras
d. Riwayat keluarga
2. Faktor yang dapat diubah
10

a. Merokok
b. Hiperlipedemia
c. Hipertensi
d. Diabetes mellitus
e. Gaya hidup
f. Stress

4 Patofisiologi ACS
Sebagian besar SKA adalah manefistasi akut dari plak ateroma pembuluh darah
koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak
dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti
oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah thrombus
yang kaya trombosit (white trombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh
darah koroner, baik secara total maupun parsial atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh darah koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat
vasoaktif yang menyebabkan vasokontriksi sehingga memperberat gangguan aliran
darah koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang lenih 20 menit
menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah coroner,
obstruksi subtotal yang disertai vasokontriksi yang dinamis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung akibat dari iskemia, selain
nekrosis adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan
sttuning (setelah iskemia hilang), distirmia, dan remodeling ventrikel (perubahan
bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA yang tidak mengalami
koyak plak seperti diatas, mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat
spasme lokal dari arteri koroner epikardial. Penyempitan arteri koroner tanpa spasme
maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progesi plak atau resetenosis setelah
intervensi koroner perkutan (PCI).
11

Beberapa faktor ektrinsik seperti demam, anemia, hipotensi, takikardi dapat menjadi
pencetus terjadinya SKA pada pasien yang sudah terdapat plak.
Perubahan morfologi pembuluh darah koroner akibat penimbunan lemak pada
area lumen pembuluh darah koroner, maka lambat laun plak tersebut menjadi
rapuh, Pada saat plak yang rapuh tersebut lepas , maka terbentuk sumbatan
pada aliran darah koroner . Dilain pihak pada lapisan pembuluh darah koroner
tersebut akan terjadi kikisan maka inilah pemicu terjadinya thrombus, kadang
kejadian ini diserta tanda atau keluhan dari klien seperti nyeri dada. Keluhan
nyeri dada timbul sebagai tanda supply oksigen tidak sesuai dengan kebutuhan
otot jantung. Dengan demikian otot jantung menjadi iskemi.

5 KLASIFIKASI ACS
Klasifikasi SKA dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segmen elevation miokard
infraction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI non ST segment
elevation myocardial infraction)
12

3. Angina pectoris tidak stabil (UAP)

6 Penegakan Diagnosis
Penegakkan pada diagnosa SKA dimana penegakkan diagnosa ini untuk
mengantisipasi terjadinya IMA maka menurut kriteria WHO diagnosa IMA dapat
ditegakkan berdasarkan terpenuhinya minimal 2 dari 3 kriteria dibawah ini :
13

1. Anamnesa
Pada saat anamnesa keluhan nyeri dada harus benar-benar dikaji karena keluhan
nyeri dada merupakn keluhan yang lazim pada IMA. Terobosan yang dapat
dilakukan bagaimana dengan mudah dan cepat mendeteksi secara dini
manifestasi keluhan serangan jantung yaitu menggunakan format pengkajian
PQRST. Format pengkajian tersebut merupakan pemandu dalam
memepermudah sepert ;
a. Format P ( POSITION ) dapat dikembangkan sebagai pencetus timbulnya
serangan jantung atau menyatakan posisi nyeri dada yang dirasakan ada
berkaitannya dengan area lokasi jantung jantung pada area substernal
kiri.
b. Format Q ( QUALITAS ) artinya kualitas dari nyeri dada yang dirasakan
oleh klien. Oleh karena kwalitas nyeri dada ini bervariasi, maka yang
diutarakan kline bervariasi juga. Untuk itu untuk menilai tingkat nyeri
dada tersebut maka digunakan dengan menggunakan skala nyeri.
Rentang skala nyeri yang digunakan adalah dari skala 0 sampai
dengan 10, yang artinya jika hasil tingkat nyeri dada menunjukan skala
nyeri dada angka 0 artinya klien tidak mengalami nyeri dada tipikal (
atipikal angina ), tetapi jika dalam pengkajian skala nyeri dada tersebut
menunjukan angka yang bermakna sampai dengan
lebih dari angka 7 maka dikatakan adalah nyeri dada tipikal ( tipikal
angina ).
c. Format R ( Radiation ) artinya lokasi nreri dada atau radiasi dari
penjalaran nyeri yang menggambarkan area aliran darah yang
mengalami hambatan tersebut , yaitu disebelah dada kiri dan menjalar
kerahang, lengan kiri sampai akhirnya kejari kiri dan punggung.
14

d. Format S ( Symptome ) artinya gejala nyeri dada. Adapun gejala yang


ditampilkan atau dikeluhkan lain oleh klien adalah nyeri dada yang khas
seperti tertindih benda berat yang diikuti keringat dingin dan sesak dan
tercekik. Nyeri dada menjalar kepunggung , leher dan lengan kiri sampai
jari.
e. Format T ( Time ). Kejadian nyeri dada dapat terjadi terus menerus atau
kadang-kadang. Sehingga ini merupakan waktu emas bagi tenaga
kesehatan khususnya perawat untuk melakukan intervensi segera. Selain itu
penentuan diagnose maupun prognose dari serangan jantung tersebut
yaitu dengan melakukan pengkajian pemeriksaan EKG dan pemeriksaan
laboratorium.

2. Laboratorium
Enzim jantung yang paling spesifik adalah troponin dan CK-MB. Kedua enzim ini
mulai meningkat 4-8 jam setelah terjadinya infark. Peningkatan tekanan enzim
tersebut dikatakan bermakna bila terjadi peningkatan paling sedikit 1 ½ kali nilai
batas normal. Pemeriksaan kadar enzim untuk menegakkan diagnosis yang pasti
harus dilakukan secara periodik atau serial, hal ini untuk menghindari atau
menyingkirkan hasil yang negatif serta berguna untuk mengetahui luasnya infark.
15

CHARACTERISTICS OF CARDIAC BIOMARKERS


CARDIAC FIRST RISE PEAK RETURN Nilai
MARKER REPERFUSION TO rujuk
MYOGLOBIN 2-4 haurs 4-9 haurs < 24 haurs <110

CKMB 4-8 haurs 12-24 haurs 48 – 72 10-13


haurs unit/L
TROPONIN T 4-6 haurs 12-48 haurs 7-10 day <0,1
mg/ml
Troponin I 4-6haurs 12-24 haurs 3-10day <1,5
mg/ml
CK 4-8 haurs 12-24 haurs 72-96
haurs
LDH 10-12 hours 48-72 7-10hr

3. Elektrokardiografi (EKG)
Pada umumnya penalaran elektrokardiografi (EKG) akan memberikan gambaran
tentang kejadian SKA. Namun demikian EKG hanyalah salah satu pemeriksaan
dalam menegakkan diagnosis penyakit jantung. Oleh karena itu EKG tidak 100%
dapat menggambarkan atau mengetahui adanya kejadian infark karena ada kriteria
lain yang menentukan diagnosa SKA antara lain enzim dan kajian nyeri dada. Hal
yang perlu diketahui dan dipahami pada gambaran EKG yaitu perubahan pada
segmen ST, gelombang T dan gelombang Q.
Perubahan gambaran EKG pada UAP dan NSTEMI berupa depresi segmen ST >
0,05 mV, gelombang T terbalik > 0,2 mV.
Perubahan gambaran EKG pada IMA meliputi hiperakut T, ST elevasi yang di
ikuti terbentuknya gelombang Q patalogis, kembalinya segmen ST pada garis
16

isoelektris dan inversi gelombang T. Perubahan ini harus di temui minimal pada 2
sandapan yang berdekatan.
Perubahan EKG cukup spesifik, tetapi tidak cukup untuk mendiagnosis IMA pada
fase yang masih dini karena masih membutuhkan pemeriksaan penunjang lainnya.
Berdasarkan kelainan EKG IMA dibagi atas 2 yaitu :
a. IMA dengan gelombang Q
Mula-mula terjadi elevasi segmen ST yang konveks pada hantaran yang
mencerminkan daerah IMA. Kadang baru terjadi beberapa jam setelah
serangan. Depresi segmen ST yang resiprokal terjadi pada hantaran yang
berlawanan.
Diikuti terbentuknya gelombang Q patologis yang menunjukkan IMA
transmural (terjadi 24 jam pertama IMA). Setelah elevasi segmen ST
berkurang, gelombang T terbalik (inversi). Keduanya dapat menjadi normal
setelah beberapa hari atau minggu.
b. IMA non gelombang Q
Tidak ada Q patologis, hanya dijumpai depresi segmen ST dan inversi simetrik
gelombang T.
Berdasarkan ditemukannya kelainan EKG, dapat diprediksi lokasi infark
myocard.
WAVE / ELEVASI
LOKASI INFARK A. KORONER
ST
Anteroseptal V1 dan V2 LAD
Anterior V3 dan V4 LAD
Lateral V5 dan V6 LCX
Anterior ekstrinsif I, a VL, V1 – V6 LAD / LCX
High lateral I, a VL, V5 dan V6 LCX
Posterior V7 – V9 (V1, V2*) LCX, PL
Inferior II, III, dan a VF PDA
Right ventrikel V3R – V4R RCA
17

* Gelombang R yang tinggi dan depresi ST di V1 – V2 sebagi mirror image dari


perubahan sedapan V7 – V9
LAD = Left Anterior Descending artery
LCX = Left Circumflex
RCA = Right Coronary Artery
PL = Posterior Desending Artery

7 Penatalaksanaan ACS
Keberhasilan penanganan ACS membutuhkan waktu yang sangat cepat untuk
membatasi kerusakan miokard dan meminimalkan komplikasi. Terapi yang diberikan
harus bisa mengatasi trombus yang menyumbat di intrakoroner dan memberikan anti
ischemic untuk mencukupi keseimbangan antara suplai oksigen dan demand di
miokard.
Meskipun aspek terapi tertentu yang umum untuk semua ACS, ada sedikit perbedaan
yang penting dalam penanganan pasien dengan ST segmen elevasi (STEMI)
dibandingkan dengan mereka yang tidak ST elevasi segmen (UA dan NSTEMI).
18

Pasien dengan STEMI biasanya memiliki total oklusi dari arteri koroner dan tindakan
yang benefit adalah reperfusi segera (farmakologis atau mekanik), sementara pasien
tanpa elevasi ST tidak dilakukan.
Tindakan umum di rumah sakit untuk setiap pasien dengan ACS di rawat di
perawatan intensif, di mana terus menerus dilakukan pemantauan EKG untuk
aritmia.
Pasien awalnya dipertahankan bedrest untuk meminimalkan kebutuhan oksigen
miokard, sementara gunakan face mask, nasal canul atau jenis lainnya untuk
meningkatkan suplai oksigen. Analgesik, seperti morfin, diberikan untuk mengurangi
nyeri dada dan kecemasan dan dengan demikian dapat mengurangi kebutuhan
oksigen miokard.
19

8 Komplikasi ACS
1. Disfungsi Ventrikular Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk
ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses
ini disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal
jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran
ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi
infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang
mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal
jantung dan prognosis lebih buruk.
2. Gangguan Hemodinamik Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab
utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal
(10 hari infark) dan sesudahnya.
3. Gagal Napas, merupakan akibat dari kondisi lanjut komplikasi jantung mengalami
kondisi gagal pemompaan darah keseluruh sistem tubuh sehingga terjadi
penumpukan sejumlah cairan di dalam jantung dan didalam pembuluh darah yang
berdampak terjadinya kegagalan difusi O2 di tingkat sistem respirasi
4. Syok kardiogenik Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan
90% terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
5. Infark ventrikel kanan Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel
kanan yang berat (distensi vena jugularis, tanda kussmaul, hepatomegali) dengan
atau tanpa hipotensi.
6. Aritmia paska STEMI Mekanisme aritmia terkait infark mencakup
ketidakseimbangan sistem saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan
perlambatan konduksi di zona iskemi miokard.
7. Ekstrasistol ventrikel depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir
semua pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif
dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.
20

8. Takikardia dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya
dalam 24 jam pertama.
9. Fibrilasi atrium.
10. Aritmia supraventrikular
11. Asistol ventrikel
12. Bradiaritmia dan Blok
13. Ruptur muskulus papilaris,
Nekrosis iskemik dan rupture otot papilary LV bisa mengakibatkan akut severe
regurgitasi mitral, karena katup leaflet kehilangan lampiran penahan. Pada
sebagian rupture dapat menyebabkan regurgitasi moderate yang secara tidak
langsung dapat mengakibatkan gejala gagal jantung atau edema paru. Biasanya
disebabkan oleh infark yang melibatkan inferolateral dan otot papilaris
posteromedial.

B. Gagal Nafas
1. Pengertian
Gagal napas merupakan salah satu alasan tersering masuk rawat intensive care
unit (ICU) dan sering menyebabkan kormobiditas pada pasien akut. Gagal napas juga
menyebabkan kematian akibat pneumonia dan penyakit paru obstruksi kronis di
Amerika Serikat. ( Fournier, 2014 ).
Gagal napas merupakan keadaan ketidakmampuan tubuh untuk menjaga
pertukaran gas seimbang dengan kebutuhan tubuh sehingga mengakibatkan
hipoksemia dan atau hiperkapnia. Dikatakan gagal napas apabila PaCO2 > 45 mmHg
atau PaO2< 55mmHg. (Boedi Swidarmoko, 2010: 259)
Gagal nafas dapat juga diartikan sebagai tidak berfungsinya respirasi yang
menyebabkan ketidaknormalan oksigenasi atau ventilasi (eliminasi CO2) yang parah,
cukup untuk menyebabkan kerusakan fungsi organ organ vital. Kriteria kadar gas
arteri untuk gagal nafas tidak mutlak bisa ditentukan dengan mengetahui PO2 kurang
dari 60 mmHg dan PCO2 diatas 50 mmHg. (Tierney, Lawrence dkk. 2002. Diagnosis
21

dan Terapi Kedokteran Penyakit Dalam).

Tipe gagal nafas


Penyebab gagal napas dapat dikategorikan dalam beberapa tipe, yaitu:
1. Tipe I, hipoksia tanpa hiperkapnea ( PaCO2 normal atau rendah ). Tipe gagal
napas yang paling sering terjadi atau disebut dengan gagal napas hipoksemia,
yaitu kegagalan dalam pertukaran oksigen, yang ditandai oleh nilai PaO2 < 60
mmHg dengan normal atau rendahnya nilai PaCO2.
Tipe I ini biasa disebabkan oleh: gangguan penyakit parenkhimal, penyakit
pembuluh darah dan aliran ( R-L shunt, pulmonary embolisme ), interstistial lung
disease ( ARDS, pneumonia, emphysema ).
2. Tipe II, PaO2 menurun, PaCO2 naik, PA-aO2 normal, pH menurun, terjadi
karena ventilasi yang tidak adekuat. Pasien gagal napas tipe 2 yang bernapas
dengan udara ruangan umumnya mengalami hipoksemia. pH darah tergantung
pada level bikarbonat yang dipengaruhi oleh durasi hipercapnia. Beberapa
penyakit yang mempengaruhi ventilasi alveolar yaitu PPOK, overdosis obat,
abnormal dinding dada dan penyakit neuromuskuler.).

3 Tanda dan gejala gagal napas


Pasien yang akan terjadi gagal napas cirinya napas pendek dan perubahan
status mental, mungkin muncul ansietas, takipnea, dan penurunan SpO2. Gagal napas
akut dapat menyebabkan takikardia dan takipnea. Tanda dan gejala lain meliputi
sianosis, diaphoresis, penggunaan otot bantu napas, penurunan bunyi paru,
ketidakmampuan berbicara dalam kalimat penuh, dan terganggunya status mental.
Pada gagal napas kronik menunjukkan tanda klinis yang konsisten yaitu napas pendek
yang terus menerus.
Lung edema merupakan salah satu dari kondisi gagal napas yang disebabkan
oleh kondisi penurunan jantung dalam memompakan darah ke aliran darah sistemik,
sehinga terjadi penumpukan darah di paru-paru dengan ditandai penurunan Sp O2
22

saat di ukur dengan puls oksimetri dan pemeriksaan analisa gas darah (AGD) akan
memperlihatkan kadar saturasi yang akurat serta keseimbangan asam basa.

Gambar 1. Ilustrasi edema paru


2 Klasifikasi
Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan
menjadi edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru
kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang akhirnya
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru. Sedangkan edema paru
non-kardiogenik dikatagorikan berdasarkan kondisi yang mendasarinya. Edema paru
non-kardiogenik diklasifikasikan menjadi tekanan rendah alveolus, peningkatan
permeabilitas alveolus, atau edema neurogenik. Sebagai contoh, penyebab penurunan
tekanan alveolus adalah karena obstruksi saluran nafas atas seperti paralisis laring,
penyebab peningkatan permeabilitas adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan
edema neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi.
23

Perbedaan antara kardiogenik dan non-kardiogenik sangat penting dilakukan tidak


hanya untuk terapi, tapi juga untuk alasan prognosis (Glaus et al, 2010).

Valvular

Kardiogenik

Non-valvular

Edema Paru
Tekanan Rendah
Alveolus

Peningkatan
Non-kardiogenik Permeabilitas
Alveolus

Neurogenik

Gambar 2. Ilustrasi klasifikasi edema paru

Edema Paru Kardiogenik


Edema paru kardiogenik akut adalah salah satu tanda dari gagal jantung berat
akut yang didefinisikan sebagai peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru sampai
lebih dari 18 mmHg yang disebabkan dari peningkatan tekanan vena paru. Dari
fisiologisnya sendiri, ruang intravascular dan ekstravaskular dipisahkan oleh barier
endotel. Tekanan yang berpengaruh dalam barier ini adalah tekanan hidrostatik
plasma dan tekanan onkotik plasma. Tekanan hidrostatik plasma berfungsi untuk
mendorong cairan ke luar jaringan. Sedangkan tekanan onkotik plasma berfungsi
untuk menjaga atau menarik cairan ke dalam ruang vaskuler. Edema paru kardiogenik
merefleksikan akumulasi cairan yang berisi protein rendah di interstitium dan
alveolus paru.
24

Gambar 3. Klasifikasi Edema Paru Kardiogenik

2 Etiologi
Edema paru kardiogenik disebabkan karena peningkatan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam interstitium dan alveolus
paru. Peningkatan tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan vena paru, dan tekanan
mikrovaskular paru dapat menyebabkan edema paru.
Obstruksi Aliran Atrium
Obstruksi aliran atrium dapat disebabkan karena stenosis katub mitral, atau
dalam kasus yang jarang dapat disebabkan oleh myxoma atrium, thrombosis pada
katub prostetik, atau adanya membrane kongenital di atrium kiri (contohnya, cor
triatrium). Stenosis mitral sering disebabkan karena demam rematik, yang akhirnya
dapat bermanifestasi sebagai edem paru. Penyebab lainnya terjadinya edem paru
kardiogenik yang bersamaan dengan stenosis katub mitral adalah penurunan
25

pengisian ventrikel kiri, yang dapat disebabkan oleh takikardia dan aritmia (penyebab
tersering adalah atrial fibrilasi) (Henry & Sovari, 2012).
Disfungsi Sistolik Ventrikel Kiri
Disfungsi sistolik merupakan penyebab tersering terjadinya edem paru
kardiogenik, hal ini didefinisikan sebagai penurunan kontraktilitas sel miokardium
yang dapat menurunkan volume output jantung. Penurunan output jantung
menstimulasi aktivitas simpatik dan meningkatkan volume darah dengan
mengaktivasi sistem rennin-angiotensin-aldosteron yang nantinya akan menyebabkan
penurunan waktu pengisian ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler
(Henry & Sovari, 2012).
Kegagalan ventrikel kiri kronis, biasanya disebabkan karena penyakit gagal
jantung kongestif atau kardiomiopati. Penyebab eksaserbasi akut penyakit ini
meliputi, infark miokard akut (IMA), pasien dengan ketidakpatuhan pembatasan diet
garam, pasien dengan ketidakpatuhan mengkonsumsi obat diuretic, anemia berat,
sepsis, thyrotoksikosis, myokarditis, toksin myocardial (alkohol, kokain, agen
kemoterapi), penyakit katub jantung kronis, stenosis aorta, regurgitasi aorta, dan
regurgitasi mitral (Henry & Sovari, 2012).
Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri
Infark dan iskemia dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi diastolic
ventrikel kiri. Dengan mekanisme yang hampir sama, kontusio myocardial
menyebabkan disfungsi baik sistolik maupun diastolic. Disfungsi diastolic merupakan
pertana penurunan pada distensisitas atau compliance diastolic ventrikel kiri. Karena
distensisitas ventrikel kiri menurun, peningkatan tekanan diastolic diperlukan untuk
mendapatkan stroke volume yang normal. Meskipun kontraktilitas ventrikel kiri
normal, penurunan output jantung dalam hubungannya dengan peningkatan tekanan
akhir diastolic, menyebabkan timbulnya edema paru hidrostatik. Abnormalitas
diastolic dapat pula disebabkan karena konstriksi pericarditis dan tamponade jantung
(Henry & Sovari, 2012).
Disritmia
26

Disritmia merupakan gangguan irama jantung akibat perubahan


elketrofisiologis sel-sel miokardial yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan
irama, frekuensi, dan konduksi jantung. Onset baru dan cepat dari fibrilasi atrium dan
takikardia ventricular dapat menyebabkan keadaan edem paru kardiogenik (Henry &
Sovari, 2012).
Infark Miokardial
Infark miokardial dapat menjadi salah satu penyebab edema paru kardiogenik,
oleh beberapa sebab. Salah satunya adalah komplikasi mekanis dari infark
miokardial, yaitu rupturnya septum ventrikel atau otot papilar. Komplikasi mekanis
ini secara langsung akan meningkatkan volume load pada serangan akut, yang
nantinya akan menimbulkan terjadinya edema paru (Henry & Sovari, 2012).
Obstruksi Aliran Ventrikel Kiri
Stenosis akut pada katub aorta dapat menyebabkan edema paru. Namun,
stenosis yang diakibatkan karena penyakit kongenital, kalsifikasi, disfungsi prostetik,
atau penyakit rematik, biasanya berlangsung secara kronis dan dapat menimbulkan
adaptasi hemodinamik pada jantung. Adaptasi hemodinamik ini diantaranya adalah
hipertrofi ventrikel kiri, yang dapat menyebabkan edema paru karena disfungsi
diastolic ventrikel kiri. Hipertrofi kardiomiopati merupakan penyebab obstruksi aliran
dinamik ventrikel kiri (Henry & Sovari, 2012).
Patofisiologis
Kapiler pembuluh darah paru dan gas di dalam alveolus dipisahkan oleh
membrane kapiler-alveolar. Membran ini terbagi menjadi tiga lapisan, lapisan
pertama adalah endotel kapiler; lapisan kedua adalah ruang interstitial yang terdiri
dari jaringan ikat, fibroblast, dan makrofag; dan lapisan terakhir adalah epitel
alveolus. Pertukaran cairan normalnya terjadi diantara vascular bed dan ruang
interstitium. Edema paru terjadi saat aliran cairan dari vaskuler ke dalam ruang
interstitial meningkat (Henry & Sovari, 2012).
Hukum starling menentukan keseimbangan cairan diantara alveolus dan
vascular bed. Aliran cairan yang melintas antar membrane ditentukan oleh
persamaan:
27

Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)

dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah tekanan
hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis adalah
tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan ke
kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding kapiler
dalam mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid plasma,
yang cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan osmotic
koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari kepiler (Henry &
Sovari, 2012).
Filtrasi cairan dapat meningkat dengan perubahan parameter dari hukum
Starling tersebut. Edema paru kardiogenik secara predominan terjadi karena
gangguan aliran pada atrium kiri atau karena disfungsi ventrikel kiri. Pada edem paru
yang terjadi karena peningkatan tekanan kapiler paru, maka tekanan kapiler parunya
harus lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan koloid osmotic plasma. Tekanan
kapiler paru normalnya 8 – 12 mmHg, dan tekanan osmotic koloidnya adalah 28
mmHg (Henry & Sovari, 2012).
Sistem limfa memainkan pernana penting dalam menjaga agar cairan di paru
selalu seimbang dengan cara membuang cairan, koloid, atau liquid dari ruang
interstitial dengan kecepatan 10 – 20 mL/jam. Pada peningkatan tekanan kapiler arteri
paru melebihi 18 mmHg, hal ini dapat meningkatkan filtrasi dari cairan ke dalam
ruang interstitium, namun kecepatan pembuangan sistem limfa tidak ikut meningkat.
Hal ini berbeda dengan peningkatan tekanan atrium kiri yang kronis, dengan
kecepatan pembuangan sistem limfe bisa sampai 200 mL/jam, yang dapat
memproteksi paru dari edema paru (Henry & Sovari, 2012).

3. Stadium
Terdapat tiga stadium pada edema paru kardiogenik menurut prosesnya.
Stadium pertama atau biasa disebut sebagai stage 1 adalah peningkatan tekanan
28

atrium kiri yang dapat menyebabkan distensi dan pembukaan pembuluh paru kecil.
Pada stadium ini, pertukaran gas darah tidak terganggu.
Pada stadium kedua atau stage 2, cairan dan koloid berpindah ke ruang
interstitium paru dari kapiler paru, namun peningkatan aliran limfa dapat secara
efisien membuang cairan tersebut. Berlanjutnya filtrasi cairan yang terus-menerus
dapat membuat kapasitas drainase limfatik tidak dapat mengkompensasinya lagi.
Akumulasi cairan di ruang interstitium dapat mengganggu pertukaran gas yang dapat
menyebabkan hipoksemia. Hipoksemia pada stadium ini dapat menstimulasi
terjadinya takipneu. Takipneu dapat terjadi karena stimulasi reseptor juxtapulmonary
kapiler.
Pada stadium terakhir atau stage 3, filtrasi cairan di ruang interstitial berlanjut
yang akhirnya sampai memenuhi ruang tersebut (diperkirakan 500 mL cairan).
Akhirnya cairan berpindah dari ruang interstitium ke epitel alveolar, dan akhirnya
memenuhi ruang alveolar. Pada stadium ini, abnormalitas pertukaran gas dapat
dilihat, kapasitas vital, dan volume respiratory menurun, yang menyebabkan
hipoksemia menjadi lebih berat (Henry & Sovari, 2012).

4. Manifestasi Klinis
Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya memiliki gejala klinis gagal
jantung kiri. Pasien biasanya mengeluhkan sesak nafas yang tiba-tiba dan berat, rasa
cemas, dan perasaan seperti tenggelam. Manifestasi klinis dari edema paru
kardiogenik akut mencerminkan bukti adanya hipoksia dan peningkatan tonus
simpatis. Pada pasien dengan edema paru kardiogenik, keluhan paling sering adalah
sesak nafas dan diaphoresis atau keringat berlebihan. Pasien biasanya mengeluhkan
dispneu saat aktifitas, ortopneu, dan paroksismal nocturnal dispneu. Batuk adalah
keluhan yang sering dan dapat memberikan petunjuk awal adanya perburukan edema
pada paru pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang kronis. Sputum berwarna pink
dan berbusa mungkin dikeluhkan oleh pasien dengan penyakit yang parah. Kadang
disertai suara serak dikarenakan gangguan di persarafan laring karena stenosis mitral
atau hipertensi pulmonal. Nyeri dada harus diwaspadai oleh dokter sebagai
29

kemungkinan untuk infark miokardial akut, atau diseksi aorta dengan regurgitasi
aorta (Henry & Sovari, 2012).

5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan dalam evaluasi pasien
dengan penyakit edema paru kardiogenik adalah sebagai berikut; hitung darah
lengkap, pemeriksaan ini digunakan untuk membantu dalam menilai apakah terdapat
anemia berat, sepsis, atau infeksi yang dapat dinilai dari hitung leukosit; hitung
elektrolit, pasien dengan CHF kronis sering mendapatkan terapi diuretic yang
merupakan suatu predisposisi abnormalitas elektrolit, terutama hipokalemia dan
hipomagnesia; BUN dan kreatinin, pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui
apakah terdapat gagal ginjal dan mengantisipasi respon diuretic, pada disfungsi
sistolik, penurunana BUN dan kreatinin merupakan pertanda adanya hipoperfusi dari
ginjal; Oksimetri, pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui adanya hipoksia,
pemeriksaan ini penting dalam memonitoring respon pasien untuk suplementasi
oksigen dan terapi lainnya; analisis gas darah digunakan untuk melihat secara akurat
saturasi oksigen (Henry & Sovari, 2012).
c. Elektrokardiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai hipertrofi atrium kiri dan ventrikel
kiri. Selain itu dapat digunakan sebagai indicator disfungsi kronis ventrikel kiri.
Elektrokardiogram juga dapat digunakan untuk melihat takidisritmia akut atau
bradidisritmia pada penyakit iskemia atau infark miokardial akut sebagai salah satu
penyebab dari edema paru kardiogenik (Henry & Sovari, 2012).
d. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiograf pada pasien dengan gagal jantung kronis sangat
penting dilakukan sebagai pemeriksaan diagnosis untuk mengetahui etiologi dari
edema paru. Ekokardiograf dapat digunakan untuk mengetahui fungsi dari sistolik
maupun diastolic ventrikel kiri, gangguan fungsi katub, dan mengetahui penyakit
pericardial. Selain itu, pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui beberapa
30

etiologi mekanis penyebab edema paru seperti, rupture akut otot papilar, ventricular
septal defect akut, tamponade jantung, rupture ventrikel kiri, vegetasi katub yang
akhirnya dapat menimbulkan regurgitasi aorta (Henry & Sovari, 2012).
e. Pemeriksaan Radiologi
Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran tersebut
adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau kerley lines,
peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa interlobar biasanya
tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat akumulasi cairan
di daerah tersebut.

Gambar 8. Anatomi Interstitium Paru

Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika jaringan
ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya sekitar 6 cm
dari hilus dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini biasanya disebut
sebagai septal lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru atau di sekitar sudut
costofrenikus. Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan tebal hanya 1 mm. Kerley
31

lines C merupakan Kerley lines B en face, merupakan opasitas reticular pada basis
paru. Kerley lines D, merupakan garis yang sama dengan Kerley lines B, dan akan
terlihat hanya pada lateral chest radiograph. Peribronchial cuffing adalah penebalan
dinding bronkus dan terlihat seperti ringlike density. Peribronchial cuffing terjadi
ketika terdapatnnya akumulasi cairan di jaringan ikat sekitar dinding bronkus.
Peribronchial cuffing bentuknya ringerlike, kecil, multiple, seperti donat.

Gambar 4. [Gambar Atas] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala
panah putih), Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Bawah] Peribronchial
cuffing, pleural effusion.

6. Tatalaksana
Manajemen utama pada pasien dengan edema paru kardiogenik termasuk
didalamnya adalah resusitasi ABC (airway, breathing, dan circulation). Oksigen
seharusnya diberikan pada semua pasien untuk menjaga saturasi oksigen lebih dari
90%. Penyakit yang mendasari seperti aritmia atau infark miokard seharusnya
diterapi dengan sesuai. Oksigen diberikan melalui face mask¸ CPAP, intubasi, dan
ventilasi mekanis dapat dipilih tergantung dari keadaan hipoksemia dan asidosis, serta
kesadaran pasien (Henry & Sovari, 2012).

C. Ventilasi Mekanik
1. Definisi Ventilasi Mekanik dan Ventilator
32

Ventilasi mekanik adalah proses penggunaan suatu peralatan untuk memfasilitasi


transpor oksigen dan karbondioksida antara atmosfer dan alveoli untuk tujuan
meningkatkan pertukaran gas paru-paru (Urden, Stacy, Lough, 2010). Ventilator
merupakan alat pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat
mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen untuk periode waktu yang lama
(Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008).
Indikasi Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik diindikasikan untuk alasan fisiologis dan klinis (Urden, Stacy,
Lough, 2010). Ventilasi mekanik diindikasikan ketika modalitas manajemen
noninvasif gagal untuk memberikan bantuan oksigenasi dan/atau ventilasi yang
adekuat. Keputusan untuk memulai ventilasi mekanik berdasarkan pada kemampuan
pasien memenuhi kebutuhan oksigenasi dan/atau ventilasinya. Ketidakmampuan
pasien untuk secara klinis mempertahankan CO2 dan status asam-basa pada tingkat
yang dapat diterima yang menunjukkan terjadinya kegagalan pernafasan dan hal
tersebut merupakan indikasi yang umum untuk intervensi ventilasi mekanik (Chulay
& Burns, 2006).

2. Tujuan Ventilasi Mekanik


Tujuan ventilasi mekanik adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar yang tepat
untuk kebutuhan metabolik pasien dan untuk memperbaiki hipoksemia dan
memaksimalkan transpor oksigen (Hudak & Gallo, 2010). Bila fungsi paru untuk
melaksanakan pembebasan CO2 atau pengambilan O2 dari atmosfir tidak cukup,
maka dapat dipertimbangkan pemakaian ventilator (Rab, 2007). Tujuan fisiologis
meliputi membantu pertukaran gas kardio-pulmonal (ventilasi alveolar dan
oksigenasi arteri), meningkatkan volume paru-paru (inflasi paru akhir ekspirasi dan
kapasitas residu fungsional), dan mengurangi kerja pernafasan. Tujuan klinis meliputi
mengatasi hipoksemia dan asidosis respiratori akut, mengurangi distress pernafasan,
mencegah atau mengatasi atelektasis dan kelelahan otot pernafasan, memberikan
sedasi dan blokade neuromuskular, menurunkan konsumsi oksigen, mengurangi
tekanan intrakranial, dan menstabilkan dinding dada (Urden, Stacy, Lough, 2010).
33

3. Jenis-jenis Ventilasi Mekanik


a. Ventilator tekanan negatif
Ventilator tekanan negatif pada awalnya diketahui sebagai “paru-paru besi”.
Tubuh pasien diambil alih oleh silinder besi dan tekanan negatif didapat untuk
memperbesar rongga toraks. Saat ini, ventilasi tekanan negatif jangka-pendek
intermiten (VTNI) telah digunakan pada penyakit paru obstruktif menahun
(PPOM) untuk memperbaiki gagal nafas hiperkapnik berat dengan memperbaiki
fungsi diafragma (Hudak & Gallo, 2010). Ventilator ini kebanyakan digunakan
pada gagal nafas kronik yang berhubungan dengan kondisi neuromuskular
seperti poliomielitis, muscular dystrophy, amyotrophic lateral sclerosis, dan
miastenia gravis (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008).

Ventilator tekanan negatif menggunakan tekanan negatif pada dada luar.


Penurunan tekanan intrathorak selama inspirasi menyebabkan udara mengalir ke
dalam paru-paru. Secara fisiologis, tipe assisted ventilator ini sama dengan
ventilasi spontan. Ventilator tekanan negatif mudah digunakan dan tidak
memerlukan intubasi jalan nafas (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008).
Ventilator ini dapat digerakkan dan dipasang seperti rumah kura-kura, bentuk
kubah diatas dada dengan menghubungkan kubah ke generator tekanan negatif.
Rongga toraks secara harfiah “menghisap” untuk mengawali inspirasi yang
disusun secara manual dengan “trigger”. Ventilator tekanan negatif
menguntungkan karena ia bekerja seperti pernafasan normal. Namun, alat ini
digunakan terbatas karena keterbatasannya pada posisi dan gerakan seperti juga
rumah kura-kura (Hudak & Gallo, 2010)

b. Ventilator tekanan positif


1) Pressure-Cycled.
Ventilator pressure-cycled bekerja pada prinsip dasar bahwa bila
tekanan praset dicapai, inspirasi diakhiri (Hudak & Gallo, 2010;
Ignatavicius & Workman, 2006; Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever,
34

2008). Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekshalasi
terjadi dengan pasif. Ini berarti bahwa bila komplain atau tahanan
paru pasien terhadap perubahan aliran, volume udara yang diberikan
berubah (Hudak & Gallo, 2010).
Secara klinis saat paru pasien menjadi lebih kaku (kurang
komplain) volume udara yang diberikan ke pasien menurun-kadang
secara drastis (Hudak & Gallo, 2010). Volume udara atau oksigen
bisa bervariasi karena dipengaruhi resistensi jalan nafas dan
perubahan komplain paru, sehingga volume tidal yang dihantarkan
tidak konsisten (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Perawat
harus sering memonitor tekanan inspirasi, kecepatan, dan volume
tidal (VT) ekshalasi untuk meyakinkan ventilasi menit yang adekuat
dan untuk mendeteksi berbagai perubahan pada komplain dan
tahanan paru. Pada pasien yang status parunya tak stabil,
penggunaan ventilator tekanan tidak dianjurkan. Namun pada pasien
komplain parunya sangat stabil, ventilator tekanan adekuat dan
dapat digunakan sebagai alat penyapihan pada pasien terpilih
(Hudak & Gallo, 2010).

2) Time-Cycled
Ventilator time-cycled bekerja pada prinsip dasar bahwa bila
pada waktu praset selesai, inspirasi diakhiri (Hudak & Gallo, 2010;
Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008). Waktu ekspirasi ditentukan
oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah nafas per menit).
Normal rasio I:E (inspirasi:ekspirasi) 1:2 (Hudak & Gallo, 2010).
Kebanyakan ventilator memiliki suatu kontrol kecepatan yang
menentukan kecepatan respirasi, tetapi siklus waktu yang murni
jarang digunakan pada pasien dewasa. Ventilator tersebut digunakan
pada bayi baru lahir dan infant (Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever,
2008).
35

3) Volume-Cycled.
Ventilator volume yang paling sering digunakan pada unit
kritis saat ini (Hudak & Gallo, 2010; Smeltzer, Bare, Hinkle,
Cheever, 2008). Prinsip dasar ventilator ini adalah bila volume
udara yang ditujukan diberikan pada pasien, inspirasi diakhiri. Ini
mendorong volume sebelum penetapan (VT) ke paru pasien pada
kecepatan pengesetan. Keuntungan ventilator volume adalah
perubahan pada komplain paru pasien, memberikan VT konsisten
(Hudak & Gallo, 2010). Volume udara yang dihantarkan oleh
ventilator dari satu pernafasan ke pernafasan berikutnya relatif
konstan, sehingga pernafasan adekuat walaupun tekanan jalan nafas
bervariasi (Ignatavicius & Workman, 2006; Smeltzer, Bare, Hinkle,
Cheever, 2008).

a. Mode-mode Ventilasi Mekanik


1) Control mode ventilation
Ventilasi mode control menjamin bahwa pasien menerima
suatu antisipasi jumlah dan volume pernafasan setiap menit (Chulay &
Burns, 2006). Pada mode control, ventilator mengontrol pasien.
Pernafasan diberikan ke pasien pada frekuensi dan volume yang telah
ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk
mengawali inspirasi. Bila pasien sadar atau paralise, mode ini dapat
menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan (Hudak & Gallo,
2010). Biasanya pasien tersedasi berat dan/atau mengalami paralisis
dengan blocking agents neuromuskuler untuk mencapai tujuan (Chulay
& Burns, 2006). Indikasi untuk pemakaian ventilator meliputi pasien
dengan apnea, intoksikasi obat-obatan, trauma medula spinalis,
disfungsi susunan saraf pusat, flail chest, paralisa karena obat- obatan,
penyakit neuromuskular (Rab, 2007).
36

2) Assist Mode
Pada mode assist, hanya picuan pernafasan oleh pasien
diberikan pada VT yang telah diatur. Pada mode ini pasien harus
mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk
memicu pernafasan, udara tak diberikan (Hudak & Gallo, 2010).
Kesulitannya buruknya faktor pendukung “lack of back-up” bila pasien
menjadi apnea model ini kemudian dirubah menjadi assit/control, A/C
(Rab, 2007).

3) Model ACV (Assist Control Ventilation)


Assist control ventilation merupakan gabungan assist dan
control mode yang dapat mengontrol ventilasi, volume tidal dan
kecepatan. Bila pasien gagal untuk inspirasi maka ventilator akan
secara otomatik mengambil alih (control mode) dan mempreset kepada
volume tidal (Rab, 2007). Ini menjamin bahwa pasien tidak pernah
berhenti bernafas selama terpasang ventilator. Pada mode assist
control, semua pernafasan-apakah dipicu oleh pasien atau diberikan
pada frekuensi yang ditentukan-pada VT yang sama (Hudak & Gallo,
2010).
Assist control ventilation sering digunakan saat awal pasien
diintubasi (karena menit ventilasi yang diperlukan bisa ditentukan oleh
pasien), untuk dukungan ventilasi jangka pendek misalnya setelah
anastesi, dan sebagai dukungan ventilasi ketika dukungan ventilasi
tingkat tinggi diperlukan (Chulay & Burns, 2006). Secara klinis
banyak digunakan pada sindroma Guillain Barre, postcardiac, edema
pulmonari, Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan ansietas
(Rab, 2007).

4) Intermittent Mandatory Ventilation (IMV)


37

IMV dirancang untuk menyediakan bantuan ventilator tapi


hanya sebagian, merupakan kombinasi periode assist control dengan
periode ketika pasien bernafas spontan (Marino, 2007). Mode IMV
memungkinkan ventilasi mandatori intermiten. Seperti pada mode
kontrol frekuensi dan VT praset. Bila pasien mengharapkan untuk
bernafas diatas frekuensi ini, pasien dapat melakukannya. Namun tidak
seperti pada mode assist control, berapapun pernafasan dapat diambil
melalui sirkuit ventilator (Hudak & Gallo, 2010).

5) Pressure-Controlled Ventilation (PCV)


PCV menggunakan suatu tekanan konstan untuk
mengembangkan paru-paru. Mode ventilator ini kurang disukai karena
volume inflasi bisa bervariasi. Akan tetapi, ada ketertarikan kepada
PCV karena risiko injuri paru-paru yang disebabkan oleh pemasangan
ventilasi mekanik lebih rendah (Marino, 2006).

6) Pressure-Support Ventilation (PSV)


Pernafasan yang membantu tekanan yang memberikan
kesempatan kepada pasien untuk menentukan volume inflasi dan durasi
siklus respirasi dinamakan PSV. PSV bisa digunakan untuk menambah
volume inflasi selama pernafasan spontan atau untuk mengatasi
resistensi pernafasan melalui sirkuit ventilator. Belakangan ini PSV
digunakan untuk membatasi kerja pernafasan selama penyapihan dari
ventilasi mekanik (Marino, 2007).

7) Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)


Kolaps pada jalan nafas bagian distal pada akhir ekspirasi
sering terjadi pada pasien dengan ventilasi mekanik dan menimbulkan
ateletaksis ganguan pertukaran gas dan menambah berat kegagalan
pernafasan. Suatu tekanan posistif diberikan pada jalan nafas di akhir
38

ekspirasi untuk mengimbangi kecenderungan kolaps alveolar pada


akhir ekspirasi (Marino, 2007).
PEEP digunakan untuk mempertahankan alveolus tetap
terbuka. PEEP meningkatkan kapasitas residu fungsional dengan cara
melakukan reinflasi alveolus yang kolaps, mempertahankan alveolus
pada posisi terbuka, dan memperbaiki komplain paru (Morton &
Fontaine, 2009).

8) Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)


Pernafasan spontan dimana tekanan positif dipertahankan
sepanjang siklus respirasi dinamakan CPAP (Marino, 2007). CPAP
merupakan mode pernafasan spontan digunakan pada pasien untuk
meningkatkan kapasitas residu fungsional dan memperbaiki oksigenasi
dengan cara membuka alveolus yang kolaps pada akhir ekspirasi.
Mode ini juga digunakan untuk penyapihan ventilasi mekanik (Urden,
Stacy, Lough, 2010).

b.Pengaturan Pernafasan pada Pasien Terpasang Ventilasi Mekanik


Jumlah dan tekanan udara yang diberian kepada klien diatur oleh
ventilator (Smith-Temple & Johnson, 2011):
1) Volume tidal (VT): jumlah udara dalam mililiter dalam satu kali nafas,
yang diberikan selama inspirasi. Pengaturan awal adalah 7-10 ml/kg;
dapat ditingkatkan sampai15 ml/kg.
2) Frekuensi: jumlah nafas yang diberikan per menit. Pengaturan awal
biasanya10 kali dalam 1 menit tetapi akan bervariasi sesuai dengan
kondisi klien.
3) Fraksi oksigen terinspirasi oksigen (fraction of inspired oxygen, FiO2):
persentase oksigen dalam udara yang diberikan. Udara kamar memiliki
FiO2 21%. Pengaturan awal berdasarkan pada kondisi klien dan
biasanya dalam rentang 50% sampai 65%. Dapat diberikan sampai
39

100%, tetapi FiO2 lebih dari 50% dihubungkan dengan toksisitas


oksigen.
4) PEEP: tekanan positif yang konstan dalam alveolus yang membantu
alveoli tetap terbuka dan mencegahnya menguncup dan atelektasis.
Pengaturan PEEP awal biasanya adalah 5 cmH2O. Tetapi dapat juga
mencapai hingga 40 cmH2O untuk kondisi seperti sindrom gawat nafas
pada orang dewasa (ARDS). Setiap perubahan yang dilakukan pada
pengaturan ventilator harus dievaluasi setelah 20 sampai 30 menit
melalui analisis gas darah arteri, hasil pengukuran SaO2, atau hasil
pembacaan karbon dioksida tidal-akhir.

c. Komplikasi Ventilasi mekanik


Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik antara lain:
1) Komplikasi jalan nafas
Jalur mekanisme pertahanan normal, sering terhenti ketika
terpasang ventilator, penurunan mobilitas dan juga gangguan reflek
batuk dapat menyebabkan infeksi pada paru-paru (Smeltzer, Bare,
Hinkle, Cheever, 2008). Aspirasi dapat terjadi sebelum, selama, atau
setelah intubasi. Risiko aspirasi setelah intubasi dapat diminimalkan
dengan mengamankan selang, mempertahankan manset
mengembang, dan melakukan suksion oral dan selang kontinyu
secara adekuat (Hudak & Gallo, 2010).

2) Masalah selang endotrakeal


Bila selang diletakkan secara nasotrakeal, infeksi sinus berat
dapat terjadi. Kapanpun pasien mengeluh nyeri sinus atau telinga
atau terjadi demam dengan etiologi yang tak diketahui, sinus dan
telinga harus diperiksa untuk kemungkinan sumber infeksi (Hudak
& Gallo, 2010).
Beberapa derajat kerusakan trakeal disebabkan oleh intubasi
40

lama. Stenosis trakeal dan malasia dapat diminimalkan bila tekanan


manset diminimalkan. Sirkulasi arteri dihambat oleh tekanan manset
30 mmHg. Bila edema laring terjadi, maka ancaman kehidupan
pascaekstubasi dapat terjadi (Hudak & Gallo, 2010).

3) Masalah mekanis
Malfungsi ventilator adalah potensial masalah serius. Tiap 2
sampai 4 jam ventilator diperiksa oleh staf keperawatan atau
pernafasan. VT tidak adekuat disebabkan oleh kebocoran dalam
sirkuit atau manset, selang, atau ventilator terlepas, atau obstruksi
aliran. Selanjutnya disebabkan oleh terlipatnya selang, tahanan
sekresi, bronkospasme berat, spasme batuk, atau tergigitnya selang
endotrakeal (Hudak & Gallo, 2010).
4) Barotrauma
Ventilasi mekanik melibatkan „pemompaan” udara ke dalam
dada, menciptakan tekanan posistif selama inspirasi. Bila PEEP
ditambahkan, tekanan ditingkatkan dan dilanjutkan melalui
ekspirasi. Tekanan positif ini dapat menyebabkan robekan alveolus
atau emfisema. Udara kemudian masuk ke area pleural,
menimbulkan tekanan pneumothorak-situasi darurat. Pasien dapat
mengembangkan dispnea berat tiba-tiba dan keluhan nyeri pada
daerah yang sakit (Hudak & Gallo, 2010).
5) Penurunan curah jantung
Penurunan curah ditunjukkan oleh hipotensi bila pasien
pertama kali dihubungkan ke ventilator ditandai adanya kekurangan
tonus simpatis dan menurunnya aliran balik vena. Selain hipotensi,
tanda dan gejala lain meliputi gelisah yang dapat dijelaskan,
penurunan tingkat kesadaran, penurunan halauan urin, nadi perifer
lemah, pengisian kapiler lambat, pucat, lemah dan nyeri dada
(Hudak & Gallo, 2010).
41

6) Keseimbangan cairan positif


Penurunan aliran balik vena ke jantung dirangsang oleh
regangan reseptor vagal pada atrium kanan. Manfaat hipovolemia
ini merangsang pengeluaran hormon antidiuretik dari hipofisis
posterior. Penurunan curah jantung menimbulkan penurunan
haluaran urin melengkapi masalah dengan merangsang respon
aldosteron renin-angiotensin. Pasien yang bernafas secara mekanis,
hemodinamik tidak stabil, dan yang memellukan resusitasi cairan
dalam jumlah besar dapat mengalami edema luas, meliputi edema
sakral dan fasial (Hudak & Gallo, 2010).

7) Peningkatan IAP
Peningkatan PEEP bisa membatasi pengembangan rongga
abdomen ke atas. Perubahan tekanan pada kedua sisi diafragma bisa
menimbulkan gangguan dalam hubungan antara intraabdomen atas
dan bawah, tekanan intrathorak dan intravaskuler intraabdomen
(Valenza et al., 2007 dalam Jakob, Knuesel, Tenhunen, Pradl,
Takala, 2010). Hasil penelitian Morejon & Barbeito (2012),
didapatkan bahwa ventilasi mekanik diidentifikasi sebagai faktor
predisposisi independen untuk terjadinya IAH. Pasien-pasien
dengan penyakit kritis, yang terpasang ventilasi mekanik,
menunjukkan nilai IAP yang tinggi ketika dirawat dan harus
dimonitor terus-menerus khususnya jika pasien mendapatkan PEEP
walaupun mereka tidak memiliki faktor risiko lain yang jelas untuk
terjadinya IAH.
Setting optimal ventilasi mekanik dan pengaruhnya terhadap
fungsi respirasi dan hemodinamik pada pasien dengan acute
respiratory distress syndrome (ARDS) berhubungan dengan IAH
masih sangat jarang dikaji. Manajement ventilator yang optimal
pada pasien dengan ARDS dan IAH meliputi: monitor IAP, tekanan
42

esofagus, dan hemodinamik; setting ventilasi dengan tidal volume


yang protektif, dan PEEP diatur berdasarkan komplain yang terbaik
dari sistem respirasi atau paru-paru; sedasi dalam dengan atau tanpa
paralisis neuromuskular pada ARDS berat; melakukan open
abdomen secara selektif pada pasien dengan ACS berat (Pelosi &
Vargas, 2012).

d.Penyapihan Ventilasi Mekanik


Melepaskan ventilator ke pernafasan spontan (penyapihan)
sering menimbulkan kesulitan pada ICU yang disebabkan oleh karena
faktor fisiologis dan psikologis. Hal ini memerlukan kerja sama dari
pasien, perawat, ahli respirasi, dan dokter (Rab, 2007). Penyapihan
merupakan pengurangan secara bertahap penggunaan ventilasi
mekanik dan mengembalikan ke nafas spontan. Penyapihan dimulai
hanya setelah proses-proses dasar yang dibantu oleh ventilator sudah
terkoreksi dan kestabilan kondisi pasien sudah tercapai (Smeltzer,
Bare, Hinkle, Cheever, 2008).
Menyapih pasien dari ketergantungan pada ventilator terjadi
dalam tiga tahapan. Pasien disapih secara bertahap dari (1) ventilator,
(2) selang, dan (3) oksigen. Penyapihan dari ventilasi mekanik
dilakukan pada waktu sedini mungkin, konsisten dengan keselamatan
pasien. Penting artinya bahwa keputusan dibuat atas dasar fisiologi
ketimbang sudut pandang mekanis. Pemahaman yang menyeluruh
tentang status klinis pasien diperlukan dalam membuat keputusan ini
(Smeltzer, Bare, Hinkle, Cheever, 2008).
Management pasien yang menggunakan ventilasi mekanik
memerlukan kewaspadaan konstan terhadap tanda-tanda yang
mengindikasikan bahwa bantuan ventilator sudah tidak diperlukan.
Ketika pasien mulai menunjukkan bukti perbaikan klinis, bisa
digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang akan dilakukan
43

pelepasan bantuan ventilator. Secara umum, oksigenasi harus adekuat


ketika bernafas dengan jumlah oksigen yang dihirup berada pada
tingkat non-toksik, dan pasien harus memiliki hemodinamik yang
stabil dengan dukungan vasopressor yang minimal atau tanpa
dukungan vasopressor. Pasien harus sadar terhadap lingkungan
sekitarnya ketika tidak tersedasi dan harus bebas dari beberapa keadaan
yang reversibel (misal: sepsis atau elektrolit yang abnormal) (Marino,
2007).

D. Konsep Asuhan Keperawatan


1 Pengkajian

1. Identitas / data demografi


Berisi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, tempat tinggal sebagai gambaran
kondisi lingkungan dan keluarga, dan keterangan lain mengenai identitas pasien.
Pengkajian ini penting dilakukanuntuk mengetahui latar belakang status sosial
ekonomi, adat kebudayaan dan keyakinan, spiritual pasien, sehingga
mempermudah dalam berkomunikasidan menentukan tindakan keperawatan yang
sesuai.

2. Keluhan utama
Untuk mengkaji keluhan pasien dalam keadaan sadar baik, bisa dilakukan dengan
cara pasien diberi alat tulis untuk menyampaikan keluhannya. Keluhan pasien
yang perlu dikaji adalah rasa sesak nafas, nafas terasa berat, kelelahan dan
ketidaknyamanan.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Informasi mengenai latar belakang dan riwayat penyakit yang sekarang dapat
diperoleh melalui orang lain (keluarga, tim medis lain) karena kondisi pasien yang
dapat bentuan ventilasi mekanik tidak mungkin untuk memberikan data secara
44

detail. Pengkajian ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan penyebab atau


faktor pencetus terjadinya gagal nafas/ terpasangnya ventilasi mekanik.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem neurologi
Pengkajian meliputi tingkat kesadaran, adalah nyeri kepala, rasa ngantuk,
gelisah dan kekacauan mental.
b. Sistem kardiovaskuler
Penkajian kardiovaskuler dilakukan untuk mengetahui adanmya gangguan
hemodinamik yang diakibatkan setting ventilator (PEEP terlalu tinggi) atau
disebabkan karena hipoksia. Pengkajian meliputi tekanan darah, nadi, irama
jantung, perfusi, adakah sianosis dan banyak mengeluarkan keringat.

5. Sistem pernafasan
a. Setting ventilator meliputi:
1) CMV/IPPV (Controlled Respiration/Controlled Mandatory Ventilation/
Intermitten Positive Pressure Ventilation)
2) SIMV (Syncronized Intermitten Mandatory Ventilation)
3) ASB/PS (Assisted Spontaneus Breathing/Pressure Suport)
4) CPAP (Continous Possitive Air Presure)
b. FiO2: Persentase oksigen yang diberikan
c. PEEP: Positive End Expiratory Pressure
d. Frekuensi nafas
e. Gerakan nafas apakah sesuai dengan irama ventilator
f. Expansi dada kanan dan kiri apakah simetris atau tidak
g. Suara nafas: adalah ronkhi, whezing, penurunan suara nafas
h. Adakah gerakan cuping hidung dan penggunaan otot bantu tambahan
i. Sekret: jumlah, konsistensi, warna dan bau
j. Humidifier: kehangatan dan batas aqua
k. Tubing/circuit ventilator: adakah kebocoran tertekuk atau terlepas
45

l. Hasil analisa gas darah terakhir/saturasi oksigen


m. Hasil foto thorax terakhir.

6. Sistem urogenital
Urine output dan kualitasnya harus dipantau secara ketat. Produksi urin 0,5- 1
cc/KgBB/jam.
Adakah penurunan produksi urine (berkurangnya produksi urine menunjukkan
adanya gangguan perfusi ginjal)

7. Sistem gastroinstinal
Kaji keluhan nyeri abdomen, inspeksi permukaan abdomen, ada tidaknya penurunan
bising usus. Kaji keluhan hematemesis atau melena, mengindikasikan ada perdarahan
gastrointestinal akibat pemasangan ventilasi mekanik.

8. Status cairan dan nutrisi


Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status nutrisi dan
cairan akan memperberat keadaan. Seperti cairan yang berlebihan dan albumin
yang rendah akan memperberat oedema paru.

9. Sistem Integumen
Perhatikan kerusakan integritas kulit akibat pemasangan ETT seperti pemberian
plester, dan juga akibat imobilisasi. Observasi tanda-tanda dekubitus, pertahankan
kulit agar tetap bersih dan kering.

10. Status psycososial


Pasien yang dirawat di ICU dan dipasang ventilator sering mengalami depresi
mentallyang dimanifestasikan berupa kebingungan, gangguan orientasi, merasa
terisolasi, kecemasan dan ketakutan akan kematian.

2.Diagnosa Keperawatan
46

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi


sekret
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan, proses penyakit.
3. Penurunan Cardiac output berhubungan dengan proses penyakit penurunan
kontraktilitas jantung,tekanan positif dari ventilator dan pemberian PEEP.
4. Cemas berhubungan dengan penyakit kritis, takut terhadap kematian
5. Gangguan pemenuhan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang
endotracheal
6. Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan pemasangan
selang endotracheal
7. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan ventilasi mekanis, letak selang
endotracheal

3 Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
Keperawatan
1. Bersihan jalan NOC: Respiratory NIC: Airway Management Atur
nafas tidak status: Airway Patency posisi pasien untuk
efektif. Kriteria hasil (1 – 5): meningkatkan ekspansi paru
Frekuensi napas dalam (seperti semifowler)
rentang normal Lakukan fisioterapi dada jika
Irama pernapasan teratur diperlukan
Mampu mengeluarkan Ajarkan dan anjurkan untuk
sputum melakukan teknik nafas dalam
Suara nafas vesikular dan batuk efektif
 Auskultasi bunyi nafas, catat
NOC: Mechanical ventilasi yang turun atau hilang
Vetilation Weaning  Kolaborasi pemberian obat – obat
Response: Adult bronchodilator /mucolitik
47

Kriteria Hasil: Berikan nebulisasi jika


Status respirasi spontan diperlukan
(frekuensi napas, Anjurkan minum air hagat untuk
kedalaman mengobtimalkan balance cairan
pernapasan, irama) Monitor status respirasi dan
Nilai analisa gas darah Oksigenisasi
Tidal volume
Minute volume < 10 NIC: Airway suctioning Gunakan
L/mnt teknik universal
PEEP precaution sebelum melakukan
Hasil X-ray suction

Ventilasi perfusi Tentukan kebutuhan untuk


seimbang suction mulut dan/atau trakea.
Auskultasi nafas sebelum dan
sesudah pengisapan.
Jelaskan kepada pasien atau
keluarga mengenai tindakan
suction
Hiperoksigen dengan 100%
oksigen, menggunakan ventilator
atau ventilator manual.
Gunakan suction sistem tertutup
untuk pasien ventilator jika
memungkinkan
Gunakan peralatan yang steril
untuk setiap prosedur suction
trakea.
 Pilih kateter suction yang
diameternya 1,5 dari tuba
48

endotrakea, tuba trakeostomi, atau


jalan napas pasien.
Batasi waktu masing-masing
suction trakea selama kebutuhan
untuk mengeluarkan sekresi dan
perhatikan respon pasien terhadap
suction.
Berikan kesempatan bernafas dan
oksigen yang berlebih antara
sebelum dan dan sesudah akhir
suction.
Monitor status oksigen, tingkat
kesadaran, dan hemodinamik
sebelum, selama dan setelah
melakukan suction
Monitor dan catat warna, jumlah
dan kosistensi sekret/sputum
Lakukan pemeriksaan kultur
sputum jika diperlukan
2 Gangguan NOC: Respiratory status: NIC: Acid – Based Manegement
pertukaran gas Gas Exchange Pertahankan jalan nafas
Kriteria Hasil: Atur posisi pasien agar ventilasi
Nilai analisa gas darah adekuat
dalam batas normal Monitor akses IV
Hasil x – ray baik Monitor tren AGD untuk
Ventilasi dan perfusi mengidentifikasi
seimbang ketidakseimbangan yang terjadi
Periksanilai AGD dan plasma
darah secara teratur untuk
49

membuat rencana tindakan


selanjutnya dan mengevaluasi hasil
tindakan yang telah dilakukan
Monitor pola pernapasan
Monitor oksigen delivery ke
jaringan (PaO2, SaO2, Hb, CO)
Monitor adanys gejala gagal napas
(pO2 , pCO2, dan penggunaan otot
bantu pernafasan)
Monitor intake dan output
Monitor status heodinamik
(CVP, MAP, PAP, dan PCWP) jika
memungkinkan
Monitoring kehilangan acid
(muntah, residu NGT, diare,
dieresis)
Monitor kehilangan bicarbonate
(drainase fistula, diare)
Monitor status neurologis (LOS,
gelisah)
Atasi demam jika terjadi
NIC: Oxygent therapy
Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan intercosta
Persiapkan peralatan terapi
oksigen, sesuai indikasi
Monitor flow oksigen
50

Monitor posisi device oksigen


Monitor efektifitas oksigen terapi
Monitor kemampuan toleransi
pasien tanpa menggunakan oksigen
Monitor tanda – tanda toxisitas
Oksigen
3 Penurunan NOC: Cardiac pump NIC: Cardiac care
cardiac output effectiveness Monitor status fisik dan psikologis
Kriteria Hasil : pasien secara rutin
TDS dalam rentang Yakinkan setiap aktifitas tidak
normal memberatkan kerja jantung
TDD dalam rentang Dorong aktifitas saat keadaan
normal stabil (seperti latihan jalan atau
Nadi perifer teraba aktifitas ringan lainnya dengan
Haluaran urine 0,5 – 1 periode istirahat)
cc/KgBB/jam Evaluasi adanya nyeri dada
Balance antara intake dan (intensitas, lokasi, durasi, faktor
output yang menyebabkan dan
Toleransi aktifitas meringankan)
meningkat Monitor EKG
Bebas edema Monitor TTV secara rutin, catat
adanya variasi tekanan darah
Kaji sirkulasi perifer (cek
nadi,edema, CRT, warna dan suhu
kulit) secara rutin
Monitor status kardiovaskular
Monitor adanya disritmia
Catat tanda dan gejala dari
penurunan curah jantung
51

Monitor status pernafasan yang


merupakan tanda gagal jantung
Monitor abdomen untuk indikasi
penurunan perfusi (asites)
Monitor balanca cairan intake,
output, BB harian)
Monitor hasil laboratorium (enzim
jantung, elektrolit)
Monitor toleransi aktfitas
Monitor adanya dispnea, ortopnea,
takipnea
Ajarkan teknik relaksasi

NIC: Vital Sign Monitor


Ukur tekanan darah, denyut nadi,
suhu, dan status pernafasan, jika
diperlukan
Catat gejala dan turun naiknya
tekanan darah
Ukur tekanan darah ketika pasien
berbaring, duduk, dan berdiri,
jikadiperlukan
Auskultasi tekanan darah pada
kedua lengan dan
bandingkan,jikadiperlukan
Ukur tekanan darah, nadi, dan
pernafasan sebelum, selama, dan
setelah beraktivitas, jika diperlukan
52

4 Cemas NOC: Anxiety level NIC: Anxiety reduction


Kriteria Hasil : Dorong pasien unntuk
Mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaannya
mengungkapkan gejala Dengarkan dengan penuh perhatian
cemas Identifikasi tingkat kecemasan
Mengidentifikasi,mengun Bantu pasien mengenal situasi yang
gkapkan dan menimbulkan
menunjukkan tehnik kecemasan
untuk mengontol cemas Instruksikan pasien menggunakan
TTV dalam batas normal teknik relaksasi
Postur tubuh, ekspresi Lakukan back / neck rub
wajah, bahasa tubuh dan Berikan obat untuk mengurangi
tingkat aktivitas kecemasan, bila perlu
menunjukkan Kaji respon verbal dan nonverbal
berkurangnya kecemasan yang menunjukkan gejala ansietas
5 Gangguan Tujuan: gangguan
komunikasi komunikasi verbal dapat  Kaji kemampuan pasien dalam
verbal diatasi komunikasi non verbal
Kriteria hasil :  Buat cara komunikasi dengan
 Pasien mampu pasien yang sederhana seperti tetap
melakukan komunikasi kontak mata, ajukan pertanyaan
dua arah secara non dengan jawaban ya atau tidak,
verbal,bahasa tubuh gunakan bahasa tubuh seperti
menggeleng atau angguk kepala
 Berikan papan tulis atau kertas,
pulpen/spidol agar pasien mampu
menuliskan komunikasinya,
validasikan selalu pada pasien arti
tulisan yang ditangkap oleh
53

perawat
 Letakan bel pemanggil didekat
pasien atau dalam jangkauan
pasien
 Antisipasi kebutuhan pasien
6 Resiko tinggi NOC : Pengendalian NIC : Pengendalian infeksi,
terjadinya resiko proses infeksi meminimalkan penyebaran dan
infeksi Kriteria Hasil : penularan agen infeksius
1. Faktor resiko infeksi  Pantau tanda dan gejala infeksi (
akan hilang misal, suhu tubuh, denyut jantung,
2. Terbebas dari tanda dan drainase, sekresi, penampilan urin,
gejala infeksi suhu kulit, keletihan dan malaise.
3. Memperlihatkan hygiene  Kaji faktor yang dapat
personal yang adekuat meningkatkan kerentanan terhadap
4. Mengindikasikan status infeksi ( misal, usia lanjut,
gastrointestinal, malnutrisi)
pernapasan,  Pantau hasil laboratorium
genitoutinaria dalam ( misal leukosit, hitung jenis,
batas normal protein serum, albumin)
 Amati penampilan praktek hygiene
personal untuk perlindungan
terhadap infeksi
 Ajarkan pengunjung untuk
mencuci tangan sebelum dan
sesudah masuk ruangan.
Kolaboratif.
 Ikuti protokol instansi untuk
melaporkan hasil yang di curigai
atau kultur positif.
54

 Berikan terapi antibiotik bila


diperlukan.

7 Gangguan rasa NOC: Comfort status NIC: Environmental management:


nyaman Kriteria hasil: comfort
Tercapai kenyamanan Jelaskan mengenai kondisi
fisik, psikologi dan sosial lingkungan yang baru
Pasien mampu Berikan penjelasan kepada pasien
mengungkapkan dan keluarga jika dirawat di
kebutuhannya ruangan dengan beberapa tempat
NOC: Comfort Status: tidur
Environtment Tempatkan bel selalu pada posisi
Kriteria hasil: yang mudah dijangkau pasien
Ketersediaan peralatan Berikan pasien waktu istirahat
yang dibutuhkan pasien yang cukup, jangan membuat
Lingkungan nyaman kegiatan diwaktu istirahat pasien
untuk istirahat Ciptakan lingkungan yang nyaman
Lingkungan bersih Ciptakan lingkungan yang aman
Pencahayaan baik dan bersih
Tempat tidur nyaman Cari penyebab ketidaknyamaanan
(seperti: baju yang basah, posisi
selang – selang peralatan, seprei
yang tidak tegang, dll)
Atur suhu ruangan sesuai dengan
kenyamanan pasien, jika
memungkin kan
Hindari ekspose yang membuat
pasien merasa kepanasan atau
kedinginan
55

Atur pencahayaan sesuai dengan


aktifitas pasien
Jaga kebersihan pasien untuk
meningkatkan kenyamanan
Atur posisi untuk meningkatkan
kenyamanan

4 Implementasi
Melakukan tindakan perawatan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dengan melakukan prioritas masalah yang harus segera di tangani dan
merupakan tindakan mandiri perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
5 Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah asuhan keperawatan yang diberikan dapat
mengatasi masalah keperawatan yang terjadi pada pasien.
56

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN
1. Data Umum
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 80 tahun
Berat Badan : 70 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Alamat : Jl. Cabe IV I A 22 Pondok Cabe Ciputat Tangerang
Dx. Medis : ALO, Stemi Inferoposterior
Unit Rawat : ICU
Masuk RS : 29 September 2019
Tgl pengkajian: 30 September 2019

2. Riwayat Keperawatan
Klien datang ke IGD RSPP dengan keluhan sesak nafas berat 2 jam sebelum
masuk RS, Sesak di rasakan saat klien BAB di kamar mandi, sesak di sertai
keringat dingin Lemas dan muntah-muntah. Kemudian klien di bawa ke RS,
saat di IGD RSPP klien semakin sesak, klien diberi terapi NTG dosis awal 5
micro/menit dan pemberin lasik. dilakukan pemeriksaan EKG terdapat
gambaran ST elevasi di lead II, III, Avf dan di V7,V8,V9, pasien di
rencanakan untuk Primeri Percutaneus Coronari Intervensi (PPCI) tetapi
kondisi tidak stabil kemudian pasien dipindahkan ke Ruang ICU, pada saat di
ruang ICU kondisi klinis tidak stabil pasien semakin sesak dan desaturasi, dari
hasil laboratorium analisa gas darah di temukan asisdosis respiratorik ( PH
7.30, PO2 75 PCO2 52, HCO3 32 BE 5,3 ) kemudian pasien di lakukan
intubasi.
57

3. Alasan Di rawat di ruang ICU


Pasien dengan diagnosis Stemi inferoposterior onset 2 jam dengan Akut Lung
Odema

B. Pengkajian
1. Airway
Pasien terintubasi tanggal 30 september 2019, ETT ukuran 7,5 dengan batas
bibir 22 cm, produksi sputum banyak dengan karakteristik sekret kentaltidak
terdapat kebocoran pada selang ETT
2. Breating
Pasien terpasang ventilator dengan modus SIMV/PS 8 mmHg, dengan RR 10
X/mnt PEEP 5 Tidal Volume 420 cc, FiO2 80 % I:E rasio 1:2 , tidak terdapat
sianosis baik ferifer maupun sentral dengan kedalaman normal, suara nafas
ronchi di ½ lapangan paru.

Pada pemeriksaann radiologi di dapatkan CTR 55%, Vaskularisasi meningkat,


hilus suram, batas tidak jelas.
Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan data pada tanggal 30 september
2019 dengan PH 7,44 , PCO2 47, PO2 85 HCO3 32 BE 7,3

3. Sirkulasi
Bunyi jantung S1 dan S2 Normal, Gallop dan Murmur tidak di jumpai,
Tekanan darah 114/85 mmHg, MAP 89 mmHg, dengan frekuensi jantung 107
X/mnt. Tidak terdapat distensi vena jugularis.
Pulsasi nadi ulnaris dan dorsalis pedis teraba kuat, dengan CRT 1 detik, tidak
terdapat edema baik stremitas atas dan bawah
58

Hasil pemeriksaan EKG tanggal 29 september 2019


ST, HR 110 X/mnt AXis LAD, P Wave (N), PR interval 0,20, QRS duration
0,08” ST Elevasi di lead II,III,avf, V7,V8,V9 dan ST Depresi di Lead I, avL
V1, V2, V3, V4, V5

Hasil Lab tanggal 30 september 2019


CK 4735
CKMB 568
Tronin T 6434

4. Disabiliti
Kesadaran Compos Mentis dengan GCS 10 V ETT ( E ; 4 M : 6 V ETT),
pupil kanan dan kiri 2 mm, reflek cahaya posistif. Motorik kanan dan kiri
tidka ada klemahan.

Pengkajian resiko jatuh dengan skala morse 60


Riwayat jatuh : lansia pernah jatuh dalam 2 bulan terahir nilai 25
Diagnosa sekunder : lansia tidak memiliki lebih dari satu penyakit nilai 0
Bedres/dibantu oleh perawat nilai 0
Mendapat terapi intravena nilai 20
Lansia mengalami keterbatasan daya ingat nilai 15
Lansia mempunya resiko jatuh tinggi

Nonverbal Critical care pain observastion too, (CPOT)


Indikator Skor Deskripsi Keterangan
Ekspresi wajah 0 Tidak ada tegang otot/rilesk 2
1 Tegang/dahi berkerut
2 Menyeringai, menggigit ETT
Gerakan Tubuh 0 Tidak ada gerakan posisi normal 1
59

1 Lokalisasi nyeri
2 Gelisah, mencabut ETT
Terintubasi 0 Tolerans terhadap ventilator 1
/ekstubasi 1 Batuk masih toleran/menguap
atau bergumam
2 Melawan ventilator
Otot 0 Rileks 1
1 Tegang, kaku, resisten ringan
terhadap tahanan pasif Total 5
2 Sangat tegang atau kaku, sangat
resisten terhadap tahanan pasief
Pengkajian resiko dekubitus
Skala braden 13 : resiko tinggi

5. Eliminasi
Intake 959,5 cc dengan Urine 2210 CC ba,ance cairan -1250 cc
Dengan kebutuhan cairan aktual
Pasien terpasang kateter urin no 16 warna urin merah

Hasil laboratorium
Elektrolit tanggal 30 september 2019
Natrium 138 Ureum 41
Kalium 4,2 creatinin 0,8
Clorida 99
Calsium 8,6
Magnesium 1.8

Hasil lab tgl 6 september 2019


Hb 14,7 Cholesterol total 160 GDS 128
Ht 43 Triglisetda 106 SGOT 46
60

Leukosit 8.000 HDL66 SGPT 34


Trombosit 160.00 LDL 73 As Urat 8,3
Karaketistik feses kuning lembek, bising usus 10 x/mnt tidak ada hemoroid
tidak ada nyeri tekan di semua kuadran abdomen.dengan
Status Nutrisi
berat badan 70 Kg tinggi badan 178 cm IMT
diet MI 6 x 250 cc via NGT
Hasil pemeriksaan GDS 171

6. Terapi
Aspilet po 1 x 80
Atorvastatinn 1x20 mg po
Pantoprazole 40 mg 1x1 IV
Clopidogrel 75 1x1 tab
Ramipril 2,5 1x1 tab
Spironolactone 25 1x1 tab
Meropenem 1 gr 1x1 IV
Amikain 1 gr 1x1 IV
Lasix 5 mg/jam
NTG 20 mcg/kgbb/mnt
Vascon 0,05 mg/kgbb/mnt

A. DATA FOKUS
DATA SUBYEKTIF DATA OBYEKTIF
• Kesadaran Compos Mentis
• GCS 10 V Ett ( E 4 M 6 V ett)
• Tekanan darah 103/65 mmHG
HR 110 -117 x/mnt
• Nadi teraba cepat, tidak teratur
• Pengisian kapiler 2 detik
• Akral dingin
• Terpasang ETT no 7,5 dengan kedalaman
21 cm di mulut
61

• Terlihat secret jumlah banyak warna putih


kental
• Terpasang Ventilator dengan modus SIMW
Presure Support 8 mmHg, PEEP 5 dengan
tidal volume 420-450 cc, FiO2 80 % dengan
perbandingan I:E 1:2
• Saturasi oksigen 99% RR 15x/mnt
• Gambaran Foto torax : vaskularisasi
meningkat, hilus suram, batas tidak jelas
• Hasil laboratorium tanggal; 30-9-19
PH 7,44
PCO2 47
PO2 85
HCO3 32
BE +7,2
• Hasil pemeriksaan EKG tanggal 29
september 2019
ST, HR 110 X/mnt AXis LAD, P Wave (N),
PR interval 0,20, QRS duration 0,08” ST
Elevasi di lead II,III,avf, V7,V8,V9 dan ST
Depresi di Lead I, avL V1, V2, V3, V4, V5
• Hasil Lab tanggal 30 september 2019
CK 4735, CKMB 568, Tronin T 6434
• Pasien terlihat gelisah, terkadang meronta
• Pengkajian resiko dekubitus
Skala braden 13 : resiko tinggi
• Intake 959,5 cc dengan Urine 2210 CC
balance cairan -1250 cc
• Pasien terpasang kateter urin no 16 warna
urin merah
• Pengkajian resiko jatuh dengan skala
morse 60
• Hasil laboratorium
Elektrolit tanggal 30 september 2019
Natrium 138 Uriun 41
Kalium 4,2 creatinin 0,8
Clorida 99 Calsium 8,6 Magnesium 1.8
• Intake 959,5 cc dengan Urine 2210 CC
balance cairan -1250 cc
• Terpasang lasik drip 5 mg/jam
• Vascon 0,05 mic/kgbb/jam
62

B. Analisa Data
No Data Masalah Etiologi
1 DS : - Penurunan cardiac output Gangguan
DO : kontraktilitas
• Kesadaran Compos Mentis, jantung
GCS 10 V Ett ( E 4 M 6 V
ett)
• BP 103/65 mmHG HR 110 -
117 x/mnt
• Nadi teraba cepat, tidak
teratur , akral dingin
• Urine: 2210cc/24jam
• ECG : ST, HR 110 X/mnt
AXis LAD, P Wave (N), PR
interval 0,20, QRS duration
0,08” ST Elevasi di lead
II,III,avf, V7,V8,V9 dan ST
Depresi di Lead I, avL V1,
V2, V3, V4, V5
• Hasil Lab tanggal 30
september 2019:
CK 4735, CKMB 568 Tronin
T 6434
• EF 29 %
• Terapi : Vascon 0,005
mcg/kgbb/mnt

2 DS : - Ketidakefektifan Peningkatan
DO: kebersihan jalan nafas produksi
• Kesadaran Compos Mentis, mukus/sputum
GCS 10 V Ett ( E 4 M 6 V
ett)
• BP 103/65 mmHG HR 110 -
117 x/mnt RR 15 x/mnt
saturasi 99%
• Terpasang ETT no 7,5
dengan kedalaman 21 cm
di mulut
• Terlihat secret jumlah
banyak warna putih kental
• Gambaran Foto torax :
infiltrat kedua paru
• Terdengar suara nafas
ronchi di ½ lapangan
63

3 DS : Gangguan pertukaran gas Setting


DO : ventilator tidak
• Terpasang Ventilator tepat
dengan modus SIMV
Presure Support 8 mmHg,
PEEP 5 dengan tidal volume
420-450 cc, FiO2 80 %, I:E
ratio 1:2, Rate 10x/menit
• Saturasi oksigen 99%, RR
15x/mnt
• Gambaran Foto torax :
vaskularisasi meningkat,
hilus suram, batas tidak
jelas, kesan oedema paru
(+)
• Terdengar suara nafas
ronchi di ½ lapangan paru
• PH 7,44
• PCO2 47
• PO2 85
• HCO3 32
• BE +7,2

4 DO : Resiko disfungsi Hipersekresi


DS : penyapihan ventilator jalan nafas dan
• Terpasang Ventilator anxietas
dengan modus SIMV
Presure Support 8 mmHg,
PEEP 5 dengan tidal volume
420-450 cc, FiO2 80 %
dengan perbandingan I:E
1:2, Rate 10x/menit
• Saturasi oksigen 99% RR
15x/mnt
• Slem banyak kental,
• Pasien terlihat tidak
kooperatif, gelisah, pasien
belum menunjukan
ventilasi adekuat
64

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang di dapat :
1. Penurunan cardiac output berhubungan dengan gangguan kontraktilitas jantung
2. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan banyaknya mukus dan
adanya jalan nafas buatan (ETT)
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Difusi alveolar kapiler terganggu
4. Resiko disfungsi penyapihan ventilator berhubungan dengan Hipersekresi jalan
nafas dan anxietas

Anda mungkin juga menyukai