Anda di halaman 1dari 37

APLIKASI I KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

SISTEM KARDIOVASKULER

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SYOK HIPOVOLEMIK DENGAN


PENDEKATAN TEORI KENYAMANAN COLCABA DI RUANGAN BANGSAL
JANTUNG RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

Pembimbing Akademik : Ns. Dally Rahman, M. Kep, Sp. Kep.MB

Pembimbing Klinik : Ns. Hendria Putra, M.Kep, Sp. Kep.MB

Disusun Oleh

ZULAIKA HARISSYA
BP : 2021312006

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Syok Hipovolemik

1.1.1 Definisi
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung dan perfusi
sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat, sehingga menyebabkan hipoksia
jaringan. Istilah syok kardiogenik ini pertama sekali disampaikan oleh Stead (1942) dimana
saat itu dilaporkan 2 orang pasien yang disebutkan mengalami “syok yang diakibatkan oleh
jantung (shock of cardiac origin)”. Belakangan istilah ini kemudian berubah menjadi syok
kardiogenik.1
Gambaran yang esensial dari syok kardiogenik adalah adanya hipoperfusi sistemik
yang menyebabkan hipoksia jaringan dengan bukti volume intravaskular yang adekuat.
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah adanya hipotensi yang berkepanjangan
dengan batasan/cut-off points tekanan darah sistolik untuk syok kardiogenik adalah < 90
mmHg selama sekurangnya 30-60 menit atau mean arterial pressure < 30 mmHg dari
baseline dengan indeks kardiak yang berkurang (< 2,2 L/menit/m2) dan tekanan baji kapiler
paru (pulmonary capillary wedge pressure/PCWP) > 15 mmHg.1,2,3,4
Ada suatu keadaan yang merupakan kelanjutan dari kegagalan ventrikel kiri yakni
“syok kardiogenik non hipotensif”. Secara definisi pasien ini memiliki tanda-tanda klinis dari
hipoperfusi periferal seperti yang telah dijelaskan diatas namun dengan tekanan darah sistolik
> 90mmHg tanpa dukungan vasopresor. Hal ini sering terjadi pada kejadian infark miokard di
dinding anterior yang ekstensif. Mortalitas selama rawatan pada pasien seperti ini cukup
tinggi meskipun tidak setinggi yang terjadi pada syok kardiogenik bentuk klasik. Oleh karena
itu, diagnosis syok kardiogenik dapat ditegakkan pada pasien dengan tekanan darah
>90mmHg dengan ketentuan sebagai berikut (1) jika parameter hemodinamik merupakan
hasil dukungan dari medikasi dan/atau alat-alat pendukung. (2) adanya tanda-tanda
hipoperfusi sistemik dengan curah jantung yang rendah namun dengan tekanan darah yang
masih dapat dipertahankan dengan vasokonstriksi, serta (3) jika tekanan sistemik rata-rata
(MAP) < 30mmHg dari tekanan darah baseline pada kasus pasien dengan hipertensi. 1 80%
syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan ventrikel akibat infark miokard akut. Sedangkan
sisanya akibat regurgitasi mitral berat yang akut, ruptur septum ventrikular, gagal jantung
kanan predominan dan ruptur dinding atau tamponade.5
Pasien-pasien dengan syok kardiogenik biasanya datang dengan adanya tanda-tanda
hipoperfusi sistemik, termasuk perubahan status mental, kulit dingin, dan/atau oliguria.
Keberadaan ronchi basah basal (rales) yang merupakan penanda adanya edema paru, bisa ada
namun bisa juga tidak. Edema paru tidak ditemukan pada 30% pasien-pasien syok
kardiogenik melalui pemeriksaan auskultasi dan radiografi toraks. Pengukuran tekanan darah
dengan cara biasa sering tidak akurat pada keadaan syok, oleh karena itu penentuan tekanan
darah intra- arterial lebih tepat dimonitor dengan kanula intra-arterial.1
Pada keadaan syok, hipoperfusi yang terjadi pada miokardium dan jaringan perifer
akan mendorong terjadinya metabolisme anaerobik sehingga dapat menyebabkan asidosis
laktat. Keadaan hiperlaktatemia ini dapat dipertimbangkan sebagai petanda adanya
hipoperfusi dan dapat menjadi informasi tambahan terhadap hasil pemeriksaan klinis serta
pemeriksaan tekanan darah yang mungkin kurang meyakinkan bergantung dari status syok.
Akumulasi asam laktat dapat menyebabkan edema mitokondrial, degenerasi serta deplesi
glikogen. Hal ini dapat mengganggu fungsi miokardium dan menghambat glikolisis. Akhir
dari proses ini adalah kerusakan yang ireversibel pada miokard akibat iskemik. Nilai laktat
serum sangat penting sebagai suatu faktor prognostik pada syok kardiogenik. Pada suatu
analisa multivariat, nilai laktat >6,5 mmol/L pada pasien-pasien syok kardiogenik merupakan
suatu prediktor independen yang sangat kuat terhadap mortalitas selama masa rawatan di
rumah sakit [odds rasio (OR) 295, P < 0,01] meski setelah di sesuaikan dengan usia, jenis
kelamin, riwayat hipertensi, dan riwayat diabetes.1
Sejalan dengan parameter metabolik, data hemodinamik juga sangat bermanfaat untuk
diagnostik serta penilaian prognostik pada pasien syok kardiogenik. Ada beberapa perbedaan
dalam definisi syok kardiogenik pada beberapa uji klinik. Namun kebanyakan studi
mendefinisikan syok kardiogenik sebagai suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik <90
mmHg selama sekurangnya 30-60 menit dimana : (1) tidak respon dengan pemberian tunggal
terapi cairan; (2) akibat sekunder dari disfungsi jantung; (3) memiliki hubungan dengan
tanda- tanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,2 L/mnt/m 2 dan tekanan baji arteri
pulmonalis (PCWP) >15mmHg. Beberapa studi telah menggunakan metode invasif
untuk menilai hemodinamik sebagai kriteria diagnostik bagi syok kardiogenik serta
misalnya menurunnya secara drastis nilai curah jantung pada jantung kanan, serta
pemeriksaan indeks kardiak.
Pada pasien-pasien dengan dukungan agen inotropik/vasopresor atau alat bantu
sirkulasi, indeks kardiak 2,2-2,5 L/mnt/m2 dapat dipertimbangkan menjadi cut point.
Sedangkan pada pasien yang tidak mendapatkan dukungan agen inotropik/vasopresor atau
alat bantu sirkulasi, cut off pointnya 1,8-2,2 L/mnt/m2.1 Saat ini, dengan semakin luasnya
penggunaan echocardiography, maka penentuan fungsi jantung melalui kateterisasi jantung
kanan pada kasus syok kardiogenik semakin berkurang yakni hanya sebesar 20,2% menurut
analisa dari Euro Heart Survey ACS. Sedangkan evaluasi dengan echocardiography
dilakukan sebanyak 68%. Echocardiography dengan pencitraan dopler mampu secara
bedside menilai hemodinamik, fungsi jantung, keadaan katup-katup, serta komplikasi
mekanik sindrom koroner akut.1
Syok utamanya ditegakkan berdasarkan temuan klinis yang didukung oleh
pemeriksaan hemodinamik. Bukti klinis adanya penurunan curah jantung yang disertai
dengan hipoperfusi sistemik meskipun tekanan pengisiannya cukup mesti ditemukan untuk
mendiagnosa syok kardiogenik. Bila kateterasi jantung kanan dilakukan, nilai hemodinamik
harus menunjukkan adanya tekanan pengisian yang tinggi namun tekanan output yang
rendah. Jika kateterisasi jantung kanan tidak dilakukan, kombinasi pemeriksaan klinis,
radiografi toraks, serta echocardiography harus secara jelas menunjukkan adanya hipoperfusi
sistemik, curah jantung yang rendah, serta meningkatnya tekanan atrium kiri/arteri
pulmonalis dan atau tekanan atrium kanan. Jika data yang didapat masih meragukan untuk
menegakkan diagnosa, maka kateterisasi jantung kanan harus dilakukan.1
1.1.2 Insidensi dan Epidemiologi
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian paling sering pada pasien-pasien
yang dirawat dengan infark miokard. Tindakan revaskularisasi dini terbukti mampu
menurunkan kejadian syok kardiogenik pada kasus infark miokard akut. Tingkat kejadian
syok kardiogenik telah banyak berkurang belakangan ini, mulai dari 20% pada tahun 1960an,
hingga saat ini tinggal + 8% saja. Jenis infark miokard akut yang paling sering menyebabkan
syok kardiogenik adalah STEMI. Sekitar 80% kasus syok kardiogenik yang berkaitan dengan
infark miokard akut. 80% Syok kardiogenik yang terjadi akibat infark miokard disebabkan
oleh kegagalan ventrikel kiri. Sedangkan yang lainnya adalah mitral regurgitasi akut, rupture
septum ventrikular, gagal ventrikel kanan, serta tramponade jantung. Insidensi syok
kardiogenik lebih tinggi pada pria daripada wanita (3:2). Perbedaan ini disebabkan karena
semakin meningkatnya kejadian penyakit jantung koroner pada pria. Namun demikian
persentase kejadian syok kardiogenik yang mengikuti infark miokard lebih banyak pada
wanita dibanding pria. Umur rata-rata pasien dewasa yang mengalami syok kardiogenik
adalah 65-66 tahun. Ras yang paling tinggi persentasenya untuk kejadian syok kardiogenik
adalah ras hispanik (74%) sedangkan ras afrika amerika 65%, kulit putih 56%, sedangkan
Asia dan selebihnya 41%.3,4,6
Berdasarkan SHOCK register dan trial disebutkan bahwa : 74,5% syok kardiogenik
disebabkan oleh predominasi kegagalan ventrikel kiri; 8,36% akibat MR: 4,6% akibat ruptur
septum ventrikel; 3,4% masalah pada jantung kanan; 1,7% tamponde/ruptur jantung; 3,0%
penyebab lain 7
1.1.3 Etiologi
Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan yang terjadi pada
jantung seperti : disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi katup, aritmia, penyakit
jantung koroner, komplikasi mekanik. Karena besarnya angka kejadian ACS, maka ACS
pun menjadi etiologi terhadap syok kardiogenik yang paling dominan pada orang dewasa.
Selain itu, banyak pula kasus syok kardiogenik yang terjadi akibat medikasi yang diberikan,
contohnya pemberian penyekat beta dan penghambat ACE yang tidak tepat dan tidak
terpantau pada kasus ACS. Pada anak-anak penyebab tersering adalah miokarditis oleh
karena infeksi virus, kelainan congenital dan konsumsi bahan-bahan yang toksik terhadap
jantung.1,3
Secara fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2 yakni
kegagalan Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan. Penyebab-penyebab kegagalan jantung
kiri antara lain:
(1) disfungsi sistolik yakni, berkurangnya kontraktilitas miokardium. Penyebab yang
paling sering adalah infark miokard akut khususnya infark anterior. Penyebab
lainnya adalah hipoksemia global, penyakit katup, obat-obat yang menekan
miokard (penyekat beta, penghambat gerbang kalsium, serta obat-obat anti
aritmia), kontusio miokard, asidosis respiratorius, kelainan metabolic (asidosis
metabolic, hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis severe, kardiomiopati
end-stage, bypass kardiopulmonari yang terlalu lama pada operasi pintas
jantung, obat-obatan yang bersifat kardiotoksin (mis. Doxorubicin, adriamycin).
(2) Disfungsi diastolik. Hal ini dapat terjadi akibat meningkatnya kekakuan ruang
ventrikel kiri. Selain itu dapat pula terjadi pada tahap lanjut syok hipovolemik
dan syok septik. Hal-hal yang dapat menyebabkannya antara lain: iskemik,
hipertrofi ventrikel, kardiomiopati restriktif, syok hipovolemik dan syok septik
yang berlama-lama, kompresi eksternal akibat tamponade jantung
(3) Peningkatan afterload yang terlalu besar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan
stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, koarktasio aorta, hipertensi maligna.
(4) Abnormalitas katup dan struktur jantung. Hal ini dapat terjadi pada keadaan
mitral stenosis, endokarditis, regurgitasi mitral dan aorta, obstruksi yang
disebabkan oleh atrial myxoma atau thrombus, ruptur ataupun disfungsi otot-otot
papilaris, ruptur septum dan tamponade.
(5) Menurunnya kontraktilitas jantung. Hal ini terjadi pada keadaan, infark ventrikel
kanan, iskemia, hipoksia dan asidosis.
Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa antara lain:
(1) Peningkatan afterload yang terlalu besar misalnya, emboli paru, penyakit
pembuluh darah paru (hipertensi arteri pulmonalis dan penyakit oklusif vena),
vasokonstriksi pulmonal hipoksik, tekanan puncak akhir ekspirasi, fibrosis
pulmonaris, kelainan pernafasan saat tidur, PPOK.
(2) Artimia. Ventrikel takiaritmia sering berkaitan dengan syok kardiogenik.
Sementara bradiaritmia dapat menyebabkan atau memperburuk syok yang
disebabkan oleh etiologi lain. Sinus takikardia dan takiaritmia atrial dapat
menyebabkan hipoperfusi dan memperburuk syok.1,3
Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark miokard akut
atau non-infark miokard seperti berikut ini :
1) Infark miokard akut
1) Kegagalan pompa jantung
a) Infark luas, > 40% ventrikel kiri
b) Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau riwayat
infark sebelumnya
c) Infark yang meluas
d) Reinfark
2) Komplikasi mekanik
a) Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau korda
tendinea
b) Defek septum ventrikel yang disebabkan oleh ruptum septum
intraventrikular
c) Ruptur dinding ventrikel kiri
d) Tamponade perikard
e) Infark ventrikel kanan
3) Kondisi lain
a) Kardiomiopati tahap akhir (end stage)
b) Miokarditis
c) Syok septik dengan depresi miokard berat
d) Obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
e) Stenosis aorta
f) Kardiomiopati obstruktif hipertrofik
4) Obstruksi jalan masuk (pengisian) ventrikel kiri
a) Stenosis mitral
b) Myxoma atrium kiri
5) Regurgitasi mitral akut (ruptur korda)
a) Insufisiensi katup aorta akut
b) Kontusio miokardial
c) Bypass kardiopulmonari yang berkepanjangan2
Menentukan etiologi syok kardiogenik merupakan suatu tantangan yang
tidak mudah. Anamnese dan pemeriksaan klinis dapat memberikan informasi
penting dalam menentukan etiologi syok kardiogenik. Misalnya, jika keluhan
utama pasien yang masuk adalah nyeri dada, maka hal yang dapat diperkirakan
adalah adanya infark miokard akut, miokarditis, atau tamponade perikard.
Selanjutnya, jika ditemukan murmur pada pemeriksaan fisik, maka dapat
dipikirkan kemungkinan adanya ruptur septum ventrikel, ruptur otot-otot
papillaris, penyakit akut katup mitral atau aorta. Adanya murmur pada syok
kardiogenik merupakan suatu indikasi untuk segera dilakukan pemeriksaan
echocardiography.1,3
1.1.4 Patofisiologi

Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari keseluruhan system sirkulasi
baik yang besifat temporer maupun permanen. Kegagalan ventrikel kiri atau ventrikel kanan
(akibat disfungsi miokardium) memompakan darah dalam jumlah yang adekuat merupakan
penyebab primer syok kardiogenik pada infark miokard akut (gambar 1). Akibatnya adalah
hipotensi, hipoperfusi jaringan, serta kongesti paru atau kongesti vena sistemik. Kegagalan
ventrikel kiri merupakan bentuk yang paling sering dari syok kardiogenik, namun bagian
lain dari sistem sirkulasi juga ikut bertanggung jawab terhadap gagalnya mekanisme
kompensasi. Kebanyakan abnormalitas ini sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-pasien
yang selamat, fungsi jantung mungkin masih dapat dipertahankan.8.9

Hipotensi sistemik, merupakan tanda yang terjadi pada hampir semua syok
kardiogenik. Hipotensi terjadi akibat menurunnya volume sekuncup/stroke volume serta
menurunnya indeks kardiak. Turunnya tekanan darah dapat dikompensasi oleh peningkatan
resistensi perifer yang diperantarai oleh pelepasan vasopresor endogen seperti norepinefrin
dan angiotensin II. Namun demikian gabungan dari rendahnya curah jantung dan
meningkatnya tahanan perifer dapat menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan.
Sehubungan dengan itu, berkurangnya perfusi pada arteri koroner dapat menyebabkan suatu
lingkaran setan iskemik, perburukan disfungsi miokardium, dan disertai dengan
progresivitas hipoperfusi organ serta kematian. Hipotensi dan peningkatan tahanan perifer
yang disertai dengan peningkatan PCWP terjadi jika disfungsi ventrikel kiri merupakan
kelainan jantung primernya. Meningkatnya tekanan pengisian ventrikel kanan terjadi jika
syok akibat kegagalan pada ventrikel kanan, misalnya pada gagal infark luas ventrikel
kanan. Namun pada kenyataannya sebuah penelitian SHOCK trial menunjukkan pada
beberapa pasien post MI, syok malahan disertai oleh vasodilatasi. Hal ini mungkin terjadi
sebagai akibat adanya respon inflamasi sistemik seperti yang terjadi pada sepsis. Respon
inflamasi akut pada infark miokard berkaitan dengan peningkatan konsentrasi sitokin.
Aktivasi sitokin menyebabkan induksi nitrit oksida (NO) sintase dan meningkatkan kadar
NO sehingga menyebabkan vasodilatasi yang tidak tepat dan berkurangnya perfusi koroner
dan sistemik. Sekuens ini mirip dengan yang terjadi pada syok septik yang juga ditandai
dengan adanya vasodilatasi sistemik.2,8

Gambar 1. Patofisiologi Syok Kardiogenik. Gambaran Spiral syok, dimulai dari disfungsi ventrikel kiri dan
berakhir dengan kematian melalui kondisi iskemik dan disfungsi ventrikel kiri yang semakin progresif jika
tidak diberikan intervensi pengobatan. Alur spiral syok mendapat pengaruh negatif oleh (1) disfungsi sitolik
dengan berkurangnya curah jantung dan volume sekuncup sehingga menyebabkan terganggunya perfusi
perifer dan hipotensi. (2) disfungi diastolic sehingga menyebabkan hipoksemia dan kongesti paru, (3)
munculnya sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang didorong oleh nitrit oksida sintase endotel dan
nitrit oksida sintase yang terinduksi (eNOS dan iNOS), interleukin-6 (IL-6), TNF-α, sehingga menyebabkan
berkurangnya tahanan perifer. Piihan terapi seperti PCI. CABG, LVADs, inotropik/vasopresor bertujuan
untuk membalikkan alur spiral syok diperlihatkan dengan garis warna hijau. Penghentian pengobatan akibat
komplikasi perdarahan serta peran SIRS diperlihatkan pada garis merah. 2
1.1.5 Prognosis dan Komplikasi
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian tersering pada infark miokard akut.
Tanpa penanganan yang agresif dan ahli yang berpengalaman, mortalitas syok kardiogenik
mencapai 70-90%. Kunci untuk mencapai prognosis yang baik adalah, diagnose yang cepat,
terapi suportif sesegera mungkin, serta revaskularisasi arteri koroner secara tepat pada pasien
yang mengalami iskemik dan infark miokard. Mortalitas pasien-pasien yang dirawat inap
secara keseluruhan mencapai 57%. Pasien dengan usia >75 tahun, mortalitas 64,1%.
Mortalitas syok kardiogenik yang disebabkan STEMI dan NSTEMI adalah sama. Infark yang
melibatkan ventrikel kanan memiliki prognosis yang lebih buruk. Prognosis pasien-pasien
yang berhasil selamatt dari syok kardiogenik belum diteliti dengan baik namun mungkin
lebih baik jika penyebab yang mendasarinya berhasil dikoreksi dengan tepat. 3 Namun
penelitian terbaru menunjukkan mortalitas syok kardiogenik di era modern saat ini ≈ 50%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosisnya antara lain: usia, tanda-tanda klinis
hipoperfusi perifer, kerusakan organ anoksik, LVEF, serta kemamuan pompa jantung.
Mortalitas jangka pendek dipengaruhi oleh data hemodinamik pasien sedangkan angka
keselamatan jangka panjang dapat dilihat pada tabel 1.9
Tabel 1. Angka harapan hidup pada uji klinis SHOCK

Komplikasi kardiogenik syok antara lain: kardiopulmonari arrest, disritmia, gagal


ginjal, gagal organ multipel, aneurisma ventricular, tromboembolik, stroke, kematian.
Prediktor mortalitas dapat diidentifikasi berdasarkan trial GUSTO-I yakni : usia, riwayat
infark miokard sebelumnya, perubahan kesadaran, kulit yang basah dan dingin serta
oliguria. Temuan echocardiogram sepert fraksi ejeksi ventrikular kiri, regurgitasi mitral,
merupakan predictor independen terhadap mortalitas. EF < 28% memilki persentase
keselamatan 24% dalam 1 tahun, sedangkan EF > 28% persentase keselamatannya dalam
setahun mencapai 56%. Regurgitasi mitral sedang-berat memiliki persentase keselamatan
dalam 1 tahun sebesar 31% sedangkan tanpa regurgitasi mitral, persentase keselamatannya
mencapai 58%. Dalam SHOCK trial, mortalitas syok kardiogenik sangat menurun dengan
tindakan revaskularisasi yang cepat dibandingkan dengan yang tidak ( 38% vs 70%).
Follow up jangkap panjang terhadap pasien syok kardiogenik yang menjalani
revaskularisasi dini (ERV) dibandingkan dengan stabilisasi kondisi medis (IMS) dapat
dilihat pada gambar 2.3

Gambar 2. Follow up jangka panjang studi cohort SHOCK. ERV (early revascularization) memberikan
keuntungan dibandingkan IMS (initial medical stabilization)3
1.1.6 Manifestasi Klinis
Syok kardiogenik merupakan kasus kegawatdaruratan. Penilaian klinis yang lengkap
sangat penting untuk mendapatkan penyebabnya dan menetapkan sasaran terapi untuk
mengatasi penyebabnya. Syok kardiogenik yang muncul akibat infark miokard biasanya
muncul setelah pasien masuk ke rumah sakit, namun demikian, sebagian kecil pasien datang
ke rumah sakit sudah dalam keadaan syok. Pada pasien terlihat tanda-tanda hipoperfusi
(curah jantung yang rendah) yang terlihat dari adanya sinus takikardia, volume urine yang
sedikit, serta ekstremitas dingin. Hipotensi sistemik ( TDS < 90 mmHg atau turunnnya TD <
30 mmHg dari TD rata-rata) belakangan akan muncul dan meyebabkan hipoperfusi
jaringan.3,10
Kebanyakan pasien yang datang dengan infark miokard akut merasakan nyeri dada
yang muncul tiba-tiba seperti diperas atau ditimpa beban berat di substernal. Nyeri ini dapat
menyebar hingga ke lengan kiri atau leher. Nyeri dada bisa saja tidak khas, terutama jika
lokasinya hanya di epigastrium, leher atau lengan. Kualitas nyerinya bisa seperti terbakar,
seperti ditusuk-tusuk atau seperti ditikam. Bahkan nyeri bisa saja tidak dirasakan pada
pasien-pasien diabetes dan usia tua. Gejala-gejala autonomik lain bisa juga muncul seperti
mual, muntah, serta berkeringat. Riwayat penyakit jantung sebelumnya, riwayat penggunaan
kokain, riwayat infark miokard sebelumnya, atau riwayat pembedahan jantung sebelumnya
perlu ditanyakan. Faktor resiko penyakit jantung perlu dinilai pada pasien yang disangkakan
mengalami iskemik miokardial. Evaluasinya antara lain mencakup riwayat hiperlipidemia,
hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi, riwayat merokok, serta riwayat keluarga yang
mengalami penyakit jantung koroner premature. Keberadaan 2 atau lebih faktor resiko
meningkatkan kecenderungan suatu infark miokard. Gejala-gejala lain yang berkaitan antara
lain : diaphoresis, sesak nafas saat beraktifitas, sesak nafas saat beristrahat. Presinkop,
sinkop, palpitasi, ansietas generalisata serta depresi.3,11
Syok kardiogenik didiagnosa jika ditemukan adanya disfungsi miokardium setelah
mengeksklusikan penyebab lain yang mungkin misalnya hipovolemia, perdarahan, sepsis,
emboli paru, tamponade perikard, diseksi aorta atau penyakit katup jantung. Dikatakan syok
jika terdapat bukti adanya hipoperfusi organ yang dapat dideteksi pada pemeriksaan fisik.
Adapun karakteristik pasien-pasien syok kardiogenik antara lain :
1) Kulit berwarna keabu-abuan atau bisa juga sianosis. Suhu kulit dingin dan bisa
muncul gambaran mottled skin pada ekstremitas.
2) Nadi cepat dan halus/lemah serta dapat juga disertai dengan irama yang tidak
teratur jika terdapat aritmia
3) Distensi vena jugularis dan ronkhi basah di paru biasanya ada namun tidak
harus selalu. Edema perifer juga biasanya bisa dijumpai.
4) Suara jantung terdengar agak jauh, bunyi jantung III dan IV bisa terdengar

5) Tekanan nadi lemah dan pasien biasanya dalam keadaan takikardia

6) Tampak pada pasien tanda-tanda hipoperfusi misalnya perubahan status mental


dan penurunan jumlah urine
7) Murmur sistolik biasanya terdengar pada pasien dengan regurgitasi mitral,
murmur biasanya terdengar di awal sistol
8) Dijumpainya thrill parasternal menandakan adanya defek septum ventrikel.3,11
Diagnosa diferensial yang mungkin dipikirkan pada kasus syok kardiogenik
antara lain3
a) Sepsis bakterial
b) Syok septik
c) Syok distributif
d) Syok hemoragik
e) Infark miokard
f) Iskemik miokard
g) Ruptur miokard
h) Miokarditis
i) Edema paru kardiogenik
j) Emboli paru

1.1.7 Pemeriksaan Laboratorium

Seperti telah disampaikan sebelumnya, kunci keberhasilan penatalaksanaan pasien


syok kardiogenik adalah diagnosis yang cepat, terapi suportif sesegera mungkin, serta
revaskularisasi arteri koroner yang tepat pada kasus iskemik dan infark miokard. Seluruh
pasien yang datang dengan syok harus dijajaki untuk tujuan diagnosis kerja dengan cepat,
resusitasi segera dan konfirmasi selanjutnya terhadap diagnosa kerja. Selain pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan pencitraan seperti echocardiography, toraks foto, angiografi,
elektrokardiografi serta monitoring hemodinamik invasif.3
Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap terutama berguna
untuk mengeksklusikan anemia. Peningkatan jumlah leukosit hitung menandakan
kemungkinan adanya infeksi, sedangkan jumlah platelet yang rendah mungkin disebabkan
oleh koagulopati yang disebabkan oleh sepsis. Pemeriksaan biokimia darah termasuk
elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, bilirubin, aspartate aminotransferase (AST), alanine
aminotransferase (ALT), laktat dehidrogenase (LDH), dapat dilakukan untuk menilai fungsi
organ-organ vital. Pemeriksaan enzim jantung perlu dilakukan termasuk kreatinin kinase
dan subklasnya, troponin, myoglobin, dan LDH untuk mendiagnosa infark miokard.
Kreatinin kinase merupakan pemeriksaan yang paling spesifik namun dapat menjadi positif
palsu pada keadaan myopathy, hipotroidisme, gagal ginjal, serta injuri pada otot rangka.
Nilai myoglobin merupakan pemeriksaan yang sensitif pada infark miokard, nilainya dapat
meningkat 4 kali lipat dalam 2 jam. Nilai LDH dapat meningkat pada 10 jam pertama
setelah onset infark miokard dan mencapai kadar puncak pada 24-48 jam, selanjutnya
kembali ke kadar normal dalam 6-8 hari. Troponin T dan I banyak digunakan dalam
mendiagnosa infark miokard. Jika kadar troponin meningkat namun tidak dijumpai adanya
bukti klinis iskemik jantung, maka harus segera dicari kemungkinan lain dari kerusakan
jantung misalnya miokarditis.
Kadar troponin T meningkat dalam beberapa jam setelah onset infark miokard.
Kadar puncak dicapai dalam 14 jam setelah onset, mencapai kadar puncak kembali pada
beberapa hari setelah onset (kadar puncak bifasik) dan tetap akan menunjukkan nilai
abnormal dalam 10 hari. Hal ini menyebabkan kombinasi troponin T dan CK-MB menjadi
parameter diagnostik retrospektif yang amat bermanfaat bagi pasien yang datangnya
terlambat dari onset penyakit. Troponin T juga merupakan suatu indikator prognostik
independen sehingga dapat digunakan sebagai stratifikator resiko pada pasien angina tidak
stabil dan infark miokard gelombang non-Q.
Pemeriksaan analisa gas darah dapat melihat homeostasis asam basa secara
keseluruhan serta tingkat oksigenasi darah di arteri. Peningkatan defisit basa di darah
berhubungan dengan keparahan syok dan sebagai marker dalam pemantauan selama
resusitasi terhadap pasien syok. Pemeriksaan laktat serial bermanfaat sebagai marker
hipoperfusi dan indikator dari prognosis. Meningkatnya kadar laktat pada pasien dengan
adanya gejala hipoperfusi menunjukkan prognosis yang buruk. Meningkatnya kadar laktat
selama proses resusitasi menunjukkan mortalitas yang sangat tinggi. Kadar brain natriuretic
peptide (BNP) berguna sebagai pertanda adanya gagal jantung kongestif dan merupakan
suatu indikator prognostik yang independen. Nilai BNP yang rendah dapat menyingkirkan
syok kardiogenik pada keadaan hipotensi. Namun demikian, nilai BNP yang meningkat
tidak serta merta dikatakan syok kardiogenik. Pemeriksaan saturasi oksigen juga bermanfaat
khusunya dapat mendeteksi defek septum ventrikel.3

1.1.8 Pemeriksaan Pencitraan

Echocardiography : harus dilakukan secepatnya untuk menetapkan penyebab syok


kardiogenik. Echocardiography mampu memberikan informasi tentang fungsi sistolik global
dan regional serta disfungsi diastolik. Selain itu, pemeriksaan ini juga dapat mendiagnosa
dengan cepat penyebab mekanik syok seperti defek septum ventrikel akut, ruptur dinding
miokardium, tamponade perikard, serta ruptur muskulus papilaris yang menyebabkan
regurgitasi miokardial akut. Selain itu, dapat pula ditentukan area yang mengalami
diskinetik atau akinetik pada pergerakan dinding ventrikular atau dapat juga
memperlihatkan disfungsi katup-katup. Fraksi ejeksi juga dapat dinilai pada
echocardiography. Jika ditemukan hiperdinamik pada ventrikel kiri, maka penyebab lain
harus ditelusuri seperti syok sepsis atau anemia.3,5
Radiografi toraks : sangat penting dilakukan untuk mengeksklusikan penyebab lain
syok atau nyeri dada. Mediastinum yang melebar mungkin adalah suatu diseksi aorta.
Tension pneumothorax atau pneumomediastinum yang mudah ditemukan pada foto toraks
dapat bermanifestasi syok dengan low-output. Gambaran radiologis pasien syok kardiogenik
kebanyakan memperlihatkan gambaran kegagalan ventrikel kiri berupa redistribusi
pembuluh darah peulmonal, edema paru interstisial, bayangan hilus melebar, dijumpai garis
kerley-B, kardiomegali serta effusi pleura bilateral. Edema alveolar tampak pada foto toraks
berupa opasitas perihilar bilateral (butterfly distribution).3
Ultrasonografi : dapat menjadi panduan dalam manajemen cairan. Pada pasien yang
bernafas spontan, vena kava inferior yang kolaps saat respirasi menandakan adanya
dehidrasi. Sedangkan jika tidak maka status cairan intravaskular adalah euvolume.3
Angiografi arteri koroner : perlu dilakukan segera pada pasien dengan iskemik atau
infark miokard yang mengalami syok kardiogenik. Angiografi penting untuk menilai
anatomi arteri koroner dan tindakan revaskularisasi segera jika diperlukan. Pada kasus
dimana ditemukan kelainan yang luas pada angiografi, maka respon kompensasi berupa
hiperkinetik tidak dapat berlangsung akibat beratnya aterosklerosis arteri koroner. Penyebab
tersering syok kardiogenik adalah infark miokard yang luas atau infark yang lebih kecil
pada pasien yang sebelumnya telah mengalami dekompensasi ventrikel kiri.3
Elektrokardiografi: Iskemik miokard akut didiagnosa berdasarkan munculnya elevasi
segmen ST, depresi segmen ST, gelombang Q. Inversi gelombang T, meskipun paling tidak
sensitif, dapat pula terlihat pada orang-orang dengan iskemik miokard. EKG pada dada
kanan dapat memperlihatkan adanya infark pada ventrikular kanan selain sebagai diagnostik
juga dapat berguna sebagai faktor prognostik. Hasil EKG yang normal tidak menyingkirkan
kemungkinan infark miokard akut.3,11
1.1.9 Monitoring Hemodinamik Secara Invasif
Monitoring hemodinamik secara invasif (kateterisasi Swan-Ganz) sangat bermanfaat
untuk mengeksklusi penyebab dan jenis syok. Pemeriksaan hemodinamik pada syok
kardiogenik adalah PCWP lebih dari 18 mmHg dan indeks kardiak < 2,2 L/mnt/m 2.
Meningkatnya tekanan pengisian jantung kanan tanpa adanya peningkatan PCWP,
menandakan infark pada ventrikel kanan jika disertai dengan kriteria dari EKG.
Meningkatnya saturasi darah pada ventrikel dan atrium kanan merupakan diagnostik suatu
ruptur septum ventrikel.3,5
1.1.10 Penatalaksanaan
Syok kardiogenik merupakan suatu kegawatdaruratan yang memerlukan tindakan
resusitasi sesegera mungkin sebelum syok menjadi ireversibel dan merusak organ-organ
vital. Kunci keberhasilan penatalaksanaan syok kardiogenik adalah pendekatan yang
terorganisir untuk mendapatkan diagnosis secara tepat dan cepat serta terapi farmakologik
sesegera mungkin untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung. Seluruh pasien
syok kardiogenik harus dirawat di ruang perawatan intensif.3
Hipoperfusi sistemik berat yang terjadi dapat menyebabkan hipoksemia dan asidosis
laktat yang dapat lebih jauh lagi memperberat miokardium baik secara langsung maupun
sebagai akibat dari berkurangnya respon sistemik terhadap vaspresor seperti dopamin dan
norepinefrin. Oleh karena itu, jika memungkinkan koreksi terhadap kondisi metabolik
seperti yang disebutkan diatas sangatlah penting.2
1.1.11 Penanganan Suportif (Resusitasi dan Ventilasi)

Manajemen awal berupa resusitasi cairan bila dijumpai hipovolemia dan hipotensi,
kecuali dijumpai adanya edema paru. Pemasangan jalur vena sentral dan arteri, katetrisasi
Swan-Ganz, serta pulse oksimeter perlu dilakukan. 3 Oksigenasi dan proteksi jalan nafas
merupakan hal yang penting di awal penanganan khususnya pada kondisi hipoksemia
(SpO2 <90% atau PaO2 < 60 mmHg), oksigen dapat diberikan mulai dari 40-60%
selanjutnya dapat dititrasi sampai SpO2 > 90%. Jika diperlukan, intubasi jalan nafas dan
ventilasi mekanik dapat dilakukan. Selain itu monitoring tekanan darah juga harus
dilakukan.3
Hipovolemia dapat terjadi pada kasus syok kardiogenik misalnya dengan riwayat
penggunaan diuretik atau jika ada muntah. Pemberian terapi pengganti cairan harus
dipantau dengan pemeriksaan PCWP, saturasi oksigen arteri (SaO 2), tekanan arteri
sistemik, serta curah jantung. Pemberian challenge volume intravaskular yakni saline
isotonik sebanyak sekurangnya 250 mL dalam 10 menit dapat dilakukan sebelum tindakan
kateterisasi pada jantung kanan jika tidak ada bukti bendungan paru pada pemeriksaan fisik
maupun rontgen torak serta pasien tidak dalam keadaan distres pernafasan.3
Pada beberapa kondisi dukungan cairan yang lebih besar kadang-kadang diperlukan
misalnya pada syok kardiogenik akibat infark ventrikular kanan, dimana tekanan pengisian
yang tinggi diperlukan untuk memaksimalkan aliran ke ventrikel kiri. Infark pada ventrikel
kanan dapat disangkakan jika dijumpai gambaran infark inferior, lapangan paru bersih
pada pemeriksaan auskultasi serta syok. Pemberian cairan dalam jumlah banyak
diindikasikan dalam kasus ini sepanjang tidak dijumpai peningkatan tekanan vena
jugularis/sentral.
Pasien yang datang dengan overload cairan dan edema paru kardiogenik tanpa
adanya hipotensi dapat diterapi dengan diuretik, morfin, suplemen oksigenm serta
vasodilator.
1.1.12 Manajemen Hemodinamik

Kateterisasi arteri pulmonalis (Swan-Ganz) saat ini tidak begitu sering dilakukan
karena adanya kontroversi dimana disebutkan dalam suatu studi prospektif observasional
bahwa kateterisasi arteri pulmonalis dapat memperburuk hasil pengobatan. Saat ini
penilaian klinis lebih banyak dilakukan dengan echocardiography. Melalui modalitas ini,
tekanan sistolik arteri pulmonalis dan tekanan baji dapat dihitung secara akurat dengan
echocardiography dopler.9
Dukungan farmakologi (inotropik dan vasopresor) harus digunakan dengan dosis
sekecil mungkin yang memberi efek terapeutik. Semakin tinggi dosis vasopresor, makan
semakin kecil angka keselamatannya. Hal ini disebabkan pada kenyataan bahwa keadaan
penyakit yang mendasarinya sudah sedemikian berat serta efek toksik obat itu sendiri.
Pemberian inotropik
merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan syok kardiogenik. Namun sayangnya
dengan pemberian inotropik, konsumsi ATP miokardium juga meningkat, sehingga
perbaikan hemodinamik yang membaik dalam sesaat harus dibayar dengan peningkatan
kebutuhan oksigen jantung dimana pada saat yang sama jantung sendiri sudah mengalami
kegagalan ditambah lagi ketersediaan kebutuhan sudah terbatas. Namun demikian
inotropik dan vasopresor saat ini tetap dibutuhkan untuk mempertahankan perfusi koroner
dan sistemik sambil menunggu pemasangan IABP (Intra-aortic balloon pump) atau sampai
syok berhasil ditangani. Data yang membandingkan efektifitas penggunaan beberapa agen
vasopresor masih sedikit. Dopamine, norepinefrin dan epinefrin merupakan vaskonstriktor
yang dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan membantu
memperbaiki tekanan perfusi pada hipotensi yang mengancam jiwa. Target tekanan arteri
rata-rata (MAP) yakni 60-65 mmHg.3,9
Pada Pasien dengan status perfusi jaringan tidak adekuat dan volume intravaskular
yang adekuat, inisiasi permberian obat inotropik dan atau vasopresor dapat mulai
diberikan. Yang termasuk obat vasopresor adalah dopamin, norepinefrin, epinefrin dan
levosimendan Dosis reguler dopamine adalah 5-10 mcg/kg/min namun dapat ditingkatkan
hingga 20 mcg/kg/min. Dosis norepinefrin adalah 8-12 mcg/min dapat ditingkatkan dan
dalam keadaan sepsis dapat ditingkatkan hingga 3,3 mcg/kg/min. obat-obat inotropik
antara lain : dobutamin dan fosfodiesterasi inhibitor (PDIs). Dosis dobutamin adalah 2,5-
10 mcg/kg/min. Dalam keadaan hipotensi ringan (TDS > 70-100 mmHg tanpa klinis syok),
Dobutamin dapat digunakan, namun dalam kondisi hipotensi berat dengan klinis syok yang
nyata, pilihan yang terbaik adalah dopamin (TDS 70-100 mmHg dengan klinis syok) dan
norepinefrin (TD < 70 mmHg).3,5
1.1.13 Terapi Farmakologi lain
Pemberian terapi antitrombotik yakni aspirin dan heparin harus diberikan
sebagaimana yang telah direkomendasikan pada infark miokard. Clopidogrel dapat ditunda
setelah tindakan angiografi emergensi sebab, bisa saja setelah dilakukan angiografi, pasien
selanjutnya diputuskan akan segera menjalani bedah pintas jantung / CABG (coronary
artery bypass grafting). Clopidogrel dianjurkan bagi semua pasien yang menjalani PCI
(pada pasien infark miokard yang dalam keadaan syok ataupun tidak). Pemberian inotropik
negatif dan vasodilator (termasuk nitrogliserin) harus dihindari. Oksigenasi arteri dan pH
darah harus dipertahankan dalam batas normal untuk meminimalisasi iskemia. Pemberian
insulin dapat meningkatkan angka keselamatan pada pasien kritis yang mengalami
hiperglikemia. Pemberian ventilasi mekanik perlu dipertimbangkan baik melalui sungkup
ataupun pipa endotrakeal. Hal ini bermanfaat untuk menurunkan preload dan afterload serta
mengurangi kerja pernafasan.3

1.1.14 Terapi Mekanikal : IABP (Intra-aortic balloon pump)

Intra-aortic ballon pump merupakan terapi mekanik yang sudah sejak lama
digunakan pada syok kardiogenik. IABP dapat memperbaiki perfusi koroner dan perifer
melalui deflasi balon pada saat sistole dan inflasi balon saat diastol sehingga afterload
menjadi sangat berkurang dan aliran ke koroner menjadi semakin baik. Namun tidak semua
pasien dapat memberikan respon hemodinamik terhadap pemasangan IABP, hal ini
selanjutnya menjadi salah satu faktor prognostik. IABP semestinya dilakuan secepatnya
bahkan jika ada operator yang terlatih dan prosedur memungkinkan untuk dilakukan
secepatnya, maka IABP dapat dilakukan sebelum pasien dikirim untuk tidakan
revaskularisasi. Komplikasi dari tindakan ini semakin jarang sejalan dengan dengan
kemajuan zaman yakni sebesar 7,2% untuk komplikasi secara keseluruhan dan 2,8%9
1.1.15 Reperfusi

Reperfusi koroner dapat dilakukan dengan fibrinolisis, PCI (percutaneous coronary


intervention), atai CABG (coronary artery grafting baypass). Semakin cepat reperfusi
dilakukan, maka hasil yang didapat semakin baik. Keuntungan tindakan revaskularisasi dini
pada syok kardiogenik jelas terlihat pada beberapa studi observasional terutama pada
SHOCK trial yakni sebesar peningkatan angka keselamatan pada 1 tahun pertama sebesar
13% pada pasien syok kardiogenik yang menjalani reperfusi dini. ACC/AHA
merekomendasikan dalam guideline agar revaskularisasi dilakukan pada pasien syok
kardiogenik dengan usia <75 tahun. Terapi trombolitik kurang efektif dibanding PCI namun
dapat diindikasikan jika transport pasien menuju sarana PCI tidak memungkinkan ataupun
membutuhkan waktu yang lama dan jika onset infark miokard dan syok kardiogenik terjadi
dalam rentang waktu kurang dari atau sama dengan 3 jam. Waktu yang terbaik untuk PCI
dini adalah 0-6 jam sejak onset. CABG diindikasikan pada pasien dengan oklusi pada arteri
left main atau sembatan terjadi pada 3 pembuluh darah. Stenting dan pemberian obat
golongan glikoprotein IIb/IIIa inhibitor memperlihatkan peningkatan akan keberhasilan
pada beberapa studi. Algoritma rencana revaskularisasi pada syok kardiogenik dapat dilihat
pada gambar 3.2,9,12
Gambar 3. Algoritma rencana revaskularisasi pada syok kardiogenik dari ACC/AHA guidelines ; IRA :
infark related artery. (circulation)

1.1.16 Bantuan Sirkulasi Total

Bantuan sirkulasi total mencakup pemasangan LVADs (Left ventricular assist


devices) dan ECLS (Extra corporeal life support). Prinsip kerja kedua alat ini adalah
mengalirkan darah keluar dari ventrikel kiri dan memompakannya ke sistemik sehingga
memungkinkan jantung untuk istrahat, memulihkan miokard, memperbaiki kondisi
neurohormonal, mencegah hipotensi, iskemik dan disfungsi miokard. Namun pada
prakteknya, aplikasi dari alat ini sangat terbatas karena komplikasi yang disebabkan oleh
alat itu sendiri serta adanya kerusakan organ yang ireversibel.9
1.2 Konsep Teori Keperawatan Colcaba
1.2.1 Konsep Teori Kenyamanan Colcaba
Teori kenyamanan Kolcaba pertama kali dikembangkan pada 1991 ketika dia
melakukan analisis konsep untuk memeriksa literatur dari banyak disiplin pada kenyamanan
(Kolcaba & Kolcaba, 1991) Kenyamanan adalah hasil holistik karena merujuk pada keadaan
orang yang dinamis dan beragam. Berfikir tentang hasil intervensi kenyamanan
membutuhkan perspektif yang dimaksukkan untuk meningkatkan aspek-aspek kenyamanan
secara tidak langsung. Sejauh mana kenyamanan holistik didasarkan pada persepsi semua
aspek yang diambil bersama pada satu waktu, karena memiliki efek carry-on dalam satu
aspek lainnya. Aspek kenyamana telah disusun dalam dua dimensi (Kolcaba, 1992).
Menurut Kolcaba dan DiMarco (2015) hal tesebut dapat digambarkan dalam kerangka
konseptual sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Konseptual pada Teori Kenyamanan

Aspek tersebut berasal dari review keperawatan kuno, historis, dan kontenporer sastra

serta tinjauan literatur dari disiplin ilmu (kedokteran, psikiatri, ergonomi, psikologi) (Kolcaba

1991, Kolcaba 1992).

Berdasarkan literatur tersebut dicontohkan bahwa kenyamanan bersifat positif dan


diperoleh dengan adanya bantuan perawat dan pada beberapa kasus, hal tersebut sebagai
indikasi adanya kemajuan dari status atau kondisi sebelumnya. Secara intuisi, kenyamanan
adalah suatu yang menguatkan, dan dari ergonomis, berkaitan langsung dengan penampilan
dalam bekerja. Namun, arti ini tidak secara implisit, ada konteks lainnya, dan masih bersifat
ambigu. Konsep tersebut dapat diartikan sebagai kata kerja, kata benda, kata sifat, kata
keterangan, proses, dan hasil (alligood, Marta R, 2017).
Kolcaba menggunakan idenya dari tiga teori keperawatan sebelumnya untuk
mensitesis atau mengidentifikasi jenis kenyamanan menurut analisis konsep, antara lain :
a. Relief (kelegaan) merupakan arti kenyamanan hasil penelitian Orlando (1961),
yang mengemukakan bahwa perawat meringankan kebutuhan yang diperlukan
oleh pasien.
b. Ease (ketentraman) merupakan arti kenyamanan hasil penelitian Handerson
(1966), yang mendeskripsikan ada 13 fungsi dasar manusia yang harus
dipertahankan selama pemberian asuhan.
c. Transcendence, dijabarkan dari hasil penelitian Paterson dan Zderad (1975), yang
menjelaskan bahwa perawat yang membantu pasien dalam mengatasi
kesulitannya. (Alligood, Marta R, 2017)
Karena masing-masing dari ketiga tingkatan kenyamanan itu memerlukan hubungan
positif dengan kinerja, secara teoritis mereka juga menyiratkan komponen penguatan. Fitur
dari kenyamanan memberikan alasan utama untuk mempromosikan kenyamanan pasien.
Kenyaman ini sangat penting untuk sebuah kematian yang damai karena orang yang sekarat
membutukhan kekuatan untuk penerimaan dan pelepasan. Kondisi kenyamanan sering kali
berkelanjutan, tumpang tindih dan saling tergantung.
Dimensi kedua kenyamanan adalah konteks dalam kenyamanan yang terjadi. Konteks
diturunkan dari keperawatan literatur tentang holisme (Kolcaba, 1992). Kolcaba memandang
bahwa kenyamanan dapat diukur melalui, Pertama konteks fisik, berkaitan dengan sensasi
tubuh. Konteks yang kedua adalah psikospiritual, berkaitan dengan kesadaran internal diri,
termasuk harga diri, seksualitas, dalam kehidupan seseorang, dan hubungan ke tingkat yang
lebih tinggi. Konteks ketiga adalah sosial, berkaitan dengan hubungan interpersonal, keluarga
dan budaya. Juga termasuk daam kenyamanan sosial adalah keuangan dan aspek informasi
kehidupan sosial. Konteks keempat dalam kenyamanan yang dialami adalah lingkungan,
berkaitan dengan cahaya, kebisingan, suasana, warna, dan suhu (Kolcaba, 1991).
Kusioner kenyamanan dapat dihasilkan dari setiap aspek yang relevan dengan
pertanyaan penelitian tertentu. Tiga tingkatan kenyamanan dan empat konteks perawatan bisa
dimasukkan ke dalam model perawatan rumah sakit (Kolcaba, Tilton, & Drouin, 2006). Teori
Kolcaba ini tentunya dapat diterapkan untuk spesifik kasus pasien untuk menggambarkan
berbagai kebutuhan kenyamanan pasien.
Dalam studi instrumen yang diikuti, tiga tingkatan kenyamanan (relief, ease, dan
transendensi) terjadi sebagai faktor dimasing-masing dari empat konteks (fisik, psikospiritual,
limgkungan, dan sosial), sebagaimana diungkapkan oleh analisis faktor yang mengisi
kuesione kenyamanan (Kolcaba, 1992). Keempat konteks tesebut dianggap sebagai pengukur
kenyamanan seseorang, masing-masing berisi item dari tiga tipe atau faktor-faktor. Skor
kenyamanan dicapai dengan menambahkan skor untuk setiap subskala. Skor total
kenyamanan adalah berguna untuk membedakan antara kelompok yang diketahui dan untuk
pengujian hipotesis (Kolcaba, 1992).
1. Komponen utama teori comfort Kolcaba

Terdapat 7 komponen dalam konsep utama teori comfort yang disampaikan Kolcaba

sebagai berikut:

a. Health care needs

Kolcaba mendefinisikan kebutuhan pelayanan kesehatan sebagai suatu kebutuhan

akan kenyamanan, yang dihasilkan dari situasi pelayanan kesehatan yang stress,

yang tidak dapat dipenuhi oleh penerima support sistem tradisional. Kebutuhan

ini meliputi kebutuhan fisik, psikospiritual, sosial dan lingkungan, yang

kesemuanya membutuhkan monitoring, laporan verbal maupun non verbal, serta

kebutuhan yang berhubungan dengan parameter patofisiologis, membutuhkan

edukasi dan dukungan serta kebutuhan akan konseling financial dan intervensi.

b. Comfort

Comfort merupakan sebuah konsep yang mempunyai hubungan yang kuat dalam

keperawatan. Comfort diartikan sebagai suatu keadaan yang dialami oleh

penerima yang dapat didefinisikan sebagai suatu pengalaman immediate yang

menjadi sebuah kekuatan melalui kebutuhan akan keringanan (relief), ketenangan

(ease), and kemampuan lebih (transcedence) yang dapat terpenuhi dalam empat

konteks pengalaman yang meliputi aspek fisik, psikospiritual, sosiokultural dan

lingkungan.
Kolcaba (2003) kemudian menderivasi konteks diatas menjadi beberapa hal

berikut:

1) Kebutuhan rasa nyaman fisik (Physical comfort)

Kebutuhan ak:an rasa nyaman fisik adalah penurunan mekanisme fisiologis

yang terganggu atau beresiko karena suatu penyakit atau prosedur invasif

yang berkenaan dengan sensasi tubuh. Intervensi comfort yang standar

digunak:an untuk memperoleh atau mempertahankan homeostasis.

2) Kebutuhan rasa nyaman psikospiritual (Psychospiritual comfort)

Kebutuhan rasa nyaman psikospiritual adalah kebutuhan terhadap kepercayaan

diri, motivasi dan kepercayaan yang bertujuan agar pasien atau keluarga dapat

bangkit atau meninggal dengan damai melalui prosedur yang menyakitkan

atau trauma yang tidak dapat sembuh dengan segera.

3) Kebutuhan rasa nyaman sosiokultural (Socialcultural comfort)

Kebutuhan rasa nyaman sosiokultural adalah kebutuhan penentraman hati,

dukungan, bahasa tubuh yang positif dan perawatan yang dilihat dari segi

budaya. Kebutuhan ini dipenuhi melalui coaching atau pemberian informasi

(pendidikan kesehatan), promosi kesehatan, pelatihan, termasuk perilaku

dapat melakukan, pesan kesejahteraan mendapatkan informasi sesuai dengan

perkembangan yang berhubungan dengan prosedur pulang dari rumah sakit

dan rehabilitasi.

4) Kebutuhan rasa nyaman lingkungan (environmental comfort)

Kebutuhan rasa nyaman lingkungan termasuk kerapian, lingkungan yang sepi,

perabotan yang nyaman, bau lingkungan minimum dan keamanan seperti

dalam tatanan pediatrik. Juga termasuk perhatian dan saran terhadap adaptasi
lingkungan di kamar rumah sakit dan rumah pasien. Perawat seharusnya

melakukan upaya menurunkan kebisingan, penerangan dan gangguan pada

saat tidur untuk memfasilitasi promosi kesehatan lingkungan.

c. Comfort measures

Comfort measures mengacu pada tiga comfort berikut, yaitu : Comfort care

adalah filosofi perawatan kesehatan yang berdasarkan fisik, psikosipiritual,

sosiokultural dan lingkungan yang nyaman bagi klien. Comfort care mempunyai

3 komponen, yaitu intervensi yang sesuai dan tepat waktu, model perawatan yang

perhatian dan empati, berfokus pada kenyamanan pasien. Comfort measures itu

sendiri adalah intervensi yang sengaja dirancang untuk meningkatkan

kenyamanan klien atau keluarga. Tindakan kenyamanan diartikan sebagai suatu

intervensi keperawatan yang didesain untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan

yang spesifik dibutuhkan oleh penerima jasa, seperti fisiologis, sosial, financial,

psikologis, spiritual, lingkungan dan intervensi fisik. Comfort needs adalah

kebutuhan akan rasa nyaman relief ease dan transcendence dalam kontek

pengalaman manusia secara fisik, psikospiritual, sosisokultural dan lingkungan.

d. Enhanced Comfort

Enhanced comfort yaitu meningkatkan kenyamanan yang terus menerus dengan

melakukan intervensi kenyamanan secara konsisten dan terus menerus, sampai

klien akan mencapai kesehatan yang diinginkan dalam mencari kesembuhan

(HSBs ). Ini dilakukan dengan cara melakukan asuhan keperawatan secara

menyeluruh dengan tindakan yang independent dan dependen sesuai dengan

kewenangan perawat. Proses yang dilakukan pada tahap ini sesuai dengan asuhan

keperawatan yaitu dengan melakukan tindakan dan dievaluasi secara terus-

menerus dengan SOAP dan SOAPIER sampai klien mengalami kesembuhan


sesuai dengan tujuan perawatan (outcomes comfort). Sebuah outcome yang

langsung diharapkan pada pelayanan keperawatan, mengacu pada teori comfort

ini.

e. Intervening variables

Intervening variables adalah faktor positif ataupun negatif yang sedikit sekali

dapat dikontrol oleh perawat atau institusi tetapi berpengaruh langsung

kesuksesan rencana intervensi kenyamanan. Variabel ini meliputi pengalaman

masa lalu, usia, sikap, status emosional, support system, prognosis, financial, dan

kebiasaan/pola kesehatan.

f. Health seeking behavior (HSBs)

HSBs adalah perilaku pasien atau keluarga yang terlibat secara sadar atau tidak

sadar, menggerakkan mereka ke arah kesejahteraan. HSBs ini merupakan sebuah

kategori yang luas dari outcome berikutnya yang berhubungan dengan pencarian

kesehatan yang didefinisikan oleh resipien saat konsultasi dengan perawat. HSBs

ini dapat berasal dari eksternal (aktivitas yang terkait dengan kesehatan), internal

(penyembuhan/pengembalian fungsi imun atau kematian yang damai).

g. Institusional integrity

Institusional integrity adalah kondisi sarana perawatan kesehatan yang

menyeluruh, jujur, professional dan beretika. Integritas institusional dianggap

sebagai nilai-nilai etik, stabilitas finansial, dan keseluruhan dari organisasi

pelayanan kesehatan pada area lokal, regional, dan nasional. Pada sistem rumah

sakit, definisi institusi diartikan sebagai pelayanan kesehatan umum atau home

care.
2. Hubungan antar konsep dalam teori comfort Kolcaba

Hubungan antar konsep Kolcaba dapat diterapkan dalam proses keperawatan dengan

diawali dari kemampuan perawat dalam mengkaji kebutuhan rasa nyaman terkait pengalaman

fisik, psikospiritual, sosiokultural, lingkungan klien dan anggota keluarga. Perawat dapat

mengidentifikasi kebutuhan kenyamanan tersebut khususnya kebutuhan yang tidak dapat

dipenuhi oleh support system eksternal.

Perawat menyusun rencana keperawatan untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan,

merancang intervensi dan menentukan keberhasilannya dengan memperhatikan intervening

variables. Perawat melakukan intervensi yang dianggap efektif dengan perilaku yang caring,

sehingga hasil yang dicapai terlihat sebagai peningkatan rasa nyaman atau disebut comfort

measures. Sedangkan comfort care akan mengkaitkan semua komponen tersebut. Pasien dan

perawat sepakat tentang health seeking behaviour yang diinginkan, bila kenyamanan tercapai,

pasien dan anggota keluarga terikat oleh HSBs dan akan lebih puas dengan pelayanan

kesehatan. Bila perawat dan klien puas terhadap institusi pelayanan, masyarakat akan

mengetahui kontribusi institusi tersebut terhadap program kesehatan pemerintah. Institusi jadi

lebih terpandang dan berkembang (Kolcaba, 2003; Sitzman & Eichelberger, 2011).

3. Kolcaba mengembangkan teori kenyamanan melalui tiga jenis pemikiran logis yaitu:

a. Induksi

Induksi terjadi setelah terjadi proses generalisasi dari pengamatan terhadap objek

yang spesifik (Bishop & Hardin, 2006). Ketika perawat mendalami tentang

praktek keperawatan dan keperawatan sebagai disiplin, perawat

menjadi familiar dengan konsep implisit atau eksplisit, term, proposisi,dan

asumsi yang mendukung praktik keperawatan. Pada akhir 1980, Kolcaba

menjabat sebagai kepala unit Alzheimer. Pada saat itu beliau menemukan istilah
yang digunakan untuk mendeskripsikan praktek pada perawatan demensia

seperti: lingkungan yang mendukung, ketidakmampuan yang berlebih (excess

disability), dan fungsi optimal. Ketika beliau mencoba menggambarkan

hubungan antara ketiga istilah tersebut, beliau menyadari bahwa ketiganya tidak

dapat menggambarkan praktik secara menyeluruh. Menurut beliau, ada bagian

yang kurang lengakap dalam keperawatan, yaitu bagaimana perawat mencegah

disabilitas dan penilaian apakah intervensi yang diberikan berhasil. Fungsi

optimal diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan aktivitas, misalnya

menata meja, menyiapkan makanan dan lain-lain. Akan tetapi, istilah

ketidakmampuan berlebih tidak mampu mendefinisikan clarity secara

menyeluruh. Oleh karena itu, Kolcaba (1) menggolongkan excess

disability menjadi disabilitas fisik dan mental, (2) mengenalkan

konsep comfort (3) menjelaskan hubungan non-recursive antara comfort  dan

fungsi optimal. Proses ini menandai langkah awal dari teori comfort Kolcaba dan

pemikiran tentang kompleksitas terhadap teori tersebut (Kolcaba, 1992).

b. Deduksi

Deduksi merupakan proses penyimpulan prinsip atau premis yang bersifat

general menjadi kesimpulan yang lebih spesifik (Bishop & Hardin, 2006).

Tahapan deduktif dari perkembangan teori menghasilkan

hubungancomfort dengan konsep lain untuk menghasilkan sebuah teori. Pendapat

dari ketiga theorist disertakan dalam teori comfort, oleh karena itu Kolcaba

mencari bentuk dasar yang dibutuhkan untuk menyatukan ketiga konsep

dasar: relief,ease, dan  transcendence. 

Sesuatu hal yang diinginkan adalah suatu kerangka konsep general yang mampu

menjelaskan comfort menjadi istilah yang lebih mudah dipahami dan mengurangi


tingkat abstraksinya (Tomey & Alligood, 2010).

Teori dari seorang psikolog bernama Henry Murray, dianggap sesuai untuk

mendukung teori comfort Kolcaba. Teori Murray menjelaskan tentanghuman

needs, yang diaplikasikan pada pasien yang mendapatkan banyak stimulus dalam

kondisi pemberian pelayanan kesehatan yang penuh denganstressor. Teori

Murray menginspirasi pendapat Kolcaba bahwa meskipun comfort diaplikasikan

secara spesifik, akan tetapi ketika comfort diberikan kepada pasien secara terus-

menerus maka kenyamanan pasien secara keseluruhan dapat ditingkatkan (Tomey

& Alligood, 2010).

Dalam tahap deduktif ini, Kolcaba memulai dengan abstrak, teori konstruksi

umum, dan proses sosiologis dari pengurangan untuk mengurangi keabstrakan

dari teori comfort dalam praktek keperawatan.

c. Retroduksi

Retroduksi adalah suatu format pemikiran untuk memulai ide. Bermanfaat untuk

memilih suatu fenomena yang dapat dikembangkan lebih lanjut dan diuji.

Kolcaba menambahkan konsep integritas institusional dalm middle range theory.

Kolcaba menambahkan line empat dalam teori Murray, antara lain kekuatan

penghambat membutuhkan perawatan kesehatan, kukatan fasilitas adalah

intervensi keperawatan, kekuatan interaksi merupakan variabel-variabel yang

mempengaruhi intervensi keperawatan. Hasil yang diharapkan dari pemberian

intervensi keperawatan adalah diperolehnya kenyamanan pasien yang dapat

dilihat dari persepsi yang dikemukakan oleh pasien.


4. Konsep Metaparadigma Keperawatan Teori Comfort Kolcaba

Uraian konsep paradigm keperawatan yang diaplikasikan dalam teori Kolcaba adalah

sebagai berikut.

a. Keperawatan

Keperawatan adalah penilaian kebutuhan akan kenyamanan, perancangan

kenyamanan digunakan untuk mengukur suatu kebutuhan, dan penilaian kembali

digunakan untuk mengukur kenyamanan setelah dilakukan implementasi.

Pengkajian dan evaluasi dapat dinilai secara subyektif, seperti ketika perawat

menanyakan kenyamanan pasien, atau secara obyektif, misalnya observasi

terhadap penyembuhan luka, perubahan nilai laboratorium, atau perubahan

perilaku. Penilaian juga dapat dilakukan melalui rangkaian penilaian skala (VAS)

atau daftar pertanyaan (kuesioner), yang mana  keduanya telah dikembangkan

oleh Kolcaba.

b. Manusia

Manusia adalah penerima asuhan keperawatan dapat berupa individu (pasien),

keluarga, institusi atau komunitas yang membutuhkan perawatan kesehatan.

c. Lingkungan

Lingkungan adalah aspek dari pasien, keluarga, atau institusi yang dapat

dimanipulasi oleh perawat atau orang tercinta untuk meningkatkan kenyamanan

selama perawatan. Dalam kasus ini paparan AC dalam ruangan, pembatas tirai,

kondisi ruangan yang kotor, sempit dan ramai merupakan gambaran dari

pengkajian ketidaknyamanan yang dialami pasien.


d. Kesehatan

Kesehatan adalah fungsi optimal, seperti yang digambarkan oleh pasien atau

kelompok, dari pasien, keluarga, atau masyarakat. Adapun asumsi yan berkaitan

dengan kesehatan menurut Kolcaba, antar lain :

1. Manusia mempunyai tanggapan/respon holistik terhadap stimulus yang

kompleks.

2. Kenyamanan adalah suatu hasil holistik yang diinginkan yang mengacu pada

disiplin keperawatan

3. Manusia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan dasar kenyamanan

mereka.

4. Kenyamanan yang akan ditingkatkan pada pasien harus melibatkan health-

seeking behaviors (HSBs) pilihan mereka.

5. Pasien yang dianjurkan secara aktif untuk HSBs, merasa puas dengan

pelayanan kesehatan mereka.

6. Integritas kelembagaan berdasar pada sistem nilai yang berorientasi pada

penerima perawatan.

Dalam teori keperawatan yang diaplikasikan residen dalam kasus kelolaan

diharapkan kenyamanan tercapai, pasien dan anggota keluarga terikat oleh HSBs

dan akan lebih puas dengan pelayanan kesehatan.

5. Proses keperawatan dalam teori comfort Kolcaba

a. Pengkajian

Tahap pertama dari proses keperawatan dalam teori comfort Kolcaba adalah

melakukan pengkajian menurut Kolcaba, yang diarahkan pada Struktur

Taksonomi Comfort. Perawat mengkaji pasien anak secara holistik dengan

mengacu pada empat konteks pengalaman terkait rasa nyaman (fisik,


psikospiritual, lingkungan dan sosialkultural). Perawat harus mampu memandang

masalah dari sudut pandang klien (empati), karena merupakan pengalaman

subyektif klien.

b. Perencanaan

Tahap kedua dari proses keperawatan comfort Kolcaba adalah Comfort Measures

dan Intervening Variable.

1) Comfort Measures

Intervensi kenyamanan memiliki tiga kategori yaitu : 1) intervensi

kenyamanan standar/tehnikal untuk mempertahankan homeostasis dan

mengontrol rasa sakit; 2) pelatihan/ coaching untuk meredakan kecemasan,

memberikan jaminan dan informasi, menanamkan harapan, mendengarkan

dan membantu merencanakan pemulihan; 3) tindakan yang menenangkan

bagi jiwa (comforting), hal-hal yang menyenangkan yang perawat lakukan

untuk membuat anak atau keluarga merasa diperhatikan dan diperkuat, seperti

guided imagery (Kolcaba, 2003).

2) Intervening variables

Intervening variables ini merupakan kekuatan yang berinteraksi terhadap

pasien, sehingga mempengaruhi persepsi resipien dari comfort secara

keseluruhan. Perawat dapat menyiasati dengan memperbanyak diskusi

bersama pasien dan mengidentifikasi intervening variables apa saja yang

dimiliki pasien serta bagaimana cara yang paling sesuai menurut pasien.

lntervensi holistik yang sesuai dengan teori kenyamanan antara lain: terapi

musik, pijatan dan sentuhan terapeutik (Peterson & Bredow, 2004).


2.2.2 Format Pengkajian
I. Data Biografi
A. ldentitas Klien
Nama Klien : ......................................................................................
Jenis Kelamin : ......................................................................................
Tgl Lahir/ usia : ......................................................................................
Tgl Masuk RS : ......................................................................................
Tgl Masuk Ruangan : ......................................................................................
Tgl Pengkajian : ......................................................................................
No. Register : ......................................................................................
Diagnosa Medis : ......................................................................................
B. Identitas Penanggung jawab
Nama : ..............................................................................
Pendidikan : ..............................................................................
Pekerjaan : ..............................................................................
Hubungan dengan pasien : ..............................................................................
Alamat Rumah : ..............................................................................
II. Gambaran Umum Pasien
A. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Keluhan Utama:

2. Riwayat Penyakit Sekarang:

3. Riwayat Penyakit Dahulu:

4. Riwayat Penyakit Keluarga:

5. Diagnosa Medis:

B. Pengkajian Kenyamanan Fisik (Physical Comfort)


1. Kondisi Umum
a. Keadaan umum : ............................................................
b. Tingkat kesadaran : ............................................................
c. Glasgow Coma Scale (GCS) : ............................................................
1) Eye: .....................................................................................................
2) Motorik: ..............................................................................................
3) Verbal: ................................................................................................
d. Skala Risiko Jatuh : ............................................................

Jenis Risiko Jatuh : [ ] Rendah [ ] Sedang [ ] Tinggi


2. Tanda-tanda vital
a. Berat badan : ............................................................
b. Tinggi badan : ............................................................
c. Tekanan darah : ............................................................
d. Nadi : ............................................................
e. Frekuensi napas : ............................................................
f. Suhu tubuh : ............................................................
3. Nyeri (Pain Relief)
a. Keluhan nyeri : [] Ya [] Tidak
b. Lokasi : ............................................................
c. Skala nyeri (FLACC) : ............................................................
d. Durasi nyeri : ............................................................
e. Kualitas nyeri : ............................................................
4. Pencernaan (Reguler Bowel Function)
a. Muntah : [ ] Tidak [ ] Ya, Frekuensi: .............................
b. Bisingusus : ............................................................x / menit
c. Diare : [ ] Tidak [ ] Ya Frekuensi: ..............................
d. Konsistensi feses : [ ] Lunak [ ] Cair [ ] Lendir [ ] Darah
e. Warnafeses : [ ] Hijau [ ] Kuning [ ] Lainnya
f. Konstipasi : [ ] Tidak [ ] Ya
5. Cairan dan Elektrolit (fluid and electrolyte balance)
a. Turgor kulit : [ ] Elastis [ ] Kurang elastis
b. Membran Mukosa : [ ] Lembab [ ] Kering
c. Edema : [ ] Ya [ ] Tidak
d. Intake : ..............................................................................
e. Output : ..............................................................................
f. Urin/ BAK : [ ] genetalia [ ] pampers [ ] kateter
g. Hasil laboratorium : ..............................................................................
6. Oksigenasi (Adequate oxygen saturation)
a. Jalan nafas : [ ] Bersih [ ] Ada sumbatan:
b. Pernafasan : [ ] Tidak sesak [ ] Sesak
c. Penggunaan otot bantu nafas : [ ] Tidak [ ] Ya
d. Irama : [ ] Tidak Teratur [ ] Teratur
1) Jenis pemafasan : .................................................................
2) Kedalaman : [ ] Dalam [ ] Dangkal
e. Batuk : [ ] Tidak [ ] Ya, (produktif/ tidak produktit)
1) Sputum : [ ] Tidak [ ] Ya, (putih/ kuning/ hijau)
2) Konsistensi : [ ] Kental [ ] Encer
3) Terdapat darah : [ ] Tidak [ ] Ya
f. Suara nafas : [ ] Vesikuler [ ] Ronkhi

[ ] Wheezing [ ] Rales
g. Nyeri saat nafas : [ ] Tidak []Ya
h. Alat bantu nafas : [ ] Tidak [ ] Ya

Saturasi Oksigen : .................................................................


7. Aktifitas dan Gerak (Tuming andpositioning)
a. Keterbatasan pergerakan : [ ] Tidak [ ] Ya
b. Fraktur : [ ] Tidak [ ] Ya

Lokasi : .................................................................
c. Ekstrimitas : [ ] Normal [ ] Spastis [ ]Parese
d. Skala Barthel Indeks : .................................................................
e. Skala Norton : .................................................................
C. Pengkajian Kenyamanan Psikospiritual (Psikospiritual Comfort)

Kondisi : [ ] Tenang [ ] Rewel [ ] Cemas


D. Pengkajian Kenyamanan Sosial (Social Comfort)

Orang terdekat dengan pasien dalam rumah:

[ ] Ibu [ ] Ayah [ ] Kakak [ ] Adik [ ] Pengasuh


E. Pengkajian Kenyamanan Lingkungan (Environment Comfort)
1. Yang dirasakan pasien dan keluarga terhadap lingkungan:

2. Keramaian pengunjung : [ ] Tenang [ ] Ramai


3. Kebersihan kamar : [ ] Bersih [ ] Cukup [ ] Kotor
4. Suhu lingkungan : [ ] Dingin [ ] Cukup [ ] Panas

Tabel Struktur taksonomi comfort Kolcaba


Tipe Comfort Relief Ease Transedence
Fisik
Psikospiritual
Lingkungan
Sosiokultural
DAFTAR PUSTAKA

1. Hochman JS, Ohman EM. Cardiogenic Shock. The AHA Clinical Series. Wiley
Blackwell. Januari 2009
2. Hochman JS, Menon Venu. Clinical manifestations and diagnosis of cardiogenic
shock in acute myocardial infarction. UpToDate. Wolters Kluwer Health. Juni 2013
Available from www.uptodate.com
3. Ren X, Lenneman A. Cardiogenic Shock. Medscape Reference. May
2013. Available from www.emedicine.medscape.com
4. Hochman JS, Ingbar D. Cardiogenic Shock and Pulmonary Edema ; in Kasper DL et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill inc. USA ; 2005
5. Alwi I, Nasution SA. Syok Kardiogenik. Dalam Sudoyo AW dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, ed kelima jilid I. Interna Publishing. Jakarta ; November 2009
6. Khalid L, Dhakam SH. A Review of Cardiogenic Shock In Acute Myocardial
Infarction.Current Cardiology Review. Pakistan ; 2008
7. Kruger W, Ludman A. Acute Heart Failure. Birkhauser. p72-85. Berlin ; 1997
8. Antman EM, ST-Elevation Myocard Infarc Management. In Libby P et al. Braunwald's
Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, 8th ed. Saunders.
Philadelphia; 2008
9. Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and improving
outcomes. Circulation. Feb 5 2008;117(5):686-97
10. Hochman JS, Menon V. Management of Cardiogenic Shock Complicating Acute
Myocardial Infarction. Heart. 2002 Available from : www.bmjjournals.com
11. Fuster V et al. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In Hurst’s The Heart, 12th
ed. The McGraw-Hill Companies ; 2008
12. Califf RM, Bengtson JR. Cardiogenic Shock, Current Concepts. NEJM. June 1994

Anda mungkin juga menyukai