SISTEM KARDIOVASKULER
Disusun Oleh
ZULAIKA HARISSYA
BP : 2021312006
TINJAUAN PUSTAKA
1.1.1 Definisi
Syok kardiogenik merupakan suatu keadaan penurunan curah jantung dan perfusi
sistemik pada kondisi volume intravaskular yang adekuat, sehingga menyebabkan hipoksia
jaringan. Istilah syok kardiogenik ini pertama sekali disampaikan oleh Stead (1942) dimana
saat itu dilaporkan 2 orang pasien yang disebutkan mengalami “syok yang diakibatkan oleh
jantung (shock of cardiac origin)”. Belakangan istilah ini kemudian berubah menjadi syok
kardiogenik.1
Gambaran yang esensial dari syok kardiogenik adalah adanya hipoperfusi sistemik
yang menyebabkan hipoksia jaringan dengan bukti volume intravaskular yang adekuat.
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah adanya hipotensi yang berkepanjangan
dengan batasan/cut-off points tekanan darah sistolik untuk syok kardiogenik adalah < 90
mmHg selama sekurangnya 30-60 menit atau mean arterial pressure < 30 mmHg dari
baseline dengan indeks kardiak yang berkurang (< 2,2 L/menit/m2) dan tekanan baji kapiler
paru (pulmonary capillary wedge pressure/PCWP) > 15 mmHg.1,2,3,4
Ada suatu keadaan yang merupakan kelanjutan dari kegagalan ventrikel kiri yakni
“syok kardiogenik non hipotensif”. Secara definisi pasien ini memiliki tanda-tanda klinis dari
hipoperfusi periferal seperti yang telah dijelaskan diatas namun dengan tekanan darah sistolik
> 90mmHg tanpa dukungan vasopresor. Hal ini sering terjadi pada kejadian infark miokard di
dinding anterior yang ekstensif. Mortalitas selama rawatan pada pasien seperti ini cukup
tinggi meskipun tidak setinggi yang terjadi pada syok kardiogenik bentuk klasik. Oleh karena
itu, diagnosis syok kardiogenik dapat ditegakkan pada pasien dengan tekanan darah
>90mmHg dengan ketentuan sebagai berikut (1) jika parameter hemodinamik merupakan
hasil dukungan dari medikasi dan/atau alat-alat pendukung. (2) adanya tanda-tanda
hipoperfusi sistemik dengan curah jantung yang rendah namun dengan tekanan darah yang
masih dapat dipertahankan dengan vasokonstriksi, serta (3) jika tekanan sistemik rata-rata
(MAP) < 30mmHg dari tekanan darah baseline pada kasus pasien dengan hipertensi. 1 80%
syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan ventrikel akibat infark miokard akut. Sedangkan
sisanya akibat regurgitasi mitral berat yang akut, ruptur septum ventrikular, gagal jantung
kanan predominan dan ruptur dinding atau tamponade.5
Pasien-pasien dengan syok kardiogenik biasanya datang dengan adanya tanda-tanda
hipoperfusi sistemik, termasuk perubahan status mental, kulit dingin, dan/atau oliguria.
Keberadaan ronchi basah basal (rales) yang merupakan penanda adanya edema paru, bisa ada
namun bisa juga tidak. Edema paru tidak ditemukan pada 30% pasien-pasien syok
kardiogenik melalui pemeriksaan auskultasi dan radiografi toraks. Pengukuran tekanan darah
dengan cara biasa sering tidak akurat pada keadaan syok, oleh karena itu penentuan tekanan
darah intra- arterial lebih tepat dimonitor dengan kanula intra-arterial.1
Pada keadaan syok, hipoperfusi yang terjadi pada miokardium dan jaringan perifer
akan mendorong terjadinya metabolisme anaerobik sehingga dapat menyebabkan asidosis
laktat. Keadaan hiperlaktatemia ini dapat dipertimbangkan sebagai petanda adanya
hipoperfusi dan dapat menjadi informasi tambahan terhadap hasil pemeriksaan klinis serta
pemeriksaan tekanan darah yang mungkin kurang meyakinkan bergantung dari status syok.
Akumulasi asam laktat dapat menyebabkan edema mitokondrial, degenerasi serta deplesi
glikogen. Hal ini dapat mengganggu fungsi miokardium dan menghambat glikolisis. Akhir
dari proses ini adalah kerusakan yang ireversibel pada miokard akibat iskemik. Nilai laktat
serum sangat penting sebagai suatu faktor prognostik pada syok kardiogenik. Pada suatu
analisa multivariat, nilai laktat >6,5 mmol/L pada pasien-pasien syok kardiogenik merupakan
suatu prediktor independen yang sangat kuat terhadap mortalitas selama masa rawatan di
rumah sakit [odds rasio (OR) 295, P < 0,01] meski setelah di sesuaikan dengan usia, jenis
kelamin, riwayat hipertensi, dan riwayat diabetes.1
Sejalan dengan parameter metabolik, data hemodinamik juga sangat bermanfaat untuk
diagnostik serta penilaian prognostik pada pasien syok kardiogenik. Ada beberapa perbedaan
dalam definisi syok kardiogenik pada beberapa uji klinik. Namun kebanyakan studi
mendefinisikan syok kardiogenik sebagai suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik <90
mmHg selama sekurangnya 30-60 menit dimana : (1) tidak respon dengan pemberian tunggal
terapi cairan; (2) akibat sekunder dari disfungsi jantung; (3) memiliki hubungan dengan
tanda- tanda hipoperfusi atau indeks kardiak <2,2 L/mnt/m 2 dan tekanan baji arteri
pulmonalis (PCWP) >15mmHg. Beberapa studi telah menggunakan metode invasif
untuk menilai hemodinamik sebagai kriteria diagnostik bagi syok kardiogenik serta
misalnya menurunnya secara drastis nilai curah jantung pada jantung kanan, serta
pemeriksaan indeks kardiak.
Pada pasien-pasien dengan dukungan agen inotropik/vasopresor atau alat bantu
sirkulasi, indeks kardiak 2,2-2,5 L/mnt/m2 dapat dipertimbangkan menjadi cut point.
Sedangkan pada pasien yang tidak mendapatkan dukungan agen inotropik/vasopresor atau
alat bantu sirkulasi, cut off pointnya 1,8-2,2 L/mnt/m2.1 Saat ini, dengan semakin luasnya
penggunaan echocardiography, maka penentuan fungsi jantung melalui kateterisasi jantung
kanan pada kasus syok kardiogenik semakin berkurang yakni hanya sebesar 20,2% menurut
analisa dari Euro Heart Survey ACS. Sedangkan evaluasi dengan echocardiography
dilakukan sebanyak 68%. Echocardiography dengan pencitraan dopler mampu secara
bedside menilai hemodinamik, fungsi jantung, keadaan katup-katup, serta komplikasi
mekanik sindrom koroner akut.1
Syok utamanya ditegakkan berdasarkan temuan klinis yang didukung oleh
pemeriksaan hemodinamik. Bukti klinis adanya penurunan curah jantung yang disertai
dengan hipoperfusi sistemik meskipun tekanan pengisiannya cukup mesti ditemukan untuk
mendiagnosa syok kardiogenik. Bila kateterasi jantung kanan dilakukan, nilai hemodinamik
harus menunjukkan adanya tekanan pengisian yang tinggi namun tekanan output yang
rendah. Jika kateterisasi jantung kanan tidak dilakukan, kombinasi pemeriksaan klinis,
radiografi toraks, serta echocardiography harus secara jelas menunjukkan adanya hipoperfusi
sistemik, curah jantung yang rendah, serta meningkatnya tekanan atrium kiri/arteri
pulmonalis dan atau tekanan atrium kanan. Jika data yang didapat masih meragukan untuk
menegakkan diagnosa, maka kateterisasi jantung kanan harus dilakukan.1
1.1.2 Insidensi dan Epidemiologi
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian paling sering pada pasien-pasien
yang dirawat dengan infark miokard. Tindakan revaskularisasi dini terbukti mampu
menurunkan kejadian syok kardiogenik pada kasus infark miokard akut. Tingkat kejadian
syok kardiogenik telah banyak berkurang belakangan ini, mulai dari 20% pada tahun 1960an,
hingga saat ini tinggal + 8% saja. Jenis infark miokard akut yang paling sering menyebabkan
syok kardiogenik adalah STEMI. Sekitar 80% kasus syok kardiogenik yang berkaitan dengan
infark miokard akut. 80% Syok kardiogenik yang terjadi akibat infark miokard disebabkan
oleh kegagalan ventrikel kiri. Sedangkan yang lainnya adalah mitral regurgitasi akut, rupture
septum ventrikular, gagal ventrikel kanan, serta tramponade jantung. Insidensi syok
kardiogenik lebih tinggi pada pria daripada wanita (3:2). Perbedaan ini disebabkan karena
semakin meningkatnya kejadian penyakit jantung koroner pada pria. Namun demikian
persentase kejadian syok kardiogenik yang mengikuti infark miokard lebih banyak pada
wanita dibanding pria. Umur rata-rata pasien dewasa yang mengalami syok kardiogenik
adalah 65-66 tahun. Ras yang paling tinggi persentasenya untuk kejadian syok kardiogenik
adalah ras hispanik (74%) sedangkan ras afrika amerika 65%, kulit putih 56%, sedangkan
Asia dan selebihnya 41%.3,4,6
Berdasarkan SHOCK register dan trial disebutkan bahwa : 74,5% syok kardiogenik
disebabkan oleh predominasi kegagalan ventrikel kiri; 8,36% akibat MR: 4,6% akibat ruptur
septum ventrikel; 3,4% masalah pada jantung kanan; 1,7% tamponde/ruptur jantung; 3,0%
penyebab lain 7
1.1.3 Etiologi
Syok kardiogenik dapat disebabkan oleh berbagai macam kelainan yang terjadi pada
jantung seperti : disfungsi sistolik, disfungsi diastolik, disfungsi katup, aritmia, penyakit
jantung koroner, komplikasi mekanik. Karena besarnya angka kejadian ACS, maka ACS
pun menjadi etiologi terhadap syok kardiogenik yang paling dominan pada orang dewasa.
Selain itu, banyak pula kasus syok kardiogenik yang terjadi akibat medikasi yang diberikan,
contohnya pemberian penyekat beta dan penghambat ACE yang tidak tepat dan tidak
terpantau pada kasus ACS. Pada anak-anak penyebab tersering adalah miokarditis oleh
karena infeksi virus, kelainan congenital dan konsumsi bahan-bahan yang toksik terhadap
jantung.1,3
Secara fungsional penyebab syok kardiogenik dapat dibagi menjadi 2 yakni
kegagalan Jantung kiri dan kegagalan Jantung kanan. Penyebab-penyebab kegagalan jantung
kiri antara lain:
(1) disfungsi sistolik yakni, berkurangnya kontraktilitas miokardium. Penyebab yang
paling sering adalah infark miokard akut khususnya infark anterior. Penyebab
lainnya adalah hipoksemia global, penyakit katup, obat-obat yang menekan
miokard (penyekat beta, penghambat gerbang kalsium, serta obat-obat anti
aritmia), kontusio miokard, asidosis respiratorius, kelainan metabolic (asidosis
metabolic, hipofosfatemia, hipokalsemia), miokarditis severe, kardiomiopati
end-stage, bypass kardiopulmonari yang terlalu lama pada operasi pintas
jantung, obat-obatan yang bersifat kardiotoksin (mis. Doxorubicin, adriamycin).
(2) Disfungsi diastolik. Hal ini dapat terjadi akibat meningkatnya kekakuan ruang
ventrikel kiri. Selain itu dapat pula terjadi pada tahap lanjut syok hipovolemik
dan syok septik. Hal-hal yang dapat menyebabkannya antara lain: iskemik,
hipertrofi ventrikel, kardiomiopati restriktif, syok hipovolemik dan syok septik
yang berlama-lama, kompresi eksternal akibat tamponade jantung
(3) Peningkatan afterload yang terlalu besar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan
stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, koarktasio aorta, hipertensi maligna.
(4) Abnormalitas katup dan struktur jantung. Hal ini dapat terjadi pada keadaan
mitral stenosis, endokarditis, regurgitasi mitral dan aorta, obstruksi yang
disebabkan oleh atrial myxoma atau thrombus, ruptur ataupun disfungsi otot-otot
papilaris, ruptur septum dan tamponade.
(5) Menurunnya kontraktilitas jantung. Hal ini terjadi pada keadaan, infark ventrikel
kanan, iskemia, hipoksia dan asidosis.
Kegagalan ventrikel kanan dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa antara lain:
(1) Peningkatan afterload yang terlalu besar misalnya, emboli paru, penyakit
pembuluh darah paru (hipertensi arteri pulmonalis dan penyakit oklusif vena),
vasokonstriksi pulmonal hipoksik, tekanan puncak akhir ekspirasi, fibrosis
pulmonaris, kelainan pernafasan saat tidur, PPOK.
(2) Artimia. Ventrikel takiaritmia sering berkaitan dengan syok kardiogenik.
Sementara bradiaritmia dapat menyebabkan atau memperburuk syok yang
disebabkan oleh etiologi lain. Sinus takikardia dan takiaritmia atrial dapat
menyebabkan hipoperfusi dan memperburuk syok.1,3
Penyebab syok kardiogenik dapat pula dibedakan berdasarkan infark miokard akut
atau non-infark miokard seperti berikut ini :
1) Infark miokard akut
1) Kegagalan pompa jantung
a) Infark luas, > 40% ventrikel kiri
b) Infark kecil namun dengan riwayat disfungsi ventrikel kiri atau riwayat
infark sebelumnya
c) Infark yang meluas
d) Reinfark
2) Komplikasi mekanik
a) Mitral regurgitasi akut akibat/disfungsi ruptur otot papilari atau korda
tendinea
b) Defek septum ventrikel yang disebabkan oleh ruptum septum
intraventrikular
c) Ruptur dinding ventrikel kiri
d) Tamponade perikard
e) Infark ventrikel kanan
3) Kondisi lain
a) Kardiomiopati tahap akhir (end stage)
b) Miokarditis
c) Syok septik dengan depresi miokard berat
d) Obstruksi jalan keluar ventrikel kiri
e) Stenosis aorta
f) Kardiomiopati obstruktif hipertrofik
4) Obstruksi jalan masuk (pengisian) ventrikel kiri
a) Stenosis mitral
b) Myxoma atrium kiri
5) Regurgitasi mitral akut (ruptur korda)
a) Insufisiensi katup aorta akut
b) Kontusio miokardial
c) Bypass kardiopulmonari yang berkepanjangan2
Menentukan etiologi syok kardiogenik merupakan suatu tantangan yang
tidak mudah. Anamnese dan pemeriksaan klinis dapat memberikan informasi
penting dalam menentukan etiologi syok kardiogenik. Misalnya, jika keluhan
utama pasien yang masuk adalah nyeri dada, maka hal yang dapat diperkirakan
adalah adanya infark miokard akut, miokarditis, atau tamponade perikard.
Selanjutnya, jika ditemukan murmur pada pemeriksaan fisik, maka dapat
dipikirkan kemungkinan adanya ruptur septum ventrikel, ruptur otot-otot
papillaris, penyakit akut katup mitral atau aorta. Adanya murmur pada syok
kardiogenik merupakan suatu indikasi untuk segera dilakukan pemeriksaan
echocardiography.1,3
1.1.4 Patofisiologi
Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari keseluruhan system sirkulasi
baik yang besifat temporer maupun permanen. Kegagalan ventrikel kiri atau ventrikel kanan
(akibat disfungsi miokardium) memompakan darah dalam jumlah yang adekuat merupakan
penyebab primer syok kardiogenik pada infark miokard akut (gambar 1). Akibatnya adalah
hipotensi, hipoperfusi jaringan, serta kongesti paru atau kongesti vena sistemik. Kegagalan
ventrikel kiri merupakan bentuk yang paling sering dari syok kardiogenik, namun bagian
lain dari sistem sirkulasi juga ikut bertanggung jawab terhadap gagalnya mekanisme
kompensasi. Kebanyakan abnormalitas ini sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-pasien
yang selamat, fungsi jantung mungkin masih dapat dipertahankan.8.9
Hipotensi sistemik, merupakan tanda yang terjadi pada hampir semua syok
kardiogenik. Hipotensi terjadi akibat menurunnya volume sekuncup/stroke volume serta
menurunnya indeks kardiak. Turunnya tekanan darah dapat dikompensasi oleh peningkatan
resistensi perifer yang diperantarai oleh pelepasan vasopresor endogen seperti norepinefrin
dan angiotensin II. Namun demikian gabungan dari rendahnya curah jantung dan
meningkatnya tahanan perifer dapat menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan.
Sehubungan dengan itu, berkurangnya perfusi pada arteri koroner dapat menyebabkan suatu
lingkaran setan iskemik, perburukan disfungsi miokardium, dan disertai dengan
progresivitas hipoperfusi organ serta kematian. Hipotensi dan peningkatan tahanan perifer
yang disertai dengan peningkatan PCWP terjadi jika disfungsi ventrikel kiri merupakan
kelainan jantung primernya. Meningkatnya tekanan pengisian ventrikel kanan terjadi jika
syok akibat kegagalan pada ventrikel kanan, misalnya pada gagal infark luas ventrikel
kanan. Namun pada kenyataannya sebuah penelitian SHOCK trial menunjukkan pada
beberapa pasien post MI, syok malahan disertai oleh vasodilatasi. Hal ini mungkin terjadi
sebagai akibat adanya respon inflamasi sistemik seperti yang terjadi pada sepsis. Respon
inflamasi akut pada infark miokard berkaitan dengan peningkatan konsentrasi sitokin.
Aktivasi sitokin menyebabkan induksi nitrit oksida (NO) sintase dan meningkatkan kadar
NO sehingga menyebabkan vasodilatasi yang tidak tepat dan berkurangnya perfusi koroner
dan sistemik. Sekuens ini mirip dengan yang terjadi pada syok septik yang juga ditandai
dengan adanya vasodilatasi sistemik.2,8
Gambar 1. Patofisiologi Syok Kardiogenik. Gambaran Spiral syok, dimulai dari disfungsi ventrikel kiri dan
berakhir dengan kematian melalui kondisi iskemik dan disfungsi ventrikel kiri yang semakin progresif jika
tidak diberikan intervensi pengobatan. Alur spiral syok mendapat pengaruh negatif oleh (1) disfungsi sitolik
dengan berkurangnya curah jantung dan volume sekuncup sehingga menyebabkan terganggunya perfusi
perifer dan hipotensi. (2) disfungi diastolic sehingga menyebabkan hipoksemia dan kongesti paru, (3)
munculnya sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang didorong oleh nitrit oksida sintase endotel dan
nitrit oksida sintase yang terinduksi (eNOS dan iNOS), interleukin-6 (IL-6), TNF-α, sehingga menyebabkan
berkurangnya tahanan perifer. Piihan terapi seperti PCI. CABG, LVADs, inotropik/vasopresor bertujuan
untuk membalikkan alur spiral syok diperlihatkan dengan garis warna hijau. Penghentian pengobatan akibat
komplikasi perdarahan serta peran SIRS diperlihatkan pada garis merah. 2
1.1.5 Prognosis dan Komplikasi
Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian tersering pada infark miokard akut.
Tanpa penanganan yang agresif dan ahli yang berpengalaman, mortalitas syok kardiogenik
mencapai 70-90%. Kunci untuk mencapai prognosis yang baik adalah, diagnose yang cepat,
terapi suportif sesegera mungkin, serta revaskularisasi arteri koroner secara tepat pada pasien
yang mengalami iskemik dan infark miokard. Mortalitas pasien-pasien yang dirawat inap
secara keseluruhan mencapai 57%. Pasien dengan usia >75 tahun, mortalitas 64,1%.
Mortalitas syok kardiogenik yang disebabkan STEMI dan NSTEMI adalah sama. Infark yang
melibatkan ventrikel kanan memiliki prognosis yang lebih buruk. Prognosis pasien-pasien
yang berhasil selamatt dari syok kardiogenik belum diteliti dengan baik namun mungkin
lebih baik jika penyebab yang mendasarinya berhasil dikoreksi dengan tepat. 3 Namun
penelitian terbaru menunjukkan mortalitas syok kardiogenik di era modern saat ini ≈ 50%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosisnya antara lain: usia, tanda-tanda klinis
hipoperfusi perifer, kerusakan organ anoksik, LVEF, serta kemamuan pompa jantung.
Mortalitas jangka pendek dipengaruhi oleh data hemodinamik pasien sedangkan angka
keselamatan jangka panjang dapat dilihat pada tabel 1.9
Tabel 1. Angka harapan hidup pada uji klinis SHOCK
Gambar 2. Follow up jangka panjang studi cohort SHOCK. ERV (early revascularization) memberikan
keuntungan dibandingkan IMS (initial medical stabilization)3
1.1.6 Manifestasi Klinis
Syok kardiogenik merupakan kasus kegawatdaruratan. Penilaian klinis yang lengkap
sangat penting untuk mendapatkan penyebabnya dan menetapkan sasaran terapi untuk
mengatasi penyebabnya. Syok kardiogenik yang muncul akibat infark miokard biasanya
muncul setelah pasien masuk ke rumah sakit, namun demikian, sebagian kecil pasien datang
ke rumah sakit sudah dalam keadaan syok. Pada pasien terlihat tanda-tanda hipoperfusi
(curah jantung yang rendah) yang terlihat dari adanya sinus takikardia, volume urine yang
sedikit, serta ekstremitas dingin. Hipotensi sistemik ( TDS < 90 mmHg atau turunnnya TD <
30 mmHg dari TD rata-rata) belakangan akan muncul dan meyebabkan hipoperfusi
jaringan.3,10
Kebanyakan pasien yang datang dengan infark miokard akut merasakan nyeri dada
yang muncul tiba-tiba seperti diperas atau ditimpa beban berat di substernal. Nyeri ini dapat
menyebar hingga ke lengan kiri atau leher. Nyeri dada bisa saja tidak khas, terutama jika
lokasinya hanya di epigastrium, leher atau lengan. Kualitas nyerinya bisa seperti terbakar,
seperti ditusuk-tusuk atau seperti ditikam. Bahkan nyeri bisa saja tidak dirasakan pada
pasien-pasien diabetes dan usia tua. Gejala-gejala autonomik lain bisa juga muncul seperti
mual, muntah, serta berkeringat. Riwayat penyakit jantung sebelumnya, riwayat penggunaan
kokain, riwayat infark miokard sebelumnya, atau riwayat pembedahan jantung sebelumnya
perlu ditanyakan. Faktor resiko penyakit jantung perlu dinilai pada pasien yang disangkakan
mengalami iskemik miokardial. Evaluasinya antara lain mencakup riwayat hiperlipidemia,
hipertrofi ventrikel kiri, hipertensi, riwayat merokok, serta riwayat keluarga yang
mengalami penyakit jantung koroner premature. Keberadaan 2 atau lebih faktor resiko
meningkatkan kecenderungan suatu infark miokard. Gejala-gejala lain yang berkaitan antara
lain : diaphoresis, sesak nafas saat beraktifitas, sesak nafas saat beristrahat. Presinkop,
sinkop, palpitasi, ansietas generalisata serta depresi.3,11
Syok kardiogenik didiagnosa jika ditemukan adanya disfungsi miokardium setelah
mengeksklusikan penyebab lain yang mungkin misalnya hipovolemia, perdarahan, sepsis,
emboli paru, tamponade perikard, diseksi aorta atau penyakit katup jantung. Dikatakan syok
jika terdapat bukti adanya hipoperfusi organ yang dapat dideteksi pada pemeriksaan fisik.
Adapun karakteristik pasien-pasien syok kardiogenik antara lain :
1) Kulit berwarna keabu-abuan atau bisa juga sianosis. Suhu kulit dingin dan bisa
muncul gambaran mottled skin pada ekstremitas.
2) Nadi cepat dan halus/lemah serta dapat juga disertai dengan irama yang tidak
teratur jika terdapat aritmia
3) Distensi vena jugularis dan ronkhi basah di paru biasanya ada namun tidak
harus selalu. Edema perifer juga biasanya bisa dijumpai.
4) Suara jantung terdengar agak jauh, bunyi jantung III dan IV bisa terdengar
Manajemen awal berupa resusitasi cairan bila dijumpai hipovolemia dan hipotensi,
kecuali dijumpai adanya edema paru. Pemasangan jalur vena sentral dan arteri, katetrisasi
Swan-Ganz, serta pulse oksimeter perlu dilakukan. 3 Oksigenasi dan proteksi jalan nafas
merupakan hal yang penting di awal penanganan khususnya pada kondisi hipoksemia
(SpO2 <90% atau PaO2 < 60 mmHg), oksigen dapat diberikan mulai dari 40-60%
selanjutnya dapat dititrasi sampai SpO2 > 90%. Jika diperlukan, intubasi jalan nafas dan
ventilasi mekanik dapat dilakukan. Selain itu monitoring tekanan darah juga harus
dilakukan.3
Hipovolemia dapat terjadi pada kasus syok kardiogenik misalnya dengan riwayat
penggunaan diuretik atau jika ada muntah. Pemberian terapi pengganti cairan harus
dipantau dengan pemeriksaan PCWP, saturasi oksigen arteri (SaO 2), tekanan arteri
sistemik, serta curah jantung. Pemberian challenge volume intravaskular yakni saline
isotonik sebanyak sekurangnya 250 mL dalam 10 menit dapat dilakukan sebelum tindakan
kateterisasi pada jantung kanan jika tidak ada bukti bendungan paru pada pemeriksaan fisik
maupun rontgen torak serta pasien tidak dalam keadaan distres pernafasan.3
Pada beberapa kondisi dukungan cairan yang lebih besar kadang-kadang diperlukan
misalnya pada syok kardiogenik akibat infark ventrikular kanan, dimana tekanan pengisian
yang tinggi diperlukan untuk memaksimalkan aliran ke ventrikel kiri. Infark pada ventrikel
kanan dapat disangkakan jika dijumpai gambaran infark inferior, lapangan paru bersih
pada pemeriksaan auskultasi serta syok. Pemberian cairan dalam jumlah banyak
diindikasikan dalam kasus ini sepanjang tidak dijumpai peningkatan tekanan vena
jugularis/sentral.
Pasien yang datang dengan overload cairan dan edema paru kardiogenik tanpa
adanya hipotensi dapat diterapi dengan diuretik, morfin, suplemen oksigenm serta
vasodilator.
1.1.12 Manajemen Hemodinamik
Kateterisasi arteri pulmonalis (Swan-Ganz) saat ini tidak begitu sering dilakukan
karena adanya kontroversi dimana disebutkan dalam suatu studi prospektif observasional
bahwa kateterisasi arteri pulmonalis dapat memperburuk hasil pengobatan. Saat ini
penilaian klinis lebih banyak dilakukan dengan echocardiography. Melalui modalitas ini,
tekanan sistolik arteri pulmonalis dan tekanan baji dapat dihitung secara akurat dengan
echocardiography dopler.9
Dukungan farmakologi (inotropik dan vasopresor) harus digunakan dengan dosis
sekecil mungkin yang memberi efek terapeutik. Semakin tinggi dosis vasopresor, makan
semakin kecil angka keselamatannya. Hal ini disebabkan pada kenyataan bahwa keadaan
penyakit yang mendasarinya sudah sedemikian berat serta efek toksik obat itu sendiri.
Pemberian inotropik
merupakan hal yang penting dalam penatalaksanaan syok kardiogenik. Namun sayangnya
dengan pemberian inotropik, konsumsi ATP miokardium juga meningkat, sehingga
perbaikan hemodinamik yang membaik dalam sesaat harus dibayar dengan peningkatan
kebutuhan oksigen jantung dimana pada saat yang sama jantung sendiri sudah mengalami
kegagalan ditambah lagi ketersediaan kebutuhan sudah terbatas. Namun demikian
inotropik dan vasopresor saat ini tetap dibutuhkan untuk mempertahankan perfusi koroner
dan sistemik sambil menunggu pemasangan IABP (Intra-aortic balloon pump) atau sampai
syok berhasil ditangani. Data yang membandingkan efektifitas penggunaan beberapa agen
vasopresor masih sedikit. Dopamine, norepinefrin dan epinefrin merupakan vaskonstriktor
yang dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan membantu
memperbaiki tekanan perfusi pada hipotensi yang mengancam jiwa. Target tekanan arteri
rata-rata (MAP) yakni 60-65 mmHg.3,9
Pada Pasien dengan status perfusi jaringan tidak adekuat dan volume intravaskular
yang adekuat, inisiasi permberian obat inotropik dan atau vasopresor dapat mulai
diberikan. Yang termasuk obat vasopresor adalah dopamin, norepinefrin, epinefrin dan
levosimendan Dosis reguler dopamine adalah 5-10 mcg/kg/min namun dapat ditingkatkan
hingga 20 mcg/kg/min. Dosis norepinefrin adalah 8-12 mcg/min dapat ditingkatkan dan
dalam keadaan sepsis dapat ditingkatkan hingga 3,3 mcg/kg/min. obat-obat inotropik
antara lain : dobutamin dan fosfodiesterasi inhibitor (PDIs). Dosis dobutamin adalah 2,5-
10 mcg/kg/min. Dalam keadaan hipotensi ringan (TDS > 70-100 mmHg tanpa klinis syok),
Dobutamin dapat digunakan, namun dalam kondisi hipotensi berat dengan klinis syok yang
nyata, pilihan yang terbaik adalah dopamin (TDS 70-100 mmHg dengan klinis syok) dan
norepinefrin (TD < 70 mmHg).3,5
1.1.13 Terapi Farmakologi lain
Pemberian terapi antitrombotik yakni aspirin dan heparin harus diberikan
sebagaimana yang telah direkomendasikan pada infark miokard. Clopidogrel dapat ditunda
setelah tindakan angiografi emergensi sebab, bisa saja setelah dilakukan angiografi, pasien
selanjutnya diputuskan akan segera menjalani bedah pintas jantung / CABG (coronary
artery bypass grafting). Clopidogrel dianjurkan bagi semua pasien yang menjalani PCI
(pada pasien infark miokard yang dalam keadaan syok ataupun tidak). Pemberian inotropik
negatif dan vasodilator (termasuk nitrogliserin) harus dihindari. Oksigenasi arteri dan pH
darah harus dipertahankan dalam batas normal untuk meminimalisasi iskemia. Pemberian
insulin dapat meningkatkan angka keselamatan pada pasien kritis yang mengalami
hiperglikemia. Pemberian ventilasi mekanik perlu dipertimbangkan baik melalui sungkup
ataupun pipa endotrakeal. Hal ini bermanfaat untuk menurunkan preload dan afterload serta
mengurangi kerja pernafasan.3
Intra-aortic ballon pump merupakan terapi mekanik yang sudah sejak lama
digunakan pada syok kardiogenik. IABP dapat memperbaiki perfusi koroner dan perifer
melalui deflasi balon pada saat sistole dan inflasi balon saat diastol sehingga afterload
menjadi sangat berkurang dan aliran ke koroner menjadi semakin baik. Namun tidak semua
pasien dapat memberikan respon hemodinamik terhadap pemasangan IABP, hal ini
selanjutnya menjadi salah satu faktor prognostik. IABP semestinya dilakuan secepatnya
bahkan jika ada operator yang terlatih dan prosedur memungkinkan untuk dilakukan
secepatnya, maka IABP dapat dilakukan sebelum pasien dikirim untuk tidakan
revaskularisasi. Komplikasi dari tindakan ini semakin jarang sejalan dengan dengan
kemajuan zaman yakni sebesar 7,2% untuk komplikasi secara keseluruhan dan 2,8%9
1.1.15 Reperfusi
Aspek tersebut berasal dari review keperawatan kuno, historis, dan kontenporer sastra
serta tinjauan literatur dari disiplin ilmu (kedokteran, psikiatri, ergonomi, psikologi) (Kolcaba
Terdapat 7 komponen dalam konsep utama teori comfort yang disampaikan Kolcaba
sebagai berikut:
akan kenyamanan, yang dihasilkan dari situasi pelayanan kesehatan yang stress,
yang tidak dapat dipenuhi oleh penerima support sistem tradisional. Kebutuhan
edukasi dan dukungan serta kebutuhan akan konseling financial dan intervensi.
b. Comfort
Comfort merupakan sebuah konsep yang mempunyai hubungan yang kuat dalam
(ease), and kemampuan lebih (transcedence) yang dapat terpenuhi dalam empat
lingkungan.
Kolcaba (2003) kemudian menderivasi konteks diatas menjadi beberapa hal
berikut:
yang terganggu atau beresiko karena suatu penyakit atau prosedur invasif
diri, motivasi dan kepercayaan yang bertujuan agar pasien atau keluarga dapat
dukungan, bahasa tubuh yang positif dan perawatan yang dilihat dari segi
dan rehabilitasi.
dalam tatanan pediatrik. Juga termasuk perhatian dan saran terhadap adaptasi
lingkungan di kamar rumah sakit dan rumah pasien. Perawat seharusnya
c. Comfort measures
Comfort measures mengacu pada tiga comfort berikut, yaitu : Comfort care
sosiokultural dan lingkungan yang nyaman bagi klien. Comfort care mempunyai
3 komponen, yaitu intervensi yang sesuai dan tepat waktu, model perawatan yang
perhatian dan empati, berfokus pada kenyamanan pasien. Comfort measures itu
yang spesifik dibutuhkan oleh penerima jasa, seperti fisiologis, sosial, financial,
kebutuhan akan rasa nyaman relief ease dan transcendence dalam kontek
d. Enhanced Comfort
kewenangan perawat. Proses yang dilakukan pada tahap ini sesuai dengan asuhan
ini.
e. Intervening variables
Intervening variables adalah faktor positif ataupun negatif yang sedikit sekali
masa lalu, usia, sikap, status emosional, support system, prognosis, financial, dan
kebiasaan/pola kesehatan.
HSBs adalah perilaku pasien atau keluarga yang terlibat secara sadar atau tidak
kategori yang luas dari outcome berikutnya yang berhubungan dengan pencarian
kesehatan yang didefinisikan oleh resipien saat konsultasi dengan perawat. HSBs
ini dapat berasal dari eksternal (aktivitas yang terkait dengan kesehatan), internal
g. Institusional integrity
pelayanan kesehatan pada area lokal, regional, dan nasional. Pada sistem rumah
sakit, definisi institusi diartikan sebagai pelayanan kesehatan umum atau home
care.
2. Hubungan antar konsep dalam teori comfort Kolcaba
Hubungan antar konsep Kolcaba dapat diterapkan dalam proses keperawatan dengan
diawali dari kemampuan perawat dalam mengkaji kebutuhan rasa nyaman terkait pengalaman
fisik, psikospiritual, sosiokultural, lingkungan klien dan anggota keluarga. Perawat dapat
variables. Perawat melakukan intervensi yang dianggap efektif dengan perilaku yang caring,
sehingga hasil yang dicapai terlihat sebagai peningkatan rasa nyaman atau disebut comfort
measures. Sedangkan comfort care akan mengkaitkan semua komponen tersebut. Pasien dan
perawat sepakat tentang health seeking behaviour yang diinginkan, bila kenyamanan tercapai,
pasien dan anggota keluarga terikat oleh HSBs dan akan lebih puas dengan pelayanan
kesehatan. Bila perawat dan klien puas terhadap institusi pelayanan, masyarakat akan
mengetahui kontribusi institusi tersebut terhadap program kesehatan pemerintah. Institusi jadi
lebih terpandang dan berkembang (Kolcaba, 2003; Sitzman & Eichelberger, 2011).
3. Kolcaba mengembangkan teori kenyamanan melalui tiga jenis pemikiran logis yaitu:
a. Induksi
Induksi terjadi setelah terjadi proses generalisasi dari pengamatan terhadap objek
yang spesifik (Bishop & Hardin, 2006). Ketika perawat mendalami tentang
menjabat sebagai kepala unit Alzheimer. Pada saat itu beliau menemukan istilah
yang digunakan untuk mendeskripsikan praktek pada perawatan demensia
hubungan antara ketiga istilah tersebut, beliau menyadari bahwa ketiganya tidak
fungsi optimal. Proses ini menandai langkah awal dari teori comfort Kolcaba dan
b. Deduksi
general menjadi kesimpulan yang lebih spesifik (Bishop & Hardin, 2006).
Sesuatu hal yang diinginkan adalah suatu kerangka konsep general yang mampu
Teori dari seorang psikolog bernama Henry Murray, dianggap sesuai untuk
needs, yang diaplikasikan pada pasien yang mendapatkan banyak stimulus dalam
Dalam tahap deduktif ini, Kolcaba memulai dengan abstrak, teori konstruksi
c. Retroduksi
Retroduksi adalah suatu format pemikiran untuk memulai ide. Bermanfaat untuk
memilih suatu fenomena yang dapat dikembangkan lebih lanjut dan diuji.
Kolcaba menambahkan line empat dalam teori Murray, antara lain kekuatan
Uraian konsep paradigm keperawatan yang diaplikasikan dalam teori Kolcaba adalah
sebagai berikut.
a. Keperawatan
Pengkajian dan evaluasi dapat dinilai secara subyektif, seperti ketika perawat
perilaku. Penilaian juga dapat dilakukan melalui rangkaian penilaian skala (VAS)
oleh Kolcaba.
b. Manusia
c. Lingkungan
Lingkungan adalah aspek dari pasien, keluarga, atau institusi yang dapat
selama perawatan. Dalam kasus ini paparan AC dalam ruangan, pembatas tirai,
kondisi ruangan yang kotor, sempit dan ramai merupakan gambaran dari
Kesehatan adalah fungsi optimal, seperti yang digambarkan oleh pasien atau
kelompok, dari pasien, keluarga, atau masyarakat. Adapun asumsi yan berkaitan
kompleks.
2. Kenyamanan adalah suatu hasil holistik yang diinginkan yang mengacu pada
disiplin keperawatan
mereka.
5. Pasien yang dianjurkan secara aktif untuk HSBs, merasa puas dengan
penerima perawatan.
diharapkan kenyamanan tercapai, pasien dan anggota keluarga terikat oleh HSBs
a. Pengkajian
Tahap pertama dari proses keperawatan dalam teori comfort Kolcaba adalah
subyektif klien.
b. Perencanaan
Tahap kedua dari proses keperawatan comfort Kolcaba adalah Comfort Measures
1) Comfort Measures
untuk membuat anak atau keluarga merasa diperhatikan dan diperkuat, seperti
2) Intervening variables
dimiliki pasien serta bagaimana cara yang paling sesuai menurut pasien.
lntervensi holistik yang sesuai dengan teori kenyamanan antara lain: terapi
5. Diagnosa Medis:
[ ] Wheezing [ ] Rales
g. Nyeri saat nafas : [ ] Tidak []Ya
h. Alat bantu nafas : [ ] Tidak [ ] Ya
Lokasi : .................................................................
c. Ekstrimitas : [ ] Normal [ ] Spastis [ ]Parese
d. Skala Barthel Indeks : .................................................................
e. Skala Norton : .................................................................
C. Pengkajian Kenyamanan Psikospiritual (Psikospiritual Comfort)
1. Hochman JS, Ohman EM. Cardiogenic Shock. The AHA Clinical Series. Wiley
Blackwell. Januari 2009
2. Hochman JS, Menon Venu. Clinical manifestations and diagnosis of cardiogenic
shock in acute myocardial infarction. UpToDate. Wolters Kluwer Health. Juni 2013
Available from www.uptodate.com
3. Ren X, Lenneman A. Cardiogenic Shock. Medscape Reference. May
2013. Available from www.emedicine.medscape.com
4. Hochman JS, Ingbar D. Cardiogenic Shock and Pulmonary Edema ; in Kasper DL et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. McGraw-Hill inc. USA ; 2005
5. Alwi I, Nasution SA. Syok Kardiogenik. Dalam Sudoyo AW dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, ed kelima jilid I. Interna Publishing. Jakarta ; November 2009
6. Khalid L, Dhakam SH. A Review of Cardiogenic Shock In Acute Myocardial
Infarction.Current Cardiology Review. Pakistan ; 2008
7. Kruger W, Ludman A. Acute Heart Failure. Birkhauser. p72-85. Berlin ; 1997
8. Antman EM, ST-Elevation Myocard Infarc Management. In Libby P et al. Braunwald's
Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine, 8th ed. Saunders.
Philadelphia; 2008
9. Reynolds HR, Hochman JS. Cardiogenic shock: current concepts and improving
outcomes. Circulation. Feb 5 2008;117(5):686-97
10. Hochman JS, Menon V. Management of Cardiogenic Shock Complicating Acute
Myocardial Infarction. Heart. 2002 Available from : www.bmjjournals.com
11. Fuster V et al. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In Hurst’s The Heart, 12th
ed. The McGraw-Hill Companies ; 2008
12. Califf RM, Bengtson JR. Cardiogenic Shock, Current Concepts. NEJM. June 1994