Anda di halaman 1dari 33

EVIDANCE BASED NURSING (EBN)

EFEKTIVITAS TOPICAL HEAT THERAPY PADA PENURUNAN


INTENSITAS NYERI PASIEN ACUTE CORONARY SYNDROME
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA SISTEM KARDIOVASKULER SEMESTER GANJIL 2021/2022
DI RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

CI Akademik :
Ns. Dally Rahman, M.Kep, Sp.Kep.MB

CI RSUP :
Ns. Hendria Putra, M.Kep, Sp. KMB

Disusun Oleh Kelompok A:


Ns. Zulaika Harissya, S.Kep
Ns. Rahmiwati, S.Kep
Ns. Ritta Farma, S.Kep
Ns. Fajar Idul Syaputra, S.Kep

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Acute Coronary Syndrome (ACS)

Jantung adalah organ tubuh yang berfungsi memompa darah ke seluruh


jaringan tubuh melalui pembuluh darah (Arteri), sebaliknya jantung menerima
darah kembali melalui pembuluh darah balik (Vena). Untuk dapat menjalankan
fungsinya otot-otot jantung mendapat pasokan darah melalui pembuluh darah
yang disebut pembuluh darah koroner (Syukri, Panda, & Rotty, 2011).
Pembuluh darah koroner merupakan penyalur aliran darah (membawa
oksigen dan makanan yang dibutuhkan miokard agar dapat berfusi dengan baik
(Djohan, 2004). Sebagaimana organ-organ tubuh lainnya, organ jantung
memperoleh zat asam (oksigen) dan makanan (nutrisi) melalui pembuluh darah
koroner tadi. Ketika pasokan oksigen dan nutrisi ke otot jantung berkurang
(defisit) yang disebabkan karena pembuluh darah koroner mengalami
penyempitan dengan akibat pasokan darah ke organ jantung melalui pembuluh
darah koroner tadi berkurang, maka gangguan ini disebut PJK (Penyakit Jantung
Koroner) (Syukri et al., 2011).
Adanya aterosklerosis koroner dimana terjadi kelainan pada intima
bermula berupa bercak fibrosa (fibrous plaque) dan selanjutnya terjadi ulserasi,
pendarahan, kalsifikasi dan trombosis. Perjalanan dalam kejadian aterosklerosis
tidak hanya disebabkan oleh faktor tunggal, akan tetapi diberati juga banyak
faktor lain seperti : hipertensi, kadar lipid, rokok, kadar gula darah yang
abnormal (Djohan, 2004).
Gambaran klinis PJK termasuk iskemia tanpa gejala, angina pektoris
stabil, angina tidak stabil, infark miokard, gagal jantung, dan kematian
mendadak (sudden death). Kejadian-kejadian yang bersifat akut dan memiliki
risiko kematian tinggi telah dikategorikan kedalam Sindroma Koroner Akut
(SKA) (Syukri et al., 2011).
1.1.1 Pengertian
Sindroma Koroner Akut (SKA) atau Acute Caronary Syndrome
(ACS) adalah sindroma klinik yang mempunyai dasar fisiologi yang sama
yaitu adanya erosi, fisura, ataupun robeknya plak atheroma sehingga
menyebabkan trombosis intravaskular yang menimbulkan
ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard (Majid,
2007). Ketiga gangguan ini disebut Sindrom Koroner Akut karena gejala
awal serta manajemen awal sering serupa yaitu sebuah kondisi yang
melibatkan ketidaknyamanan dada atau gejala lain yang disebabkan oleh
kurangnya oksigen ke otot jantung (miokardium) dan \merupakan
sekumpulan manifestasi atau gejala akibat gangguan pada arteri koronaria
(Torry, Panda, & Ongkowijaya, 2013).
1.1.2 Klasifikasi
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia,
(2015) menyatakan bahwa berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung,
Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
a. Infark Miokard dengan Elevasi Segmen ST (STEMI: ST segment
Elevation Myocardial Infarction)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan
ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran
darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner
perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua
sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak
memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.
b. Infark Miokard dengan Non Elevasi Segmen ST (NSTEMI: NonST
segment Elevation Myocardial Infarction)
NSTEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa
elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi
gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo
normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Ditambah lagi dengan
peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/ T atau CKMB.
Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan
bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST
Non Elevasi (NonST Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI).
c. Angina Pektoris Tidak Stabil (UAP: Unstable Angina Pectoris)
Disebabkam primer oleh kontraksi otot poles pembuluh koroner
sehingga mengakibatkan iskeia miokard. patogenesis spasme tersebut
hingga kini belum diketahui, kemungkinan tonus alphaadrenergik yang
berlebihan (Histamin, Katekolamin Prostagglandin). Selain dari spame
pembuluh koroner juga disebut peranan dari agregasi trobosit. penderita
ini mengalami nyeri dada terutama waktu istirahat, sehingga terbangun
pada waktu menjelang subuh. Manifestasi paling sering dari spasme
pembuluh koroner ialah variant (prinzmental) (Djohan, 2004). Pada
angina pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara
bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk
peningkatan CKMB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai
normal atas (upper limits of normal).
1.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi SKA melibatkan ateroskelerosis yang merupakan proses
terbentuknya plak yang berdampak pada intima dari arteri. Proses
aterosklerosis ini terjadi sepanjang usia sebelum akhirnya
memberikan manifestasi klinis. Beberapa faktor risiko yang
mempengaruhi proses ini adalah hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes,
dan merokok. Faktor risiko ini merusak endotelium pembuluh darah dan
akhirnya menyebabkan disfungsi endotel yang membantu proses
aterosklerosis (Myrtha, 2012).
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma
pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak
tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan
aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner,
baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang
menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi
pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
memperberat gangguan aliran darah koroner. Berkurangnya aliran darah
koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang
berhenti selama kurang lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard) (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2015).
1.1.4 Pengkajian
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos
dada, diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat
dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina Stabil, kemungkinan
SKA, dan definitif SKA
a. Anamnesis
Faktor risiko SKA dapat dibagi dua: pertama adalah faktor risiko
yang dapat diperbaiki (reversible) atau bisa diubah (modifiable), yaitu:
hipertensi, kolesterol, merokok, obesitas, diabetes mellitus,
hiperurisemia, aktivitas fisik kurang, stress, dan
gaya hidup (life style) dan faktor risiko yang tidak dapat diperbaiki
seperti usia, jenis kelamin, dan riwayat penyakit keluarga.
Efek rokok adalah menambah beban miokard karena rangsangan
oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi oksigen akibat inhalasi
karbonmonoksida atau dengan kata lain dapat menyebabkan takikardi,
vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding
pembuluh darah, dan merubah 5-10% Hb menjadi karboksi-Hb
sehingga meningkatkan risiko terkena sindrom koroner akut. Hipertensi
dapat berpengaruh terhadap jantung melalui meningkatkan beban
jantung sehingga menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan
mempercepat timbulnya aterosklerosis karena tekanan darah yang tinggi
dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding
pembuluh darah arteri koronaria sehingga memudahkan terjadinya
aterosklerosis koroner. Kolesterol, lemak, dan substansi lainnya dapat
menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga
lumen dari pembuluh darah tersebut menyempit dan proses ini disebut
aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan
aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran
darah pada pembuluh darah koroner yang fungsinya memberi oksigen
ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya oksigen akan menyebabkan
otot jantung menjadi lemah, nyeri dada, serangan jantung bahkan
kematian mendadak (Torry et al., 2013).
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada
yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan
angina tipikal berupa rasa tertekan/ berat daerah retrosternal, menjalar
ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium.
Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/ beberapa menit atau
persisten (> 20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan
penyerta seperti diaphoresis, mual/ muntah, nyeri abdominal, sesak
napas, dan
sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri
di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan
(indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah
mendadak yang sulit diuraikan (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2015).
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia
miokard (nyeri dada non kardiak):
1) Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau
batuk)
2) Nyeri abdomen tengah atau bawah
3) Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah
apeks ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4) Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5) Nyeri dada dengan durasi beberapa detik dan menjalar ke ekstremitas
bawah
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor
pencetus iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan
menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara
jantung Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal
menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau
epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (> 20 menit); sering
disertai diaphoresis, mual/ muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop, ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa
untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12
sadapan sesegera mungkin sesampainya di ruang gawat
darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta V7-V9
sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan EKG yang
mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan
V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang
mempunyai EKG awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman
EKG dibuat dalam 10 menit sejak kedatangan pasien di ruang gawat
darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang setiap keluhan
angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien
dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal,
nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/
persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥ 20 menit)
maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada
2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST
untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian
besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1- V3 nilai ambang
untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada prian usia ≥
40 tahun adalah ≥ 0,2 mV, pada pria usia < 40 tahun adalah ≥ 0,25
mV. Perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-V3
tanpa memandang usia, adalah ≥ 0,15 mV. Bagi pria dan wanita,
nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥
0,05 mV.
Tabel 2.1
Lokasi Infark Berdasarkan Sadapan EKG

Sadapan dengan Deviasi Lokasi Iskemia atau


Segmen ST Infark
V1 – V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular


Indonesia, 2015

Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran


EKG pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai
dengan elevasi segmen ST ≥ 1 mm pada sadapan dengan kompleks
QRS positif dan depresi segmen ST ≥ 1 mm di V1-V3. Adanya
keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi
segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard
dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris
tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik
untuk iskemia adalah sebesar ≥ 0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥
0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST,
dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten (< 20
menit), dan dapat terdeteksi di > 2 sadapan berdekatan. Inversi
gelombang T yang simetris ≥ 0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi
untuk untuk iskemia akut (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2015).
b) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan marka jantung dengan Creatinin Kinase MB


(CKMB) atau troponin I/ T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/ T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CKMB. Peningkatan
marka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun
tidak dapat dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit
tersebut (penyebab koroner/ nonkoroner). Troponin I/ T juga dapat
meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner seperti
takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/ T adalah sepsis, luka bakar, gagal
napas, penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner,
kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan
troponin I memberikan informasi yang seimbang terhadap terjadinya
nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi
dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CKMB atau
troponin I/ T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam
setelah awitan SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8- 12 jam
setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat ditentukan
dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6- 12 jam
setelah pemeriksaan pertama. Kadar CKMB yang meningkat dapat
dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal
(menyebabkan spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang
singkat yaitu 48 jam. Mengingat waktu paruh yang singkat, CKMB
lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang).
Data laboratorium, disamping marka jantung, yang harus
dikumpulkan di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula
darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi darah, tes fungsi ginjal
dan panel lipid.
c) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto polos dada. Tujuan pemeriksaan adalah untuk


membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit
penyerta.
1.1.5 Tindakan Umum dan Langkah Awal

Sasaran pengobatan SKA pertama adalah menghilangkan rasa sakit


dan cemas. Kedua mencegah dan mengobati sedini mungkin komplikasi
(30-40%) yang serius seperti payah jantung, aritmia, thrombo-embolisme,
pericarditis, ruptur m. papillaris, aneurisma ventrikel, infark ventrikel
kanan, iskemia berulang dan kematian mendadak (Djohan, 2004). Menurut
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (2015) terapi
awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat
darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan marka jantung adalah
Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus
diberikan semua atau bersamaan.
a. Tirah baring

b. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan


saturasi O2 arteri < 95% atau yang mengalami distres respirasi
c. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6
jam pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri
d. Aspirin 160- 320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih
terpilih mengingat absorpsi sublingual (dibawah lidah) yang lebih
cepat. Pada pembuluh darah koroner, agregrasi platelet dan
pembentukan trombus dilakukan oleh troboksan A2 (TXA-2) yang
dihasilkan oleh platelet yang teraktivasi dan dikatalisis oleh enzim
siklooksigenase 1 (COX-1). Pemberian Aspirin bertujuan untuk
membatasi trombus. Aspirin menghambat COX-1 dalam platelet,
menghambat produksi TXA-2 dan agregrasi platelet. Pasien yang
alergi aspirin bisa diberikan clopidogrel 300 mg (Fletcher, 2007).
e. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg


dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/ hari. Pada pasien
yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah
clopidogrel. Pasien STEMI yang direncanakan untuk reperfusi
menggunakan agen fibrinolitik dengan dosis awal clopidogrel adalah
300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/ hari.
f. Nitrogliserin (NTG) spray/ tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri
dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat jika nyeri
dada tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima
menit sampai maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual
dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat
dipakai sebagai pengganti.
g. Morfin diberikan sebagai analgesik, untuk mengurangi kecemasan
pasien dan menurunkan respon adrenalin, frekuensi nadi (heart rate),
tekanan darah dan kebutuhan oksigen miokard (Fletcher, 2007).
Pemakaian morfin dosis rendah 5- 10 mg memiliki efek analgesia yang
disertai hilangnya fungsi sensorik, eksitasi, depresi nafas, miosis, suhu
badan menurun, psikomotor menurun, letargi dan apatis. Masa kerja
morfin 4-5 jam (Hartadi & Liman, 2000).
1.2 Teoritis Nyeri
1.2.1 Definisi
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan
yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan actual
(International Association for the Study of Pain [IASP], dalam Potter &
Perry, 2013). Nyeri adalah sebuah fenomena multidimensional dan sangat
sulit untuk mengartikan oleh karena itu nyeri adalah suatu pengalaman yang
subjektif dan personal (Black & Hawks, 2009).

1.2.2 Proses Terjadinya Nyeri


Sistem saraf tepi meliputi saraf sensorik yang khusus mendeteksi kerusakan
jaringan dan menimbulkan sensasi sentuhan, panas, dingin nyeri dana
tekanan. Reseptor yang menyalurkan sensasi nyeri disebut nosiseptor
(Kozier, Berman & Snyder, 2010). Proses yang berhubungan dengan
persepsi nyeri dapat digambarkan sebagai nosisepsi (Kozier, Berman &
Snyder, 2010). Terdapat empat proses yang terlibat dalam nosisepsi yaitu :

a. Transduksi
Transduksi adalah proses stimulus berbahaya (cedera jaringan) memicu
pelepasan mediator kimia (misalnya, prostaglandin, bradikinin,
serotonin, histamine), yang mensensitasi nosiseptor. Stimulasi
menyakitkan atau berbahaya juga menyebabkan pergerakan ion-ion
menembus membran sel, yang membangkitkan nosiseptor (Paice, 2002
dalam Kozier, Berman & Snyder, 2010).

Transduksi terjadi saat konversi stimulus mekanik, termal atau kimia


beracun menjadi sinyal listrik yang disebut dengan potensial aksi.
Stimulus berbahaya yang timbul saat adanya kerusakan jaringan, suhu
(misalnya, kulit terbakar), mekanik (misalnya sayatan bedah) atau
rangsangan kimia (misalnya, zat beracun), menyebakan pelepasan
berbagai bahan kimia ke dalam jarinagan yang rusak. Bahan kimia
lainnya dikeluarkan oleh sel mast (misalnya, serotonin, histamine,
bradikinin, dan prostaglandin), dan makrofag (Lewis et al., 2011).

Sifat-sifat reseptor sehingga yang intens berbeda dalam beberapa hal


penting mendeteksi baik intensitas rendah, stimuli normal atau
rangsangan berbahaya (Kidd & Urban, 2001).
b. Transmisi
Transmisi adalah proses dimana sinyal rasa sakit diteruskan dari bagian
perifer ke susum tulang belakang dan kemudian ke otak, dimana
potensial aksi diteruskan dari tempat cedera ke spinal cord kemudian
dari spinal cord diteruskan ke otak dan hipotalamus, kemudian dari
hipotalamus diteruskan ke korteks untuk kemudian diproses (Lewis et
al., 2011). Transmisi adalah serangkaian kejadian- kejadian neural yang
membawa impuls listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses
transmisi melibatkan saraf aferen yang terbentuk dari serat saraf
berdiameter kecil ke sedang serta yang berdiameter besar (Davis, 2003
dalam Ardinata 2007).
Proses ini meliputi tiga segmen (McCaffery & Pasero, 1999 dalam
Kozier, Berman & Snyder, 2010) yaitu: 1) Segmen pertama Impuls nyeri
berjalan dari serabut saraf tepi ke medulla spinalis. Zat P bertindak
sebagai neurotransmitter yang meningkatkan pergerakan impuls
menyeberangi sinaps saraf dari neuron afferent primer ke neuron ordo ke
dua di kornu dorsalis medulla spinalis. Dua tipe serabut noiseptor
menyebabkan transmisi ini ke kornu dorsalis medulla spinalis yaitu
serabut C, yang mentranmisikan nyeri tumpul yang berkepanjangan dan
serabut A delta mentranmisikan nyeri tajam dan lokal, 2) Segmen kedua
segmen ini meliputi transmisi dari medulla spinalis dan asendens melalui
traktus spinotalakmikus ke batang otak dan thalamus, dan 3) Segmen
ketiga melibatkan transmisi sinyal antara thalamus ke korteks sensorik,
somatik tempat terjadinya persepsi nyeri.
c. Persepsi
Persepsi adalah titik di mana seseorang menyadari rasa sakit. sedangkan
korteks berhubungan dengan somatosensorik korteks terutam
mengidentifikasi lokasi dan intensitas nyeri (Potter & Pery, 2013).
Menurut Lewis et al., (2011) persepsi terjadi ketika terjadinya nyeri,
pengakuan serta ditanggapi oleh individu yang mengalami rasa nyeri.
Persepsi adalah ketika klien menjadi sadar rasa sakit. Persepsi nyeri
adalah jumlah kegiatan yang kompleks dalam sistem saraf pusat yang
dapat membentuk karakter dan intensitas nyeri yang dirasakan dan
menganggap arti rasa sakit. Konteks psikososial situasi dan makna rasa
sakit berdasarkan pengalaman masa lalu dan harapan masa depan
membantu membentuk respon perilaku yang mengikutinya (Kozier,
Berman & Snyder, 2010).
c. Modulasi
Penghambatan impuls ini nyeri adalah tahap keempat dan
terakhir dari nociceptive yang proses yang dikenal sebagai
modulasi (Pasero & McCaffery, dalam Potter & Perry, 2013).
Sering digambarkan sebagai "sistem yang menurun" Proses ini
terjadi ketika neuron di thalamus dan batang otak mengirim
sinyal kembali ke horn dorsal sumsum tulang belakang
(Kozier et al., 2010).

1.2.3 Tingkat Nyeri


Tipe nyeri dapat dikelompokan berdasarkan waktu, tempat dan
penyebabnya (Kozier, Berman & Snyder, 2010).
a. Menurut waktu nyeri :
• Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang yang umumnya berlangsung dalam
waktu singkat atau kurang dari enam bulan (Black & Hawks, 2009)
memiliki awitan mendadak atau lambat tanpa memperhatikan
intesitasnya (Kozier, Berman & Snyder, 2010).
• Nyeri kronik
• Nyeri yang berlangsung lama, biasanya bersifat kambuhan atau
menetap selama enam bulan atau lebih dan mengganggu fungsi
tubuh (Kozier, Berman & Snyder, 2010)
b. Lokasi Nyeri
 Nyeri Kutaneous
Menurut Kozier et al., (2010) Nyeri yang berasal dari kulit atau
jaringan subkutan. Nyeri kutaneus dapat ditandai dengan onset
mendadak dan tajam atau kualitas tetap atau dengan onset lambat
dan kualitas seperti rasa terbakar, tergantung pada jenis serat saraf
yang terlibat. Reseptor nyeri berakhir tepat dibawah kulit dan karena
konsentrasi tinggi dari ujung saraf, atau juga sering disebut nyeri
lokal dengan durasi pendek (Black & Hawks, 2009).
 Nyeri Somatik Profunda
Nyeri yang berasal dari ligament, tendon, tulang, pembuluh darah
dan saraf. Nyeri somatic profunda menyebar dan cenderung
berlangsung lebih lama dibandingkan nyeri kutaneus (Kozier,
Berman & Snyder, 2010).
 Nyeri Viseral
Nyeri yang berasal dari stimulus reseptor nyeri rongga abdomen,
cranium dan toraks. Nyeri visceral cenderung menyebar dan
seringkali terasa seperti nyeri somatic profunda, yaitu rasa terbakar,
nyeri tumpul atau merasa tertekan. Nyeri sering disebabkan oleh
peregangan jaringan, iskemic, spasme otot (Kozier, Berman &
Snyder, 2010). Nyeri visceral sangat sulit untuk dilokalisasi, dan
beberapa cedera pada jaringan visceral terlihat seperti nyeri alih atau
referred pain, dimana sensasi telokalisir pada daerah yang tidak ada
hubungannya dengan tempat terjadinya cedera (Black & Hawks,
2009). Nyeri disebabkan karena saraf eferen viseral akan terangsang
selama terjadi kerusakan jantung., akan tetapi korteks serebral tidak
dapat menentukan apakah nyeri berasal dari jantung. Karena
rangsangan saraf melalui medulla spinalis T1-T4 yang juga
merupakan jalannya rangsangan saraf sensoris dari sistem somatid
yang lain.
c. Menurut tempat yang dirasakan
 Nyeri Menjalar
Nyeri yang dirasakan disumber nyeri dan meluas ke jaringan-
jaringan disekitarnya, misalnya nyeri jantung tidak hanya dapat
dirasakan didada tetapi juga dapat dirasakan dibahu kiri maupun
kelengan (Kozier, Berman & Snyder, 2010).
 Nyeri alih
Nyeri alih adalah nyeri yang dirasakan di satu bagian tubuh yang
cukup jauh dari jaringan yang menyebabkan nyeri. Misalnya, nyeri
yang berasal dari sebuah bagian visera abdomen dapat dirasakan
disuatu area kulit yang jauh dari organ yang menyebabkan nyeri
(Kozier, Berman & Snyder, 2010).
Nyeri alih adalah bentuk nyeri visceral dan dirasakan di daerah yang
jauh dari tempat stimulus. Itu terjadi ketika serat syaraf yang
melayani area tubuh yang jauh dari tempat stimulus lewat di dekat
stimulus. Sensasi nyeri alih mungkin intens, dan mungkin ada sedikit
atau tidak merasakan sakit pada titik stimulus berbahaya (Black &
Hawks, 2009).
 Nyeri tak tertahankan
Nyeri tak tertahankan adalah nyeri yang sangat sulit diredakan. Salah
satu contohnya adalah nyeri akibat keganasan stadium lanjut
(Kozier, Berman & Snyder, 2010).
 Nyeri neuropatik

Nyeri neuropatik adalah nyeri akibat kerusakan system syaraf tepi


atau syaraf pusat dimasa kini atau masa lalu dan mungkin tidak
mempunyai sebuah stimulus, seperti kerusakan jaringan atau syaraf
untuk rasa nyeri. Nyeri neuropatik berlangsung lama, tidak
menyenangkan, dan dapat digambarkan sebagai rasa terbakar, nyeri
tumpul dan nyeri tumpul yang berkepanjangan (Kozier, Berman &
Snyder, 2010). Nyeri yang melibatkan sistem syaraf pusat atau
system syaraf perifer (Gililland, 2008).
 Nyeri bayangan
Nyeri bayangan adalah sensasi rasa nyeri yang dirasakan pada
bagian tubuh yang telah hilang missal pada kaki yang telah di
amputasi. Nyeri bayangan disebut juga dengan Phantom pain
(Kozier, Berman & Snyder, 2010).

 Breakthrough pain

Breakthrough pain adalah nyeri yang datang tiba-tiba untuk jangka


waktu yang singkat serta tidak dapat diatasi dengan manajemen
nyeri yang normal oleh pasien. Hal ini sering terjadi pada pasien
kanker yang sering memiliki tingkat latar belakang nyeri yang di
kendalikan oleh obat-obatan (Black & Hawks, 2009).
1.2.4 Intesitas Nyeri
Perawat melakukan asesmen nyeri pada semua pasien dengan menanyakan
intensitas nyeri. Tunjukkan alat asesmen nyeri Visual Analog Scale (VAS)
pada pasien dewasa dan anak (> 9 tahun). Pasien diminta untuk memilih
skala yang sesuai tingkatan nyeri yang dirasakan. Gunakan skala nyeri dan
kelompokkan dalam 3 kategori:
a) 1-3: Nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari).
b) 4-6: Nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari- hari).
c) 7-10 : Nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)
1.2.5 Manajemen Nyeri
a. Farmakologi
1) Analgesic opoid (narkotik)
Analgesic opioid terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan
kodein opioid meredakan nyeri dan memberi rasa euphoria lebih
besar dengan meningkatkan reseptor opiate dan mengaktivasi
endogen (muncul dari penyebab didalam tubuh) Penekanan nyeri
dalam susunan saraf pusat. Perubahan alam perasaan dan sikap serta
perasaan sejahtera membuat individu lebih nyaman meskipun nyeri
tetap dirasakan (Kozier, Berman & Snyder, 2010).
2) Obat-obatan anti-inflamasi non opioid/nonsteroid (non steroid anti
inflammation drugs/ NSAID)
Non opoid mencakup asetaminofen dan obat anti inflamasi non
steroid (NSAID) seperti ibuprofen. NSAID memiliki efek anti
inflamasi, analgesic, dan antipiretik. Obat-obatan ini menurunkan
nyeri dengan bekerja pada ujung saraf tepi ditempat cedera dan
menurunkan tingkat mediator inflamasi serta mengganggu produksi
prostaglandin ditempat cedera (Kozier, Berman & Snyder, 2010)
3) Analgesic Penyerta
Analgesic penyerta adalah obat yang bukan dibuat untuk penggunaan
analgesic tetapi terbukti mengurangi nyeri kronik dan kadang kala
nyeri akut, selain bekerja utamanya (Kozier, Berman & Snyder,
2010).
b. Non-Farmakologi
Menurut Mohammadpour, et al (2014) intervensi keperawatan yang
dapat dilakukan untuk manajemen nyeri dengan teknik
nonfarmakologi yaitu penggunaan topical heat therapy dalam
menurunkan nyeri dada pada pasien dengan Acute Coronary
Syndrome. Penelitian dilakukan di Iran dengan memberikan terapi
panas kepada 66 pasien yang terdiagnosa Acute Coronary Syndrome.
1.3 Penggunaan Topical Heat Therapy dalam penurunan Nyeri
Topical Heat merupakan salah satu intervensi yang dapat diberikan dalam
menurunkan nyeri. Terapi panas ini dapat memberikan rasa nyaman pada pasien
dengan Acute Coronary Syndrome. Pada dasarnya penyakit jantung koroner
dengan penyumbatan akan menghambat aliran darah sehingga akan terjadi
penurunan oksigenasi ke miokard. Sumbatan tersebut akan menginflamasi
pembuluh darah dan akan mengaktifkan bradikinin yang mengatar reseptor
nyeri ke otak sehingga menimbulkan nyeri dada. Pemberian terapi panas
berguna untuk melebarkan/dilatasi pembuluh darah sehingga nutrisi dan
oksigenasi dalam jantung berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan nyeri
(mohammadpour,2014). Panas dapat mensekresi hormon endorphin yang
bertujuan memberikan kenyaman pada pasien dengan acute coronary syndrome.
Pemberian topical heat therapy diberikan di ruangan intensif
cardiovaskular. Topical heat therapy diberikan setelah 2 jam pasien masuk
ruangan intensif. Perawatan rutin di ruangan tetap diberikan sekaligus mengkaji
skala nyeri serta penentuan obat-obatan yang menurunkan nyeri dada pasien.
Suhu air yang digunakan adalah 75 oC dengan penggunaan handuk, namun
karena menghindari rasa terbakar dan kehilangan panas yang cepat, penggunaan
handuk dikatakan kurang efisien dan lebih dianjurkan menggunakan hot pack
dengan konsekuensi suhu akhir 500C. Terapi diberikan sampai suhu air 37 0 C,
sekitar 30 menit selama 4 sesi per 12 jam. Hot Pack diberikan di dada sebelah
kiri. Setelah intervensi diberikan kaji kembali skala nyeri pasien.
BAB III
PENELUSURAN EVIDENCE

3.1 Pertanyaan Klinis


Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan diatas maka dapat
dirumuskan masalah dalam pertanyaan klinis “Pada pasien Acute Coronary
Syndrome (ACS), apakah penggunaan Topical Heat Therapy dapat menurunkan
tingkat nyeri pada dada?”. Untuk lebih jelasnya akan digambarkan dalam bentuk
PICO seperti pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.1
Analisis PICO
Unsur PICO
Analisis Kata Kunci
(Terapi)
P Pasien Acute Coronary ACS
Syndrome (ACS)
I Topical Heat Therapy Topical Heat Therapy
C Standar intervensi klien Acute Coronary
dengan ACS Syndrome management
guidline
O Menurunkan tingkat nyeri Reduce chest pain
dada

3.2 Sumber Penelusuran dan Kata Kunci


Penelusuran jurnal yang yang berhubungan dengan penggunaan
Pedometer dapat meningkatkan aktivitas fisik dan kualitas hidup pasien
menggunakan internet online data base yaitu:
1. http://www.sciencedirect.com
2. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
3. http://e-resources.perpusnas.go.id/
Tabel 2.2
Hasil Penelususran Evidence
Sumber Penelusuran
No Kata Kunci
Sciencedirect Pubmed Google Schoolar
1 ACS Ditemukan 940 jurnal, dipersempit dengan Ditemukan 128 jurnal, Ditemukan 49 jurnal,
nursing didapatkan 509 jurnal. dipersempit dalam 5 tahun dipersempit 1 tahun,
Dipersempit dalam 5 tahun terakhir terakhir didapatkan 33 jurnal, yang relevan 2.
didapatkan 294 jurnal, yang relevan 1. yang relevan 1.
2 Topical Heat Ditemukan 142 jurnal, dipersempit dengan Ditemukan 68 jurnal, Ditemukan 35 jurnal,
Therapy 5 tahun terakhir didapatkan 36 jurnal, yang dipersempit dalam 5 tahun dipersempit 3 tahun
relevan 1. terakhir ditemukan 12 dan yang terakhir dan di temukan
relevan 1. yang relevan 2 jurnal.
3 Acute Coronary Ditemukan 479 jurnal, dipersempit dengan Ditemukan 189 jurnal, Ditemukan 27 jurnal
Syndrome nursing didapatkan 216 jurnal. dipersempit dengan nursing dipersempit dengan
Dipersempit dalam 5 tahun terakhir didapatkan 56 jurnal, nursing didapatkan 8 dan
management
didapatkan 102 jurnal, yang relevan 1. dipersempit 5 tahun dan yang relevan 2.
guidline ditemukan yang relevan 1 jurnal.
4 Reduce chest Ditemukan 479 jurnal, dipersempit dengan Ditemukan 189 jurnal, Ditemukan 27 jurnal
pain nursing didapatkan 216 jurnal. dipersempit dengan nursing dipersempit dengan
Dipersempit dalam 5 tahun terakhir didapatkan 56 jurnal, nursing didapatkan 8 dan
didapatkan 102 jurnal, yang relevan 1. dipersempit 5 tahun dan yang relevan 2.
ditemukan yang relevan 1 jurnal.
3.3 Temuan Penelusuran
Penulis menemukan lebih dari 2057 jurnal yang sesuai dengan kata kunci yang
sudah ditetapkan. Akan tetapi, penulis hanya menemukan 2 jurnal yang relevan dengan
topik EBN yang ditentukan oleh penulis. Selanjutnya penulis akan membahas 4 jurnal
yang relevan dengan topik EBN seperti tabel dibawah ini:
1. The effects of topical heat therapy on chest pain in patients with acute coronary
syndrome: a randomised double-blind placebo-controlled clinical trial
Ali Mohammadpour, Batol Mohammadian, Mehdi Basiri Moghadam and Mahmoud
Reza Nematollahi. Journal of Clinical Nursing, doi: 10.1111/jocn.12595 Published on
25 February 20142014

1. Effects of low-intensity exercise and home-based pulmonary rehabilitation with


pedometer feedback on physical activity in elderly patients with chronic obstructive
pulmonary disease
Atsuyoshi Kawagoshi, Noritaka Kiyokawa, Keiyu Sugawara, Hitomi Takahashi,
Shunichi Sakata, Masahiro Satake, Takanobu Shioya
Respiratory Medicine, accepted 20 January 2015
http://dx.doi.org/10.1016/j.rmed.2015.01.008

2. Taking Healthy Steps: rationale, design and baseline characteristics of a


randomized trial of a pedometer-based internet-mediated walking program in
veterans with chronic obstructive pulmonary disease
Carlos H Martinez, Marilyn L Moy, Huong Q Nguyen, Miriam Cohen, Reema
Kadri, Pia Roman, Robert G Holleman, Hyungjin Myra Kim, David E
Goodrich, Nicholas D Giardino and Caroline R Richardson.
BMC Pulmonary Medicine 2014, 14:12
http://www.biomedcentral.com/1471-2466/14/12
N Peneliti Judul Metode Jumlah dan Intervensi Hasil Kekuatan dan
o (Tahun) Penelitian Peneltian Kriteria Sampel Kelemahan
1 Ali The effects Parallel  Sampel : 10 pasien Pada saat pasien Hasil Kekuatan dari penelitian
Mohammadpo of topical group,  KI: pasien diagnosis masuk ke ruang penelitian ini adalah bahwa teknisi
ur, Batol
heat assessor- ACS yang di- yang bertanggung jawab
rawatan, pasien yang menunjukkan
Mohammadian therapy on blind, tegakkan oleh ahli untuk baseline dan
Mehdi Basiri chest pain randomised jantung, memiliki memenuhi kriteria bahwa pada pengukuran terakhir
Moghadam in patients controlled status hemodinamik inklusi direkrut kelompok dibutakan untuk alokasi
and Mahmoud with acute trial (RCT) normal yang terlihat pasien.
untuk penelitian dan kontrol yang
Reza coronary dari tanda-tanda Kelemahan dari penelitian
Nematollahi. syndrome: vital, tidak memiliki dialokasikan ke salah diberi terapi ini yaitu ukuran sampel
a riwayat kecanduan satu kelompok panas plasebo yang sangat kecil yaitu
25 February randomise obat atau alkohol, hanya dilakukan pada 10
belajar. Selama dua tidak me-
2014 d double- tidak memiliki sampel
blind riwayat penyakit jam pertama setelah nurunkan
placebo- gastrointestinal atau masuk, semua pasien intensitas,
controlled muskuloskeletal di kedua kelompok durasi, dan
clinical dada atau gangguan
trial studi menerima frekuensi
psikologis, memiliki
kemampuan perawatan rutin episode nyeri
berbicara dan setelah itu pasien secara
memahami bahasa
dinilai untuk signifikan.
Persia, tidak
mengalami mengidentifikasi Namun, hasil
pembengkakan, intensitas nyeri dada, penelitian ini
memar, edema atau
luka di dada dan durasi dan frekuensi mengungkap-
memiliki indeks serta kebutuhan kan bahwa
massa tubuh 18 5-
untuk terapi kelompok
25.
 KE : terdapat analgesik opioid. eksperimen
ketidakstabilan Dua jam setelah yang diberikan
hemodinamik pada
masuk, peneliti topical heat
pasien
memberikan terapi therapy,
panas lokal kepada intensitas
pasien dalam nyeri, durasi
kelompok dan frekuensi
eksperimen. Hot pada
pack pertama-tama kelompok
dihangatkan hingga eksperimen
mencapai suhu 75 ° menurun
C dan ditempatkan secara
tepat di dada pasien. signifikan
Untuk mencegah dengan p value
kulit pasien terbakar, <0,001
maka suhu hot pack
akan sedikit
kehilangan
panas,dengan
membungkus hot
pack dengan handuk
yang disediakan oleh
peneliti.

1 Amin Effects of Uji klinis  Sampel : 78 pasien Selain perawatan. Hasil penelitian penelitian saat ini
Moradkhani, Local strategi rutin, kelompok menunjukkan menunjukkan efektivitas
 KI : pasien berusia di
Shahrm Baraz*, Thermothe purposive intervensi menerima bahwa rerata termoterapi lokal dalam
atas 30 tahun, tanpa
Habib Haybar , rapy on sampling kecanduan, termoterapi
tanpa lokal skor nyeri pada mengurangi keparahan
Akram Chest Pain
pada pasien riwayat gangguandengan paket panas kelompok nyeri pada pasien dengan
Hemmatipour, in Patients
dan Saeed dengan psikologis, otot, danyang dihangatkan intervensi ACS.
with Acute
Hesam Coronary ACS yang hingga 50 ° C satu
gastrointestinal, tanpa adalah 3,22 ±
Desember 2018 Syndrome: dirawat di penurunan jam setelah masuk
tingkat 0,86 sebelum bahwa perbedaan antara
A Clinical ICU Rumah kesadaran, dan tanpa ke Unit Jantung, intervensi dan kelompok bukan karena
Trial Sakit luka dada dan bekas setelah pemberian 2,61intervensi tingkat input yang berbeda
Golestan luka. NRS. Durasi 20 ± 0,7 setelah. dari para profesional
Ahvaz pada KE : keengganan menit dalam Pada kelompok kesehatan tetapi terkait
tahun 2016 untuk berpartisipasi intervensi diterapkan kontrol, skor dengan sifat khusus dari
dan kuesioner yang pada dada posterior nyeri rata-rata intervensi; pedometer dan
tidak lengkap. oleh perawat sekali adalah 4 ± 0,79 instruksi untuk
sehari. sebelum meningkatkan jumlah
Instrumen Termoterapi intervensi dan langkah harian daripada
pengumpulan data diberikan selama 3,05 ± 0,66 saran umum untuk lebih
meliputi: lima hari, Sebelum setelahnya. aktif dengan tujuan
1. Kuesioner dilakukan intervensi, Hasil penelitian berjalan setidaknya 30
demografi (usia, jenis dilakukan pencatatan menunjukkan menit per hari
kelamin, riwayat skor nyeri pada perbedaan yang
diabetes, hipertensi, kasus terjadinya signifikan
dan hiperlipidemia) 2. nyeri jantung. Selain dalam skor
Numerical Rating itu, skor nyeri dicatat nyeri sebelum
Scale (NRS) selama periode dan sesudah
intervensi (lima hari) intervensi (P
hingga 12 jam <0,001)
setelah sesi terakhir.
BAB III
TELAAH KRITISI

A. Deskripsi Jurnal
Penulis akan menguraikan deskripsi jurnal utama yang digunakan dalam menerapkan
EBN. Penulis akan beberapa poin yang terkait jurnal utama sebagai berikut :
1. Judul Penelitian
Judul penelitian jurnal utama adalah “The effects of topical heat therapy on chest
pain in patients with acute coronary syndrome: a randomised double-blind
placebo-controlled clinical trial”
2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efek penggunaan topical heat therapy
untuk intensitas, durasi dan frekuensi episode nyeri dada pada pasien dengan
ACS? Apa pengaruh terapi panas lokal terhadap kebutuhan terapi analgesik
opioid? pada pasien dengan acute coronary syndrome
3. Metode dan Prosedur Penelitian
Metode penelitian adalah a randomised double-blind placebo-controlled clinical
trial” pada 10 responden. Kelompok di bagi menjadi dua, yaitu kelompok
intervensi dan kelompok kontrol. Masing-masing kelompok berjumlah 10 orang
(1:1). Dimana partisipan yang memenuhi syarat yang telah memberikan
memberikan inform consent secara acak dimasukan ke dalam kelompok
intervensi atau kelompok kontrol dengan cara block randomized. Pada saat pasien
masuk ke ruang rawatan, pasien yang memenuhi kriteria inklusi direkrut untuk
penelitian dan dialokasikan ke salah satu kelompok belajar. Selama dua jam
pertama setelah masuk, semua pasien di kedua kelompok studi menerima
perawatan rutin setelah itu pasien dinilai untuk mengidentifikasi intensitas nyeri
dada, durasi dan frekuensi serta kebutuhan untuk terapi analgesik opioid. Dua jam
setelah masuk, peneliti memberikan terapi panas lokal kepada pasien dalam
kelompok eksperimen. Hot pack pertama-tama dihangatkan hingga mencapai
suhu 75 ° C dan ditempatkan tepat di dada pasien. Untuk mencegah kulit pasien
terbakar, maka suhu hot pack akan sedikit kehilangan panas,dengan membungkus
hot pack dengan handuk yang disediakan oleh peneliti.
4. Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol yang diberi terapi
panas plasebo tidak menurunkan intensitas, durasi, dan frekuensi episode nyeri
secara signifikan. Namun, hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kelompok
eksperimen yang diberikan topical heat therapy, intensitas nyeri, durasi dan
frekuensi pada kelompok eksperimen menurun secara signifikan dengan p value
<0,001.
5. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa terapi komplementer topical heat therapy efektif untuk
mengurangi intensitas, durasi dan frekuensi nyeri dada pada pasien dengan ACS.
Pada fase akut ACS, pemberian terapi sauna dan terapi panas seluruh tubuh
dikontraindikasikan. Akibatnya, terapi panas jantung lokal seperti topical heat
therapy sebagai tindakan keperawatan non-invasif, akan membantu meringankan
nyeri dada, meningkatkan fungsi endotel vaskular, memfasilitasi proses
angiogenesis dan mendorong pemulihan dan rehabilitasi.
B. Validitas (Validity)
Penelitian ini adalah penelitian randomised double-blind placebo-controlled clinical
trial pada 10 responden. Sampel dibagi menjadi 2 grup dengan masing-masing 5
responden dalam satu grup. Sampel diambil dengan teknik random sampling dan
dilakukan secara acak kedalam dua grup. Karena penelitian ini dirancang dengan
double blind clinical trial, sehingga variable perancu dikontrol secara penuh. Alat
ukur yang digunakan dalam penelitian untuk mengukuran skala nyeri yaitu
menggunakan McGill Pain Questionnaire (MPQ).
C. Kebermaknaan (Significancy)
Berdasarkan hasil penelitian adanya perbedaan pada kedua grup yang di beri
intervensi dan yang tidak. Berdasarkan uji Mann-Whitney U uji, P = 0,839 ada
perbedaan yang signifikan diantara kedua grup. Selanjutnya, kebermaknaan klinis
dinilai dengan Number Need to Treat (NNT) dan level of evidence. NNT merupakan
teknik untuk menilai efek dari intervensiyang diberikan pada pasien di tatanan klinik
untuk dilakukan tindakan sesuai dengan teknik intervensi untuk mencegah terjadinya
kejadian yang tidak diinginkan. NNT menguraikan perbedaan antara kelompok
kontrol dan kelompok intervensi dalam mendapatkan kebermaknaan hasil klinis.
NNT digambarkan dengan rumus sebagai berikut:

1
NNT =
ARR
Atau
1
NNT =
IMP act IMP con
( TOT act ) TOT con
−( )

Keterangan:
IMPact : Jumlah pasien yang diberikan intervensi sampai mencapai target
TOTact : Total pasien yang diberikan intervensi
IMPcon : Jumlah pasien yang diberikan control sampai mencapai target
TOTcon : Total pasien yang dijadikan control

Berdasarkan hasil penelitian,yang dicatat adalah topical heat therapy untuk melihat
pengaruhnya terhadap intensitas, durasi dan frekuensi episode nyeri dada pada pasien
dengan ACS sehingga grup yang akan dihitung adalah grup dengan tindakan rutin
dan grup kedua. Jika diterapkan pada pada rumus didapatkan sebagai berikut:
1
NNT =
( 301 )−( 1530 )
1
NNT =
0,5
NNT =2
Selanjutnya level of evidence penelitian ini berada pada level I karena tipe penelitian ini
adalah penelitian ekperimen dengan teknik Randomized Controlled Trial (RCT).
Selain itu, penelitian ini berada pada grade A (tinggi) untuk kualitas peneliti. Hal ini
dikarenakan penelitian ini sudah menghasilkan kesimpulan berdasarkan sampel yang
cukup, dan sudah memaparkan rekomendasi dari penelitian terdahulu mencakup
referensi untuk mendapatkan evidence yang terukur.
D. Aplikabilitas (Applicability)
Penerapan Evidence Based Nursing mengenai efektifitas topical heat therapy terhadap
pada pasien hipertensi, applicable dilakukan dirumah sakit. Pertimbangan peneliti
adalah :
1. Penerapan EBN ini tidak memerlukan peralatan tambahan hanya hotpack.
2. Dari segi penerapan, mudah diterapkan dan tidak membahayakan pasien baik
secara fisik maupun mental.
Dengan alasan inilah peneliti berkesimpulan penerapan EBN ini mampu dilaksanakan
di Rumah Sakit.
BAB IV
RENCANA PELAKSANAAN

A. Tempat Pelaksanaan

EBN ini akan diterapkan RSUP Dr. M. Djamil Padang. Adapun ruangan yang akan di gunakan
adalah ruangan CVCU.
B. Waktu Pelaksanaan

Rincian kegiatan dan waktu pelaksanaan EBN akan penulis uraikan pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.1
Rincian kegiatan dan waktu pelaksanaan EBN
NO Kegiatan Waktu Subjek
.
1 Identifikasi fenomena September 2021 Penulis/Residen
2 Penyusunan dan konsultasi September 2021 Penulis,
proposal Supervisor
3 Presentasi proposal September 2021 Penulis
4 Persetujuan pelaksanaan September 2021 Supervisor, Karu,
program EBN Diklat RS
5 Penerapan program EBN September 2021 Penulis, Perawat
6 Evalusi hasil dan penyusunan September 2021 Penulis,
laporan pelaksanaan EBN Supervisor, Karu,
Perawat
7 Presentasi hasil September 2021 Penulis,
Supervisor, Karu,
Perawat

C. Jumlah Klien

Jumlah klien yang akan dilibatkan dalam penerapan EBN ini sebanyak 2-5 kali dari NTT.
Berdasarkan perhitungan didapatkan NNT = 2,0, sehingga jumlah klien yang dibutuhkan
adalah 5-13 orang klien.

D. Prosedur Pelaksanaan

Prosedur pelaksanaan EBN yang akan diterapkan dalam EBN ini adalah:
1. Terlebih dahulu penulis akan meminta persetujuan Supervisor Utama, Supervisor dan
Supervisor Klinik untuk menerapkan EBN pada tatanan lapangan.
2. Penulis akan mengajukan perizinan kapada Diklat Rumah Sakit Universitas Andalas
dengan disetujui oleh Supervisor Klinik.
3. Penulis akan melakukan koordinasi dengan kepala unit dan perawat ruangan rawat inap
Penyakit Dalam Rumah Sakit Universitas Andalas
4. Penulis akan melakukan seleksi terhadap responden dengan memperhatikan kriteria
inklusi dan ekslusi sebagai berikut: Kriteria Inklusi:
a. Usia 40 – 65 tahun
b. Didiagnosa ACS
c. Tekanan darah kurang dari 160/100 mmhg
d. Diberikan terapi sesuai permintaan
e. Adanya nyeri dada dengan perubahan ECG

Kriteria eksklusi:
a. Orang-orang dengan gangguan pendengaran
b. Keadaan tidak sadar
5. Selanjutnya penulis akan meminta persetujuan responden dengan memberikan informed
consent
6. Pelaksanaan Intervensi dengan prosedur
Pemberian topical heat therapy diberikan di ruangan intensif cardiovaskular. Topical
heat therapy diberikan setelah 2 jam pasien masuk ruangan intensif. Perawatan rutin di
ruangan tetap diberikan sekaligus mengkaji skala nyeri serta penentuan obat-obatan yang
o
menurunkan nyeri dada pasien. Suhu air yang digunakan adalah 75 C dengan
penggunaan handuk, namun karena menghindari rasa terbakar dan kehilangan panas
yang cepat, penggunaan handuk dikatakan kurang efisien dan lebih dianjurkan
menggunakan hot pack dengan konsekuensi suhu akhir 500C. Terapi diberikan sampai
suhu air 37 0 C ,sekitar 30 menit selama 4 sesi per 12 jam. Hot Pack diberikan di dada
sebelah kiri. Setelah intervensi diberikan kaji kembali skaala nyeri pasien.
7. Penulis akan mengukur tanda-tanda vital pada kedua kelompok sebelum dan sesudah
intervensi.

Anda mungkin juga menyukai