Anda di halaman 1dari 41

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN DIAGNOSA

SPONDYLITIS TUBERCULOSIS

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 4

ADE SINTA NAULI


GERHANA
HARY RESTU ADI
HENDRA GUNAWAN
NURAINI
RENI SEPTIANI PUSPASARI
RISKY ARIO MARSANTO
SRI WARNI
YANI SRI SUNARNINGSIH
YULIANTI
YUNITA
YURIKA INDAH WIDYASTUTI

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


STIKES PERTAMEDIKA JAKARTA SELATAN

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, dimana atas segala rahmat dan izin-nya,

kami dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan Anak dengan Diagnosa Spondylitis

Tuberculosis . Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, kami dapat menyelesaikan makalah ini, walaupun penulis menyadari bahwa

masih banyak kekurangan dan kesalahan didalam makalah ini. Untuk itu kami berharap

adanya kritik dan saran yang membangun guna keberhasilan penulisan yang akan datang.

Tujuan dari makalah ini untuk mengetahui informasi terkini mengenai Spondylitis

Tuberculosis serta Tata Laksana Asuhan Keperawatannya. Akhir kata, Penulis Kelompok 4

mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga

terselesainya makalah ini semoga segala upaya yang telah dicurahkan mendapat berkah dari

Allah SWT

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Umum dan Khusus 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penyakit 4
1. Pengertian 4
2. Klasifikasi 5
3. Etilogi 8
4. Manifestasi Klinis 8
5. Patofisilogi 9
6. Komplikasi 10
7. Pemeriksaan penunjang 11
8. Penatalaksanaan 12
9. Faktor Resiko 14
10. Pathway 14
B. Proses Keperawatan 15
1. Pengkajian 15
2. Diagnosa 18
3. Intervensi 18
4. Implementasi 20
5. Evaluasi 20
C. Kasus 21
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 37
B. Saran 37
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesetahan utama di berbagai


negara di dunia. Berdasarkan hasil data World Human Organization (WHO) (2012)
menyatakan bahwa benua dengan tingkat tertinggi penderita TB terdapat di benua Asia
dan afrika dengan India dan China merupakan negara penyumbang terbesar kasus TB di
dunia sekitar 40% dan kawasan negara-negara di Asia Tenggara dan Pasifik Barat
menyumbangkan sekitar 60% kasus TB di dunia. Salah satu Negara Asia tenggara yang
menyumbangkan kasus tuberkulosis adalah Negara Indonesia. Kasus TB di Indonesia
merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat. Tahun 2011, Indonesia merupakan
peringkat ke 4 negara dengan kasus TB tertinggi setelah Negara China, India, dan
Afrika Selatan (WHO, 2012).
Spondilitis tuberkulosa adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis pada tulang
belakang. Spondilitis TB sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius, termasuk
defisit neurologis dan deformitas tulang belakang yang permanen. Diagnosis dini
spondilitis TB sulit ditegakkan dan sering disalahartikan sebagai neoplasma spinal atau
spondilitis piogenik lainnya. Diagnosis biasanya baru dapat ditegakkan pada stadium
lanjut, saat sudah terjadi deformitas tulang belakang yang berat dan defisit neurologis
yang bermakna seperti paraplegia (Zuwanda, 2013)
Spondylitis tuberculosis atau yang juga dikenal sebagai Pott’s disease
merupakan suatu penyakit yang banyak terjadi di seluruh dunia. Terhitung kurang lebih
3 juta kematian terjadi setiap tahunnya dikarenakan penyakit ini. Insidensi Spondylitis
tuberculosis bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas
fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara
tersebut. Spondylitis tuberculosis merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama
pada negara yang sedang berkembang, terutama Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan
penduduk menjadi masalah utama. Spondylitis tuberculosis terjadipada 50% kasus TB
skeletal, kira 15% terjadi pada kasus TB ekstra pulmo dan sekitar 1%-2% semua kasus
TB.

1
Pada stadium awal penyakit ini, dapat dijumpai adanya nyeri radikuleryang
mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun
makin memberat, spastisitas, klonus, hiper- refleksia dan reflex Babinski bilateral. Pada
stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang vertebra dan nyeri ketok pada
vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yangmenetap, terbatasnya pergerakan spinal
dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut.
Kelainan neurologis terjadi padasekitar 50% kasus. Hal ini disebabkan penekanan
medulla spinalis sehingga terjadi paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf.
Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis, gibbus dan tanda-
tanda deficit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas.
Spondylitis tuberculosis atau tuberkulosis pada tulang belakang dapat terjadi
karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikuspara aorta atau
melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudahada sebelumnya di
luar tulang belakang. Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau
lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah
bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui
pleksus Batson’s yang mengelilingi kolumna vertebralis yang menyebabkan banyak
vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus,
penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada
20% kasus melibatkantiga atau lebih vertebra.
Tatalaksana penyakit ini terdiri dari 3 garis besar, yaitu mengeradikasiinfeksi,
mencegah progresifitas penyakit dan mengoreksi deformitas atau deficit neurologis yang
telah terjadi. Pedoman WHO dalam upaya mengeradikasi infeksi yaitu dengan
pemberian kombinasi 4 jenis OAT yaitu Rifampicin (R), Isonoazid(H), Pirazinamid
(Z), Etambutol (E) dan Strepromycin (S) di fase intensif pada 2bulan pertama
pengobatan, kemudian dilanjutkan 8-10 bulan dengan kombinasi 2jenis OAT (RH).
Tatalaksana deformitas dan kelainan neurologi dikerjakandengan istirahat total selama
2-4 minggu, penggunaan ortose (Body cast jacket),fisioterapi, maupun koreksi bedah
untuk kasus yang berat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas
mengenai “ Asuhan Keperawatan Anak dengan Diagnosa Spondylitis Tuberculosis”
Baik secara teoritis maupun Tinjauan Kasus.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada makalah ini
adalah “Bagaimanakah gambaran Teoritis dan Tinjauan Kasus Spondylitis
Tuberculosis serta asuhan keperawatan Anak dengan Diagnosa Spondylitis
Tuberculosis ”
C. Tujuan
Tujuan umum
1. Memperoleh gambaran secara teoritis dan memahami Tinjauan Kasus
bagaimana A suhan Keperawatan Anak dengan Diagnosa Spondylitis
Tuberculosis.
Tujuan khusus
1. Mengetahui dan memahami pengertian Spondylitis Tuberculosis
2. Mengetahui dan memahami Klasifikasi Spondylitis Tuberculosis
3. Mengetahui dan memahami Etiologi Spondylitis Tuberculosis
4. Mengetahui dan memahami Manifestasi Spondylitis Tuberculosis
5. Mengetahui dan memahami Patofisiologi Spondylitis Tuberculosis
6. Mengetahui dan memahami Komplikasi Spondylitis Tuberculosis
7. Mengetahui dan memahami Pemeriksaan Spondylitis Tuberculosis
8. Mengetahui dan memahami Penatalaksanaan Spondylitis Tuberculosis
9. Mengetahui dan Memahami asuhan Keperawatan teoritis Spondylitis
Tuberculosis

3
BAB II

KONSEP TEORI

A. Konsep Penyakit

1. Pengertian Spondylitis Tuberculosis

Spondilitis tuberkulosa (TB) adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi
granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang
mengenai tulang vertebra (Abdurrahman dalam Brunner & Suddart, 2012). Spondilitis
TB adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh
kuman spesifik yaitu mycubacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra.
Spondilitis TB disebut juga penyakit Pott bila disertai paraplegi atau defisit neurologis.
Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra Th 8- L3 dan paling jarang pada
vertebra C2. Spondilitis TB biasanya mengenai korpus vertebra, sehingga jarang
menyerang arkus vertebra (Brunner & Suddart, 2012).
Spondilitis tuberkulosa atau dikenal dengan nama Pott’s disease of the spine
atau tuberculous vertebral osteomyelitis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang. Spondilitis
tuberkulosa merupakan bentuk paling berbahaya dari tuberculosis muskuloskeletal
karena dapat menyebabkan destruksi tulang, deformitas dan paraplegia. Kondisi
umumnya melibatkan vertebra thorakal dan lumbosakral. Vertebra thorakal bawah
merupakan daerah paling banyak terlibat (40-50%), dengan vertebra lumbal merupakan
tempat kedua terbanyak (35-45%). Sekitar 10% kasus melibatkan vertebra servikal
(Moesbar, 2006 dalam Haryani, 2013).
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan
granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis.
Dikenal pula dengan nama Pott’s disease of the spine atau tuberculous vertebral
osteomyelitis. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling
jarang pada vertebra C1 – 2. Spondilitis tuberkulosis biasanya mengenai korpus
vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan Spondilitis Tuberkulosa
merupakan perandangan granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh
mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang vertebra. Tuberkulosis tulang
belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh.

4
Pecivall Pott (1793) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara penyakit ini dan deformitas tulang belakang sehingga penyakit
ini disebut sebagai penyakit Pott.
Tuberkulosis tulang adalah suatu proses peradangan kronik dan destruktif yang
disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dari focus jauh, dan
hampir selalu berasal dari paru-paru. Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu
infeksi primer.

2. Klasifikasi hipertensi
Spondilitis TB merupakan suatu tulang yang sifatnya sekunder dari TBC yang
tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hemtogen, diduga terjadinya
penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus irinarius melaluai
pleksus Batson, infeksi vertebra di tanda dengan proses desruksi tulang progresif tetapi
melambat di bagian depan ,anterior vertebral body (Harsono, 2006).
Penyebaran dari jaringan yang mengaalmi perkejuanakan menghalangi proses
pembentukan tulang sehingga berbentuk tubercolus squestra. Sedang jaringan granulasi
TBC akan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar
ke atas bawah lewat ligamentum longitudianl anterior dan posterior (Savant, 2007).
Perjalanan penyakit spondilitis terdiri dari lima stadium tuberkolosa menurut
(Savant,2007) yaitu :
a. Stadium Impalantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlansung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnyaterjadi pada derah prasdikus.
b. Stadium destruksi Awal
Tejadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada diskus proses
ini berlangsung selaama 3-6 minggu.
c. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolpas vertebra, dan berbentuk
massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang terjadi 2-3 bulan setelah
stadium awal, selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan
(wedginganterior) akibat kerusakan korpus vetebra sehingga dapat menyebabkan
terjadinya kifosis atau gibbus.

5
d. Stadium gangguan
Neurologis gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses kekenalis spinalis. Vertebra toraklis
mempunyai kanalis spinalis yang kecil terjadi sehingga gangguan neurologis lebih
mudah terjadi daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat
kerusakan paraplegia yaitu :
1) Derajat I
Kelemahan pada anggtoa gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh.
Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
2) Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetepi penderita masih dapat melakukan
pekerjannya.
3) Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas di
sertai dengan hipoestesia dan anestesia.
4) Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan mototris di sertai dengan gangguan defekasi dan
miksi. TBC paraplegia atau Poot paraplegia dapat terjadi secara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,
paraplegia terjadi karena ada tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau
kerusakanlangsung tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia
pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan pada
jembatan tulang bakanalis spinalis atau pembentuakn jarigna fibrosis yan
progresif dari jariangan granulasi tuberkulosa. TBC praplegia terjadi secara
perlahan dan dapat terjadi deruksi tulang disertai angulasi dan gangguan
vaskuler vertebra.
e. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi.kifosis atau
gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di depan.

6
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
spondilitis:
a. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral).Banyak ditemukan pada orang
dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak
ditemukan di regio lumbal.
b. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan
sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan
kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan
deformitas spinal yang lebih hebat. Dapatterjadi kompresi yang bersifat spontan
atau akibat trauma. Terbanyak ditemukan di regio torakal.
c. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di
bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan
karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral
dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari
suplai darah vertebral.
d. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus
transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral
posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui
tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.

7
3. Etiologi

Spondilitis TB merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di


tubuh, 90-95% disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human
dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Kuman ini
berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.
Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati
dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat
yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman, tertidur lama
selama beberapa tahun (Brunner & Suddart, 2012).

Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat


lain di tubuh, 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe
human dan 1/3 dari tipe bovin ) dan 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa atipik.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan
lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus
urinarius, yg penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis.

Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular


flu. Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan intensif
dengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatan
fisiknya baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari
selama 6 bulan, untuk dapat terinfeksi. Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu
waktu yg diperlukan dari mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6
bulan. Bakteri TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi
dalam tempat yang lembab, gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup
selama beberapa jam. Dalam tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama
beberapa tahun.

4. Manifestasi Klinik
Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami
keadaan sebagai berikut:
a. Berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
b. Demam lama tanpa sebab yang jelas
c. Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit

8
d. Batuk lebih dari 30 hari

e. Terjadi diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai
benjolan/masa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen.
Manifestasi klinis pada spondilitis TB tidak ditemukan pada bayi di bawah 1
tahun. Penyakit ini baru muncul setelah anak belajar berjalan atau melompat. Gejala
pada spondilitis TB:
a. Adanya benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri.
b. Sulit menggerakkan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku.
c. Keluhan deformitas pada tulang belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai
oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk sudut,
merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara progresif. Terdapat
2 tipe klinis kiposis yaitu mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi kiposis 100,
20% kasus memiliki kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus lebih dari 300.
d. Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun tanpa
paraplegia. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga
dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal. Paraplegia pada pasien
spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan istilah Pott’s
paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari
penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang telah
sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer sembuh
yaitu dikenal dengan onset lambat.

5. Patofisiologi

Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya


sekunder dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen,
diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus
urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses destruksi
tulang progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body). Penyebaran
dari jaringan yang mengalami perkejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang
sehingga berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi
ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah
lewat ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan diskus intervertebralis
karena avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan penyempitan

9
karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior
vertebra akan menimbulkan kifosis.

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen


atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke
tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada
penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber
infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.

Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus
primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus
ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri
intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang
berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di
bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang
menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang
lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,
sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.

6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Pott’s paraplegia
1) Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus maupun
sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis. Paraplegia ini
membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan
saraf.
2) Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan
granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.
b. Ruptur abses paravertebra

1) Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis.

2) Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk
psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, dalam Brunner &
Suddart).

10
c. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya
tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester
dari diskus intervertebralis (contoh: Pott’s paraplegia-prognosa baik) atau dapat
juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi
tuberkulosa (contoh: menigomyelitis-prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering
berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi
dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura
dan corda spinalis (Brunner & Suddart, 2012).
d. Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam
pleura.

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:

a. Pemeriksaan laboratorium

b. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.

c. Uji mantoux positif tuberkulosis.

d. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.

e. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.

f. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.

g. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.

h. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).

i. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.

j. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi


menghasilkan negatif palsu pada penderita dengan alergi.

k. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA kuman


tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA dan amplifikasi
menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang
diidentifikasi dengan gel.

11
Pemeriksaan radiologis pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses
dingin tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle.
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus vertebra,
penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin ditemukan adanya massa abses
paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi irreguler,
skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang belakang
serta menunjukkan adanya penekanan saraf.

8. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin
untukmenghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.
Prinsip pengobatan paraplegia Pott sebagai berikut:

a. Pemberian obat antituberkulosis

b. Dekompresi medulla spinalis

c. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi

d. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Pengobatan terdiri atas:

a. Terapi konservatif berupa:

1) Tirah baring (bed rest)

2) Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra

3) Memperbaiki keadaan umum penderita

4) Pengobatan anti tuberkulosa

12
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:

a) Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).

 Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300
mg, dan Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60
kali).
 Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali
seminggu selama 4 bulan (54 kali).
b) Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat
selama sebulan, termasuk penderita yang kambuh.
 Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450
mg, Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari.
Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya
selama 3 bulan (90 kali).
 Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol
1250 mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan
spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada
vertebra.

b. Terapi operatif Indikasi operasi yaitu:

1) Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat.
2) Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis
tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik.
3) Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka
dan sekaligus debrideman serta bone graft.
4) Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada
medulla spinalis (Mansjoer, 2009; Brunner & Suddart, 2012).

13
9. Faktor Resiko

a. Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TBC BTA positif
b. Tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang.
Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai
fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang
cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain.

c. Pernah menderita penyakit ini sebelumnya karena spondilitis tuberculosa


merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis di tempat lain dalam tubuh.

10. Pathways
Invasi hematogen ke korpus dekat diskus invertebra daerah
servikal

Kerusakan dan penjalaran ke vertebra yang


berdekatan

Perubahan struktur vertebra


servikalis
Kurang
Kompresi diskus dan Spasme Otot Pembentukan abses Pengetahuan
kompresi radiks saraf di faringeal
sisinya
kekakuan leher
Nyeri
Prosedur bedah tenggorokan dan
Nyeri gangguan
menelan

nyeri Ketidak seimbangan


nurisi : Kurang dari
Gangguan kebutuhan
Penurunan fungsi Mobilitas Fisik
otot

Imobilitas

Defisit perawatan
diri Kerusakan
integritas kulit

14
B. Konsep Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan adalah segala bentuk tindakan atau kegiatan pada praktek

keperawatan yang diberikan kepada klien yang sesuai dengan Standar Operasional

Prosedur (SOP) (Carpenito, 2009).

1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
1) Nama :
2) Umur :
3) Agama :
4) Pekerjaan :
5) Alamat :
b. Pengkajian 11 pola gordon
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
a) Keadaan Sebelum sakit : pasien mengatakan bisa beraktivitas dengan
baik
b) Keluhan utama : sakit pada punggung.
c) Riwayat keluhan utama : pasien mengatakan sering merasa nyeri pada
areapunggung dan untuk mengurangi nyeri, pasien hanya beristirahat.
d) Riwayat penyakit dahulu :pasien mengatakan pernah menderita
penyakit TBC.
e) Riwayat kesehatan keluarga : Pasien mengatakan orang tuanya
meninggal karena penyakit TBC.
2) Pola nutrisi dan metabolisme.
Akibat proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan
anoreksia, sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat
sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya. Dan
penumpukan secret pada saluran pernapasan.
3) Pola eliminasi
Dimana klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula
bias kekamar mandi, karna lemah dan sakit pada punggung.

15
4) Pola aktifitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik nyeri pada punggung
menyebabkan klien membatasi aktifitas fisik dan berkurangnya kemampuan
dalam melaksanakan aktifitas fisik tersebut.
5) Pola tidur dan istirahat.
Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak
hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan tidur dan istirahat.

6) Pola hubungan dan peran


Dengan penyakit yang dialami oleh klien maka pola peran akan berubah
dimana klien akan tidak mampu dalam melaksanakan perannya yang bagai
mana semestinya. Baik dalam keluarga maupun dalam lingkungan kerja dan
sekitarnya.
7) Pola persepsi dan konsep diri.
Klien dengan Spondilitis teberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk
tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
8) Pola reproduksi dan seksualitas
Dengan keadaan ini maka kebutuhan seksual klien akan terganggu.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum. Pada keadaan spondilitis tuberkulosa, klien umumnya tidak
mengalami penurunan kesadaran.
2) B1 (Breathing). Hasil pemeriksaan fisik sistem ini pada klien spondilitis
tuberkulosa dengan fase penurunan aktivitas yang parah adalah pada infeksi
didapatkan bahwa klien batuk, ada peningkatan sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Pada
palpasi, ditemukan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada perkusi,
ditemukan adanya resonan pada seluruh lapang paru. Pada auskultasi,
didapatkan suara napas tambahan, seperti ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk yang menurun yang
sering ditemukan pada klien spondilitis tuberkulosa dengan penurunan
tingkat kesadaran. Pad klien spondilitis tuberkulosa fase awal, biasanya tidak
didapatkan kelainan pada sistem pernafasan.
3) B2 ( Blood). Pada keadaan spondilitis tuberkulosa dengan komplikasi
paraplegia yang lama diderita, biasanya akan didapatkan adanya hipotensi

16
ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik ≤25mmHg dan diastolik ≤
10mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring ke posisi duduk) . pada
klien spondilitis tuberkulosa tanpa paraplegia, biasanya tidak didapatkan
kelainan pada sistemkardiovaskuler.
4) B3 (Brain). Tingkat kesadaran biasanya kompos mentis.
5) B4 (Bladder). Pada spondilitis tuberkulosa daerah torakal dan servikal, tidak
ada kelainan pada sistem ini. Pada spondilitis tuberkulosa daerah lumbal,
sering didapatkan keluhan inkontinensia urine, ketidakmampuan
mengomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.
6) B5 ( Bowel ). Inspeksi abdomen:bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi: turgor baik, tidak ada kejang otot abdomen akibat adanya abses
pada lumbal, hepar tidak teraba. Perkusi : suara timpani, ada pantulan
gelombang cairan. Auskultasi : peristaltik usus normal ±20x/menit.
Inguinal-genetalia-anus : tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak
ada kesulitan BAB. Pola nutrisi dan metabolisme : pada klien spondilitis
tuberkulosa, sering ditemukan penurunan nafsu makn dan gangguan menelan
karena adsanya stimulus nyeri menelan dari abses faring sehingga
pemenuhan nutrisi berkurang.
7) B6 ( Bone )
a) Look. Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas (kifosis)
terutama pada spondilitis tuberkulosa daerah torakal. Pada spondilitis
tuberkulosa daerah vertebra lumbalis, hampir tidak terlihat deformitas,
tetapi terlihat adanya abses pada daerah bokong dan pinggang. Pada
spondilitis tuberkulosadaerah servikal, terdapat kekakuan leher.
b) Feel. Kaji adanya nyeri tekan pad daerah spondilitis.
c) Move. Terjadi kelemahan anggota gerak (paraplegia dan gangguan
pergerakan tulang belakang

17
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas b/d sputum berlebih
b. Nyeri akut b/d agens-agens penyebab cedera (penekanan saraf pada medula
spinalis)
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penyakit kronis
(abses faringeal)
d. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan muskuloskeletal (paraplegia,paralisis
ekstremitas bawah)
e. Ansietas b/d konsep diri

3. Perencanaan
a. Ketidakefektifan pembersihan jalan nafas b/d sputum berlebih

NOC : Menunjukkan pembersihan jalan nafas yang efektif

NIC :

1) Catat jenis dan jumlah sekret yang di kumpulkan


2) Ajarkan teknik batuk efektif
3) Informasikan kepada pasien mengenai larangan merokok didalam
ruangperawatan, serta beri penyuluhan tentang pentingnya berhenti
merokok
4) Konsultasi dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau
peralatanpendukung

b. Nyeri akut b/d agen - agen penyebab cedera (penekanan saraf pada medula
spinalis)

NOC : nyeri berkurang

NIC :
1) Kaji skala nyeri
2) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
3) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat
meningkatkannyeri
4) Kolaborasi dengan dokter mengenai pemberian analgesik

18
c. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d penyakit kronis
(abses faringeal)

NOC : memperlihatkan status nutrisi yang baik

NIC :
1) Kaji dan dokumentasikan derajad kesulitan mengunyah dan menelan.
2) Ketika membantu memberikan makan pasien gunakan spoit jika
perlu untuk memudahkan menelan
3) Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan
bagaimana memenuhinya.
4) Kolaborasikan dengan dokter untuk menentukan penyebab gangguan
nutrisi

d. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan muskuloskeletal ( paraplegia,


paralisisekstremitas bawah)

NOC : Dapat mengembalikan mobilitas pasien

NIC :

1) Kaji kebutuhan belajar pasien


2) Anjurkan dan bantu pasien dalam proses berpindah
3) Instruksikan pasien untuk memerhatikan kesejajaran tubuh yang benar
4) Kolaborasi dnegan dokter untuk rujukan ke ahli terapi fisik untuk
program latihan

e. Ansietas b/d konsep diri

NOC : menunjukan pengendalian diri terhadap ansietas

NIC :
1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien
2) Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal
pikirandan perasaan.
3) Informasikan kepada keluarga pasien tentang gejala ansietas
4) Kolaborasi dengan dokter mengenai pemberian obat untuk
menurunkan ansietas

19
4. Implementasi
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan.
5. Evaluasi
Evaluasi meruapakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat
untuk mementukan apakah intervensikeperawatan telah berhasil meningkatkan
kondisi klien (Potter, 2009).

20
C. Kasus

FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN ANAK

A. PENGKAJIAN
1. Identitas Data
Nama Anak : An S Penanggung Jawab: Ny S
Usia : 15 tahun Pekerjaan : Jualan
Agama : Katolik Pendidikan : SD
Suku – Bangsa : Batak
Pendidikan : SMP
Bahasa yang digunakan : B. Indonesia
Pekerjaan : Pelajar
Alamat rumah : Jl. Melawai Indah Jakarta
Dx Medis : Spondilitis Tuberculosis On dekubitus Grade 2 pada dorso
gluteus sinistra dan sakrum

2. Keluhan Utama
An S dirawat di Rs X karena mengeluh, mual, luka di dorso gluteus sinistra dan
sacrum dan kaku pada kedua ekstremitas bawah.

3. Resume
Pasien sudah 3 hari dirawat di rumah sakit X. Sebelumnya pasien rujukan dari
puskesmas pondok cina

4. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


a. Antenatal: Tidak ada
b. Masa natal: Tidak ada
c. Post natal: Tidak ada

5. Riwayat Kesehatan Masa Lalu


a. Penyakit yang pernah diderita : demam, batuk dan flu
b. Riwayat kecelakaan: 2 tahun yang lalu pernah mengalami kecelakaan sepeda dengan
luka dan lecet-lecet
c. Pernah dirawat di Rumah Sakit : Pernah, saat usia 10 tahun pernah dirawat karena
diare selama 3 hari, usia 14 tahun klien terdiagnosa TB paru sehingga
mengkonsumsi obat OAT selama 6 bulan, namun terputus di 2 bulan karena merasa
sembuh sehingga memberhentikan konsumsi obat OAT.

21
d. Tindakan Operasi : tidak ada
e. Alergi : tidak ada alergi makanan atau obat
f. Imunisasi : Tidak terkaji
g. Riawayat pemakaian obat: klien mengatakan pernah mengkonsumsi obat OAT
hanya 2 bulan

6. Riwayat Kesehatan Keluarga ( BUAT GENOGRAM )

An. S adalah anak kedua dari dua bersaudara, saat ini An. S tinggal bersama kakek dan
neneknya, ibu dan kakaknya
Keterangan :

: Laki-laki : Hubungan darah


: Perempuan Tinggal satu rumah:

: Pasien : Meninggal

7. Riwayat Sosial
1. Yang mengasuh : ibu dan kakek neneknya
2. Hubungan dengan anggota keluarga : Baik
3. Hubungan dengan teman sebaya : Baik
4. Pembawaan secara umum : anak pendiam
5. Lingkungan rumah :rumah kurang bersih, banyak barang menumpuk, kardus-kardus
bekas untuk dijual, banyak rongsokan dan dekat dengan kandang ayam, lantai dari
semen, ventilasi cukup, pembuangan limbah diluar rumah

22
6. Dampak penyakit pasien terhadap keluarga : ibu klien mengatakan jadi susah untuk
berkerja karena harus bergantian mengurus pasien
7. Masalah yang mempengaruhi pasien : pasien mengatakan merasa sedih
karena
penyakitnya belum tuntas sepenuhnya, lalu pasien merasa takut tidak bisa
berjalan dan bermain bola bersama teman-temannya.

8. Kebutuhan Dasar sebelum sakit


a. Makan
1) Makanan yang disukai / tidak disukai : Pasien suka makanan naget, chiki, tidak
suka sayur
2) Pola makan / jam makan : Pola makan 3x/ hari, jam makan di jam 08.00, 13.00
dan 19.00 wib,
b. Tidur
1) Lama tidur siang : 2 -3 jam
2) Lama tidur malam : 6-7 jam
3) Kebiasaan sebelum tidur : menonton tv, main bola
c. Personal Hygiene
1) Mandi : 2 kali
2) Mencuci rambut : 3kali per minggu
3) Menggosok gigi : 1 kali
d. Eliminasi
1) BAB : Tidak ada masalah, BAB 1x warna coklat semi padat
2) BAK : warna urine kekuningan
e. Aktivitas bermain
An. S senang bermain bola dilapangan

9. Keadaan Saat Ini


a. Status nutrisi : Diet TKTP dengan 1500kkal/ perhari kadang habis 1/2 porsi kadang
tidak, ada mual
b. Status cairan : minum air putih 500 cc/ 12 jam
c. Pola eliminasi: Pasien BAB 2 hari yang lalu, kosistensi padat warna coklat. BAK
warna kurning pekat

23
d. Personal Hygine: Selama dirawat hanya dilap saja setiap pagi, 1x gogok gigi tiap
pagi. Sejak dirawat belum pernah keramas
e. Pola istirahat: tidur siang 1 jam, tidur malam hanya 4-5 jam
f. Pola aktivitas dan latihan: pasien mengatakan sulit untuk menggerakan kedua
kaki karena terdapat kelemahan pada kedua ektremitas bawah
g. Hasil pemeriksaan penunjang – Laboratorium
1) Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Rujukan

Hemoglobin 10 g/dl 13,0 – 17,0


Hematoktit 34% 40,0-50,0
Eritrosit 3,85 10^6/µL 4,50-5,50
Trombosit 414 10^3/µL 150-410
Leukosit 6,5 10^3/µL 4,00-10,00

10. Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum : An. S sakit sedang, kesadaran compos mentis, GCS 15
b. TB/BB (persentil) : TB : 150 cm BB : 44 Kg
c. Lingkar kepala : - cm
d. Sistem penglihatan : Konjungtiva anemis, pupil isokor, sklera anikterik, pupil
isokor, posisi mata simetris
e. Sistem pernapasan : Jalan napas bersih, tidak sesak, tidak menggunakan otot bantu
napas, spontan,
f. Sistem pencernaan : Terdapat caries pada gigi, lidah tampak kotor, tidak ada
stomatitis, saliva normal, tidak ada nyeri didaerah perut, tidak da muntah, mual ada,
abdomen lembek,
g. Sistem pendengaran : Simetris, tidak ada gangguan pendengaran, tidak ada keluar
cairan telinga
h. Sstem wicara : Normal
i. Sistem kardiovaskuler : Nadi : 85x/m, irama teratur, TD: 100/70 mmHg, distesnsi
vena jugularis tida ada, CRT < 3 detik, edema tidak ada
j. Sistem Hematologi :Pucat ada, tidak ada pendarahan
k. Genetalia : Tidak terkaji
l. Sistem muskulosksletal : Terjadi keterbatasan dalam pergerakan pada ekstremitas
bawah, tidak ada fraktur, kelainan struktur tulang dan sendi tidak ada.
24
m. Sistem integument : Tugor kulit kurang elastis, warna kulit pucat, ada luka
dekubitus grade 2 di dorso gluteus sinistra dengan panjang 7 cm dan lebar 5,
kedalaman 2 cm dan di sacrum dengan panjang 5 cm dan lebar 3 cm kedalaman 2 c.
luka terlihat basah :
n. Tanda-tanda vital : 100/70 mm/Hg, Nadi: 85x/menit, RR: 20x/menit, Suhu:
37,00C
o. Kekuatan Otot : 5 5

1 1
11. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan : Sudah memenuhi sesuai tingkat usia
12. Dampak Hospitalisasi:
Pasien terlihat diam dan tidak banyak bicara
13. Penetalaksanaan Medis
Cairan: Nacl 0,9% 500ml/12 jam (14tpm)
Diet : TKTP 1500 kkal
Obat-obatan :
a. FDC (Fixed Dose Combination): 4x900 mg/24 jam (PO)
Kandungan: rifampicin: 150 mg
Isonazid 75 mg
Pyrazinamice : 400mg
Ethambutol HCL: 275 mg
b. Ondasentron: 3x4 mg/8jam pada jam 07.00, 15.00, 22.00 (IV)
c. Omeprazole : 2x30mg/12 jam pada jam 10.00 dan 22.00 (IV)
d. Cutimel gel : diberikan pada saat perawatan luka pada pasien
e. Perawatan luka
14. Data tambahan
Klien mengatakan pernah mengkonsumsi obat OAT hanya 2 bulan saja, pasien
mengatakan luka menimbulkan nyeri. Nyeri juga terasa saat mobilisasi miring dan
kanan. Nyeri terasa berdenyut-denyut, skala nyeri 4-5. Terlihat luka seperti ulkus.tampak
merah muda dan ada sedikit jaringan nekrotik dan tampak basa. Pasien mengatakan
sejak 3 minggu yang lalu sudah sulit beraktivitas dan hanya ditempat tidur. Pasien
mengatakn mual dan tidak nafsu makan. BB sebelum sakit: 45 Berat makan setelah sakit
44 kg,

25
15. Data Fokus
Data subjektif Data objektif
1. An. S mengeluh mual 1. Terdapat Luka di Dorso Gluteus
2. Klien mengatakan pernah Sinistra dan sacrum
mengkonsumsi obat OAT 2. Kaku pada kedua Ekstermitas
3. Klien mengatakan rumah kurang Bawah
bersih, banyak barang menumpuk, 3. Pasien sudah 3 hari dirawat di
kardus-kardus bekas untuk di jual rumah sakit X
4. Anak tampak pendiam
banyak rongsokan serta dekat
5. Diet TKTP :1500kkal/hari(habis
dengan kandang ayam
1/2 Porsi kadang tidak)
4. Ibu klien mengatakan susah untuk 6. Minum air putih : 500 cc/12 jam
bekerja karena harus bergantian 7. Selama dirawat hanya dilap saja
mengurus pasien setiap pagi, 1x gosok gigi tiap
5. Klien mengatakan merasa sedih pagi.
karena penyakitnya belum tuntas 8. Klien Sejak dirawat belum pernah
sepenuhnya, lalu pasien merasa keramas
takut tidak bisa berjalan dan 9. Tidur malam hanya 4-5 jam
bermain bola bersama teman- 10. Terdapat Caries pada gigi, lidah
temannya tampak kotor
6. Klien mengatakan sulit untuk 11. Terjadi keterbatasan dalam
pergerakan pada ekstermitas
menggerakkan kedua kaki karena
bawah
terdapat kelemahan pada kedua
12. Turgor kurang elastis
ekstermitas bawah 13. Pucat
7. Klien mengatakan nyeri terasa saat 14. Ada luka dekubitus grade 2 di
mobilisasi miring kiri dan kanan dorso Gluteus Sinistra dengan
8. Klien mengatakan nyeri terasa panjang 7 cm dan lebar 5 cm dan
berdenyut-denyut kedalaman 2 cm
9. Klien mengatakan mual dan tidak 15. Ada luka dekubitus di sacrum
nafsu makan dengan panjang 5 cm dan lebar 3
10. Klien mengatakan sejak 3 minggu cm kedalaman 2 cm
yang lalu sudah sulit beraktivitas 16. Luka terlihat basah
dan hanya ditempat tidur 17. Kekuatan Otot : 5 5
1 1
18. Cairan : Nacl :500 ml/12 jam
(14tpm)
19. Diberikan perawatan luka pada
pasien (Cutimel Gel)
20. Terapi Obat Rifampisin, Isonazid
Pyrazinamice, Ethambutol HCL
21. Terapi Obat Ondansentron,
Omeprazole
22. Skala nyeri : 4-5
23. Terlihat luka seperti ulkus warna
merah muda dan ada sedikit
jaringan nefrotik
26
24. BB sebelum : 45 Kg, sesudah : 44
Kg

Analisa Data
NO DATA MASALAH ETIOLOGI
1 Ds : Gangguan Mobilitas Ketidak bugaran
1. Klien mengatakan sejak 3 Fisik fisik, gangguan
minggu yang lalu sudah sulit muskuloskletal,
beraktivitas dan hanya
ditempat tidur Nyeri
2. Klien mengatakan sulit
untuk menggerakkan kedua
kaki karena terdapat
kelemahan pada kedua
ekstermitas bawah
3. Klien mengatakan nyeri
terasa saat mobilisasi miring
kiri dan kanan
Do :

1. Kaku pada kedua


Ekstermitas Bawah
2. Terdapat Luka di Dorso
Gluteus Sinistra dan sacrum
3. Skala nyeri : 4-5
4. Kekuatan Otot : 5 5
1 1

2 Ds : Gangguan Integritas Penurunan


1. Klien mengatakan sejak 3 kulit Mobilitas
minggu yang lalu sudah sulit
beraktivitas dan hanya
ditempat tidur
2. Klien mengatakan sulit
untuk menggerakkan kedua
kaki karena terdapat
kelemahan pada kedua
ekstermitas bawah
Do :
1. Terdapat Luka di Dorso
Gluteus Sinistra dan sacrum
2. Kaku pada kedua
Ekstermitas Bawah
3. Pasien sudah 3 hari dirawat
27
di rumah sakit X
4. Turgor kurang elastis
5. Pucat
6. Ada luka dekubitus grade 2
di dorso Gluteus Sinistra
dengan panjang 7 cm dan
lebar 5 cm dan kedalaman 2
cm
7. Ada luka dekubitus di
sacrum dengan panjang 5 cm
dan lebar 3 cm kedalaman 2
cm
8. Luka terlihat basah
9. Terlihat luka seperti ulkus
warna merah muda dan ada
sedikit jaringan nefrotik

3 Ds : Nyeri Akut Agen pencedera


1. Klien mengatakan nyeri Fisik (Mis : Abses)
terasa saat mobilisasi miring
kiri dan kanan
2. Klien mengatakan nyeri
terasa berdenyut-denyut
3. Klien mengatakan sejak 3
minggu yang lalu sudah sulit
beraktivitas dan hanya
ditempat tidur
Do :
1. Skala Nyeri : 4-5
2. Ada luka dekubitus grade 2
di dorso Gluteus Sinistra
dengan panjang 7 cm dan
lebar 5 cm dan kedalaman 2
cm
3. Ada luka dekubitus di
sacrum dengan panjang 5 cm
dan lebar 3 cm kedalaman 2
cm
4. Luka terlihat basah
5. Tidur malam hanya 4-5 jam
4 Ds : Defisit Nutrisi Ketidak mampuan
1. An. S mengeluh mual
menelan makanan
2. Klien mengatakan pernah
mengkonsumsi obat OAT (Mual)
3. Klien mengatakan mual dan
tidak nafsu makan
Do :
1. Diet TKTP
28
:1500kkal/hari(habis 1/2
Porsi kadang tidak)
2. Minum air putih : 500 cc/12
jam
3. Terapi Obat Rifampisin,
Isonazid Pyrazinamice,
Ethambutol HCL
4. Terapi Obat Ondansentron,
Omeprazole
5. BB sebelum : 45 Kg,
sesudah : 44 Kg
5 Ds : Defisit Perawatan Kelemahan
1. Klien mengatakan sejak 3
diri
minggu yang lalu sudah sulit
beraktivitas dan hanya
ditempat tidur
2. Ibu klien mengatakan susah
untuk bekerja karena harus
bergantian mengurus pasien
3. Klien mengatakan sulit
untuk menggerakkan kedua
kaki karena terdapat
kelemahan pada kedua
ekstermitas bawah
Do :
1. Selama dirawat hanya dilap
saja setiap pagi, 1x gosok
gigi tiap pagi.
2. Klien Sejak dirawat belum
pernah keramas
3. Terdapat Caries pada gigi,
lidah tampak kotor
4. Terjadi keterbatasan dalam
pergerakan pada ekstermitas
bawah
5. Terlihat luka seperti ulkus
warna merah muda dan ada
sedikit jaringan nefrotik

6 Ds : Berduka Antisipasi
1. Ibu klien mengatakan susah kehilangan( Fungsi,
untuk bekerja karena harus
bergantian mengurus pasien Status, bagian
2. Klien mengatakan merasa tubuh, Hubungan
sedih karena penyakitnya
sosial)
belum tuntas sepenuhnya,
lalu pasien merasa takut
tidak bisa berjalan dan
29
bermain bola bersama
teman-temannya
3. Klien mengatakan sulit
untuk menggerakkan kedua
kaki karena terdapat
kelemahan pada kedua
ekstermitas bawah
4. Klien mengatakan sejak 3
minggu yang lalu sudah sulit
beraktivitas dan hanya
ditempat tidur
Do :
1. Anak tampak pendiam
2. Tidur malam hanya 4-5 jam

Prioritas Masalah Keperawatan


1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Ketidak bugaran fisik, gangguan
muskuloskletal, Nyeri
2. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas
3. Nyeri akut berhubungan dengan Agen Pencidera Fisik (Mis. Abses)
4. Defisit Nutrisi berhubungan dengan Ketidakmampuan menelan makanan (mual)
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan Kelemahan
6. Berduka berhubungan dengan Antisipasi kehilangan( Fungsi, Status, bagian tubuh,
Hubungan sosial)

30
RENCANA KEPERAWATAN

Diagnosa Intervensi Keperawatan


Tujuan Rasional Tindakan
No Keperawatan
Kriteria Hasil
DS dan DO
1 Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Ambulasi Dukungan Ambulasi
mobilitas fisik tindakan keperawatan Observasi Observasi
berhubungan selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi adanya nyeri 1. Mengetahui tingkat nyeri
dengan Ketidak diharapkan klien : atau keluhan Fisik Lain dan gangguan fisik lainnya
bugaran fisik, 1. Pergerakan 2. Monitor Kondisi Umum 2. Mengetahui
gangguan Ekstermitas selama melakukan perubahanPeningkatan
muskuloskletal, meningkat ambulasi perburukan kondisi selama
Nyeri 2. Kekuatan Otot ambulasi
meningkat Terapeutik Terapeutik
3. Nyeri menurun 1. Fasilitasi aktivitas 1. Mempermudah ambulasi
4. Kelemahan fisik ambulasi dengan alat pasien
menurun bantu 2. Meningkatkan semangat
2. Fasilitasi melakukan pasien untuk melakukan
mobilisasi fisik jika perlu ambulasi
3. Meningkatkan
3. Libatkan keluarga untuk kemampuan family center
membantu pasien dalam care
meningkatkan ambulasi
Edukasi Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan 1. Meningkatkan
prosedur ambulasi pemahaman klien tentang
2. Anjurkan ambulasi dini ambulasi
2. Meningkatkan
3. Ajarkan ambulasi kemandirian klien
sederhana yang harus 3. Meningkatkan
dilakukan (mika miki) kemampuan ambulasi
klien untuk mengurangi
resiko cidera lain

2 Gangguan Setelah dilakukan Observasi Observasi


Integritas Kulit tindakan keperawatan 1. Monitor karakteristik luka 1. Untuk mengetahui
berhubungan selama 3 x 24 jam penanganan luka yang
dengan penurunan diharapkan klien : tepat
mobilitas 1. Elastisitas kulit 2. Monitor tanda tanda 2. Mencegah resiko
meningkatme infeksi terjadinya perburukan
2. Nyeri menurun kondisi luka
3. Kemerahan Terapeutik Terapeutik
menurun 1. Bersihkan luka dengan 1. Menjaga area luka tetap
4. Jaringan nekrosis cairan NaCl atau steril
menurun pembersih nontoksik,
5. Jaringan parut sesuai kebutuhan

31
menurun 2. Berikan salep yang sesuai 2. Memaksimalkan
ke kulit/lesi jika perlu pertumbuhan kulit baru
dan meminimalkan iritasi
3. Jadwalkan perubahan 3. Mengurangi tekanan pada
posisi setiap 2 jam atau berat pada satu area saja
sesuai kondisi pasien
4. Berika diet TKTP 4.
Makanan tinggi kalori
tinggi protein penting
untuk proses
pertumbuhan jaringan
5. Berikan suplemen Vitamin 5. Vitamin dan mineral
dan mineral (sesuai memaksimalkan
indikasi) lpertumbuhan jaringan
baru
Edukasi Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala 1. Meningkatkan
infeksi pengetahuan klien untuk
memudahkan penanganan
2. Anjurkan konsumsi 2. Makanan tinggi kalori
makanan tinggi kalori tinggi protein penting
tinggi protein untuk proses
pertumbuhan jaringan
3. Ajarkan prosedur 3. Mempercepat proses
perawatan luka secara penyembuhan luka
mandiri
Kolaborasi Kolaborasi
1. Kolaborasi prosedur 1. Mempercepat proses
debridement(Jika perlu) pertumbuhan jaringan
baru
2. Kolaborasi pemberian 2. Mencegah kemungkinan
antibiotik jika perlu infeksi

3 Nyeri akut Setelah dilakukan Observasi Observasi


berhubungan tindakan keperawatan 1. Identifikasi lokasi, 1. Menentukan penanganan
dengan Agen selama 3 x 24 jam karakteristik, durasi, nyeri sesuai dengan
Pencidera Fisik diharapkan klien : frekuensi, kualitas, kondisi
(Mis. Abses) 1. Keluhan nyeri intensitas nyeri
menurun 2. Identifikasi skala nyeri 2. Menentukan tingkat
2. Meringis keparahan penyakit
Menurun 3. Identifikasi respon nyeri 3. Menentukan kemungkinan
3. Kesulitan tidur non verbal terdapat nyeri tambahan
menurun 4. Identifikasi faktor yang 4. Meminimalkan resiko
memperingan dan memperberat kondisi
memperberat nyeri nyeri

32
5. Identifikasi pengaruh 5. Mengetahui seberapa
nyeri terhadap kualitas berpengaruhnya nyeri
hidup terhadap aktivitas klien
Terapeutik Terapeutik
1. Berikan teknik non 1. Mengurangi intensitas
farmakologis mengurangi nyeri
nyeri (TENS, Aroma
terapi, terapi musik)
2. Kontrol lingkungan yang 2. Lingkungan yang kondusif
memperberat rasa nyeri meminimalkan intensitas
(suhu, pecahayaan, nyeri
kebisisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan 3. Istirahat dan tidur yang
tidur cukup memberikan efek
relaksasi
4. Pertimbangkan jenis dan 4. Dapat menentukan
sumber nyeri dalam penangan yang tepat
pemilihan strategi pereda untuk nyeri
nyeri
Edukasi Edukasi
1. Jelaskan penyebab, 1. Meminimalkan
periode, dan pemicu nyeri perburukan kondisi nyeri
2. Jelaskan strategi pereda 2. Mempermudah
nyeri penanganan nyeri
3. Ajarkan teknik 3. Teknik nonfarmakologis
nonfarmakologis untuk dapat memberikan efek
mengurangi nyeri relaksasi
Kolaborasi Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian 1. Analgetik memberikan
analgetik jika perlu efek relaksasi pada syraf
nyeri atau area nyeri

4 Defisit Nutrisi Setelah dilakukan Observasi Observasi


berhubungan tindakan keperawatan 1. Identifikasi status nutrisi 1. Menentukan tingkat
dengan selama 3 x 24 jam pemenuhan nutrisi
Ketidakmampuan diharapkan klien : 2. Identifikasi makanan yang 2. Mempermudah
menelan makanan 1. Porsi makan yang disukai menerapkan menu
(mual) dihabiskan makanan yang dapat di
meningkat makan klien
2. Frekuensi makan 3. Identifikasi kebutuhan 3. Untuk menentukan diet
membaik kalori dan jenis nutrien yang tepat bagi klien
3. Nafsu makan 4. Monitor asupan makanan 4. Untuk menentukan
membaik kelebihan atau
kekurangan nutrisi
5. Monitor berat badan 5. Menentukan tingakt
Defisiensi Nutrisi

33
Terapeutik Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene 1. Mulut yang bersih
sebelum makan, jika perlu meningkatkan nafsu
makan
2. Sajikan makan secara 2. Mengurangi mual yang
menarik dan suhu yang dirasakan klien
sesuai
3. Berikan makanan tinggi 3. Memenuhi kebutuhan
kalori dan tinggi protein nutrisi klien
Edukasi Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, 1. Mengurangi mual dan
jika mampu mencegah aspirasi
2. Ajarkan diet yang di 2. Meningkatkan
programkan (TKTP, kemandirian klien
Makan sedikit tapi sering)
Kolaborasi Kolsborasi
1. Kolaborasi pemberian 1. Mengurangi rasa mual
medikasi sebelum makan
(anti emetik)
2. Kolaborasi dengan ahli 2. Meningkatkan nafsu
gizi mengenai jumlah makan dan meningkatkan
kalori yang dbutuhkan pemenuhan nutrisi

5 Defisit perawatan Setelah dilakukan Observasi Observasi


diri berhubungan tindakan keperawatan 1. Identifikasi kebiasaan 1. Mengetahui kebutuhan
dengan Kelemahan selama 3 x 24 jam aktivitas perawatan diri perawatan diri klien
diharapkan klien : sesuai usia
1. Kemampuan 2. Monitor tingkat 2. Mengetahui kemampuan
mandi meningkat kemandirian klien dalam merawat diri
2. Minat melakukan 3. Identifikasi kebutuhan 3. Mempermudah klien
perawatan diri alat bantu kebersihan diri, dalam melakukan
meningkat berpakaian, berhias, dan perawatan diri
3. Mempertahankan makan
kebersihan diri Terapeutik Terapeutik
meningkat 1. Sediakan lingkungan yang 1. Memberikan kenyamanan
4. Mempertahankan terapeutik (privasi) pada klien
kebersihan mulut 2. Siapkan keperluan pribadi 2. Mempermudah klien
meningkat (mis. Parfum, sikat gigi, melakukan perawatan diri
dan sabun mandi)
3. Dampingi dalam 3. Membantu klien
melakukan perawatan diri memenuhi kebutuhan
sampai mandiri
4. Fasilitasi untuk menerima 4. Memberikan kesadaran ke
keadaan ketergantungan klien bahwa memerlukan
bantuan sekitar

34
5. Fasilitasi kemandirian, 5. Meningkatkan perawatan
bantu jika tidak mampu diri klien
melakukan perawatan
mandiri
Edukasi Edukasi
1. Anjurkan melakukan 1. Meningkatkan
perawatan diri secara kemandirian pasien
konsisten sesuai 2. Membantu kemandirian
kemampuan keluarga memberikan
2. Ajarkan keluarga pasien perawatan diri kepada
mengenai kebutuhan klien
perawatan diri pada klien
6 Berduka Setelah dilakukan Observasi Observasi
berhubungan tindakan keperawatan 1. Identifikasi kehilangan 1. Untuk mengetahui jenis
dengan Antisipasi selama 3 x 24 jam yang dihadapi kehilangan yang dihadapi
kehilangan( Fungsi, diharapkan klien : 2. Identifikasi proses 2. Untuk memaksimalkan
Status, bagian 1. Verbalisasi berduka yang dialami intervensi yang sesuai
tubuh, Hubungan menerima degan tahapan
sosial) kehilangan 3. Identifikasi reaksi awal 3. Mengetahui respon diri
meningkat terhadap kehilangan klien positif atau negatif
2. Verbalisasi Terapeutik Terapeutik
harapan 1. Tunjukkan sikap 1. Memberikan rasa nyaman
meningkat menerima dan empati ke klien untuk
3. Verbalisasi mengungkapkan perasaan
perasaan sedih 2. Motivasi agar mau 2. Mengurangi beban emosi
menurun mengukapkan perasaan yang menumpuk di diri
4. Pola tidur kehilangan klien
membaik 3. Motivasi untuk 3. Dukungan keluarga
menguatkan dukungan memberikan peran besar
keluarga atau orang klien melewati masa
terdekat berduka
4. Fasilitasi melakukan 4. Mengurangi rasa cemas
kebiasaan sesuai dengan
budaya, agama, dan
norma sosial
5. Fasilitasi mengungkapkan 5. Menyalurkan emosi secara
perasaan dengan cara positif
yang nyaman
(menggambar atau
bermain)
6. Diskusikan strategi koping 6. Mengarahkan pasien
yang dapat digunakan kepada koping yang positif
Edukasi Edukasi
1. Jelaskan kepada pasien 1. Agar klien dan keluarga
dan keluarga bahwa sikap mngerti bahwa proses
mengingkari, tawar berduka adalah hal yang

35
menawar, marah, depresi wajar
dan menerima adalah hal
yang wajar dalam
menghadapi kehilangan
2. Anjurkan mengekpresikan 2. Memberikan efek lega
perasaan tentang karena dapat
kehilangan mengungkapkan beban
fikiran
3. Ajarkan melewati proses 3. Dengan pasien melewati
berduka secara bertahap proses berduka secara
bertahap diharapkan
koping yang dimiliki klien
berfungsi secara efektif

36
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Spondylitis tuberkolosa atau penyakit pott adalah peradangan
agranulamatosa yang bersifat kronik dekstruktif oleh microbacterium
tuberculosis paru, ditambah lagi dengan adanya gibus, nyeri pada punggung
dan gagguan pada pergerakan tulang belakang. Pemeriksaan kadar LED
diperlukan untuk melihat adanya infeksi .sedangkan pada pemeriksaan
radiologi ditemukan penyempitan diskus interveterbralis dan pengobatanya
dapat diberikan terapi konservatif dan operatif.

Hasil pengkajian diagnosa dan intervensi akan ditemukan berbeda-


beda tergantung dengan kondisi klinis saat klien dilakukan perawatan dari
hasil kasus didapatkan 6 Diagnosa Keperawatan yang relatif muncul dan
dilakukan intervensi sesuai dengan kebutuhan
B. Saran
Dengan adanya pembuatan makalah ini di harapkan mahasiswa
dapat memahami penyakit “Spondilitis Tuberkulosa” dan juga dapat
mengerti bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan Spondylitis
Tuberculosis yang di lakukan pada pasien .

37
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn dkk. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman


Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta :
EGC
Haryani. 2013. Analisis Keperawatan Kesehatan Masalah Perkotaan Pada
Kasus Spondilitis Tuberkulosis (TB). Jakarta: UI.
Kartasasmita, Cissy. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri, Vol. 11,
No.2, Agustus 2009.
Milenkovic s, Saveski J, Hasani. 2012. Late Diagnosed Cervical Spine TBC
Spondylitis: Case Report, Scientific Journal of the Faculty of Medicine in
Nis. 2012;29(4):205-11.
Pudjiadi, dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Rahajoe, dkk. 2008. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi Ke-2 dengan
revisi. Jakarta : UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Rahajoe, dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI.
Brunner & Suddart. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai