Anda di halaman 1dari 27

Laporan Pendahuluan Hematopneumothorax

Hemathorax adalah adanya akumulasi darah pada rongga pleura.pendarahan

biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam pada dada yang mengakibatkan

robeknya membrane serosa pada dinding dada bagian dalam atau selaput paru, sehingga

darah dapat mengalir ke dalam rongga paru-paru

Pneumothorax adalah adanya udara dalam rongga pleura, sehingga

hematopneumothorax adalah adanya udara dan darah dalam rongga pleura sehingga

menyebabkan paru tersedak dan menjadi kolaps (Hudak dan Gallo,2005)

A. Pengertian Hemathorax

Hemothorax adalah suatu kondisi dimana adanya kumpulan darah di dalam ruang

antara dinding dada dan paru-paru (rongga pleura). Penyebab paling umum dari

hemothorax adalah trauma dada. Misalnya Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh

darah besar, atau dinding dada Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan

lecet hemothorax oleh pembuluh internal.Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik

bayi baru lahir atau purpura Henoch-Schönlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks.

Adenomatoid malformasi kongenital kistik: malformasi ini kadang-kadang mengalami

komplikasi, seperti hemothorax.

Pembagian Hemathorax

 Hemothorak Kecil

yang tampak sebagian bayangan kurang dari 15 % pada fotorontgen, perkusi pekak

sampai iga IX.2


 Hemothorak Sedang

15-35 % tertutup bayangan pada foto rontgen, perkusi pekak sampai iga VI.

 Hemothorak Besar

lebih 35 % pada foto rontgen, perkusi pekak sampaicranial, iga IV.

B. Etiologi

Adapun penyebab dari penyakit Hemothorax, adalah sebagai berikut :

1) Traumatik

Biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tajam pada dada, yang

mengakibatkan robeknya membran serosa pada dinding dada bagian dalam atau selaput

pembungkus paru. Robekan ini akan mengakibatkan darah mengalir ke dalam rongga

pleura, yang akan menyebabkan penekanan pada paru.

2) Non Traumatik

terdiri dari:

 Neoplasma

 Gangguan pembekuan darah

 Kematian jaringan paru-paru  (paru-paru infark )

 Kanker paru-paru atau pleura

 Penempatan dari kateter vena sentral

 Operasi jantung

 Infeksi: Tuberkulosis

C. Manifestasi Klinik

Beberapa tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan gangguan Hemathorax, yaitu:
 Tachypne

 Dyspnea

 Cyanosis

 Tachycardia

 Hipotensi

 Anemia

 Nyeri di dada

 Kelelahan

 Gelisah dan cemas

 Gerak dan pengembangan rongga dada tidak sama (paradoxical)

 Penurunan suara napas atau menghilang pada sisi yang terkena

 Dullness pada perkusi

 Adanya krepitasi saat palpasi

 Berkeringat

D. Patofisologi

Pada trauma tumpul dada, tulang rusuk dapat menyayat jaringan paru-paru atau

arteri, menyebabkan darah berkumpul di ruang pleura. Benda tajam seperti pisau atau

peluru menembus paru-paru mengakibatkan pecahnya membran serosa yang melapisi atau

menutupi thorax dan paru-paru.

Pecahnya membran ini memungkinkan masuknya darah ke dalam rongga pleura.

Setiap sisi toraks dapat menahan 30-40% dari volume darah seseorang.
Perdarahan jaringan interstitium, Pecahnya usus sehingga perdarahan Intra Alveoler, kolaps

terjadi pendarahan akibat pecahnya arteri dan kapiler-kapiler kecil , sehingga tekanan

perifer pembuluh darah paru meningkat, dan aliran darah menurun yang mengakibakan

kadar Hb dalam darah menurun, anemia, syok hipovalemik, sesak napas, tahipnea,

sianosis, tachikardia.

Derajat Pendarahan Hemathorax

1. Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)

 Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.

 Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi

pernapasan.

 Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah

sekitar 10%

2. Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)

Gejala klinisnya:

 takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit)

 takipnea

 penurunan tekanan nadi

 kulit teraba dingin

 perlambatan pengisian kapiler, dan

 anxietas ringan

3. Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)

Gejalanya:
 Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah

sistolik, oliguria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan

atau agitasi.

 Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah

kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah

sistolik

 Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk

pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.

4. Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)

Gejala-gejalanya berupa :

 takikardi, penurunan tekanan darah sistolik

 tekanan nadi menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur)

 berkurangnya (tidak ada) urine yang keluar

 penurunan status mental (kehilangan kesadaran)

 kulit dingin dan pucat.

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Chest-Ray

adanya gambaran hipodense pada rongga pleura disisi yang terkena dan adanya

mediastinum shift. Chest-Ray digunakan sebagai penegak diagnostik yang paling utama

dan lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya.

2. CT Scan

diindikasikan untuk pasien dengan hemothoraks yang untuk evaluasi lokasi clotting

(bekuan darah) dan untuk menentukan kuantitas atau jumlah bekuan darah di rongga pleura.
3. USG

USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk pasien yang tidak stabil

dengan hemothoraks minimal

4. Nilai BGA

Hipoksemia mungkin disertai hiperkarbia yang menyebabkanasidosis respiratori.

Saturasi O2 arterial mungkin menurun pada awalnya tetapi biasanya kembali ke normal

dalam waktu 24 jam.

5. Cek darah lengkap

dilakukan berdasarkan nilai kadar Hb yang menunjukkan jumlah darah yang hilang

pada hemothorax

F. Penatalaksanaan

Berdasarkan tingkat keparahannya dibagi menjadi :

1) Hemothorak kecil : cukup diobservasi, gerakan aktif (fisioterapi) dan  tidak

memerlukan tindakan khusus

2) Hemothorak sedang : di pungsi dan penderita diberi transfusi. Dipungsi sedapat

mungkin dikeluarkan semua cairan. Jika ternyata kambuh dipasang penyalir sekat air

3) Hemothorak besar : diberikan penyalir sekat air di rongga antar iga dan transfusi.

Kematian penderita Hemothorax dapat disebabkan karena banyaknya darah yang hilang

dan terjadinya kegagalan dalam bernapas. Kegagalan pernapasan disebabkan karena adanya

sejumlah besar darah dalam rongga pleura yang menekan jaringan paru serta berkurangnya

jaringan paru yang melakukan ventilasi.

Maka, pengobatan hemothorax sebagai berikut:

 Pengosongan rongga pleura dari darah


 Menghentikan pendarahan

 Memperbaiki keadaan umum.

Adapun tindakan yang dapat dilakukan adalah:

1. Resusitasi cairan.

Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan

bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid

secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemnberian darah dengan golongan

spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan

yang cocok untuk autotranfusi bersamaan dengan pemberian infus dipasang pula chest

tube ( WSD )

2. Pemasangan chest tube ( WSD ) ukuran besar agar darah pada toraks tersebut dapat

cepat keluar sehingga tidak membeku didalam pleura. Hemotoraks akut yang cukup

banyak sehingga terlihat pada foto toraks sebaiknya di terapi dengan chest tube kaliber

besar. Chest tube tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura mengurangi

resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam

memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah / cairan juga memungkinkan

dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik.

WSD adalah suatu sistem drainase yang menggunakan air. Fungsi WSD sendiri adalah

untuk mempertahankan tekanan negatif intrapleural / cavum pleura.

3. Apabila dengan pemasangan WSD, darah tetap tidak berhenti, maka dipertimbangkan

untuk Thorakotomi.
4. Pemberian terapi Oksigen 2-4 Liter/menit, lamanya disesuaikan dengan perubahan

klinis. Lebih baik lagi jika dimonitor dengan analisa BGA. Usahakan sampai gas darah

penderita kembali normal.

5. Transfusi darah: dilihat dari penurunan kadar Hb. Sebagai patokan, dapat dipakat

perhitungan sebagai berikut: setiap 250 cc darah (dari penderita dengan Hb 15 gr

%)dapat menaikan ¾ g % Hb.

6. Pemberian antibiotika: dilakukan apabila ada infeksi sekunder.

7. Apabila terjadi penebalan pleura, pertimbangkan pemberian dekortikasi.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Chest-Ray

adanya gambaran hipodense pada rongga pleura disisi yang terkena dan adanya

mediastinum shift. Chest-Ray digunakan sebagai penegak diagnostik yang paling utama

dan lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan lainnya.

2. CT Scan

diindikasikan untuk pasien dengan hemothoraks yang untuk evaluasi lokasi clotting

(bekuan darah) dan untuk menentukan kuantitas atau jumlah bekuan darah di rongga pleura.

3. USG

USG yang digunakan adalah jenis FAST dan diindikasikan untuk pasien yang tidak stabil

dengan hemothoraks minimal

4. Nilai BGA

Hipoksemia mungkin disertai hiperkarbia yang menyebabkanasidosis respiratori.

Saturasi O2 arterial mungkin menurun pada awalnya tetapi biasanya kembali ke normal

dalam waktu 24 jam.


5. Cek darah lengkap

dilakukan berdasarkan nilai kadar Hb yang menunjukkan jumlah darah yang hilang

pada hemothorax

H. Komplikasi Hemathorax

 Kehilangan darah

 Kegagalan pernapasan

 Syok

 Kematian

 Fibrosis atau parut dari membran pleura

Penanganan Hemotoraks

Tujuan pengobatan adalah untuk menstabilkan pasien, menghentikan pendarahan,

dan menghilangkan darah dan udara dalam rongga pleura. Penanganan pada hemotoraks

adalah

a) Resusitasi cairan. Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume

darahyang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan

infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemnberian

darahdengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat

dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotranfusi bersamaan dengan

pemberian infus dipasang pula chest tube ( WSD ).

b) Pemasangan chest tube ( WSD ) ukuran besar agar darah pada toraks tersebut dapat

cepat keluar sehingga tidak membeku didalam pleura. Hemotoraks akut yang cukup
banyak sehingga terlihat pada foto toraks sebaiknya di terapi dengan chest tube kaliber

besar. Chest tube tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura mengurangi

resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam

memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah / cairan juga

memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur

diafragma traumatik. WSD adalah suatu sistem drainase yang menggunakan air.

Fungsi WSD sendiri adalah untuk mempertahankan tekanan negatif intrapleural /

cavum pleur
PENGERTIAN PNEUMOTHORAX

Pneumothorak adalah adanya udara dalam rongga pleura. Biasanya pneumotorak

hanya temukan unilateral, hanya pada blast-injury yang hebat dapat ditemukan

pneumotorak bilateral.. Penumotorak hanya adanya udara dalam rongga pleura akibat

robeknya pleura.

(Halim dkk, 2013)

Pneumothorak merupakan suatu keadaan terdapatnya udara di dalam rongga paru pleura

(Arif Mustaqqin, 2008). Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

pneumothorak adalah keadaan adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura.

Etiologi

Berdasarkan penyebabnya penumotorak dapat dibagi atas :

1. Penumotorak Traumatik

Pneumotorak traumatik yaitu pneumotrak yang terjadi akibat penetrasi ke dalam rongga

pleura karena luka tembus, luka tusuk, luka tembak atau tusukan jarum.

Peumotorak traumatik yang terjadi karena jejas kecelakaan misalnya : jejas dada

terbuka / tertutup, barotrauma.

2. Pneumotorak trauma letrogenik


Pneumotorak letrogenik yang terjadi pasa tindakan medis karena kesalahan/ komplikasi

tindakan tersebut, misalnya pada tindakan biopsi pleural, biopsi transbronkial biopsi/

aspirasi paru perkutaneus,barotrauma

3. Pneumotorak traumatik latrogenik artifisial (deciberate)

Penumotorak yang sengaja dikerjakan dengan cara mengisi udara kedalam pleura

melalui jarum dengan suatu alat Maxuell Box biasanya untuk terapi tuberkulosis

(sebelum era antibiotik) atau untuk menilai permukaan paru.

Klasifikasi

 Pneumotorak spontan primer

Pneumotorak spontan primer adalah suatu penumotorak yang terjadi adanya

penyakit paru yang mendasari sebelumnya umumnya pada individu sehat, dewasa

muda, tidak berhubungan dengan aktivitas belum diketahui penyebabnya.

 Pneumotorak spontan sekunder

Pneumotorak spontan sekunder adalah suatu penumotorak yang terjadi adanya

riwayat penyakit paru yang mendasarinya (pneumotorak, asma bronkial, TB paru,

tumor paru dll). Pada klien pneumotorak spontan sekunder bilateral, dengan resetasi

torakoskopi dijumpai metatasis paru yang primernya berasal dari sarkoma jaringann

lunak di luar paru.

Manifestasi klinis

a) Nyeri dada pada sisi, Nyeri dada tajam yang timbul secara tiba-tiba, dan semakin

nyeri jika penderita menarik nafas dalam atau terbatuk

b) Sesak dapat sampai berat kadang bisa hilang dalam 24 jam apabila sebagian paru

kolaps sudah mengembang kembali.


c) Kegagalan pernapasan dan mungkin pula disertai sianosis.

d) Kombinasi keluhan dan gejala klinis pneumothoraks sangat tergantung pada

besarnya lesi penumothoraks.

e) pneumothoraks spontan dapat asistomatik atau menimbulkan kombinasi nyeri dada

batuk dispnee

f) Dada terasa sempit

g) Mudah lelah

h) Denyut jantung yang cepat

i) Warna kulit menjadi kebiruan akibat kekurangan oksigen.

j) Hidung tampak kemerahan

k) Cemas, stres, tegang

l) Tekanan darah rendah (hipotensi)

Phatofisiologi

Alveoli disangga oleh kapilere yang mempunyai dinding lemah dan mudah robek,

apabial alveoli tersebut melebar dan tekanan didalam alveoli meningkat maka udara masuk

dengan mudah menuju kejaringan peribronkovaskuler gerakan nafas yang kuat, infeksi dan

obstruksi endrobronkial merupakan beberapa faktor presipitasi yang memudahkan

terjadinya robekan selanjutnya udara yang terbebas dari alveoli dapat mengoyak jaringan

fibrotik peribronkovaskuler robekan pleura kearah yang berlawanan dengan tilus akan

menimbulkan pneumothoraks, sedangkan robekan yang mengarah ke tilus dapat

menimbulkan pneumomediastinum dari mediastinum udara mencari jalan menuju ke atas,

ke arah leher. Diantara organ – organ medistinum terdapat jairngan ikat yang longgar
sehingga mudah ditembus oleh udara . Dari leher udar menyebar merata di bawah kulit

leher dan dada yang akhirnya menimbulkan emfisema sub kutis. Emfisema sub kutis dapat

meluas ke arah perut hingga mencapai skretum.

Pemeriksaan Penunjang

a) Analisa gas darah arteri memberikan gembaran hipoksemia meskipun pada

kebanyakan pasien sering tidak diperlukan pneumotoraks primer paru kiri

b) sering menimbulkan perubahan aksis QRS dan gelombang T, prekardial pada

gambaran rekaman elektro kardiografi (EKG) dan dapat ditafsirkan sebagai infark

mionard akut (IMA).

c) Pada pemeriksaan foto dada tampak gambaran sulkus kostafrenikus radiolusen,

sedang pneumothoraks tension pada gambaran foto dadanya tampak jumlah udara

hemotoraks yang cukup besar dan susunan mediastinum kontralateral bergeser.

d) Pada foto dada PA, terlihat pinggir paru yang kollaps berupa garis pada

pneumothoraks parsialis yang lokalisasinya di anterior atau porterior batas pinggir

paru ini mungkin tidak terlihat

e) Mediastinal ships” dapat dilihat pada foto PA atau fluoroskopi pada saat penderita

inspirasi atau ekspirasi, terutama dapat terjadi pada “tension pneumothoraks”

Penatalaksanaan

Tindakan dekompresi

a) Menusukkan jarum melalui dinding dada hingga ke rongga pleura, dengan demikian

tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif. Hal ini
disebabkan karena udara keluar melalui jarum tersebut. Cara lainnya adalah melakukan

penusukan ke rongga pleura memakai transfusion set.

b) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil

c) Penggunaan pipa wter Sealed drainage (WSD)

Pipa khusus (kateter thoraks) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantara

troakar atau dengan bantuan klem penjepit (pen) pemasukan pipa plastic (kateter

thoraks) dapat juga dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi

kulit dari seala iga ke-4 pada garis klavikula tengah. Selanjutnya, ujung sealng plastik

di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastic lainyya. Posisi ujung pipa

kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya

gelembung udara dapat mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut

d) Pengisapan kontinu (continous suction)

Pengisapan dilakukan secara kontinu apabila tekanan intrapleura tetap positif.

Pengisapan ini dilakukan dengan cara memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cmH 2O.

Tujuannya adalah agar paru cepat mengaembang dan segera terjadi perlekatan antara

pleura visceral danpleura parietalis

e) Pencabutan drain

Apabila paru telah mengambang maksimal dan tekanan negatif kembali, drain dapat

dicabut. Sebelum dicabut, drain ditutup dengan cara dijepit atau ditekuk selama 24 jam.

Apabila paru tetap mengembang penuh, drain dapat dicabut.

Tindakan bedah

Pembedahan dinding thoraks dengn cara operasi, maka dapat dicari lubang yang

menyebabkan terjadinya pneumotorak, lalu lubang tersebut di jahit


a) Pada pembedahan,jika dijumpai adanya penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak

dapat mengembang, maka dapat dilakukan pengelupasan atau dekortisasi.

b) Pembedahan paru kembali dilakukan bila ada bagian paru yang mengalami robekan

atau bila ada fitsel dari paru yang rusak, sehingga paru tersebut tidak berfungsi dan

tidak dapat dipertahankan kembali

Penatalaksaan tambahan

a) Terhadap proses tuberculosis paru diberi OAT

b) Untuk pencegahan obstipasi dan memperlancar defekasi, penderita diberi obat laktasif

ringan, dengan tujuan agar saat defekasi, penderita tidak perlu mengejan terlalu kera

c) Istirahat total

d) Klien dilarang melakukan kerja keras (mengangkat barang) batuk, bersin terlalu keras,

dan mengejan.

Komplikasi

Pneumothoraks tension ( terjadi pada 3-5% pasien pneumothoraks ), dapat mengakibatkan

 kegagalan respirasi akut

 pio, pneumothoraks

 hidro-pneumothoraks / hema – pneumothoraks

 henti jantung paru

 dan kematian (sangat jarang terjadi) pneuma mediastinum dan emfisema subkutan

sebagai akibat komplikasi pneumothoraks spontan.Biasanya karena pecahnya esofagus

atau bronkusi sehingga kelainan tersebut harus ditegakkan (insidennya sekitar 1%),
pneumothoraks simulran bilateral, insidennya sekitar 2%; pneumothoraks kronik,

bilateral ada selama waktu lebih dari 3 bulan, insidennya sekitar 5%.

Patogenesis

Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial, di tunjang oleh jaringan

ikat, pembuluh-pembuluih darah kapiler dan pembuluh-pembuluh getah bening. Rongga

pleura di batasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis dan pleura

viselaris. Pleura parietalis melapisi oto-otot dinding dada, tulang dan kattilago, diafragma

dan mediastinum, sangat sensitive terhadap nyeri. Pleura viseralis melapisi paru-paru dan

menyusup ke dalam semua fisura dan tidak sensitive terhadap nyeri. Rongga pleura

individu sehat terisi cairan (10-20 ml) dan berfungsi sebagai pelumas diantara kedua

laoisan pleura.

Patogenesis pneumotorak spontan sampai sekarang belum jelas.

a) Pneumotoraks Spontan Primer

Terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara

patologis membuktikan bahwa pasien pneumotorak spontan yang parunya direseksi

tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk blab dan bulla. Bulla

merupakan suatu kantong yang di batasi sebagian oleh pleura fibrotik yang menebal,

sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh jaringan paru

emfisematus. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang pecah melalui jaringan intertisial

kedalam lapisan fibrosa tipis pleura viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk

kista.

b) Pneumotoraks Spontan Sekunder


Terjadinya pneumotoraks adalah akibat pecahnya bleb viseralis atau bulla subpleura

dan sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Patogenesis PSS

multifaktoria, umumnya terjadi akibatkomplikasi penyakit PPOK (penyakit paru

obstruksi kronik) asma, fibrosis kistik, tuberculosis paru, penyakit-penyakit poaru

infiltratif lainnya (misalnya pneumonia supuratif dan termasuk pneumonia p.carinii)

Pengkajian Keperawatan

a) Anamnesis

Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur, jenis kelamin,

alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status

pendidikan, dan pekerjaan klien/asuransi kesehatan.

Keluhan utama meliputi sesak napas , bernapas terasa berat pada dada, dan keluhan

susah untuk melakukan pernapasan.

1. Riwayat Penyakit Saat Ini

Keluhan sesak napas sering kali datang mendadak dan semakin lama semakin berat.

Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat, tertekan, dan terasa lebih nyeri

pada gerakan pernapasan. Selanjutnya dikaji apakah ada riwayat trauma yang

mengenai rongga dada seperti peluru yang menembus dada dan paru. Ledakan yang

menyebabkan peningkatan tekanan udara dan terjadi tekanan di dada yang

mendadak menyebabkan tekanan dalam paru meningkat. Kecelakaan lalu lintas

biasanya menyebabkan trauma tumpul di dada atau tusukan benda tajam langsung

menembus pleura.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit seperti TB paru di mana

sering terjadi pada pneumotoraks spontan.

3. Riwayat Penyakit Keluarga

Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit

yang mungkin menyebabkan pneumotorak seperti kanker paru,asma, TB paru dan

lain-lain

4. Pengkajian Psikososial

Pengkajian psikososial meliputi perasaan klien terhadap penyakitnya, bagaimana

cara mengatasinya, serta bagaimana perilaku klien pada tindakan yan dilakukan

terhadap dirinya.

b) Pemeriksaan Fisik

1. B1(Breathing)

Inspeksi : Peningkatan usaha frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu

pernpasan. Gerakan pernapasan ekspansi dada yang asimetris (pergerakan dada

tertinggal pada sisi yang sakit), iga melebar, rongga dada asimetris (cembung pada

sisi yang sakit). Pengkajian batuk yang produktif dengan sputum purulen. Trakhea

dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.

Palpasi : Taktil Fremitus menurun pada sisi yang sakit. Di samping itu, pada palpasi

juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit. Pada

sisi yang sakit, ruang antar-iga bisa saja normal atau melebar.

Perkusi: Suara ketok pada sisi yang sakit, hipersonor sampai timpani, dan tidak

bergetar. Batas jantung terdorong ke arah thoraks yang sehat, apabila tekanan

intrapleura tinggi.
Auskultasi: Suara napas menurun sampai menghilang pada sisi yang sakit. Pada

posisi duduk, semakin ke atas letak cairan maka akan semakin tipis, sehingga suara

napas terdengar amforis, bila ada fistel brongkhopleura yang cukup besar pada

pneumotoraks terbuka.

2. B2 (Blood)

Perawat perlu memonitor pneumotoraks pada status kardiovaskular yang meliputi

keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah, dan pengisian kapiler darah.

3. B2 (Brain)

Pada inspeksi, tingkat kesadaraan perlu dikaji. Selain itu, diperlukan juga

pemeriksaan GCS. Apakah compos mentis, somnolen atau koma.

4. B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh kaarena

itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria. Oliguria merupakan tanda awal dari

syok.

5. B5 (Bowel)

Akibat sesak napas, klien biasanya mengalami mual dan muntah, penurunan nafsu

makan, dan penurunan berat badan.

6. B6 (Bone)

Pada trauma di rusuk dada, sering kali didapatkan adanya kerusakan otot dan

jaringan lunak dada sehingga meningkatkan resiko infeksi. Klien sering dijumpai

mengalami gangguan dalam memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari disebabkan

adanya sesak napas, kelemahan dan keletihan fisik secara umum.


c) Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi

paru sekunder terhadap peningkatan tekanan dalam rongga pleura

2. Resiko tinggi trauma pernapasan yang berhubungan dengan pemasangan WSD

No Dx Keperawatan Tujuan Dan Intervensi Rasional

Kriteria Hasil

1 Ketidakefektifan pola Tujuan 1. Identifikasi faktor 1. Memahami penyebab


pernapasan yang Dalam waktu 3 x 24 penyebab kolaps spontan, dari kolaps paru
berhubungan dengan jam setelah trauma keganasan, sangat penting untuk
menurunnya ekspensi paru diberikan intervensi infeksi komplikasi mempersiapkan WSD
sekunder terhadap pola pernapasan mekanik pernapasan pada pneumotorak
peningkatan tekanan klien kembali 2. Kaji kualitas, dan menentukan
dalam rongga pleura efektif. frekuensi, dan kedalaman untuk intervensi
Kriteria evaluasi : pernpasan, laporkan lainnya
Irama, frekuensi, setiap perubahan yang 2. Dengan mengkaji
dan kedalaman terjadi. kualitas, frekuensi
pernapasan berada 3. Baringkan klien dan kedalaman
dalam batas normal, dalam posisi yang pernpasan, kita dapat
pada pemeriksaan nyaman, atau dalam mengetahui sejauh
Rontgen thoraks posisi duduk. mana perubahan
terlihat adanya 4. Observasi tanda- kondisi pasien
pengembangan dan tanda vital (nadi,RR) 3. Penurunan difragma
paru, bunyi napas 5. Lakukan memperluas daerah
terdengar jelas. auskultasi suara tiap 2-4 dada sehingga
jam ekspansi paru bisa
6. Bantu dan ajarkan maksimal
klien untuk batuk dan 4. Peningkatan RR dan
napas dalam yang efektif. takikardi merupakan
7. Kolaborasi untuk indikasi adanya
tindakan dekompresi penurunan fungsi
dengan pemasangan paru
WSD 5. Auskultasi dapat
menentukan kelainan
suara napas pada
bagian paru,
kemungkinan akibat
dari berkurangnya
atau tidak
berfungsinya
lobus,segmen dan
salah satu dari paru.
Pada daerah kolaps
paru suara pernapasan
tidak terdengar tetapi
bila hanya sebagian
yang kolaps suara
pernapasan tidak
terdengar dengan jelas.
Hal tersebut dapat
menentukan fungsi
paru yang baik dan ada
tidaknya atelektasis
paru.
6. Menekan
daerah yang nyeri
ketika batuk atau
napas dalam.
Penekanan otot-otot
dada serta abdomen
membuat batuk lebih
efektif.
7. Dengan WSD
memungkinkan udara
keluar dari rongga
pleura dan
mempertahankan agar
paru tetap
mengembang dengan
jalan mempertahankan
tekanan negatif.
2 Resiko tinggi trauma Tujuan: Dalam 1. Kaji kualitas, 1. Dengan mengkaji
pernapasan yang waktu 3 x 24 jam frekuensi, dan kualitas, frekuensi,
berhubungan dengan setelah diberikan kedalaman pernapasan, dan keadaaan
pemasangan WSD. intervensi resiko laporkan setiap pernapasan, kita
trauma pernapasan perubahan yang terjadi. dapat mengetahui
tidak terjadi 2. Observasi tanda- sejauh mana
Kriteria evaluasi: tanda vital (nadi, RR) perubahan kondisi
Irama, Frekuensi, 3. Baringkan klien klien.
dan kedalaman dalam posisi yang 2. Peningkatan RR dan
pernapasan dalam nyaman, dalam posisi Takikardi
batas normal, pada duduk merupakan indikasi
pemeriksaan 4. Perhatikan adanya penurunan
Rontgen thoraks undulasi pada selang fungsi paru
terlihat adanya WSD 3. Posisi setengah
pengembangan paru, 5. Anjurkan klien duduk atau duduk
bunyi nafas untuk memegang selang dapat mengurangi
terdengar jelas. apabila akan mengubah risiko pipa/selang
posisi WSD terjepit.
6. Beri tanda pada 4. Undulasi
batas cairan setiap hari, (pergerakan cairan di
catat tanggal dan waktu. selang dan adanya
7. Botol WSD harus gelembung udara
selalu lebih rendah dari yang keluar dari air
tubuh. dalam botol WSD)
8. Beri penjelasan merupakan indikator
pada klien tentang bahwa drainase
perawatan WSD. selang dalam
9. Bantu dan ajarkan keadaan optimal.
klien untuk melakukan 5. Bila undulasi tidak
batuk dan napas yang ada, ini mempunyai
efektif. makna ang sangat
penting karena
beberapa kondisi
dapat terjadi, antara
lain.
         Motor suction tida
Selang tersumbat atau
terlipat.ru telah
mengembang.
Oleh karena itu,
perawat harus yakin
apa yang menjadi
penyebab, segera
diperiksa kondisi
sistem drainase, dan
amati tanda-tanda
kesulitan bernapas.
6. Menghindari tarikan
spontan pada selang
yang mempunyai
risiko tercabutnya
selang dari rongga
dada.
7. Tanda atau batas pada
botol dpat menjadi
indikator dan bahan
monitor terhadap
keadaan drainase
WSD.
8. Gravitasi. Udara dan
cairan mengalir dari
tekanan yang tinggi
ke tekanan yang
rendah
9. Meningkatkan sikap
kooperatif klien dan
mengrangi resiko
trauma pernapasan.
10. Menekan
daerah yang nyeri
ketika batuk atau
nafas dalam.
Penekanan otot-otot
dada serta abdomen
membuat batuk lebh
efktif.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth.2005. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC

Doenges,M.E.2000. Rencanan Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3.

Jakarta :EGC

Muntaqqin, Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Pernapasan.Jakarta : Salemba Medika

Prince,Sylvia.2006. Ptofisiologi ; Komsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6.

Ptofisiologi ; Komsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6.Jakarta : EGC.

Saferi,Andra Wijaya dan Yessie Mariza Putri.2013. KMB Keperawatan Dewasa.Jakarta :

Numed

Nurarif,Amin Huda. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &

NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction

Muttaqin Arif. 2008. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem pernapasan.

Jakarta: Salemba Medik

Anda mungkin juga menyukai