Anda di halaman 1dari 16

APLIKASI I KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

SISTEM KARDIOVASKULER

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN KANKER PARU DENGAN


PENDEKATAN TEORI ROY DI RUANGAN BANGSAL PARU RSUP DR. M.
DJAMIL PADANG

Pembimbing Akademik : Ns. Dally Rahman, M. Kep, Sp. Kep.MB


Pembimbing Klinik : Ns. Wesnawati, M.Kep

Disusun Oleh
ZULAIKA HARISSYA
BP : 2021312006

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. KONSEP KANKER PARU
1.1.1 DEFINISI
Kanker paru adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup
keganasan yang berasal dari paru sendiri (primer) Dalam pengertian klinik yang
dimaksud dengan kanker paru primer adalah tumor ganas yang berasal dari epitel
bronkus (karsinoma bronkus = bronchogenic carcinoma). Kanker paru
merupakan penyebab utama keganasan di dunia, mencapai hingga 13 persen dari
semua diagnosis kanker. Selain itu, kanker paru juga menyebabkan 1/3 dari
seluruh kematian akibat kanker pada laki-laki. Di Amerika Serikat, diperkirakan
terdapat sekitar 213.380 kasus baru pada tahun 2007 dan 160.390 kematian
akibat kanker paru. Berdasarkan data WHO, kanker paru merupakan jenis kanker
terbanyak pada laki-laki di Indonesia, dan terbanyak kelima untuk semua jenis
kanker pada perempuan Kanker paru juga merupakan penyebab kematian akibat
kanker terbanyak pada laki-laki dan kedua pada perempuan. (Komite
Penanggulangan Kanker Nasional, 2017)
Hasil penelitian berbasis rumah sakit dari 100 RS di Jakarta, kanker paru
merupakan kasus terbanyak pada laki-laki dan nomor 4 terbanyak pada
perempuan tapi merupakan penyebab kematian utama pada laki-laki dan
perempuan. Data hasil pemeriksaan di laboratorium Patalogi Anatomi RSUP
Persahabatan kanker paru merupakan lebih dari 50 persen kasus dari semua jenis
kanker yang didiagnosa. Data registrasi kanker Rumah Sakit Dharmais tahun
2003-2007 menunjukkan bahwa kanker trakea, bronkus dan paru merupakan
keganasan terbanyak kedua pada pria (13,4%) setelah kanker nasofaring
(13,63%) dan merupakan penyebab kematian akibat kanker terbanyak pada pria
(28,94%). (Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2017)
1.1.2 ETIOLOGI
Seperti umumnya kanker yang lain penyebab pasti belum diketahui, tapi paparan atau
inhalasi berkepanjangan suatu zat karsinogenik merupakan faktor risiko utama selain adanya
faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain. Merokok diduga menjadi penyebab
utama kanker paru. Lombard dan Doering (1928), telah melaporkan tingginya insidensi
kanker paru pada perokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Setidaknya 80% dari
kematian akibat kanker paru-paru disebabkan oleh merokok. Namun, tidak semua orang yang
terkena kanker paru-paru adalah perokok. Banyak orang dengan kanker paru adalah mantan
perokok, tetapi sebagian lain tidak pernah merokok sama sekali. (Zulkifli Amin, 2014)
Kanker paru pada orang yang tidak merokok dapat disebabkan oleh polusi udara,
paparan zat karsinogenik di tempat kerja, perokok pasif, atau faktor lainnya. Perokok pasif
adalah orang yang menghirup asap rokok dari orang lain. Hal ini dapat meningkatkan risiko
kanker paru sekitar 30%. Anak-anak yangcterpapar asap rokok selama 25 tahun pada usia
dewasa akan terkena risiko kanker paru dua kali lipat dibandingkan dengan yang tidak
terpapar. Wanita yang hidup dengan pasangan perokok juga terkena risiko kanker paru 2-3
kali lipat. (Zulkifli Amin, 2014)
Kanker paru yang penyebabnya tidak berhubungan dengan paparan inhalasi
cenderung terjadi pada usia muda, seringkali karena terjadinya perubahan gen tertentu.
Perubahan ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak normal dan dapat berlanjut
menjadi kanker. Beberapa gen berisi instruksi untuk mengontrol ketika sel-sel tumbuh,
membelah untuk membuat sel-sel baru dan untuk mati.
Gen yang membantu sel-sel tumbuh dan membelah disebut onkogen. Gen yang
memperlambat pembelahan sel atau menyebabkan sel mati pada waktu yang tepat disebut gen
supresor tumor. Kanker dapat disebabkan oleh perubahan DNA yang mengaktifkan onkogen
atau mematikan gen supresor tumor. Beberapa orang mewarisi mutasi DNA dari orang tua
mereka yang sangat meningkatkan risiko mereka untuk menderita kanker tertentu. Hal ini
sangat berperan pada beberapa keluarga dengan riwayat kanker paru.
1.1.3 PATOFISIOLOGI
Paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat karsinogenik merupakan
faktor risiko utama selain adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik
dan lain-lain. Lombard dan Doering (1928), telah melaporkan tingginya insiden
kanker paru pada perokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Kanker
paru pada orang yang tidak merokok dapat disebabkan oleh polusi udara,
paparan zat karsinogenik di tempat kerja, perokok pasif, atau faktor lainnya.
Kanker paru yang penyebabnya tidak berhubungan dengan paparan inhalasi
cenderung terjadi pada usia muda, seringkali karena terjadinya perubahan gen
tertentu. Perubahan ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak normal
dan dapat berlanjut menjadi kanker.
Kanker dapat disebabkan oleh perubahan DNA yang mengaktifkan
onkogen atau mematikan gen supresor tumor. Beberapa orang mewarisi mutasi
DNA dari orang tua mereka yang sangat meningkatkan risiko mereka untuk
menderita kanker tertentu. (Amin, 2006) Secara umum karsinogenesis dapat
dibedakan menjadi empat tahap, yaitu tumor initiation, tumor promotion,
malignant conversion, dan tumor progression.
Sebuah penelitian menunjukkan individu yang memiliki kelainan
genetik, seperti mutasi germ-line pada gen p-53, retinoblastoma (gen Rb), atau
gen epidermal-growth factor receptor (EGFR) rentan mengalami kanker paru
walaupun tanpa pajanan faktor lingkungan. Tumor initiation, terjadi akibat
kerusakan genetik ireversibel pada sel normal seperti kelainan/perubahan
struktur DNA yang akan mengaktivasi gen tumor suppressor. Dalam hal ini,
komponen asap rokok terbukti memiliki peran sebagai tumor initiator.
Tahap selanjutnya tumor promotion, proliferasi klon sel tertentu yang
telah terinisasi. Dimana semakin sering sel membelah, maka akan memicu
terjadinya mutasi semakin besar dan terakumulasi sehingga sel-sel tersebut
menjadi ganas (lesi preneoplastik). Zat yang dapat menyebabkan tumor
promotion pada kanker paru yaitu asap rokok, dichloro-diphenyl-
trichloroethane (DDT), dan dioksin. (Zaini J, 2014)
Malignant conversion, kerusakan atau perubahan genetik yang tidak
terkendali akan menyebabkan lesi preneoplastik berubah menjadi kelompok sel
yang memiliki fenotip ganas, seperti proliferasi berlebihan dan tidak terkendali,
tidak lagi membutuhkan hormon pertumbuhan, atau kemampuan menghindar
dari proses apoptosis yang dimediasi oleh aktivasi gen proto-onkogen
maupun inaktivasi gen tumor suppressor yang berlebihan dan tidak terkendali.
Tahap terakhir tumor progression, sel-sel tersebut telah menjadi ganas dan
cenderung agresif seiring berjalannya waktu seperti mulai terjadi angiogenesis,
proses invasi, infiltrasi ke jaringan sekitar, dan metastasis ke jaringan lain.
(Zaini J, 2014)
1.1.4 KLASIFIKASI
Lebih dari 90% seluruh tumor kanker primer timbul pada jaringan epitel
bronchial. Kanker ini berkumpul sehingga disebut bronkogenik karsinoma. Kanker
paru-paru diklasifikasikan sesuai dengan tipe histologi selnya, yaitu :
1) Small Cell Lung Cancer (SCLC) Gambaran histologi khas adalah dominasi sel
kecil yang hampir semuanya diisi oleh mukus dengan sebaran kromatin dan sedikit
nukleoli. Jenis ini disebut juga oat cell carcinoma karena bentuknya mirip dengan
bentuk biji gandum. Karsinoma sel kecil cenderung berkumpul di sekeliling
pembuluh darah halus menyerupai pseudoroset. Sel-sel yang bermitosis banyak
ditemukan disertai gambaran nekrosis. Komponen DNA yang terlepas
menyebabkan warna gelap di sekitar pembuluh darah. (Price, 2005)
2) Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC), mencakup:
a. Karsinoma sel skuamosa/karsinoma bronkogenik. Karsinoma sel
skuamosa memiliki ciri khas yaitu adanya proses keratinisasi dan
pembentukan jembatan intraselular. Studi sitologi memperlihatkan
perubahan yang nyata dari displasia skuamosa ke karsinoma insitu.

b. Adenokarsinoma.
Menempati sekitar 35-40% paru. Kanker khas dengan bentuk formasi
glandular dan kecenderungan ke arah pembentukan konfigurasi papilari.
Biasanya membentuk musin dan sering tumbuh dari jaringan fibrosis paru.
Dengan penanda tumor carcinoma embrionic antigen (CEA), karsinoma ini
bisa dibedakan dari mesotelioma. (Sudoyo, 2009) Sejauh ini menjadi tumor
tersering yang timbul pada perempuan, bukan perokok, dan pasien berusia
kurang dari 45 tahun. (Youlden, 2008)
c. Karsinoma sel besar.
Jenis ini merupakan suatu subtipe dengan gambaran histologis yang dibuat
secara ekslusi. Karsinoma sel besar tidak memberikan gambaran
diferensiasi skuamosa atau glandular dengan sel bersifat anaplastik, tidak
berdiferensiasi, dan biasanya disertai infiltrasi sel neutrofil. (Sudoyo, 2009)
d. Karsinoma Adenoskuamous.
Diagnosis karsinoma adenosquamous biasanya dapat dibuat dalam
spesimen reseksi, karena minimum 10% dari setiap komponen diperlukan.
Jika dalam biopsi kecil dua komponen dengan histopatologi, histokimia
atau immunohistokimia adenoid bening dan squamous diferensiasi dapat
dibedakan, kemudian istilah "NSCLC NOS, kemungkinan adenosquamous
karsinoma" harus diterapkan. (Travis WD, 2015)
Pembagian stadium kanker dibuat menggunakan sistem TNM oleh The
International System for Staging Lung Cancer, serta diterima oleh The American
Joint Committe on Cancer (AJCC) dan The Union Internationale Contrele
Cancer (UICC) pada tahun 1973 dan kemudian direvisi 1986 dan terakhir pada
tahun 1997. (Price, 2005)
Tumor Primer (T)

Tabel 1.1 Tumor Primer

Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan dengan hasil radiologi dan


bronkoskopi tetapi sitologi sputum atau bilasan bronkus positif
(ditemukan sel ganas) .
T0 Tidak tampak lesi atau tumor primer.

Tis Carcinoma in situ.

T1 Ukuran terbesar tumor primer ≤3 cm tanpa lesi invasi intra bronkus yang
sampai ke proksimal bronkus lobaris.
T2 Ukuran terbesar tumor primer >3 cm tetapi ≤7 cm, invasi intrabronkus
dengan jarak lesi ≥ 2 cm dari distal karina, berhubungan dengan
atelektasis atau pneumonitis obstruktif pada daerah hilus atau invasi ke
pleura visera
T3 Ukuran tumor primer > 7 cm atau tumor menginvasi dinding dada
termasuk sulkus superior, diafragma, nervus phrenikus, menempel pleura
mediastinum, pericardium. Lesi intrabronkus ≤ 2 cm distal karina tanpa
keterlibatan karina. Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis
obstruktif di paru. Lebih dari satu nodul dalam satu lobus yang sama
dengan tumor primer.
T4 Ukuran tumor primer sembarang tetapi telah melibatkan atau invasi ke
mediastinum, trakea, jantung, pembuluh darah besar, karina, nervus
laring, esophagus, vertebral body. Lebih dari satu nodul berbeda lobus
pada sisi yang sama dengan tumor (ipsilateral).
Kelenjar Getah Bening (KGB) regional (N)

Tabel 1.2 Kelenjar Getah Bening (KGB) regional (N)


N0 Tidak ditemukan metastasis
N1 Metastasis di peribronkial ipsilateral dan/atau kelenjar getah bening hilus
ipsilateral dan nodul intrapulmo, termasuk keterlibatan secara langsung.
N2 Metastasis di mediastinum dan/atau subkranial kelenjar getah bening
ipsilateral.

N3 Metastasis di mediastinum kontralateral, hilus kontra lateral, ipsilateral


atau kontralateral sisi tidak sama panjang, atau kelenjar getah bening
supraklavikula

Metastasis (M)
Tabel 1.3 Metastasis

M0 Tidak diketahui adanya metastasi jauh

M1 Metastasis jauh terdapat pada tempat tertentu (misal, otak)

Klasifikasi Stadium
Tabel 1.4 Klasifikasi Stadium
Stadium TNM

Karsinoma Tersembunyi Tx, N0, M0

Stadium 0 Tis, N0, M0

Stadium IA T1, N0, M0

Stadium IB T2, N0, M0

Stadium IIA T1, N1, M0

Stadium IIB T2, N1, M0

Stadium IIIA T3, N1, M0

Stadium IIIB T berapapun, N3, M0

T4, N berapapun, M0

Stadium IV T berapapun, N berapapun, M1


1.1.5 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis kanker paru tidak khas tetapi batuk, sesak napas, atau nyeri dada (gejala
respirasi) yang muncul lama atau tidak kunjung sembuh dengan pengobatan biasa pada
“kelompok risiko” harus ditindak lanjuti untuk prosedur diagnosis kanker paru. Gejala yang
berkaitan dengan pertumbuhan tumor langsung, seperti batuk, hemoptisis, nyeri dada dan
sesak napas/stridor. Batuk merupakan gejala tersering (60-70%) pada kanker paru. Gejala
lain berkaitan dengan pertumbuhan regional, seperti efusi pleura, efusi perikard, sindorm
vena kava superior, disfagia, Pancoast syndrome, paralisis diafragma. Pancoast syndrome
merupakan kumpulan gejala dari kanker paru yang tumbuh di sulkus superior, yang
menyebabkan invasi pleksus brakial sehingga menyebabkan nyeri pada lengan, sindrom
Horner (ptosis, miosis, hemifacial anhidrosis).
Keluhan suara serak menandakan telah terjadi kelumpuhan saraf atau gangguan pada
pita suara. Gejala klinis sistemik yang juga kadang menyertai adalah penurunan berat badan
dalam waktu yang singkat, nafsu makan menurun, demam hilang timbul. Gejala yang
berkaitan dengan gangguan neurologis (sakit kepala, lemah/parese) sering terjadi jika telah
terjadi penyebaran ke otak atau tulang belakang. Nyeri tulang sering menjadi gejala awal
pada kanker yang telah menyebar ke tulang. Terdapat gejala lain seperti gejala
paraneoplastik, seperti nyeri muskuloskeletal, hematologi, vaskuler, neurologi, dan lain-lain
1.1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup tampilan umum (performance status)
penderita yang menurun, penemuan abnormal terutama pada pemeriksaan fisik
paru benjolan leher, ketiak atau dinding dada, tanda pembesaran hepar atau
tanda asites, nyeri ketok di tulang.
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang dapat ditemukan pada kanker paru
dapat bervariasi tergantung pada letak, besar tumor dan penyebarannya.
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) supraklavikula, leher dan aksila
menandakan telah terjadi penyebaran ke KGB atau tumor di dinding dada,
kepala atau lokasi lain juga menjadi petanda penyebaran. Sesak napas dengan
temuan suara napas yang abnormal pada pemeriksaan fisik yang didapat jika
terdapat massa yang besar, efusi pleura atau atelektasis.
Venektasi (pelebaran vena) di dinding dada dengan pembengkakan
(edema) wajah, leher dan lengan berkaitan dengan bendungan pada vena kava
superior (SVKS). Sindroma Horner sering terjadi pada tumor yang terletak si
apeks (pancoast tumor). Thrombus pada vena ekstremitas ditandai dengan
edema disertai nyeri pada anggota gerak dan gangguan sistem hemostatis
(peningkatan kadar D-dimer) menjadi gejala telah terjadinya bendungan vena
dalam (DVT). Tanda-tanda patah tulang patologik dapat terjadi pada kanker
yang bermetastasis ke tulang. Tanda-tanda gangguan neurologis akan didapat
jika kanker sudah menyebar ke otak atau tulang belakang.
b) Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin: Hb, Leukosit, Trombosit, fungsi hati, fungsi ginjal.
c) Pemeriksaan Patologi Anatomik
1) Pemeriksaan Patologi Anatomik (Sitologi dan Histopatologi)
2) Pemeriksaan imunohistokimia untuk menentukan jenis (seperti TTF-1 dan lain-
lain) dilakukan apabila fasilitas tersedia.
3) Pemeriksaan Penanda molekuler yang telah tersedia diantaranya adalah mutasi
EFGR hanya dilakukan apabila fasilitas tersedia
d) Pemeriksaan Pencitraan
1) Foto toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk menilai pasien dengan
kecurigaan terkena kanker paru. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, lokasi lesi
dan tindakan selanjutnya termasuk prosedur diagnosis penunjang dan penanganan
dapat ditentukan. Jika pada foto toraks ditemukan lesi yang dicurigai sebagai
keganasan, maka pemeriksaan CT scan toraks wajib dilakukan untuk
mengevaluasi lesi tersebut.
2) CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendiagnosa dan menentukan stadium penyakit, dan menentukan segmen paru
yang terlibat secara tepat. CT scan toraks dapat diperluas hingga kelenjar adrenal
untuk menilai kemungkinan metastasis hingga regio tersebut.
3) CT scan kepala dengan kontras diindikasikan bila penderita mengeluh nyeri
kepala hebat untuk menilai kemungkinan adanya metastasis ke otak.
4) USG abdomen dilakukan untuk menilai kemungkinan metastasi
5) Bone Scan dilakukan untuk mendeteksi metastasi ke tulang-tulang. Bone survey
dilakukan jika fasilitas bone scan tidak ada.
6) PET-scan dapat dilakukan untuk menilai hasil pengobatan
e) Pemeriksaan Khusus
1) Bronkoskopi adalah prosedur utama untuk mendiagnosa kanker paru. Prosedur ini
dapat membantu menentukan lokasi lesi primer, pertumbuhan tumor intraluminal
dan mendapatkan spesimen untuk sitologi dan biopsi, sehingga diagnosa dan
stadium kanker paru dapat ditentukan. Salah satu metode terkini adalah
bronkoskopi fleksibel yang dapat menilai paru hingga sebagian besar bronkus
derajat ke-empat, dan kadang hingga derajat ke-enam. Spesimen untuk
menghasilkan pemeriksaan sitologi dan histopatologi didapat melalui bilasan
bronkus, sikatan bronkus dan biopsi bronkus. Prosedur ini dapat memberikan
hingga >90% diagnosa kanker paru dengan tepat, terutama kanker paru dengan
lesi pada regio sentral. Kontraindikasi prosedur bronkoskopi ini adalah hipertensi
pulmoner berat, instabilitas kardiovaskular, hipoksemia refrakter akibat
pemberian oksigen tambahan, perdarahan yang tidak dapat berhenti, dan
hiperkapnia akut. Komplikasi yang dapat terjadi adalah pneumotoraks dan
perdarahan.
2) Bila tersedia, pemeriksaan Endobrachial Ultrasound (EBUS) dapat dilakukan
untuk membantu menilai kelenjar getah bening mediastinal, hilus, intrapulmoner
juga untuk penilaian lesi perifer dan saluran pernapasan, serta mendapatkan
jaringan sitologi dan histopatologi pada kelenjar getah bening yang terlihat pada
CT-scan toraks maupun PET CT-scan.
3) Biopsi Biopsi transtorakal (transthoracal biopsy-TTB), merupakan tindakan
biopsi paru transtorakal, tanpa tuntunan radiologis (blinded TTB) maupun dengan
tuntunan USG (USG-guided TTB) atau CT-scan toraks (CT-guided TTB), untuk
mendapatkan sitologi atau histopatologi kanker paru.
4) Tindakan biopsi lain, seperti aspirasi jarum halus kelenjar untuk pembesaran
kelenjar getah bening, maupun biopsi pleura dapat dilakukan bila diperlukan.
f) Pemeriksaan Lainnya
1) Pleuroscopy dilakukan untuk melihat masalah intrapleura dan menghasilkan
spesimen intrapleura untuk mendeteksi adanya sel ganas pada cairan pleura yang
dapat merubah stadium dan tatalaksana pasien kanker paru. Jika hasil sitologi
tidak menunjukkan adanya sel ganas, maka penilaian ulang atau CT scan toraks
dianjurkan.
2) Mediastinoskopi dengan VATS kadang dilakukan untuk mendapatkan specimen,
terutama penilaian kelenjar getah bening mediastinal.
3) Torakotomi eksplorasi dilakukan sebagai modalitas terakhir, jika dengan semua
modalitas lainnya tidak ditemukan sel ganas.
1.1.7 PENATALAKSANAAN
2.1 Pembedahan
Terapi bedah adalah pilihan pertama untuk sebagian besar Non Small
Cell Lung Carcinoma, terutama pada stadium I-II dan IIIA yang masih dapat
direseksi dengan kemoterapi neoadjuvant. Jenis Pembedahan yang dilakukan
adalah lobektomi, segmentektomi, dan reseksi sublobaris. Prosedur lobektomi
tetap jadi standar dan segmentektomi dan reseksi sublobaris menjadi pilihan
pada situasi tertentu seperti komorbiditas kardiovaskular atau kapasitas paru
yang rendah. Angka ketahanan hidup penderita yang dioperasi pada stadium I
mendekati 60%, stadium II 26-37 %, dan IIa 17-36,3%. Pada stadium IIIa,
masih terdapat kontroversi mengenai keberhasilan operasi bila terdapat
metastasis. Penderita stadium IIb dan IV tidak dioperasi saja melainkan diterapi
dengan kombinasi modalitas, yaitu gabungan radiasi dan kemoterapi dengan
operasi (dua atau tiga modalitas). Terapi kombinasi dilaporkan dapat
memperpanjang ketahanan hidup dari beberapa studi. (NSS,2010)
2.2 Radioterapi
Digunakan untuk pengobatan tumor yang tumbuh terbatas pada paru yang dilakukan
pada NSCLC stadium awal atau tidak dapat dilakukan pembedahan. Perencanaan radioterapi
menggunakan Computed Tomografi (CT) dengan teknik Three Dimensional Conformal
Radiation (3D-CRT). Ada juga menggunakan diberi secara internal dengan meletakkan
senyawa radioaktif dalam jarum dengan kateter sebagai pengobatan kombinasi. (NSS,2010)
2.3 Kemoterapi
Terapi paling umum yang diberi Non Small Cell Lung Carcinoma pada stadium awal
atau kanker stadium lanjut yang bermetastasis. Berfungsi untuk memperkecil sel kanker,
memperlambat pertumbuhan, dan mencegah penyebaran sel. Kadang diberi sebagai
kombinasi pengobatan dengan menggunakan obat-obatan. (NSS,2010)
2.1 Konsep Proses Keperawatan Menurut Roy’s Adaptation Model
Teori RAM memberikan petunjuk kepada perawat dalam mengaplikasikan proses
keperawatan. Menurut Roy, tahapan dalam proses keperawatan terdiri dari pengkajian
perilaku, pengkajian stimulus, diagnosa keperawatan, penyusunan tujuan, intervensi dan
evaluasi. Tahapan tersebut bersifat dinamis, berlangsung secara simultan dan bertujuan untuk
meningkatkan adaptasi pada setiap mode adaptasi, yaitu (Alligood & Tomey, 2006):
a. Pengkajian Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau reaksi terhadap suatu stimulus. Perilaku terdiri dari
perilaku yang dapat diobservasi seperti nadi, dan yang tidak dapat diobservasi
seperti keluhan pasien yang dilaporkan kepada perawat.
Pengkajian perilaku dilakukan untuk mendapatkan respon atau output perilaku
seseorang sebagai sistem adaptasi yang berhubungan dengan setiap mode
adaptasi yaitu: mode fisiologi, konsep diri, fungsi peran, dan interdependen. Data
spesifik didapatkan melalui proses tertentu seperti observasi, pengukuran, dan
wawancara. Informasi yang dikumpulkan meliputi data subjektif, objektif dan
data hasil pengukuran (George, 1995).
b. Pengkajian Stimulus
Setelah melakukan pengkajian perilaku, perawat menganalisis data tersebut dan pola
perilaku pasien untuk mengidentifikasi adanya respon inefektif. Ketika perilaku
inefektif atau adaptif membutuhkan bukti terhadap keberadaannya, perawat
melakukan pengkajiaan stimulus internal dan ekternal yang dapat mempengaruhi
perilaku.
Pada pengkajian ini perawat harus mengumpulkan data mengenai stimulus fokal,
kontekstual, dan residual yang mempengaruhi pasien. Proses ini mengklarifikasi
etiologi suatu masalah, dan mengidentifikasi faktor kontekstual dan residual yang
berarti. Beberapa contoh stimulus yang mempengaruhi adaptasi telah
diidentifikasi Roy yaitu; kultur, status sosial ekonomi, etnik dan kepercayaan,
struktur dan tugas keluarga, tahap perkembangan; usia, jenis kelamin, pekerjaan,
hereditas dan faktor genetik. Integritas mode adaptasi; fisiologi mencakup
patologi penyakit, konsep diri dan fungsi peran, interdepedens. Efektifitas
kognator; persepsi, pengetahuan, keahlian. Lingkungan; perubahan lingkungan
internal dan ekternal, manajemen medis, penggunaan obat, alkohol dan tembakau
(George, 1995).
c. Diagnosa Keperawatan
RAM mendefinisikan diagnosa keperawatan sebagai suatu proses penilaian yang
menghasilkan pernyataan yang menyatakan status adaptasi pada sistem adaptasi
manusia. Perawat yang berpengalaman dapat melakukan penilaian berkenaan
kebutuhan perawatan dan kebutuhan adaptasi pasien. Pernyataan ini
diekspresikan dalam diagnosa keperawatan baik masalah aktual maupun potensial
yang berhubungan dengan adaptasi.
Roy menggambarkan tiga metoda membuat diagnosa keperawatan. Metode pertama
adalah menggunakan tipologi diagnosa yang dikembangkan Roy dan
berhubungan dengan mode adaptasi. Contoh mode adaptasi fisiologi oksigenasi
yaitu hipoksia, syok, kegagalan ventilasi, inadekuat pertukaran gas dan lain
sebagainya.
Metode kedua yaitu dengan mengobservasi respon satu mode yang sangat
dipengaruhi stimulus. Penyataan diagnosa keperawatan misalnya nyeri dada akut
berhubungan defisit oksigen miokard sekunder akibat kelebihan ekspos cuaca
panas.
Metode ketiga yaitu dengan meringkas respon pada satu atau lebih mode adaptasi
yang berhubungan dengan beberapa stimulus. Contoh jika seseorang mengalami
nyeri dada adalah seorang petani yang bekerja diluar pada cuaca panas yang
dibutuhkan untuk keberhasilan pekerjaanya. Maka diagnosa yang dibuat yaitu
perubahan penampilan peran berhubungan dengan keterbatasan kemampuan fisik
(miokard) untuk bekerja pada cuaca yang panas.
d. Penentuan Tujuan
Tujuan difokuskan terhadap peningkatan pada perilaku adaptif. Perawat dan pasien
menyetujui pernyataan jelas tujuan perilaku yang diharapkan dari asuhan
perawatan. Pernyataan harus merefleksikan satu perilaku adaptif yang realistik
dan dapat diukur. Pernyataan tujuan harus meliputi perilaku yang dapat diubah,
perubahan yang diharapkan dan batas waktu perubahan perilaku dapat terjadi
(Alligood & Tomey, 2006).
Tujuan jangka panjang merefleksikan penyelesaian masalah adaptasi dan
kemampuan energi untuk memenuhi tujuan lain (hidup, tumbuh, reproduksi).
Tujuan jangka pendek mengidentifikasi perilaku pasien yang diharapkan setelah
manajemen fokal dan kontekstual dilakukan (George, 1995).
e. Intervensi Keperawatan
Menurut Roy, intervensi keperawatan direncanakan untuk mengubah stimulus fokal
dan kontekstual. Implementasi difokuskan kepada kemampuan koping seseorang
atau tingkat adaptasi. Perawat merencanakan aktivitas spesifik untuk merubah
stimulus yang sesuai. Intervensi difokuskan pada cara pencapaian tujuan.
Intervensi keperawatan yang dilakukan untuk meningkatkan perilaku adaptasi
oleh pasien. Intervensi keperawatan muncul didasari pengetahuan yang diarahkan
pada stimulus fokal. Intervensi adalah pedekatan perawatan yang ditujukan untuk
meningkatkan adaptasi dengan merubah stimulus atau memperkuat proses
adaptasi (Alligood & Tomey, 2006).
f. Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan menjawab pertanyaan “apakah seseorang telah berubah
menjadi adaptif?”. Evaluasi memerlukan analisis dan penilaian yang dibuat untuk
mengetahui apakah pernyataan perubahan perilaku pada tujuan telah tercapai atau
belum oleh penerima perawatan. Pada tahap evaluasi perawat menilai efektifitas
intervensi keperawatan yang telah diimplementasikan terhadap tingkat
pencapaian tujuan yang telah disetujui (Alligood & Tomey, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

NASIONAL, K. P. K. (2017). PANDUAN PENATALAKSANAAN KANKER PARU.


Kementerian Kesehatan RI.

Zulkifli Amin. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (S. Setiati Siti, Alwi Idrus, Sudoyo
AW, K Simadibrata M, Setiyahadi B (ed.); Edisi VI). InternaPublishing.

Anda mungkin juga menyukai