Anda di halaman 1dari 51

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL

Dengan Masalah CA Bronkogenik dan Efusi Pleura


Untuk Memenuhi Tugas Individu Profesi Ners Departemen Medikal
di RST Dr. Soepraoen Malang

Oleh:

Zachya Islamia
190070300111003

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
1. Definisi Ca Bronkogenik
Kanker paru merupakan kanker yang onsetnya dimulai dari paru-
paru dimana terjadi pertumbuhan sel abnormal yang sangat cepat dan
tidak terkendali. Pertumbuhan sel yang tidak normal tersebut dipicu oleh
kerusakan DNA diantaranya adanya delesi pada bagian DNA, inaktivasi
gen supresor tumor, aktivasi protoonkogen menjadi onkogen, tidak
terjadinya apoptosis dan aktivitas dari enzim telomerase.(Yu, dkk, 2014;
Yolder dkk,2010)
2. Epidemiologi
Di Indonesia, kanker paru termasuk dalam 3 besar kanker
terbanyak bersama dengan kanker payudara dan kanker serviks. Kanker
paru merupakan kanker dengan prevalensi terbanyak yang diderita oleh
pria. Berdasarkan data dari RS KankerDharmais Jakarta, prevalensi dari
kanker paru dari tahun 2010 hingga 2013 selalu meningkat, dimana pada
tahun 2010 terdapat 117 kasus dengan 38 kematian, tahun 2011 terdapat
163 kasus dengan 39 kematian, tahun 2012 terdapat 165 kasus dengan
62 kematian, dan pada tahun 2013 terdapat 173 kasus dengan 65 jumlah
kematian. (Instalasi Deteksi Dini dan Promosi Kesehatan RS Kanker
Dharmais, 2010-2013).
Berdasarkan data RISKESDAS pada tahun 2013, terdapat
347.792 orang yang menderita kanker dengan 8.729 orang merupakan
penduduk Bali dan kebanyakan penderita berumur diatas 75 tahun, akan
tetapi masih belum ada data spesifik mengenai kanker paru baik di Bali.
(Pusdatin Kemenkes RI,2015) Berdasarkan data Register pada Poli Paru
RSUP Sanglah pada tahun 2014 dan 2015, Kanker paru merupakan
salah satu kasus penyakit paru terbanyak dengan total kasus 583 pada
tahun 2014 dan 968 pada tahun 2015
3. Klasifikasi
Secara umum, kanker paru dibagi kedalam dua jenis yaitu NSCLC
dan SCLC. Perbedaan diantara keduanya adalah SCLC memiliki
agresivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan NSCLC. Namun
secara epidemiologi, NSCLC lebih sering dijumpai, yakni sekitar 85% dari
total kasus kanker paru. Menurut klasifikasi WHO, kanker paru terdiri dari
4 tipe major sel yaitu SCLC, NSCLC yang termasuk adenokarsinoma,
SCC dan LCC. Secara histologi, tumor dapat terjadi baik berupa tipe
tunggal maupun campuran (WHO,2012).
SCC merupakan jenis terbanyak dari NSCLC yang terdiagnosis.
Morfologi SCC menyerupai tumor ekstrapulmonal yang nampak seperti
sarang tumor yang terinflitrasi yang tidak memiliki jembatan intraselular.
Keratin seringkali nampak pada morfologi jaringan SCC. Terjadinya SCC
ini diduga dipengaruhi oleh merokok, seiring menurunnya jumlah perokok,
maka SCC tergantikan oleh adenokarsinoma sebagai jenis NSCLC yang
paling sering terdiagnosis. Adenokarsinoma paling sering mengenai
wanita berumur di bawah 60 tahun. Adenokarsinoma memiliki kelenjar,
struktur papilari, pola branchioalveolar, musin sel atau pola solid yang
terdiferensiasi buruk. Adenokarsinoma memiliki tipe signet ring, clear cell
and mucinous serta fetal adenocarcinoma. BAC merupakan subtype dari
adenokarsinoma yang tumbuh bersama alveolus tanpa menginvasi dan
dapat dilihat sebagai masa tunggal multinoduler difus pada X-ray, dan
“ground glass” opacity pada CTScan (Harrison,2012).
SCLC merupakan tumor neuroendokrin yang cenderung muncul
sebagai masa sentral dengan pertumbuhan endobrakial dan sangat
berhubungan dengan merokok. SCLC memiliki sel dengan sitoplasma
yang sedikit, nucleus hiperkromatik kecildengan pola kromatin seperti
“Salt and Pepper” serta nucleolus yang prominen. SCLC sering
memproduksi hormone spesifik seperti ACTH, AVP, ANF dan GRP yang
berhubungan dengan distinctive paraneoplastic syndrome
(Harrison,2012).
LCC cenderung muncul pada bagian perifer dan nampak sebagai
karsinoma yang berdeferensiasi buruk dari komposisi paru tanpa adanya
bukti squamous, diferensiasi grandular atau SCLC pada mikroskop
cahaya. Tumor ini terdiri dari lapisan sel malignant besar yang berkaitan
dengan nekrosis. Varian dari LCC termasuk basaloid karsinoma yang
muncul sebagai lesi endobrakial yang menyerupai tumor neuroendokrin
stadium tinggi dan lymphoepithelioma-like carcinoma yang berkaitan
dengan infeksi EBV (Harrison, 2012).
4. Faktor Risiko
a. Jenis Kelamin
Jenis kelamin diduga berkaitan dengan kejadian kanker
paru. Hal ini dapat dilihat dari data epidemiologi bahwa pasien
kanker paru pria lebih banyak dari wanita begitu juga dengan
jumlah kematiannya. Laki-laki memiliki tingkat metilasi pada gen
Ras Association domain Family 1A (RASSF1A) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan yaitu 7,5% dibandingkan
dengan 17,9% Vaissiere dkk, 2015) dimana gen RASSF1A
merupakan salah satu tumor supresor yang mengkode protein
menyerupai RAS efektor protein, sehingga apabila terjadi metilasi
yang menginduksi inaktivasi dari ekspresi gen tersebut maka akan
menimbulkan hilangnya inhibisi pada Cyclin D1 sehingga cell
cycle arrest tidak terjadi.
Hal ini tentunya menyebabkan sel membelah secara tidak
terkendali dan menjadi kanker. (Song dkk, 2008) Tingginya
kejadian kanker paru pada laki-laki juga dapat dikaitkan dengan
kebiasaan merokok laki-laki yang lebih besar
dibandingkanperempuan yaitu 63,38% dibandingkan dengan
31,62% Gupta dkk,2014).

b. Umur
Menurut data epidemiologi, kebanyakan penderita kanker
paru merupakan orang yang sudah berumur. Kecenderungan data
memperlihatkan bahwa semakin tuanya umur maka akan semakin
tinggi risikonya untuk terkena kanker. Sebuah penelitian yang
dilaksanakan pada tahun 2014 menyebutkan bahwa adanya
kecenderungan pola merokok sesuai umur turut mempengaruhi
terjadinya kanker paru (Gupta dkk,2014). Sebuah penelitian
insiden kanker di Korea juga membuktikan bahwa kecenderungan
kanker paru terjadi pada pria dan wanita diatas 65 tahun.(Kyu dkk,
2011)
c. Riwayat Merokok
Merokok memiliki kaitan yang erat dengan kejadian kanker
paru. Rokok memiliki 73 jenis zat pemicu kanker dan 16
diantaranya diakui sebagai karsinogen. Karsinogen yang erat
kaitannya dengan kanker paru adalah NKK, NNN dan PAH. NNK
dengan dosis 1,8mg/kg dapat menginduksi kanker paru pada
mencit, estimasi dosis terendah dari NNK pada perokok dengan
lama merokok 40 tahun adalah sekitar 1,1mg/kg sehingga risiko
kanker paru akan semakin tinggi apabila lama merokoksemakin
panjang.(Yuan dkk,2015)
Perokok memiliki kadar metilasi yang tinggi terhadap gen
SULF-2 yaitu sebuah gen yang memproduksi enzim ekstraseluler
yang mengkatalis reaksi hidrolisis 6-O-Sulfo dari polisakarida
heparan sulfat. Heparan sulfat proteoglikan tersebar pada
membran sel dan ECM dan berfungsi sebagai koreseptor untuk
berbagai macam faktor pertumbuhan dan sitokin. Inaktivasi dari
SULF-2 mencegah pelepasan gugus sulfat dari ikatan dengan IFN
yang akan meningkatkan transkripsi dari IFN sehingga
menghasilkan metaplasia sel mucus yang diakibatkan dari
disregulasi cell death yang terlibat dalam signaling IFN yang akan
menyebabkan terjadinya kanker paru. (Bruse dkk, 2014; Tessema
dkk,2012)
Merokok juga mempengaruhi metilasi gen MTHFR, tingkat
metilasi gen MTHFR pada orang yang merokok lebih tinggi secara
signifikan yaitu 72,1% dibandingkan dengan mantan perokok
(63,8%) dan yang tidak merokok. MTHFR merupakan produk gen
yang memainkan peran sebagai methionine pool serta
memastikan bahwa kadar homosistein dalam tubuh tidak
mencapai level toksik. Enzim MTHFR mengkatalis sintesis
metionin yang dibutuhkan dalam metabolism S-adenosilmetionin
yang memiliki peran penting pada proses metilasi DNA dan
ekspresinya dapat mengubah metilasi DNA yang bersangkutan,
Inaktivasi MTHFR menyebabkan penurunan signifikan 5-
metilsitosin yang akan menginduksi hipometilasi DNA yang
nantinya akan mengganggu program cell death yang memicu
perkembangan tumor (Vassiere dkk,2015).
Merokok juga memiliki kaitan yang erat dengan kejadian
PPOK dimana PPOK juga berkaitan dengan kejadian kanker paru.
Sebuah penelitian telah mengidentifikasi 5 gen yang terganggu
akibat merokok yang berpengeruh terhadap kanker paru yang di
induksi PPOK, gen tersebut adalah WIPF1 yang meregulasi
formasi sinapsis imunologikal dan aktivasi sel T, BCL2I yang
meregulasi tumor supresor p53, SGK1yang kenaikan regulasinya
mempengaruhi pertumbuhan tumor, ZNF397 yang memiliki peran
dalam formasi sentromer dan transkripsi gen serta CLK1 yang
merupakan faktor pemotongan DNA alternatif yang di induksi oleh
keadaan hipoksia (Faner dkk,2014).
Pengaruh merokok terhadap kejadian kanker paru juga
dapat dibuktikan melalui efek dari berhenti merokok. Orang yang
berhenti merokok terbukti mengalami perubahan hasil skrining
dari tahun sebelumnya disaat ia masih merokok. Orang yang
sebelumnya terskrining positif berisiko besar terhadap kanker paru
akan menjadi negative atau setidaknya risikonya berkurang saat
ia berhenti merokok setidaknya satu tahun. (Tamemmagi
dkk,2014; Slatore dkk,2014)

d. Berat Badan
Berat badan memiliki kaitan dengan berbagai jenis kanker.
Indeks Masa Tubuh (IMT) yang tinggi merupakan salah satu
predisposisi dari berbagai jenis kanker, akan tetapi kanker paru
memiliki kecenderungan yang berbeda dengan kanker lainnya.
Kenaikan IMT justru memberikan efek negative terhadap risiko
kanker paru (Bashkaran dkk,2014)
IMT yang rendah pada pasien kanker paru diduga juga
terkait dengan kecenderungan orang dengan IMT rendah untuk
merokok. Perokok pria cenderung memiliki IMT lebih rendah
dibandingkan dengan mantan perokok maupun bukan perokok
sedangkan pada wanita tidak terdapat perbedaan yang begitu
signifikan antara IMT mantan perokok dibandingkan dengan
bukan perokok, akan tetapi perokok wanita memiliki
kecenderungan memiliki IMT lebih rendah (<25,57kg/m2)
dibandingkan dengan dua grup pembandingnya (>26,8kg/m2)
(Gupta dkk,2014; Song dkk,2014).

e. Riwayat Penyakit Paru Lainnya


Salah satu penyakit paru yang dapat meningkatkan risiko
terjadinya kanker paru adalah PPOK yang merupakan penyakit
fatal dan progressive pada paru ditandai dengan hambatan aliran
udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible.
Hambatan aliran ini bersifat progresif dan berhubungan dengan
respon inflamasi paru terhadap partikel beracun. Baik PPOK
maupun kanker paru sama-sama memiliki kaitan erat dengan
merokok seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab merokok
diatas (Durham&Adcock, 2015; Faner et,al,2014).
PPOK juga diyakini sebagai faktor independent yang
menyebabkan terjadinya kanker paru. RNOS yang merupakan
pencetus kanker akibat inflamasi kadarnya sangat meningkat
pada PPOK, selain itu fungsi mitokondria pada pasien PPOK
sangat menurun sehingga sel endotel paru tidak mampu untuk
berapoptosis. Sitokin terutama IFNγ dan M-CSF yang dihasilkan
dari inflamasi PPOK dapat memberikan sinyal untuk diferensiasi
dan pembelahan sel serta dapat memanggil sel imun lain untuk
berinfiltrasi dan membentuk tumor. Inflamasi kronik juga
mengakibatkan adanya overekspresi dari NFkB yang dapat
menginhibisi gen supresi tumor p53. Jalur PI3K yang berperan
penting pada proliferasi dan supresi apoptosis sel juga teraktivasi
pada penderita PPOK, selain itu peningkatan aktivasi protein Wnt
dan B-catenin pada PPOK memiliki asosiasi dengan pertumbuhan
kanker yang cepat pada percobaan mencit. (Durham&Adcock,
2015; Wauters dkk,2014)

f. Riwayat Penyakit Ekstrapulmonal


Komorbiditas pada pasien kanker paru memiliki efek positif
terhadap perkembangan kanker dan efek negative terhadap
kemampuan survival pasien. Komorbiditas juga dapat menutupi
gejala kanker paru sehingga menyebabkan diagnosis kanker yang
tertunda. Komorbiditas juga mempengaruhi proses penyembuhan
kanker paru dikarenakan kebanyakan komorbiditas menjadi salah
satu kontra indikasi dari tindakan operasi. Beberapa penyakit
ekstrapulmonal yang dapat memicu terjadinya kanker paru
sekaligus memperparah perjalan kanker paru adalah kondisi-
kondisi yang menurunkan sistem imunitas seperti infeksi HIV,
penggunaan obat imunosupresan pada pasien autoimun maupun
pasien dengan riwayat transplantasi organ. Adapun penyakit
metabolik seperti diabetes juga dapat meningkatkan risiko
terjadinya kanker paru (Lachina, Green & Jakobsen, 2014).
Berdasarkan ICD 10, komorbiditas penyerta dari kanker
paru dibagi menjadi kelas yaitu kelas pertama seperti infark
miokard, gagal jantung kongestif, penyakit vascular perifer, PPOK,
penyakit liver dan diabetes. Sedangkan kelompok 2 adalah
hemiplegi, penyakit ginjal, diabetes dengan kerusakan organ,
tumor lain di luar paru, leukemia dan limfoma. Kelompok 3 adalah
penyakit liver moderat atau parah dan kelompok 4 adalah
metatstasis dari tumor solid atau AIDS. Komorbiditas terbanyak
selain PPOK adalah metastasis tumor solid 24,8%, diabetes tanpa
komplikasi 10,3% dan penyakit vascular perifer 8,7%.(Marcus dkk,
2014)
Penelitian Kong dkk pada tahun 2014 menyatakan bahwa
pasien dengan penyakit terkait defisiensi vitamin D memiliki risiko
yang lebih besar untuk terkena kanker paru. Vitamin D memiliki
fungsi sebagai anti proliferative, anti angiogenik, anti metastasis
dan efek pro apoptosis terhadap sel. Orang yang kekurangan
vitamin D memiliki risiko 5 kali lebih besar untuk menderita kanker
paru dengan OR=5,8 dan 95%CI=2,84-11,84.(Kong dkk,2014)

g. Pekerjaan
Berbagai pekerjaan memiliki risikonya masing-masing.
Beberapa pekerjaan memiliki asosiasi dengan meningkatkan
risiko seseorang untuk menderita kanker paru dikarenakan
lingkungan yang dapat mengganggu fungsi paru. Eksposur dalam
pekerjaan yang paling sering adalah eksposur dari debu serbuk
kayu. Pekerjaan yang terpapar dengan debu serbuk kayu ini
diantaranya tukang gergaji, tukang kayu, pengrajin kayu dan
pekerja furnitur. Paparan dari debu kayu diyakini sebagai salah
satu faktor risiko kanker paru terbukti dalam penelitian pasien
kanker paru yang bukan perokok memiliki kecenderungan bekerja
dengan paparan dari debu kayu (OR=1,4 ; 95%CI= 1-2) (Vallieres
dkk,2015).
Pekerjaan lain yang dianggap berisiko terhadap kejadian
kanker paru adalah penambang batu bara, penambang bijih besi
dan pemecah batu. Penambang yang bekerja di bawah tanah
memiliki tingkat eksposur yang tinggi terhadap bahan karsinogenik
bagi paru seperti arsenik, asbestos, kromium, nikel, PAH, silika
dan buangan mesin diesel sedangkan pemecah batu paling sering
berkontak dengan silika. Kelompok pekerja ini memiliki risiko yang
tinggi terhadap kanker paru apabila sudah terpapar zat
karsinogenik selama lebih dari 10 tahun (Taeger dkk,2015).
Pekerja manual (pekerja yang bekerja dengan tangan
tanpa bantuan mesin) diduga memiliki risiko tinggi terhadap
kontak dengan bahan karsinogenik. Pekerjaan yang termasuk di
dalam pekerja manual adalah pekerja terampil seperti petani,
tukang las dan tukang ledeng, lalu pekerja pemrosesan dan
operator mesin seperti pemecah batu dan perakit, serta pekerja
dasar seperti tukang bersih-bersih. Risiko kanker paru lebih tinggi
pada pekerja manual dibandingkan dengan manager atau
pekerjaan professional lainnya dengan OR 2,5 dan 95%CI 1.2-
5.05, 71,35% pekerja tersebut mendapatkan ekpaparan
karsinogenik dari lingkungan tempat bekerja mereka.(Nordin
dkk,2014)

h. Riwayat Keluarga
Keluarga diduga memiliki peranan penting dalam kejadian
kanker paru. Keluarga diduga memiliki peran penting dalam
menurunkan polimorfisme pada gen seseorang. Keluarga juga
diduga berperan dalam menurunkan kebiasaan merokok pada
seseorang. Studi meta analisis yang dibuat oleh Makidou dkk
menunjukkan bahwa dari 31 case control 27 diantaranya
menunjukkan riwayat kanker paru pada keluarga berkaitan
dengan peningkatan risiko kanker paru (95%CI : 1,58-2.10) dan
11 dari studi tersebut menujukkan peningkatan risiko signifikan
pada pasien yang tidak pernah merokok yang menandakan
keluarga berperan besar pada pewarisan genetik kanker (95%Ci :
1,1-2,06).
Sedangkan dari 17 studi cohort semuanya menunjukkan
peningkatan risiko kanker paru yang signifikan pada pasien
dengan riwayat keluarga (95%CI: 2,57-40,41). (Matakidou dkk,
2006) Penelitian dari Anna dkk menunjukkan bahwa riwayat
penyakit kanker paru dalam keluarga dapat meningkatkan risiko
seseorang menderita kanker paru, selain itu apabila keluarga
yang memiliki riwayat kanker paru adalah ibu dan saudara
perempuan maka risiko akan jauh lebih meningkat dengan OR
2,74 dan 3,58 seperti ditunjukkan pada tabel di bawah.(Anna dkk,
2009).
Beberapa gen yang diwariskan keluarga diduga
mempengaruhi meningkatnya risiko kanker paru. Gen pada
kromosom 5p15.33 yang memiliki pengaruh besar pada wanita
yang tidak pernah merokok, diduga menaikan risiko melalui
mediasi peningkatan TERT yang mengakibatkan overekspresi
mRNA yang menyebabkan kanker paru. Gen pada kromosom
6p21-6p22 juga memiliki keterkaitan dengan meningkatnya risiko
kanker paru dengan mengakibatkan adanya DNA mismatch repair
pada gen M5H5. Gen pada kromosom 9p21.3 yang merupakan
pengkode tumor suppressor gene yang dapat menghambat CDK
dan apoptosis terinduksi stressor pada sel paru yang dapat
meningkatkan risiko kanker paru serta gen pada kromosom
12p13.33 yang juga dapat mempengaruhi DNA repair mechanism
pada sel kanker paru.(Timofeeva dkk,2012)
5. Manifestasi Klinis
Gambaran penyakit kanker paru terdiri dari keluhan subjektif dan
gejala objektif. Keluhan utama dapat berupa batuk-batuk atau tanpa
dahak, batuk darah, sesak napas, suara serak, sakit dada, sulit menelan,
dan terdapat benjolan di pangkal leher. Gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi
hebat di otak, pembesaran hepar, dan berat badan berkurang juga
merupakan ciri dari adanya kanker paru. (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003)
6. Patofisiologi
Kanker paru dimulai oleh aktivitas onkogen dan inaktivasi gen
supresor tumor. Onkogen merupakan gen yang membantu sel-sel
tumbuh dan membelah serta diyakinin sebagai penyebab seseorang
untuk terkena kanker (Novitayanti, 2017). Proto-onkogen berubah
menjadi onkogen jika terpapar karsinogen yang spesifik. Sedangkan
inaktivasi gen supresor tumor disebabkan oleh rusaknya kromosom
sehingga dapat menghilangkan keberagaman heterezigot. Zat karsinogen
merupakan zat yang merusak jaringan tubuh yang apabila mengenai sel
neuroendrokin menyebabkan pembentukan small cell lung cancer dan
apabila mengenai sel epitel menyebabkan pembentukan non small cell
lung cancer.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Deteksi Dini Kanker paru
Diagnosis klinis karsinoma paru harus berdasarkan analisa
gabungan dari manifestasi klinis dan hasil berbagai teknik pencitraan, tapi
diagnosis pasti terakhir harus diambil dari bukti sitologi atau histopatologi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan lengkap, pada
pasien kanker paru terdapat gejala- gejala klinis, beberapa faktor yang
perlu diperhatikan.
b. Prosedur Diagnostik
1) Foto Rontgen Dada secara Posterior-Anterior dan Lateral pemeriksaan
sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker paru. Studi dari Mayo
Clinic USA, menemukan 61% tumor paru terdeteksi dalam pemeriksaan
rutin dengan foto rontgen dada biasa.
2) Pemeriksaan Computed Tomography dan Magnetic Resonance
Imaging
Pemeriksaan CT Scan pada torak, lebih sensitif daripada
pemeriksaan foto dada biasa, karena dapat mendeteksi kelainan atau
nodul dengan diameter minimal 3mm dan bila lesi di lokasi tumor yang
tindih struktur anatomi yang sulit ditemukan pada foto rontgen serta
mudah menentukan karsinoma paru diantarajaringan sekitarnya.
Pemeriksaan CT Scan bisa sebagai pemeriksaan skrining kedua setelah
foto dada biasaPemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak
rutin dikerjakan,karena ia hanya terbatas untuk menilai kelainan tumor
yang menginvasi ke dalam vertebra, medulla spinal, dan
mediastinum.Keunggulan MRI dibandingkan CT Scan adalah lebih
mudah membedakan antara tumor padat dan pembuluh darah, dan dapat
menampilkan trakeobronkus serta pembuluh darah yang tertekan,
bergeser, dan terobstruksi, namun dalam memeriksa nodul kecil dalam
paru tidak sebaik CT Scan.
c. Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan sitologi sputum dikerjakan terutama bila pasien ada
keluhanseperti batuk.Pemeriksaan ini merupakan salah satu metode
terpenting dalam diagnosis kanker paru, suatu metode diagnosis
sederhana non invasif. Pada kanker paru yang letaknya sentral,
pemeriksaan sputum yang baik dapat memberikan hasil positif sampai
67-85% pada karsinoma sel skuamosa. Untuk mendapatkan sel tumor in
situ juga hanya bisa dengan pemeriksaan sitologi sputum dengan
bantuan bronkoskopi. Pemeriksaan sitologi lain untuk diagnostik kanker
paru dapat dilakukan pada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening
servikal, supraklavikula, bilasan dan sikatan bronkus pada bronkoskopis.
d. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas diagnosis kanker
paru, untuk mendapatkan spesimennya dengan cara biopsi melalui:
1) Bronkoskopi.
Modifikasi dari bronkoskopi serat optik dapat langsung
melihatlesi di saluran trakeobronkial, juga dapat menjepit dan
menyikat yang bertujuan mendapatkan jaringan untuk diagnosis
histopatologi dengan langsung, berupa: trans bronchial lung
biopsy (TBLB), fluorescence ronchoscopy, ultrasound
bronchoscopy, trans-bronchial needle-aspiration (TBNA). Hasil
positif dengan bronkoskopi ini dapat mencapai 95% untuk tumor
yang letaknya sentral dan 70- 80% untuk tumor letaknya perifer.
2) Trans Torakal Biopsi (TTB)
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer
dengan ukuran >2 cm sensitivitasnya mencapai 90-95%.
3) Torakoskopi
Indikasi utama melakukan torakoskopi adalah: kelainan
pleura, efusi pleura malignan, lesi difus pleura, dll. Biopsi tumor di
daerah pleura dengan cara Video Assisted Thorachoscopy
memiliki sensitivitas dan spesifisitas hingga 100%.
4) Mediastinoskopi
Mediastinoskopi adalah suatu cara diagnosis melalui suatu
lubang artifisial di celah depan trakea dimasukkan medistinoskop
untuk melihat kelainan sekitar trakea, sekaligus melakukan biopsi.
Pemeriksaan ini sangat berguna dalam memastikan ada tidaknya
metastasis kelenjar limfe mediastinum pada kanker paru. Lebih
dari 20% kanker paru bermetastasis ke mediastinum, terutama
Small Cell Ca dan Large Cell Ca. Untuk mendapatkan tumor
metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat dapat
melakukan pemeriksaan mediastinoskopi dengan hasil nilai positif
40%.
5) Torakotomi
Torakotomi untuk diagnostik kanker paru dikerjakan jika
berbagai prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal
mendapatkan sel tumor. (Amin, 2009)
8. Penatalaksanaan
Pengobatan kanker paru adalah multi-modaliti terapi. Pemilihan
terapi bukan hanya diharapkan pada jenis histologis, derajat dan tampilan
penderita saja tetapijuga pada kondisi medis seperti fasilitas yang dimiliki
oleh rumah sakit dan ekonomi penderita juga.
• Pembedahan
Terapi bedah dilakukan untuk membuang lobus paru tempat yang
ditemukan tumor, dan juga membuang semua kelenjar getah bening
mediastinal supaya tidak terjadinya penyebaran kanker yang lanjut.
• Radioterapi
Terapi ini menggunakan tenaga X-ray yang tinggi atau tenaga
radiasi yang lain untuk membunuh sel kanker. Radioterapi dapat
diberikan secara tunggal atau gabungan den kemoterapi. Fungsi
radioterapi ialah untuk mengecilkan tumor jika diberikan secara sebagai
terapi tunggal.
• Kemoterapi
Kemoterapi merupakan salah satu cara memberi obat anti kanker
pada pasien melalui infus. Biasanya pada kemoterapi diberikan lebih dari
satu jenis obat anti kanker, tujuanya agar lebih banyak sel kanker dapat
dibunuh dengan jalur yang berbeda. Terdapat beberapa syarat untuk
pemberian kemoterapi antara lain ialah kondisi umum harus dalam
keadaan baik, pasien masih dapat melakukan aktivitas sendiri, fungsi
hati, fungsi ginjal dan fungsi hemostatik juga harus baik. (Jett, Schild,
Keith, Kesler, 2007
1. Definisi Efusi Pleura
Rongga potensial antara pleura parietalis dan viseralis berperan
sebagai sistem berpasangan antara paru dan dinding dada. Pleura
memiliki aliran darah sistemik dan limfatik, aliran tersebut melalui rongga
pleura melibatkan tekanan mikrovaskuler, tekanan onkotik, permeabilitas
dan area permukaan (Ward et al, 2007). Menurut Mansjoer (2007) efusi
pleur adalah terkumpulnya cairan pleura yang abnormal di dalam cavum
pleura Pengumpulan cairan yang abnormal dan berlebih di dalam rongga
pleura, rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru – paru
dan rongga dada (Abata, 2014). Efusi pleura adalah suatu keadaan ketika
rongga pleura dipenuhi oleh cairan bisa disebut juga dengan
penumpukan cairan dalam rongga pleura (Soemantri, 2008).
Effusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang tidak
semestinya yang disebabkan oleh pembentukan cairan pleura lebih cepat
dari proses absorbsinya. Sebagian besar effusi pleura terjadi karena
meningkatnya pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan
absorpsi cairan pleura tersebut.Pada pasien dengan daya absorpsi
normal, pembentukan cairan pleura harus meningkat 30 kali lipatsecara
terus menerus agar mampu menimbulkan suatu effusi pleura. Di sisi lain,
penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan menghasilkan
penumpukan cairan yang signifikan dalam rongga pleura mengingat
tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat (Lee YCG,
2013).
2. Etiologi
Kelebihan cairan pada rongga pleura sedikitnya disebabkan oleh
satu dari 4 mekanisme dasar :
1. Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
2. Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
3. Penurunan tekanan osmotik koloid darah
4. Peningkatan tekanan negativ intrapleural
Penyebab effusi pleura:
1. Virus dan mikoplasma
Insidennya agak jarang bila terjadi jumlahnya tidak banyak.Contoh
: Echo virus, riketsia, mikoplasma, Chlamydia.
2. Bakteri piogenik
Bakteri berasala dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Contoh aerob : strepkokus pneumonia, S.mileri,S.aureus,
hemopillus,klabssiella. Anaerob: bakteroides seperti peptostreptococcus,
fusobacterium.
3. TB
Terjadi karena komplikasi TB paru melalui fokus subpleura yang
robek atau melalui aliran limfe, atau karena robeknya perkijuan kearah
saluran limfe yang menuju pleura.
4. Fungi
Sangat jarang terjadi, biasanya karena perjalanan infeksi fungi
dari jaringan paru. Contoh: aktinomiksis, koksidiomikosis. Asergilus,
Kriptokokus, Histoplasma.
5. Parasit
Parasit yang dapat menginfeksi ke pleura hanya amoeba.
Amoeba masuk dalam bentuk tropozoid setelah melewati perenkim hati
menembus diafragma terus ke rongga pleura. Effusi terjadi karena
amoeba menimbulkan peradangan .
6. Kelainan intra abdominal
Contoh : pancreatitis, pseudokista pancreas atau eksaserbasi akut,
pancreatitis kronis, abses ginjal.
7. Penyakit kalogen
Contoh : lupus eritematosus sistemik (SLE), arthritis rematoid(RA),
sclerpderma.
8. Gangguan Sirkulasi
Contoh : gangguan CV (payah jantung), emboli pulmonal,
hypoalbuminemia.
9. Neoplasma
Gejala paling khas adalah jumlah cairan effusi sangat banyak dan
selalu berakumulasi kembali dengan cepat.
10. Sebab-sebab lain.
Seperti: trauma (trauma tumpul, laserasi, luka tusuk), uremia,
miksedoma, limfedema, reaksi dipersensitif terhadap obat, effusi pleura
(Saferi Andra, 2013) .
3. Klasifikasi
Effusi pleura dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Effusi pleura transudate
Merupakan ultrafiltrat plasma, yang menandakan bahwa
membrane pleura tidak terkena penyakit. Akumulasi cairan
disebabkanoleh faktor sistematik yang mempengaruhi produksi dan
absorb cairan pleura seperti (gagal jantung kongesif, atelektasis, sirosis,
sindrom nefrotik, dan dialysi peritoneum)
2. Ini terjadi akibat kebocoran cairan melewati pembuluh kapiler yang
rusak dan masuk ke dalam paru yang dilapisi pleura tersebut atau
kedalam paru yang dilapisi pleura tersebut atau ke dalam paru terdekat.
Kriteria effusi pleura eksudat :
a. Rasio cairan pleura dengan protein serum lebih dari 0,5
b. Rasio cairan pleura dengan dehidrogenase (LDH) lebih dari 0,6
c. LDH cairan pleura dua pertiga atas batas normal LDH serum
Penyebab effusi pleura eksudat seperti pneumonia, empiema,
penyakit metastasis (mis, kanker paru, payudara, lambung, atau ovarium)
haemotorak, infark paru, keganasan, repture aneurismaaorta. (Nurarif &
Kusuma, 2015)
4. Manifestasi Klinis
Menurut Saferi & Mariza (2013) gambarakn klinis effusi pleura
tergantung pada penyakit dasarnya :
1. Sesak napas
2. Rasa berat pada dada
3. Bising jantung (pada payah jantung)
4. Batuk yang kadang-kadang berdarah pada perokok (ca bronkus)
5. Lemas yang progresif
6. Bb menurun (pada neoplasma)
7. Demam subfebril (pada tb)
8. Demam menggigil (pada empiema)
9. Asitesis (pada sirosi hati)
10. Asites dengan tumor pelvis (pada sindrom meig)
5. Patofisiologi
Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 1- 20 ml,
cairan di rongga pleura jumlahnya tetap karena terjadi keseimbangan
antara produksi oleh pleura parietal dan absorbsi oleh pleura viseral.
Keseimbangan dapat di pertahankan antara tekanan hidrostatik pleura
parietalis sebesar 9 cm H2O dan tekanan koloid osmotik pleura viseralis
10 cm H2O (Lihat gambar 1) ( Alsagaff dan Mukty, 2008). Pasien dengan
efusi pleura terjadi gagal jantung, jantung tidak dapat memompakan
darah secara maksimal keseluruh tubuh, terjadilah peningkatan
hidrostatik kapiler yang menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan
yang berada di dalam pembuluh darah akan bocor dan masuk ke dalam
pleura (Soemantri, 2008).
Efusi disebabkan oleh pembentukan cairan berlebih atau bersihan
cairan yang tidak adekuat. Gejala timbul jika cairan bersifat inflamasif,
berupa nyeri dada pleuritik, nyeri tumpul, rasa penuh dalam dada.
Pemeriksaan fisik menunjukkan penurunan bunyi napas, pekak pada
perkusi, penurunan fremitus vokal (Ward et al, 2007).
Pertukaran cairan yang melintasi memban pleura memiliki dua
mekanisme yaitu pertukaran transkapiler dan limfatik. Kekuata pendorong
pleura parietal adalah tekanan kapiler sistemik bersamaan dengan
tekanan intra pleura regular, dilanjutkan dengan tekanan osmotik protein
plasma di kurangi tekanan osmotik cairan pleura memberikan pergerakan
ke ruang pelura (Millard dan Pepper, 2013).
Sisi viseral : tekanan kapiler intra pleura berlawanan dengan
tekanan osmotik sehingga ada gaya total keluar dari ruang pleura ke
dalam pembuluh darah pleura dan limfatik. Ketidak seimbangan
mencegah akumulasi cairan, kapasistas penyerapan viseral pleura
meningkat dengan interlobar makrofili pada sel mesotelia viseral. Arteriol
bronkial pecah menjadi kapiler yang berukuran besar, biasanya akan
mengurangi tekanan kapiler dan tekanan yang dipasok oleh arteri akan
lebih tinggi dari pada kapiler paru ( Millard dan Pepper, 2013).
Mekanisme kedua dimana cairan dikeluarkan dari ruang pleura
oleh limfatik subpleural melalui stomata di pleural parietal. Mekanisme
dianggap paling utama drainase, diamana mekanisme tersebut berkerja
secara paralel (Millard dan Pepper, 2013). Timbulnya efusi pleura
disebabkan oleh gangguan pada reabsorbsi cairan pleura ( tumor ) dan
peningkatan produksi cairan pleura (infeksi). Keadaan patologis, efusi
pleura disebabkan oleh (Soemantri, 2008; Alsagaff dan Mukty, 2008) :
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik di pembuluh darah ke jantung (gagal
jantung) dan atelektasis.
2. Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma ( hipoalbuminemia ).
3. Meningkatnya permeabilitas kapiler (peradangan, neoplasma, infeksi).
4. Berkurangnya absorbsi limfatik.
6. Pemeriksaan Diagnosis
Dalam mendiagnosis pasien dengan efusi pleura, perlu diketahui
terlebih dahulu jenis cairannya, transudat atau eksudat. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang komprehensif sangat berperan penting sebagai
langkah awal dalam menegakkan diagnosis. Selanjutnya pemeriksaan
penunjang radiografi dan tes labratorium dapat dilakukan.
Saat anamnesis pertanyaan basic 4 and sacred 7 perlu diajukan
karena efusi pleura dapat disebabkan oleh penyakit lain yang mendasari.
Riwayat penyakit dan trauma, obat-obatan , keluarga, dan sosial juga
menjadi poin penting. Manifestasi klinis efusi pleura beragam sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya. Gejala yang sering dikeluhkan
pasien, yaitu dyspnea, batuk, dan nyeri dada (McGrath & Anderson,
2011).
Deteksi efusi pleura melalui pemeriksaan fisik tergantung dari
ukurannya. Efusi cairan <300 ml biasanya tidak terlalu terdeteksi.
Sebaliknya, efusi cairan >1500 ml menunjukkan hemithorax yang asimetri
(Fisk & Branley, 2013).
Pemeriksaan fisik pada efusi cairan yang lebih dari 300 ml dapat
menunjukkan hasil, seperti suara dullness pada perkusi, menurunkan
fremitus taktil, dan pengembangan dada asimetris dengan
pengembangan dada yang tidak terjadi atau terlambat pada sisi yang
mengalami efusi; suara nafas absen, egofoni, dan pleural friction rub
(Rubbins, 2013).
Untuk memastikan adanya cairan di dalam pleura, x-ray dada
perlu dilakukan. Hasil x-ray dada posteroanterior (PA) abnormal apabila
ditemukan 200 ml cairan pleura. Namun, hanya 50 ml cairan pleura yang
dapat menghasilkan sudut tumpul costophrenic posterior yang terdeteksi
pada x-ray dada lateral (Hooper & Maskell, 2010).
Pasien biasanya diperiksa dalam posisi supinasi AP, hasil foto
dada akan terlihat meningkatnya opasitas hemithorax dengan bayangan
vaskular. Apabila setelah dilakukan x-ray hasilnya masih tidak jelas
apakah densitas merepresentasikan cairan atau infiltrat parenkim; cairan
tersebut loculated atau free-flowing; maka sebaiknya dilakukan x-ray
decubitus lateral, CT thorax, atau USG (Light, 2012).
Pemeriksaan protein pleura dapat dilakukan untuk membedakan
efusi pleura transudatif dan eksudatif, di mana exudat memiliki kadar
protein >30 g/l dan transudat <30 g/l (McGrath & Anderson, 2011).
Namun, sering ditemukan hasil kadar protein yang mendekati 30 g/l
sehingga sulit membedakannya, sehingga digunakanlah kriteria Light.
Kriteria Light telah menjadi kriteria standar untukmenentukan efusi pleura
eksudat. Efusi pleura dikatakan eksudat apabila memenuhi satu atau
lebih dari kriteria berikut ini (Light, 1972) :
a. Rasio cairan pleura dengan serum protein > 0.5
b. Rasio cairan pleura dengan serum LDH > 0.6
c. LDH cairan pleura > 2/3 batas atas nilai serum LDH normal
Torakosintesis dengan analisis cairan dapat dengan cepat
mempersempit differential diagnosis efusi pleura. Torakosintesis
dilakukan pada efusi pleura dengan etiologi yang kurang jelas tetapi
terdapat cairan yang cukup sehingga prosedur tetap aman. Pemeriksaan
ini tidak perlu dilakukan pada efusi pleura dengan cairan yang terlalu
sedikit diaspirasi atau pada pasien stabil yang kondisinya bisa dijelaskan
sebagai gagal jantung kongestif (efusi bilateral) atau riwayat operasi
thorax atau abdomen (Rubbins, 2013).
Prosedur aspirasi cairan pleura harus dengan bimbingan
radiografi, biasanya dengan ultrasound (Hooper & Maskell, 2010). Cairan
yang telah diaspirasi akan digunakan untuk analisis biokimia,
mikrobiologi, dan sitologi (McGrath & Anderson, 2011).
7. Penatalaksanaan
Menurut Wijaya & Putri (2013) tujuan umum penatalaksanaan
adalah
1. Untuk menemukan penyebab dasar
2. Untuk mencegah penumpukan kembali cairan
3. Menghilangkan ketidaknyamanan serta dyspnea

Pengobatan spesifik ditunjukan untuk penyebab dasar, misalnya :


gagal jantung kongestif (CHF), pneumonia, sirosis hepatis.
Tindakan yang dilakukan yaitu :
1. Torakosintesis
a. Untuk membuang cairan pleura
b. Mendapatkan specimen untuk analisis
c. Menghilangkan dispnea
2. Pemasangan selang dada atau drainage.
Hal ini dilakukan jika torakosintesis menimbulkan nyeri, penipisan
protein dan elektrolit.
3. Obat-obatan
Antibiotik, jika agen penyebab adalah kuman atau bakteri
4. Penatalaksanaan cairan
5. Pemberian nitrogen mustard atau tetrasiklin melalui selang dada
8. Komplikasi
1. Fibrothotaks
Effusi pleura yang beruba eksudat yang tidak ditangani dengan
drainase yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura
parientalis dan pleura viseralis akibat effusi pleura tidak ditangani dengan
drainase yang baik. Jika fibrothoraks meluas dapat menimbulkan
hambatan yang berat pada jaringan-jaringan yang berada
dibawahnya.Pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan
untuk memisahkan membran pleura tersebut.
2. Atelektasis
Pengembangan paru yang tidak sempurna yang tidak sempurna
yang disebabkan oleh penekanan akibat effusi pleura disebut juga
atelektasis.
3. Fibrosis
Pada fibrosis paru merupakankeadaan patologis dimana terdapat
jaringan ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat
cara perbaikan jaringan sebagai lanjutan suatu proses penyakit paru yang
menimbulkan peradangan. Pada effusi pleura, atalektasis yang
berkepanjangan dapat mengakibatkan penggantian jaringan baru yang
terserang dengan jaringan fibrosis
DAFTAR PUSTAKA
Astowo, P. 2013. Efusi Pleura Ganas dan Empiema.
Astuti, D. I. 2017. “Gambaran Kualitas Mikroskopis pada Sampel FNAB
terdiagnosa Klinis Suspek Karsinoma Mammae dengan Metode
Pengecatan Diff Quick dan Papanicolaou”. Skripsi. Semarang:
Universitas Muhammadiyah Semarang.
Baughman, D. C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah Buku Saku dari
Brunner & Suddarth. Jakarta. EGC.
Boon, M. E., and Drijver, J.S. 2006. Routine Cytological Staining
Technique. Theoritical background and practice.
Budiawanty, R. 2017. Pewarnaan Preparat Sitologi. Poltekkes Kemenkes
Jakarta, Indonesia.
Diane, B. C. 2000. Keperawatan Medical Bedah, Jakarta. EGC.
Digambiro, R. A. 2015. Teknik Blok Sel. Universitas Sumatera Utara,
Indonesia.
Jain, 2014. Blok Sel dan Kepentingannya di Era Terapi Tepat Guna.
Universitas Gajah Madha, Indonesia.
Leopold, K. 2006. Diagnostic cytology and its histopathologic bases. The
Thyroid, Parathyroid, and Neck Masses Other Than Lymph Nodes.
5th ed. Philadelphia. P:1157-60.
Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran jilid 3. Jakarta Media
Aesculapius.
Mescher, A. L. 2012. Histologi Dasar Junguiera Teks dan Atlas. Penerbit
EGC .
Prasetyani, T. 2017. “Gambaran Mikroskopis Histologi Bloksel Efusi Pleura
dengan Menggunakan Fiksasi Alkohol 70% dan BNF 10% pada
pewarnaan HE”. Skripsi. Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Somantri, I. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan
pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta:
Salemba Medika.
Sumarno, 2011. Prosending Pertemuan Ilmiah Bidang Imunohistokimia dan
Western Blot. Semarang.
Suryono, H. 2017. “Gambaran Kualitas Sediaan Jaringan Kulit Metode
Microwave dan Conventional Histoprocessing Pewarnaan
Hematoxylin Eosin”. Skripsi. Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.
Suzanne, S. C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Brunner and
Suddarth’s. Ed8 voll. Jakarta. EGC.
Syahruddin, E., Hudoyo, A., Arief, N. 2009. Efusi Pleura Ganas pada
Kanker Paru. Jurnal Respirologi.
Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1. DS: Ca Bronkogenik Nyeri Akut
 Pasien ↓
mengeluh nyeri Massa tumor mendesak
di dada sebelah nodus lime regional
kanan dengan ↓
skala 8, nyeri Nyeri dada
seperti di tusuk ↓
DO: Nyeri Akut
 GCS 456
compos mentis
 TD 120/70
mmHG
Nadi 120x/ mnt
S 36,1o
RR 38 x/mnt
 Pada
pemeriksaan
hasil foto thorax
terdapat efusi
pleura kanan
 Pasien
diberikan
Codein per oral
3x10 mg
2. DS: Efusi Pleura Bersihan Jalan
Nafas Tidak Efektif
 Pasien ↓
mengeluh nyeri Proses peradangan
di dada sebelah pada rongga pleura
kanan dengan ↓
skala 8, nyeri Hipersekresi mucus
seperti di tusuk ↓
 Pasien Secret tertahan
mengeluh batuk disaluran nafas
sudah 1 minggu ↓
dan Pasien batuk
mengeluarkan ↓
dahak berwarna Bersihan Jalan Nafas
putih Tidak Efektif
DO:
 GCS 456
compos mentis
 TD 120/70
mmHG
Nadi 120x/ mnt
S 36,1o
RR 38 x/mnt
 Pada
pemeriksaan
hasil foto thorax
terdapat efusi
pleura kanan
 Injeksi
Levofloxacim
1x750 mg IV
3. DS: Efusi Pleura Pola Nafas tidak
Efektif
 Pasien ↓
mengeluh nyeri Pengumpulan cairan
di dada sebelah yang berlebihan di
kanan dengan rongga pleura
skala 8, nyeri ↓
seperti di tusuk Tekanan pleura
 Pasien meningkat
mengeluh batuk ↓
sudah 1 minggu Penurunan ekspansi
dan paru
mengeluarkan ↓
dahak berwarna Pertukaran O2 dan CO2
putih terganggu
DO: ↓
 GCS 456 Perubahan pola nafas
compos mentis ↓
 TD 120/70 Pola Nafas Tidak
mmHG Efektif
Nadi 120x/ mnt
S 36,1o
RR 38 x/mnt
 Pada
pemeriksaan
hasil foto thorax
terdapat efusi
pleura kanan
 Injeksi
Levofloxacim
1x750 mg IV
 Pasien
dikeluarkn
cairan pleura
sebanyak 1 liter
4. Faktor risiko Risiko Infeksi
 Pasien
mengalami
penyakit
kronis
 Pasien
kanker dan
dalam
perawatan
kemoterapi,
yang memiliki
efek
imunosupresi
 Pasien
mengalami
pneumonia
DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN
(Berdasarkan prioritas)
Ruang : R. 23 Infeksius RSSA
Nama Pasien: Tn. S
Diagnosa : Ca Bronkogenik & Efusi Pleura
N
Tanggal Tanggal Tanda
o. Diagnosa Keperawatan
Muncul Teratasi Tangan
DX
1. 24 Bersihan Jalan Nafas tidak
Septembe Efektif dengan gejala mayor
r 2018 sputum berlebih dan gejala minor
frekuensi nafas berubah dan
pola nafas berubah (RR 38x/
menit)
2. 24 Pola Nafas Tidak Efektif dengan
Septembe gejala mayor takikardia dan
r 2018 gejala minor pola nafas abnormal
(38x/ menit)
3. 24 Nyeri Akut dengan penyebab
Septembe agen pencedera fisiologis
r 2018 (inflamasi kanker bronkogenik)
ditandai dengan gejala mayor
mengeluh nyeri (skala 8),
frekuensi nadi meningkat (120x/
menit) dan gejala minor pola
nafas berubah (38x/menit)
4. 24 Risiko Infeksi dengan factor
Septembe risiko pasien dengan penyakit
r 2018 kronis dengan kondisi terkait
kanker
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
Nama klien : Tn. S Tgl Pengkajian : 24 September 2018
No Reg : 11407xxx Diagnosa Medis : Ca Bronkogenik & Efusi Pleura
No Diagnosa Luaran Keperawatan Intervensi
Keperawatan
1. Bersihan Jalan Nafas Setelah dilakukan intervensi selama 2x24 Manajemen jalan nafas
tidak Efektif dengan jam jalan nafas efektif dengan kriteria
Observasi:
gejala mayor sputum hasil sebagai berikut:
berlebih dan gejala 1. Memonitor pola nafas (frek, kedalaman,
minor frekuensi nafas No Indikator 1 2 3 4 5
dan usaha)
berubah dan pola 1 Batuk effektif
nafas berubah (RR Keterangan: 2. Memonitor bunyi nafas tambahan (ronchi)
38x/ menit) 5 = meningkat 3. Memonitor sputum (jumlah, warna,
4 = cukup
meningkat aroma)
3 = sedang Terapeutik:
2 = cukup
menurun 1. Memposisikan semi fowler atau fowler
1 = menurun 2. Berikan minuman hangat
2 Produksi sputum
Keterangan: 3. Melakukan fisiologi dada (jika
5 = menurun memungkinkan)
4 = cukup
menurun 4. Memberikan oksigen
3 = sedang Edukasi:
2 = cukup
meningkat 1. Menganjurkan teknik batuk efektif
1 = meningkat Kolaborasi:
3 Frekuensi nafas Melakukan kolaborasi pemberian mukolitik
Keterangan:
5 = menurun
4 = cukup
menurun
3 = sedang
2 = cukup
meningkat
1 = meningkat
4 Pola nafas
Keterangan:
5 = menurun
4 = cukup
menurun
3 = sedang
2 = cukup
meningkat
1 = meningkat

2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi selama 2x24 Pemantauan respirasi
dengan gejala mayor jam pola nafas tidak efektif berkurang
Observasi:
takikardia dan gejala dengan kriteria hasil sebagai berikut:
minor pola nafas No Indikator 1 2 3 4 5 1. Memonitor frekuensi, irama, kedalaman,
abnormal (38x/ menit) 1 dipsneu dan upaya pernafasan
Keterangan:
5 = menurun 2. Memonitor pola nafas
4 = cukup
menurun 3. Melakukan pemeriksaan palpasi
3 = sedang
kesimetrisan ekspansi paru
2 = cukup
meningkat 4. Melakukan pemeriksaan auskultasi bunyi
1 = meingkat
nafas
2 Bunyi nafas
tambahan 5. Memonitor daturasi oksigen
Keterangan: 6. Memonitor nilai GDA
5 = menurun
4 = cukup 7. Memonitor hasil foto thorax
menurun Terapeutik:
3 = sedang
2 = cukup 1. Mengatur interval pemantauan respirasi
meningkat sesuai kondisi pasien
1 = meingkat
3 PCO2 2. Mendokumentasikan hasil pemantauan
Keterangan: Edukasi:
5 = meningkat
4 = cukup 1. Menjelaskan tujuan dan prosedur
meningkat pemantauan
3 = sedang
2 = cukup Menginformasikan hasil pemantauan
menurun
1 = menurun
4 PO2
Keterangan:
5 = meningkat
4 = cukup
meningkat
3 = sedang
2 = cukup
menurun
1 = menurun
5. Warna kulit
Keterangan:
5 = membaik
4 = cukup
membaik
3 = sedang
2 = cukup buruk
1 = buruk
3. Nyeri Akut dengan Setelah dilakukan intervensi selama 2x24 Manajemen Nyeri
penyebab agen jam nyeri berkurang dengan kriteria hasil
Observasi:
pencedera fisiologis sebagai berikut:
(inflamasi kanker 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
bronkogenik) ditandai Tingkat Nyeri
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dengan gejala mayor No Indikator 1 2 3 4 5
mengeluh nyeri (skala 1 Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
8), frekuensi nadi Keterangan: 3. Respon nyeri non verbal
meningkat (120x/ 5 = menurun
menit) dan gejala 4 = cukup 4. Monitor keberhasilan terapi komplementer
minor pola nafas menurun 5. Monitor efek samping penggunaan
berubah (38x/menit) 3 = sedang
2 = cukup analgesik
meningkat Terapeutik:
1 = meningkat
2 Mual 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
Keterangan: mengurangi nyeri
5 = menurun
4 = cukup 2. Asilitasi istirahat dan tidur
menurun 3. Pertimbangkaan jenis dan sumber nyeri
3 = sedang
2 = cukup dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
meningkat Edukasi:
1 = meningkat
3 Pola nafas 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
Keterangan: nyeri
5 = membaik
4 = cukup 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
membaik 3. Anjurkan menggunakan analgesic secara
3 = sedang
2 = cukup buruk tepat
1 = buruk 4. Ajarkan teknik non farmakologis untuk

Kontrol Nyeri mengurangi rasa nyeri


N Indikator 1 2 3 4 5 Kolaborasi:
o
1 Melaporkan nyeri Kolaborasi pemberian analgesic jika perlu
terkontrol
Keterangan:
5 = meningkat
4 = cukup
meningkat
3 = sedang
2 = cukup
menurun
1 = menurun
2 Kemampuan
teknik non
farmakologi
Keterangan:
5 = meningkat
4 = cukup
meningkat
3 = sedang
2 = cukup
menurun
1 = menurun
3 Keluhan nyeri
Keterangan:
5 = menurun
4 = cukup
menurun
3 = sedang
2 = cukup
meningkat
1 = meingkat
4 Penggunaan
analgesik
Keterangan:
5 = menurun
4 = cukup
menurun
3 = sedang
2 = cukup
meningkat
1 = meningkat
4. Risiko Infeksi dengan Setelah dilakukan intervensi selama 2x24 Pencegahan Infeksi
factor risiko pasien Observasi :
jam risiko infeksi berkurang, dengan
dengan penyakit kronis 1. Monitor tanda gejala infeksi local dan
dengan kondisi terkait kriteria sistemik
kanker Terapeutik:
No Indikator 1 2 3 4 5
1. Batasi jumlah pengunjung
1 Pemantauan 2. Cuci tangan sebelum dn sesudh
perubahan status kontak dengan pasien
kesehatan 3. Pertahankan teknik aseptic pada
Keterangan : pasien berisiko tinggi
1 = memburuk
2 = cukup Edukasi:
memburuk 1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
3 = sedang 2. Ajarkn cara mencuci tangan dengan
4 = cukup benar
membaik 3. Ajarkan etika batuk
5 = membaik 4. Anjurkan peningkatan asupan nutrisi
2 Penggunaan dan cairan
asilitas kesehatan
Keterangan: Kolaborasi:
1 = memburuk Pemberian imunisasi jika perlu
2 = cukup
memburuk
3 = sedang
4 = cukup
membaik
5 = membaik
3 Kemampuan
menghindari
factor risiko
Keterangan:
1 = memburuk
2 = cukup
memburuk
3 = sedang
4 = cukup
membaik
5 = membaik
Perencanaan Pulang

 Tujuan pulang: r u m a h
 Transportasi pulang: Mobil
 Dukungan keluarga: baik dari anak
 Antisipasi bantuan biaya setelah pulang: biaya sendiri
 Antisipasi masalah perawatan diri setalah pulang: dibantu anak
 Pengobatan: pengobatan untuk kanker
 Rawat jalan ke: 2
 Hal-hal yang perlu diperhatikan di rumah (Edukasi pada pasien dan
keluarga mengenai) :
Risiko jatuh
Kepatuhan minum obat
Kebutuhan perawatan diri paska perawatan di rumah sakit
Prinsip 6 benar pemberian obat:
1.Benar pasien
Sebelum memberikan obat cek kembali identitas pasien.
2. Benar obat
Selum memberikan obat kepada pasien, label pada botol atau kemasan
harus di periksa minimal 3 kali.
3. Benar dosis
Sebelum memberikan obat perawat harus memeriksa dosis obat dengan
hati-hati dan teliti, jika ragu perawat harus berkonsultasi dengan dokter
atau apoteker sebelum di lanjutkan ke pasien.
4. Benar cara/rute
Ada banyak rute/cara dalam memberikan obat, perawat harus teliti dan
berhati-hati agar tidak terjadi kesalahan pemberian obat.
5. Benar waktu
Ketepatan waktu sangat pentingkhususnya bagi obat yang efektivitas
tergantung untuk mencapai atau mempertahankan darah yang memadai,
ada beberapa obat yang diminum sesudah atau sebelum makan, juga
dalam pemberian antibiotik tidak oleh di berikan bersamaan dengan susu,
karna susu dapat mengikat sebagian besar obat itu,sebelum dapat di
serap tubuh.
6. Benar dokumentasi
Setelah obat itu di berikan kita harus mendokumentasikan dosis, rute,
waktu dan oleh siapa obat itu di berikan, dan jika pasien menolak
pemberian obat maka harus di dokumentasikan juga alasan pasien
menolak pemberian obat.
Intepretasi
1. Berat badan ideal (BBI)
TB : 155cm
BB : 50kg
BBI = TB - 100 – (10%( TB-100))
= 155 – 100 – (10% x 55)
= 55 – 5.5 = 49.5 kg (Berat badan Ideal)
2. Body Mass Index (BMI)
TB : 155 cm = 1,55m
BB : 50kg
BMI = BB / TB2
= 50 kg / 1,52
= 50 kg/ 2,25 = 22,22 (Berat Badan Normal)
3. MAP
TD 120 /70
Sistol 120
Diastole 70
MAP = (sistol + 2diastol)/ 3
= (120+ 2(70))/ 3
= (120+ 140) / 3
= 260 / 3 = 86,67 (tekanan darah normal)
4. Efek Samping Terapi
 Bed rest = mengurangi nyeri pasien dengan istirahat
 Infus Ns 0,9%, 20 tpm = mengontrol cairan yang masuk ke pasien
 O2 4 lpm, NC = untuk mengurangi sesak, membantu meningkatkan
inspirasi O2 yang masuk ke paru-paru
 Injeksi Levofloxacim 1x750 mg IV = antibiotic untuk infeksi pada
saluran nafas dan paru
 PO : PCT 3 x 500 mg = mengurangi demam, mengurangi nyeri
Codein 3 x 10 mg = untuk meredakan nyeri

5. Mengkaji Nyeri
Cara Penilaian Nyeri Berdasar PQRST
P : Provokatif / Paliatif
Apa kira-kira Penyebab timbulnya rasa nyeri...? Apakah karena terkena
ruda paksa / benturan..? Akibat penyayatan..? dll.
Q : Qualitas / Quantitas
Seberapa berat keluhan nyeri terasa..?. Bagaimana rasanya..?. Seberapa
sering terjadinya..? Ex : Seperti tertusuk, tertekan / tertimpa benda berat,
diris-iris, dll.
R : Region / Radiasi
Lokasi dimana keluhan nyeri tersebut dirasakan / ditemukan..? Apakah
juga menyebar ke daerah lain / area penyebarannya..?
S : Skala Seviritas
Skala kegawatan dapat dilihat menggunakan GCS (Glasgow's Coma
Scale) ) untuk gangguan kesadaran, skala nyeri / ukuran lain yang
berkaitan dengan keluhan
T : Timing
Kapan keluhan nyeri tersebut mulai ditemukan / dirasakan..? Seberapa
sering keluhan nyeri tersebut dirasakan / terjadi...? Apakah terjadi secara
mendadak atau bertahap..? Acut atau Kronis..?
6. Menentukan Skala nyeri
Metode ini membantu para tenaga medis untuk mendiagnosis
penyakit, menentukan metode pengobatan, hingga menganalisis
efektivitas dari pengobatan tersebut. Dalam dunia medis, ada banyak
metode penghitungannya. Berikut ini beberapa cara menghitung skala
nyeri yang paling populer dan sering digunakan.
a. Visual Analog Scale (VAS)
Visual Analog Scale (VAS) adalah cara menghitung skala nyeri
yang paling banyak digunakan oleh praktisi medis. VAS merupakan
skala linier yang akan memvisualisasikan gradasi tingkatan nyeri yang
diderita oleh pasien.

Pada metode VAS, visualisasinya berupa rentang garis sepanjang


kurang lebih 10 cm, di mana pada ujung garis kiri tidak
mengindikasikan nyeri, sementara ujung satunya lagi mengindikasikan
rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Selain dua indicator tersebut,
VAS bisa diisi dengan indikator redanya rasa nyeri.
VAS adalah prosedur penghitungan yang mudah untuk digunakan.
Namun, VAS tidak disarankan untuk menganalisis efek nyeri pada
pasien yang baru mengalami pembedahan. Ini karena VAS
membutuhkan koordinasi visual, motorik, dan konsentrasi.

Berikut adalah visualisasi VAS:

sumber: unud.ac.id

b. Verbal Rating Scale (VRS)


Verbal Scale (VRS) hampir sama dengan VAS, hanya, pernyataan
verbal dari rasa nyeri yang dialami oleh pasien ini jadi lebih spesifik.
VRS lebih sesuai jika digunakan pada pasien pasca operasi bedah
karena prosedurnya yang tidak begitu bergantung pada koordinasi
motorik dan visual.

Skala nyeri versi VRS:

sumber: unud.ac.id

c. Numeric Rating Scale (NRS)


Metode Numeric Rating Scale (NRS) didasari pada skala angka 1-
10 untuk menggambarkan kualitas nyeri yang dirasakan pasien. NRS
diklaim lebih mudah dipahami, lebih sensitif terhadap jenis kelamin,
etnis, hingga dosis. NRS juga lebih efektif untuk mendeteksi penyebab
nyeri akut ketimbang VAS dan VRS.
Skala nyeri dengan menggunakan NRS:
sumber: unud.ac.id

NRS di satu sisi juga memiliki kekurangan, yakni tidak adanya


pernyataan spesifik terkait tingkatan nyeri sehingga seberapa parah
nyeri yang dirasakan tidak dapat diidentifikasi dengan jelas.

d. Wong-Baker Pain Rating Scale


Wong-Baker Pain Rating Scale adalah metode penghitungan
skala nyeri yang diciptakan dan dikembangkan oleh Donna Wong dan
Connie Baker. Cara mendeteksi skala nyeri dengan metode ini yaitu
dengan melihat ekspresi wajah yang sudah dikelompokkan ke dalam
beberapa tingkatan rasa nyeri.

sumber: wongbakerfaces.org

Saat menjalankan prosedur ini, dokter akan meminta pasien untuk


memilih wajah yang kiranya paling menggambarkan rasa nyeri yang
sedang mereka alami.

Seperti terlihat pada gambar, skala nyeri dibagi menjadi:

 Raut wajah 1, tidak ada nyeri yang dirasakan


 Raut wajah 2, sedikit nyeri
 Raut wajah 3, nyeri
 Raut wajah 4, nyeri lumayan parah
 Raut wajah 5, nyeri parah
 Raut wajah 6, nyeri sangat parah
e. McGill Pain Questinonnaire (MPQ)
Metode penghitungan skala nyeri selanjutnya adalah McGill Pain
Questinnaire (MPQ). MPQ adalah cara mengetahui skala nyeri yang
diperkenalkan oleh Torgerson dan Melzack dari Universitas Mcgill
pada tahun 1971. Sesuai dengan namanya, prosedur MPQ berupa
pemberian kuesioner kepada pasien. Kuesioner tersebut berisikan
kategori atau kelompok rasa tidak nyaman yang diderita.
Terdapat 20 kelompok yang masing-masing terdiri dari sejumlah
kata sifat (adjektiva). Pasien diminta untuk memilih kata-kata yang
kiranya paling menggambarkan kondisi mereka saat ini.

 Kelompok 1-10

Menggambarkan kualitas sensorik dari nyeri. Gejala yang termasuk


dalam kelompok ini di antaranya:

 Berdenyut
 Menusuk
 Panas
 Kesemutan
 Gatal
 Perih
 Kram
 Koyak

 Kelompok 11-15

Kelompok 11-15 menggambarkan efektivitas nyeri, seperti:

 Melelahkan
 Memuakkan
 Menakutkan
 Celaka
 Kejam
 Membunuh
 Kelompok 16

Sementara itu, adjektiva pada kelompok 16 lebih ke dimensi evaluasi,


terdiri atas:

 Menjengkelkan
 Menyusahkan
 Sengsara
 Tak tertahankan

 Kelompok 17-20

Terakhir, kelompok 1-20 berisi kata-kata yang sifatnya spesifik, seperti:

 Menyiksa
 Mengerikan
 Dingin
 Memancarkan
 Menembus

Lazimnya, dokter akan meminta pasien memilih tiga kata dari


kelompok 1-10, dua kata dari kelompok 11-15, satu katan dari
kelompok 16, dan satu kata dari kelompok 17-20. Setelah itu, dokter
menjumlahkan kata-kata yang dipilih oleh pasien sehingga
menghasilkan angka total yang digunakan untuk menentukan skala
nyeri.

f. Oswetry Disability Index (ODI)


Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980 oleh Jeremy
Fairbank, Oswetry Disability Index (ODI) adalah metode deteksi skala
nyeri yang bertujuan untuk mengukut derajat kecacatan, pun indeks
kualitas hidup dari pasien penderita nyeri, khususnya nyeri pinggang.
Pada penerapannya, pasien akan diminta melakukan serangkaian
tes guna mengidentifikasi intensitas nyeri, kemampuan gerak motorik,
kemampuan berjalan, duduk, fungsi seksual, kualitas tidur, hingga
kehidupan pribadinya. Dari sini, dokter dapat mengetahui skala nyeri
dan memastikan apa penyebab utama dari nyeri yang dirasakan
tersebut.
g. Brief Pain Inventory (BPI)
Awalnya, metode ini digunakan untuk menghitung skala nyeri
yang dirasakan oleh penderita kanker. Namun. Saat ini BPI juga
digunakan untuk menilai derajat nyeri pada penderita nyeri kronik.
h. Memorial Pain Assessment Card
Cara mengukur skala nyeri dengan metode Memorial Pain
Assessment Card ini dinilai cukup efektif, terutama untuk pasien
penderita nyeri kronik. Dalam penerapannya, MPAC akan berfokus
pada empat indicator, yakni intensitas nyeri, deskripsi nyeri,
pengurangan nyeri, dan mood.

7. Penilaian Skala Jatuh

No Kriteria Skor
Riwayat jatuh: baru saja atau
1 dalam 3 bulan Tidak = 0      Ya = 25
2 Diagnosis lain Tidak = 0      Ya = 15
Tidak ada, tira baring, di kursi roda,
bantuan perawat = 0
 

Tongkat ketiak (crutch), tongkat (cane),


alat bantu berjalan (walker) = 15

Furnitur= 30
3 Bantuan berjalan
4 IV/heparin lock Tidak = 0       Ya = 20
Normal, tirah baring, tidak bergerak =
0
 

Lemah = 10

Terganggu = 20
5 Cara berjalan/berpindah
Mengetahui kemampuan diri = 0
 

Lupa keterbatasan = 15
6 Status mental

Tingkat risiko Skor MFS Tindakan


Tidak Ada
Risiko 0-24 Tidak ada
Risiko Rendah 25-50 Lakukan pencegahan jatuh standar
Lakukan intervensi pencegahan jatuh risiko-
Risiko Tinggi ≥ 51 tinggi

9. Diet
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) adalah diet yang
mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Diet diberikan
dalam bentuk makanan biasa ditambah bahan makanan sumber protein
tinggi seperti susu, telur, dan daging. Pasien diberikan diet TKTP karena
tidak memiliki pantangan makan dan pasien menderita ca bronkogenik
⦁ Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat
⦁ mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh
⦁ Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal
Syarat Diet :
⦁ Energi tinggi
⦁ Protein tinggi
⦁ Cukup vitamin dan mineral
⦁ Mudah dicerna
⦁ Diberikan secara bertahap
⦁ Makanan yang dapat mengurangi nafsu makan tidak diberikan dekat
waktu makan
Bahan Makanan Dianjurkan :
⦁ Sumber Karbohidrat : nasi, roti, mie, makaroni, puding, ubi, karbohidrat
sederhana seperti gula pasir.
⦁ Sumber protein : daging sapi, ayam, ikan, telur, susu, dan hasil olahan
seperti keju dan yoghurt
⦁ Sumber protein nabati : semua jenis kacang-kacangan dan hasil
olahannya seperti tempe, tahu
⦁ Sayuran : semua jenis sayuran, terutama jenis B seperti bayam, buncis,
daun singkong, kacang panjang, labu siam, dan wortel direbus, dikukus
atau ditumis
⦁ Buah : semua jenis buah segar, jus buah
⦁ Lemak dan minyak : minyak goreng, mentega, margarin, santan encer
⦁ Minuman : softdrink, madu, sirup, teh dan kopi encer
⦁ Bumbu : bumbu tidak tajam, seperti bawang merah, bawang putih, laos,
salam, kecap.
Bahan Makanan Tidak Dianjurkan :
⦁ Sumber protein : dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan
kental
⦁ Sumber protein nabati : dimasak dengan banyak minyak atau
kelapa/santan kental
⦁ Lemak dan minyak : santan kental
⦁ Bumbu : bumbu yang tajam, cabe dan merica
10. Hasil Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL INTERPRETASI
Imunoserologi Interpretasikan
hasil
abnormal
pada pasien
ini
Penanda Tumor
CEA 423,00 ng/mL < 5,0 tinggi
Neuron Spesifik Enolase 33,05 ng/mL < 16,3 tinggi
(NSE)
Hematologi
Hemoglobin 10,70 g/dL 13,4 – 17,7 rendah
Eritrosit (RBC) 4,87 103/µL 4,0 – 5,5 normal
Leukosit (WBC) 14,55 103/µL 4,3-10,3 tinggi
Hematokrit 32,90 % 40 – 47 rendah
Trombosit (PLT) 198103/µL 142 – 424 normal
MCV 67,60 fL 80 – 93 rendah
MCH 22,00 pg 27 – 31 rendah
MCHC 32,50 g/dL 32 – 36 normal
RDW 14,30 % 11,5 – 14,5 normal
PDW 12,5 fL 9 – 13 normal
MPV 10,4 fL 7,2 – 11,1 normal
P-LCR 28,7 % 15,0 – 25,0 tinggi
PCT 0,21 % 0,15 – 0,400 normal
NRBC Absolute 0,00 103/µL
NRBC Percent 0,0 %
Hitung Jenis
 Eosinofil 0,1 % 0–4 normal
 Basofil 0,3 % 0–1 normal
 Neutrofil 85,7 % 51 – 67 tinggi
 Limfosit 7,5 % 25 – 33 rendah
 Monosit 6,4 % 2–5 tinggi
 Eosinofil Absolut 0,01 103/µL
 Basofil Absolut 0,05 103/µL
 Neutrofil Absolut 12,47 103/µL
 Limfosit Absolut 1,09 103/µL
 Monosit Absolut 0,93 103/µL 0,16 – 1 normal
 Immature 0,40
Granulosit
(%)
 Immature 0,06
Granulosit
Faal Hemostasis
PPT
ANALISIS JURNAL (I)
1.1 Identitas Jurnal
1) Judul jurnal
Program Self-Management: Atasi Nyeri dan Tingkat Kualitas Hidup
Pada Penderita Kanker
2) Penulis
Ni Putu Wulan Purnama Sari
3) Tahun Jurnal
2014
4) Sumber
Jurnal Ners LENTERA
5) Kata Kunci
Self-Management, self-care, cancer pain, quality of life
1.2 Telaah Hasil Penelitian
1) Metode Penelitian
Pertanyaan penelitian dirumuskan dengan PICO framework, yaitu:
P adalah pasien dewasa dengan kanker, I adalah program SM, C adalah
perawata standard, dan O adalah penurunan intensitas nyeri dan
peningkatan kualitas hidup penderita kanker. Strategi pencarian artikel
penelitian berbahasa Inggris yang relevan dengan topik penelitian ini
dilakukan dengan memasukkan kata kunci “Self-Management”, “self-
care”, “cancer pain”, dan “quality of life” ke beberapa database mayor
seperti PROQUEST, SCIENCEDIRECT, SPRINGERLINK, SAGEPUB,
RESEARCH GATE, EBSCO HOST, dan GOOGLE SCHOLAR dengan
pembatasan waktu, yaitu sejak Januari 2004 hingga April 2014.
Artikel full-text dan abstrak ditelaah untuk memilih hasil penelitian
yang sesuai dengan kriteria inklusi – topik penelitian ini. Kriteria inklusi
artikel adalah sampel usia dewasa (≥ 18 tahun) dengan kasus malignansi
(jenis penyakit kanker tidak dispesifikasi), intervensi penelitian yang
diberikan adalah program SM, dan parameter yang diukur adalah
intensitas nyeri dan atau kualitas hidup. Pencarian artikel di database
memperoleh 65 artikel yang relevan dengan topik, namun hanya 13
artikel yang memenuhi kriteria inklusi. Artikel-artikel yang digunakan
sebagai sampel selanjutnya ditelaah secara kritis dan disajikan dalam
Tabel 1.
2) Hasil Penelitian

Dari 13 penelitian yang ditelaah, hanya ada 1 penelitian yang


menyimpulkan bahwa program SM tidak berdampak positif terhadap
intensitas gejala (Bakitas, et al, 2009), sedangkan sisanya semua
menunjukkan efektivitas yang baik. Hal ini potensial diakibatkan oleh
responden tidak memperoleh terapi farmakologi dalam proses SM.
Padahal penerapan SM bukannya mengeliminasi analgesik sama sekali,
namun justru diintegrasikan di dalam SM dan dilengkapi dengan
intervensi-intervensi psikoedukasi lainnya untuk menyempurnakan
hasilnya dalam menurunkan intensitas nyeri. Eliminasi gejala nyeri akan
diikuti oleh peningkatan kualitas hidup. Kualitas hidup terkait kesehatan
terdiri dari 4 domain utama, yaitu: fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan,
dimana nyeri dan ketidaknyamanan merupakan faktor utama yang
diidentifikasi pada domain fisik yang paling dapat mempengaruhi kualitas
hidup seseorang. Dengan demikian, bila nyeri berhasil diatasi maka
kemungkinan besar kualitas hidup pasien kanker juga akan meningkat.
Pengembangan dan implementasi program SM terutama dalam hal
komponen kegiatannya, pelatihan dan praktiknya, metode pemberian dan
tenaga ahlinya, integritas perawatan dan hubungan antara pemberi
layanan dan konsumen asuhan keperawatan, serta pemantauan,
evaluasi, dan follow-up harus terus dikembangkan agar program SM
dapat menjadi intervensi yang paling efektif untuk menurunkan intensitas
nyeri dan meningkatkan kualitas hidup pasien dewasa dengan kanker.
Perawat dapat terlibat dalam proses perawatan penderita kanker
yang berfokus pada peningkatan daya guna diri untuk mengelola penyakit
beserta semua konsekuensi yang ditimbulkannya karena program SM
termasuk dalam intervensi psikoedukasi dan farmakologis dengan
keunggulan membantu penderita kanker menyadari potensi yang
dimilikinya untuk meng-handle kanker secara mandiri, meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya dalam mengelola gejala kanker (self-
care), menurunkan intensitas nyeri kanker, juga sekaligus meningkatkan
kualitas hidupnya. Perawat yang akan memberikan coaching tentang
program SM sebaiknya betul-betul paham akan intervensi yang diberikan
sehingga bisa memfasilitasi kliennya secara maksimal.
3) Kesimpulan
Hasil literature review ini telah dilakukan pada 13 artikel hasil
penelitian tentang implementasi program Self-Management untuk
menurunkan intensitas nyeri kanker dan meningkatkan kualitas hidup
para penderitanya. Metode S yang dipakai bisa berupa pendidikan
kesehatan dan psikoedukasi, intervensi farmakologis dengan penjelasan
yang terkait, olahraga, konseling, kunjungan rumah, dan banyak
intervensi bentuk lain yang bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
spesifik penderita kanker. Latar belakang budaya dan pendidikan
sebaiknya dipertimbangkan pada saat mengembangkan program SM
untuk seseorang. Program SM dinyatakan baik bila dapat menjawab
kebutuhan pasien.

Anda mungkin juga menyukai