Oleh:
Zachya Islamia
190070300111003
b. Umur
Menurut data epidemiologi, kebanyakan penderita kanker
paru merupakan orang yang sudah berumur. Kecenderungan data
memperlihatkan bahwa semakin tuanya umur maka akan semakin
tinggi risikonya untuk terkena kanker. Sebuah penelitian yang
dilaksanakan pada tahun 2014 menyebutkan bahwa adanya
kecenderungan pola merokok sesuai umur turut mempengaruhi
terjadinya kanker paru (Gupta dkk,2014). Sebuah penelitian
insiden kanker di Korea juga membuktikan bahwa kecenderungan
kanker paru terjadi pada pria dan wanita diatas 65 tahun.(Kyu dkk,
2011)
c. Riwayat Merokok
Merokok memiliki kaitan yang erat dengan kejadian kanker
paru. Rokok memiliki 73 jenis zat pemicu kanker dan 16
diantaranya diakui sebagai karsinogen. Karsinogen yang erat
kaitannya dengan kanker paru adalah NKK, NNN dan PAH. NNK
dengan dosis 1,8mg/kg dapat menginduksi kanker paru pada
mencit, estimasi dosis terendah dari NNK pada perokok dengan
lama merokok 40 tahun adalah sekitar 1,1mg/kg sehingga risiko
kanker paru akan semakin tinggi apabila lama merokoksemakin
panjang.(Yuan dkk,2015)
Perokok memiliki kadar metilasi yang tinggi terhadap gen
SULF-2 yaitu sebuah gen yang memproduksi enzim ekstraseluler
yang mengkatalis reaksi hidrolisis 6-O-Sulfo dari polisakarida
heparan sulfat. Heparan sulfat proteoglikan tersebar pada
membran sel dan ECM dan berfungsi sebagai koreseptor untuk
berbagai macam faktor pertumbuhan dan sitokin. Inaktivasi dari
SULF-2 mencegah pelepasan gugus sulfat dari ikatan dengan IFN
yang akan meningkatkan transkripsi dari IFN sehingga
menghasilkan metaplasia sel mucus yang diakibatkan dari
disregulasi cell death yang terlibat dalam signaling IFN yang akan
menyebabkan terjadinya kanker paru. (Bruse dkk, 2014; Tessema
dkk,2012)
Merokok juga mempengaruhi metilasi gen MTHFR, tingkat
metilasi gen MTHFR pada orang yang merokok lebih tinggi secara
signifikan yaitu 72,1% dibandingkan dengan mantan perokok
(63,8%) dan yang tidak merokok. MTHFR merupakan produk gen
yang memainkan peran sebagai methionine pool serta
memastikan bahwa kadar homosistein dalam tubuh tidak
mencapai level toksik. Enzim MTHFR mengkatalis sintesis
metionin yang dibutuhkan dalam metabolism S-adenosilmetionin
yang memiliki peran penting pada proses metilasi DNA dan
ekspresinya dapat mengubah metilasi DNA yang bersangkutan,
Inaktivasi MTHFR menyebabkan penurunan signifikan 5-
metilsitosin yang akan menginduksi hipometilasi DNA yang
nantinya akan mengganggu program cell death yang memicu
perkembangan tumor (Vassiere dkk,2015).
Merokok juga memiliki kaitan yang erat dengan kejadian
PPOK dimana PPOK juga berkaitan dengan kejadian kanker paru.
Sebuah penelitian telah mengidentifikasi 5 gen yang terganggu
akibat merokok yang berpengeruh terhadap kanker paru yang di
induksi PPOK, gen tersebut adalah WIPF1 yang meregulasi
formasi sinapsis imunologikal dan aktivasi sel T, BCL2I yang
meregulasi tumor supresor p53, SGK1yang kenaikan regulasinya
mempengaruhi pertumbuhan tumor, ZNF397 yang memiliki peran
dalam formasi sentromer dan transkripsi gen serta CLK1 yang
merupakan faktor pemotongan DNA alternatif yang di induksi oleh
keadaan hipoksia (Faner dkk,2014).
Pengaruh merokok terhadap kejadian kanker paru juga
dapat dibuktikan melalui efek dari berhenti merokok. Orang yang
berhenti merokok terbukti mengalami perubahan hasil skrining
dari tahun sebelumnya disaat ia masih merokok. Orang yang
sebelumnya terskrining positif berisiko besar terhadap kanker paru
akan menjadi negative atau setidaknya risikonya berkurang saat
ia berhenti merokok setidaknya satu tahun. (Tamemmagi
dkk,2014; Slatore dkk,2014)
d. Berat Badan
Berat badan memiliki kaitan dengan berbagai jenis kanker.
Indeks Masa Tubuh (IMT) yang tinggi merupakan salah satu
predisposisi dari berbagai jenis kanker, akan tetapi kanker paru
memiliki kecenderungan yang berbeda dengan kanker lainnya.
Kenaikan IMT justru memberikan efek negative terhadap risiko
kanker paru (Bashkaran dkk,2014)
IMT yang rendah pada pasien kanker paru diduga juga
terkait dengan kecenderungan orang dengan IMT rendah untuk
merokok. Perokok pria cenderung memiliki IMT lebih rendah
dibandingkan dengan mantan perokok maupun bukan perokok
sedangkan pada wanita tidak terdapat perbedaan yang begitu
signifikan antara IMT mantan perokok dibandingkan dengan
bukan perokok, akan tetapi perokok wanita memiliki
kecenderungan memiliki IMT lebih rendah (<25,57kg/m2)
dibandingkan dengan dua grup pembandingnya (>26,8kg/m2)
(Gupta dkk,2014; Song dkk,2014).
g. Pekerjaan
Berbagai pekerjaan memiliki risikonya masing-masing.
Beberapa pekerjaan memiliki asosiasi dengan meningkatkan
risiko seseorang untuk menderita kanker paru dikarenakan
lingkungan yang dapat mengganggu fungsi paru. Eksposur dalam
pekerjaan yang paling sering adalah eksposur dari debu serbuk
kayu. Pekerjaan yang terpapar dengan debu serbuk kayu ini
diantaranya tukang gergaji, tukang kayu, pengrajin kayu dan
pekerja furnitur. Paparan dari debu kayu diyakini sebagai salah
satu faktor risiko kanker paru terbukti dalam penelitian pasien
kanker paru yang bukan perokok memiliki kecenderungan bekerja
dengan paparan dari debu kayu (OR=1,4 ; 95%CI= 1-2) (Vallieres
dkk,2015).
Pekerjaan lain yang dianggap berisiko terhadap kejadian
kanker paru adalah penambang batu bara, penambang bijih besi
dan pemecah batu. Penambang yang bekerja di bawah tanah
memiliki tingkat eksposur yang tinggi terhadap bahan karsinogenik
bagi paru seperti arsenik, asbestos, kromium, nikel, PAH, silika
dan buangan mesin diesel sedangkan pemecah batu paling sering
berkontak dengan silika. Kelompok pekerja ini memiliki risiko yang
tinggi terhadap kanker paru apabila sudah terpapar zat
karsinogenik selama lebih dari 10 tahun (Taeger dkk,2015).
Pekerja manual (pekerja yang bekerja dengan tangan
tanpa bantuan mesin) diduga memiliki risiko tinggi terhadap
kontak dengan bahan karsinogenik. Pekerjaan yang termasuk di
dalam pekerja manual adalah pekerja terampil seperti petani,
tukang las dan tukang ledeng, lalu pekerja pemrosesan dan
operator mesin seperti pemecah batu dan perakit, serta pekerja
dasar seperti tukang bersih-bersih. Risiko kanker paru lebih tinggi
pada pekerja manual dibandingkan dengan manager atau
pekerjaan professional lainnya dengan OR 2,5 dan 95%CI 1.2-
5.05, 71,35% pekerja tersebut mendapatkan ekpaparan
karsinogenik dari lingkungan tempat bekerja mereka.(Nordin
dkk,2014)
h. Riwayat Keluarga
Keluarga diduga memiliki peranan penting dalam kejadian
kanker paru. Keluarga diduga memiliki peran penting dalam
menurunkan polimorfisme pada gen seseorang. Keluarga juga
diduga berperan dalam menurunkan kebiasaan merokok pada
seseorang. Studi meta analisis yang dibuat oleh Makidou dkk
menunjukkan bahwa dari 31 case control 27 diantaranya
menunjukkan riwayat kanker paru pada keluarga berkaitan
dengan peningkatan risiko kanker paru (95%CI : 1,58-2.10) dan
11 dari studi tersebut menujukkan peningkatan risiko signifikan
pada pasien yang tidak pernah merokok yang menandakan
keluarga berperan besar pada pewarisan genetik kanker (95%Ci :
1,1-2,06).
Sedangkan dari 17 studi cohort semuanya menunjukkan
peningkatan risiko kanker paru yang signifikan pada pasien
dengan riwayat keluarga (95%CI: 2,57-40,41). (Matakidou dkk,
2006) Penelitian dari Anna dkk menunjukkan bahwa riwayat
penyakit kanker paru dalam keluarga dapat meningkatkan risiko
seseorang menderita kanker paru, selain itu apabila keluarga
yang memiliki riwayat kanker paru adalah ibu dan saudara
perempuan maka risiko akan jauh lebih meningkat dengan OR
2,74 dan 3,58 seperti ditunjukkan pada tabel di bawah.(Anna dkk,
2009).
Beberapa gen yang diwariskan keluarga diduga
mempengaruhi meningkatnya risiko kanker paru. Gen pada
kromosom 5p15.33 yang memiliki pengaruh besar pada wanita
yang tidak pernah merokok, diduga menaikan risiko melalui
mediasi peningkatan TERT yang mengakibatkan overekspresi
mRNA yang menyebabkan kanker paru. Gen pada kromosom
6p21-6p22 juga memiliki keterkaitan dengan meningkatnya risiko
kanker paru dengan mengakibatkan adanya DNA mismatch repair
pada gen M5H5. Gen pada kromosom 9p21.3 yang merupakan
pengkode tumor suppressor gene yang dapat menghambat CDK
dan apoptosis terinduksi stressor pada sel paru yang dapat
meningkatkan risiko kanker paru serta gen pada kromosom
12p13.33 yang juga dapat mempengaruhi DNA repair mechanism
pada sel kanker paru.(Timofeeva dkk,2012)
5. Manifestasi Klinis
Gambaran penyakit kanker paru terdiri dari keluhan subjektif dan
gejala objektif. Keluhan utama dapat berupa batuk-batuk atau tanpa
dahak, batuk darah, sesak napas, suara serak, sakit dada, sulit menelan,
dan terdapat benjolan di pangkal leher. Gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena kompresi
hebat di otak, pembesaran hepar, dan berat badan berkurang juga
merupakan ciri dari adanya kanker paru. (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003)
6. Patofisiologi
Kanker paru dimulai oleh aktivitas onkogen dan inaktivasi gen
supresor tumor. Onkogen merupakan gen yang membantu sel-sel
tumbuh dan membelah serta diyakinin sebagai penyebab seseorang
untuk terkena kanker (Novitayanti, 2017). Proto-onkogen berubah
menjadi onkogen jika terpapar karsinogen yang spesifik. Sedangkan
inaktivasi gen supresor tumor disebabkan oleh rusaknya kromosom
sehingga dapat menghilangkan keberagaman heterezigot. Zat karsinogen
merupakan zat yang merusak jaringan tubuh yang apabila mengenai sel
neuroendrokin menyebabkan pembentukan small cell lung cancer dan
apabila mengenai sel epitel menyebabkan pembentukan non small cell
lung cancer.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Deteksi Dini Kanker paru
Diagnosis klinis karsinoma paru harus berdasarkan analisa
gabungan dari manifestasi klinis dan hasil berbagai teknik pencitraan, tapi
diagnosis pasti terakhir harus diambil dari bukti sitologi atau histopatologi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan lengkap, pada
pasien kanker paru terdapat gejala- gejala klinis, beberapa faktor yang
perlu diperhatikan.
b. Prosedur Diagnostik
1) Foto Rontgen Dada secara Posterior-Anterior dan Lateral pemeriksaan
sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker paru. Studi dari Mayo
Clinic USA, menemukan 61% tumor paru terdeteksi dalam pemeriksaan
rutin dengan foto rontgen dada biasa.
2) Pemeriksaan Computed Tomography dan Magnetic Resonance
Imaging
Pemeriksaan CT Scan pada torak, lebih sensitif daripada
pemeriksaan foto dada biasa, karena dapat mendeteksi kelainan atau
nodul dengan diameter minimal 3mm dan bila lesi di lokasi tumor yang
tindih struktur anatomi yang sulit ditemukan pada foto rontgen serta
mudah menentukan karsinoma paru diantarajaringan sekitarnya.
Pemeriksaan CT Scan bisa sebagai pemeriksaan skrining kedua setelah
foto dada biasaPemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak
rutin dikerjakan,karena ia hanya terbatas untuk menilai kelainan tumor
yang menginvasi ke dalam vertebra, medulla spinal, dan
mediastinum.Keunggulan MRI dibandingkan CT Scan adalah lebih
mudah membedakan antara tumor padat dan pembuluh darah, dan dapat
menampilkan trakeobronkus serta pembuluh darah yang tertekan,
bergeser, dan terobstruksi, namun dalam memeriksa nodul kecil dalam
paru tidak sebaik CT Scan.
c. Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan sitologi sputum dikerjakan terutama bila pasien ada
keluhanseperti batuk.Pemeriksaan ini merupakan salah satu metode
terpenting dalam diagnosis kanker paru, suatu metode diagnosis
sederhana non invasif. Pada kanker paru yang letaknya sentral,
pemeriksaan sputum yang baik dapat memberikan hasil positif sampai
67-85% pada karsinoma sel skuamosa. Untuk mendapatkan sel tumor in
situ juga hanya bisa dengan pemeriksaan sitologi sputum dengan
bantuan bronkoskopi. Pemeriksaan sitologi lain untuk diagnostik kanker
paru dapat dilakukan pada cairan pleura, aspirasi kelenjar getah bening
servikal, supraklavikula, bilasan dan sikatan bronkus pada bronkoskopis.
d. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas diagnosis kanker
paru, untuk mendapatkan spesimennya dengan cara biopsi melalui:
1) Bronkoskopi.
Modifikasi dari bronkoskopi serat optik dapat langsung
melihatlesi di saluran trakeobronkial, juga dapat menjepit dan
menyikat yang bertujuan mendapatkan jaringan untuk diagnosis
histopatologi dengan langsung, berupa: trans bronchial lung
biopsy (TBLB), fluorescence ronchoscopy, ultrasound
bronchoscopy, trans-bronchial needle-aspiration (TBNA). Hasil
positif dengan bronkoskopi ini dapat mencapai 95% untuk tumor
yang letaknya sentral dan 70- 80% untuk tumor letaknya perifer.
2) Trans Torakal Biopsi (TTB)
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer
dengan ukuran >2 cm sensitivitasnya mencapai 90-95%.
3) Torakoskopi
Indikasi utama melakukan torakoskopi adalah: kelainan
pleura, efusi pleura malignan, lesi difus pleura, dll. Biopsi tumor di
daerah pleura dengan cara Video Assisted Thorachoscopy
memiliki sensitivitas dan spesifisitas hingga 100%.
4) Mediastinoskopi
Mediastinoskopi adalah suatu cara diagnosis melalui suatu
lubang artifisial di celah depan trakea dimasukkan medistinoskop
untuk melihat kelainan sekitar trakea, sekaligus melakukan biopsi.
Pemeriksaan ini sangat berguna dalam memastikan ada tidaknya
metastasis kelenjar limfe mediastinum pada kanker paru. Lebih
dari 20% kanker paru bermetastasis ke mediastinum, terutama
Small Cell Ca dan Large Cell Ca. Untuk mendapatkan tumor
metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat dapat
melakukan pemeriksaan mediastinoskopi dengan hasil nilai positif
40%.
5) Torakotomi
Torakotomi untuk diagnostik kanker paru dikerjakan jika
berbagai prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal
mendapatkan sel tumor. (Amin, 2009)
8. Penatalaksanaan
Pengobatan kanker paru adalah multi-modaliti terapi. Pemilihan
terapi bukan hanya diharapkan pada jenis histologis, derajat dan tampilan
penderita saja tetapijuga pada kondisi medis seperti fasilitas yang dimiliki
oleh rumah sakit dan ekonomi penderita juga.
• Pembedahan
Terapi bedah dilakukan untuk membuang lobus paru tempat yang
ditemukan tumor, dan juga membuang semua kelenjar getah bening
mediastinal supaya tidak terjadinya penyebaran kanker yang lanjut.
• Radioterapi
Terapi ini menggunakan tenaga X-ray yang tinggi atau tenaga
radiasi yang lain untuk membunuh sel kanker. Radioterapi dapat
diberikan secara tunggal atau gabungan den kemoterapi. Fungsi
radioterapi ialah untuk mengecilkan tumor jika diberikan secara sebagai
terapi tunggal.
• Kemoterapi
Kemoterapi merupakan salah satu cara memberi obat anti kanker
pada pasien melalui infus. Biasanya pada kemoterapi diberikan lebih dari
satu jenis obat anti kanker, tujuanya agar lebih banyak sel kanker dapat
dibunuh dengan jalur yang berbeda. Terdapat beberapa syarat untuk
pemberian kemoterapi antara lain ialah kondisi umum harus dalam
keadaan baik, pasien masih dapat melakukan aktivitas sendiri, fungsi
hati, fungsi ginjal dan fungsi hemostatik juga harus baik. (Jett, Schild,
Keith, Kesler, 2007
1. Definisi Efusi Pleura
Rongga potensial antara pleura parietalis dan viseralis berperan
sebagai sistem berpasangan antara paru dan dinding dada. Pleura
memiliki aliran darah sistemik dan limfatik, aliran tersebut melalui rongga
pleura melibatkan tekanan mikrovaskuler, tekanan onkotik, permeabilitas
dan area permukaan (Ward et al, 2007). Menurut Mansjoer (2007) efusi
pleur adalah terkumpulnya cairan pleura yang abnormal di dalam cavum
pleura Pengumpulan cairan yang abnormal dan berlebih di dalam rongga
pleura, rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru – paru
dan rongga dada (Abata, 2014). Efusi pleura adalah suatu keadaan ketika
rongga pleura dipenuhi oleh cairan bisa disebut juga dengan
penumpukan cairan dalam rongga pleura (Soemantri, 2008).
Effusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang tidak
semestinya yang disebabkan oleh pembentukan cairan pleura lebih cepat
dari proses absorbsinya. Sebagian besar effusi pleura terjadi karena
meningkatnya pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan
absorpsi cairan pleura tersebut.Pada pasien dengan daya absorpsi
normal, pembentukan cairan pleura harus meningkat 30 kali lipatsecara
terus menerus agar mampu menimbulkan suatu effusi pleura. Di sisi lain,
penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan menghasilkan
penumpukan cairan yang signifikan dalam rongga pleura mengingat
tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat (Lee YCG,
2013).
2. Etiologi
Kelebihan cairan pada rongga pleura sedikitnya disebabkan oleh
satu dari 4 mekanisme dasar :
1. Adanya inflamasi atau neoplastik pleura
2. Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik
3. Penurunan tekanan osmotik koloid darah
4. Peningkatan tekanan negativ intrapleural
Penyebab effusi pleura:
1. Virus dan mikoplasma
Insidennya agak jarang bila terjadi jumlahnya tidak banyak.Contoh
: Echo virus, riketsia, mikoplasma, Chlamydia.
2. Bakteri piogenik
Bakteri berasala dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara
hematogen. Contoh aerob : strepkokus pneumonia, S.mileri,S.aureus,
hemopillus,klabssiella. Anaerob: bakteroides seperti peptostreptococcus,
fusobacterium.
3. TB
Terjadi karena komplikasi TB paru melalui fokus subpleura yang
robek atau melalui aliran limfe, atau karena robeknya perkijuan kearah
saluran limfe yang menuju pleura.
4. Fungi
Sangat jarang terjadi, biasanya karena perjalanan infeksi fungi
dari jaringan paru. Contoh: aktinomiksis, koksidiomikosis. Asergilus,
Kriptokokus, Histoplasma.
5. Parasit
Parasit yang dapat menginfeksi ke pleura hanya amoeba.
Amoeba masuk dalam bentuk tropozoid setelah melewati perenkim hati
menembus diafragma terus ke rongga pleura. Effusi terjadi karena
amoeba menimbulkan peradangan .
6. Kelainan intra abdominal
Contoh : pancreatitis, pseudokista pancreas atau eksaserbasi akut,
pancreatitis kronis, abses ginjal.
7. Penyakit kalogen
Contoh : lupus eritematosus sistemik (SLE), arthritis rematoid(RA),
sclerpderma.
8. Gangguan Sirkulasi
Contoh : gangguan CV (payah jantung), emboli pulmonal,
hypoalbuminemia.
9. Neoplasma
Gejala paling khas adalah jumlah cairan effusi sangat banyak dan
selalu berakumulasi kembali dengan cepat.
10. Sebab-sebab lain.
Seperti: trauma (trauma tumpul, laserasi, luka tusuk), uremia,
miksedoma, limfedema, reaksi dipersensitif terhadap obat, effusi pleura
(Saferi Andra, 2013) .
3. Klasifikasi
Effusi pleura dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Effusi pleura transudate
Merupakan ultrafiltrat plasma, yang menandakan bahwa
membrane pleura tidak terkena penyakit. Akumulasi cairan
disebabkanoleh faktor sistematik yang mempengaruhi produksi dan
absorb cairan pleura seperti (gagal jantung kongesif, atelektasis, sirosis,
sindrom nefrotik, dan dialysi peritoneum)
2. Ini terjadi akibat kebocoran cairan melewati pembuluh kapiler yang
rusak dan masuk ke dalam paru yang dilapisi pleura tersebut atau
kedalam paru yang dilapisi pleura tersebut atau ke dalam paru terdekat.
Kriteria effusi pleura eksudat :
a. Rasio cairan pleura dengan protein serum lebih dari 0,5
b. Rasio cairan pleura dengan dehidrogenase (LDH) lebih dari 0,6
c. LDH cairan pleura dua pertiga atas batas normal LDH serum
Penyebab effusi pleura eksudat seperti pneumonia, empiema,
penyakit metastasis (mis, kanker paru, payudara, lambung, atau ovarium)
haemotorak, infark paru, keganasan, repture aneurismaaorta. (Nurarif &
Kusuma, 2015)
4. Manifestasi Klinis
Menurut Saferi & Mariza (2013) gambarakn klinis effusi pleura
tergantung pada penyakit dasarnya :
1. Sesak napas
2. Rasa berat pada dada
3. Bising jantung (pada payah jantung)
4. Batuk yang kadang-kadang berdarah pada perokok (ca bronkus)
5. Lemas yang progresif
6. Bb menurun (pada neoplasma)
7. Demam subfebril (pada tb)
8. Demam menggigil (pada empiema)
9. Asitesis (pada sirosi hati)
10. Asites dengan tumor pelvis (pada sindrom meig)
5. Patofisiologi
Pada orang normal, cairan di rongga pleura sebanyak 1- 20 ml,
cairan di rongga pleura jumlahnya tetap karena terjadi keseimbangan
antara produksi oleh pleura parietal dan absorbsi oleh pleura viseral.
Keseimbangan dapat di pertahankan antara tekanan hidrostatik pleura
parietalis sebesar 9 cm H2O dan tekanan koloid osmotik pleura viseralis
10 cm H2O (Lihat gambar 1) ( Alsagaff dan Mukty, 2008). Pasien dengan
efusi pleura terjadi gagal jantung, jantung tidak dapat memompakan
darah secara maksimal keseluruh tubuh, terjadilah peningkatan
hidrostatik kapiler yang menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan
yang berada di dalam pembuluh darah akan bocor dan masuk ke dalam
pleura (Soemantri, 2008).
Efusi disebabkan oleh pembentukan cairan berlebih atau bersihan
cairan yang tidak adekuat. Gejala timbul jika cairan bersifat inflamasif,
berupa nyeri dada pleuritik, nyeri tumpul, rasa penuh dalam dada.
Pemeriksaan fisik menunjukkan penurunan bunyi napas, pekak pada
perkusi, penurunan fremitus vokal (Ward et al, 2007).
Pertukaran cairan yang melintasi memban pleura memiliki dua
mekanisme yaitu pertukaran transkapiler dan limfatik. Kekuata pendorong
pleura parietal adalah tekanan kapiler sistemik bersamaan dengan
tekanan intra pleura regular, dilanjutkan dengan tekanan osmotik protein
plasma di kurangi tekanan osmotik cairan pleura memberikan pergerakan
ke ruang pelura (Millard dan Pepper, 2013).
Sisi viseral : tekanan kapiler intra pleura berlawanan dengan
tekanan osmotik sehingga ada gaya total keluar dari ruang pleura ke
dalam pembuluh darah pleura dan limfatik. Ketidak seimbangan
mencegah akumulasi cairan, kapasistas penyerapan viseral pleura
meningkat dengan interlobar makrofili pada sel mesotelia viseral. Arteriol
bronkial pecah menjadi kapiler yang berukuran besar, biasanya akan
mengurangi tekanan kapiler dan tekanan yang dipasok oleh arteri akan
lebih tinggi dari pada kapiler paru ( Millard dan Pepper, 2013).
Mekanisme kedua dimana cairan dikeluarkan dari ruang pleura
oleh limfatik subpleural melalui stomata di pleural parietal. Mekanisme
dianggap paling utama drainase, diamana mekanisme tersebut berkerja
secara paralel (Millard dan Pepper, 2013). Timbulnya efusi pleura
disebabkan oleh gangguan pada reabsorbsi cairan pleura ( tumor ) dan
peningkatan produksi cairan pleura (infeksi). Keadaan patologis, efusi
pleura disebabkan oleh (Soemantri, 2008; Alsagaff dan Mukty, 2008) :
1. Meningkatnya tekanan hidrostatik di pembuluh darah ke jantung (gagal
jantung) dan atelektasis.
2. Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma ( hipoalbuminemia ).
3. Meningkatnya permeabilitas kapiler (peradangan, neoplasma, infeksi).
4. Berkurangnya absorbsi limfatik.
6. Pemeriksaan Diagnosis
Dalam mendiagnosis pasien dengan efusi pleura, perlu diketahui
terlebih dahulu jenis cairannya, transudat atau eksudat. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang komprehensif sangat berperan penting sebagai
langkah awal dalam menegakkan diagnosis. Selanjutnya pemeriksaan
penunjang radiografi dan tes labratorium dapat dilakukan.
Saat anamnesis pertanyaan basic 4 and sacred 7 perlu diajukan
karena efusi pleura dapat disebabkan oleh penyakit lain yang mendasari.
Riwayat penyakit dan trauma, obat-obatan , keluarga, dan sosial juga
menjadi poin penting. Manifestasi klinis efusi pleura beragam sesuai
dengan penyakit yang mendasarinya. Gejala yang sering dikeluhkan
pasien, yaitu dyspnea, batuk, dan nyeri dada (McGrath & Anderson,
2011).
Deteksi efusi pleura melalui pemeriksaan fisik tergantung dari
ukurannya. Efusi cairan <300 ml biasanya tidak terlalu terdeteksi.
Sebaliknya, efusi cairan >1500 ml menunjukkan hemithorax yang asimetri
(Fisk & Branley, 2013).
Pemeriksaan fisik pada efusi cairan yang lebih dari 300 ml dapat
menunjukkan hasil, seperti suara dullness pada perkusi, menurunkan
fremitus taktil, dan pengembangan dada asimetris dengan
pengembangan dada yang tidak terjadi atau terlambat pada sisi yang
mengalami efusi; suara nafas absen, egofoni, dan pleural friction rub
(Rubbins, 2013).
Untuk memastikan adanya cairan di dalam pleura, x-ray dada
perlu dilakukan. Hasil x-ray dada posteroanterior (PA) abnormal apabila
ditemukan 200 ml cairan pleura. Namun, hanya 50 ml cairan pleura yang
dapat menghasilkan sudut tumpul costophrenic posterior yang terdeteksi
pada x-ray dada lateral (Hooper & Maskell, 2010).
Pasien biasanya diperiksa dalam posisi supinasi AP, hasil foto
dada akan terlihat meningkatnya opasitas hemithorax dengan bayangan
vaskular. Apabila setelah dilakukan x-ray hasilnya masih tidak jelas
apakah densitas merepresentasikan cairan atau infiltrat parenkim; cairan
tersebut loculated atau free-flowing; maka sebaiknya dilakukan x-ray
decubitus lateral, CT thorax, atau USG (Light, 2012).
Pemeriksaan protein pleura dapat dilakukan untuk membedakan
efusi pleura transudatif dan eksudatif, di mana exudat memiliki kadar
protein >30 g/l dan transudat <30 g/l (McGrath & Anderson, 2011).
Namun, sering ditemukan hasil kadar protein yang mendekati 30 g/l
sehingga sulit membedakannya, sehingga digunakanlah kriteria Light.
Kriteria Light telah menjadi kriteria standar untukmenentukan efusi pleura
eksudat. Efusi pleura dikatakan eksudat apabila memenuhi satu atau
lebih dari kriteria berikut ini (Light, 1972) :
a. Rasio cairan pleura dengan serum protein > 0.5
b. Rasio cairan pleura dengan serum LDH > 0.6
c. LDH cairan pleura > 2/3 batas atas nilai serum LDH normal
Torakosintesis dengan analisis cairan dapat dengan cepat
mempersempit differential diagnosis efusi pleura. Torakosintesis
dilakukan pada efusi pleura dengan etiologi yang kurang jelas tetapi
terdapat cairan yang cukup sehingga prosedur tetap aman. Pemeriksaan
ini tidak perlu dilakukan pada efusi pleura dengan cairan yang terlalu
sedikit diaspirasi atau pada pasien stabil yang kondisinya bisa dijelaskan
sebagai gagal jantung kongestif (efusi bilateral) atau riwayat operasi
thorax atau abdomen (Rubbins, 2013).
Prosedur aspirasi cairan pleura harus dengan bimbingan
radiografi, biasanya dengan ultrasound (Hooper & Maskell, 2010). Cairan
yang telah diaspirasi akan digunakan untuk analisis biokimia,
mikrobiologi, dan sitologi (McGrath & Anderson, 2011).
7. Penatalaksanaan
Menurut Wijaya & Putri (2013) tujuan umum penatalaksanaan
adalah
1. Untuk menemukan penyebab dasar
2. Untuk mencegah penumpukan kembali cairan
3. Menghilangkan ketidaknyamanan serta dyspnea
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi selama 2x24 Pemantauan respirasi
dengan gejala mayor jam pola nafas tidak efektif berkurang
Observasi:
takikardia dan gejala dengan kriteria hasil sebagai berikut:
minor pola nafas No Indikator 1 2 3 4 5 1. Memonitor frekuensi, irama, kedalaman,
abnormal (38x/ menit) 1 dipsneu dan upaya pernafasan
Keterangan:
5 = menurun 2. Memonitor pola nafas
4 = cukup
menurun 3. Melakukan pemeriksaan palpasi
3 = sedang
kesimetrisan ekspansi paru
2 = cukup
meningkat 4. Melakukan pemeriksaan auskultasi bunyi
1 = meingkat
nafas
2 Bunyi nafas
tambahan 5. Memonitor daturasi oksigen
Keterangan: 6. Memonitor nilai GDA
5 = menurun
4 = cukup 7. Memonitor hasil foto thorax
menurun Terapeutik:
3 = sedang
2 = cukup 1. Mengatur interval pemantauan respirasi
meningkat sesuai kondisi pasien
1 = meingkat
3 PCO2 2. Mendokumentasikan hasil pemantauan
Keterangan: Edukasi:
5 = meningkat
4 = cukup 1. Menjelaskan tujuan dan prosedur
meningkat pemantauan
3 = sedang
2 = cukup Menginformasikan hasil pemantauan
menurun
1 = menurun
4 PO2
Keterangan:
5 = meningkat
4 = cukup
meningkat
3 = sedang
2 = cukup
menurun
1 = menurun
5. Warna kulit
Keterangan:
5 = membaik
4 = cukup
membaik
3 = sedang
2 = cukup buruk
1 = buruk
3. Nyeri Akut dengan Setelah dilakukan intervensi selama 2x24 Manajemen Nyeri
penyebab agen jam nyeri berkurang dengan kriteria hasil
Observasi:
pencedera fisiologis sebagai berikut:
(inflamasi kanker 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
bronkogenik) ditandai Tingkat Nyeri
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dengan gejala mayor No Indikator 1 2 3 4 5
mengeluh nyeri (skala 1 Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
8), frekuensi nadi Keterangan: 3. Respon nyeri non verbal
meningkat (120x/ 5 = menurun
menit) dan gejala 4 = cukup 4. Monitor keberhasilan terapi komplementer
minor pola nafas menurun 5. Monitor efek samping penggunaan
berubah (38x/menit) 3 = sedang
2 = cukup analgesik
meningkat Terapeutik:
1 = meningkat
2 Mual 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
Keterangan: mengurangi nyeri
5 = menurun
4 = cukup 2. Asilitasi istirahat dan tidur
menurun 3. Pertimbangkaan jenis dan sumber nyeri
3 = sedang
2 = cukup dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
meningkat Edukasi:
1 = meningkat
3 Pola nafas 1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
Keterangan: nyeri
5 = membaik
4 = cukup 2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
membaik 3. Anjurkan menggunakan analgesic secara
3 = sedang
2 = cukup buruk tepat
1 = buruk 4. Ajarkan teknik non farmakologis untuk
Tujuan pulang: r u m a h
Transportasi pulang: Mobil
Dukungan keluarga: baik dari anak
Antisipasi bantuan biaya setelah pulang: biaya sendiri
Antisipasi masalah perawatan diri setalah pulang: dibantu anak
Pengobatan: pengobatan untuk kanker
Rawat jalan ke: 2
Hal-hal yang perlu diperhatikan di rumah (Edukasi pada pasien dan
keluarga mengenai) :
Risiko jatuh
Kepatuhan minum obat
Kebutuhan perawatan diri paska perawatan di rumah sakit
Prinsip 6 benar pemberian obat:
1.Benar pasien
Sebelum memberikan obat cek kembali identitas pasien.
2. Benar obat
Selum memberikan obat kepada pasien, label pada botol atau kemasan
harus di periksa minimal 3 kali.
3. Benar dosis
Sebelum memberikan obat perawat harus memeriksa dosis obat dengan
hati-hati dan teliti, jika ragu perawat harus berkonsultasi dengan dokter
atau apoteker sebelum di lanjutkan ke pasien.
4. Benar cara/rute
Ada banyak rute/cara dalam memberikan obat, perawat harus teliti dan
berhati-hati agar tidak terjadi kesalahan pemberian obat.
5. Benar waktu
Ketepatan waktu sangat pentingkhususnya bagi obat yang efektivitas
tergantung untuk mencapai atau mempertahankan darah yang memadai,
ada beberapa obat yang diminum sesudah atau sebelum makan, juga
dalam pemberian antibiotik tidak oleh di berikan bersamaan dengan susu,
karna susu dapat mengikat sebagian besar obat itu,sebelum dapat di
serap tubuh.
6. Benar dokumentasi
Setelah obat itu di berikan kita harus mendokumentasikan dosis, rute,
waktu dan oleh siapa obat itu di berikan, dan jika pasien menolak
pemberian obat maka harus di dokumentasikan juga alasan pasien
menolak pemberian obat.
Intepretasi
1. Berat badan ideal (BBI)
TB : 155cm
BB : 50kg
BBI = TB - 100 – (10%( TB-100))
= 155 – 100 – (10% x 55)
= 55 – 5.5 = 49.5 kg (Berat badan Ideal)
2. Body Mass Index (BMI)
TB : 155 cm = 1,55m
BB : 50kg
BMI = BB / TB2
= 50 kg / 1,52
= 50 kg/ 2,25 = 22,22 (Berat Badan Normal)
3. MAP
TD 120 /70
Sistol 120
Diastole 70
MAP = (sistol + 2diastol)/ 3
= (120+ 2(70))/ 3
= (120+ 140) / 3
= 260 / 3 = 86,67 (tekanan darah normal)
4. Efek Samping Terapi
Bed rest = mengurangi nyeri pasien dengan istirahat
Infus Ns 0,9%, 20 tpm = mengontrol cairan yang masuk ke pasien
O2 4 lpm, NC = untuk mengurangi sesak, membantu meningkatkan
inspirasi O2 yang masuk ke paru-paru
Injeksi Levofloxacim 1x750 mg IV = antibiotic untuk infeksi pada
saluran nafas dan paru
PO : PCT 3 x 500 mg = mengurangi demam, mengurangi nyeri
Codein 3 x 10 mg = untuk meredakan nyeri
5. Mengkaji Nyeri
Cara Penilaian Nyeri Berdasar PQRST
P : Provokatif / Paliatif
Apa kira-kira Penyebab timbulnya rasa nyeri...? Apakah karena terkena
ruda paksa / benturan..? Akibat penyayatan..? dll.
Q : Qualitas / Quantitas
Seberapa berat keluhan nyeri terasa..?. Bagaimana rasanya..?. Seberapa
sering terjadinya..? Ex : Seperti tertusuk, tertekan / tertimpa benda berat,
diris-iris, dll.
R : Region / Radiasi
Lokasi dimana keluhan nyeri tersebut dirasakan / ditemukan..? Apakah
juga menyebar ke daerah lain / area penyebarannya..?
S : Skala Seviritas
Skala kegawatan dapat dilihat menggunakan GCS (Glasgow's Coma
Scale) ) untuk gangguan kesadaran, skala nyeri / ukuran lain yang
berkaitan dengan keluhan
T : Timing
Kapan keluhan nyeri tersebut mulai ditemukan / dirasakan..? Seberapa
sering keluhan nyeri tersebut dirasakan / terjadi...? Apakah terjadi secara
mendadak atau bertahap..? Acut atau Kronis..?
6. Menentukan Skala nyeri
Metode ini membantu para tenaga medis untuk mendiagnosis
penyakit, menentukan metode pengobatan, hingga menganalisis
efektivitas dari pengobatan tersebut. Dalam dunia medis, ada banyak
metode penghitungannya. Berikut ini beberapa cara menghitung skala
nyeri yang paling populer dan sering digunakan.
a. Visual Analog Scale (VAS)
Visual Analog Scale (VAS) adalah cara menghitung skala nyeri
yang paling banyak digunakan oleh praktisi medis. VAS merupakan
skala linier yang akan memvisualisasikan gradasi tingkatan nyeri yang
diderita oleh pasien.
sumber: unud.ac.id
sumber: unud.ac.id
sumber: wongbakerfaces.org
Kelompok 1-10
Berdenyut
Menusuk
Panas
Kesemutan
Gatal
Perih
Kram
Koyak
Kelompok 11-15
Melelahkan
Memuakkan
Menakutkan
Celaka
Kejam
Membunuh
Kelompok 16
Menjengkelkan
Menyusahkan
Sengsara
Tak tertahankan
Kelompok 17-20
Menyiksa
Mengerikan
Dingin
Memancarkan
Menembus
No Kriteria Skor
Riwayat jatuh: baru saja atau
1 dalam 3 bulan Tidak = 0 Ya = 25
2 Diagnosis lain Tidak = 0 Ya = 15
Tidak ada, tira baring, di kursi roda,
bantuan perawat = 0
Furnitur= 30
3 Bantuan berjalan
4 IV/heparin lock Tidak = 0 Ya = 20
Normal, tirah baring, tidak bergerak =
0
Lemah = 10
Terganggu = 20
5 Cara berjalan/berpindah
Mengetahui kemampuan diri = 0
Lupa keterbatasan = 15
6 Status mental
9. Diet
Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) adalah diet yang
mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Diet diberikan
dalam bentuk makanan biasa ditambah bahan makanan sumber protein
tinggi seperti susu, telur, dan daging. Pasien diberikan diet TKTP karena
tidak memiliki pantangan makan dan pasien menderita ca bronkogenik
⦁ Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat
⦁ mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh
⦁ Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal
Syarat Diet :
⦁ Energi tinggi
⦁ Protein tinggi
⦁ Cukup vitamin dan mineral
⦁ Mudah dicerna
⦁ Diberikan secara bertahap
⦁ Makanan yang dapat mengurangi nafsu makan tidak diberikan dekat
waktu makan
Bahan Makanan Dianjurkan :
⦁ Sumber Karbohidrat : nasi, roti, mie, makaroni, puding, ubi, karbohidrat
sederhana seperti gula pasir.
⦁ Sumber protein : daging sapi, ayam, ikan, telur, susu, dan hasil olahan
seperti keju dan yoghurt
⦁ Sumber protein nabati : semua jenis kacang-kacangan dan hasil
olahannya seperti tempe, tahu
⦁ Sayuran : semua jenis sayuran, terutama jenis B seperti bayam, buncis,
daun singkong, kacang panjang, labu siam, dan wortel direbus, dikukus
atau ditumis
⦁ Buah : semua jenis buah segar, jus buah
⦁ Lemak dan minyak : minyak goreng, mentega, margarin, santan encer
⦁ Minuman : softdrink, madu, sirup, teh dan kopi encer
⦁ Bumbu : bumbu tidak tajam, seperti bawang merah, bawang putih, laos,
salam, kecap.
Bahan Makanan Tidak Dianjurkan :
⦁ Sumber protein : dimasak dengan banyak minyak atau kelapa/santan
kental
⦁ Sumber protein nabati : dimasak dengan banyak minyak atau
kelapa/santan kental
⦁ Lemak dan minyak : santan kental
⦁ Bumbu : bumbu yang tajam, cabe dan merica
10. Hasil Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL INTERPRETASI
Imunoserologi Interpretasikan
hasil
abnormal
pada pasien
ini
Penanda Tumor
CEA 423,00 ng/mL < 5,0 tinggi
Neuron Spesifik Enolase 33,05 ng/mL < 16,3 tinggi
(NSE)
Hematologi
Hemoglobin 10,70 g/dL 13,4 – 17,7 rendah
Eritrosit (RBC) 4,87 103/µL 4,0 – 5,5 normal
Leukosit (WBC) 14,55 103/µL 4,3-10,3 tinggi
Hematokrit 32,90 % 40 – 47 rendah
Trombosit (PLT) 198103/µL 142 – 424 normal
MCV 67,60 fL 80 – 93 rendah
MCH 22,00 pg 27 – 31 rendah
MCHC 32,50 g/dL 32 – 36 normal
RDW 14,30 % 11,5 – 14,5 normal
PDW 12,5 fL 9 – 13 normal
MPV 10,4 fL 7,2 – 11,1 normal
P-LCR 28,7 % 15,0 – 25,0 tinggi
PCT 0,21 % 0,15 – 0,400 normal
NRBC Absolute 0,00 103/µL
NRBC Percent 0,0 %
Hitung Jenis
Eosinofil 0,1 % 0–4 normal
Basofil 0,3 % 0–1 normal
Neutrofil 85,7 % 51 – 67 tinggi
Limfosit 7,5 % 25 – 33 rendah
Monosit 6,4 % 2–5 tinggi
Eosinofil Absolut 0,01 103/µL
Basofil Absolut 0,05 103/µL
Neutrofil Absolut 12,47 103/µL
Limfosit Absolut 1,09 103/µL
Monosit Absolut 0,93 103/µL 0,16 – 1 normal
Immature 0,40
Granulosit
(%)
Immature 0,06
Granulosit
Faal Hemostasis
PPT
ANALISIS JURNAL (I)
1.1 Identitas Jurnal
1) Judul jurnal
Program Self-Management: Atasi Nyeri dan Tingkat Kualitas Hidup
Pada Penderita Kanker
2) Penulis
Ni Putu Wulan Purnama Sari
3) Tahun Jurnal
2014
4) Sumber
Jurnal Ners LENTERA
5) Kata Kunci
Self-Management, self-care, cancer pain, quality of life
1.2 Telaah Hasil Penelitian
1) Metode Penelitian
Pertanyaan penelitian dirumuskan dengan PICO framework, yaitu:
P adalah pasien dewasa dengan kanker, I adalah program SM, C adalah
perawata standard, dan O adalah penurunan intensitas nyeri dan
peningkatan kualitas hidup penderita kanker. Strategi pencarian artikel
penelitian berbahasa Inggris yang relevan dengan topik penelitian ini
dilakukan dengan memasukkan kata kunci “Self-Management”, “self-
care”, “cancer pain”, dan “quality of life” ke beberapa database mayor
seperti PROQUEST, SCIENCEDIRECT, SPRINGERLINK, SAGEPUB,
RESEARCH GATE, EBSCO HOST, dan GOOGLE SCHOLAR dengan
pembatasan waktu, yaitu sejak Januari 2004 hingga April 2014.
Artikel full-text dan abstrak ditelaah untuk memilih hasil penelitian
yang sesuai dengan kriteria inklusi – topik penelitian ini. Kriteria inklusi
artikel adalah sampel usia dewasa (≥ 18 tahun) dengan kasus malignansi
(jenis penyakit kanker tidak dispesifikasi), intervensi penelitian yang
diberikan adalah program SM, dan parameter yang diukur adalah
intensitas nyeri dan atau kualitas hidup. Pencarian artikel di database
memperoleh 65 artikel yang relevan dengan topik, namun hanya 13
artikel yang memenuhi kriteria inklusi. Artikel-artikel yang digunakan
sebagai sampel selanjutnya ditelaah secara kritis dan disajikan dalam
Tabel 1.
2) Hasil Penelitian