Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik


Lab/SMF Radilogi RSD dr. Soebandi Jember

Oleh:
Ashandi Triyoga 212011101069
Tio Wisnu Pradana P 222011101014
Bella Jiwangga 222011101029

Pembimbing:
dr. Febria Rahayuni Sulistiowati, Sp.Rad

SMF/LAB ILMU RADIOLOGI RSD DR. SOEBANDI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker kolorektal merupakan keganasan yang berasal dari jaringan usus
besar, yang dapat terdiri dari kolon atau rektum maupun keduanya. Kanker
kolorektal umumnya terjadi pada orang dewasa dengan usia ≥50 tahun. Di
Indonesia, angka kejadian kanker kolorektal terjadi sekitar 396.914 kasus baru
dengan kematian sebanyak 234.511 kasus, terjadinya peningkatan kejadian seiring
dengan peningkatan ekonomi, dan gaya hidup yang berkembang sebagai dampak
globalisasi. Kanker kolorektal di Indonesia menempati urutan ketiga kanker
terbanyak serta mengalami kenaikan tajam jumlah insiden sekitar 12,8 per 100.000
penduduk usia dewasa, dengan mortalitas 9,5% dari seluruh kasus kanker.
Kanker kolorektal dibedakan menjadi herediter dan sporadik. Pada herediter
didapatkan riwayat kanker yang sama pada keluarga berkaitan dengan autosomal
dominan sedangkan sporadik tidak didapatkan riwayat keluarga dan tidak adanya
keterlibatan autosomal dominan. Herediter terdiri dari Poliposis Adenomatosa
Famili (PAF) dan Kanker Kolorektal Non Poliposis Herediter (KKNPH). Kanker
kolorektal dimulai sebagai polip yang merupakan pertumbuhan non neoplastik lalu
berkembang di lapisan mukosa kolon dan rektum. Polip umumnya terjadi dan
terdeteksi dari individu berisiko dengan usia rata-rata 50 tahun atau lebih dengan
prevalensi yang lebih tinggi pada usia lebih tua, dikaitkan dengan adanya
peningkatan hipermetilasi gen yang menyimpang pada individu diatas 50 tahun
terutama pada kanker kolorektal. Hipermetilasi genom global menyebabkan
matinya gen penekan tumor yang diindikasikan sebagai CpG Island Methylator
Phenotype (CIMP) sehingga terbentuk kanker kolorektal secara sporadik.
Penentuan stadium berdasarkan sistem TNM didasari pada luas tumor (T),
penyebaran ke kelenjar getah bening terdekat (N) dan penyebaran (metastasis) ke
tempat yang jauh (M). Penentuan stadium penting dalam menentukan pilihan terapi
dan menilai prognosis pasien. Semua pasien FAP akan mengalami kanker kolorektal
jika tidak diobati dan 95% berkembang ke stadium ganas pada usia 50 tahun. Umur,
komorbiditas dan metastasis berhubungan signifikan dengan kondisi penderita
kanker kolorektal. Hal ini didasari dari seiring dengan pertambahan usia terjadi
penurunan kemampuan fisiologis. Selain itu, terjadi peningkatan mutasi atau
penyimpangan sel yang sejalan dengan bertambahnya usia. Pasien kanker kolorektal
yang terlambat memeriksakan diri dan terdiagnosis pada usia tua dengan maupun
tanpa komorbiditas berisiko mengalami metastatis kanker yang berpengaruh pada
penentuan stadium. Keterlambatan memeriksakan diri dan penanganan
meningkatkan risiko pasien mengalami kanker dengan stadium lanjut atau kanker
yang telah metastasis ke organ lain.

1.2 Definisi Kanker Kolorektal


Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar,
terdiri dari kolon dan/atau rektum maupun keduanya. kebanyakan kanker kolon
berkembang dari polip dan secara histopatologik sebagian besar kanker kolon
merupakan adenokarsinoma (terdiri dari epitel kelenjar) dan memiliki kemampuan
menyekresi mukus dengan jumlah berbeda-beda.

1.3 Epidemiologi
Kejadian kanker kolorektal di Indonesia pada tahun 2012 oleh WHO
sebanyak 27.772 orang, pria sebanyak 15.978 orang (57,56%), sedangkan pada
wanita 11.787 orang (42,44%). Insiden menurut usia lebih sering terjadi pada pria
di atas usia 75 tahun dengan 2.621 orang (51,94%), sedangkan pada wanita berusia
di atas 75 tahun dengan 2.425 orang (48,06%). Banyaknya kejadian kanker
kolorektal pada laki-laki berhubungan dengan tingkat estradiol. Estradiol dalam
jumlah normal berfungsi dalam spermatogenesis dan fertilitas. Namun, jumlah
estradiol yang berlebihan menghambat sekresi protein gonadotropin seperti LH
yang selanjutnya akan mengurangi sekresi testosterone. Jumlah testosterone yang
tinggi terbukti memiliki hubungan dengan berkurangnya risiko kanker kolorektal.
Selain itu hal ini dapat pula disebabkan oleh kebiasaan mengonsumsi alkohol, serta
merokok yang lebih banyak pada laki laki sehingga mampu memicu terjadinya
keganasan pada usus besar.
Di Indonesia, kanker kolorektal menempati posisi ke-2 terbanyak pada pria,
berada di bawah kanker paru di urutan pertama. Pada wanita, kanker kolorektal
menempati urutan ke-3, di bawah kanker payudara dan kanker rahim. Insidensi
kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi dan lebih banyak terjadi pada usia
produktif. Mekanisme yang menyebabkan jenis kelamin menjadi bagian dari faktor
risiko karsinoma kolon adalah diduga ditemukan perbedaan daya terima reseptor
androgen, estrogen dan progesteron di sel karsinoma kolon dan sel normal. Reseptor
hormon estrogen ERβ merupakan faktor protektif terhadap karsinoma kolon.
Estrogen juga mencegah karsinoma kolon dengan mengatur mengurangi inflamasi
dengan cara menginhibisi faktor inflamasi IL-6, yakni pada Inflammatory Bowel
Disease (IBD) yang merupakan salah satu faktor risiko karsinoma kolon. Hormon
pregesteron juga berpotensi mengurangi risiko karsinoma kolon pada wanita karena
aktivitasnya dalam membantu sintesis endogen hormon seks. Kekurangan hormon
androgen pada wanita juga disebut meningkatkan risiko karsinoma kolon.

1.4 Etiologi
Penyebab kanker kolon ini belum diketahui dengan pasti, namun seperti
halnya dengan kanker menurut ahli kesehatan adanya hubungan dengan faktor
makanan yang mengandung lemak hewan tinggi, kadar serat yang rendah, dan gaya
hidup yang tidak sehat seperti merokok, konsumsi alkohol serta adanya interaksi
antara bakteri di dalam kolon dengan asam empedu dan makanan. Faktor-faktor
tersebut akan memproduksi bahan karsinogenik yang memicu kanker kolon. Kanker
kolorektal dapat timbul melalui interaksi yang kompleks antara dua faktor yaitu
faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik biasanya pada kasus sindrom
herediter seperti Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary
Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPCC).

1.5 Patofisiologi
Kanker kolon dan rectum (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel
usus). Dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan merusak jaringan
normal serta meluas kedalam struktur sekitarnya. Sel kanker dapat terlepas dari
tumor primer dan menyebar kebagian tubuh yang lain (paling sering ke hati).
Pertumbuhan kanker menghasilkan efek sekunder, meliputi penyumbatan lumen
usus dengan obstruksi dan ulserasi pada dinding usus serta perdarahan. Penetrasi
kanker dapat menyebabkan perforasi dan abses, serta timbulnya metastase pada
jaringan lain. Prognosis baik bila lesi terbatas pada mukosa dan submukosa pada
saat reseksi dilakukan dan jauh lebih buruk bila telah terjadi mestatase ke kelenjar
limfe.
- Patogenesis Molekuler
Patogenesis molekuler kanker kolorektal bersifat heterogen. Mekanisme
molekuler yang mendasari perkembangan kanker ini penting secara klinis karena
berhubungan dengan prognosis dan respon pengobatan pasien. Interkoneksi antara
patogenesis molekuler, prognosis, dan respon terapi menjadi semakin jelas selama
dua dekade terakhir, termasuk identifikasi mekanisme molekuler dan perubahan
genetik yang menyebabkan bentuk herediter kanker kolorektal.
- Sequens Adenoma–Carcinoma
Kanker kolorektal sering terbentuk selama lebih dari 10 tahun. Adenoma
displastik merupakan bentuk lesi prekursor premalignan paling umum. Mutasi gen
APC adalah peristiwa awal dalam proses pembentukan kanker kolorektal dan
terjadi pada lebih dari 70% adenoma kolorektal. Sequens adenoma-karsinoma
selanjutnya dipromosikan dengan mengaktifkan mutasi onkogen KRAS dan
menonaktifkan mutasi gen penekan tumor TP53. Mutasi gen ini sering disertai
dengan instabilitas kromosom yaitu, perubahan jumlah kromosom dan perubahan
struktural kromosom. Namun, lebih dari 15% kanker kolorektal sporadis terbentuk
melalui jalur peristiwa molekuler yang berbeda secara fundamental. Kanker ini
termasuk yang berasal dari lesi prekursor serrated, yang merupakan lesi prekursor
permalignan tipikal di kolon proksimal, dan sering ditandai dengan fenotipe
metilator CpG island dan mengaktifkan mutasi onkogen BRAF. Identifikasi lesi ini
pada saat kolonoskopi bisa jadi sulit karena sifatnya yang datar dan tidak mencolok.
Sebagian besar kanker yang timbul dari serrated adenoma sesil menunjukkan
fenotipe instabilitas mikrosatelit tingkat tinggi (MSI-H) sebagai akibat dari metilasi
promotor gen MLH1 dan terjadi di kolon proksimal lansia, dengan dominan wanita.
- Bentuk Herediter
Bentuk herediter berkontribusi pada sekitar 3–5% dari semua kanker
kolorektal. Pada kanker herediter, penekan tumor penting dinonaktifkan oleh
ekspresi gen alel mono dalam germline dan peristiwa somatik (serangan kedua)
yang membatalkan fungsi alel wild-type yang tersisa dapat menyebabkan
pembentukan tumor. Dua bentuk kanker kolorektal herediter yang paling umum
adalah kanker kolon non-poliposis herediter (sindrom Lynch, perkiraan frekuensi
alel 1: 350 hingga 1: 1700) dan poliposis koli adenomatosa familial (perkiraan
frekuensi alel 1:10 000). Kedua sindrom tersebut adalah kelainan autosom dominan
dan mengikuti patogenesis molekuler kanker kolorektal yang khas. Kanker terkait
sindrom Lynch menunjukkan tanda-tanda defisiensi mismatch repair, sedangkan
kanker terkait poliposis adenomatosa familial mengikuti sequens klasik adenoma-
karsinoma.

1.6 Faktor Risiko


- Usia
Diagnosis kanker kolorektal meningkat setelah usia 40 tahun. Meningkat
secara progresif dari usia 40 tahun dan meningkat tajam setelah usia 50 tahun. Lebih
dari 90% kasus kanker kolorektal terjadi pada orang berusia 50 tahun atau lebih.
Tingkat insiden lebih dari 50 kali lebih tinggi pada usia 60-79 tahun dibandingkan
yang lebih muda dari 40 tahun. Namun, kanker kolorektal meningkat di antara
orang-orang yang lebih muda. Di Amerika Serikat, kanker kolorektal menjadi salah
satu dari 10 kanker yang paling sering didiagnosis di kalangan pria dan wanita
berusia 20-49 tahun.
- Faktor Genetik
Kurang lebih sekitar 20% kasus kanker kolorektal memiliki riwayat
familial. Terjadi peningkatan risiko kanker kolorektal pada anggota keluarga
tingkat pertama (first-degree) pasien yang baru didiagnosis adenoma kolorektal
atau kanker kolorektal invasif. Yang diwariskan adalah familial adenomatous
polyposis (FAP) dan hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC) atau
yang biasa disebut sindrom Lynch. HNPCC berhubungan dengan mutasi gen dalam
jalur perbaikan DNA yang disebut gen MLH1 dan MLH2. Sedangkan FAP
disebabkan mutasi tumor supresor gen APC (Antigen Presenting Cell). HNPCC
terjadi 2-6% pada kasus kanker kolorektal sedangkan FAP ditemukan pada >1%
kasus kanker kolorektal. Pasien dengan FAP mengalami pertumbuhan ratusan polip
pada usia 20 tahun.
- Faktor Lingkungan
Lingkungan, pola hidup sosial dan kultural mempengaruhi terjadinya
kanker kolorektal. Faktor geografi juga berpengaruh dengan kejadian kanker
kolorektal dimana insiden kanker kolorektal konsisten lebih tinggi pada penduduk
perkotaan.
- Pola Diet dan Nutrisi
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, dan diet rendah serat
cenderung berisiko besar untuk mengalami kanker kolorektal. Perubahan pola
makan dapat menurunkan resiko kanker hingga 70%. Insiden kanker akan
meningkat pada orang yang sering mengonsumsi daging merah maupun daging
yang telah diproses. Adanya heme besi pada daging merah memiliki berhubungan
dengan insidensi terjadinya kanker rektum. Sedangkan daging yang diproses dalam
jumlah besar berkaitan dengan terjadinya kanker kolon bagian distal. Pada sebuah
penelitan, seseorang yang mengonsumsi asupan serat makanan seperti buah,
sayuran dan sereal memiliki resiko kanker kolorektal lebih kecil hal ini dikarenakan
serat mendilusi kandungan lemak, mengencerkan kandungan feses, meningkatkan
massa feses dan mereduksi waktu transit.
- Aktivitas Fisik dan Obesitas
Kurangnya aktivitas fisik menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
terjadinya obesitas pada 33,3 % kasus kanker kolorektal. Aktivitas fisik yang baik
akan meningkatkan angka metabolik dan meningkatkan ambilan oksigen maksimal.
Aktivitas fisik yang baik dan konstan dalam jangka panjang dapat memberikan efek
terjadinya peningkatan kapasitas metabolik tubuh, penurunan tekanan darah, dan
meningkatkan motilitas usus. Aktivitas fisik dan kelebihan berat badan dilaporkan
menyumbang sekitar seperempat hingga sepertiga dari kanker kolorektal. Keadaan
obesitas akan meningkatkan sirkulasi estrogen dan menurunkan sensitivitas insulin
mempengaruhi terjadinya kanker kolorektal yang berhubungan dengan penimbunan
adipositas pada abdomen.
Obesitas menyebabkan penimbunan hormon, peningkatan kadar insulin dan
insulin-like growth factor-1 (IGF-1), pemicu regulator pertumbuhan tumor,
gangguan respons imun dan stres oksidatif, sehingga dapat menyebabkan terjadinya
karsinoma kolorektal. Berdasarkan penelitian aktivitas fisik reguler dapat
menurunkan risiko kanker kolorektal hingga 50%. American Cancer Society (ACS)
menyarankan aktivitas fisik moderat (seperti jalan cepat) setidaknya selama 30
menit selama 5 hari atau lebih dalam seminggu untuk mengurangi risiko terjadinya
kanker kolorektal.
- Riwayat Penyakit Radang Usus (Inflamatory Bowel Disease)
Penyakit radang usus (IBD) yaitu dua penyakit, kolitis ulserative dan
penyakit Crohn. Kolitis ulserative menyebabkan peradangan pada mukosa usus
besar dan rektum. Penyakit Crohn menyebabkan peradangan pada seluruh
ketebalan dinding usus dan mungkin melibatkan bagian manapun dari saluran
pencernaan dari mulut ke anus. Kondisi ini meningkatkan risiko perkembangan
kanker kolorektal. Risiko relatif kanker kolorektal pada pasien dengan penyakit
radang usus diperkirakan antara 4-20 kali lipat. Oleh karena itu, terlepas dari usia,
yang memiliki riwayat IBD sangat dianjurkan untuk lebih sering melakukan
skrining.
- Merokok
Kematian pada kanker ini 12% disebabkan karena kebiasaan merokok.
Karsinogen pada rokok menyebabkan pembentukan dan pertumbuhan polip
adenomatosa, lesi prekursor kanker kolorektal. Polip yang berukuran besar di kolon
dan rektum berkaitan dengan kebiasaan merokok jangka panjang. Hubungan antara
merokok dan kanker lebih berpotensi mengarah ke kanker rektum dibandingkan
dengan kanker kolon.
- Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol salah satu penyebab terjadinya kanker kolon bagian distal
pada usia muda. Metabolit reaktif yang terdapat pada alkohol seperti asetaldehid
bersifat karsinogenik. Konsumsi alkohol 2-4 porsi per hari meningkatkan risiko
hingga 23% dibandingkan individu yang mengonsumsi kurang dari 1 porsi per hari.
Porsi yang dimaksud merupakan satuan jumlah minuman yang dikeluarkan oleh
National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism, 1 porsi mengandung sekitar
14 gram alkohol murni, volumenya berbeda beda untuk minuman beralkohol, 1
porsi = 355 ml bir (kadar alkohol 5%), 148 ml wine (kadar alkohol 7%), 29,5 ml
brandy atau minuman keras lainnya (kadar alkohol 40%).

1.7 Gambaran Klinis


Tidak ada gambaran yang khas dari kanker kolorektal. Karsinoma kolon dan
rektum dapat menyebabkan ulserasi, atau perdarahan, menimbulkan obstruksi bila
membesar, atau menembus (invasi) keseluruh dinding usus dan kelenjar-kelenjar
regional. Kadang-kadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses di
peritonium. Keluhan dan gejala tergantung juga dari lokasi dan besarnya tumor.
Gejala kanker kolon lebih umum dan menonjol ketika prognosisnya buruk tetapi
kurang umum dan kurang jelas pada awal penyakit. Gejala umum seperti nyeri perut
(44%), perubahan kebiasaan buang air besar (43%), hematochezia atau melena
(40%), kelemahan atau malaise (20%), dan penurunan berat badan yang tidak
disengaja (6%). Gejala yang kurang umum termasuk mual dan muntah, malaise,
anoreksia, dan perut kembung. Meskipun kanker kolon dapat disertai dengan diare
atau konstipasi, perubahan kebiasaan buang air besar baru-baru ini lebih mungkin
disebabkan oleh kanker kolon daripada kebiasaan buang air besar abnormal yang
kronis.
Gejala bergantung pada lokasi kanker, ukuran kanker, dan adanya
metastasis. Kanker kolon kiri, dibandingkan kanker kolon kanan, lebih mungkin
menyebabkan obstruksi usus parsial atau lengkap karena lumen kolon kiri lebih
sempit dan cenderung berisi feses yang terbentuk lebih baik karena reabsorpsi air
di kolon proksimal. Kanker eksofitik besar juga lebih mungkin menyumbat lumen
kolon. Obstruksi parsial menyebabkan konstipasi, mual, distensi abdomen, dan
nyeri perut. Obstruksi parsial kadang-kadang dan secara paradoks menyebabkan
diare intermiten saat feses bergerak melewati obstruksi.
Kanker distal kadang-kadang menyebabkan perdarahan rektal yang parah,
tetapi kanker proksimal jarang menimbulkan gejala ini karena darah bercampur
dengan tinja dan terdegradasi secara kimiawi selama transit kolon. Perdarahan dari
kanker proksimal cenderung tersembunyi, dan pasien mungkin datang dengan
anemia defisiensi besi tanpa perdarahan rektal yang berat. Anemia dapat
menyebabkan kelemahan, kelelahan, dispnea, atau palpitasi. Kanker stadium lanjut,
terutama jika bermetastasis, dapat menyebabkan kanker cachexia, yang ditandai
dengan gejala tetrad penurunan berat badan yang tidak disengaja, anoreksia,
kelemahan otot, dan perasaan tidak sehat.

1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang untuk kanker kolorektal yaitu:
- Pemeriksaan darah
- Darah samar feses
- Pemeriksaan radiologi yang disarankan seperti enema dengen Double
Contract, CT Scan abdomen
- Pemeriksaan kolonoskopi, untuk membantu menegakkan diagnosis

1.9 Tatalaksana
- Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi utama untuk kanker rektum. No touch
method dan radikalis adalah suatu prinsip pembedahan yang memperhatikan aliran
darah dan kelenjar getah bening dengan tujuan untuk menentukan ketahanan hidup
pasien. Ada berbagai macam reseksi yang dilakukan, tergantung dari lokasi
tumornya, diantaranya yaitu Low Anterior Resection (LAR) dan Abdomino
Perianal Resection (APR) atau kolostomi. LAR merupakan reseksi dari rektum
proksimal melalui insisi abdominal yang dilakukan pada kanker rektum yang
terletak di proksimal, sedangkan reseksi APR atau kolostomi yaitu mengambil
seluruh kolon distal, rektum dan anus melalui abdomen dan perianal, kemudian
dilakukan pembuatan kolostomi permanen.
- Kemoterapi
Kemoterapi dilakukan jika terdapat metastase ke kelenjar getah bening
sekitar atau mempunyai pola histologi yang agresif (signet ring cell carcinoma).
Adjuvan kemoterapi juga ditentukan berdasarkan stadium saat diagnosis
ditegakkan, dan sangat di rekomendasikan untuk stadium C Dukes dan Astler
kanker kolon.
- Terapi Adjuvant
Kanker kolorektal telah banyak resisten pada hampir sebagian kemoterapi.
Kemoterapi sangat efektif digunakan bila tumor sangat sedikit dan berada pada fase
proliferasi. Sitostatika berupa kombinasi FAM (5-fluorasil, adriamycin, dan
mitomycin c) banyak dipergunakan sebagai terapi adjuvant.
- Radioterapi
Radioterapi dilakukan setelah terjadinya kegagalan pada saat operasi, atau
terjadinya residif lokal pada kelenjar getah bening lokal dan regional sebesar 25-
60%, maka tujuan utama dari radioterapi adjuvan yaitu mengurangi kekambuhan
pada lokoregional dengan mengontrol sel-sel tumor yang tidak terangkat sewaktu
pembedahan. Radioterapi dapat diberikan pada pre operasi, post operasi, maupun
kombinasi pre dan post operasi. Dosis yang diberikan pada pre operasi yaitu 40 Gy
selama 20 hari atau 40-50 Gy dalam 5-6 minggu setelah satu bulan kemudian diikuti
oleh pembedahan.

1.10 Prognosis
Kelangsungan hidup relatif menurun seiring bertambahnya usia, dan pada
usia muda sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Stadium saat
diagnosis merupakan faktor prognostik yang terpenting.

1.11 Asites Non Keganasan dan Keganasan


Keganasan merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kesehatan
Indonesia tahun 2015, penyakit kanker (keganasan) merupakan salah satu penyebab
kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2012, sekitar 8,2 juta kematian
disebabkan oleh kanker. Salah satu manifestasi buruk dari sebuah keganasan adalah
munculnya asites. Secara klinis, asites merupakan dampak atau komplikasi dari
sejumlah penyakit, di antaranya penyakit hepar, jantung, ginjal, infeksi, bahkan
keganasan. Kasus keganasan yang paling sering diasosiasikan dengan asites adalah
gastrik, kolorektal, pankreatik, hepatobiliari, ovarium, endometrium, dan
karsinoma peritoneum primer.
Asites karena keganasan didefinisikan sebagai akumulasi cairan berlebih di
dalam rongga peritoneum akibat penyebaran keganasan. Asites karena keganasan
diindikasikan sebagai fase akhir dalam berbagai kondisi kanker. Kasus asites karena
keganasan berkisar sekitar 10% dari keseluruhan kasus asites. Penyebab paling
sering akibat keganasan adalah karsinoma hepar.
Asites non keganasan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penyebab
tersering sirosis hepatis. Penyebab lainnya dapat dikarenakan infeksi seperti TBC.
Pankreatitis, gagal jantung, gagal ginjal, ataupun penyumbatan pembuluh vena hati
juga dapat menimbulkan asites. Selain sirosis hati, asites juga bisa disebabkan oleh
kurangnya albumin. Albumin merupakan salah satu jenis protein yang berfungsi
untuk mengikat cairan. Jika tubuh kekurangan albumin (hipoalbuminemia), cairan
di dalam pembuluh darah akan bocor ke jaringan sekitar sehingga terjadi
penumpukan.
Kondisi asites yang terjadi merupakan gejala klinis yang bermanifestasi
pada berbagai kondisi penyakit, di antaranya inflamasi, infeksi, keganasan, dan
lainnya. Pemeriksaan sitologi asites berguna untuk membantu menyingkirkan
diagnosis yang tidak sesuai dan menegakkan diagnosis yang tepat. Pemeriksaan ini
mengambil cairan asites lalu diperiksa. Klasifikasi yang sering digunakan untuk
membedakan asites akibat keganasan atau tidak dari klasifikasi Papanicolau.
Dikatakan positif disertai keganasan apabila memenuhi kelas 3, 4 dan 5. Sedangkan
dikatakan negatif disertai keganasan apabila memenuhi kriteria kelas 1 dan 2 (Tabel
1.1).
Tabel 1.1 Klasifikasi Papanicolau

1.12 Evaluasi CT-Scan Abdomen


Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh. Bentuknya lonjong dan
meluas dari atas drafragma sampai pelvis di bawah. Rongga Abdomen dilukiskan
menjadi dua bagian, abdomen yang sebenanya yaitu rongga sebelah atas dan yang
lebih besar dari pelvis yaitu rongga sebelah bawah dan lebih kecil. Batas-batas
rongga abdomen adalah di bagian atas digfragma,di bagian bawah pintu masuk
panggul dari panggul besar, di depan dan di kedua sisi otot-otot abdominal, tulang-
tulang iliaka dan iga-iga sebelah bawah, di bagian belakang tulang punggung dan
otot psoas dan quadratus lumborum. Abdomen merupakan rongga terbesar dalam
tubuh yang berbentuk lonjong dan meluas dari atas diafragma hingga pelvis di
bawah. Batas batas abdomen meliputi batas atas yaitu diafragma, batas bawah yaitu
pintu masuk panggul dari panggul besar. Pada bagian depan dan di kedua sisi
abdomen yaitu otot-otot abdominal dan, tulang-tulang iliaka, dan iga-iga sebelah
bawah. Pada bagian belakang yaitu tulang punggung, dan otot psoas dan kuadratus
lumborum.
Rongga abdomen sebagian besar berisi saluran pencernaan, yaitu lambung,
usus halus, dan usus besar. Di dalam rongga Abdomen juga terdapat organ asesoris
dan organ sistem urinari. Hati terletak di bagian teratas rongga Abdomen sebelah
kanan di bawah diafragma, dan menutupi lambung dan bagian pertama usus halus.
Pankreas terletak di belakang lambung, sedangkan kandung empedu terletak di
bawah hati. Ginjal dan kelenjar suprarenal berada di atas dinding posterior
abdomen. Ureter berada pada rongga abdomen, dari ginjal memanjang hingga
kandung kemih. Pembuluh limfe dan peritoneum juga terdapat pada rongga
abdomen.

Gambar 1.1 CT scan Abdomen

Yang perlu dievaluasi dari CT scan Abdomen adalah:


Gambaran Kelainan
- Uterus tampak contracted atau tidak, tidak tampak massa atau tidak, tidak
tampak jelas adanya massa pada ovarium kanan dan kiri.
- Bowel pattern normal atau tidak, tidak tampak pattern of
obstruction/stenosis.
- Hepar : Ukuran tampak normal, densitas normal, tak tampak dilatasi biliary
tree, vena hepatica/vena porta normal. tak tamapk nodul/massa.
- GB : Besar dan bentuk, tampak atau tidakbatu/massa/penebelan dinding.
- Ginjal kanan : Ukuran ginjal normal, densitas dan diferensiasi
corticomeduler normal atau hiperdens, tampak dilatasi atau tidak. PCS,
tampak multiple lesi kistik subcentimeter di corteks, tak tampak batu/massa.
- Ginjal kiri : Ukuran ginjal normal, densitas dan diferensiasi corticomeduler
normal atau hiperdens, tampak dilatasi atau tidak. PCS, tampak multiple lesi
kistik subcentimeter di corteks, tak tampak batu/massa.
- Lien : Ukuran normal atau tidak, densitas normal atau hiperdens, tampak
atau tidak nodul/massa.
- Pankreas : Ukuran normal atau tidak, densitas normal atau tidak, tak tampak
nodul/massa/klasifikasi.
- Bladder : Ada kelainan atau tidak
- Aorta dan percabangannya : Evaluasi dari jantung, aorta, paru. Kaliber
normal, tampak kalsifikasi atau tidak, dinding tak tampak lesi blastik/litik
pada tulang yang tervisualiasi, tampak atau tidak multiple osteofit pada
vertera lumbal dan thoracal, tampak nodul pada paru yang tervisualisasi,
tampak atau tidakfluid collection di cavum pleura dengan gambaran
infiltrat.
BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis Pasien


Pasien Ny.A berjenis kelamin perempuan berusia 59 tahun datang ke Radiologi
RSD Soebandi rujukan dari RS Bina sehat jember. Pasien mengeluhkan Mual dan agak
nyeri sejak bulan yang lalu. Keluhan ini juga disertai BAB dan BAK tidak lancar sekitar
2 bulan lalu namun setelah diberikan obat dari bina sehat BAB sempat lancar. Pasien juga
mengeluhkan nafsu makan yang menurun BAK menurun dari 4-6 x sehari menjadi 2-3 x
sehari disertai rasa tidak nyaman saat BAK. Warna BAB normal kekuningan dengan
konsistensi padat keras. Tidak ada lendir atau darah pada saat BAB. Riwayat penyakit
lain seperti asma dan penyakit jantung disangkal.

2.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos
mentis, jalan nafas paten, pernapasan spontan reguler, tanda-tanda vital berupa tekanan
darah 130/76 mmHg, nadi 82 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu 36 °C dan SpO2 98%,.
Pada status generalis kepala leher tidak didapatkan konjungtiva anemis -/-, ikterik (-),
sianosis (-), pembesaran KGB (-). Pemeriksaan paru dan jantung tidak ditemukan adanya
kelainan. Dari inspeksi abdomen didapatkan perut cembung, bising usus (+) menurun,
nyeri tekan (+), pembesaran organ (+) pada bagian hipergastric, dan asites (-). Pada
pemeriksaan ekstremitas superior dan inferior didapatkan normotonus, gerakan aktif dan
tidak ada edema pitting.

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium,
radiologis, dan skrining COVID-19. Pemeriksaan darah (Faal Ginjal) tanggal 16
Desember 2022 di Laboratorium PK RSDS didapatkan hasil Kreatinin serum : 1, BUN :
14. Skrining Covid: Negatif.
Pasien melakukan pemeriksaan foto thorax AP (21 Desember 2022) (Antero
Posterior) di IGD dan didapatkan hasil bacaan: Cor besar dan, Pulmo tak tampak infiltrat,
Trachea di tengah, Sinus Costophrenicus kanan tajam kiri tumpul, CTR 43,4 %.
Hemidiafragma kanan kiri tampak normal, Tulang tulang dan soft tissue tampak baik.
Kesan: Efusi Pleura kiri, Cor tak membesar, Pulmo tak tampak infiltrat. Foto thorax
pasien dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Foto Thorax

CT Scan dengan kontras Intravena (Gambar 2.2) dilakukan pada tanggal 20


Desember 2022 dengan hasil;
- Tampak nodularity dengan enhancement yang membentuk massa pada
peritoneum visceral dan parietalis di cavum pelvis, dan cavum abdomen dan
penebalan pada omentum dengan fluid collection intraperitoeal cavity dengan
jumlah yang tidak teralalu banyak tampak reticulonodular pattern di mesenterial
fat.
- Uterus tampak contracted, tidak tampak massa, tidak tampak jelas adanya massa
pada ovarium kanan dan kiri.
- Bowel pattern noprmal, tidak tampak pattern of obstruction/stenosis.
- Hepar : Ukuran tampak normal, densitas normal, tak tampak dilatasi biliary tree,
vena hepatica/vena porta normal. tak tamapk nodul/massa.
- GB : Besar dan bentuk normal, tak tampak batu/massa/penebelan dinding.
- Ginjal kanan : Ukuran normal, densitas dan diferensiasi corticomeduler normal,
tak tampak dilatasi. PCS, tampak multiple lesi kistik subcentimeter di corteks, tak
tampak batu/massa.
- Ginjal kiri : Ukuran normal, densitas dan diferensiasi corticomeduler normal, tak
tampak dilatasi PCS, tampak multiple lesi kistik subcentimeter do corteks, tak
tampak batu/massa.
- Lien : Ukuran normal, densitas normal, tak tampak nodul/massa.
- Pancreas : Ukuran normal, densitas normal, tak tampak nodul/massa/kalsifikasi.
- Bladder : Tak tampak kelainan.
- Aorta dan percabangannya : Kaliber normal, tak tampak kalsifikasi dinding tak
tampak lesi blastik/litik pada tulang yang tervisualiasi, tampak multiple osteofit
pada vertera lumbal dan thoracal, tak tampak nodul pada paru yang tervisualisasi,
tampak fluid collection di cavum pleura kiri dengan gambaran infiltrate di paru
kiri bawah.
- Kesimpulan : Kesan suatu peritoneal carcinomatosis dengan nodul-nodul yang
membentuk gambaran massa tersebar di abdomen dan cavum pelvis, omental cake
dan reticulonodular pattern di mesenterium dan ascites. Tidak tampak jelas massa
primer lain di cavum pelvis maupun cavum abdomen, efusi pleura kiri dengan
pneumonia paru kiri bawah tak tampak metastasis di hepar/paraaorta/paraailiaca
maupun di tulang yang tervisualisasi, spondylosis lumbalis.
Hepar/GB/Lien/Pancreas/Bladder/uterus/ bowel system tak tampak kelainan.
Gambar 2.2 CT Scan
Disaat melakukan CT SCAN, dilakukan juga FNAB pada tanggal yang sama, dan
didapatkan hasil, sel-sel atipik, bentuk bulat oval, kromatin kasar, anak inti terlihat.
Disimpulkan merupakan sel adenokarsinoma, curiga berasal dari GIT atau tractus
genitalis. Tanggal 26 Desember 2022 dilakukan colon in loop untuk melihat letak dari sel
kanker dan penyempitan dari usus. Tampak kontras masuk dengan lancar mengisi rectum,
rectosigmoid, sigmoid, colon descenden, flexura lienalis, colon tranversum, flexura
hepatica, colon ascenden, sampai ileocaecal junction. Didapatkan penyempitan disertai
iregularitas mukosa rectum hingga sigmoid (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Colon In Loop

Assesment pasien adalah Adenokarsinoma sigmoid. Pasien mendapatkan terapi


lansoprazole dan asam mefenamat
BAB 3. DISKUSI

Kolon membentang dari ujung sampai ke anus dan memiliki panjang sekitar 1,5 meter.
Kolon membentuk arkus, yang melingkupi sebagian besar usus halus, dan dibagi menjadi tujuh
bagian yaitu : sekum, kolon asenden, kolon transversum, kolon desenden, kolon sigmoid, rectum,
dan kanal anal. Selain itu, Rectum yang berarti “lurus” merupakan lanjutan dari kolon sigmoid yang
menghubungkan intestinum mayor dengan anus, rektum ini bagian dari kolon yang sedikit melebar
dan memiliki panjang 12cm. Bagian pangkal rektum berbatasan dengan kolon sigmoid dan bagian
ujung berbatasan dengan saluran anus.
Kanker kolorektal (colorectal carcinoma) atau disebut juga kanker usus besar yang terdiri
dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) atau rectum (bagian kecil terakhir dari usus besar
sebelum anus) adalah kanker yang terjadi ketika sel-sel abnormal tumbuh pada lapisan kolon
atau rektum. Pada umumnya, kanker kolorektal jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Resiko
terjadinya kanker kolorektal akan meningkat pada usia 50 tahun. Kanker kolorektal biasanya
berkembang di dalam dinding kolon dan rektum dan tumbuh secara perlahan-lahan selama kurun
waktu 10 sampai 20 tahun. Penyebab kanker kolon ini belum diketahui dengan pasti, namun
seperti halnya dengan kanker menurut ahli kesehatan ada hubungannya dengan faktor makanan
yang mengandung lemak hewan tinggi, kadar serat yang rendah, dan gaya hidup yang tidak sehat
seperti merokok, konsumsi alkohol serta adanya interaksi antara bakteri di dalam kolon dengan
asam empedu dan makanan. Faktor-faktor tersebut akan memproduksi bahan karsinogenik yang
memicu kanker kolon (Wijayakusuma, 2010).
Menurut Komite Penanggulangan Kanker Nasional (2016), ada beberapa gejala dan tanda-
tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi akan adanya kanker kolorektal. Dari gejala klinisnya,
dapat dilihat perdarahan per-anus disertai peningkatan frekuensi defekasi dan diare selama minimal
6 minggu. Lalu, sering di temukan pada usia di atas 60 tahun perdarahan per-anus tanpa gejala anal,
dan peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6 minggu. Tanda-tanda obstruksi
mekanik usus. Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11g% untuk laki-laki atau <10g%
untuk perempuan pasca menopause). Selain gejala, dapat dilakukan pemeriksaan fisik berupa colok
dubur pada pasien dengan gejala ano-rektal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan ukuran
dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal dan menetapkan keutuhan sfingter ani.
Untuk menegakkan diagnosis secara pasti dapat dilakukan pemeriksaan penunjang antara
lain, endoskopi yang merupakan prosedur awal diagnostik dan dapat dilakukan dengan pemeriksaan
sigmoidoskopi (>35% tumor yang terletak di rektosigmoid) atau dengan pemeriksaan kolonoskopi
total. Selain itu, dapat dilakukan enema barium dengan kontras ganda dan CT Colonography atau
Pneumocolon CT.
Pada laporan kasus, pasien perempuan berusia 59 tahun datang ke Instalasi Radiologi
RSUD dr. Soebandi rujukan dari RS Bina Sehat Jember. Pasien mengeluhkan Mual dan agak
nyeri sejak bulan yang lalu. Keluhan ini juga disertai BAB dan BAK tidak lancar sekitar 2 bulan
lalu namun setelah diberikan obat dari bina sehat BAB sempat lancar. Pasien juga mengeluhkan
nafsu makan yang menurun BAK menurun dari 4-6 x sehari menjadi 2-3 x sehari disertai rasa
tidak nyaman saat BAK. Warna BAB normal kekuningan dengan konsistensi padat keras. Tidak
ada lendir atau darah pada saat BAB. Riwayat penyakit lain seperti asma dan penyakit jantung
disangkal. Pada pemeriksaan fisik dan tanda-tanda vital dalam batas normal namun pada regio
abdomen terdapat tanda-tanda patologis seperti perut cembung, bising usus (+) menurun, nyeri
tekan (+), pembesaran organ (+) pada bagian hipergastric, namun asites. Bedasarkan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dicurigai mengalami gangguan pada bagian regio
abdomen. Oleh karena itu, dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan radiologis pertama yang dilakukan yaitu CT Scan dengan kontras Intravena
pada tanggal 20 Desember 2022 ditemukan kesan suatu peritoneal carcinomatosis dengan nodul-
nodul yang membentuk gambaran massa tersebar di abdomen dan cavum pelvis, omental cake
dan reticulonodular pattern di mesenterium dan ascites. Tidak tampak jelas massa primer lain di
cavum pelvis maupun cavum abdomen, efusi pleura kiri dengan pneumonia paru kiri bawah tak
tampak metastasis di hepar/paraaorta/paraailiaca maupun di tulang yang tervisualisasi,
spondylosis lumbalis.
Disaat melakukan CT Scan, dilakukan juga FNAB pada tanggal yang sama, dan
didapatkan hasil, sel-sel atipik, bentuk bulat oval, kromatin kasar, anak inti terlihat. Disimpulkan
merupakan sel adenokarsinoma, curiga berasal dari GIT atau tractus genitalis. Setelah itu,
pemeriksaan selanjutnya yaitu colon in loop pada tanggal 26 Desember 2022 untuk melihat letak
dari sel kanker dan penyempitan dari usus. Tampak kontras masuk dengan lancar mengisi
rectum, rectosigmoid, sigmoid, colon descenden, flexura lienalis, colon tranversum, flexura
hepatica, colon ascenden, sampai ileocaecal junction. Didapatkan penyempitan disertai
iregularitas mukosa rectum hingga sigmoid (Gambar 2.3).
Berdasarkan anamnesis baik gejala yaitu peningkatan frekuensi defekasi dan usia di atas
50 tahun yang menjadi faktor risiko mendukung hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang telah dijelaskan di atas. Oleh karena itu, asesmen yang paling mendekati pada
pasien adalah kanker kolorektal.
BAB 4. KESIMPULAN
Risiko terjadinya kanker akan meningkat pada usia 50 tahun. Kanker kolorektal biasanya
berkembang di dalam dinding kolon dan rektum dan tumbuh secara perlahan-lahan selama kurun
waktu 10 sampai 20 tahun. Penyebab kanker kolon ini belum diketahui dengan pasti, namun
faktor gaya hidup dan genetik masih diduga menjadi faktor risiko yang kuat seperti kanker
lainnya. Selain gejala klinis yang dapat digali dari anamnesis berupa peningkatan frekuensi
defekasi, tanda obstruksi usus, dan perdarahan per-anus, pemeriksaan fisik berupa colok dubur
juga dapat dilakukan. Pencitraan atau pemeriksaan radiologis juga berperan penting dalam
menegakkan diagnosis, menilai perkembangan penyakit, komplikasi, dan menentukan
penatalaksanaan. Modalitas pencitraan yang dapat dilakukan yaitu Endoskopi, Colon in loop,
dan CT Colonography.
Pada kasus ini, pasien perempuan berusia 59 tahun memiliki faktor risiko usia yang
mendukung anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa CT Scan dengan
kontras (kesan peritoneal carcinomatosis dengan nodul-nodul yang membentuk gambaran massa
tersebar di abdomen dan cavum pelvis) , FNAB (kesan sel adenokarsinoma, curiga berasal dari
GIT atau tractus genitalis), dan Colon in loop (Didapatkan penyempitan disertai iregularitas
mukosa rectum hingga sigmoid) mengarah ke kanker kolorektal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chapter 1: Definition and classification of CKD. Kidney Int Suppl (2011). 2013
Jan;3(1):19-62
2. K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation,
classification, and stratification. Kidney Disease Outcome Quality Initiative. Am J
Kidney Dis 2013;39:S1-S246.
3. GBD Chronic Kidney Disease Collaboration Global, regional, and national burden of
chronic kidney disease, 1990–2017: a systematic analysis for the Global Burden of
Disease Study 2017. Lancet. 2020;395:709-33.
4. Webster AC, Nagler EV, Morton RL, Masson P. Chronic Kidney Disease. Lancet. 2017
Mar 25;389(10075):1238-1252.
5. Rumack C.M., Wilson S.R., Charboneau J.W. Diagnostic Ultrasound. 3rd ed. Elsevier
Health Sciences; St. Louis, MO, USA: 2005
6. O’Neill W.C. Renal relevant radiology: Use of ultrasound in kidney disease and
nephrology procedures. Clin. J. Am. Soc. Nephrol. 2014;9:373–381
7. Bakri S. Diktat patofisiologi ginjal. Makassar : Divisi Ginjal Hipertensi Laboratorium
Ilmu Penyakit Dalam FK-UH;1988.hal. 1-4.
8. Putz R, Pabst R . Organ-organ dalam perut .Dalam : Atlas anatomi Sobotta . 21th ed.
Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.hal.181-9
9. Abboud H, Henrich WL. Stage IV chronic kidney disease. N Engl J Med.2010;362:56-
65.
10. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam : Buku ajar pilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi
IV. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu penyakit Dalam FK-UI; 2006.hal. 570-3
11. The see kidney disease targeted screening program for CKD. Galbraith LE, Ronksley
PE, Barnieh LJ, et al. Clin J Am Soc Nephrol. 2016;11:964–972
12. Hricak H, Cruz C, Romanski R. Renal parenchimal disease: sonographichistologic
corelation.In : ultrasound. Detroid : Departmend of diagnostic radiology,medicine and
pathology, Henry Ford Hospital; 1982.p. 141-7
13. Pedersen J.F., Emamian S.A., Nielsen M.B. Simple renal cyst: Relations to age and
arterial blood pressure. Br. J. Radiol. 1993;66:581–584
14. Tzanakis I, Papadaki A, Kagia S, et al.. Prevalence of cholelithiasis in hemodialysis
patients. Clin Nephrol. 2003; 59 :483-4

15. Lisowska A, Musial WJ. Heart failure in the patients with chronic kidney
disease.Roczniki Akademii Medyznej w Biatynsioku.2004:49;162-4

Anda mungkin juga menyukai