Anda di halaman 1dari 48

BAGIAN RADIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

TUMOR PARU

Oleh :
Armayulansari S.Ked
K1B1 21 089

PEMBIMBING :
dr. Metrila Harwati, M.Kes., Sp. Rad

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala Puji bagi Allah subhanahuwata’ala atas limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Referat dengan baik
yang berjudul “Tumor Paru”. Penulis juga mengucapkan shalawat dan salam
kepada Baginda Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam karena beliau telah
menghantarkan nikmat Islam sampai hari ini kepada seluruh umat muslim di
seluruh dunia. Penulis mengucapkan banyak terimakasih banyak kepada
pembimbing yakni, dr. Metrila Harwati, M.Kes., Sp.Rad yang merupakan
supervisor kami pada kepaniteraan Laboratorium Bagian Ilmu Radiologi di RSU
Bahteramas. Pembimbing saya telah memberikan arahan, kesediaan waktu, dan
saran dalam menyelesaikan tugas ini dengan baik. Referat ini merupakan salah
satu persyaratan dalam menyelesaikan masa kepaniteraan di Laboratorium Klinik
Bagian Ilmu Radiologi. Penulis memohon maaf jika dalam penulisan karya ini
masih terdapat kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap karya
ini dapat bermanfaat bagi dokter muda ataupun bagi pihak manapun yang
membutuhkan informasi mengenai “Tumor Paru”.

Kendari, 16 Juni 2022

Armayulansari, S.Ked

2
BAB I

PENDAHULUAN

Saat ini non communicable disease (NCD) merupakan penyebab kematian

nomor satu di seluruh dunia. Pada tahun 2016, dari 57 juta kematian yang terjadi

sekitar 41 juta (71%) di antaranya meninggal akibat kasus NCD. Penyebab

kematian utama dari NCD ini yaitu penyakit kardiovaskuler (44%), kanker (22%),

penyakit sistem pernapasan kronik (9%) dan diabetes mellitus (4%). Proporsi usia

yang paling banyak mengenai NCD yaitu usia 30-69 tahun (52%) sehingga

penyakit NCD tidak hanya dijumpai pada usia tua. Selain itu pada tahun 2016,

World Heath Organization (WHO) juga memaparkan proporsi jenis kelamin yang

paling berisiko terkenanya NCD yaitu lebih tinggi pada laki-laki (22%)

dibandingkan dengan wanita (15%).1

Salah satu kebijakan dan strategi dalam Rencana Pembangunan Jangka

Mengenagah (RPJM) IV tahun 2020-2024 adalah peningkatan pengendalian

penyakit, baik penyakit menular (PM) maupun penyakit tidak menular (PTM).

Penyakit tidak menular merupakan suatu penyakit kasatropik dengan penyebab

kematian tertinggi di Indonesia, sebelum masa pandemi COVID-19. Berdasarkan

hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menunjukan

bahwa saat ini perkembangan PTM di Indonesia semakin mengkhawatirkan.

Perkembangan peningkatan PTM diikuti oleh pola pergeseran penyakit. Jika dulu

penyakit jenis ini dialami oleh kelompok lanjut usia, namun saat ini PTM mulai

mengancam usia reproduksi yaitu usia 10 tahun sampai 14 tahun. Penyakit tidak

3
menular (PTM) merupakan suatu penyakit atau kondisi medis yang dimana tidak

dapat ditularkan dari satu individu ke individu lainnya.2,3

Kanker paru atau karsinoma bronkogenik merupakan tumor yang berada di

parenkim paru atau bronkus paru. Kanker paru merupakan salah satu penyebab

kematian utama yang terjadi di Amerika Serikat. Diperkirakan 225.000 kasus

yang menderita kanker paru dan setiap tahun sekitar 160.000 orang meninggal

dunia akibat kanker paru. Peningkatan insidensi kanker paru terjadi karena

meningkatnya konsumsi rokok dikalangan pria maupun wanita.4

Pada tahun 2020 WHO memaparkan bahwa kasus kanker paru menduduki

urutan ketiga (11,4%) dari kanker lainnya (42,9%) dan kanker payudara (11,7%)

yang dimana angka kematian tertinggi pada kasus kanker paru yaitu (18%)

menduduki peringkat kedua setelah penyakit kanker lainnya (35,7%). Insidensi

kanker lebih sering dijumpai pada negara Asia (59,6%) dibandingkan dengan

Afrika (2,1%) dengan angka kematian di Asia yaitu (61,9%) dan di Afrika yaitu

(2,3%). Berdasarkan usia dan jenis kelamin kanker paru lebih sering mengenai

laki-laki yang berusia 35 tahun (25%%), sedangkan pada wanita kanker paru lebih

sering terkena pada kelompok usia 36 tahun (34,9%).5

4
BAB II

INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI

Kanker paru merupakan kanker yang paling sering ditemui diseluruh dunia

dengan persentase 12,4% dari kanker lainnya serta sebagai penyebab kematian

utama dari semua kasus kanker. The American Canser Society memperkirakan

insidensi kanker paru setiap tahunnya yaitu 234.000 kasus dan lebih dari 154.000

orang yang meninggal akibat kanker paru di Amerika Serikat. Menurut laporan

statistik kanker dari tahun 2020, kanker paru-paru tetap menjadi penyebab utama

kematian akibat kanker diseluruh dunia, dengan perkiraan 1,8 juta orang yang

meninggal akibat kanker paru.4

Diperkirakan jumlah kasus kanker paru-paru di seluruh dunia terjadi

peningkatan dari 44% menjadi 51% sejak tahun 1985. Di Amerika Serikat kanker

paru-paru menduduki peringkat kedua dengan perkiraan 115.060 kasus pada pria

dan 106.070 pada wanita. Data surveilens epidemiologi pada tahun 2004-2008

melaporkan usia rata-rata yang menderita kanker paru yaitu usia 20 tahun (0,2%),

20-34 tahun (1,5%), 35-44 tahun (8,8%), 45-54 tahun (20,9%), 55-64 tahun

(31,1%) dan usia 65 tahun keatas (29%).6

Kanker paru diklasifikasikan menjadi dua yaitu Small Cell Lung Cancer

(SCLC) merupakan tumor yang sangat ganas dan berasal dari sel neuroendokrin

serta memberikan sumbangsi 15% dari kanker paru dan Non Small Cell Lung

Cancer (NSCLC) menyumbang sebanyak 85% dari kasus kanker paru, NSCLS

terbagi atas tiga yaitu adenokarsinoma (38,5%), skuamosa sel karsinoma (20%)

dan basal sel karsinoma (2,9%).6

5
Kanker paru juga merupakan penyebab kematian utama di negara Eropa, tercatat

pada tahun 2018 kematian yang terjadi akibat kanker paru yaitu sekitar 388.000

orang atau 1 dari 5 kematian yang terjadi akibat kanker paru. Kanker paru

merupakan jenis kanker yang menduduki urutan kedua setelah kanker payudara di

negara Eropa yang dimana lebih dari 470.000 orang telah terdiagnosis kanker paru

sejak tahun 2018.7

Di Indonesia penyakit kanker paru cenderung terjadi peningkatan dalam

beberapa tahun terakhir. Di Indonesia kanker paru menduduki peringkat ketiga

(9,89%) dari kanker payudara dan kanker serviks. Kanker yang paling banyak

diderita oleh pasien pria adalah kanker paru-paru sebesar 16,77% sedangkan

wanita yang mengalami kanker paru-paru sebesar 4,46%. Lebih dari 70% pasien

kanker paru di Indonesia masuk dalam usia produktif yaitu 59 tahun atau jauh

lebih muda. Terdapat sebuah hubungan antara peningkatan jumlah penderita

kanker paru berusia muda dengan peningkatan jumlah perokok berusia muda.

Telah diketahui bahwa kualitas hidup pasien dengan kanker paru lebih rendah dari

kanker lainnya.8,9

Subtipe histopatologi kanker paru yang terbanyak di Indonesia adalah subtipe

Squamosa Cel Carsinoma (SCC), faktor risiko yang mendasari terjadinya kanker

paru adalah rokok, rokok yang belum menggunakan filter akan membuat asap

rokok hanya terhirup dangkal dan hasil zat-zat pembakaran yang bersifat

karsinogenik akan terdeposisi di trakea. Sedangkan rokok yang sudah

menggunakan filter akan mengurangi kandungan nikotin dan menyaring hasil zat

pembakaran menjadi lebih halus, sehingga zat tersebut dapat terhirup lebih dalam

6
dan terdeposisi di perifer bronkus dan menyebabkan terbentuknya

adenokarsinoma. Kanker paru dapat mengenai wanita yang tidak pernah merokok

namun sebagian besar merupakan second hand smoker atau perokok pasif juga

mendapatkan hasil yang sama yaitu keganasan pada paru subtipe adenokarsinoma.

Selain itu paparan asbes juga dapat menyebabkan terjadinya kanker paru subtipe

adenokarsinoma. Oleh karena itu, patofisiologi terbentuknya subtipe histopatologi

adenokarsinoma tidak hanya terbatas pada penggunaan filter di rokok akan tetapi

tergantung juga pada komposisi zat karsinongenik yang terpapar.10

7
BAB III

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

A. ETIOLOGI

Saat ini prevalensi merokok sudah mulai menurun, namun angka kejadian

kanker paru-paru masih terus meningkat pada orang-orang yang tidak

merokok. Sehingga penting untuk mengetahui perjalanan dari kanker paru.

Meskipun saat ini tembakau pada rokok masih menjadi penyebab utama

terjanya kanker paru-paru, namun kita harus mengetahui faktor risiko lain

yang dapat menyebabkan terjadinya kanker paru, agar pencegahan terhadap

kanker paru dapat dilaksanakan dengan menghindari faktor risiko yang ada.

Adapun yang menjadi faktor risiko terjadinya kanker paru yaitu :11

1. Merokok

Penggunaan tembakau yang terdapat di dalam rokok terus mengalami

peningkatan dengan rata-rata orang dewasa yang merokok kurang dari 100

batang pada tahun 1900 dengan perkiraan maksimum sekitar 4400 batang

pada tahun 1960. Layanan Kesehatan Amerika Serikat melaporkan efek

buruk rokok terhadap kesehatan dijumpai peningkatan angka kematian

pada laki-laki perokok yaitu 70% dan peningkatan kematian minimal pada

wanita. Sejak adanya laporan tersebut insidensi perokok sudah mulai

menurun dari 20,8% pada tahun 2005 menjadi 14% pada tahun 2017.11

Pada tahun 1912 Adler melaporkan dari 374 kasus kanker paru di

Amerika Serikat dan Eropa yang telah diautopsi ditemukan insidensi

kanker paru jauh lebih tinggi pada perokok dibandingkan bukan perokok.

8
Pada tahun 1950 ada dua studi penting yang menyimpulkan bahwa

penggunaan tembakau secara berlebihan dan berkepanjangan merupakan

faktor utama yang menginduksi terjadinya kanker paru, kanker paru-paru

pada bukan perokok saat ini jarang terjadi dan efek merokok terhadap

kejadian kanker paru akan terlihat dalam waktu 10 tahun yang akan

datang.11

2. Zat karsinogenik tembakau

Asap rokok dari tembakau terdiri dari suatu senyawa gas dan pertikulat.

Asap utama yang dihasilkan yang dihirup merupakan sumber paparan asap

bagi perokok dan akan bergabung dengan udara lingkungan sehingga

menyebabkan asap rokok pada lingkungan. Nikotin merupakan zat utama

bagi perokok agar terus kecanduan tembakau dari rokok. Sedangkan TAR

(Total Particulate Matter) menjadi komponen utama penyebab terjadinya

kanker paru, ada lebih dari 4000 zat kimia yang terkandung dalam asap

rokok. Badan internasional yang meneliti seputar kanker mengidentifikasi

setidaknya ada 50 zat karsinogenik dalam asap rokok.11

Asap utama yang dihembuskan oleh perokok mengandung banyak zat

karsinogenik termasuk hidrokarbon aromatik polisiklik, amina aromatik, N

nitrosamin, dan senyawa organik dan anorganik lainnya, seperti benzena,

vinil klorida, arsenik, dan kromium. Hidrokarbon aromatic polikistik dan

N nitrosamin akan diaktivasi oleh sistem metabolik tubuh dan

mengubahnya menjadi senyawa karsinogenik. Selain itu bahan radioaktif

9
seperti radon dan produk peluruhannya, bismut, serta polonium, juga ada

dalam asap tembakau.11

3. Asap tembakau pada lingkungan

Asap rokok yang ada di lingkungan diketahui berkonstribusi terhadap

peningkatan risiko terjadinya kanker paru. Asap rokok yang ada di

lingkungan menyebabkan orang-orang yang menghirupnya dapat terkena

kanker paru walaupun dia tidak mengkonsumsi rokok. Setidaknya terdapat

17% kasus kanker paru yang tidak memiliki riwayat merokok sama sekali

dan pada kasus ini lebih sering mengenai perempuan, itulah yang

menyebabkan kanker paru dapat dijumpai pada wanita. Berdasarkan studi

epidemiologi dijumpai kasus kanker paru sebesar 25% pada bukan

perokok namun tinggal bersama dengan perokok. Asap rokok yang ada di

lingkungan dan asap yang berasal dari hasil pembakaran juga mengandung

zat karsinogenik seperti benzena, benzo-a-piren, dan 4-

(metilnitrosamino).11

4. Polusi Udara

Polusi udara merupakan masalah yang paling umum dijumpai di dunia

khususnya pada negara-negara yang tingkat industrisasinya jauh lebih

tinggi. Studi epidemiologis mencatat bahwa polusi udara mengandung

belerang dan sulfur dioksida yang dimana zat ini dapat menjadi faktor

risiko terjadinya kanker paru.11

10
5. Uranium, Radium dan Radon

Uranium, radium dan radon umumnya ditemukan dalam tanah,

bebatuan serta area pertambangan. Radon merupakan radiasi alfa yang

dapat menyebabkan kerusakan epitel pada saluran pernapasan.11

6. Occupational Exposures

Occupational exposure yang mengandung partikel arsenik, asbes,

berilium, kadmium, klorometil eter, kromium, nikel, radon, silika, dan

vinil klorida telah terbukti menjadi zat karsinogenik yang menyebabkan

kanker paru. Sekitar 6.800 hingga 17.000 kasus kanker paru terjadi akibat

paparan zat kimia selama berada ditempat kerja.11

Asbes merupakan mineral alami yang terdiri dari 2 jenis yaitu

serpentine (chrysotile) dan amphibole (amosite, crocidolite, serta

tremolite). Asbes telah digunakan selama berabad-abad karena sifatnya

yang kuat dan tahan api, sehingga berguna untuk bahan konstruksi.

Beberapa berpendapat bahwa asbestosis adalah prekursor yang dapat

menyebabkan terjadinya kanker paru-paru, selain itu yang lain juga

melaporkan asbes dapat menjadi zat karsinogenik walaupun tidak

didahului penyakit asbestosis.11

B. PATOFISIOLOGI

Pada umumnya, penyebab terjadinya kanker paru belum diketahui secara

pasti, namun diduga paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat

karsinogenik merupakan faktor risiko utama selain adanya faktor lain seperti

11
kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain. Lombard dan Doering pada tahun

1928 yang dikutib dari Tahir 2020, telah melaporkan tingginya insiden

kanker paru pada perokok dibandingkan dengan yang tidak merokok. Kanker

paru pada orang yang tidak merokok dapat disebabkan oleh polusi udara,

paparan zat karsinogenik di tempat kerja, perokok pasif, atau faktor lainnya.

Kanker paru yang penyebabnya tidak berhubungan dengan paparan inhalasi

cenderung terjadi pada usia muda, seringkali karena terjadinya perubahan gen

tertentu. Perubahan ini dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak

normal dan dapat berlanjut menjadi kanker. Kanker dapat disebabkan oleh

perubahan DNA yang mengaktifkan onkogen atau mematikan gen supresor

tumor.3

Beberapa orang mewarisi mutasi DNA dari orang tua mereka yang sangat

meningkatkan risiko mereka untuk menderita kanker tertentu. Secara umum

karsinogenesis dapat dibedakan menjadi empat tahap, yaitu tumor initiation,

tumor promotion, malignant conversion, dan tumor progression. Sebuah

penelitian menunjukkan individu yang memiliki kelainan genetik, seperti

mutasi germ-line pada gen p-53, retinoblastoma (gen Rb), atau gen

epidermal-growth factor receptor (EGFR) rentan mengalami kanker paru

walaupun tanpa pajanan faktor lingkungan.12

Tumor inisiasi, terjadi akibat kerusakan genetik ireversibel pada sel normal

seperti kelainan/perubahan struktur DNA yang akan mengaktivasi gen tumor

suppressor. Dalam hal ini, komponen asap rokok terbukti memiliki peran

sebagai tumor initiator. 3

12
Tahap selanjutnya tumor promotion, proliferasi klon sel tertentu yang telah

terinisasi. Dimana semakin sering sel membelah, maka akan memicu

terjadinya mutasi semakin besar dan terakumulasi sehingga sel-sel tersebut

menjadi ganas (lesi preneoplastik). Zat yang dapat menyebabkan tumor

promotion pada kanker paru yaitu asap rokok, dichloro-diphenyl-

trichloroethane (DDT), dan dioksin.3

Malignant conversion, kerusakan atau perubahan genetik yang tidak

terkendali akan menyebabkan lesi preneoplastik berubah menjadi kelompok

sel yang memiliki fenotip ganas, seperti proliferasi berlebihan dan tidak

terkendali, tidak lagi membutuhkan hormon pertumbuhan, atau kemampuan

menghindar dari proses apoptosis yang dimediasi oleh aktivasi gen proto-

onkogen maupun inaktivasi gen tumor suppressor yang berlebihan dan tidak

terkendali.3

Tahap terakhir tumor progression, sel-sel tersebut telah menjadi ganas dan

cenderung agresif seiring berjalannya waktu seperti mulai terjadi

angiogenesis, proses invasi, infiltrasi ke jaringan sekitar, dan metastasis ke

jaringan lain.3

13
BAB IV

ANATOMI DAN FISIOLOGI

A. ANATOMI PARU

Saluran napas atau saluran pernapasan merupakan organ yang berperan

menghantarkan udara selama proses ventilasi berlangsung. Saluran

pernapasan dimulai dari hidung sampai ke dalam alveoli paru. Paru-paru

manusia terletak pada rongga dada, bentuk dari paru-paru adalah berbentuk

kerucut yang apexnya berada di atas tulang iga pertama dan dasarnya berada

pada diafragma. Paru-paru terbagi menjadi dua bagian yaitu, paru kanan dan

paru kiri. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus sedangkan paru-paru kiri

mempunyai dua lobus. Setiap paru-paru terbagi lagi menjadi beberapa sub-

bagian, terdapat sekitar sepuluh unit terkecil yang disebut bronchopulmonary

segments. Paru-paru bagian kanan dan bagian kiri dipisahkan oleh sebuah

ruang yang disebut mediastinum.13

Gambar 1. (A) Jumlah lobus kanan paru (B) Jumlah lobus kiri paru14

Paru-paru manusia dibungkus oleh selaput tipis yang disebut sebagai

pleura. Pleura terbagi menjadi pleura viseralis dan pleura pariental. Pleura

viseralis yaitu selaput tipis yang langsung membungkus paru, sedangkan

14
pleura parietal yaitu selaput yang menempel pada rongga dada. Diantara

kedua pleura terdapat rongga yang disebut cavum pleura.13

Gambar 2. (A) Segmen bronkopulmonal kanan. (B) Segmen

bronkopulmonal kiri14

Saluran pernapasan terbagi atas dua berdasarkan lokasinya yaitu saluran

pernapasan atas dan saluran pernapasan bawah :15

1. Saluran pernapasan atas

a. Faring

Merupakan bagian dari saluran pernapasan atas yang dilapisi oleh

selaput lendir. Faring diinervasi oleh nervus kranial VII, IX, X dan

XII. Faring teridiri dari : 15

1) Nasofaring atau rhinofaring, merupakan bagian atas dari faring

yang terletak dibelakang hidung. Nasofaring berbentuk seperti

sebuah kotak berongga. Nasofaring terletak dibagian lunak

palatum (palatum mole) dan terletak dibelakang hidung.15

2) Orofaring berfungsi sebagai penghubung antara nasofaring

dengan hipofaring.15

15
3) Hipofaring bertugas sebagai penghubung antara esophagus dan

laring.15

b. Laring

Laring merupakan organ yang menghubungkan antara faring dan

trakea. Laring dibentuk oleh tulang rawan cricoid, thyroid, epiglottitis,

arythenoid, corniculate dan cuneiformis. Selain itu dilaring juga

terdapat organ penting seperti epiglotis dan pita suara. Laring

diinervasi oleh nervus vagus yang merupakan nervus kranial X.15

2. Saluran pernapasan bawah

a. Trakea merukan organ yang dilapisi oleh sel epitel kolumnair berisilia

dan tersusun atas kartilago yang menyerupai huruf C. trakea akan

bercabang menjadi dua yaitu sinistra dan dextra dengan pertemuannya

disebut sebagai bifurcation trakea.15

Gambar 3. Ilustrasi trakea yang tersusun dari kartilago berbentuk

huruf C14

b. Bronkus terdiri atas tiga, bronkus utama yaitu sinistra dan dextra.

Bronkus utama kanan memiliki diameter lebih lebar dan cenderung

vertikal dibandingkan dengan bronkus kiri, bonkus lobaris terdiri dari

16
5 bagian yaitu 2 kiri paru dan 3 di kanan paru dan bronkus segmental

menghantarkan ventilasi menuju segmen bronkopulmonal dari setiap

paru.15

Gambar 4. Bronkografi proyeksi AP menunjukan percabangan

bronkus dan bronkiolus kiri14

c. Bronkiolus memiliki diameter 1 mm serta tidak memiliki tulang

rawan, bronkiolus dilapisi oleh epitel kolumnair tetapi sel-sel

lapisannya sudah tidak mengandung kelenjar seromukosa sehingga

mukus tidak akan dihasilkan. Bronkiolus terminal kadang-kadang

memiliki alveoli dan dapat menghasilkan surfaktan. Masing-masing

dari bronkiolus respiratorius akan membentuk 2 hingga 11 duktus

alveolar.15

d. Alveolar merupakan bagian akhir dari saluran pernapasan yang

dilapisi oleh sel pneumosit yang berfungsi sebagai makrofag serta

dekat dengan kapiler darah. Pada alveolar terdapat surfaktan yang

akan mengahsilkan sel pneumositik tipe II dan sel clara. Duktus

17
alveolus merupakan kumpulan dari alveoli. Duktus alveolus bersama-

sama dengan kapiler darah akan membentuk barrier.15

Gambar 5. (A) Model saluran napas manusia berdasarkan data CT

scan dengan resolusi tinggi. (B) Penampangan bagian anterior dari

laring, trakea, bronkus dan bronkiolus14,16

B. FISIOLOGI PARU

Sistem pernapasan disusun mulai dari hidung, orofaring, laring, trakea,

bronkus, brokiolus dan paru-paru. Paru-paru merupakan organ utama dari

sistem pernapasan yang berfungsi paling besar untuk memfasilitasi pertukran

antara oksigen yang berasal dari lingkungan luar dan masuk kedalam aliran

darah. Proses pertukaran udara ini berlangsung didalam alveoli, yang dimana

alveoli ini merupakan membran kapiler yang mengatur pertukaran oksigen

dengan carbon dioxida dan dibawah kedalam sistem sirkulasi untuk

membantu perfusi jaringan.17

Ada beberapa otot pernapasan yang membantu proses inspirasi dan

ekspirasi seperti otot diafragma yang dipersarafi oleh nervus frenikus yang

berasal dari C3-C5 dan otot intrakostalis. Otot seperti sternocleidomastoideus

18
dan otot scalenus merupakan otot pernapasan tambahan apabila tubuh

mengalami distress pernapasan. Otot-otot pernapasan membantu menciptakan

tekanan negatif di dalam kavum toraks. Proses inspirasi terjadi apabila

tekanan kavum toraks lebih negatif atau lebih rendah dibandingkan dengan

atmosfer, sedangkan proses ekspirasi terjadi apabila tekanan di dalam kavum

toraks lebih positif atau lebih tinggi dibandingkan dengan atmosfer. 17

Ada beberapa macam volume dan kapasitas paru yang penting untuk

diketahui yaitu :17

a. Volume cadangan inspirasi merupakan volume udara tambahan yang

masuk kedalam paru-paru setelah proses pernapasan berlangsung

b. Volume tidal merupakan volume udara yang masuk dan keluar dari paru-

paru selama proses pernapasan sedang berlangsung

c. Volume cadangan ekspirasi adalah volume udara yang masih tersisa dan

dapat dihembuskan di akhir proses pernapasan

d. Volume residual merupakan volume udara yang masih tetap berada

didalam paru-paru setelah ekspirasi maksimal

e. Kapasitas inspirasi merupakan volume udara yang masuk kedalam paru

setelah inspirasi maksimal atau sama dengan volume cadangan inspirasi

ditambah dengan volume tidal

f. Kapasitas Residual Fungsional merupakan volume udara yang tersisa

didalam paru-paru setelah dilakukannya ekspirasi maksimal atau sama

dengan voume cadangan ekspirasi diambah dengan volume residual

19
g. Kapasitas vital merupakan jumlah udara maksimum yang apat

dikeluarkan oleh paru setelah inspirasi maksimal

h. Kapasitas total paru merupakan volume maksimum paru yang dapat

dikembangkan sebesar mungkin dengan inspirasi paksa atau sama dengan

kapasitas vital ditambah dengan volume residu

i. Volume ekspirasi paksa merupakan volume udara yang dapat dikeluarkan

dalam 1 detik dari ekspirasi paksa

20
BAB V

DIAGNOSIS

A. ANAMNESIS

Gejala klinis kanker paru tidak begitu khas tetapi batuk, sesak napas, atau

nyeri dada (gejala respirasi) yang muncul lama atau tidak kunjung sembuh

dengan pengobatan biasa pada kelompok yang berisiko terkena kanker paru

harus ditindak lanjuti untuk prosedur diagnosis kanker paru. Gejala yang

berkaitan dengan pertumbuhan tumor langsung, seperti batuk, hemoptisis,

nyeri dada dan sesak napas/stridor. Batuk merupakan gejala tersering (60-

70%) pada kanker paru. Gejala lain berkaitan dengan pertumbuhan kanker

secara regional, seperti efusi pleura, efusi perikard, sindorm vena cava

superior, disfagia, pancoast syndrome, paralisis diafragma. Pancoast

syndrome merupakan kumpulan gejala dari kanker paru yang tumbuh di

sulkus superior, yang menyebabkan invasi pleksus brakial sehingga

menyebabkan nyeri pada lengan.18

Keluhan suara serak menandakan telah terjadi kelumpuhan saraf atau

gangguan pada pita suara. Gejala klinis sistemik yang juga kadang menyertai

adalah penurunan berat badan dalam waktu yang singkat, nafsu makan

menurun, demam hilang timbul. Gejala yang berkaitan dengan gangguan

neurologis (sakit kepala, lemah atau parese) sering terjadi apabila telah terjadi

metastasis ke otak atau tulang belakang. Nyeri tulang sering menjadi gejala

awal pada kanker yang telah menyebar ke tulang.18

21
B. PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik, tanda yang dapat ditemukan pada kanker paru

dapat bervariasi tergantung dari letak, ukuran tumor dan penyebarannya.

Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) supraklavikula, leher dan aksila

merupakan tanda bahwa telah terjadi penyebaran ke KGB atau tumor di

dinding dada, kepala atau lokasi lain juga menjadi petanda penyebaran. Sesak

napas dengan temuan suara napas yang abnormal pada pemeriksaan fisik

yang didapat jika terdapat massa yang besar, efusi pleura atau atelectasis

dapat dijumpai, dengan cara apabila dilakukan perkusi maka pada efusi pleura

akan terdengar bunyi redup. Venektasi (pelebaran vena) di dinding dada

dengan pembengkakan (edema) pada wajah, leher dan lengan yang terjadi

karena adanya bendungan pada vena cava superior. Sindroma Horner sering

terjadi pada tumor yang terletak si apeks paru atau biasa disebut dengan

pancoast tumor.18

Thrombus pada vena di ekstremitas ditandai dengan adanya edema disertai

nyeri pada anggota gerak dan gangguan sistem hemostatis yang ditunjukan

dengan peningkatan kadar D-dimer merupakan tanda telah terjadinya

bendungan vena dalam (DVT). Fraktur patologik dapat terjadi pada kanker

yang bermetastasis ke tulang. Tanda-tanda gangguan neurologis akan didapat

jika kanker sudah menyebar ke otak atau tulang belakang18

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

22
1. Spesimen sputum

Pemeriksaan sputum merupakan pemeriksaan sitologi yang

menggunakan dahak sebagai sampel. Sampel ini terutama dapat

membantu menegakan SCC yang terjadi pada bronkus. Sampel dahak

jarang menegakan diagnosis adenokarsinoma apabila ukurannya kurang

dari 2 mm. Sensitifitas sampel dahak dalam menegakan diagnosis kanker

paru hanya 20-30%.19

2. Radiologi

a. X-Ray

Pemeriksaan Chest X–Ray (CXR) merupakan pemeriksaan utama

yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya tumor pada paru.

Keuntungan CXR hanya memiliki efek samping yang minimal serta

jauh lebih murah dibandingkan modalitas lainnya. Namun CXR

memiliki kekurangan yaitu tidak mampu membedakan antara tumor

jinak maupun tumor ganas pada paru. Pada pemeriksaan CXR, tumor

paru dapat dijumpai pada bagian sentral atau perifer paru.20

Tumor pada sentral paru umumnya akan memberikan gambaran

massa disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening pada hilus,

pembesaran mediastinum, obstruksi bronkus bahkan bisa dijumpai

kolaps pada paru. Selain itu konsolidasi pada parenkim paru mungkin

dijumpai sebagai tanda terdapatnya tumor, mengingat pasien yang

mengalami tumor paru dapat dengan mudah terkena infeksi.20

23
Gambar 6. Pemeriksaan CXR menunjukan adanya konsolidasi dan

cavitas pada apex paru kanan20

Gambar 7. Pemeriksaan CXR menunjakan adanya pembesaran pada

mediastinum kiri20

Sedangkan tumor pada perifer paru umumnya akan dijumpai nodul

tunggal pada perifer paru dengan tepi rata serta dapat dijumpai

spikula.20

24
Gambar 8. Pemeriksaan CXR pada pria 67 tahun yang telah

didagnosis NSCLC subtipe SCC. (A). Peningkatan opasitas pada

apex paru yang saling bertumpang tinding dengan os. clavicula serta

sinus costophrenicus menghilang. (B) Beberapa tahun kemudian,

tumor membesar dan mendestruksi tulang iga21

b. CT-Scan

Apabila pada pemeriksaan CXR menunjukan adanya tanda-tanda

keganasan, maka CT-Scan dengan kontras perlu dilakukan untuk

menentukan stadium dan memungkinkan menentukan subtipe dari

kanker paru. CT-Scan memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan

dengan CXR yaitu 95,7%% dan spesifisitas 95%.22

Computet Tomography (CT) merupakan salah satu modalitas yang

dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit yang ada di paru-paru.

Saat ini tingkat akuransi CT-scan sudah sangat meningkat sehingga

memudahkan kita dalam mendiagnosis kanker paru.22

25
A B

Gambar 9. (A) bronkogenik karsinoma dijumpai adanya nodul. (B)

tumor jinak paru ditandai adanya nodul dengan tepi rata dan terdapat

kalsifikasi ditengahnya23

Sekitar 90-95% SCLC dapat dijumpai pada lobus dan bronkus,

sehingga pada pemeriksaan CT-Scan dapat dijumpai adanya massa

pada mediastinum atau parenkim paru. Kurang dari 5% SCLC

bermanifestasi sebagai nodul perifer paru tanpa disertai pembesaran

kelenjar getah bening. Temuan CT-scan antara SCLC perifer dengan

NSCLC perifer memiliki perbedan. Dimana SCLC akan menunjukan

bronchial cutoff sign, massa dengan densitas homogen, terdapat

pembesaran pada hilus dan kelenjar getah bening mediastinum, serta

dijumpai adanya emfisema. Sekitar 28,6% SCLC merupakan massa

irreguler dengan banyak bentuk yaitu fusiformis, vermiformis atau

berbentuk seperti percabangan.24

26
Gambar 10. Perbedaan antara SCLC perifer dan NSCLC perifer

dengan menggunakan CT-Scan pada laki-laki usia 76 tahun dengan

SCLC (A) nodul ireguler dengan densitas homogen. (B) ukuran nodul

membesar dan terdapat limfadenektasis pada hilus kanan. (C) CT

aksial pada wanita usia 73 tahun dengan NSCLC menunjukkan nodul

berbentuk oval dengan densitas heterogen, dijumpai spikula (D)

lekukan pleura terlihat jelas.24

Pasien dengan kanker paru baik telah maupun belum mendapatkan

komoterapi, radioterapi atau imunoterapi sangat memungkinkan

terkena infeksi, salah satunya COVID-19 yang saat ini menjadi

pandemi. Ground glass opacities dan konsolidasi merupakan salah

satu tanda yang dapat dijumpai pada kasus COVID-19. CT Angiografi

perlu dipertimbangkan mengingat risiko terjadinya tromboemboli

pada paru yang disebabkan oleh gangguan sistem koagulasi akibat

adanya proses infeksi.25

27
Gambar 11. Pria 67 tahun yang telah didagnosa adenokarsinoma dan

dilakukan pemeriksaan CT axial menunjukan adanya massa pada

apex lobus kiri disertai adanya ground glass appearance pada cavum

pleura kanan.25

c. MRI

Magnetic Resonance Imaging (MRI) mengalami kemajuan pesat

dalam mendiagnosis dan membantu pengobatan pada setiap penyakit.

MRI jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan CT-scan hal

ini dikarenakan MRI tidak menggunakan zat radioaktif dan tidak

menggunakan radiasi. Spesifisitas MRI dalam mendiagnosa suatu

penyakit khususnya kanker paru yaitu 69-95%.26

28
Gambar 12. Hasil MRI menunjukan adanya nodul pada paru-paru

kanan.26

Kemajuan dalam MRI saat ini dapat dengan mudah mendiagnosis

kanker paru, misalnya turbospin echo (TSE) merupakan turunan dari

MRI yang dapat dengan cepat dan akurat dalam membedakan udara

yang berada didalam rongga paru-paru dengan jaringan paru-paru,

sehingga dengan mudahnya nodul ganas dapat terlihat dalam

pencitraan.27

Gambar 13. Gambaran tumor paru yang sedang dalam pengobatan

radioterapi dengan panduan MRI27

MRI jauh lebih baik dalam memvisualisasi jaringan lunak seperti

jantung, pembuluh darah mediastinum dan perikardium dibandingkn

dengan CT-scan. MRI memiliki keuntungan khusus dalam menilai

invasi tumor kedalam atrium kiri, vena pulmonalis, vena cava inferior

maupun pericardium. Pencitraan Diffusion Weighted Imaging (DWI)

dapat dilakukan pada pasien stroke, penyakit demielinisasi maupun

keganasan. DWI memiliki prinsip yaitu melihat pergerakan molekul

air di dalam suatu jaringan. Difusi molekul air pada tumor ganas

lebih rendah dibandingkan dengan tumor jinak.28

29
Meskipun DWI dapat bermanfaat dalam mendiagnosis banding

kanker paru-paru, namun kemampuan diagnostiknya dalam penyakit

lain tidak begitu sempurna. DWI memiliki kelemahan dalam

mendiagnosis abses paru dan infeksi mikobakteri. Keunggulan T2WI

dapat menunjukan cairan intensitas tinggi yang terkait dengan lesi

organ, seperti nekrosis intratumoral, kista, lendir, perdarahan, atau

edema. Sehingga gabungan penilaian DWI dan T2WI sangat baik

untuk mendeteksi kanker paru.28

Gambar 14. Kombinasi DWI dan T2WI menunjukan

adenokarsinoma papilaris pada panah kuning28

d. PET Scan

Dalam beberapa tahun terakhir modalitas CT, PET dan MRI telah

menjadi sarana utama dalam mendiagnosis suatu penyakit. Positron

Emission Tomography (PET) memiliki keunggulan yaitu dapat

mmembatu dalam memprediksi suatu penyakit, tingkat kelangsungan

hidup dan respon terhadap terapi. Selain itu PET scan juga memiliki

kelebihan sebagai mediator untuk melakukan terapi pada kanker paru

tanpa melakukan tindakan invasive.29

30
Gambar 15. Pasien 72 tahun dengan diagnose NSCLC yang telah

bermetastasis. (A1) metastasis pada kelenjar limfa dan pleural. (A2)

metastasis ke kelenjar adrenal kiri dan (A3) metastasi ketulang30

PET dapat digunakan apabila pasien sesuai dengan indikasi,

indikasi penggunaan PET scan yaitu apabila kanker paru NSCLC

berespon terhadap pengobatan kemoterapi, nodul paru yang berukuran

diatas 8 mm, untuk menilai respon terapi setelah dilakukan kemoterapi

atau radioterapi, pasien SCLC yang memungkinkan terjadinya

metastasis jauh.31

Gambar 16. Seorang laki-laki 67 tahun datang dengan keluhan sesak

dan hemoptosis serta terbukti secara histopatologis menderita NSCLC.

(C,D) PET/CT mengungkapkan serapan FDG positif terdeteksi di

dalam nodul paru32

31
e. Ultra Sound Graphy Endobronchial dan Endoskopi

Endobronchial

Pedoman praktek klinik merekomendasikan pengambilan sampel

pada mediastinum yaitu dengan menggunakan teknik invasif minimal

dengan menggunakan aspirasi jarum halus seperti USG endobronkial

(EBUS) atau endoskopi endobronkial (EUS).33

Gambar 17. (A) Bronkoskopi menunjukan adanya massa

pedinkulated pada bronkus kanan bawah. (B) setelah kemoterapi

massa tumor telah hilang. (C,D) segmen superior lobus paru kanan

menunjukan adanya lesi SCC34,35

3. Histopatologi dan Imunohistokimia

Pemeriksaan yang menjadi gold standar dari semua jenis kanker

terutama kanker paru yaitu pemeriksaan histopatologi dan

imunohistokimia. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menegakan diagnosis

kanker paru berdasarkan subtipe dengan melihat jenis sel.19

32
Gambar 18. (A) gambaran SCLC yang dimana sel-sel berdiferensiasi

berukuran kecil serta memiliki sitoplasma yang sedikit. (B) Fenomena

azzopardi pada panah hitam36

Diagnosis kasus tumor paru disarankan dengan menggunakan

pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia. Biasanya, diagnosis

yang karsinoma paru dapat ditegakan apabila jenis sampel yang diambil

adalah jaringan melalui proses pembedahan karena sulit untuk

melakukan pemeriksaan morfologi dan imunohistokimia untuk spesimen

kecil atau hancur atau sampel sitologi. 37

Gambar 19. Gambaran histopatologi dan imunohistokimia pada pasien

dengan diagnosis kanker paru. (A) kanker paru tipe NSCLC. (B) kanker

paru tipe SCLC37

33
BAB VI

DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Pada tahun 2021 WHO mengklasifikasikan tumor paru berdasarkan tampilan

morfologi, pemeriksaan imunohistokimia dan pemeriksaan patologi molekuler.

Penegakan diagnosa tumor paru harus dilakukan secara multidisiplin, mulai dari

anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang untuk

mengoptimalkan suatu pengobatan. 38

Pemeriksaan radiologi dapat memberikan gambaran morfologi pada paru-paru

yang sakit. Dalam menegakan diagnosa banding pada kasus tumor paru dapat

menggunakan CT-scan, berikut diagnosa banding tumor paru yaitu :38

A. Adenokarsinoma precursor glandular lesion

Adenokarsinoma in situ (AIS) dan atypical adenomatous hyperplasia (AAH)

merupakan lesi pra-invasif yang dari pemeriksaan CT-scan akan dijumpai

gambaran ground grass app. Umumnya AAH berukuran lebih besar yaitu

kurang dari 5 mm dibandingkan AIS dengan ukuran kurang dari 3 mm.

Perbedaan ground glass app pada lesi pra invasif dengan covid-19 yaitu:

1. Opasitas ground glass pada lesi pra invasif bersifat fokal atau tunggal

2. Ukurannya akan cenderung samikin membesar

3. Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi pneumonia covid-19

34
Gambar 20. (A) Panah hitam menunjukan adanya opasitas fokal yamg

merupakan lesi pra-invasif. (B) Pneumonitis akibat radiasi paru

memberikan gambaran kekeruhan pada ground glass. (C-D) ground glass

yang tersebar rata dikedua paru menuntukan adanya proses metastasis38

B. Lymphangitic Carcinomatosis

Kanker ini terjadi oleh karena penyebaran dari kanker adenokarsinoma.

Gambaran radiologi yang dapat dijumpai pada limfangitis karsinomaosa yaitu

adanya massa solid pada lapang paru, berifat unilateral namun homolateral

pada kanker paru sebagai contoh apabila terdapat kanker pada paru kiri maka

linfangitis karsinoma akan dijumpai pada bagian kiri, adanya pola crazy

paving serta adanya limfadenomegali pada mediastinum.38

35
Gambar 21. (A) limfangitis karsinomatosa, panah putih menunjukan adanya

ground glass pada subpleural menandakan adanya infeksi COVID-19. (B)

pneumonitis radiasi yang menunjukan pola crazy paving pada bintang

hitam.38

36
BAB VII

KOMPLIKASI

Small Cell Lung Cencer (SCLC) jauh lebih berespon terhadap pengobatan

kemoterapi dibandingkan degan Non Small Cell Lung Cencer (NSCLC), sehingga

pada SCLC lebih jarang dilakukan tindakan operatif. Komplikasi yang dapat

terjadi pada NSCLC lebih sering mengarah ke sistem saraf pusat. Adapun

komplikasinya yaitu :39

1. Metastase Leptomengeal

Matastasi leptomeningeal (LM) dapat terjadi yaitu 3% sampai 5% pada

kasus NSCLC, yang dimana metastasis ini mengenai lapisan menings yaitu

piamater, arachnoid, dan subarachnoid serta metastasis ke cairan

serebrospinal. Umumnya gejala LM yang sering dijumpai yaitu kelumpuhan

dari sistem saraf kranial disertai rasa sakit kepala yang begitu hebat,

perubahan status mental, mual dan kelemahan motorik. LM dapat ditegakan

dari gejala klinik disertai dengan pemeriksaan penunjang yakni Magnetic

Resonance Imaging (MRI) dan pemeriksaan Liquor Cerebro Spinal (LCS). 39

Gambar 22. Seorang wanita berusia 40 tahun yang menderita leptomeningeal

metastase39

37
2. Epidural Kompresi

Kanker paru merupakan penyebab tersering terjadinya kompresi epidural

pada medulla spinalis yang dijumpai sekitar 25% kasus dari NSCLC.

Umumnya pasien akan mengeluhkan nyeri hebat disertai dengan difisit

sensorik dan motorik, selain itu dapat juga dijumpai keluhan disfungsi pada

usus dan kandung kemih. Sindroma kauda equina juga dapat terjadi apabila

kompresi ini mengenai segmen lumbosacral.39

Gambar 23. Laki-laki berusia 65 tahun yang mebgalami nekrosis pada

region frontal sinistra akibat adenokarsinoma paru39

3. Gangguan Cerebrovaskuler

Gangguan serebrovaskuler seperti stroke iskemik dan stroke hemoragik

lebih dapat mengenai penderita kanker paru. Insidensi stroke jauh lebih tinggi

pada penderita dengan kanker paru-paru dibandingkan dengan pasien yang

tidak menderita kanker paru. Sebagian stroke iskemik yang terjadi pada kasus

kanker paru diakibatkan oleh adanya kardioemboli. Kardioemboli terjadi oleh

karena hiperkoagulasi yang disebabkan oleh sel kanker.39

38
Kasus stroke hemoragik umumnya lebih jarang dijumpai pada penderita

kanker paru dibandingkan dengan stroke iskemik. Insidensi stroke hemoragik

pada kasus kanker paru yaitu 1,17%, hal ini terjadi oleh karena adanya

thrombosis pada vena serebral, trombositopenia, gangguan koagulasi, infeksi

dan toksisitas akibat pengobatan seperti nekrosis serebral yang diakibatkan

oleh terapi radiasi.39

39
BAB VIII

PENGOBATAN

A. Non Small Cell Lung Cancer

Pengobatan NSCLC tergantung pada kondisi pasien dan stadium tumor.

Pasien NSCLC dengan stadium I, II dan III umumnya diterapi dengan tujuan

menyembuhkan penderita dengan cara operasi, kemoterapi, radioterapi atau

terapi kombinasi seperti pembedahan dengan kemoterapi/radiasi. Tindakan

operatif tidak dianjurkan pada NSCLC stadium IV sehingga pada stadium ini

pengobatan yang dilakukan hanya pemberian terapi sistemik.40

Lobektomi merupakan pilihan utama dari operasi dengan NSCLC stadium

IA, apabila NSCLC dijumpai berstadium IB, II atau III harus menjalami

kemoterapi adjuvant terlebih dahulu. Pada pasien stadium IB, II dan III

pendekatan multidisiplin harus dilakukan yaitu konsultasi sesama dokter baik

itu dokter spesialis bedah toraks, dokter onkologi serta dokter radiologi

subspesialis onkologi untuk memutuskan pendekatan terapi yang optimal.

NSCLC stadium IV wajib dilakukan biopsi dengan tujuan menganalisis

mutasi sel yang dapat terjadi, sebagai contoh jika dijumpai Epidermal Growth

Factor Receptor (EGFR) maka diberikan obat yang menginhibisi tirosin

kinase seperti osimertinib, erlotinib, gefitinib dan afatinib atau apabila pada

stadium IV dijumpai adanya Anaplastic Lymphoma Kinase (ALK) maka

terapi yang dapat diberikan yaitu golongan obat ALK tirosin kinase

inhibitor.40

40
B. Small Cell Lung Cancer

Perawatan pada kasus SCLC tergantung pada stadium, pasien dengan

SCLC stadium awal berhak mendapatkan terapi radiasi dan kemoterapi

dengan tujuan sebagai kuratif. Sedangkan pasien dengan SCLC stadium akhir

pengobatan kemoterapi dan radiasi yang diberikan hanya untuk tujuan paliatif

atau meningkatkan kualitas hidup pasien.41

1. Stadium awal

Kebanyakan kasus SCLC datang kerumah sakit dengan stadium

lanjut, hanya sebagian kecil saja SCLC datang dengan stadium awal atau

T1-2 dan N0. Pasien dengan stadium awal berhak dilakukan lobektomi

disertai dengan pengambilan sampel dari mediastinum untuk dilakukan

pemeriksaan patologi anatomi (PA). Jika hasil PA menunjukan adanya

invasi ke nodus limfatikus maka pemberian kemoterapi adjuvant perlu

diberikan. Jika pasien dengan stadium awal SCLC tidak dapat menerima

tindakan pembedahan, maka stereotactic ablative body therapy (SABR)

mungkin dapat diberikan.41

Terapi cisplatin dan etoposida merupakan obat radiasi yang dapat

dikombinasikan dengan kemoterapi agar dapat meningkatkan

kelangsungan hidup pasien. Iradiasi kranial profilaksis (PCI)

diindikasikan untuk pasien dengan respons terapi yang baik. PCI

memiliki keuntungan yaitu dapat meningkatkan kelangsungan hidup

secara keseluruhan dan mengurangi kejadian metastasis ke otak.41

41
2. Stadium akhir

Pengobatan utama untuk stadium ini yaitu dengan menggunakan

kemoterapi, apabila kemoterapi berespon parsial atau total maka perlu

dipertimbangkan penggunaan radiasi. PCI dapat juga digunakan untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien serta mencegah metastasis ke otak. 41

Gambar 24. Alogaritma penatalaksanaan small cell lung carcer42

42
BAB IX

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. 2018. Non Communicable Disease

2. Maryani H, Kristiana L, Paramita A, Andarwati P dan Izza N. 2021.

Pengelompokan Provinsi Berdasarkan Penyakit Menular Dan Penyakit Tidak

Menular Untuk Upaya Pengendalian Penyakit Dengan Pendekatan

Multidimensional Scaling. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 24(3),

Indonesia

3. Tahir FI. 2020. Karakteristik Penderita Kanker Paru Primer Periode Januari

2017 – Desember 2019. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin, Makasar

4. Siddiqui F, Vaqar S and Siddiqui AH. 2022. Lung Cancer. StatPearls

Publishing, Treasure Island (FL), Northwell Health Staten Islan University

Hospital, New York

5. World Health Organization. 2020. Lung

6. Cruz CD, Tanoue LT and Matthay RA. 2013. Lung Cancer: Epidemiology,

Etiology, and Prevention. Journal Clin Chest Med Vol 34(2), USA

7. World Health Organization. 2020. Lung Cancer in Europe

8. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019.

Beban Kanker Di Indonesia

9. Dewi A, Thabray H, Satrya A, Putteri GC, Fattah RA dkk. 2021. Kanker

Paru, Kanker Paling Mematikan Di Indonesia: Apa Saja Yang Telah Kita

43
Atasi Dan Apa Yang Kita Bisa Lakukan. Pusat Kajian Jaminan Sosial

Universitas Indonesia

10. Purnamawati, Tandrian C, Sumbayak EM, dan Kertadjaja W. 2021. Analisis

Kejadian Kanker Paru Primer di Indonesia pada Tahun 2014-2019. Jurnal

Kedokteran Medika Vol 27(2), Jakarta

11. Bade BC and Cruz Della CS. 2020. Lung Cancer 2020 Epidemiology,

Etiology, and Prevention. Clin Chest Med Vol 41, USA

12. Robot RY, Durry MF dan Kairupan CF. 2021. Morfologi, Patogenesis, dan

Imunoterapi Kanker Paru Tipe Adenokarsinoma. Medical Scope Journal Vol

3(1), Manado

13. Chaudhry R and Bordoni B. 2021. Anatomy, Thorax, Lungs. StatPearls

Publishing;Treasure Island. Ross University School Of Medicine, Barbados)

14. Putz R dan Pabst R. 2006. Atlas of Human Anatomy Sobotta Trunk, Viscera

and Lower Limb. Department for Medical Student Information, Germany

15. Ball M, Hossain M and Padalia D. 2021.  Anatomy, Airway. StatPearls

Publishing;Treasure Island (FL). Shahjalal University of Science &

Technology, Bangladesh

16. Islam MS, Paul G, Ong HX, Young PM and Saha SC. 2020. A Review of

Respiratory Anatomical Development, Air Flow Characterization and Particle

Deposition. International Journal of Environmental Research and Public

Health, Australia

17. Haddad M and Sharma S. 2021. Physiology, Lung. StatPearls Publishing ;

Treasure Island (FL). Michigan State University, USA

44
18. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Kanker Paru. Pedoman

Nasional Pelayanan Kedokteran

19. Nooreldeen R and Bach H. 2021. Current and Future Development in Lung

Cancer Diagnosis. International Journal of Molecular Sciences, Columbia

20. Panunzio A and Sartori P. 2020. Lung Cancer and Radiological Imaging.

Journal Current Radiopharmaceuticals Vol 13(3), Italy

21. Choi G, Nam BD, Hwang JH, Kim KU, and Kim HJ. 2020. Missed Lung

Cancers on Chest Radiograph: An Illustrative Review of Common Blind

Spots on Chest Radiograph with Emphasis on Various Radiologic

Presentations of Lung Cancers. The Korean Society of Radiology Journal,

Korea

22. Yasryi HF, Musiyeni MA, Mohsen FY. Khalil EA. 2020. Diagnosis of Lung

Cancer Based on CT Scans Using CNN. International Scientific Conference

of Al-Ayen University, Iraq

23. Ali SA, Tariq A, Khan S, Raza A, et all. 2020. Aggregated Model For Tumor

Identification And 3d Reconstruction Of Lung Using Ct-Scan. Pakistan

24. Zhang X, Fajin LV, Fu B, Lin W, Lin R, et all. 2022. Clinical and Computed

Tomography Characteristics for Early Diagnosis of Peripheral Small-cell

Lung Cancer. Journal Cancer Management and Research, China

25. Anne MC, Dingemans, Ross AS, Abdul RJ, Shawan JR, et all. 2020.

Treatment Guidance for Patients With Lung Cancer During the Coronavirus

2019 Pandemic. Elsevier Journal of Thoracic Oncology Vol 15(7),

Netherlands

45
26. Xia L. 2022. Auxiliary Diagnosis of Lung Cancer with Magnetic Resonance

Imaging Data under Deep Learning. Article Computational and Mathematical

Methods in Medicine, China

27. Sim AJ, Kaza E, Singer L, and Rosenberg SA. 2020. A review of the role of

MRI in diagnosis and treatment of early stage lung cancer. Elsevier Journal

Clinical and Translational Radiation Oncology, USA

28. Usuda K, Ishikawa M, Iwai S, Yamagata A, Motono N, et all. 2021.

Pulmonary Nodule and Mass: Superiority of MRI of DiffusionWeighted

Imaging and T2-Weighted Imaging to FDG-PET/CT. Kanazawa Medical

University, Japan

29. Bianconi F, Palumbo I, Spanu A, Nuvoli S, FravoliniML, et all. 2020.

PET/CT Radiomics in Lung Cancer: An Overview. Department of Surgical

and Biomedical Science, Italy

30. International Atomic Energy Agency. 2015. Clinical PET/CT Atlas: A

Casebook of Imaging in Oncology, Autria

31. National Service Scotland. 2020. Indications For The Use Of 18f-Fdg Pet Ct

In Lung Cancer In Scotland

32. Osman AM and Khorasi HI. 2020. PET/CT implication on bronchogenic

carcinoma TNM staging and follow-up using RECIST/PERCIST criteria: a

comparative study with CT. Journal of Radiology and Nuclear Medicine Vol

51 (16), Cairo

33. Cordovilla R, Marco LZ, Antonio V, Alberto A, Marta R, et all. 2021. The

Value of a Systematic Protocol Using Endobronchial Ultrasound and

46
Endoscopic Ultrasound in Staging of Lung Cancer for Patients with Imaging

iN0–N1 Disease. Pulmonary Department, Salamanca University Hospital,

Spain

34. Kitahara Y, Murakami Y, Nakai S, Hiramatsu T, Kishimoto S, et all. 2020.

Endobronchial Small-cell Lung Cancer with Intraluminal Growth Pattern

Showing “Finger-in-glove” Appearance. Journal Internal Medicine, Japan

35. Hong KS, Lee KH, Chung JH, Shin KC, Jin HJ, et all. 2021. Utility of Radial

Probe Endobronchial Ultrasound Guided Transbronchial Lung Biopsy in

Bronchus Sign Negative Peripheral Pulmonary Lesions. Journal Korean

Medical Science Vol 36(24), Korea

36. Raso MG, Neus BR and Inacio W. 2021. Pathology and Classification of

SCLC. Department of Translational Molecular Pathology, Texas

37. Guo J, Huo L, Zhang W, Dong Z, Zhang L, et all. 2021. Improving

differential diagnosis of pulmonary large cell neuroendocrine carcinoma and

small cell lung cancer via a transcriptomic, biological pathway-based

machine learning model. Elsevier Translational Oncology, China

38. Guarnera A, Santini E and Podda P. 2022. COVID-19 Pneumonia and Lung

Cancer: A Challenge for the Radiologist Review of the Main Radiological

Features, Differential Diagnosis and Overlapping Pathologies. Radiology

Department, San Giovanni Addolorata Hospital, Italy

39. Sands JM, Daly ME, and Lee EQ. 2020. Neurologic Complications of Lung

Cancer. Department of Radiation Oncology, University of California,

California

47
40. Clark SB and Alsubai S. 2021. Non Small Cell Lung Cancer. In: StatPearls

Treasure Island (FL). Michigan State University, USA)

41. Basumallik N andAgarwal M. 2021. Small Cell Lung Cancer. StatPearls

Publishing; Treasure Island (FL). Small Cell Lung Cancer, Inggris

42. American Join Committee on Cancer. 2020. Small Cell Lung Cancer. Texas

48

Anda mungkin juga menyukai