Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN ILMU ANASTESI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2021

UNIVERSITAS HALU OLEO

SYOK SEPSIS

Oleh :

Sabda Yulika Ramayanthy S.Ked

K1A1 15 113

PEMBIMBING :

dr. Agus Purwo Hidayat Sp. An

DIBERIKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU ANASTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Sabda Yulika Rahmayanthy S.Ked

Stambuk : K1A1 15 113

Judul Referat : Syok Sepsis

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada

Bagian Ilmu Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juni 2020

Menyetujui,

Pembimbing

dr. Agus Purwo Hidayat Sp. An

2
SYOK SEPSIS

Sabda Yulika Rahmayanthy, dr. Agus Purwo Hidayat Sp.An

A. PENDAHULUAN

Berdasarkan buletin yang diterbitkan oleh World Health Organization

(WHO) pada tahun 2010, sepsis merupakan penyebab mortalitas utama

diruang perawatan intensif pada negara maju dan insidensi sepsis mengalami

kenaikan setiap tahunnya. Setiap tahunnya sepsis dijumpai 750.000 kasus di

Amerika Serikat. Hal seperti ini juga sering dijumpai di negara berkembang.

Kondisi seperti sosial ekonomi dan higienis yang rendah, malnutrisi serta

infeksi kuman merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan angka

kejadian sepsis. Sepsis merupakan penyakit yang sering dijumpai dan dapat

menyebabkan angka morbiditas serta mortalitas tertinggi. Secara global setiap

tahunnya diperkirakan itu lebih dari 30 juta orang yang rawat inap di rumah

sakit serta sekitar 5,3 juta orang pertahunnya meninggal akibat sepsis.1.2

Pada tahun 2004 WHO menerbitkan laporan mengenai kasus sepsis dan

syok sepsis diakbatkan karena infeksi mikroorganisme. Istilah Sindrom

Respons Inflamasi Sistemik (SIRS), sepsis, sepsis berat, dan syok septik

awalnya dijelaskan melalui konsensus American College of Chest Physicians

(ACCP) dan Society of Critical Care Medicine (SCCM) di awal 1990.1,2

Sepsis merupakan keadaan umum yang sering terjadi di unit gawat

darurat dan penyebab utama dari masuknya pasien ke unit perawatan intensif

serta menyebabkan kematian. Angka kematian akibat sepsis di seluruh dunia

masih tinggi yaitu 34-46%. Sehingga deteksi dini, resusitasi dini, pemberian

3
antibiotik dini serta pemberantasan sumber infeksi merupakan kunci dalam

penanganan sepsis serta mencegah terjadinya syok sepsis.3

B. DEFINISI

The Society of Critical Care Medicine dan European Society of Intensive

Care Medicine mendefinisikan sepsis sebagai suatu keadaan disfungsi organ

yang dapat mengancam jiwa akibat disregulasi respon host terhadap infeksi.

Sedangkan syok sepsis ditandai dengan disfungsi peredaran darah dan seluler

serta metabolik yang diakibatkan oleh sepsis yang tidak tertangani.4

Pada tahun 1991, sepsis pertama kali didefinisikan sebagai sistemik

inflamatory response syndrome (SIRS) karena dugaan atau infeksi yang pasti

dengan 2 atau lebih dari kriteria sebagai berikut:5

1. Temperatur di bawah 36°C atau di atas 38°C

2. Denyut jantung lebih dari 90 kali/menit

3. Laju pernapasan di atas 20 kali/menit, atau tekanan parsial arteri

karbondioksida kurang dari 32 mm Hg

4. Jumlah sel darah putih kurang dari 4000/liter atau lebih dari 12.000

Sepsis berat didefinisikan sebagai progresifitas dari sepsis hingga

disfungsi organ, hipoperfusi jaringan, atau hipotensi. Syok septik

digambarkan sebagai hipotensi dan disfungsi organ yang membutuhkan

pengobatan vasoaktif dengan 2 atau lebih kriteria SIRS.5

Pada tahun 2016 sepsis memiliki definisi baru yaitu suatu kondisi yang

mengancam jiwa disebabkan oleh respons host yang tidak dapat

mengendalikan infeksi, mengakibatkan disfungsi organ. Sedangkan Syok

4
septik yaitu suatu keadaan dengan dijumpai kelainan peredaran darah, seluler,

dan kelainan metabolik pada pasien sepsis yang muncul dengan gelaja

hipotensi sehingga membutuhkan terapi vasopressor serta dijumpai

hipoperfusi jaringan terkait (laktat> 2mmol / L).5

C. EPIDEMIOLOGI

Sepsis adalah suatu keadaan yang melibatkan respons dari sistem

kekebalan tubuh host terhadap patogen. Kata “sepsis” digunakan dalam

literatur Yunani dan berasal dari karya Yunani “sepo”, yang memiliki arti

“Aku membusuk. Di Amerika Serikat 10 tahun terakhir sepsis terus menjadi

penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Insidensi sepsis meningkat dari

12,8 per 1000 rawat inap pada tahun 2005 menjadi 18,6 per 1000 rawat inap

pada tahun 2014 yang dimana pada tahun 2005-2014 terjadi peningkatan

sekitar 4,9%. Angka kematian di rumah sakit akibat syok septik, terjadi

penurunan dari 54,9% pada 2005 menjadi 50,7% pada 2014. Namun menurut

Lee yang dikutib dari Singer (2016) memaparkan bahwa angka kematian

akibat syok septik dijumpai sekitar 40%.4

Prevalensi sepsis telah terjadi penurunan secara relatif dalam lingkup

populasi, namun tidak termasuk dalam lingkup pasien rawat inap di rumah

sakit. Hal ini sering dijumpai pada pasien rawat inap yang berusia lanjut,

terkena penyakit kronik, penggunaan obat-obat imunosupresan serta

penggunaan prosedur invasif untuk menegakan suatu diagnosis atau sebagai

tindakan pengobatan. Angka kejadian sepsis dirumah sakit tinggi dengan

dibuktikannya peningkatan angka rawat inap di ICU. Dilaporkan bahwa 35

5
juta orang dirawat di rumah sakit setiap tahun di Amerika Serikat, dan

250.000 dari mereka terkena sepsis akibat perawatan di rumah sakit. Angka

kematian akibat sepsis antara 12% dan 80%.6

Sepsis masih menjadi penyebab kematian utama di beberapa negara

Eropa setelah infark miokard akut, stroke, dan trauma. Hampir 50% pasien

Intensive Care Unit (ICU) merupakan pasien sepsis. Angka kematian yang

disebabkan oleh syok sepsis pada pasien rawat inap di ICU RSUP dr Kandou

Manado sebesar 65,7%. Di RSUP dr Soetomo Surabaya, angka syok septik

sebesar 14,58%, hingga 58,33% sisanya adalah sepsis. Salah satu penyebab

kematian disebabkan karena terlambatnya penanganan awal sepsis terutama

saat masih di Unit Gawat Darurat. Keterlambatan ini sering disebabkan akibat

dari menunggu hasil laboratorium atau pemeriksaan penunjang lain.

Penanganan pasien syok septik harus segera dilakukan pada 1 jam awal.7

D. ETIOLOGI

Syok sepsis terjadi akibat ketidak tepatan atau keterlambatan dari

penanganan sepsis. Sepsis disebabkan oleh mikroorganisme berupa infeksi

bakteri, virus, jamur, atau parasit, serta dapat juga terjadi akibat proses non

infeksi seperti trauma. Pada masyarakat bakteri yang sering dijumpai yaitu

Escherichia coli, Streptococcus pneumonia, dan Staphylococcus aureus yang

dimana bakteri ini dapat menjadi pemicu terjadinya sepsis. Pada tahun 1950-

an, sebelum antibiotik digunakan, bakteri gram positif merupakan

mikroorganisme yang sering dijumpai pada kasus sepsis seperti

Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Namun, setelah adanya

6
serta penggunaan antibiotik bakteri gram positif telah teredikasi namun

insidensi sepsis tetap meningkat lebih dari 50% oleh karena infeksi bakteri

gram negatif yaitu E. Coli, Enterobacter, Pseudomonas, Proteus,

Acinetobacter dan Klebsiella.6

E. PATOMEKANISME

1. Faktor Virulensi

Sepsis timbul akibat respon pejamu terhadap infeksi, yang diarahkan

untuk mengeliminasi patogen. Patogen memiliki mekanisme atau faktor

virulensi yang bervariasi sehingga memungkinkan patogen untuk

bertahan dalam tubuh pejamu dan menyebabkan penyakit. Faktor

virulensi menyebabkan patogen mampu menghambat proses fagositosis,

memfasilitasi adhesi ke sel atau jaringan pejamu dan merusak jaringan

melalui produksi toksin. Kapsul patogen dapat menghambat proses

fagositosis dengan cara menutupi struktur permukaan sel sehingga tidak

dikenali oleh reseptor sel fagosit. Bakteri berkapsul seperti Streptococcus

pneumoniae dan Haemophilus influenza memiliki faktor virulensi yang

tinggi.

Streptococci memroduksi hemolisin yang melisiskan eritrosit dan

merangsang efek toksik pada leukosit dan makrofag. Staphylococcus

melepaskan leukocidin yang menyebabkan pelepasan lisosom ke dalam

sitoplasma. Sebelum menimbulkan suatu infeksi, patogen haru

melakukan adhesi pada host dengan menggunakan fimbriae (pili) dan

lipoteichoic acid (LTA) pada bakteri. Fimbriae membuat bakteri melekat

7
pada permukaan sel pejamu, sehingga meningkatkan kemampuan

patogen untuk melakukan kolonisasi.

Kemampuan patogen untuk menghasilkan toksin (eksotoksin atau

endotoksin) merupakan faktor lain yang berperan terhadap virulensi dan

invasi patogen. Eksotoksin diproduksi terutama oleh bakteri Gram positif

sehingga dapat mengganggu proses metabolisme penjamu, sedangkan

bakteri gram negatif akan menghasilkan endotoksin yang dikenal dengan

istilah lipopolisakarida (LPS) yang menyusun membran luar bakteri dan

terdiri atas 3 regio, yaitu polisakarida spesifik-O, polisakarida inti, dan

lipid A. Aktivitas toksin dari endotoksin terdapat pada lipid A. Paparan

terhadap endotoksin dapat menyebabkan efek yang sistemik, seperti

perubahan tekanan darah dan suhu tubuh, abnormalitas koagulasi,

penurunan jumlah sel leukosit dan trombosit yang bersirkulasi,

perdarahan, gangguan sistem imun, dan akhirnya kematian.8

2. Respon Pejamu

Terdapat dua mekanisme pertahanan tubuh terhadap patogen yaitu

respon imun bawaan dan didapat. Antigen akan berikatan dengan respon

imun bawaan dan menduduki reseptor Pattern-Recognition Receptor

(PRR). Reseptor selular diekpresikan pada membran dan sitoplasma oleh

hampir semua sel terutama sel makrofag, neutrofil dan sel dendritik.

Empat kelompok penting PRR adalah Toll-like receptor (TLR),

nucleotide oligomerization domaincontaining protein-like receptors

(NLRs), C-type lectin-like receptors (CLRs), dan retinoid acid-inducible

8
gene-like receptors (RLRs). PRR mengenali struktur molekul yang khas

untuk mikroorganisme patogen yaitu pathogenassociated molecular

patterns (PAMPs), dan molekul endogen yang diproduksi atau

dilepaskan dari sel yang rusak yaitu damage-associated molecular

patterns (DAMPs).

Molekul solubel berperan pada respon awal terhadap

mikroorganisme patogen yang berada di aliran darah dan cairan

ekstraselular lainnya. Komponen molekul solubel utama adalah sistem

komplemen. Molekul solubel dapat berperan sebagai opsonin melalui

ikatan dengan mikroorganisme, sehingga memudahkan sel fagosit yang

memiliki reseptor membran spesifik terhadap opsonin, untuk memfagosit

patogen tersebut. Selain itu, molekul solubel dapat bersifat kemoatraktan

yang akan merangsang respon inflamasi dengan menarik lebih banyak sel

fagosit ke lokasi infeksi dan langsung mengeliminasi patogen tersebut.

Peran molekul solubel yaitu aktivasi sistem komplemen pada jalur

alternatif. Secara normal, komplemen C3 di plasma teraktivasi terus

menerus dalam tingkat rendah menghasilkan C3b. Saat ada

mikroorganisme patogen, C3b bisa mengenali struktur permukaan

mikroorganisme seperti LPS untuk selanjutnya mengaktivasi jalur

alternatif sistem komplemen. Fragmen C3a dan C5a yang bersifat

kemoatraktan akan menarik lebih banyak fagosit ke lokasi infeksi.

Respon imun adaptiv melibatkan sejumlah besar sel efektor dan

molekul antibodi yang berfungsi untuk eliminasi patogen, dan sel

9
memori yang melindungi pejamu dari infeksi berulang. Respon imun

adaptiv akan mengeliminasi sel patogen dengan melibatkan sel limfosit T

dan aktivasi sel fagosit (cell-mediated immunity). Sel T akan

mengeliminasi patogen melalui 2 cara, yaitu pertama sel T helper (CD4+)

mengaktivasi sel fagosit melalui ikatan dengan ligan CD40 dan interferon

gamma (IFN-γ) sehingga menyebabkan sel fagosit akan berproliferasi

dan cara kedua sel T sitotoksik (CD8+) menghancurkan sel terinfeksi

termasuk mengeliminasi bakteri di dalamnya. Selain itu CD4+ akan

menstimulasi sel B atau sistem imun humoral untuk membentuk antibodi.

Antibodi berperan melalui mekanisme neutralisasi, opsonisasi, dan

aktivasi komplemen melalui jalur klasik.8

3. Respon Inflamasi

Terdapat tiga fase respon inflamasi dalam sepsis yaitu 1) pelepasan

toksin bakteri, 2) pelepasan mediator (sitokin) sebagai respon terhadap

infeksi dan 3) efek dari mediator spesifik yang berlebihan. Pada fase 1

bakteri Gram negatif dan positif mampu menyebabkan sepsis melalui

endotoksin dan eksotoksin. Bakteri Gram negatif memiliki LPS sebagai

endotoksin. LPS akan berikatan dengan CD4+ yang berada pada sel

monosit, makrofag dan netrofil dan terjadi kompleks LPS sehingga akan

melepaskan mediator inflamasi. Superantigen adalah eksotoksin yang

akan menstimulasi dari aktivasi sel T secara berlebihan. Pada fase kedua

sitokin TNF-α dan IL-1 mengaktifkan endotel dan menyebabkan endotel

10
meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti vascular cell adhesion

molecule-1 (VCAM-1) sebagai ligan untuk integrin dari leukosit.

Sitokin TNF-α, IL-1, dan IL-6 juga menginduksi hati untuk

mengekspresikan protein fase akut seperti CRP, serum amyloid P (SAP),

dan fibrinogen. Superantigen mengaktifkan limfosit T dan merangsang

produksi IL-2 dan IFN-γ. Interleukin-2 adalah sitokin proinflamasi yang

berperan dalam proliferasi dan diferensiasi limfosit T naive menjadi

limfosit T efektor. Interferon-γ berperan penting dalam mengaktivasi

inducible nitric oxide synthase (iNOS), dan meningkatkan migrasi

leukosit. Selain itu, IL-2 dan IFN-γ memicu makrofag untuk melepaskan

TNFα dan IL-1.13,14

Pada fase ketiga, sitokin proinflamasi mengaktifkan sel endotel dan

menyebabkan kerusakan sel endotel dengan cara melepaskan mediator

seperti protease, oksidan, prostaglandin, dan leukotrien, yang akan

merusak endotel sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas,

vasodilatasi, dan gangguan keseimbangan prokoagulan-antikoagulan.

Peningkatan aktivitas iNOS meningkatkan sintesis berlebihan

nitrikmoksida (NO), yaitu suatu vasodilator poten dan merupakan

mediator kunci pada syok septik.8

4. Abnormalitas Koagulasi

Pada sepsis dan syok septik, keadaan antikoagulasi normal dalam

sistem pembuluh darah menjadi terganggu. Sepsis menyebabkan keadaan

hiperkoagulabilitas yang ditandai oleh pembentukan trombus

11
mikrovaskular, deposisi fibrin, pembentukan neutrophil extracellular

trap (NET), dan kerusakan endotel. Keadaan di atas terjadi melalui

beberapa mekanisme yang saling terkait, dengan melibatkan pelepasan

sitokin pro-inflamasi (IL-1, IL-6, IL-12, dan TNF-α), yaitu induksi

ekspresi faktor jaringan (tissue factor – TF), penurunan kadar

antitrombin, penghambatan faktor anti-koagulan, dan gangguan

fibrinolisis. Sitokin pro-inflamasi menginduksi ekspresi berlebihan TF

pada permukaan sel endotel dan monosit, menyebabkan interaksi TF

dengan faktor VIIa, sehingga mengaktivasi koagulasi jalur ekstrinsik,

pembetukan trombin, dan fibrin. Fibrin yang terbentuk, bersama dengan

trombosit akan membentuk trombus mikrovaskular. Selain itu,

permukaan bakteri Gram negatif dan positif dapat berinteraksi dengan

faktor kontak dan mengaktivasi koagulasi jalur intrinsik melalui faktor

XII.8

5. Disfungsi Organ

Terjadinya deposisi fibrin mikrovaskular pada DIC sering

dihubungkan dengan berkembangnya disfungsi multi organ sindrom

(MODS) yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi. Multiorgan

dysfunction syndrome didefinisikan sebagai sindrom klinis yang ditandai

dengan perkembangan disfungsi fisiologis yang progresif dari ringan

sampai kegagalan ireversibel dari dua atau lebih organ, dengan ditandai

ketidakmampuan mempertahankan homeostasis tanpa intervensi terapi.

MODS diklasifikasikan menjadi awal (primer), yaitu yang terjadi dalam

12
7 hari pertama sakit, dan lambat (sekunder), yang terjadi setelah 7 hari

sakit. Gangguan oksigenasi jaringan dianggap berperan penting terhadap

terjadinya MODS. Faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan organ

adalah vasodilatasi, hipotensi, berkurangnya deformabilitas eritrosit, dan

trombosis mikrovaskular, yang akhirnya menyebabkan berkurangnya

hantaran oksigen pada syok septik.

Umumnya paru-paru merupakan organ yang pertama terlibat, mulai

dari disfungsi ringan sampai acute respiratory distress syndrome

(ARDS). Hal ini diduga disebabkan oleh kebocoran kapiler sehingga

alveolar terisi cairan, dan deaktivasi surfaktan. Organ kedua adalah

miokardium, disebabkan terutama oleh peningkatan sintesis NO. Otak

sering terpengaruh pada MODS awal, dengan mekanisme penyebab yang

multifaktorial dan melibatkan gangguan sawar darah-otak, dengan

peningkatan permeabilitas terhadap sitokin dan neuroamin. Disfungsi

hati akut yang sering terjadi saat penurunan perfusi selama syok,

biasanya reversibel setelah resusitasi, namun setelah periode laten,

disfungsi hati ireversibel dapat terjadi. Katekolamin dari usus, terutama

norepinefrin, diduga menginduksi kegagalan hati. Ginjal dianggap dapat

mempertahankan perfusi selama sepsis dan mekanisme kegagalan ginjal

selama MODS disebabkan terutama oleh apoptosis yang diinduksi

olehsitokin.8

13
Gambar 1. Patomecanism of syok sepsis dikutib dari kepustakaan 8

F. KRITERIA DIAGNOSIS

Skrining awal dan cepat dapat dilakukan di setiap unit gawat darurat.

Kriteria baru sepsis menggunakan Sequential Organ Failure Assessment

(SOFA). SOFA melakukan evaluasi terhadap fungsi fisiologis, respirasi,

koagulasi, hepatik, sistem saraf pusat, dan ginjal. Makin tinggi skor SOFA

akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas sepsis.

14
Gambar 2. Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) dikutib dari

kepustakaan 9

Kriteria simpel menggunakan qSOFA. qSOFA dinyatakan positif apabila

terdapat 2 dari 3 kriteria. Skoring tersebut cepat dan sederhana serta tidak

memerlukan pemeriksaan laboratorium. Syok septik dapat diidentifikasi

dengan adanya klinis sepsis dengan hipotensi menetap. Kondisi hipotensi

membutuhkan tambahan vasopressor untuk mempertahankan kadar MAP >65

mmHg dan laktat serum >2 mmol/L walaupun telah dilakukan resusitasi.

Kriteria SOFA muncul setelah pembaharuan definisi dan kriteria sepsis

bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas sepsis.

Gambar 2. quick Sequential Organ Failure Assessment (qSOFA) dikutib dari

kepustakaan 10

15
G. DIAGNOSIS

1. Kultur

Biakan atau kultur harus segera dilakukan sebelum diberikan

antibiotik, hal ini bertujuan agar tidak memberikan hasil negatif palsu

dari hasil kultur. Kultur biakan dapat diambil dari dua sampel atau lebih

yang dimana sampel yang dapat diambil seperti darah, cairan

serebrospinal, urin, luka dan sputum. Namun sampel yang paling baik

diambil sebagai kultur yaitu darah dengan mengambil sebanyak 2 sampel

darah dengan tujuan untuk mengidentifikasi bakteri aerobik dan

anaerobik.11

2. Monitoring Hemodinamik12

a. Teknik Invasif

Beberapa dekade terakhir memonitoring hemodinamik pasien

syok sering dengan menggunakan teknik Pulmonalis Artery Catheter

(PAC) atau Central Venous Oxygen Saturation (ScvO2). PAC dapat

memperkirakan curah jantung dan mengukur saturasi oksigen

pembuluh darah vena, namun selama 15 tahun terakhir Amerika

Serikat sudah tidak menerapkan metode PAC pada kasus syok hanya

mengutamakan kasus ARDS ataupun kasus disfungsi ventrikel hal

ini dikarenakan penggunaan PAC tidak memiliki perubahan

signifikan terhadap angka morbiditas dan mortalitas syok sepsis.

Sehingga di Amerika Serikat menggunakan ScvO2 sebagai alternatif

yang dimana metode ini dapat memberikan laktat dalam darah.

16
b. Teknik Non Invasif

Teknik yang dapat digunakan dan bersifat non invasif yaitu teknik

kontur denyut arteri dan pemeriksaan USG jantung atau biasa

dikenal dengan istilah ekokardiografi. Teknik kontur denyut arteri

dapat memperlihatkan estimasi curah jantung, volume denyut

jantung dan tekanan nadi.

Ekokardiografi dapat memperlihatkan ukuran dan kontraktilitas

jantung kanan dan jantung kiri, cairan perikardial dan ukuran vena

cava inferior yang dimana apabila mengalami kolaps kemungkinan

terjadinya syok hipovolemik. Penelitian terbaru menyebutkan bahwa

penggunaan USG jantung dapat digunakan sebagai gold standar

dalam memonitoring hemodinamik.

H. TATALAKSANA

1. Resusitasi Cairan

Terapi cairan merupakan pilihan terapi yang dapat membantu

keberhasilan penanganan pasien kritis. Terapi cairan bertujuan untuk

mempertahankan sirkulasi atau mengembalikan keseimbangan cairan dan

elektrolit yang adekuat pada pasien yang tidak mampu mengendalikan

keseimbangan cairan dalam tubuhnya, sehingga mampu menciptakan

hasil yang menguntungkan bagi kondisi pasien.

Pada pasien yang mengalami kehilangan cairan yang banyak seperti

dehidrasi karena muntah, mencret dan syok, langkah tersebut dapat

17
menyelamatkan pasien. Jenis cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu

cairan kristaloid dan koloid.

Cairan Kristaloid Elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium,

klorida) merupakan komponen dari kristaloid. Karakteristik kristaloid

ditandai dengan pengaruhnya terhadap status asam-basa. Kristaloid

digunakan untuk menggantikan kehilangan sodium atau mempertahankan

status quo. Cairan kristaloid perawatan mengandung konsentrasi natrium

yang sama dengan konsentrasi total tubuh normal (70 mmol / L),

sedangkan cairan kristaloid pengganti memiliki kandungan natrium pada

konsentrasi yang mirip dengan plasma normal (kira-kira 140 mmol/L).

Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik, dengan waktu paruh

kristaloid di intravaskular berkisar antara 20-30 menit. Keuntungan dari

kristaloid diantaranya murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan

reaksi imun. Sedangkan kerugian dari pemberian kristaloid yakni apabila

memberikan larutan Normal Saline dalam jumlah yang besar dapat

menyebabkan asidosis metabolik hiperkloremik dikarenakan kadar

natrium dan kloridanya yang tinggi (154 mEq / L) sehingga konsentrasi

bikarbonat plasma menurun saat konsentrasi klorida meningkat.

Kristaloid digunakan sebagai cairan resusitasi awal pada pasien dengan

hemoragik dan syok septik, luka bakar, cedera kepala dan pada pasien

yang menjalani plasmaferesis dan reseksi hati. Ada 3 jenis tonisitas

kritaloid, diantaranya:

18
1) Isotonis. Apabila jumlah elektrolit plasma terisi kristaloid pada

jumlah yang sama dan memiliki konsentrasi yang sama maka disebut

sebagai isotonis. (iso, sama; tonis, konsentrasi). Tidak terjadi

perpindahan signifikan antara cairan di dalam sel dengan

intravaskular saat pemberian kristaloid isotonis. Hal tersebut

menyebabkan hampir tidak adanya osmosis. Dalam pemberian

kristaloid isotonis pada jumlah besar perlu diperhatikan adanya efek

samping seperti edema perifer dan edema paru yang dapat terjadi

pada pasien. Contoh larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat,

Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% dalam ¼ NS

2) Hipertonis Kristaloid disebut hipertonis apabila jumlah elektrolit dari

kristaloid lebih banyak dibandingkan dengan plasma tubuh. Apabila

pemberian kristaloid hipertonik dilakukan terhadap pasien akan

menyebabkan terjadinya penarikan cairan dari sel ke ruang

intravaskuler. Gejala yang timbul dari pemberian larutan hipertonis

adalah peningkatan curah jantung yang bukan hanya disebabkan oleh

karena perbaikan preload, tetapi juga disebabkan oleh efek sekunder

karena efek inotropik positif pada miokard dan penurunan afterload

sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral. Hal ini dapat

menyebabkan perbaikan aliran darah ke organ-organ vital. Namun

pemberian larutan hipertonis dapat menyebabkan efek samping

seperti hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid

hipertonis antara lain Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose

19
5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5%

dalam RL

3) Hipotonis Jika plasma memiliki elektrolit yang lebih banyak

dibandingkan kristaloid dan kurang terkonsentrasi, maka disebut

sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik, konsentrasi). Ketika cairan

hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari

intravaskular ke sel. Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline

merupakan beberapa contoh dari larutan kristaloid hipotonik

Namun dalam penatalaksanaan syok sepsis yang tidak membaik

dalam pemberian cairan kristaloid maka kita perlu mempertimbangkan

penggunaan cairan koloid. Cairan Koloid membantu mempertahankan

tekanan onkotik koloid plasma sehingga sebagian besar tetap berada di

ruang intravaskular, sedangkan larutan kristaloid dengan cepat

menyeimbangkan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan

ekstraselular. Cairan koloid bertahan lebih lama di dalam ruang

intravaskuler disebabkan oleh karena aktivitas osmotik serta mempunyai

zat-zat yang berat molekulnya tinggi.

Pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok

hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah ataupun

pada penderita hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah

besar (misalnya pada luka bakar) dapat diberikan cairan koloid sebagai

salah satu langkah resusitasi. Cairan koloid merupakan turunan dari

plasma protein dan sintetik. Kerugian dari ‘plasma expander’ ini yaitu

20
harganya yang mahal, dapat menyebabkan gangguan pada cross match

dan menimbulkan reaksi anafilaktik (walau jarang). Berdasarkan jenis

pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:

a. Koloid Alami yaitu fraksi albumin ( 5% dan 25%) dengan protein

plasma 5%. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin

(83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin. Selain

albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments)

terdapat dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan

hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.

b. Koloid Sintetik

1) Dextran digunakan untuk mengganti cairan karena memiliki

rentang waktu efek yang lebih lama pada ruang intravaskuler.

Cairan koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan

jumlah besar. Efek samping dari pemberian Dextran di

antaranya gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di dalam

tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan

gangguan pada cross-matching darah. Oleh karena banyaknya

efek samping yang disebabkan, cairan ini jarang dipilih. Contoh

sediaan yang ada, antara lain : Dextran 40 (Rheomacrodex)

dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex)

dengan berat molekul 60.000-70.000

2) Hydroxylethyl Starch (Hetastarch) Hetastarch merupakan

golongan non antigenik dan reaksi anafilaktoid jarang

21
dilaporkan terjadi. Rekomendasi dosis maksimal harian

penggunaan cairan HES adalah 33-50 ml/kgBB/hari. Low

molecular weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip

dengan Hetastarch. Pentastarch memiliki kemampuan untuk

mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang

diberikan dan dapat berlangsung selama 12 jam. Pentastarch

menjadi opsi dari jenis koloid yang dapat digunakan sebagai

cairan resusitasi jumlah besar karena potensinya sebagai plasma

volume expander dengan toksisitas yang rendah dan tidak

menyebabkan terganggunya proses koagulasi.

3) Gelatin Merupakan bagian dari koloid sintesis yang bersumber

dari gelatin, biasanya berasal dari collagen bovine. Larutan

gelatin adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked

dari kolagen sapi. Jika dibandingkan dengan jenis koloid

lainnya, gelatin memeliki berat molekul yang relatif rendah

yaitu 30,35 kDa. Efek ekspansi plasma segera dari gelatin

adalah 80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi

hemodilusi normovolemik. Gelatin dapat memicu reaksi

hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES. Ekskresi

gelatin dilakukan di ginjal, dan tidak ada akumulasi jaringan13

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian cairan intravena harus

dilakukan segera untuk pasien-pasian yang dalam keadaan syok.

Rekomendasi pemberian cairan yang tepat pada pasien syok adalah

22
cairan kristaloid, selain itu kombinasi pemberian cairan kristaloid dan

koloid dapat meningkatkan angka harapan hidup namun pada pasien

dalam keadaan syok tidak dianjurkan pemberian HAS, hal ini

dikarenakan HAS dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis14.

Saat ini pemberian cairan intravena masih memiliki kontroversi, ada

yang mengatakan pemberian cairan koloid lebih baik dibandingkan

dengan kristaloid. Berdasarkan hasil studi meta-analisis yang dilakukan

oleh Martin Dkk (2018) menganalisis data sebanyak 27.000 pasien yang

masuk ICU dan mengalami kondisi kritis, pengobatan pasien kritis yang

menggunakan albumin menyebabkan peningkatan indeks jantung atau

kardio output dari pada dengan menggunakan cairan kristaloid, selain itu

peningkatan Central Venous Preassure (CVP) terjadi setelah dilakukan

pemerian albumin, HES dan gelatin dibandingkan dengan menggunakan

cairan kristaloid sehingga dengan diberikannya cairan koloid (Albumin,

HES, Gelatin) dapat memberikan efek peningkatan dari Mean Artery

Pressure (MAP). HES merupakan cairan koloid yang satu-satunya

berpotensi meningkatkan risiko kematian.

Pedoman nasional yang baru-baru ini telah diperbaharui dari

Surviving Sepsis Campaign merekomendasikan pemberian cairan

kristaloid lebih baik dibandingkan cairan koloid pada kasus sepsis

maupun syok sepsis, dalam pedoman menyebutkan bahwa pemberian

kristaloid saja tidak bisa memperbaiki masalah sehingga cairan koloid

juga perlu diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemerian cairan

23
kristaloid saja tidak cukup untuk meningkatkan hemodinamik seperti

CVP, MAP dan indeks jantung, sehingga diperlukan kombinasi

penggunaan cairan kristaloid maupun koloid. Pemberian cairan koloid

lebih direkomendasikan dengan menggunakan albumin hal ini

dikarenakan apabila menggunakan HES angka risiko mortalitas pasien

cukup tinggi16.

2. Inotropik

Inotropik yang sering digunakan dalam sepsis adalah isoproterenol,

dobutamin, dan epinefrin. Isoproterenol merupakan agonis β1 dan β2

yang efektif meningkatkan CI. Agen ini juga memiliki efek vasodilator

sehingga berpotensi menurunkan tekanan darah. Selain itu efek

takikardianya signifikan sehingga isoproterenol tidak sering digunakan

sebagai inotropik. Epinefrin memberikan efek inotropik melalui reseptor

β terutama pada dosis rendah. Hingga saat ini dobutamin adalah

inotropik pilihan dalam tata laksana sepsis berat. Dobutamin merupakan

agonis α, β1, dan β2. Efek inotropiknya terutama didapatkan melalui

stimulasi β1. Dobutamin diberikan pada pasien dengan disfungsi

miokardium ditandai dengan peningkatan tekanan pengisian jantung dan

curah jantung yang rendah. Dobutamin sebaiknya hanya diberikan

setelah pasien memasuki fase supply-dependent, tentunya dengan

mencukupkan preload terlebih dahulu sebelum pemberian. Oksigen yang

mencapai nilai normal atau supranormal pada beberapa studi memang

memperbaiki luaran namun pemberian intoropik untuk meningkatkan

24
indeks jantung agar mencapai oksigen supranormal tidaklah dibenarkan.

Pasien yang mencapai target supranormal mengalami mortalitas lebih

tinggi dibanding pasien di kelompok dengan pencapaian target fisiologis

dalam tata laksana hemodinamik. Dobutamin adalah inotropik pilihan

pertama untuk pasien dengan curah jantung rendah namun pengisian

ventrikel kiri adekuat (atau resusitasi cairan yang telah dinilai adekuat)

serta MAP adekuat. Pasien sepsis yang tetap hipotensif setelah resusitasi

cairan dapat disertai curah jantung rendah, normal, atau tinggi. Oleh

karena itu kombinasi inotropik dan vasopresor direkomendasikan bila

tidak dilakukan pengukuran curah jantung. Bila dapat dilakukan

pemantauan curah jantung di samping tekanan darah, vasopresor dapat

diberikan untuk mencapai target curah jantung dan MAP. Bila terjadi

takikardia selama pemberian dobutamin, perlu dilakukan evaluasi

terhadap vasopresor yang mungkin telah diberikan bersamaan. Bila

takikardia menetap, dapat diberikan digoksin 0,25-0,5 mg untuk

mencapai laju jantung < 100 kali per menit. Keterbatasan CVP adalah

bahwa alat tersebut hanya mengukur tekanan. Karena itu pada saat terjadi

gangguan ventrikel, terjadi diskrepansi antara tekanan-volume di mana

terjadi hipovolemia yang signifikan saat CVP normal atau meningkat.

Dengan pemberian inotropik, volume sekuncup dan kerja miokardi akan

membaik, sehingga CVP yang < 8 mmHg memang meyakinkan terjadi

hipovolemia dan perlu penambahan volume.15.

25
3. Vasopresor

Terapi vasopresor diperlukan untuk mempertahankan perfusi pada

kondisi hipotensi yang membahayakan nyawa, meksipun hipovolemia

masih belum teratasi. Target penggunaan vasopresor adalah

mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg. Di bawah MAP tersebut,

mekanisme autoreglukosasi dapat tidak berfungsi, dan perfusi berbanding

lurus dengan tekanan darah. Pasien seperti ini memerlukan terapi

vasopresor untuk mencapai tekanan perfusi minimal dan

mempertahankan aliran darah adekuat. Titrasi norepinefrin hingga

mencapai MAP ≥ 65 mmHg terbukti mempertahankan perfusi jaringan.

Kondisi komorbid pasien juga perlu menjadi pertimbangan dalam

menentukan target MAP pasien. Sebagai contoh, MAP 65 mmHg

mungkin terlalu rendah untuk pasien dengan hipertensi berat tidak

terkontrol namun mungkin adekuat untuk pasien usia muda yang

sebelumnya normotensi. Resusitasi cairan adekuat merupakan aspek

penting dalam tata laksana hemodinamik pasien renjatan septik dan ideal

telah tercapai sebelum vasopresor dan inotropik diberikan namun

penggunaan vasopresor secara dini pada pasien dengan renjatan berat

seringkali diperlukan. Hal ini dikarenakan keterlambatan pemberian

vasopresor juga berkaitan dengan peningkatan mortalitas yang signifikan.

Pilihan vasopresor inisial adalah norepinefrin dan dopamin diberikan

melalui vena sentral. Epinefrin, fenilefrin, dan vasopresin tidak

direkomendasikan sebagai vasopresor inisial pada renjatan septik.

26
Sampai saat ini belum ada bukti yang mengunggulkan satu jenis

katekolamin dibanding lainnya sebagai vasopresor. Beberapa studi

mengunggulkan kombinasi norepinefrin dan dopamin dibanding

epinefrin (akibat efek samping takikardia, penurunan sirkulasi splanknik,

dan hiperlaktemia) atau fenilefrin. Meskipun demikian, tidak ada bukti

yang menunjukkan epinefrin menyebabkan luaran lebih buruk. Dopamin

meningkatkan MAP dan curah jantung, terutama akibat peningkatan

volume sekuncup dan laju jantung. Norepinefrin meningkatkan MAP

karena efek vasokonstriksinya, dengan efek minimal terhadap laju

jantung dan lebih minimal lagi terhadap peningkatan volume sekuncup

dibandingkan dopamin. Hal ini disebabkan efek agonis α-norepinefrin

lebih dominan dibandingkan efek agonis β-nya. Keduanya dapat

digunakan sebagai lini pertama untuk mengatasi hipotensi pada sepsis.

Namun kemudian dikatakan bahwa norepinefrin lebih poten

dibandingkan dopamin dan lebih efektif mengatasi hipotensi pada

kondisi renjatan septik. Dopamin lebih bermanfaat pada pasien dengan

penurunan fungsi sistolik namun lebih sering menyebabkan takikardia

dan lebih aritmogenik. Selain itu dopamin juga dapat memengaruhi

respons endokrin melalui poros hipotalamus- hipofisis dan memiliki efek

imunosupresif. Efek positif lain dari norepinefrin adalah meningkatnya

aliran darah ke ginjal dan dengan demikian memperbaiki bersihan

kreatinin akibat efek vasokonstriksinya yang lebih dominan di arteriol

eferen dibanding arteriol aferen. Serum laktat juga mengalami penurunan

27
sehingga norepinefrin dinilai memperbaiki oksigenasi jaringan. Epinefrin

digunakan sebagai pilihan dalam renjatan septik bila tekanan darah tidak

memberi respons dengan norepinefrin atau dopamin. Epinefrin

meningkatkan MAP dengan meningkatkan indeks jantung, volume

sekuncup, dan sedikit meningkatkan resistensi vaskular sistemik serta

laju jantung. Hantaran oksigen diperbaiki namun konsumsi oksigen juga

meningkat dengan penggunaan epinefrin ini. -38- Penggunaannya

dibatasi karena efek epinefrin yang menurunkan aliran darah ke lambung

dan meningkatkan konsentrasi laktat. Secara umum, komplikasi

penggunaan vasopresor yang harus diwaspadai adalah takikardia,

takiaritmia, iskemia atau infark miokardium, serta iskemia dan nekrosis

ekstremitas. Karena aliran darah splagnik juga menurun, vasopresor

dapat menyebabkan stress ulcer, ileus, malabsorbsi, dan infark usus.

Kadar vasopresin pada kondisi renjatan septik diketahui lebih rendah

dibandingkan kadar seharusnya dalam kondisi renjatan lain. Berbagai

studi menunjukkan bahwa konsentrasi vasopresin meningkat pada awal

renjatan septik namun konsentrasinya turun menjadi normal pada

sebagian besar pasien yang mengalami renjatan septik berkepanjangan

dalam waktu 24 hingga 48 jam. Kondisi ini dikenal sebagai defisiensi

vasopresin relatif. Vasopresin dosis rendah dapat efektif meningkatkan

tekanan darah pada pasien yang refrakter terhadap vasopresor lain dan

terbukti pula menurunkan kebutuhan katekolamin. Penggunaan

vasopresin dosis rendah, 0,03 unit/menit, diperbolehkan bila dikombinasi

28
dengan norepinefrin. Selama pemberian vasopresin diperlukan

pengukuran curah jantung untuk memantau kecukupan perfusi. Waktu

pemberian terbaik adalah 24 jam setelah kejadian syok. Pemberian

dopamin dosis rendah untuk mempertahankan fungsi ginjal tidak

direkomendasikan15.

4. Kortikosteroid

Pada kondisi sepsis, sitokin menekan respons produksi kortisol yang

seharusnya meningkat akibat stimulasi peningkatan ACTH. Penekanan

respons tersebut menyebabkan aktivitas adrenal yang buruk. Prevalens

insufisiensi adrenal pada renjatan septik ini berkisar 50%. Atas dasar ini

maka pemberian kortikosteroid dinilai dapat bermanfaat pada renjatan

septik. Selain itu steroid memperkuat efek vasoaktif terhadap pembuluh

darah, antara lain dengan cara menghambat ambilan katekolamin di

neuromuscular junction serta meningkatkan afinitas terhadap reseptor

adrenergik β di otot polos arteri. Hidrokortison intravena hanya diberikan

pada kasus renjatan septik dewasa yang tidak berespons terhadap

resusitasi cairan dan vasopresor. Penggunaannya juga terbukti

memperpendek waktu pemberian vasopresor. Suatu uji klinis acak

terkontrol, multisenter, di Perancis, pada pasien renjatan septik yang

tidak responsif terhadap vasopresor menunjukkan perbaikan renjatan dan

penurunan mortalitas setelah diberikan steroid.

Deksametason dapat menyebabkan supresi segera dan jangka

panjang dari aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Fludrokortison (50 µg

29
per oral per hari) dapat digunakan sebagai terapi alternatif bila

hidrokortison tidak tersedia dan jenis steroid lain yang tersedia tidak

memiliki aktivitas mineralokortikoid. Dosis hidrokortison yang

dianjurkan ≤ 300 mg/hari. Dosis setara dengan > 300 mg/hari

hidrokortison tidak dianjurkan pada untuk tatalaksana renjatan septik

karena dinilai tidak efektif dan efek sampingnya besar. Terapi steroid

dapat dititrasi turun, setelah vasopresor tidak digunakan lagi. Suatu studi

menunjukkan efek rebound hemodinamik dan imunologis setelah

kortikosteroid dihentikan tiba-tiba. Penggunaan tes stimulasi

adrenocorticotropic hormone (ACTH) tidak direkomendasikan hanya

untuk menilai perlunya pemberian hidrokortison pada pasien renjatan

septik. Kortikosteroid tidak dianjurkan untuk tata laksana sepsis yang

tidak disertai dengan syok. Namun demikian tidak ada kontraindikasi

pemberiannya pada pasien yang memerlukan steroid dalam dosis

pemeliharaan atau stressdose.15

5. Anti Mikroba

Rekomendasi pemberian antimikroba IV dimulai sesegera mungkin

setelah diagnosis sepsis maupun syok sepsis dengan periode waktu

selama + 1 jam. Keterlambatan pemberian antimikroba pada pasien yang

telah terdiagnosa sepsis dan syok sepsis dapat meningkatkan angka

mortalitas akibat adanya. Pemberian anti mikroba pada kasus sepsis dan

syok sepsis diberikan antibiotik spectrum luas, untuk mengatasi semua

jenis patogen yang belum terindentifikasi. Namun sebelum melakukan

30
pemberian antibiotik spektrum luas perlu dilakukan kultur darah guna

untuk menentukan bakteri apa yang menjadi penyebab terjadinya sepsis

ataupun syok sepsis. Setelah hasil kultur telah keluar maka pemberian

antimikroba spektrum luas harus diganti dengan antimikroba spesifik

sesuai hasil kultur14.

Pada pasien tertentu seperti pasien kemoterapi, post transplantasi,

diabetes melitus, chronic liver failure, gagal ginjal kronik, HIV-AIDS

dapat dijumpai sepsis ataupun syok sepsis yang diakibatkan oleh infeksi

Candida sp. Sehingga pada kasus ini pemberian anti fungal empirik

sangat berperan. Umumnya pada pasien syok sepsis pemberian anti

fungal empiris dapat diberikan berupa golongan echinocandin

(anidulafungi, micafungi dan caspofungi). Namun setelah dilakukan

kultur dan dijumpai Candida glabrata atau Candida krusie maka

pemberian antifungal spesifik berupa amfoterisin B sangat

direkomendasikan14.

Pemerian antimikroba yang disarankan adalah aminoglikosida

dengan dosis perharinya 5-7mg/KgBB diberikan sekali dalam sehari,

selain itu dapat pula diberikan antibiotik golongan fluroquinolon seperti

ciprofloxacin 600 mg per 12 jam, atau levofloxacin 750 mg per 24 jam14.

6. Terapi penunjang

a. Transfusi Darah14

Pemberian transfusi darah berupa PRC ataupun WB dilakukan

apabila hemoglobin kurang dari 7 gr/dL, namun tidak

31
direkomendasikan pemberian Fresh Frozen Plasma apabila

defisiensi faktor koagulan. Pemberian transfusi trombosit dapat

dilakukan apabila kadar PLT kurang dari 10.000/mm3.

b. Antikoagulan14

Pemberian antikoagulan berupa anti trombin direkomendasikan pada

pasien dalam keadaan sepsis ataupun syok sepsis, hal ini didasari

akibat apabila terjadinya sepsis ataupun syok sepsis maka akan

terjadi hiperkoagulasi sehingga dapat menimbulkan Disaminated

Intravasculer Coagulation (DIC). Pemberian heparin sebagai

antikoagulasi masih menjadi perdebatan sehingga untuk saat ini

pemberian heparin masih belum direkomendasikan

c. Nutrisi14

Pemberian nutrisi parenteral dan enteral dapat diberikan untuk

menambah asupan kalori pada pasien dengan keadaan sepsis ataupun

syok sepsis

I. PROGNOSIS

Pengenalan dan penanganan awal untuk sepsis dan septik syok akan

meningkatkan prognosis yang baik. Pengawasan terus menerus terhadap

tanda vital, saturasi oksigen, dan jumlah urin yang dihasilkan termasuk

pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaaan akan adanya laktat asidosis,

disfungsi ginjal dan hepar, abnormalitas koagulasi, gagal nafas akut harus

dilakukan sesegera mungkin pada pasien yang dicurigai menderita sepsis agar

32
tidak berubah menjadi syok sepsis. Selain itu terapi adekuat dapat

meningkatkan angka kelangsungan hidup pada pasien dengan syok sepsis1.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Ivan, Febyan dan Suparto. Sepsis and Treatment based on The Newest

Guideline. Jakarta. Jurnal Anestesi Indonesia. 2019

2. Jisoo L, Mitchell M, Levy MD. Treatment of Patients with Severe Sepsis and

Septic Shock: Current Evidence-Based Practices. Rhode Island Medical

Journal; 2019

3. Waropratya P, Wuthisuthimethawee P. Septic shock in the ER: Diagnostic

and Management Challenges. Thailand. Dove Press Journal; 2019

4. Young RL, Taryn BB. Sepsis Management. Infection Critical Care; 2019

5. Dugar S, Choundhary C, Duggal A. Sepsis and Septic Shock: Guideline-

based managemen. US. Cleveland Clinic Journal Of Medicine; 2020

6. Polat G, Ugan RA, Cadirci E, Halici Z. Sepsis and Septic Shock: Current

Treatment Strategies and New Approaches. Turkey. Eurasian J Med; 2017

7. Putra IAS. Update Tatalaksana Sepsis. Surakarta. CDK-280/. vol. 46; 2019

8. Purwanto DS, Astrawinata DAW. Mekanisme Kompleks Sepsis dan Syok

Septik. Manado. Jurnal Biomedik Molekuler; 2018

9. Gyawali B, Ramakhrisna K, Dhamoon AS. Sepsis: The Evolution in

Definition, Pathophysiology, and Management. USA. SAGE Open

Medicine; 2019

10. Evans T. Diagnosis and Management of Sepsis. Skotlandia. Royal College of

Physicians; 2018

11. Trentman TL, Gaitan BD, Gali B, Johnson RL, Mueller JT et all. Faut’s

Anesthesiology Review. Ed V. Elsevier; 2020

34
12. Seymour CW, Rosengart MR. Septic Shock: Advances in Diagnosis and

Treatment. US. HHS Public Access; 2015

13. Sukarata PRD, Kurniyanta IP. Terapi Cairan. Ilmu Anestesi Dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah; 2017

14. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Antonelli M. Surviving

Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Sepsis

and Septic Shock: 2016. Canada. Critical Care Medicine; 2017

15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan

Kedokteran Tatalaksana Sepsis; 2017

16. Martin GS, Basset P. Crystalloids vs. colloids for fluid resuscitation in the

Intensive Care Unit: A systematic review and meta-analysis. USA. Journal of

Critical Care; 2018

35

Anda mungkin juga menyukai