Anda di halaman 1dari 43

1

Laporan kasus

Dengue Fever
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh :
M. Haekal Arfan Boesary
21501101036

Pembimbing
dr. Nur Ramadhan, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KANJURUHAN KEPANJEN
2020
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih karunia-
Nya penulis dapat menyusun laporan kasus yang berjudul “Dengue Fever”. Penulis berharap
agar makalah ini dapat dimanfaatkan dan dipahami baik oleh penulis maupun pembaca serta
dapat memberikan dampak positif dalam memberikan pelayan terbaik dalam kesehatan. Segala
kritikan dan saran yang membangun sangat dibutuhkan untuk pengembangan ilmu kedokteran
yang dibahas dalam makalah ini.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih, khususnya kepada dosen pembimbing, dr. Nur
Ramadhan, Sp.A yang telah memberikan waktu, tenaga dan ilmu kepada penulis, serta teman
sejawat yang telah mendukung penyusunan laporan kasus ini.

Kepanjen, 14 Januari 2020

Penulis
3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi virus Dengue merupakan infeksi arbovirus yang paling luas
penyebarannya di negara tropik termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh
virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-
1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, ditularkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti dan
Ae. albopictus. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, dengan DEN-3
merupakan serotipe dominan dan sering berhubungan dengan kasus yang berat.1
Pada saat ini jumlah kasus di Indonesia masih tetap tinggi yaitu rata-rata 10-25
per 100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun bermakna sekitar
<2%. WHO mempunyai target angka kematian ini < 1%. Umur terbanyak yang
terkena infeksi dengue adalah kelompok 5 – 10 tahun, walaupun makin banyak
kelompok umur lebih tua menderita infeksi virus dengue. Spektrum klinis
bervariasi mulai dari “undifferentiated febrile illness” yang ringan, demam dengue
(dengue fever) dan demam berdarah dengue (DBD/dengue hemorrhagic fever).2,3
Gejala klasik dari demam dengue adalah gejala demam tinggi mendadak,
kadang-kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala, nyeri otot, sendi dan
tulang belakang, nyeri belakang bola mata, mual, muntah dan timbulnya ruam.
Ruam berbentuk makulo-papular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari),
kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul kembali ruam merah
halus pada hari ke-6 dan 7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan disertai
halo putih dan terasa gatal (convelescent rash).4
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana penegakan diagnosis dan penatalaksanaan Demam dengue?
1.3 Manfaat
Mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan Demam dengue
1.4 Tujuan
Sebagai bekal klinisi agar mampu menegakan diagnosis dan memberi terapi
serta edukasi kepada keluarga pasien.
4

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : An. P
Usia : 15 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
TTL : Turen, 8 Desember 2004
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Turen
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Siswa
No. RM : 406384
Tanggal Pemeriksaan : Senin, 13 Desember 2020
2.2 Identitas Orang Tua
Ayah:
Nama : Tn. Y
Usia :-
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan :-
Alamat :-
Status : Meninggal
Hubungan : Ayah Kandung
Ibu:
Nama Ibu : Ny. Y
Usia : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Turen
Status : Janda
Hubungan : Ibu Kandung
5

2.3 ANAMNESIS
2.3.1 Keluhan utama
Pendarahan Gusi dan Demam
2.3.2 Riwayat penyakit sekarang
Pasien sebelumnya mengeluhkan demam dan dibawah ke puskesmas
turen kemudian dirawat selama 3 hari dengan pemberian obat penurun
panas. Panas mulai menurun dan pulang hari ke empat, namun saat di rumah
pasien mengeluhkan pendarahan pada gusi hingga merembes, penurunan
nafsu makan, mual, dan kondisi tubuh yang lemah disertai nyeri abdomen
pada area epigastrium. Setelah itu pasien diantar untuk berobat kembali ke
puskesmas dan kemudian dirujuk ke rumah sakit masuk melalui IGD.
Selama di rumah sakit, keluhan pasien mulai berkurang, dan tidak lagi
mengalami pendarahan pada gusi. Namun, pasien mengeluhkan susah
buang air besar sejak masuk rumah sakit, otot badan terasa sakit, namun
mulai berkurang, keluhan lain disangkal.
2.3.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah didiagnosa demam thypoid namun mereda saat
diberikan parasetamol.
2.3.4 Riwayat Pengobatan
Dalam beberapa hari ini, Orang tua pasien memberikan terapi
lanjutan dari puskemas berupa antipiretik dan antibiotik.
2.3.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit ginjal pada keluarga (-), Hipertensi (-), Diabetes
melitus(-), penyakit jantung (-), Asma (-).
2.3.6 Riwayat Kehamilan
Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Pada saat hamil ibu
pasien dalam kondisi sehat, rutin kontrol ke bidan dan dokter spesialis
kandungan.
2.3.7 Riwayat Persalinan
Pasien lahir di rumah sakit dengan persalinan sercio caesar. Masa
gestasi 40 minggu keadaan bayi saat lahir dengan:
6

APGAR Score : 7-8


Berat Badan Lahir : 2850 gr
Panjang Badan Lahir : 49 cm
Saat lahir pasien langsung menangis, tidak membiru, tidak kejang, tidak sesak, tidak
kuning.
2.3.8 Riwayat nutrisi
Usia ASI Susu formula MPASI
0-6 bulan √
6 bulan √ - Bubur
10-12 bulan √ √ Normal ( Makanan keluarga )
12 bulan – 2 tahun √ √ Normal ( Makanan keluarga )
2 tahun – - √ Normal ( Makanan keluarga )
sekarang Anak sering mengkonsumsi
makanan ringan/ jajan
disekolah dan sesekali
mengkonsumsi susu.
Kesan : kebutuhan gizi terpenuhi

2.3.9 Riwayat Imunisasi


Orang tua pasien mengatakan pasien telah diimunisasi lengkap. Imunisasi
dilakukan di puskesmas.

Imunisasi Waktu pemberian


Bulan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hepatitis B √
BCG √
Polio √ √ √ √
DPT-HB-Hib √ √ √
Campak √
7

2.3.10 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


2.3.10.1 Riwayat Pertumbuhan
Pasien diasuh oleh ibu dan ayah sejak lahir. Pada saat lahir, berat badan
lahir, panjang badan dan lingkar kepala pasien dalam batas normal. Menurut
orang tua pasien pertumbuhan pasien sama dengan teman seumurannya.

2.3.10.2 Riwayat Perkembangan


Anak sekarang sekolah. Menurut ibu pasien, anak P mengalami tumbuh
yang sama dengan teman seumurannya.
2.3.11 Riwayat Psikososial
Pasien mudah untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya, pasien lebih
sering beraktivitas di luar rumah dan bermain berasama teman-teman pasien.
keluarga pasien golongan menengah, pasien tinggal dengan ibu dan kakak
pasien.
2.3.12 Riwayat Alergi
Alergi terhadap obat-obatan, makanan, cuaca tertentu disangkal.

2.4 Pemeriksaan Fisik Awal


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tensi : - mmHg
Nadi : 75x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,7°C
Antropometri
BB sekarang : 49 Kg
TB : 165 cm
Status Generalis
Kepala : Normochepal, ubun- ubun menutup
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, Refleks pupil +/+ isokor.
Edema palpebra -/-
8

Leher : Pembesaran KGB (-)


Thoraks : Bentuk dan gerak simetris. Pernapasan Vesikuler antara kanan dan
kiri. Ronki -/-, Wheezing -/-, Bunyi Jantung I dan II tunggal regular.
Retraksi ICS (-)
Abdomen :Perut supel, distensi abdomen (-), Bising usus (+) normal, hepar-
lien tidak teraba, asites (-), suara timpani diseluruh lapang abdomen.
Urogenital : edema scrotum -/-
Ekstremitas
Atas: Akral hangat +/+, CRT <2’’, edema -/-, pitting edema –
Bawah:Akral hangat +/+, CRT<2’’,edema -/-, pitting edema -

2.5 Diagnosis Banding


• Dengue Fever
• Dengue Haemorragic fever
• Thypoid Fever
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Lab tanggal 9 Januari 2020
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi Lengkap pg/ml
Hemoglobin 16.3 gr/dl 13.4 ~ 17.7
Eritrosit 5.76 juta/uL 4.0 ~ 5.5
Leukosit 6.9 ribu/uL 4.3 ~ 10.3
Trombosit 56 ribu/mm 3
142 ⁓ 424
Hematokrit 43.7 % 40 ~ 47
Index Eritrosit pg/ml
MCV 75.9 fL 80 ~ 93
MCH 28.3 Pg 27 ~ 31
MCHC 37.3 % 32 ~ 36
Hitung Jenis Leukosit pg/dl
Basofil 6.1 % 0~1
Neutrofil 32.5 % 51 ~ 67
Limfosit 45.00 % 25 ~ 33
Eosinofil 0.0 % 0~4
Monosit 16.4 % 2~4
9

Kimia Klinik
Gula Darah Sewaktu 112 Mg/dL <200

Pemeriksaan Lab tanggal 10 Januari 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi Lengkap pg/ml
Hemoglobin 14.5 gr/dl 13.4 ~ 17.7
Eritrosit 5.13 juta/uL 4.0 ~ 5.5
Leukosit 8.070 sel/uL 4.300 ~ 10.300
Trombosit 69 ribu/mm3 142 ⁓ 424
Hematokrit 39.9 % 40 ~ 47
Index Eritrosit pg/ml
MCV 77.8 fL 80 ~ 93
MCH 28.5 Pg 27 ~ 31
MCHC 36.6 % 32 ~ 36
Hitung Jenis Leukosit pg/dl
Basofil 1.5 % 0~1
Neutrofil 34.6 % 51 ~ 67
Limfosit 46.2 % 25 ~ 33
Eosinofil 0.2 % 0~4
Monosit 17.5 % 2~4

Pemeriksaan Lab tanggal 12 Januari 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi Lengkap pg/ml
Hemoglobin 15.4 gr/dl 13.4 ~ 17.7
Eritrosit 5.40 juta/uL 4.0 ~ 5.5
Leukosit 8.610 sel/uL 4.300 ~ 10.300
Trombosit 99 ribu/mm 3
142 ⁓ 424
Hematokrit 42.9 % 40 ~ 47
Index Eritrosit pg/ml
MCV 79.4 fL 80 ~ 93
MCH 28.5 Pg 27 ~ 31
MCHC 35.9 % 32 ~ 36
Hitung Jenis Leukosit pg/dl
Basofil 0.6 % 0~1
10

Neutrofil 32.3 % 51 ~ 67
Limfosit 44.0 % 25 ~ 33
Eosinofil 0.6 % 0~4
Monosit 22.5 % 2~4

Pemeriksaan Lab Tanggal 13 Januari 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi Lengkap pg/ml
Hemoglobin 15.7 gr/dl 13.4 ~ 17.7
Eritrosit 5.74 juta/uL 4.0 ~ 5.5
Leukosit 7.650 sel/uL 4.300 ~ 10.300
Trombosit 157 ribu/mm3 142 ⁓ 424
Hematokrit 46.5 % 40 ~ 47
Index Eritrosit pg/ml
MCV 81.0 fL 80 ~ 93
MCH 27.4 Pg 27 ~ 31
MCHC 33.9 % 32 ~ 36
Hitung Jenis Leukosit pg/dl
Basofil 1.9 % 0~1
Neutrofil 29.0 % 51 ~ 67
Limfosit 46.1 % 25 ~ 33
Eosinofil 1.1 % 0~4
Monosit 21.8 % 2~4

2.7 Diagnosa Kerja


Dengue fever
2.8 Penatalaksanaan
• MRS
Medikamentosa :
• Pemberian infus D5 ½ NS 2000 cc/24jam
• Inj. Omeprazole 2x10 mg
• Inj. Antrain 3x500 mg (k/p → Temp. >/= 38,5)
• PO. Sanmol 3x1 tab
• PO. Lactulosa 2x7,5 cc
Non-Medikamentosa
11

• Tirah Baring
• Asupan makan dan minum ditingkatkan
Monitoring:
• Observasi kondisi klinis (tanda vital) setiap 8 jam
• Pemeriksaan darah lengkap (Hb, trombosit dan Hct)
• Observasi jika ada perdarahan spontan
2.9 KIE
1. Memberi edukasi kepada keluarga terkait penyebab, komplikasi dan
prognoasa demam dengue
2. Memberi edukasi kepada keluarga terkait lama pengobatan demam
dengue
3. Memberikan edukasi kepada keluarga terkait faktor resiko dan cara –
cara pencegahan yang berkaitan dengan hiegene personal dan sanitasi
lingkungan untuk mencegah terjadinya infeksi dengue.

2.10 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanatiam : dubia ad bonam

2.11 Komplikasi
• Komplikasi demam dengue
Demam dengue dapat disertai dengan perdarahan akibat penyakit dasar
seperti ulkus peptikum, trombositopenia berat, dan trauma.

2.12 Resume
Pasien An. P usia 2 tahun datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen pada
hari kamis sore tanggal 9 Januari 2020 dengan keluhangusi berdarah dan
disertai demam. Sebelumnya pasien sudah di rawat di puskesmas turen selama
3 hari dan panas mulai turun sehingga pada hari ke 3 dirawat pasien kembali
kerumah. Namun, saat dirumah pasien mengeluhkan gusi yang berdarah terus
menerus. Ibu pasien telah memberikan obat sesuai dengan terapi sebelumnya,
12

dengan pemberian antibiotic dan obat penurun panas. Setelah itu pasien
dibawah ke puskesmas kemudian di rujuk ke IGD. Saat di IGD keluhan utama
pasien adalah gusi yang berdarah terus menerus tanpa ada demam yang tinggi.
Badan terasa lemas (+), pusing (+), Nyeri perut (+), dan penurunan nafsu
makan dan minum.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hasil Vital Sign: RR: 20 x/menit; Nadi:
68 x/menit dan Suhu: 37,2 °C. Keadaan umum pasien tampak sakit sedang.
Pada pemeriksaan penunjang dengan melakukan pemeriksaan darah lengkap
didapatkan penurunan Trombosit: 56.000 sel/cm. Dari data yang sudah ada,
diagnosa kerja dari pasien adalah Dengue Fever.
Rencana terapi Medikamentosa pasien Infus D5 ½ NS 2000 cc/24Jam, Inj.
Omeprazole 2x10 mg, Inj antrain 3x120 mg (kalau perlu ≥38,5oC), PO sanmol
3x1 tab (kalau perlu ≥37,5oC) dan lactulose 2x7,5 cc.
Terapi Non Medikamentosa dianjurkan tirah baring, asupan makan
ditingkatkan dan pemberian KIE.

2.13 SOAP

No. Tanggal S O A P
1. 10-1-2020 Demam (-), gusi • Ku : lemah s. dengue Medikamentosa
berdarah (+), BAK • GCS : 456 fever • Pemberian infus Asering
(+), BAB (-), nafsu • VS : 1500 cc/24jam
makan minum N: 68x/m, RR: • Inj. Omeprazole 2x10 mg
menurun, badan 20x/m, T:37,2oC • Inj. Antrain 3x500 mg (k/p
terasa lemah. • Kepala: Temp. >/= 38,5 oC)
normocephal • PO. Sanmol 3x1 tab (k/p
• Mata : anemis -/-, Temp. >/= 37.5 oC)
RC -/- edema Non-Medikamentosa
palpebra -/- • Tirah Baring
• THT: Tonsil : • Asupan makan dan minum
T1/T1, Faring : tidak ditingkatkan
hiperemi
• Thorax: simetris Monitoring
+/+, retraksi -/-, • Observasi kondisi
Rhonki -/- klinis (Tanda
• Jantung: S1/S2 vital) setiap 8 jam
reguler, murmur -/-, • Pemeriksaan
gallup -/- darah lengkap
• Abdomen : BU + (Hb, trombosit
• Ekstremitas :, akral dan Hct)
hangat, CRT <2 s • Observasi jika ada
perdarahan
Lab : spontan
trombosit : 69.000
13

2. 12-1-2020 Demam (-), gusi • Ku : lemah Dengue Medikamentosa


berdarah (-) • GCS : 456 fever • Pemberian infus D5 ½ NS
mimisan (-), Nyeri • VS : N: 68x/m, 2000 cc/24jam
perut, nafsu makan RR:20x/m, T:37.0 • Inj. Omeprazole 2x10 mg
minum kurang. • Kepala: • Inj. Antrain 3x500 mg (k/p
normocephal Temp. >/= 38,5 oC)
• Mata : anemis -/-, • PO. Sanmol 3x1 tab (k/p
RC -/- edema Temp. >/= 37.5 oC)
palpebra -/- • PO. Lactulosa 2x7,5 cc
• THT: Tonsil : Non-Medikamentosa
T1/T1, Faring : tidak • Tirah Baring
hiperemi • Asupan makan dan minum
• Thorax: simetris ditingkatkan
+/+, retraksi -/-,
Rhonki -/- Monitoring
• Jantung: S1/S2 • Observasi kondisi klinis
reguler, murmur -/-, (tanda vital) setiap 8 jam
gallup -/- • Pemeriksaan darah
• Abdomen : BU + lengkap (Hb, trombosit
• Ekstremitas :, akral dan Hct)
hangat, CRT <2 s • Observasi jika ada
perdarahan spontan
Lab :
trombosit : 99.000

3. 13/1/2020 Demam (-), gusi • Ku : Baik Dengue Medikamentosa


berdarah (-) • GCS : 456 fever • Pemberian infus D5 ½ NS
mimisan (-), Nyeri • VS : N: 72x/m, RR: 2000 cc/24jam
perut berkurang, 20x/m, T:36.8℃ • Inj. Omeprazole 2x10 mg
nafsu makan • Kepala: • Inj. Antrain 3x500 mg (k/p
minum sudah mau normocephal Temp. >/= 38,5 oC)
• Mata : anemis -/-, • PO. Sanmol 3x1 tab (k/p
RC -/- edema Temp. >/= 37.5 oC)
palpebra -/- • PO. Lactulosa 2x7,5 cc
• THT: Tonsil : Non-Medikamentosa
T1/T1, Faring : tidak • Tirah Baring
hiperemi • Asupan makan dan minum
• Thorax: simetris ditingkatkan
+/+, retraksi -/-,
Rhonki -/- Monitoring
• Jantung: S1/S2 • Observasi kondisi klinis
reguler, murmur -/-, (tanda vital) setiap 8 jam
gallup -/- • Pemeriksaan darah
• Abdomen : BU + lengkap (Hb, trombosit
• Ekstremitas :, akral dan Hct)
hangat, CRT <2 s • Observasi jika ada
perdarahan spontan
Lab :
trombosit : 157.000
14

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Demam Dengue


Demam dengue/Dengue fever adalah suatu penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dan ditularkan melalui nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes
Albopictus. Virus demam berdarah terdiri dari 4 serotipe yaitu virus DEN-1, DEN-
2, DEN-3 dan DEN-45.
3.2 Etiologi
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya
aegipty (dahulu disebut Aedes aegipty) dan Stegomiya albopictus (dahulu Aedes
albopictus). Transmisi virus tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Termasuk
dalam faktor biotik adalah faktor virus, vektor nyamuk, dan pejamu manusia;
sedangkan faktor abiotik adalah suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan6.
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Selain virus
dengue, virus lain yang termasuk dalam genus ini adalah Japanesse encephalitis
virus (JEV), yellow fever virus (YFV), West Nile virus (WNV), dan tickborne
encephalitis virus (TBEV). Masing-masing virus tersebut mempunyai kemiripan
struktur antigeniknya sehingga memungkinkan terjadi reaksi silang secara
serologik. Berdasarkan genom yang dimiliki, virus dengue termasuk virus (positive
sense single stranded) RNA. Genom ini dapat ditranslasikan langsung
menghasilkan satu rantai polipeptida berupa tiga protein struktural (capsid = C, pre-
membrane = prM, dan envelope = E) dan tujuh protein non-struktural (NS1, NS2A,
NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5)5.
Selanjutnya, melalui aktivitas berbagai enzim, baik yang berasal dari virus
maupun dari sel pejamu polipeptida tersebut membentuk menjadi masing-masing
protein. Protein prM yang terdapat pada saat virus belum matur oleh enzim furin
yang berasal dari sel pejamu diubah menjadi protein M sebelum virus tersebut
disekresikan oleh sel pejamu. Protein M bersama dengan protein C dan E
membentuk kapsul dari virus, sedangkan protein nonstruktural tidak ikut
membentuk struktur virus. Protein NS1 merupakan satu-satunya protein
nonstruktural yang dapat disekresikan oleh sel pejamu mamalia tapi tidak oleh
15

nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam darah pejamu sebagai antigen NS1.
Masing masing protein mempunyai peran yang berbeda dalam patogenisitas,
replikasi virus, dan aktivasi respons imun, baik humoral maupun selular.
Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat serotipe virus dengue, yaitu DENV-1,
DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Masing-masing serotipe mempunyai beberapa
galur (strain) atau genotipe yang berbeda. Serotipe yang dapat ditemukan dan yang
paling banyak beredar di suatu negara atau area geografis tertentu berbeda-beda. Di
Indonesia keempat serotipe virus dengue tersebut dapat ditemukan dan DENV-3
merupakan galur yang paling virulen5.
Pada saat ini nyamuk Stegomiya aegipty (Aedes aegipty) disebut sebagai
spesies kosmopolitan yang banyak ditemukan di berbagai belahan dunia. Nyamuk
ini merupakan nyamuk domestik yang mempunyai afinitas tinggi untuk menggigit
manusia (antropofilik) serta dapat menggigit lebih dari satu individu (multiple-bite)
untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Saat nyamuk menghisap darah manusia
yang sedang mengalami viremia, virus masuk ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua
hari sebelum timbul demam sampai 5-7 hari fase demam. Nyamuk kemudian
menularkan virus ke manusia lain. Kerentanan untuk timbulnya penyakit pada
individu antara lain ditentukan oleh status imun dan faktor genetik pejamu. Faktor
abiotik seperti suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan, telah diketahui
berperan dalam penyebaran penyakit dengue. Perubahan iklim secara global
dilaporkan membuat nyamuk mengalami dehidrasi sehingga untuk
mempertahankan diri nyamuk akan lebih sering menggigit manusia. Peningkatan
curah hujan, terutama saat peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan
dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan kasus penyakit dengue5.
Struktur protein virus dengue mempunyai fungsi mempermudah
perpindahan asam nukleat virus dari sel host satu ke sel host yang lain. Protein ini
berperan melindungi gen virus terhadap inaktivasi oleh nukleus dan melengkapi
partikel virus untuk intervensi sel yang rentan. Respons imunitas host secara
langsung akan melawan faktor antigen protein atau glikoprotein virus yang tidak
terlindungi di permukaan partikel virus5.
16

Gambar 3.1 Struktur virus Dengue melalui mikroskop krioelektron

3.3 Patofisiologi
Patofisiologi infeksi virus dengue berkaitan dengan faktor virus, faktor
penjamu, dan faktor lingkungan. Yang termasuk faktor virus berkaitan dengan
sertipe, jumlah, dan virulensi. Sedangkan yang termasuk faktor penjamu seperti
genetik, usia, status gizi penyakit komorbid, dan interaksi antara virus dan penjamu.
Faktor lingkungan yang termasuk didalamnya adalah seperti musim, curah hujan,
suhu udaram kepadatan penduduk, dan kesehatan lingkungan7.
Peran sistem imun apabila seseorang terkena infeksi virus dengue pertama kali
(primer) maka akan menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk serotipe
penyebab yang sama. Namun jika terkena infeksi yang kedua dengan serotipe virus
yang berbeda (secondary heteroogous infection) maka akan memberikan
manifestasi klinis yang lebih berat dibandingkan infeksi primer. Pada bayi yang
baru lahir dengan ibu yang memiliki antibodi dapat menunjukkan manifestasi klinis
berat meskipun infeksi primer. Ketika jumlah virus dalam darah menurun, maka
akan terjadai kebocoran plasma yang merupakan tanda dari demam berdarah
dengue. Hal ini terjadi dalam kurun waktu 24 hingga 48 jam8.
Interaksi antara virus dengue dengan sel dendrit, monosit/makrofag, sel
endotel, dan trombosit maka akan menyebabkan berbagai mediator sitokin,
peningkatan aktivasi sistem komplemen, seta terjadi aktivasi limfosit T. Apabila
aktivasi sel imun berlebihan, akan diproduksi sitokin dalam jumlah yang banyak..
Hal tersebut menyebabkan timbulnya berbagai kelainan yang akhirnya
memunculkan tanda dan gejala. Infeksi yang berat dalam hal ini demam berdarah
dengue ditandai dengan peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut
17

badai sitokin. Sitokin yang paling banyak ditemukan yaitu TNF-alfa, IL-1beta, IL-
6, IL8, dan IFN-gama. Virus dengue memiliki empat serotip8.
Apabila satu infeksi tersebut mengenai tubuh maka akan membentuk
kekebalan tubuh terhadap serotip tersebut. Pada saat yang sama sebagian dari
kekebalan silang akan dibentuk antibodi untuk serotipe lain. Apabila kemudian
terjadi infeksi oleh serotipe yang berbeda, maka antibodi heterotipik yang bersifat
non atau subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel tertentu dari virus
serotipe yang baru membentuk komplek imun. Komplek imun akan berikatan
dengan reseptor Fcƴ yang banyak terdapat terutama pada monosit dan makrofag,
sehingga memudahkan virus menginfeksi sel. Virus bermultipikasi di dalam sel dan
selanjutnya virus keluar dari sel, sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga
dapat mengaktifkan kaskade sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a
yang mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas vaskular7,8.

Gambar 3.2 Patofisiologi Infeksi Virus Dengue

Respon imun seluar yang berperan yaitu limfosit T (sel T). Sama dengan respin
imun humoral, respons sel T terhadap infeksi virus dengue dapat menguntungkan
sehingga tidak menimbulkan penyakit atau hanya berupa infeksi ringan namun juga
dapat merugikan penjamu. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat mengenali sel
yang terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons beragam berupa proliferasi
sel T, menghancurkan (lisis) sel terifeksi dengue, serta memproduksi berbagai
sitokin. Pada penelitian in vitro diketahui bahwa baik sel T dan CD4 maupun sel T
CD8 dapat menyebabkan lisis sel target yang terinfeksi dengue. Dalam
menjalankan fungsinya sel T CD4 lebih banyak sebagai penghasil sitokin
18

dibandingkan dengan fungsi menghancurkan sel terinfeksi virus dengua.


Sebaliknya sel T CD8 lebih berperan untuk lisis sel target dibandingkan dengan
produksi sitokin8.
Antibodi terhadap protein NS1 dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel
endotel dan trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut
serta dapat memacu respon inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibodi
terhadap protein NS1 dengue ternyata dapat mengekspresikan sitokin, kemokin,
dan molekul adhesi. Selain antibodi terhadap protein NS1, ternyata antibodi
terhadap prM juga dapat menyebabkan reaksi autoimun. Autiantiodi terhadap
protein prM tersebut dapat beraksi silang dengan endotel8.

3.4 Klasifikasi
Klasifikasi infeksi dengue mengalami beberapa kali perubahan sejak WHO
1997, kemudian WHO 2009, dan yang terakhir menggunakan WHO 2011.
Perubahan klasifikasi dengue berkaitan dengan diagnosis dan penatalaksanaan
pasien. Menurut WHO 1997, manifestasi infeksi dengue dengan gejala simtomatik
dibagi menjadi 3 pembagian.9

Gambar 3.3 Klasifikasi dengue WHO 1997


Dengan berkembangnya penyebaran dari penyakit ini, beberapa pakar menilai perlu
adanya pengembangan pada klasifikasi dengue 1997 ini, sehigga dibentuk
19

klasifikasi terbaru yang merupakan hasil pengembangan klasifikasi dengue 1997


pada tahun 2009, dengan pembagian sebagai berikut: 10

Gambar 3.4 Klasifikasi dengue WHO 2009

Setelah klasfikasi dengue dari WHO 2009 disebar luaskan, negara-negara


dibagian Asia tenggara melakukan berbagai macam evaluasi terkait kemungkinan
penggunaan dan pengaplikasiaan dari pembagian tersebut belum dapat diterima
seluruhnya untuk menggantikan klasifikasi dengue WHO 1997, terutama pada
kasus anak. Terdapat perbedaan mendasar pada kedua klasifikasi tersebut, yaitu
spektrum klinis infeksi dengue tidak dibedakan antara kelompok spektrum dengan
perembesan plasma (DBD, DSS) dan tanpa perembesan plasma (DD). Kedua,
batasan untuk dengue ± warning signs terlalu luas sehingga akan menyebabkan ove-
diagnosis. Namun, diakui bahwa perlu dibuat spektrum klinis terpisah dari DBD,
yaitu expanded dengue syndrome yang terdiri dari isolated organopathy dan
unusual manifestations.
Berdasarkan hal tersebut, klasifikasi diagnosis dengue WHO 2011 disusun
hampir sama dengan klasifikasi diagnosis WHO 1997, namun kelompok infeksi
dengue simtomatik dibagi menjadi undifferentiated fever, DD, DBD, dan expanded
dengue syndrome terdiri dari isolated organopathy dan unusual manifestation.
Klasifikasi yang merupakan revisi edisi sebelumnya dimuat dalam buku WHO
20

“Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue


haemorrhagic fever, revised and expanded edition” tahun 2011.11

Gambar 3.5 Klasifikasi Dengue WHO 2011


Pertama demam undifferentiated, dimana merupakan infeksi primer, dengan
manifestasi klinis berupa demam yang sulit dibedakan dengan demam akibat
infeksi virus lainnya. Demam akan disertai rash maculopapular baik pada fase
demam atau sesudah demam turun. Gejala lain dapat berupa gejala saluran
pernapasan atas dan gangguan gastrointestinal.11
Kedua, demam dengue yang paling sering terjadi diawali dengan demam bifasik,
sefalgia, myalgia, arthralgia, rash, leukopenia, dan trombositopenia. Manifestasi
perdarahan juga dapat terjadi, seperti perdarahan saluran cerna, hypermenorrhea,
dan epistaksis.11
Ketiga, demam berdarah dengue yang sering terjadi pada anak dibawah 15
tahun pada daerah yang hiperendemis dengan infeksi dengue berulang. DBD
diawali dengan demam onset akut yang tinggi dengan manifestasi klinis
menyerupai demam dengue. Sering ditemukan manifestasi perdarahan dengan uji
tornikuet positif atau perdarahan spontan berupa petekia, purpura, dan perdarahan
gastrointestinal. Namun setelah fase demam, akan terjadi kebocoran plasma yang
dapat menyebabkan syok hypovolemia. Tanda bahaya seperti muntah persisten,
nyeri abdomen, penurunan kesadaran, oliguria merupakan penanda awal syok9,11.
21

Keempat, Expanded dengue syndrome, Kasus infeksi dengue dengan unusual


manifestation tidak jarang terjadi pada kasus anak. Unusual manifestation atau
manifestasi yang tidak lazim, umumnya berhubungan dengan keterlibatan beberapa
organ seperti hati, ginjal, jantung, dan gangguan neurologis pada pasien infeksi
dengue (table 1). Kejadian unusual manifestation infeksi dengue tersebut dapat pula
terjadi pada kasus infeksi dengue tanpa disertai perembesan plasma umumnya
unusual manifestation berhubungan dengan ko-infeksi, ko-morbiditas, atau
komplikasi syok yang berkepanjangan (prolonged shock) disertai kegagalan organ
(organ failure). Sedangkan pada ensefalopati seringkali dijumpai gejala kejang,
penurunan kesadaran, dan transient paresis. Ensefalopati dengue dapat disebabkan
oleh perdarahan atau oklusi (sumbatan) pembuluh darah11.

Tabel 1. Unusual manififestation pada expended dengue syndrome


3.5 Gejala Klinis
Berdasarkan “World Health Organization 2011” manifestasi klinis demam
dengue dibedakan berdasarkan klasifikasinya,(table 2) yaitu :11
22

Tabel 2. Perbedaan gejala klinis pada DF dan DHF


Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui, untuk gejala klinis dari demam
berdarah antara lain :
- Demam tinggi mendadak
- Ditambah gejala penyerta 2 atau lebih :
• Nyeri kepala
• Nyeri retro orbita
• Nyeri otot dan tulang
• Ruam kulit
• Meski jarang dapat disertai manifestasi perdarahan
• Leukopenia
• Uji HI> 1280 atau IgM/IgG positif
- Tidak ditemukan tanda kebocoran plasma ( hemokonsentrasi, efusi pleura,
asites, hipoproteinemia)
Sedangkan manifestasi demam berdarah dengue yang harus ada yaitu :
23

- demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus
selam 2-7 hari
- Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan :
• Uji torniquet positf
• Petekie, ekimosis, purpura
• Perdarahan mukosa, epiktasis, perdarahan gusi
• Hematemesis dan atau melena
• Pembesaran hati
• Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba,
penyempitan tekanan nadi ( ≤ 20mmHg), hipotensi sampai tidak terukur,
kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2
detik), dan pasien tampak gelisah
- Hasil lab berupa: trombositopenia (10.000/µl atau kurang), adanya
kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler dengan
manifestasi peningkatan hematokrit ≥20% dari nilai standar dan penurunan
hematokrit ≥20% setelah mendapat terapi cairan, efusi pleura/perikardial,
asites dan hipoproteinemia
Dua kriteria klinis pertama ditambah satu dari kriteria laboratorium (atau
hanya peningkatan hematokrit) sudah dapat ditegakkan diagnosis sebagai demam
berdarah dengue.
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau menyebabkan demam
yang tidak terdefinisi (sindrom virus), demam dengue atau demam berdarah
dengue. Gambaran klinis tergantung strain virus dan faktor host seperti umur dan
status imun.
Perjalanan demam dengue dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase febris, fase
kritis dan fase pemulihan11.
1. Fase febris,
Biasanya demam mendadak tinggi 2 – 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema
kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa
kasus ditemukan nyeri tenggorokan, injeksi faring dan konjungtiva, anoreksia,
mual dan muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti
24

ptekie, perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan


pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
2. Fase kritis,
Terjadi pada hari 3 – 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai
kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya
berlangsung selama 24 – 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh
lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat
terjadi syok.
3. Fase pemulihan,
Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler
ke intravaskuler secara perlahan pada 48 – 72 jam setelahnya. Keadaan umum
penderita membaik, nafsu makan pulih kembali , hemodinamik stabil dan
diuresis membaik.

Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan :


• Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat
secara progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau
syok (takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler
(capillary refill time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan
nadi yang menyempit atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan darah)
• Adanya perdarahan yang signifikan
• Gangguan kesadaran
• Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen
yang hebat atau bertambah, ikterik)
• Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi tak lazim lainnya,
25

Gambar 3.6. Perjalanan demam dengue


3.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis,
hematokrit, dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1
setelah demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit
ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal
menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan
penyakit DD/DBD13,14.

Gambar 3.7 Pemeriksaan Laboratorium Infeksi Virus Dengue3


26

Uji serologi IgM dan IgG anti dengue :


• Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit,
mencapai puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/
menghilang pada akhir minggu keempat sakit.
• Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari
sakit ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan
pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.
• Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi
sekunder. Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun
apabila IgM:IgG rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.
Pemeriksaan radiologi berupa pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral
decubitus dilakukan atas indikasi:
• Distres pernafasan/ sesak
• Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai
20%-40%
• Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai
edema paru karena overload pemberian cairan.
• Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru
terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak
dibandingkan yang kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan,
dan efusi pleura.
• Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding
vesika felea, dan dinding buli-buli.

3.7 Diagnosa Banding


Berdasarkan perjalanan penyakit, gejala dan hasil pemeriksaan
laboratoriumnya, demam dengue memiliki diagnosa banding yaitu12 :
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosa banding mencakup infeksi
bakteri, virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid, campak,
influenza, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis, dan malaria.
27

Adanya trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat


membedakan antara DBD dengan penyakit lain.
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya
(DC). Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan
penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD,
DC memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih
pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular,
infeksi konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji
tourniquet positif, petekie dan epistaksis hampir sama dengan DBD.
Pada DC tidak ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa
penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada
sepsis, sejak semula pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan
ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu jelas terdapat
leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran ke kiri
pada hitung jenis). Pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk
membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada meningitis
meningokokus jelas terdapat gejala rangsangan meningeal dan kelainan
pada pemeriksaan cairan serebrospinalis.
d. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan
DBD derajat II, oleh karena didapatkan demam disertai perdarahan di
bawah kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan
dengan penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang (pada
ITP bisa tidak disertai demam), tidak dijumpai leukopeni, tidak dijumpai
hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis.
Pada fase penyembuhan DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali
normal daripada ITP.
3.8 Komplikasi
• Komplikasi Demam Dengue
Demam dengue dapat disertai dengan perdarahan akibat penyakit
dasar seperti ulkus peptikum, trombositopenia berat, dan trauma.
• Komplikasi DBD
28

Komplikasi DBD pada fase demam berupa dehidrasi dan kejang


demam. Memasuki fase syok dapat terjadi asidosis metabolik,
perdarahan berat akibat koagulopati intravascular, elektrolit
imbalance, dan kegagalan multiorgan. Sedangkan pada fase
penyembuhan sering terjadi hypervolemia.

3.9 Penatalaksanaan
Pengobatan kasus dengue menurut klasifikasi diagnosis WHO 2011 tidak
jauh berbeda dengan klasifikasi WHO 1997 yang selama ini dipergunakan di
Indonesia. Dalam tata laksana kasus dengue terdapat dua keadaan klinis yang
perlu diperhatikan yaitu11:
• Sistem triase yang harus disosialisasikan kepada dokter yang bertugas di
unit gawat darurat atau puskesmas. Dalam sistem triase tersebut, dapat
dipilah pasien dengue dengan warning signs dan pasien yang dapat berobat
jalan namun memerlukan observasi lebih lanjut (Gambar 3.11).
• Tata laksana kasus sindrom syok dengue (DSS) dengan dasar pemberian
cairan yang adekuat dan monitor kadar hematokrit. Apabila syok belum
teratasi selama 2 x 30 menit, pastikan apakah telah terjadi perdarahan dan
transfusi PRC merupakan pilihan (Gambar 3.12).
29

Gambar 3.8 Alur triage rekomendasi WHO tahun 2011

Gambar 3.9 Flow chart penggantian volume cairan pada sindrom


syok dengue pada pedoman WHO tahun 2011
30

Tata laksana infeksi dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang


terbagi atas 3 fase, yaitu :
Fase Demam
Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik
dan suportif. Parasetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan
dosis 10mg/kg/dosis selang 4 jam apabila suhu >380C. Pemberian aspirin
dan ibuprofen merupakan indikasi kontra. Kompres hangat kadang
membantu apabila anak merasa nyaman dengan pemberian kompres.
Pemberian antipiretik tidak mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat
memperpendek durasi demam.
Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain larutan
oralit, larutan gula-wgaram, jus buah, susu, dan lain-lain. Apabila pasien
memperlihatkan tanda dehidrasi dan muntah hebat, koreksi dehidrasi sesuai
kebutuhan. Apabila cairan intravena perlu diberikan karena tidak mau
minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka pada fase ini
biasanya kebutuhan sesuai rumatan. Semua pasien tersangka dengue harus
diawasi dengan ketatsejak hari sakit ke-3. Selama fase demam, belum dapat
dibedakan antara DD dengan DBD. Ruam makulopapular dan
mialgia/artralgia lebih banyak ditemukan pada pasien DD. Setelah bebas
demam selama 24 jam tanpa antipiretik, pasien demam dengue akan masuk
dalam fase penyembuhan, sedangkan pasien DBD memasuki fase kritis. 34
Fase Kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada
umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat terhadap
kejadian syok yang mungkin terjadi. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala
merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil
pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan
pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya
terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi.
Tetesan berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum, volume yang
31

dibutuhkan selama terjadi peningkatan permeabilitas kapiler adalah jumlah


cairan dehidrasi sedang (rumatan ditambah 5-8%).
Cairan intravena diperlukan, apabila:
1. Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga
tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya
dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok;
2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan
kehilangan elektrolit;
3. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid sesuai cairan dehidrasi
sedang (6-7 ml/kgBB/jam). Monitor tanda vital, diuresis setiap jam dan
hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam.
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak
tampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan
kadar Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut,
maka tetesan dikurangi secara bertahap menjadi 5 ml/kgBB/jam, kemudian
3 ml/ kgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.
Beberapa contoh cairan Kristaloid yaitu ringer laktat (RL), ringer
asetat (RA), ringer maleate, garam faali (GF), Dekstrosa 5% dalam larutan
ringer laktat (D5/RL), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA),
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF). Pada resusitasi
syok dipergunakan larutan kristaloid yang tidak mengandung dekstosa.
Sedangkan contoh cairan koloid yaitu Dekstran 40, Plasma, Albumin,
Hidroksil etil starch 6%, gelafundin.
.
32

Tabel 3. Keuntungan dan kerugian beberapa kristaloid


Selain itu, hati yang membesar dan lunak merupakan indikator fase
kritis. Pasien harus diawasi ketat dan dirawat di rumah sakit. Leukopenia
<5000 sel/ mm3 dan limfositosis disertai peningkatan limfosit atipikal
mengindikasikan bahwa dalam waktu 24 jam pasien akan bebas demam
serta memasuki fase kritis. Trombositopenia mengindikasikan pasien
memasuki fase kritis dan memerlukan pengawasan ketat di rumah sakit.
Peningkatan nilai hematokrit (Ht) 10-20% menandakan pasien
memasuki fase kritis dan memerlukan pengobatan cairan intravena apabila
tidak dapat minum oral. Pasien harus dirawat dan diberikan cairan sesuai
kebutuhan. Tanda vital, hasil laboratorium, asupan dan luaran cairan harus
dicatat dalam lembar khusus. Penurunan hematorkrit merupakan tanda-
tanda perdarahan. Umumnya pada fase ini pasien tidak dapat makan dan
minum karena anoreksia atau dan muntah. Kewaspadaan perlu ditingkatkan
pada pasien dengan risiko tinggi, seperti bayi, DBD derajat III dan IV,
obesitas, perdarahan berat, penurunan kesadaran, adanya penyulit lain,
seperti kelainan jantung bawaan dll, atau rujukan dari Rumah Sakit lain.
Cairan intravena diberikan apabila terlihat adanya kebocoran plasma
yang ditandai dengan peningkatan Ht 10-20% atau pasien tidak mau makan
dan minum melalui oral. Cairan yang dipilih adalah golongan kristaloid
(ringer laktat dan ringer asetat). Selama fase kritis pasien harus menerima
cairan rumatan ditambah defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang. Pada
pasien dengan berat badan lebih dari 40 kg, total cairan intravena setara
dewasa, yaitu 3000 ml/24 jam. Pada pasien obesitas, perhitungkan cairan
33

intravena berdasarkanberat badan idéal. Pada kasus non syok, untuk pasien
dengan berat badan (BB) <15 kg, pemberian cairan diawali dengan tetesan
6-7 ml/ kg/jam, antara 15-40 kg dengan 5 ml/kg/jam, dan pada anak dengan
BB >40 kg, cairan cukup diberikan dengan tetesan 3-4 ml/kg/jam.
Setelah masa kritis terlampaui, pasien akan masuk dalam fase
penyembuhan, yaitu saat keadaan overload mengancam. Pada pasien DBD,
cairan intravena harus diberikan dengan seksama sesuai kebutuhan agar
sirkulasi intravaskuler tetap memadai. Apabila cairan yang diberikan
berlebihan maka kebocoran terjadi ke dalam rongga pleura dan abdominal
yang selanjutnya menyebabkan distres pernafasan. Tetesan intravena harus
disesuaikan berkala dengan mempertimbangkan tanda vital, kondisi klinis
(penampilan umum, pengisian kapiler), laboratoris (hemoglobin,
hematokrit, lekosit, trombosit), serta luaran urin. Pada fase ini sering
dipergunakan antipiretik yang tidak tepat dan pemberian antibiotik yang
tidak perlu. Cairan intravena tidak perlu diberikan sebelum terjadinya
kebocoran plasma. Penderita DD umumnya tidak perlu diberikan cairan
intravena.
Cairan yang dibutuhkan pada fase kritis setara dengan dehidrasi
sedang yang berlangsung tidak lebih dari 48 jam. Kemampuan untuk
memberi cairan sesuai kebutuhan pada fase ini menentukan prognosis.
Sebagian pasien sembuh setelah pemberian cairan intravena, sedangkan
pasien dengan kondisi berat atau tidak mendapat cairan sesuai dengan
kebutuhan akan jatuh ke dalam fase syok. Pemberian cairan intravena
sebelum terjadi kebocoran plasma sebaiknya dihindarkan karena dapat
menimbulkan kelebihan cairan. Pemantauan tanda vital pada fase kritis
bertujuan untuk mewaspadai gejala syok. Kegagalan tata laksana pada fase
ini biasanya disebabkan oleh penggunaan cairan hipotonik dan
kertelambatan penggunaan koloid selama fase kritis21.
Dengue berat harus dipertimbangkan apabila ditemui bukti adanya
kebocoran plasma, perdarahan bermakna, penurunan kesadaran, perdarahan
saluran cerna, atau gangguan organ berat. Tata laksana dini pemberian
cairan untuk penggantian plasma dengan kristaloid dapat mencegah
34

terjadinya syok sehingga menghindari terjadinya penyakit berat. Apabila


terjadi syok, maka berikan cairan sebanyak-banyaknya 10-20 ml/kgBB atau
tetesan lepas selama 10-15 menit sampai tekanan darah dan nadi dapat
diukur, kemudian turunkan sampai 10 ml/kg/jam. Berikan oksigen pada
kasus dengan syok. Enam sampai 12 jam pertama setelah syok, tekanan
darah dan nadi merupakan parameter enting untuk menentukan tetesan
cairan, tetapi kemudian perhitungkan semua parameter sebelum mengatur
tetesan17,18,21.
Setelah resusitasi awal, pantau pasien 1 sampai 4 jam. Apabila
tetesan tidak dapat dikurangi menjadi <10ml/kg/jam karena tanda vital tidak
stabil (tekanan nadi sempit, cepat dan lemah), ulangi pemeriksaan Ht.
Dalam keadaan seperti ini, dapat dipertimbangkan pemberian koloid
(diindikasikan pada keadaan syok berulang atau syok berkepanjangan).
Apabila ada kenaikan Ht, ganti cairan dengan koloid yang sesuai, dengan
tetesan 10ml/kg/jam. Siapkan darah dan nilai kembali pasien untuk
kemungkinan pemberian transfusi apabila diperlukan21.
Apabila nilai awal Ht rendah, pikirkan kemungkinan perdarahan
internal dan pantau nilai Ht lebih sering. Berikan transfusi darah sesuai
kebutuhan bila perlu. Hentikan perdarahan dengan tindakan yang tepat.
Indikasi transfusi darah adalah bila terdapat kehilangan darah bermakna,
misalnya >10% volume darah total. (T\total volume darah= 80 ml/kg).
Berikan darah sesuai kebutuhan. Setelah 6 jam, apabila Ht menurun, meski
telah diberikan sejumlah besar cairan pengganti dan tetesan tidak dapat
diturunkan sampai <10 ml/kg/ jam, pertimbangkan untuk pemberian
transfusi darah segera21.
Apabila syok masih berkepanjangan meski telah diberikan cairan
memadai dan didapatkan penurunan Ht, maka mungkin terdapat perdarahan
bermakna yang memerlukan transfusi darah. Pasien dengan perdarahan
tersembunyi dicurigai apabila ada penurunan Ht dan tanda vital yang tidak
stabil meski telah diberi cairan pengganti dengan volume cukup banyak.
Pada keadaan demikian, berikan packed red cell (PRC) 5 ml/kg/kali.
Apabila tidak tersedia, dapat diberikan sediaan darah segar 10 ml/kg/kali16.
35

Transfusi trombosit hanya diberikan pada perdarahan masif untuk


menghentikan perdarahan yang terjadi. Dosis transfusi trombosit adalah 0,2
U/kg/dosis. Pemberian trombosit sebagai upaya pencegahan perdarahan
atau untuk menaikkan jumlah trombosit tidak dianjurkan.12 Perdarahan
masif dengue disebabkan terutama oleh syok berkepanjangan atau syok
berulang. Meski jumlah trombosit rendah, dengan pemberian cairan
pengganti yang seksama dalam fase kritis, perdarahan masif sangat jarang
terjadi.15
Koreksi gangguan metabolit dan elektrolit, seperti hipoglikemia,
hiponatremia, hipokalsemia and asidosis harus diperhatikan. Penggantian
volume cairan harus dipantau dengan ketat bergantung beratnya derajat
kebocoran plasma yang dapat dilihat dari nilai Ht, tanda vital, dan luaran
urin, untuk menghindari kelebihan cairan (kebocoran lebih cepat pada 6-12
jam pertama). Apabila pasien mengalami syok berkepanjangan atau syok
berulang maka peluang untuk terjadinya perdarahan semakin besar. Hindari
tindakan prosedur yang tidak perlu, seperti pemasangan pipa nasogastrik
pada perdarahan saluran cerna21.
Upayakan lama pemberi cairan jangan melebihi 24-48 jam. Segera
hentikan pemberian cairan apabila pasien sudah masuk fase penyembuhan
untuk menghindari terjadinya kelebihan cairan yang dapat mengakibatkan
bendungan/edema paru karena reabsorpsi ekstravasasi plasma21.
Fase Penyembuhan
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa
komplikasi dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke
dalam fase penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya
nafsu makan, tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan
diuresis cukup. Pada fase penyembuhan dapat ditemukan confluent
petechial rash (30%) atau sinus bradikardi akibat mikokarditis yang
umumnya tidak memerlukan pengobatan. Cairan intravena harus dihentikan
segera apabila memasuki fase ini. Apabila nafsu makan tidak meningkat
dan dan perut terlihat kembung dengan atau tanpa penurunan atau
menghilangnya bising usus, kadar kalium harus diperiksa karena sering
36

terjadi hipokalemia (fase diuresis). Buah-buahan, jus buah atau larutan oralit
dapat diberikan untuk menanggulangi gangguan elektrolit19,20.
Penderita dapat dipulangkan apabila paling tidak dalam 24 jam tidak
terdapat demam tanpa antipiretik, kondisi klinis membaik, nafsu makan
baik, nilai Ht stabil,tiga hari sesudah syok teratasi, tidak ada sesak napas
atau takipnea, dan junlah trombosit >50.000/mm3.
Kegagalan tata laksana umumnya disebabkan oleh kegagalan untuk
memantau tetesan dan jumlah cairan pengganti selama fase kritis.
Pemberian cairan yang berkelebihan atau lebih lama dari masa kebocoran
plasma, kegagalan mengenal perdarahan internal/tersembunyi, pemberian
transfusi trombosit yang tidak perlu, serta kegagalan memantau pasien
berobat jalan, dan penggunaan pipa lambung (nasogastric tube) untuk
menentukan adanya perdarahan seringkali menjadi penyebab tata laksana
yang tidak tepat19,20.
3.10 Prognosis
Infeksi dengue mempunyai spektrum manifestasi klinis yang luas,
kadangkala sulit diramalkan baik secara klinis maupun prognosisnya.
Walaupun sebagian besar kasus infeksi dengue akan sembuh tanpa
pengobatan, adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat
mengakibatkan infeksi dengue berat dan berakibat fatal. Cairan yang
dibutuhkan pada fase kritis setara dengan dehidrasi sedang yang
berlangsung tidak lebih dari 48 jam. Kemampuan pemberian cairan sesuai
kebutuhan pada fase kritis menentukan prognosis. Sebagian pasien sembuh
setelah pemberian cairan intravena, sedangkan pasien dengan kondisi berat
atau tidak mendapat cairan sesuai dengan kebutuhan akan jatuh ke dalam
fase syok. Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa
komplikasi dalam waktu 24-48 jam setelah syok. Tanda pasien masuk ke
dalam fase penyembuhan adalah keadaan umum membaik, meningkatnya
nafsu makan, tanda vital stabil, Ht stabil dan menurun sampai 35-40%, dan
diuresis cukup21.
37

3.11 Pencegahan

Pencegahan timbulnya demam berdarah dengue dapat dilakukan


dengan22 :
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
✓ Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan
Menyingkirkan tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x
seminggu bagi tiap keluarga
✓ 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3
bulan
✓ ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
2. Foging Focus dan Foging Masal
✓ Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan
selang waktu 1 minggu
✓ Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB
dalam jangka waktu 1 bulan
3. Penyelidikan Epidemiologi
• Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu
3x24 jam setelah menerima laporan kasus
• Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan
kasus
4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat.
5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.
38

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Dasar Diagnosa
Diagnosa pada pasien ini ditegakkan berdasarkan, anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
Hasil anamnesa didapatkan data:
• Panas mendadak 4 hari sebelum MRS di RSUD
• Perdarahan gusi terjadi sejak hari ke empat panas
• Nyeri otot dirasakan sudah beberapa hari terakhir
• Badan lemah
Pasien ini didiagnosa demam dengue karena pada hasil anamnesa sesuai dengan
manifestasi klinis kriteria WHO 2005 manifestasi klinis demam dengue dapat
berupa
- Demam tinggi mendadak
- Ditambah gejala penyerta 2 atau lebih :
• Nyeri otot
• Pendarahan gusi
• Meski jarang dapat disertai manifestasi perdarahan
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan data
• KU kurang aktif
• Akral hangat
• Vital sign dalam batas normal
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau menyebabkan demam
yang tidak terdefinisi (sindrom virus), demam dengue atau demam berdarah
dengue. Gambaran klinis tergantung strain virus dan faktor host seperti umur dan
status imun. Perjalanan demam dengue dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase
febris, fase kritis dan fase pemulihan. Pada pasien ini tidak didapatkan tanda-tandan
terdjadinya dengue berat.
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan :
• Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat
secara progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau
39

syok (takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler


(capillary refill time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan
nadi yang menyempit atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan darah)
• Adanya perdarahan yang signifikan
• Gangguan kesadaran
• Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen
yang hebat atau bertambah, ikterik)
• Gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,
ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi tak lazim lainnya,
3) Hasil pemeriksaaan penunjang didapatkan data
• Trombositopenia
Pemeriksaan darah lengkap pada demam dengue didapatkan trombositopenia
(100.000 atau kurang)
4.2 Penatalaksanaan
• Infus D5 ½ NS 2000 cc/24 jam
• Antrain
• Parasetamol
- D51/2 NS
• merupakan larutan infus untuk memelihara keseimbangan atau
mengganti elektrolit dan cairan tubuh. Larutan ini digunakan sebagai
pemberian cairan rumatan untuk pasien. Pada pasien DF juga bisa
diberikan cairan rumatan lain, contohnya RL, RA atau D5 ½ NS
- Antrain
• merupakan golongan obat analgesik dan antipiretik yang mengandung
natrium metamizole 500 mg dalam sediaan tablet ataupun injeksi
(ampul). Metamizole atau dipiron merupakan anti nyeri kuat dan anti
demam, metamizole dapat memberikan efek dua hingga empat kali
lebih efektif dibandingkan ibuprofen atau parasetamol. Pengunaan
metamizole dapat menurunkan demam secara signifikan dan dapat
mempertahankan suhu tubuh dalam waktu yang lebih lama
dibandingkan ibuprofen. Natrium metamizole merupakan turunan
dari metansulfonat yang berasal dari aminoprin. Cara kerja natrium
40

metamizole adalah dengan menghambat rangsangan nyeri pada


susunan saraf pusat dan perifer.
- Parasetamol
• merupakan pilihan antipiretik pada pasien dengan DF. Pada pasien DF
kontraindikasi diberikan asetasol atau ibuprofen karena obat-obatan
ini dapat menyebabkan terjadinya perdarahan. Parasetamol sering
digunakan sebagai anti inflamasi, analgesik, dan antipiretik.
Mekanisme kerja parasetamol adalah dengan menghambat produksi
prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun parasetamol
hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa
parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim
siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk
senyawa penyebab inflamasi. Paracetamol juga bekerja pada pusat
pengaturan suhu pada otak. Tetapi mekanisme secara spesifik belum
diketahui. Dosis yang digunakan sebagai antipiretik pada anak-anak
adalah 10 mg/kgBB/kali tidak lebih dari 4 kali sehari.
41

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, didapartkan diagnosa kerja pasien adalah Dengue Fever. Penanganan
Dengue Fever harus cepat dan tepat untuk menghindarkan prognosa yang buruk
pada anak yang dapat menyebabkan timbulnya komplikasi.

5.2 Saran
Edukasi mengenai vaksinasi DHF dan melakukan strategi pencegahan lain
dengan modifikasi lingkungan dan penerapan 3M Plus.
42

DAFTAR PUSTAKA

1. CDC. 2010. Epidemiology Dengue Homepage.


http://www.cdc.gov/dengue/epidemiology/index.html
2. WHO. 2014. Dengue and Severe Dengue. From World Health
Organization. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/.
3. Soewandojo E. Perkembangan terkini dalam pengelolaan beberapa
penyakit tropik infeksi. Surabaya: Airlangga University Press; 2002. p.
113-29.
4. Kemenkes RI. 2013. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue
di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
5. Soegijanto S. Demam berdarah dengue. 2nd edisi. Surabaya: Airlangga
University Press; 2006.
6. Suroso, T., 1999. Epidemiological Situation of Dengue Haemorrhagic
Fever and It’s Control in Indonesia. International Seminar on Dengue
ever/Dengue Haemorrhagic Fever. Surabaya: TDC Unair.
7. Martina BEE, Koraka P, Osterhaus A. Dengue virus pathogenesis: An
integrated view. Clinical Microbiology Reviews. 2009;22:564-81.
8. Nasronuddin. Imunopatofisiologi molekuler infeksi virus dengue. In:
Nasronuddin, Hadi U, Vitanala, editors. Penyakit infeksi di Indonesia
solusi kini dan mendatang. Surabaya: Airlangga University Press; 2007.
p. 46 -54
9. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever Diagnosis,
treatment, preventionand control Second edition, 1997.
10. Health Organization. Dengue, guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. New edition, 2009. World Health Organization
(WHO) and Special Program for Research and Training in Tropical
Diseases (TDR). France: WHO; 2009.
11. World Health Organization. Comprehensive guideline for prevention
and control dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and
expanded edition. 2011.
12. World Health Organization. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and
Dengue Shock Syndrome in the context of the integrated managemen of
childhood illness. Department of child and adolescent health and
development.; 2005
13. Sungkar S. Demam Berdarah Dengue. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta, Agustus 2002.
14. Nainggolan L. Reagen pan-E dengue early capture ELISA (PanBio) dan
platelia dengue NS1 Ag test (BioRad) untuk deteksi dini infeksi dengue.
2008
15. Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah
Dengue di Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta. 2004.
43

16. Satari HI. Pitfalls pada Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Dengue
Dalam : Update Management of Infectious Disease and Gastrointestinal
Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2012.
17. Karyanti MR. Pemilihan Terapi Cairan untuk Demam Berdarah Dengue.
Dalam : Update Management of Infectious Disease and Gastrointestinal
Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2012.
18. Sumarmo, P., S. 1999. Masalah Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
Pelatihan Bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis
Penyakit Dalam Tatalaksana Kasus DBD. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
19. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue
di sarana pela- yanan kesehatan, 2005.p.19-34
20. Satari HI. Pitfalls pada Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Dengue
Dalam : Update Management of Infectious Disease and Gastrointestinal
Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2012.
21. Karyanti MR. Pemilihan Terapi Cairan untuk Demam Berdarah Dengue.
Dalam : Update Management of Infectious Disease and Gastrointestinal
Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2012.
22. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Informasi pengendalian
penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta: Direktorat Jenderal P2PL
Kemenkes RI; 2009.

Anda mungkin juga menyukai