Oleh :
Florensia Sari Larumpaa
17014101100
Masa KKM : 22 April 2019 – 12 Mei 2019
Pembimbing :
dr. Neni Ekawardani
Oleh:
Pembimbing :
i
BAB I
PENDAHULUAN
atau gangguan jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi
mental. Penyakit mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya
Penyakit mental ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita (dan
penyakit mental, ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh
gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena
kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan
Dewasa ini, hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang yang memiliki
telepon pintar, juga mempunyai akun media sosial, seperti Facebook, Twitter,
Path, Instagram, dan sebagainya. Kondisi ini seperti sebuah kelaziman yang
mengubah bagaimana cara berkomunikasi pada era serba digital seperti sekarang.
diiringi dengan saling tukar kartu nama, sekarang setiap kita bertemu orang baru
sosial.1,2
1
Evolusi yang terjadi di bidang teknologi maupun inovasi internet
menyebabkan tidak hanya memunculkan media baru saja. Berbagai macam aspek
memiliki batasan (borderless) – tidak ada kerahasiaan yang bisa ditutupi. Kita
bisa mengetahui aktivitas orang lain melalui media sosial, sementara kita tidak
kenal dan tidak pernah bertemu tatap muka atau berada di luar jaringan dengan
Media sosial bahkan menjadi “senjata baru” bagi banyak bidang. Kampanye
politik pada Pemilu 2014 lalu banyak melibatkan peran media sosial. Perusahaan-
perusahaan saat ini memberikan perhatian khusus untuk mengelola media sosial
dan menjalin hubungan yang baik dengan pelanggan mereka secara daring (dalam
jaringan). Iklan menjadi berubah dari cara tradisional yang diproduksi oleh
perusa-haan dan tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut merupakan
media sosial dan semakin berkembangnya jumlah pengguna dari hari ke hari
Riset yang dipublikasikan oleh Crowdtap, Ipsos Media CT, dan The Wall
Street Journal pada tahun 2014 melibatkan 839 responden dari usia 16 hingga 36
mengakses internet dan media sosial mencapai 6 jam 46 menit per hari, melebihi
aktivitas untuk mengakses media tradisional. Meski hanya bisa digunakan terbatas
dan tanpa bermaksud membuat pernyataan bahwa inilah perilaku semua khalayak
di dunia, hasil riset tersebut menunjukkan bahwa media tradisional tidak lagi
2
menjadi media yang dominan diakses oleh khalayak. Kebutuhan akan menjalin
khalayak dalam mengakses media. Kondisi ini tidak bisa didapatkan ketika
media sosial yang diminati oleh banyak khalayak. Oleh karena itu, melalui tulisan
ini, penulis ingin membahas hegemoni media sosial dari perspektif psikologi
membutuhkan.2,3
Menurut Soeparno dan Sandra, dunia maya seperti laiknya media sosial
dewasa ini, dimana relasi pertemanan serba dilakukan melalui medium digital –
sosial. Realitas menjadi bersifat augmented dan maya yang harus diadaptasi dan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”.
sebagai kenyataan sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan
kenyataannya, media dan semua perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam
bahwa media sosial adalah alat komunikasi yang digunakan oleh pengguna dalam
proses sosial. Namun, menurut Nasrullah, untuk menyusun definisi media sosial,
terhadap individu lain (human cognition) yang berada dalam sebuah sistem
karakteristik teknologi dan relasi yang terjadi terlihat dari bagaimana manusia
dasarnya merupakan bentuk yang tidak jauh berbeda dengan keberadaan dan cara
kerja komputer. Tiga bentuk bersosial, seperti pengenalan, komunikasi, dan kerja
sama bisa dianalogikan dengan cara kerja komputer yang juga membentuk sebuah
4
B. Media Sosial Dan Isu-Isu Terkini
penjuru dunia terbilang masif dan intensif. Ada banyak motif dan tujuan yang
Berikut ini, akan dipaparkan analisis beberapa isu-isi terkini terkait penggunaan
media sosial yang relatif menyita perhatian para akademisi dan peneliti, yaitu
Swafoto (Selfie)
telepon genggam, dan budaya siber adalah selfie atau swafoto. Kata ini pun telah
resmi menjadi kata baru yang dicantumkan dalam kamus Oxford English
Dictionary pada tahun 2013 dan secara sederhana berarti ‘foto diri yang
sebagai potret diri instan, yang dibuat dengan kamera ponsel cerdas dan dengan
komunikasi visual instan tentang di mana kita berada, apa yang kita lakukan, apa
yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan, dan siapa yang kita pikir melihat kita.3,4
Secara historis, foto diri muncul dan bisa dilihat berbarengan dengan adanya
genggam, foto yang diambil bisa langsung diunggah di media sosial saat itu juga.
Realitas ini membawa pada sebuah kenyataan bahwa pada awalnya, pengguna
jejaring media sosial. Kenyataan berikutnya, foto diri yang ditampilkan di media
5
sosial dalam rangka eksistensi diri dan upaya mempertontonkan apa yang telah
dicapai pengguna di luar jaringan (offline). Karena itu, sebuah foto diri tidak bisa
sekedar dilihat dari aspek wajah, ekspresi dan gaya. Analisis terhadap foto diri
juga harus melibatkan suasana, momen, bangunan, tempat atau lingkungan yang
2005 responden yang berusia antara 18 sampai 24 tahun pada tahun 2013
menunjukkan bahwa dalam sehari, ada lebih dari satu juta foto diri yang dibuat.
Realitas sosial siber ini menunjukkan bahwa kekuatan foto diri adalah artefak
kebudayaan yang bisa ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Media sosial
Ada beberapa ulasan yang bisa dipaparkan dalam kajian ini terkait dengan
media sosial tidak sekadar terfokus pada penam-pilan diri si pengguna. Swafoto
merupakan upaya representasi diri di media sosial, sebuah upaya agar dianggap
‘ada’ atau eksis dalam jaringan. Seseorang yang melakukan swafoto juga tengah
‘jempol’ atau ‘like’ (fitur dalam Facebook) atau tanda ‘hati’ (fitur dalam Path).
Bila sudah demikian, maka individu merasa puas dan semakin terdorong untuk
6
kembali melakukan swafoto dan mengunggahnya di media sosial. Namun, bila
kondisinya terbalik, individu dapat merasa diacuhkan dan tidak dihargai oleh
dirinya dan hasil rancangan itu, selain untuk eksistensi diri, juga sebagai bentuk
lain dalam jaringan pertemanan di media sosial. Sebuah swafoto juga, misalnya,
harus dilihat dari latar belakang objek foto tersebut. Banyak foto diri dengan latar
belakang sebuah lokasi tertentu dan ini menunjukkan bahwa si pengguna sedang
sekadar sebagai objek foto, tetapi ada maksud tertentu didalamnya. 3,4
lapangan hidup organisme diibaratkan sebagai jaring laba-laba yang terdiri dari
semakin bertambah atau justru statis, baik jumlah maupun luasnya, tergantung
7
karena menuntun mereka menjadi terbuka untuk membagikan foto diri kehadapan
khalayak melalui akun media sosial yang dimiliki. Efek selanjutnya dari
keterbukaan diri itu adalah interaksi dan komunikasi yang terjadi dengan
pengguna lain akan semakin erat. Bahkan dalam beberapa kasus, pengunggahan
jaringan sosial yang dimiliki semakin luas, atau dengan kata lain, wilayah hidup
Cyberwar
Prabowo dalam kontestasi Pemilu 2014 lalu? Kedua kelompok saling berlomba
rapa bulan setelahnya. Atmosfer semangat hingga gaduh yang disebabkan oleh
opini maupun pemberitaan terkait figur Jokowi atau Prabowo, menjadi warna
yang tidak bisa dielakkan. Ada banyak stereotipe Jokowi yang dijadikan ‘senjata’
Prabowo yang acap kali dijadikan ‘senjata’ oleh kubu Jokowi adalah sejumlah
kelompok (kolektif), dan dalam situasi tertentu, belief tersebut menjadi prasangka
beberapa pakar, perilaku kolektif diartikan sebagai aksi yang dilakukan secara
8
bersama-sama atau serentak dengan cara yang mirip oleh sejumlah besar orang
dalam kelompok dalam suatu situasi atau kejadian tertentu, yang terkadang dapat
terjadi secara masif di lingkungan daring atau berkutat dalam konstelasi media
sosial yang terhimpun dalam komunitas-komunitas tertentu. Ajang debat kusir dan
adu berita hoax seolah menjadi paket menu yang biasa dijumpai dalam arus
notifikasi media sosial kita, seperti Facebook dan Twitter, selain berita atau status
Menurut Smelser, ada beberapa faktor penentu perilaku kolektif, antara lain
terjadinya perilaku kolektif, seperti keberagaman agama, suku, ideologi, dan ras
kelompok sosial, etnik, agama, dan lain-lain yang membuka peluang bagi
maka semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif; general belief,
perwujudan perilaku kolektif yang digiring oleh pimpinan, baik untuk bergerak
menjauhi situasi berbahaya atau untuk mendekati orang yang dianggap sasaran
tindakan. 3,4
9
mengubah cara berperilakunya sesuai norma yang berlaku dalam kelompok.
diarahkan oleh collective mind atau group mind. Mereka akan bereaksi mengikuti
saat mereka terpisah dari kelompok. Efek contagion akan menyebar-kan emosi
reaksinya dengan proses yang disebut milling, yaitu proses di mana individu-
contagion) akan timbul yang melibatkan diseminasi impuls atau kata hati yang
cepat dan irasional. Peristiwa penularan sosial ini sering menyebabkan pengguna
media sosial menjadi aktif dalam berperilaku secara bersama-sama, meski dalam
seseorang menjadi gelisah, resah atau bergairah, maka emosi dan perilaku tersebut
akan menjadi suatu model yang memengaruhi orang lain. Proses saling
menstimulasi ini menghasilkan suatu spiral perasaan dan tindakan yang sirkular.5,6
10
Budaya Share
Belakangan ini muncul laman dan blog yang tidak jelas. Mereka tidak segan
bastis sejenisnya. Pesan yang sering dipakai adalah “share ke yang lain, bagikan,
atau simpan”. Terkadang disertai ancaman seperti surat berantai di masa lampau.
Fenomena budaya share makin menggila saat Pilpres 2014 lalu. Beberapa
figur ternama pendukung capres tertentu dengan atau tanpa sengaja memelintir
berita, mengomentari lalu menjatuhan lawan politiknya. Hal ini juga dilakukan
oleh media partisan. Pola-pola pemberitaan hoax pun relatif selalu sama: membuat
judul bombastis untuk menarik minat baca. Terkadang antara judul dan isi berita
tidak sinkron. Celakanya, banyak pengguna media sosial di negeri ini yang malas
menarik dan lang-sung membagikan tautan laman tertentu tanpa menelaah lebih
dulu. 5,6
untuk dilihat dari perspektif kognisi sosial. Menurut Baron & Byrne kognisi sosial
sekitar agar manusia dapat berfungsi di dalamnya secara adaptif. Cara kerja
Skema adalah komponen dasar dalam kognisi sosial yang diartikan sebagai
11
informasi sosial dan menuntun pemrosesan-nya. Skema berkisar pada sebuah
subjek atau tema tertentu dan skema dibentuk oleh budaya di mana kita tinggal.5,6
Skema menimbulkan efek yang kuat pada tiga proses dasar: perhatian
yang konsisten dengan skema lebih diperhatikan untuk diolah dalam kesadaran
manusia, sedang-kan informasi yang tidak cocok sering kali diabaikan, kecuali
informasi yang diterima oleh para pengguna media sosial saat mencerna berita
hoax mendorong untuk resharing berita senada karena skema mental mereka
12
yang cukup membuat masyarakat terkagum-kagum ialah perkembangan teknologi
informasi. 7,8
dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga
mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. 7,8
Arus informasi yang cepat menyebabkan kita tidak mampu untuk menyaring
pesan yang datang. Akibatnya tanpa sadar sosial media tersebut sedikit demi
sedikit telah menggeser serta mempengaruhi pola tingkah laku dan budaya dalam
masyarakat. Kebudayaan yang sudah lama ada dan menjadi tolak ukur masyarakat
dalam berperilaku kini hampir hilang dan lepas dari perhatian masyarakat.
struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat, perubahan tersebut
seperti perubahan sikap, tingkah laku yang tidak menutup kemungkinan bahwa
proses perubahan akibat sosial media ini akan melunturkan atau mengurangi
derajat bentuk-bentuk atau nial-nilai yang sudah ada dalam masyarakat, yang
perubahan gaya hidup dan pola tingkah laku yang menuntut masyarakat bersikap
13
serba instant sehingga menyebabkan terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dalam
menjadi serupa dengan apa yang disajikan oleh sosial media. Sadar atau tidak
masyarakat pun masuk kedalamnya bahkan menuntut lebih dari itu. Kehadiran
media sosial dirasakan lebih berpengaruh terhadap generasi muda yang sedang
sehari-hari walau sudah melenceng dari tahap perkembangan jiwa maupun norma-
norma yang berlaku. Buruknya hal tersebut tidak dianggap sebagai suatu
kesalahan. 7,8
Sosial media ini juga bisa berdampak kepada gagguan kejiwaan dan
gangguan mental yang tanpa disadari oleh pengguna sosial media tersebut. 7,8
irasional yang menganggap jika orang lain lebih ceroboh, bodoh, dan tidak
14
Internet Asperger Syndrome. Gangguan jiwa ini menyebabkan orang yang
dan sering mencaci maki orang lain melalui akun sosial media ataupun di
penggunanya merasa haus akan sebuah self esteem atau pengakuan diri
perasaan selalu gelisah, tidak bisa tenang, serta mudah teralihkan pikiran
yang umum terjadi di seluruh dunia. Data terbaru dari situs resmi World
15
membahayakan karena pada kondisi terburuk dapat berujung pada
ada 800 ribu penduduk dunia yang meninggal akibat bunuh diri setiap
tahun, dengan angka kejadian terbanyak pada rentang usia 15-29 tahun. 9,10
sebelumnya. 9,10
penggunaan sosial media justru dapat membantu orang yang hidup dengan
depresi. Hal ini khususnya terjadi jika media sosial digunakan untuk
yang membuat penderitanya selalu merasa cemas akan berbagai hal secara
16
berlebihan. Bahkan, penderitanya dapat melakukan suatu hal yang sama
sesuatu di media sosialmu? Jika iya, maka kemungkinan besar anda sudah
apapun.9,10
orang yang arogan, egois, dan tidak bisa berempati dengan orang lain.
sekitarnya. Mereka jadi sulit menjalin hubungan dengan orang lain dan
rentan terancam depresi. Gejala NPD orang suka pamer foto dirinya
17
Kesepian. Media sosial tentunya diciptakan untuk meningkatkan relasi
antara satu orang dengan orang lainnya. Terutama bagi orang-orang yang
selama ini tidak dapat berkomunikasi secara langsung karena adanya jarak
merasa kesepian. Sebuah survei yang dilakukan terhadap lebih dari 1.700
orang pengguna media sosial berusia 19-32 tahun di Amerika Serikat pada
Studi lain yang diterbitkan di tahun 2016 dengan judul Social media
yang dialami oleh para orang dewasa muda lebih banyak terjadi pada
khayalannya.10,11
18
membingungkan, depresi, hingga gangguan ingatan. Bahkan penyakit
lain.10,11
Body Dysmorphic Disorder, yaitu seseorang yang memiliki rasa takut dan
Karena sosial media, kegiatan sehari-hari artis idola dengan tubuh idealnya
serta paras yang cantik bisa dengan mudah dilihat. Media sosial ternyata
diet terlalu ketat, atau konsumsi obat pencahar tanpa berkonsultasi dengan
19
Penyakit ini merupakan gangguan jiwa dimana seseorang
Contohnya saja saat kamu merasa pipi terlalu tembam, atau hidung terlalu
pesek dan lain sebagainya. Tapi orang lain menganggap kamu tidak apa-
apa. 10,11
Kondisi gangguan jiwa ini dapat dialami oleh segala rentang usia,
namun paling sering dialami oleh remaja dan orang usia produktif, baik
pria maupun wanita. Orang yang mengalami gangguan ini akan selalu
merasa ada yang salah dengan rambut, kulit, hidung, dada, perutnya, dan
wajar.6,7
20
secara terus-menerus, dan tanpa henti. Ketagihan ini tentu membuat pola
baik bagi kesehatan jiwa dan mental. Makanya, mulai sekarang, coba gunakanlah
sosial media secara wajar sesuai keperluan. Selain itu, jangan terhanyut oleh
berbagai aktivitas sosial media yang bisa bikin kamu terkena salah satu gangguan
jiwa dan gangguan mental tersebut diatas. Hasil penelitian para ahli mengungkap
21
BAB III
PENUTUP
Media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”. “Media”
kenyataannya, media dan semua perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam
dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga
mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. Sosial media
ini juga bisa berdampak kepada gagguan kejiwaan dan gangguan mental yang
22
DAFTAR PUSTAKA
2807,11056-11060.
Research. 2018;20(5):1-13.
3. Shepherd A, Sanders C, Doyle M, et al. Using social media for support and
2017;19(6):1-17.
2018;5(3):1-14.
7. Lin L, Sidani J, Shensa A, et al. Association between Social Media Use and
April;33(4):323-331.
23
8. Eijnden R, Koning I, Doornwaard S, et al. The impact of heavy and
2018;7(3):697-706.
Support Mental Health Care Using Social Media: A Survey of Social Media
care: peer-to-peer support and social media. Epidemiol Psychiatr Sci. 2016
April;25(2):113-122.
11. Berry N, Emsley R, Lobban F, et al. Social media and its relationship with
2018;138:558-570.
24