Anda di halaman 1dari 27

Paper

Media Sosial Menyebabkan Gangguan Mental

Oleh :
Florensia Sari Larumpaa
17014101100
Masa KKM : 22 April 2019 – 12 Mei 2019

Pembimbing :
dr. Neni Ekawardani

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Paper yang berjudul

“Media Sosial Menyebabkan Gangguan Mental”

Telah dibacakan, dikoreksi dan disetujui pada April 2019

Oleh:

Florensia Sari Larumpaa


17014101100
Masa KKM : 22 April 2019 – 12 Mei 2019

Pembimbing :

dr. Neni Ekawardani


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ....................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4

A. Definisi Media Sosial ......................................................................... 4

B. Media Sosial Dan Isu-Isu Terkini ....................................................... 5

C. Gangguan Mental Akibat Pengaruh Media Sosial ............................. 12

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 23

i
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit mental, disebut juga gangguan mental, penyakit jiwa,

atau gangguan jiwa, adalah gangguan yang mengenai satu atau lebih fungsi

mental. Penyakit mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya

emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca indera).

Penyakit mental ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita (dan

keluarganya). Penyakit mental dapat mengenai setiap orang, tanpa mengenal

umur, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Penyakit mental bukan

disebabkan oleh kelemahan pribadi.1,2

Di masyarakat banyak beredar kepercayaan atau mitos yang salah mengenai

penyakit mental, ada yang percaya bahwa penyakit mental disebabkan oleh

gangguan roh jahat, ada yang menuduh bahwa itu akibat guna-guna, karena

kutukan atau hukuman atas dosanya. Kepercayaan yang salah ini hanya akan

merugikan penderita dan keluarganya karena pengidap penyakit jiwa tidak

mendapat pengobatan secara cepat dan tepat. 1,2

Dewasa ini, hampir bisa dipastikan bahwa setiap orang yang memiliki

telepon pintar, juga mempunyai akun media sosial, seperti Facebook, Twitter,

Path, Instagram, dan sebagainya. Kondisi ini seperti sebuah kelaziman yang

mengubah bagaimana cara berkomunikasi pada era serba digital seperti sekarang.

Jika dahulu, perkenalan dilaku-kan dengan cara konvensional, yakni (biasanya)

diiringi dengan saling tukar kartu nama, sekarang setiap kita bertemu orang baru

cenderung untuk bertukar alamat akun atau membuat pertemanan di media

sosial.1,2

1
Evolusi yang terjadi di bidang teknologi maupun inovasi internet

menyebabkan tidak hanya memunculkan media baru saja. Berbagai macam aspek

kehidupan manusia, seperti komunikasi maupun interaksi, juga mengalami

perubahan yang sebelumnya tidak pernah diduga. Dunia seolah-olah tidak

memiliki batasan (borderless) – tidak ada kerahasiaan yang bisa ditutupi. Kita

bisa mengetahui aktivitas orang lain melalui media sosial, sementara kita tidak

kenal dan tidak pernah bertemu tatap muka atau berada di luar jaringan dengan

orang tersebut. 1,2

Media sosial bahkan menjadi “senjata baru” bagi banyak bidang. Kampanye

politik pada Pemilu 2014 lalu banyak melibatkan peran media sosial. Perusahaan-

perusahaan saat ini memberikan perhatian khusus untuk mengelola media sosial

dan menjalin hubungan yang baik dengan pelanggan mereka secara daring (dalam

jaringan). Iklan menjadi berubah dari cara tradisional yang diproduksi oleh

perusa-haan dan tentu dengan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut merupakan

sebuah tantangan sekaligus kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Kehadiran

media sosial dan semakin berkembangnya jumlah pengguna dari hari ke hari

memberikan fakta menarik betapa kekuatan internet bagi kehidupan. 1,2

Riset yang dipublikasikan oleh Crowdtap, Ipsos Media CT, dan The Wall

Street Journal pada tahun 2014 melibatkan 839 responden dari usia 16 hingga 36

tahun menunjukkan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan khalayak untuk

mengakses internet dan media sosial mencapai 6 jam 46 menit per hari, melebihi

aktivitas untuk mengakses media tradisional. Meski hanya bisa digunakan terbatas

dan tanpa bermaksud membuat pernyataan bahwa inilah perilaku semua khalayak

di dunia, hasil riset tersebut menunjukkan bahwa media tradisional tidak lagi

2
menjadi media yang dominan diakses oleh khalayak. Kebutuhan akan menjalin

hubungan sosial di internet merupakan alasan utama yang dilakukan oleh

khalayak dalam mengakses media. Kondisi ini tidak bisa didapatkan ketika

khalayak mengakses media tradisional. 1,2

Tidak mengherankan, kehadiran media sosial menjadi fenomenal.

Facebook, Twitter, YouTube, Instagram hingga Path adalah beberapa ragam

media sosial yang diminati oleh banyak khalayak. Oleh karena itu, melalui tulisan

ini, penulis ingin membahas hegemoni media sosial dari perspektif psikologi

sosial terapan dengan harapan dapat memberi kontribusi terhadap upaya

pengendalian perilaku penggunaan media sosial agar semakin tepat-guna, baik

oleh diri sendiri, komunitas, institusi, maupun pihak-pihak lain yang

membutuhkan.2,3

Menurut Soeparno dan Sandra, dunia maya seperti laiknya media sosial

merupakan sebuah revolusi besar yang mampu mengubah perilaku manusia

dewasa ini, dimana relasi pertemanan serba dilakukan melalui medium digital –

menggunakan media baru (internet) yang dioperasikan melalui situs-situs jejaring

sosial. Realitas menjadi bersifat augmented dan maya yang harus diadaptasi dan

diinte-grasikan dalam kacamata kajian psikologi sosial kontemporer yang

ubiquitous (ada dimana-mana) serta pervasive (dapat menembus berbagai bidang

ilmu dan kajian). 2,3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Media Sosial

Istilah media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”.

“Media” diartikan sebagai alat komunikasi. Sedangkan kata “sosial” diartikan

sebagai kenyataan sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan

kontribusi kepada masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa pada

kenyataannya, media dan semua perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam

makna bahwa keduanya merupakan produk dari proses sosial.1,2

Dari pengertian masing-masing kata tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa media sosial adalah alat komunikasi yang digunakan oleh pengguna dalam

proses sosial. Namun, menurut Nasrullah, untuk menyusun definisi media sosial,

kita perlu melihat perkembangan hubungan individu dengan perangkat media.

Karak-teristik kerja komputer dalam Web 1.0 berdasarkan pengenalan individu

terhadap individu lain (human cognition) yang berada dalam sebuah sistem

jaringan, sedangkan Web 2.0 berdasarkan sebagaimana individu berkomunikasi

(human communication) dalam jaringan antarindividu. Terakhir, dalam Web 3.0

karakteristik teknologi dan relasi yang terjadi terlihat dari bagaimana manusia

(users) bekerja sama (human co-operation). 2,3

Dengan demikian, bisa dijelaskan bahwa keberadaan media sosial pada

dasarnya merupakan bentuk yang tidak jauh berbeda dengan keberadaan dan cara

kerja komputer. Tiga bentuk bersosial, seperti pengenalan, komunikasi, dan kerja

sama bisa dianalogikan dengan cara kerja komputer yang juga membentuk sebuah

sistem sebagaimana adanya sistem di antara individu dan masyarakat.1,2

4
B. Media Sosial Dan Isu-Isu Terkini

Dewasa ini, aktivitas daring yang dilakukan oleh khalayak di seluruh

penjuru dunia terbilang masif dan intensif. Ada banyak motif dan tujuan yang

mendasari khalayak dalam mengakses layanan daring, khususnya media sosial.

Berikut ini, akan dipaparkan analisis beberapa isu-isi terkini terkait penggunaan

media sosial yang relatif menyita perhatian para akademisi dan peneliti, yaitu

swafoto (selfie), cyberwar, dan budaya share.3,4

Swafoto (Selfie)

Salah satu fenomena dalam kemajuan teknologi internet, gawai seperti

telepon genggam, dan budaya siber adalah selfie atau swafoto. Kata ini pun telah

resmi menjadi kata baru yang dicantumkan dalam kamus Oxford English

Dictionary pada tahun 2013 dan secara sederhana berarti ‘foto diri yang

disebarluaskan melalui media sosial’. Menurut Jerry Saltz, selfie didefinisikan

sebagai potret diri instan, yang dibuat dengan kamera ponsel cerdas dan dengan

segera disebarluaskan atau ditransformasikan melalui internet sebagai bentuk

komunikasi visual instan tentang di mana kita berada, apa yang kita lakukan, apa

yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan, dan siapa yang kita pikir melihat kita.3,4

Secara historis, foto diri muncul dan bisa dilihat berbarengan dengan adanya

perangkat fotografi di telepon genggam. Berbeda dengan foto digital

menggunakan DSLR atau prosumer lainnya, dengan menggunakan telepon

genggam, foto yang diambil bisa langsung diunggah di media sosial saat itu juga.

Realitas ini membawa pada sebuah kenyataan bahwa pada awalnya, pengguna

ingin berbagi momen atau kegiatan mereka bersama teman-teman lainnya di

jejaring media sosial. Kenyataan berikutnya, foto diri yang ditampilkan di media

5
sosial dalam rangka eksistensi diri dan upaya mempertontonkan apa yang telah

dicapai pengguna di luar jaringan (offline). Karena itu, sebuah foto diri tidak bisa

sekedar dilihat dari aspek wajah, ekspresi dan gaya. Analisis terhadap foto diri

juga harus melibatkan suasana, momen, bangunan, tempat atau lingkungan yang

menjadi latar dari sebuah foto diri. 3,4

Sebuah riset yang dilakukan oleh Lembaga Opinium di Inggris terhadap

2005 responden yang berusia antara 18 sampai 24 tahun pada tahun 2013

menunjukkan bahwa dalam sehari, ada lebih dari satu juta foto diri yang dibuat.

Realitas sosial siber ini menunjukkan bahwa kekuatan foto diri adalah artefak

kebudayaan yang bisa ditafsirkan dari berbagai sudut pandang. Media sosial

merupakan arena untuk menampilkan foto diri tersebut dan peng-guna

mendapatkan timbal balik dari publikasi tersebut. 3,4

Ada beberapa ulasan yang bisa dipaparkan dalam kajian ini terkait dengan

fenomena swafoto menggunakan perspektif psikologi sosial. Pertama, kegiatan

tersebut sebagai wujud dari eksistensi diri. Berswafoto dan menyebarkannya di

media sosial tidak sekadar terfokus pada penam-pilan diri si pengguna. Swafoto

merupakan upaya representasi diri di media sosial, sebuah upaya agar dianggap

‘ada’ atau eksis dalam jaringan. Seseorang yang melakukan swafoto juga tengah

berusaha mengkonstruksikan identitas sosialnya dengan cara memaksimalkan atau

memini-malkan karakter positif atau negatif dalam dirinya supaya self-esteem

tetap terpelihara. 3,4

Swafoto yang sukses ditandai dengan banyaknya pujian, pemberian tanda

‘jempol’ atau ‘like’ (fitur dalam Facebook) atau tanda ‘hati’ (fitur dalam Path).

Bila sudah demikian, maka individu merasa puas dan semakin terdorong untuk

6
kembali melakukan swafoto dan mengunggahnya di media sosial. Namun, bila

kondisinya terbalik, individu dapat merasa diacuhkan dan tidak dihargai oleh

lingkungan sosial-nya. Keadaan tersebut bisa memicu keingin-an untuk tidak

kembali mengunggah swafoto atau tetap melakukan swafoto, namun dengan

evaluasi tertentu. 3,4

Kedua, swafoto merupakan salah satu bentuk narsisme digital. Sebuah

swafoto yang diambil menunjukkan bahwa penggunanya tengah merancang

dirinya dan hasil rancangan itu, selain untuk eksistensi diri, juga sebagai bentuk

pertunjukkan di depan panggung untuk menarik kesan pengakses atau pengguna

lain dalam jaringan pertemanan di media sosial. Sebuah swafoto juga, misalnya,

harus dilihat dari latar belakang objek foto tersebut. Banyak foto diri dengan latar

belakang sebuah lokasi tertentu dan ini menunjukkan bahwa si pengguna sedang

berada di tempat tersebut. Di lain kesempatan, swafoto di dalam kendaraan,

seperti pesawat terbang, untuk menunjukkan ia berada dalam perjalanan,

menggunakan pesawat tersebut, dan sebagainya. Pengunggahan swafoto menjadi

simbol bahwa pengguna sedang mewujudkan eksistensi dirinya yang tidak

sekadar sebagai objek foto, tetapi ada maksud tertentu didalamnya. 3,4

Ketiga, swafoto juga dapat menandakan bahwa pengguna melakukan

keterbukaan diri (self-disclosure) di media sosial. Dalam postulasi Lewin,

lapangan hidup organisme diibaratkan sebagai jaring laba-laba yang terdiri dari

beberapa region atau wilayah. Wilayah-wilayah tersebut semakin lama dapat

semakin bertambah atau justru statis, baik jumlah maupun luasnya, tergantung

dengan sifat organisme tersebut, apakah cenderung terbuka (disclose) atau

tertutup (close). Swafoto menjembatani pertumbuhan wilayah hidup seseorang

7
karena menuntun mereka menjadi terbuka untuk membagikan foto diri kehadapan

khalayak melalui akun media sosial yang dimiliki. Efek selanjutnya dari

keterbukaan diri itu adalah interaksi dan komunikasi yang terjadi dengan

pengguna lain akan semakin erat. Bahkan dalam beberapa kasus, pengunggahan

swafoto menyebabkan bertambahnya jalinan pertemanan yang baru, sehingga

jaringan sosial yang dimiliki semakin luas, atau dengan kata lain, wilayah hidup

seseorang akan semakin lapang. 3,4

Cyberwar

Masih ingatkah dengan fenomena fanatisme relawan pendukung Jokowi dan

Prabowo dalam kontestasi Pemilu 2014 lalu? Kedua kelompok saling berlomba

mengusung masing-masing calon, baik sebelum Pemilu diadakan maupun bebe-

rapa bulan setelahnya. Atmosfer semangat hingga gaduh yang disebabkan oleh

opini maupun pemberitaan terkait figur Jokowi atau Prabowo, menjadi warna

yang tidak bisa dielakkan. Ada banyak stereotipe Jokowi yang dijadikan ‘senjata’

oleh kubu pendukung Prabowo, diantaranya pro-komunis, pro-Syiah, dan

ketidakjelasan nasab (silsilah dalam keluarga). Begitu pula sebaliknya, stereotipe

Prabowo yang acap kali dijadikan ‘senjata’ oleh kubu Jokowi adalah sejumlah

kasus pelanggaran HAM. 3,4

Stereotipe menjadi materi dasar belief dalam diri individu maupun

kelompok (kolektif), dan dalam situasi tertentu, belief tersebut menjadi prasangka

yang selanjut-nya dapat menyulut perilaku diskriminasi maupun tindakan

nonkooperatif lainnya, seperti fitnah dan permusuhan antar-kelompok. Menurut

beberapa pakar, perilaku kolektif diartikan sebagai aksi yang dilakukan secara

8
bersama-sama atau serentak dengan cara yang mirip oleh sejumlah besar orang

dalam kelompok dalam suatu situasi atau kejadian tertentu, yang terkadang dapat

berupa aksi yang tidak biasa. 3,4

Perwujudan perilaku kelompok pendu-kung Jokowi dan Prabowo uniknya

terjadi secara masif di lingkungan daring atau berkutat dalam konstelasi media

sosial yang terhimpun dalam komunitas-komunitas tertentu. Ajang debat kusir dan

adu berita hoax seolah menjadi paket menu yang biasa dijumpai dalam arus

notifikasi media sosial kita, seperti Facebook dan Twitter, selain berita atau status

dukungan untuk mereka. 3,4

Menurut Smelser, ada beberapa faktor penentu perilaku kolektif, antara lain

structural conduciveness, yakni faktor struktur situasi sosial yang memudahkan

terjadinya perilaku kolektif, seperti keberagaman agama, suku, ideologi, dan ras

dalam sebuah wilayah; structural strain, yakni kesenjangan, ketidakserasian antar

kelompok sosial, etnik, agama, dan lain-lain yang membuka peluang bagi

terjadinya berbagai bentuk ketegangan. Semakin besar ketegangan struktural,

maka semakin besar pula peluang terjadinya perilaku kolektif; general belief,

yaitu desas-desus yang dengan sangat mudah dipercaya kebenarannya dan

kemudian disebarluaskan; precipitating factor, yaitu faktor penunjang kecurigaan

dan kecemas-an yang dikandung masyarakat; mobilisasi para peserta, yakni

perwujudan perilaku kolektif yang digiring oleh pimpinan, baik untuk bergerak

menjauhi situasi berbahaya atau untuk mendekati orang yang dianggap sasaran

tindakan. 3,4

Keanggotaan di kelompok dianggap meningkatkan efektivitas aksi

individual, di dalam kelompok individu yang menjadi bagian kelompok akan

9
mengubah cara berperilakunya sesuai norma yang berlaku dalam kelompok.

Menurut LeBon, individu-individu di dalam suatu barisan massa, tidak peduli

pekerjaan, karakteristik, inteligensi, atau atribut lainnya, akan bereaksi yang

diarahkan oleh collective mind atau group mind. Mereka akan bereaksi mengikuti

pemikiran kelompok dan menghasilkan perilaku yang berbeda dengan perilaku

saat mereka terpisah dari kelompok. Efek contagion akan menyebar-kan emosi

dan perilaku dari satu kepala ke lainnya, sehingga menyebabkan individu-individu

dalam massa bereaksi dengan cara yang sama. 5,6

Jika dikaitkan dengan perilaku pendu-kung Jokowi dan Prabowo, kumpulan

pengguna media sosial tertentu pada awal-nya memperlihatkan gejolak dan

reaksinya dengan proses yang disebut milling, yaitu proses di mana individu-

individu menjadi semakin tegang, gelisah, dan bergairah. Dengan meningkatnya

emosi, kegairahan dan stimulasi timbal balik, maka orang-orang lebih

memungkinkan untuk bertin-dak impulsif di bawah pengaruh impuls bersama

yang disebut dengan collective mind atau group mind. 5,6

Jika intensitas proses ini meningkat, maka penularan sosial (social

contagion) akan timbul yang melibatkan diseminasi impuls atau kata hati yang

cepat dan irasional. Peristiwa penularan sosial ini sering menyebabkan pengguna

media sosial menjadi aktif dalam berperilaku secara bersama-sama, meski dalam

situasi daring. Selanjutnya, kegairahan bersama dalam kumpulan pengguna dapat

melibatkan proses reaksi sirkular (circular reaction). Dengan demikian, bila

seseorang menjadi gelisah, resah atau bergairah, maka emosi dan perilaku tersebut

akan menjadi suatu model yang memengaruhi orang lain. Proses saling

menstimulasi ini menghasilkan suatu spiral perasaan dan tindakan yang sirkular.5,6

10
Budaya Share

Belakangan ini muncul laman dan blog yang tidak jelas. Mereka tidak segan

menggunakan atribut provokatif, seperti kata “Sebarkanlah” atau kata-kata bom-

bastis sejenisnya. Pesan yang sering dipakai adalah “share ke yang lain, bagikan,

atau simpan”. Terkadang disertai ancaman seperti surat berantai di masa lampau.

Jika berita tidak di-sharing-kan, maka khalayak ‘disumpahi’ akan mendapat

petaka, bencana dan duka lara. 5,6

Fenomena budaya share makin menggila saat Pilpres 2014 lalu. Beberapa

figur ternama pendukung capres tertentu dengan atau tanpa sengaja memelintir

berita, mengomentari lalu menjatuhan lawan politiknya. Hal ini juga dilakukan

oleh media partisan. Pola-pola pemberitaan hoax pun relatif selalu sama: membuat

judul bombastis untuk menarik minat baca. Terkadang antara judul dan isi berita

tidak sinkron. Celakanya, banyak pengguna media sosial di negeri ini yang malas

membaca. Mereka cenderung mudah terprovokasi oleh judul yang tampak

menarik dan lang-sung membagikan tautan laman tertentu tanpa menelaah lebih

dulu. 5,6

Realita masyarakat Indonesia, bahkan dunia saat ini tampaknya menarik

untuk dilihat dari perspektif kognisi sosial. Menurut Baron & Byrne kognisi sosial

didefinisikan sebagai cara kerja pikiran manusia untuk memahami lingkungan

sekitar agar manusia dapat berfungsi di dalamnya secara adaptif. Cara kerja

pikiran ini meliputi aktivitas meng-interpretasi, menganalisis, mengingat, dan

menggunakan informasi tentang dunia sosial. 5,6

Skema adalah komponen dasar dalam kognisi sosial yang diartikan sebagai

kerangka atau struktur mental yang membantu manusia mengorganisasikan

11
informasi sosial dan menuntun pemrosesan-nya. Skema berkisar pada sebuah

subjek atau tema tertentu dan skema dibentuk oleh budaya di mana kita tinggal.5,6

Skema menimbulkan efek yang kuat pada tiga proses dasar: perhatian

(attention), pengodean (encoding), dan mengingat kembali (retrieval). Dalam

hubungannya dengan perhatian, skema berperan sebagai penyaring: informasi

yang konsisten dengan skema lebih diperhatikan untuk diolah dalam kesadaran

manusia, sedang-kan informasi yang tidak cocok sering kali diabaikan, kecuali

informasi tersebut sangat ekstrem, sehingga mau tidak mau kita

memperhatikannya, misalnya seperti strategi yang digunakan dalam berita-berita

hoax dengan menggunakan headline bombastis. Sadar atau tidak, informasi-

informasi yang diterima oleh para pengguna media sosial saat mencerna berita

hoax mendorong untuk resharing berita senada karena skema mental mereka

kongruen tema atau preferensi tertentu. 5,6

C. Gangguan Mental Akibat Pengaruh Media Sosial

Era globalisasi memiliki pengaruh yang kuat disegala dimensi kehidupan

masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial baik

secara positif maupun negatif. Perkembangan teknologi membuat masyarakat

terapit diantara dua pilihan.7,8

Disatu pihak masyarakat menerima kehadiran teknologi, di pihak lain

kehadiran teknologi modern justru menimbulkan masalah-masalah yang bersifat

struktural yang kemudian merambah di semua aspek kehidupan masyarakat.

Terkait dengan perkembangan teknologi yang berdampak kearah modernisasi,

IPTEK merupakan yang paling pesat perkembangannya. Salah satu diantaranya

12
yang cukup membuat masyarakat terkagum-kagum ialah perkembangan teknologi

informasi. 7,8

Sosial media merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi

dan komunikasi. Melalui sosial media yang semakin banyak berkembang

memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi

dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga

mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. 7,8

Arus informasi yang cepat menyebabkan kita tidak mampu untuk menyaring

pesan yang datang. Akibatnya tanpa sadar sosial media tersebut sedikit demi

sedikit telah menggeser serta mempengaruhi pola tingkah laku dan budaya dalam

masyarakat. Kebudayaan yang sudah lama ada dan menjadi tolak ukur masyarakat

dalam berperilaku kini hampir hilang dan lepas dari perhatian masyarakat.

Akibatnya, semakin lama perubahan-perubahan sosial di masyarakat mulai

terangkat ke permukaan dan terdapat kecendrungan baru dalam pembentukan

watak sesorang melalui sosial media. 7,8

Perubahan melalui sosial media yang jelas terlihat adalah berubahnya

struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat, perubahan tersebut

seperti perubahan sikap, tingkah laku yang tidak menutup kemungkinan bahwa

proses perubahan akibat sosial media ini akan melunturkan atau mengurangi

derajat bentuk-bentuk atau nial-nilai yang sudah ada dalam masyarakat, yang

mengakibatkan masayarakat mulai meninggalkan kebiasaan atau budayanya

karena mengganggap kebudayaan itu sudah kuno. 7,8

Dampak yang paling kontras dirasakan dikalangan masyarakat ialah

perubahan gaya hidup dan pola tingkah laku yang menuntut masyarakat bersikap

13
serba instant sehingga menyebabkan terjadi pergeseran nilai-nilai budaya dalam

kehidupan masyarakat. Sosial media mempengaruhi gaya hidup masyarakat untuk

menjadi serupa dengan apa yang disajikan oleh sosial media. Sadar atau tidak

masyarakat pun masuk kedalamnya bahkan menuntut lebih dari itu. Kehadiran

media sosial dirasakan lebih berpengaruh terhadap generasi muda yang sedang

berada dalam tahap pencarian jati diri. 7,8

Yang lebih disayangkan lagi, sosial media secara perlahan-lahan namun

efektif membentuk pandangan masyarakat terhadap bagaimana seseorang melihat

pribadinya dan bagaimana seseorang seharusnya berhubungan dengan dunia

sehari-hari walau sudah melenceng dari tahap perkembangan jiwa maupun norma-

norma yang berlaku. Buruknya hal tersebut tidak dianggap sebagai suatu

kesalahan. 7,8

Sosial media ini juga bisa berdampak kepada gagguan kejiwaan dan

gangguan mental yang tanpa disadari oleh pengguna sosial media tersebut. 7,8

Penyakit kejiwaan itu adalah: 7,8

 Obsessive Compulsive Personality Disorder (OCPD). Gangguan jiwa ini

menyebabkan penggunanya merasa memiliki gangguan berupa pemikiran

irasional yang menganggap jika orang lain lebih ceroboh, bodoh, dan tidak

berperilaku seperti yang seharusnya. 7,8

 Munchausen Syndrome. Gangguan jiwa ini menyebabkan seseorang untuk

rela melakukan sebuah kebohongan hanya untuk menarik simpati orang-

oran di media sosial termasuk lawan jenis atau teman-teman di sosial

medianya dengan bermacam-macam tujuan. 7,8

14
 Internet Asperger Syndrome. Gangguan jiwa ini menyebabkan orang yang

biasanya pendiam di dunia nyata tiba-tiba menjadi seseorang yang kasar

dan sering mencaci maki orang lain melalui akun sosial media ataupun di

forum-forum yang diikutinya. 7,8

 Low Forum Frustration Tolerance. Gangguan jiwa yang menyebabkan

penggunanya merasa haus akan sebuah self esteem atau pengakuan diri

dari pengguna lain di sosial media. 7,8

Gangguan Mental yang bisa terjangkit oleh sosial media adalah:

 Attention Deficit Hyperactivity Disorde (ADHD), merupakan gangguan

perkembangan yang umumnya ditemui pada anak-anak. Gejalanya adalah

perasaan selalu gelisah, tidak bisa tenang, serta mudah teralihkan pikiran

dan perhatiannya. Sehingga, penderitanya nggak akan bisa fokus dalam

belajar atau bekerja.9,10

 Depresi. merupakan istilah umum untuk menggambarkan perasaan sedih

yang mendalam, atau tertekan secara berlebihan. Depresi dapat

menyebabkan hilangnya minat dan semangat di dalam diri, malas

beraktivitas, gangguan pola tidur, bahkan mampu mendorong kamu untuk

melakukan bunuh diri. Depresi adalah suatu masalah kesehatan mental

yang umum terjadi di seluruh dunia. Data terbaru dari situs resmi World

Health Organisation (WHO) menyebutkan bahwa ada sekitar 300 juta

orang di seluruh dunia hidup dengan depresi. 9,10

Depresi ditandai dengan rendahnya mood yang bersifat persisten alias

terus-menerus dalam jangka waktu lama, serta kehilangan minat untuk

melakukan hal-hal yang selama ini disukai. Depresi dapat bersifat

15
membahayakan karena pada kondisi terburuk dapat berujung pada

kematian, yang disebabkan oleh bunuh diri. WHO mencatat setidaknya

ada 800 ribu penduduk dunia yang meninggal akibat bunuh diri setiap

tahun, dengan angka kejadian terbanyak pada rentang usia 15-29 tahun. 9,10

Beberapa penelitian mengaitkan efek buruk penggunaan media sosial,

seperti Facebook, Instagram, dan Snapchat, dengan kejadian depresi pada

para penggunanya. Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan di Univeristy

of Pennsylvania, Amerika Serikat, pada tahun 2018 menunjukkan bahwa

menggunakan Facebook, Instagram, dan Snapchat hanya 30 menit per hari

terbukti mengurangi depresi secara signifikan. Hal in terutama bagi para

pengguna media sosial yang memang sudah memiliki riwayat depresi

sebelumnya. 9,10

Sebuah systematic review yang dilakukan oleh sekelompok peneliti di

Australia terhadap studi-studi yang pernah dilakukan mengenai efek media

sosial dan depresi menyebutkan, efek media sosial dalam menyebabkan

depresi berkaitan dengan interaksi antar pengguna yang bersifat negatif

serta kecenderungan pengguna dalam membuat perbandingan dalam hal

sosial. Namun kabar baiknya, ulasan ini juga mengatakan bahwa

penggunaan sosial media justru dapat membantu orang yang hidup dengan

depresi. Hal ini khususnya terjadi jika media sosial digunakan untuk

membangun interaksi yang positif dan berkualitas, serta untuk

menciptakan dukungan secara sosial. 9,10

 Obsessive-compulsive Disorder (OCD), merupakan gangguan psikologis

yang membuat penderitanya selalu merasa cemas akan berbagai hal secara

16
berlebihan. Bahkan, penderitanya dapat melakukan suatu hal yang sama

secara berulang-ulang tanpa alasan yang jelas. 9,10

 Kecemasan (Anxiety) didefinisikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia

(KBBI) sebagai kondisi emosional yang tidak menyenangkan. Ditandai

dengan perasaan-perasaan subjektif, seperti ketegangan, ketakutan, dan

kekhawatiran, serta pengaktifan sistem saraf pusat. 9,10

Kecemasan juga dapat menyerang para pengguna media sosial.

Pernahkah Kamu merasakan ketidaknyamanan karena belum mengecek

akun-akun media sosialmu dalam beberapa hari terakhir? Atau senantiasa

mengenggam smartphone agar tidak tertinggal sedikitpun informasi di

media sosialmu? Atau dorongan untuk terus-menerus membagikan (share)

sesuatu di media sosialmu? Jika iya, maka kemungkinan besar anda sudah

terkena social media anxiety disorder. 9,10

Hal ini bahkan memunculkan suatu fenomena yang disebut phantom

vibration syndrome (PVS), yaitu ketika seseorang merasa handphone-nya

berdering dan lantas mengecek atau melihatnya. Padahal, saat

itu handphone-nya tidak berdering atau memunculkan notifikasi

apapun.9,10

 Narcissistic Personality Disorder (NPD). Penderita NPD akan menjadi

orang yang arogan, egois, dan tidak bisa berempati dengan orang lain.

Mereka selalu mengharapkan pujian dan kekaguman dari orang-orang di

sekitarnya. Mereka jadi sulit menjalin hubungan dengan orang lain dan

rentan terancam depresi. Gejala NPD orang suka pamer foto dirinya

sendiri dengan berbagai gaya di sosial media.10,11

17
 Kesepian. Media sosial tentunya diciptakan untuk meningkatkan relasi

antara satu orang dengan orang lainnya. Terutama bagi orang-orang yang

selama ini tidak dapat berkomunikasi secara langsung karena adanya jarak

dalam ruang dan waktu. 10,11

Namun siapa sangka, pengguna media sosial juga dapat

merasa kesepian. Sebuah survei yang dilakukan terhadap lebih dari 1.700

orang pengguna media sosial berusia 19-32 tahun di Amerika Serikat pada

tahun 2014 menunjukkan, kelompok yang menggunakan media sosial

dalam kuantitas yang lebih banyak memiliki kecenderungan untuk merasa

lebih terisolasi jika dibandingkan kelompok dengan jumlah penggunaan

media sosial yang lebih sedikit. 10,11

Studi lain yang diterbitkan di tahun 2016 dengan judul Social media

and loneliness: Why an Instagram picture may be worth more than a

thousand Twitter words menunjukkan kecenderungan perasaan kesepian

yang dialami oleh para orang dewasa muda lebih banyak terjadi pada

penggunaan media sosial berbasis teks dibandingkan media sosial berbasis

gambar (image). 10,11

 Hypochondriasis, yang merupakan salah satu gangguan psikologis ketika

penderitanya merasakan cemas yang berlebihan

terhadap kesehatan tubuhnya, atau merasa menderita penyakit serius.

Padahal, sebenarnya penyakit tersebut hanya ada di dalam

khayalannya.10,11

 Schizoaffective dan Schizotypal Disorder, merupakan penyakit mental

yang membuat penderitanya mengalami halusinasi, pikiran yang

18
membingungkan, depresi, hingga gangguan ingatan. Bahkan penyakit

mental ini mendorong potensi bunuh diri, bahkan membunuh orang

lain.10,11

 Body Dysmorphic Disorder, yaitu seseorang yang memiliki rasa takut dan

cemas yang berlebihan terhadap suatu kelainan pada bagian tubuhnya.

Bukan hanya memperhatikan bagian-bagian tubuh, mereka juga tidak

dapat berhenti memikirkan penampilannya, dan selalu ingin terlihat

sempurna. Jika menemukan kelainan atau kekurangan pada bagian

tubuhnya, mereka akan merasa tertekan dan mengalami depresi. 10,11

Media sosial nyatanya punya dampak bagi kehidupan manusia.

Karena sosial media, kegiatan sehari-hari artis idola dengan tubuh idealnya

serta paras yang cantik bisa dengan mudah dilihat. Media sosial ternyata

berpengaruh besar atas gangguan perilaku makan yang menimpa banyak

remaja. Para remaja rentan mengalami gangguan perilaku makan, seperti

diet terlalu ketat, atau konsumsi obat pencahar tanpa berkonsultasi dengan

dokter. Mereka bahkan bisa mengalami bulimia, yaitu memuntahkan

kembali makanan yang dikonsumsi. 10,11

Pusat Eating Disorder Chicago, Amerika Serikat, menemukan bahwa

30-50% remaja yang mengalami gangguan makan, penyebab utamanya

adalah media sosial. Remaja perempuan yang terlalu sering memainkan

media sosial seperti Facebook mengalami peningkatan risiko untuk

mengalami gangguan makan dan memiliki persepsi tubuh yang negatif,

salah satunya adalah gangguan jiwa body dysmorphic disorder. 10,11

19
Penyakit ini merupakan gangguan jiwa dimana seseorang

menghabiskan banyak waktu untuk mengkhawatirkan kekurangan

penampilannya. Kekurangan ini sering tidak disadari oleh orang lain.

Contohnya saja saat kamu merasa pipi terlalu tembam, atau hidung terlalu

pesek dan lain sebagainya. Tapi orang lain menganggap kamu tidak apa-

apa. 10,11

Kondisi gangguan jiwa ini dapat dialami oleh segala rentang usia,

namun paling sering dialami oleh remaja dan orang usia produktif, baik

pria maupun wanita. Orang yang mengalami gangguan ini akan selalu

merasa ada yang salah dengan rambut, kulit, hidung, dada, perutnya, dan

bagian tubuh lainnya. Padahal pada kenyataannya, kekurangan tersebut

tidak diperhatikan oleh orang lain. 10,11

Orang-orang ini bakal terobsesi dengan penampilannya hingga

berjam-jam lamanya. Penyakit jiwa ini bisa mengakibatkan seseorang

mengalami rendah diri, menghindari kegiatan sosial dan mengalami

masalah berkomunikasi dengan orang lain. 10,11

 Voyeurism, diartikan sebagai perilaku suka mengintip. Namun, dalam

konteks sosial media, voyeurism merujuk kepada sikap penasaran yang

berlebihan terhadap seseorang, sehingga melakukan stalking secara

mendalam, hingga benar-benar terobsesi pada orang tersebut secara tidak

wajar.6,7

 Addiction, berarti ketagihan. Semakin sering melakukan berbagai aktivitas

di media sosial, seseorang akan ketagihan dan ingin melakukannya lagi,

20
secara terus-menerus, dan tanpa henti. Ketagihan ini tentu membuat pola

hidup yang normal menjadi berantakan.6,7

Penggunaan sosial media secara berlebihan membuat dampak yang tidak

baik bagi kesehatan jiwa dan mental. Makanya, mulai sekarang, coba gunakanlah

sosial media secara wajar sesuai keperluan. Selain itu, jangan terhanyut oleh

berbagai aktivitas sosial media yang bisa bikin kamu terkena salah satu gangguan

jiwa dan gangguan mental tersebut diatas. Hasil penelitian para ahli mengungkap

bahwa 1 dari 8 pengguna sosial media terutama facebook adalah penderita

gangguan jiwa dan mental.10,11

21
BAB III

PENUTUP

Media sosial tersusun dari dua kata, yakni “media” dan “sosial”. “Media”

diarti-kan sebagai alat komunikasi. Sedangkan kata “sosial” diartikan sebagai

kenyataan sosial bahwa setiap individu melakukan aksi yang memberikan

kontribusi kepada masyarakat. Pernyataan ini menegaskan bahwa pada

kenyataannya, media dan semua perangkat lunak merupakan “sosial” atau dalam

makna bahwa keduanya merupakan produk dari proses sosial.

Era globalisasi memiliki pengaruh yang kuat disegala dimensi kehidupan

masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial baik

secara positif maupun negatif. Perkembangan teknologi membuat masyarakat

terapit diantara dua pilihan.

Sosial media merupakan salah satu bentuk kemajuan teknologi informasi

dan komunikasi. Melalui sosial media yang semakin banyak berkembang

memungkinkan informasi menyebar dengan mudah di masyarakat. Informasi

dalam bentuk apapun dapat disebarluaskan dengan mudah dan cepat sehingga

mempengaruhi cara pandang, gaya hidup, serta budaya suatu bangsa. Sosial media

ini juga bisa berdampak kepada gagguan kejiwaan dan gangguan mental yang

tanpa disadari oleh pengguna sosial media tersebut.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock B, Sadock V. Kaplan & Sadock's Comprehensive Textbook of

Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2017:2789-

2807,11056-11060.

2. Alvarez M, Barco A, Lahera G, et al. Increasing Interest of Mass

Communication Media and the General Public in the Distribution of Tweets

About Mental Disorders: Observational Study. Journal Of Medical Internet

Research. 2018;20(5):1-13.

3. Shepherd A, Sanders C, Doyle M, et al. Using social media for support and

feedback by mental health service users: thematic analysis of a twitter

conversation. BMC Psychiatry. 2015;15(29):1-9.

4. Wongkoblap A, Vadillo M, Curcin V. Researching Mental Health Disorders

in the Era of Social Media: Systematic Review. J Med Internet Res.

2017;19(6):1-17.

5. Naslund J, Aschbrenner K, Bartels S. How People with Serious Mental

Illness Use Smartphones, Mobile Apps, and Social Media. Psychiatr

Rehabil J. 2016 December;39(4):364-367.

6. Viera C, Whitfield D, Wessel C, et al. For Better or for Worse? A

Systematic Review of the Evidence on Social Media Use and Depression

Among Lesbian, Gay, and Bisexual Minorities. JMIR Ment Health.

2018;5(3):1-14.

7. Lin L, Sidani J, Shensa A, et al. Association between Social Media Use and

Depression among U.S. Young Adults. Depress Anxiety. 2016

April;33(4):323-331.

23
8. Eijnden R, Koning I, Doornwaard S, et al. The impact of heavy and

disordered use of games and social media on adolescents’ psychological,

social, and school functioning. Journal of Behavioral Addictions.

2018;7(3):697-706.

9. Naslund J, Aschbrenner K, McHuga G, et al. Exploring Opportunities to

Support Mental Health Care Using Social Media: A Survey of Social Media

Users with Mental Illness. Early Interv Psychiatry. 2019;1-10.

10. Naslund J, Aschbrenner K, Marsch L, et al. The future of mental health

care: peer-to-peer support and social media. Epidemiol Psychiatr Sci. 2016

April;25(2):113-122.

11. Berry N, Emsley R, Lobban F, et al. Social media and its relationship with

mood, self-esteem and paranoia in psychosis. Acta Psychiatr Scand.

2018;138:558-570.

24

Anda mungkin juga menyukai