Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
MAKALAH
TINEA KORPORIS
Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Ika Fikriah, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan ini.Laporan ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
Farmakologifakultas kedokteran Universitas Mulawarman
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1
Tinea Korporis
Definisi
Tinea korporis atau juga dikenal dengan tinea sirsinata, tinea glabrosa,
Scherende Flechte, herpes sircine trichophytique, ataupun kurap merupakan
penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan dermatofita yang
menyerang daerah kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin) yaitu pada
wajah, badan, lengan, dan tungkai (Games, Oliveira, & Nepomucino, 2012;
Budimulja & Widaty, 2015).
Epidemiologi
Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terjadi pada daerah dengan
iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi hangat dan
lembab membantu dalam menyebarkan infeksi ini. Oleh karena itu daerah tropis
dan subtropis memiliki insiden yang tinggi terhadap tinea korporis (Lakshmipathy
& Kannabiran, 2010). Penyakit ini menyerang pria maupun wanita dan terjadi
pada semua umur (Rassai, Feily, Sina, & Derakhshanmehr, 2011). Penularan
dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak
langsung melalui benda yang mengandung jamur (Verma & Heffernan, 2008).
Etiologi
2
penyebab tinea korporis salah satunya adalah Microsporum canis yang berasal
dari kucing (Lakshmipathy & Kannabiran, 2010); Moriarty B, Hay R, & Jones,
2012). Penyebab tersering pada tinea korporis adalah Trichophyton Rubrum dan
Trichophyton Mentagrophytes (Brannon & Heather, 2010).
Patogenesis
3
membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat
bertahan terhadap fagositosis.
2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada
dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3,
MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan
terhambat.
3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi
toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase,
mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga
memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore
(suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk
menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.
Manifestasi Klinik
Keluhan yang dirasakan pada penderita tinea korporis berupa rasa gatal, dan
4
gatal bertambah apabila berkeringat. Lesi biasanya berbentuk sirkular dengan tepi
yang meninggi. Lesi dapat berjumlah tunggal ataupun terdiri dari beberapa plak.
Derajat inflamasi sangat bervariasi. Variasi ini akibat dari perbedaan imunitas
hospes dan spesies jamur (Hay & Moore, 2007; Verma & Heffernan, 2008).
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai
sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar,
selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan
mengalami resolusi, dan bagian tepinya sering terdapat skuama, krusta, vesikel,
dan papul. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada
umumnya merupakan bercak terpisah satu dengan yang lainnya (Rippon, 1998;
Hay & Moore, 2007).
Tinea korporis sering ditemukan asimptomatik atau gatal ringan. Lesi nya
dapat berupa patch eritematus ataupun hipopigmentasi, kering dengan pinggir
yang tajam disertai dengan sentral healing. Tinea korporis yang meluas dapat
menjadi tanda bahwa penderitanya menderita AIDS ataupun juga dapat
berhubungan dengan penggunaan penggunaan kortikosteroid topikal. (James,
Berger, & Elston, 2011)
Diagnosis Banding
5
Tinea korporis kadang sulit dibedakan dengan beberapa kelainan kulit yang
lainnya. Beberapa penyakit yang mirip dengan Tinea korporis antara lain psoriasis
vulgaris, dermatitis seboroik, ptyriasis rosea, granuloma annular. Oleh karenanya
diperlukan pemeriksaan KOH ataupun kultur untuk menegakkan diagnosis tinea
korporis dengan tepat (Rippon, 1998).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien ini terdiri dari terapi non farmakologis dan
farmakologis. Terapi non farmakologis pada pasien ini sangat penting untuk
mencegah kekambuhan dan bertujuan untuk menghilangkan faktor predisposisi
seperti memakai baju yang menyerap keringat, memakai pakaian longgar dan
tidak ketat serta mengeringkan badan dengan baik setelah mandi dan berkeringat.
(Weinstein & Berman, 2002; Moriarty, Hay, & Jones, 2012)
Terapi topikal (Weinstein & Berman, 2002; James, Berger, & Elston, 2011;
Gupta & Cooper, 2008)
Terapi sistemik (James, Berger, & Elston, 2011; Gupta & Cooper, 2008)
Terdapat 5 jenis terapi sistemik yang sering digunakan, dintaranya terbinafine,
itraconazole, griseofulvin, ketokonazole, dan fluconazole.
1. Terbinafine
Pada penderita tinea corporis, terbinafine oral diberikan dengan
dosis 250 mg/hari selama 2-4 minggu.
2. Itrakonazole
6
Itrakonazole oral diberikan dengan dosis 200 mg/ hari selama satu
minggu.
3. Griseofulvin
Griseofulvin tersedia dalam dosis besar dan dosis kecil. Dosis
besar adalah 500 mg/hari sedangkan dosis kecil adalah 330-375 mg/hari
selama 2-4 minggu.
4) Ketokonazole
Ketokonazole oral diberikan dengan dosis 200-400 mg/hari selama
4 minggu.
5) Fluconazole
Fluconazole oral diberikan dengan dosis 150-300 mg sekali
seminggu selama 2-4 minggu.
Prognosis
Tinea korporis yang bersifat lokal prognosisnya akan baik dengan tingkat
kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau
dengan menggunakan anti jamur sistemik. (Rippon, 1998).
Pencegahan
7
8
BAB II
KASUS DAN P- TREATMENT
KASUS
9
P-TREATMENT
b. Terapi Farmakologis
Pilihan obat farmakologis adalah sebagai berikut:
Efficacy Safety Suitability Cost
+++ ++ +++ ++
Farmakodinamik : Efek samping: Kontraindikasi: Krim
Obat merusak dinding Iritasi, rasa Hipersensitivitas, miconazole
membran sel jamur dengan terbakar, dan kehamilan, dan CR 2% 10 g
menginhibisi biosintesis maserasi menyusui Rp.5000/tub
memerlukan e
dari ergosterol.
penghentian
Permeabilitas membran terapi.
meningkat, menyebabkan
nutrien bocor dan
Miconazole menghasilkn kematian sel
jamur
Farmakokinetik: A:
melalui GI track
M: dimetabolisir di hepar
oleh enzim hepatic
CYP3A4
10
+++ ++ + -
Farmakodinamik: Efek samping: Kontraindikasi
Menghambat sitokrom >10% mual, : Kaps 100mg
P450-sintesisnya tergantung 1-10% rash, Hipersensitivitas,
dari ergosterol, yang akan pruritus, muntah, gagal hati dan (Rp.210.000
menghambat formasi diare, dispepsia, ginjal, )
membran sel. nyeri abdomen, kehamilan,
hipertensi, pasien dengan
Farmakokinetik : demam, disfungsi
A : waktu puncak plasma anorexia, ventricular
Itrakonazole
larutan oral dengan puasa, malaise,
2.2 jam; kapsul dengan hipokalemia,
pusing.
makanan, 5jam
M: di hepar
M: di hepar
11
A : >90% peroral, waktu yang lain, hati- 200mg/100
puncak plasma 1-2 jam hati digunakan mlx1(Rp.15
peroral pada kondisi 0.000)
proaritmik dan
D : mengikat protein 11- gagal ginjal
12%, didistribusikan secara
luas keseluruh tubuh.
M: metabolisme sempurna
di hepar
E: melalui urine
+++ +++ +++ -
Farmakodinamik : Efek samping: Kontraindikasi
Fungistatik antifungi dan Rasa terbakar, : Rp. -
antibakteri dengan rash, rasa gatal, Hipersensitivitas
mengubah membran sel dan redness
mengganggu enzim
Econazol intraselular
Farmakokinetik : A:
minimal, puncak plasma
1ng/mL.
Farmakokinetik:
Terbinafine
A: bioavailability 40%
(dewasa), 36-64% (anak),
waktu puncak plasma 1-2
jam
D:predominan distribusi ke
sebum dan kulit
M: di hati
12
+++ ++ +++ +++
Farmakodinamik: Efek Samping: Kontraindikasi:
Fungistatic, penyimpanan Rash, urtikaria, Hipersensitivitas, Tab 125mg
dalam prekursor sel keratin headache, gangguan hepar,
dan mengikat dengan erat kelelahan, kehamilan, (Rp.664/tab)
keratin baru dan pusing, porfiria
peningkatan ini resisten insomnia,mual, Tab 500mg
pada invasi jamur. muntah, diare, (Rp.2.219/ta
leukopenia, b)
Griseofulvin Farmakokinetik: perdarahan GI,
A: 25-70% dosis oral hepatotoksik,
proteinuria,
D:obat melewati plasenta nefrosis
M: dihati
Anti Histamin
Efficacy Safety Suitability Cost
+++ +++ +++ +++
Farmadinamik: Efek Samping: Kontraindikasi: Rp.400,-/
Histamin H-1 reseptor >10% Somnolen, Hipersensitivitas. tablet
antagonis, bersaing dengan headache
histamin di efektor sel Peringatan:
dalam GI tract, pembuluh 1-10% fatigue, Pada pasien
darah dan respiratori tract. mulut kering, gagal hati dan
dizziness, diare, ginjal.
Farmakokinetik: malaise, muntah,
A: puncak konsentrasi epistaksis
Cetirizine
plasma 114ng/mL, waktu
puncak serum 1 jam <1% sakit perut,
halusinasi,
D: mengikat protein 93% hipotensi, tremor
M: di metabolisme di hati
13
mulut, hati, pasien tua
Farmakokinetik: konjungtivitis,
A: onset 1-3jam, efek malaise, nyeri
puncak 8-12jam perut,
M: di hepar
E: urine
Pemberian Terapi
14
Menghindari pakaian yang panas dan gunakan pakaian yang menyerap
pakaian seperi dari bahan katun, tidak ketat dan diganti setiap hari.
Menghindari pemakaian handuk secara bersama-sama
Menghindari garukan apabila gatal, garukan dapat menyebabkan infeksi
sekunder.
d. Terapi Farmakologis
Griseofulvin 500 mg/hari (1-2xsehari) selama 2-6minggu. Sediaan
tablet 125 mg dan tablet 500 mg. Untuk mengurangi rasa gatal diberikan
terapi antihistamin Cetirizine 5-10 mg (1xsehari). Sediaan tablet 10 mg,
Sirup: 5mg/5ml, 2,5mg/5ml dan 1mg/5ml.
Pilihan : Griseofulvin 500 mg 1xsehari dengan sediaan tablet 500 mg
dan Cetirizine 10 mg 1xsehari dengan sediaan tablet 10 mg
Penulisan Resep
5. Komunikasi Terapi
Informasi Penyakit
15
Tinea korporis atau juga dikenal dengan tinea sirsinata, tinea glabrosa,
Scherende Flechte, herpes sircine trichophytique, ataupun kurap
merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial
golongan dermatofita yang menyerang daerah kulit tubuh yang tidak
berambut (glabrous skin) yaitu pada wajah, badan, lengan, dan tungkai.
Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terjadi pada daerah
dengan iklim yang panas dan lembab. Penyakit ini dapat menyerang pria
maupun wanita pada semua usia.
Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang
terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur.
Keluhan yang dirasakan pada penderita tinea korporis berupa rasa gatal,
dan gatal bertambah apabila berkeringat. Lesi biasanya berbentuk sirkular
dengan tepi yang meninggi. Lesi dapat berjumlah tunggal ataupun terdiri
dari beberapa plak.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10-20% dan ditemukan hifa
panjang dan bersepta yang khas pada tinea.
Informasi terapi
16
DAFTAR PUSTAKA
Asticcioli, S., Silverio, A. D., Sacco, L., Ilaria, F., Vincenti, L., & Romero, E.
(2008, April). Dermathopyte Infections in Patients Attending a Tertiary
Care Hospital in Northen Italy. New Microbiologica, 31, 543-548.
Blauvelt, A. (2008). Pityriasis Rosea. Dalam K. Wolff, L. A. Goldsmith, S. I.
Katz, B. A. Gilchrest, A. S. Paller, & D. A. Leffell, Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine (7th edition ed., Vol. 1 dan 2, hal. 362-
363). New York: McGraw-Hill.
Brannon, Heather (2010-03-08). “Ringworm-Tinea Corporis”. About.com
Dermatology. About.com. Retrieved 2012-11-20.
Budimulya, U., Widaty, S. (2015). Dermatofiosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah
Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p 109–120. Has, Aisah S,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Coimbra, S., Oliveira, H., & Figueiredo, A. (2012). Psoriasis : Epidemiology,
Clinical and Histological Features, Triggering Factors, Assessment of
Severity and Psychosocial Aspects. Portugal: Intech Publisher.
Dismukes, W. E., Pappas, P. G., & Sobel, J. D. (2003). Clinical Mycology. Oxford
University Press.
Duarsa, W. (2010). Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. 2010.
Gomes, F.S, Oliveira, E.F, Nepomuceno, LB. (2012). Dermatophytosis
Diagnosed at the Evandro Chagas Institute, Para, Brazil. Brazilian Jurnal
of Microbiology. 44(2), 443-446.
Gupta, A. K., & Cooper, E. A. (2008). Update in Antifungal Therapy of
Dermatophytosis. Mycopathologia, 166, 353-367.
Hay, R. J., & Moore, M. (2007). Mycologi in Rook Textbook of Dermatology (7th
edition ed.). Blakwell Science.
James, W. D., Berger, T. G., & Elston, D. M. (2011). Andrews' Diseases of The
Skin Clinical Dermatology (11th edition ed.). United Kingdom: Saunders
Elsevier.
Kurniati, C.R.S.P, (2008). Etiopatogenesis Dermatofitosi. FK UNAIR/RSU Dr.
Soetomo Surabaya Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, Vol. 20 No.
3 Desember 2008, p 243-250
Lakshmipathy, D. T., & Kannabiran, K. (2010). Review on Dermatomycosis :
Pathogenesis and Treatment. Biomolecules and Genetics, School of
Biosciences and Technologi, VIT University, Vellore, 2(7), 726-731.
17
Mahmoudabadi, A. Z., & Yaghoobi, R. (2008, January). Extensive Tinea Corporis
Due to Trichophyton Rubrum on The Trunk. Jundishapur Journal of
Microbiology, 1(1), 35-37.
Moriarty, B., Hay, R., & Jones, R. M. (2012, Juli). The Diagnosis and
Management of Tinea. BMJ, 1-10.
Rassai, S., Feily, A., Sina, N., & Derakhshanmehr, F. (2011, 1). Some
Epidemiological Aspects of Dermatophyte Infectios in Southwest Iran.
Acta Dermatovenerol Croat, 19, 13-15.
Richardson M, Edwart M. Model System for the Study of Dermatophyte and Non-
dermatophyte Invasion of Human Keratine. Revista Iberoamericana de
Micologia 2000: 115–21.
Rippon, J. W. (1998). Medical Mycology (3rd edition ed.). Saunders Company.
Verma, S., & Heffernan, M. P. (2008). Superficial Fungal Infection :
Dermatophythosis, onicho-mycosis, tine nigra, piedra. Dalam K. Wolff, L.
A. Goldsmith, S. I. Katz, B. A. Gilchrest, A. S. Paller, & D. J. Leffell,
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine (hal. 1807-1821). New
York: McGraw-Hill.
Weinstein, A., & Berman, B. (2002, May). Topical Treatment of Common
Superficial Tinea Infections. American Family Physician, 65(10), 2095-
2102.
18
1