Anda di halaman 1dari 22

Bagian Farmakologi Klinik P- TREATMENT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

MAKALAH
TINEA KORPORIS

Disusun oleh:

M. Chairul Fadhil NIM. 1310015072


Mey Cahyani NIM. 1210015043
Ratu Tria Nandya NIM. 1310015009

Pembimbing:
dr. Ika Fikriah, M.Kes

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Lab/SMF Ilmu Farmasi/Farmakoterapi

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan ini.Laporan ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
Farmakologifakultas kedokteran Universitas Mulawarman

Penulis menyadari bahwa Laporan ini dapat terselesaikan berkat bantuan


dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Ika Fikriah atas waktu dan ilmu yang telah
diberikan kepada penulis selama penulis menjalani kepaniteraan klinik di bagian
farmakologi

Penulis menyadari bahwa penulisan Laporan ini sangat jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan Laporan ini. Akhirnya semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi banyak pihak.

Samarinda, Januari 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................. Error! Bookmark not defined.

KATA PENGANTAR ........................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI .......................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB I TINJAUAN PUSTAKA ............................. Error! Bookmark not defined.

BAB II KASUS DAN P-TREATMENT .............................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................ Error! Bookmark not defined.

iii
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan oleh


jamur dermatofita. Dermatofita adalah jamur keratinofilik yang menyerang
bagian-bagian tubuh pada manusia dan hewan yang mengandung keratin seperti
pada rambut, kuku, dan kulit (Mahmoudabadi & Yaghoobi, 2008; Lakshmipathy
& Kannabiran, 2010).

Klasifikasi dan Karakteristik Dermatofitosis


Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi infeksi atau ciri tertentu,
sebagai berikut:

1
Tinea Korporis

Definisi

Tinea korporis atau juga dikenal dengan tinea sirsinata, tinea glabrosa,
Scherende Flechte, herpes sircine trichophytique, ataupun kurap merupakan
penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan dermatofita yang
menyerang daerah kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin) yaitu pada
wajah, badan, lengan, dan tungkai (Games, Oliveira, & Nepomucino, 2012;
Budimulja & Widaty, 2015).

Epidemiologi

Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terjadi pada daerah dengan
iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi hangat dan
lembab membantu dalam menyebarkan infeksi ini. Oleh karena itu daerah tropis
dan subtropis memiliki insiden yang tinggi terhadap tinea korporis (Lakshmipathy
& Kannabiran, 2010). Penyakit ini menyerang pria maupun wanita dan terjadi
pada semua umur (Rassai, Feily, Sina, & Derakhshanmehr, 2011). Penularan
dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak
langsung melalui benda yang mengandung jamur (Verma & Heffernan, 2008).

Etiologi

Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti


Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton (Lakshmipathy & Kannabiran,
2010). Jamur penyebab tinea korporis ini bersifat antropofilik, geofilik, dan
zoofilik. Jamur yang bersifat antropofilik hanya mentransmisikan penyakit antar
manusia antara lain adalah Tricophyton violaceum, Tricophyton rubrum,
Tricophyton schoenleini, E. floccosum, Microsporum audouinii. Jamur geofilik
merupakan jamur yang hidup di tanah dan dapat menyebabkan peradangan pada
manusia. Golongan jamur ini antara lain Microsporum gypseum, Microsporum
fulvum. Microsporum cookie. Jamur zoofilik merupakan jamur yang hidup pada
hewan, namun dapat mentransmisikan penyakit pada manusia. Jamur zoofilik

2
penyebab tinea korporis salah satunya adalah Microsporum canis yang berasal
dari kucing (Lakshmipathy & Kannabiran, 2010); Moriarty B, Hay R, & Jones,
2012). Penyebab tersering pada tinea korporis adalah Trichophyton Rubrum dan
Trichophyton Mentagrophytes (Brannon & Heather, 2010).
Patogenesis

Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama, yaitu: perlekatan pada


keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta pembentukan respon
pejamu.

 Perlekatan Dermatofit pada Keratinosit


Perlekatan dermatofit pada jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6
jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi
keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan memfasilitasi
pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas
proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan
aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel
dalam menginvasi pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari
kedua sel, dan pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah
oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit
melekat pada korneosit karena tergantung pada jenis strainnya (Richardson &
Edwart, 2000).

 Penetrasi Melewati dan di antara Sel


Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan
kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi
proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur.
Diperlukan waktu 4–6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum
setelah spora melekat pada keratin (Kurniati, 2008).
Upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk
tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara (Kurniati, 2008) :
1) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang
tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat
pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan

3
membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat
bertahan terhadap fagositosis.
2) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada
dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3,
MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan
terhambat.
3) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi
toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase,
mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga
memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore
(suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk
menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.

 Respon Imun Pejamu


Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang
terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity
(DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatifita.pada
pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya inflamasi
menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test hasilnya negatif. Infeksi
menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan
pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel
langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit
T melakukan proliferasi dan bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk
menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier
epidermal menjadi permaebel terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi.
Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh (James, Berger,
Elston, Odom, 2006).

Manifestasi Klinik

Keluhan yang dirasakan pada penderita tinea korporis berupa rasa gatal, dan

4
gatal bertambah apabila berkeringat. Lesi biasanya berbentuk sirkular dengan tepi
yang meninggi. Lesi dapat berjumlah tunggal ataupun terdiri dari beberapa plak.
Derajat inflamasi sangat bervariasi. Variasi ini akibat dari perbedaan imunitas
hospes dan spesies jamur (Hay & Moore, 2007; Verma & Heffernan, 2008).
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai
sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar,
selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan
mengalami resolusi, dan bagian tepinya sering terdapat skuama, krusta, vesikel,
dan papul. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada
umumnya merupakan bercak terpisah satu dengan yang lainnya (Rippon, 1998;
Hay & Moore, 2007).
Tinea korporis sering ditemukan asimptomatik atau gatal ringan. Lesi nya
dapat berupa patch eritematus ataupun hipopigmentasi, kering dengan pinggir
yang tajam disertai dengan sentral healing. Tinea korporis yang meluas dapat
menjadi tanda bahwa penderitanya menderita AIDS ataupun juga dapat
berhubungan dengan penggunaan penggunaan kortikosteroid topikal. (James,
Berger, & Elston, 2011)

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Menegakkan diagnosis suatu penyakit dengan dilakukan anamnesis,


maupun pemeriksaan fisik. Pada penyakit tinea korporis diperlukan pemeriksaan
penunjang agar diagnosis dapat ditegakkan. Pemeriksaan KOH (potassium
hydroxide) merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting untuk
mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop. Pada
kerokan kulit dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan elemen jamur
berupa hifa panjang dan bersepta yang khas pada infeksi tinea korporis.
Pemeriksaan dengan pembiakan bertujuan untuk mengetahui spesies jamur
penyebab dengan menggunakan bahan kerokan yang ditanam dalam
Sabouraoud’s peptone-glucose agar. Pembacaan dilakukan dalam waktu 1-4
minggu. Koloni yang tumbuh diperhatikan mengenai warna, bentuk, permukaan
dan ada atau tidaknya hifa (Weinstein & Berman, 2002; Hay & Moore, 2007).

Diagnosis Banding

5
Tinea korporis kadang sulit dibedakan dengan beberapa kelainan kulit yang
lainnya. Beberapa penyakit yang mirip dengan Tinea korporis antara lain psoriasis
vulgaris, dermatitis seboroik, ptyriasis rosea, granuloma annular. Oleh karenanya
diperlukan pemeriksaan KOH ataupun kultur untuk menegakkan diagnosis tinea
korporis dengan tepat (Rippon, 1998).

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien ini terdiri dari terapi non farmakologis dan
farmakologis. Terapi non farmakologis pada pasien ini sangat penting untuk
mencegah kekambuhan dan bertujuan untuk menghilangkan faktor predisposisi
seperti memakai baju yang menyerap keringat, memakai pakaian longgar dan
tidak ketat serta mengeringkan badan dengan baik setelah mandi dan berkeringat.
(Weinstein & Berman, 2002; Moriarty, Hay, & Jones, 2012)

 Terapi topikal (Weinstein & Berman, 2002; James, Berger, & Elston, 2011;
Gupta & Cooper, 2008)

Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya


hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia
dalam berbagai formulasi, dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-
100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2-4 minggu. Topikal azol
biasanya sering digunakan karena juga berguna sebagai antibiotik broad
spectrum. Topikal azol yang sering digunakan antara lain:
a. Ketoconazol 2 %
b. Econazol 1 %
c. Miconazol 2%

 Terapi sistemik (James, Berger, & Elston, 2011; Gupta & Cooper, 2008)
Terdapat 5 jenis terapi sistemik yang sering digunakan, dintaranya terbinafine,
itraconazole, griseofulvin, ketokonazole, dan fluconazole.
1. Terbinafine
Pada penderita tinea corporis, terbinafine oral diberikan dengan
dosis 250 mg/hari selama 2-4 minggu.
2. Itrakonazole
6
Itrakonazole oral diberikan dengan dosis 200 mg/ hari selama satu
minggu.
3. Griseofulvin
Griseofulvin tersedia dalam dosis besar dan dosis kecil. Dosis
besar adalah 500 mg/hari sedangkan dosis kecil adalah 330-375 mg/hari
selama 2-4 minggu.
4) Ketokonazole
Ketokonazole oral diberikan dengan dosis 200-400 mg/hari selama
4 minggu.
5) Fluconazole
Fluconazole oral diberikan dengan dosis 150-300 mg sekali
seminggu selama 2-4 minggu.

Prognosis

Tinea korporis yang bersifat lokal prognosisnya akan baik dengan tingkat
kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau
dengan menggunakan anti jamur sistemik. (Rippon, 1998).

Pencegahan

Faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah


terjadi tinea korporis antara lain: mengurangi kelembaban tubuh penderita dengan
menghindari pakainan yang panas, menghindari sumber penularan yaitu binatang,
kuda, sapi kucing, anjing atau kontak dengan penderita lain, menghilangkan fokal
infeksi di tempat lain misalnya di kuku atau di kaki, meningkatkan higienitas dan
mengatasi faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelianan endokrin
yang lain, leukimia harus terkontrol dengan baik (Duarsa, 2010).
Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya residif pada tinea korporis
harus dihindari atau dihilangkan antara lain: temperatur lingkungan yang tinggi,
keringat berlebihan, pakaian dari bahan karet atau nilon, kegiatan yang banyak
berhubungan dengan air, misalnya berenang, kegemukan, selain faktor
kelembaban, gesekan kronis dan keringat yang berlebihan disertai higienitas yang
kurang, memudahkan timbulnya infeksi jamur (Duarsa, 2010).

7
8
BAB II
KASUS DAN P- TREATMENT

KASUS

Tn R laki-laki berumur 41 tahun seorang kuli angkut di pasar datang


dengan keluhan terdapat bercak kemerahan yang melebar disertai rasa gatal pada
perut kiri bawah sejak + 1 bulan yang lalu. Bercak kemerahan tersebut awalnya
kecil, karena terasa gatal maka pasien menggaruknya, rasa gatal makin bertambah
apabila pasien berkeringat. Kemudian bercak kemerahan tersebut bertambah luas
dan rasa gatal makin bertambah. Pasien mengatakan sering berkeringat banyak,
tetapi tidak segera mengganti pakaiannya. Riwayat mandi dan ganti pakaian yaitu
2 kali sehari, handuk dipakai bersamaan. Tidak ada keluarga yang mengalami
keluhan yang sama dengan pasien
Hasil pemeriksaan tanda vital pasien dalam batas normal. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan efloresensi di regio abdominalis lateralis sinistra
yang menjalar ke bagian punggung tampak plak eritematosa, ukuran plak 20 cm x
10 cm, tidak teratur, tepi aktif dan terdapat sentral healing disertai dengan skuama
diatasnya.
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan kerokam kulit dengan KOH 10%,
hasilnya: pada sediaan dari abdomen sinistra ditemukan adanya hifa panjang.

9
P-TREATMENT

1. Menentukan Problem Pasien


- KU: Timbul bercak kemerahan yang melebar disetai rasa gatal di regio
abdomen sinistra bawah
- Diagnosis: Tinea Corporis
2. Menentukan Tujuan Terapi
- Mencegah timbulnya bercak kemerahan
- Menghilangkan rasa gatal
- Mencegah timbulnya infeksi jamur kembali
3. Pemilihan Terapi
a. Terapi Non Farmakologis
 Memberikan edukasi kepada pasien mengenai penyakitnya
 Memberikan edukasi dan menganjurkan pasien untuk menjaga kebersihan
badan dan lingkungan

b. Terapi Farmakologis
Pilihan obat farmakologis adalah sebagai berikut:
Efficacy Safety Suitability Cost
+++ ++ +++ ++
Farmakodinamik : Efek samping: Kontraindikasi: Krim
Obat merusak dinding Iritasi, rasa Hipersensitivitas, miconazole
membran sel jamur dengan terbakar, dan kehamilan, dan CR 2% 10 g
menginhibisi biosintesis maserasi menyusui Rp.5000/tub
memerlukan e
dari ergosterol.
penghentian
Permeabilitas membran terapi.
meningkat, menyebabkan
nutrien bocor dan
Miconazole menghasilkn kematian sel
jamur

Farmakokinetik: A:
melalui GI track

M: dimetabolisir di hepar
oleh enzim hepatic
CYP3A4

10
+++ ++ + -
Farmakodinamik: Efek samping: Kontraindikasi
Menghambat sitokrom >10% mual, : Kaps 100mg
P450-sintesisnya tergantung 1-10% rash, Hipersensitivitas,
dari ergosterol, yang akan pruritus, muntah, gagal hati dan (Rp.210.000
menghambat formasi diare, dispepsia, ginjal, )
membran sel. nyeri abdomen, kehamilan,
hipertensi, pasien dengan
Farmakokinetik : demam, disfungsi
A : waktu puncak plasma anorexia, ventricular
Itrakonazole
larutan oral dengan puasa, malaise,
2.2 jam; kapsul dengan hipokalemia,
pusing.
makanan, 5jam

D : mengikat protein 99.8%

M: di hepar

E: ekskresi melalui urine,


feses
+++ + ++ +++
Farmakodinamik: Efek samping: Kontraindikasi
Menghambat sitokrom 1-10% nyeri : Tab 200mg
P450-sintesisnya tergantung perut, pruritus, Hipersensitivitas,
dari ergosterol, yang akan mual muntah penyakit hati (Rp.576/tab)
menghambat formasi akut atau kronik,
membran sel. <1% alopesia, Cream 2%
headache, (Rp.9.592)
Farmakokinetik : pusing,
A : penurunan asam hiperlipidemia,
Ketokonazol lambung dan peningkatan somnolen,
pH, waktu puncak plasma demam, diare,
dispepsia,
1-2 jam
hepatotoksik
D : mengikat protein 93-
96%

M: di hepar

E: ekskresi melalui urine


(57%), feses (13%)
+++ +++ ++ -
Farmakodinamik: Efek samping: Kontraindikasi Tab
Penghambat selektif dari Sakit kepala, : 50mgx4x1(
enzim sitokrom P-450 yang mual, muntah, Hipersensitivitas, Rp.50.000)
Flukonazol tergantung pada 450 nyeri perut, kehamilan. 200mgx4x1
lanosterol 14-alfa- diare, rash, (Rp200.000)
demetilase Peringatan :
Hipersensitivitas Larutan
Farmakokinetik : ke gol.azole Infus

11
A : >90% peroral, waktu yang lain, hati- 200mg/100
puncak plasma 1-2 jam hati digunakan mlx1(Rp.15
peroral pada kondisi 0.000)
proaritmik dan
D : mengikat protein 11- gagal ginjal
12%, didistribusikan secara
luas keseluruh tubuh.

M: metabolisme sempurna
di hepar

E: melalui urine
+++ +++ +++ -
Farmakodinamik : Efek samping: Kontraindikasi
Fungistatik antifungi dan Rasa terbakar, : Rp. -
antibakteri dengan rash, rasa gatal, Hipersensitivitas
mengubah membran sel dan redness
mengganggu enzim
Econazol intraselular

Farmakokinetik : A:
minimal, puncak plasma
1ng/mL.

E: urin dan feses


+++ ++ +++ ++
Farmakodinamik: Efek Samping: Kontraindikasi: Tab 250mg
Menghambat squalene >10% headache, Hipersensitivitas, (Rp.36.521/t
epoxidase, mengurangi 1-10% rash, Penyakit hati ab)
sintesis membran sel pruritus, mual, yang akut atau
ergosterol, menyebabkan diare, dispepsia, kronik
hambatan dari sintesis nyeri abdomen,
dinding sel jamur dan gangguan perasa,
mengakibatkan kematian dan mata.
sel jamur

Farmakokinetik:
Terbinafine
A: bioavailability 40%
(dewasa), 36-64% (anak),
waktu puncak plasma 1-2
jam

D:predominan distribusi ke
sebum dan kulit

M: di hati

E: waktu paruh 36 jam,


ekskresi di urin (70%)

12
+++ ++ +++ +++
Farmakodinamik: Efek Samping: Kontraindikasi:
Fungistatic, penyimpanan Rash, urtikaria, Hipersensitivitas, Tab 125mg
dalam prekursor sel keratin headache, gangguan hepar,
dan mengikat dengan erat kelelahan, kehamilan, (Rp.664/tab)
keratin baru dan pusing, porfiria
peningkatan ini resisten insomnia,mual, Tab 500mg
pada invasi jamur. muntah, diare, (Rp.2.219/ta
leukopenia, b)
Griseofulvin Farmakokinetik: perdarahan GI,
A: 25-70% dosis oral hepatotoksik,
proteinuria,
D:obat melewati plasenta nefrosis

M: dihati

E: waktu paruh 9-22 jam,


diekskresi di urin, feses,
keringat

 Anti Histamin
Efficacy Safety Suitability Cost
+++ +++ +++ +++
Farmadinamik: Efek Samping: Kontraindikasi: Rp.400,-/
Histamin H-1 reseptor >10% Somnolen, Hipersensitivitas. tablet
antagonis, bersaing dengan headache
histamin di efektor sel Peringatan:
dalam GI tract, pembuluh 1-10% fatigue, Pada pasien
darah dan respiratori tract. mulut kering, gagal hati dan
dizziness, diare, ginjal.
Farmakokinetik: malaise, muntah,
A: puncak konsentrasi epistaksis
Cetirizine
plasma 114ng/mL, waktu
puncak serum 1 jam <1% sakit perut,
halusinasi,
D: mengikat protein 93% hipotensi, tremor

M: di metabolisme di hati

E: waktu paruh 7.9 jam,


diekskesi di urin (70%),
feses (10)%
+++ +++ ++ +++
Farmakodinamik: Efek Samping: Kontraindikasi: Tab 10mg
Long-acting trisiklik >10% headache Hipersensitivitas (Rp.466/ta
Loratadine
antihistamin dengan 1-10% b)
aktivitas selektif peripheral somnolen, Peringatan:
histamin H-1 receptor mengantuk, Pada pasien
antagonis kelelahan, kering gagal ginjal dan

13
mulut, hati, pasien tua
Farmakokinetik: konjungtivitis,
A: onset 1-3jam, efek malaise, nyeri
puncak 8-12jam perut,

M: di hepar

E: waktu paruh 12-15 jam,


ekskresi di urin (40%) dan
feses (40%)
+++ + ++ +++
Farmakodinamik: Efek Samping: Kontraindikasi: Rp.3000/st
Histamin H-1 reseptor Obat sedatif Hipersensitivitas, rip @12
antagonis di pembuluh berkisar dari penyakit tablet
darah, respiratori tract, dan mengantuk pernapasan
GI tract. ringan sampai bawah, asma,
tidur dalam, neonatus
Farmakokinetik: Depresi CNS, prematur
CTM A: waktu puncak plasma 2- pusing,
3 jam kelelahan,
kelemahan otot,
D: mengikat protein 29- mual, muntah,
36% anorexia,
konstipasi dll
M: di hati

E: urine

Terapi Farmakologi sistemik yang dipilih yaitu Griseofulvin, karena


ditinjau dari Efficacy, safety, dan suitability-nya hampir sama dengan obat
lainnya, namun cost nya cukup baik. Terapi antihistamin untuk mengurangi rasa
gatal yang dipilih adalah Cetirizine, karena ditinjau dari suitability dan cost-nya
cukup baik.

Pemberian Terapi

c. Terapi Non Farmakologis


Memberikan edukasi kepada pasien mengenai:

 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan penatalaksanaannya.


 Menganjurkan untuk menjaga daerah lesi tetap kering.
 Menganjurkan menjada kebersihan badan.

14
 Menghindari pakaian yang panas dan gunakan pakaian yang menyerap
pakaian seperi dari bahan katun, tidak ketat dan diganti setiap hari.
 Menghindari pemakaian handuk secara bersama-sama
 Menghindari garukan apabila gatal, garukan dapat menyebabkan infeksi
sekunder.

d. Terapi Farmakologis
Griseofulvin 500 mg/hari (1-2xsehari) selama 2-6minggu. Sediaan
tablet 125 mg dan tablet 500 mg. Untuk mengurangi rasa gatal diberikan
terapi antihistamin Cetirizine 5-10 mg (1xsehari). Sediaan tablet 10 mg,
Sirup: 5mg/5ml, 2,5mg/5ml dan 1mg/5ml.
Pilihan : Griseofulvin 500 mg 1xsehari dengan sediaan tablet 500 mg
dan Cetirizine 10 mg 1xsehari dengan sediaan tablet 10 mg

Penulisan Resep

PRAKTER DOKTER BERSAMA


dr. Fadhil
Jl. Unmul 6 No.22 kampus gn. kelua Telp.0541-777777
SIP. 1110015052

Samarinda, 22 Januari 2018

/ Griseofulvin 500 mg tab No. XIV


S 1 dd tab 1

/ Cetirizine 10 mg tab No. X
S 1 dd tab 1 (prn gatal)

Pro : Tn. X
Umur : 41 thn
Alamat : Jl. X No.X

5. Komunikasi Terapi
Informasi Penyakit

15
 Tinea korporis atau juga dikenal dengan tinea sirsinata, tinea glabrosa,
Scherende Flechte, herpes sircine trichophytique, ataupun kurap
merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial
golongan dermatofita yang menyerang daerah kulit tubuh yang tidak
berambut (glabrous skin) yaitu pada wajah, badan, lengan, dan tungkai.
 Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terjadi pada daerah
dengan iklim yang panas dan lembab. Penyakit ini dapat menyerang pria
maupun wanita pada semua usia.
 Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang
terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur.
Keluhan yang dirasakan pada penderita tinea korporis berupa rasa gatal,
dan gatal bertambah apabila berkeringat. Lesi biasanya berbentuk sirkular
dengan tepi yang meninggi. Lesi dapat berjumlah tunggal ataupun terdiri
dari beberapa plak.
 Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10-20% dan ditemukan hifa
panjang dan bersepta yang khas pada tinea.

Informasi terapi

 Obat Griseofulvin diberikan 1 kali sehari boleh diberikan setelah makan.


Obat antihistamin diberikan bila gatal terasa sangat mengganggu.
 Menjelaskan pentingnya kebersihan badan dan lingkungan. Jika tubuh
berkeringat, maka segera dikeringkan atau segera mengganti baju.
Menghindari penggunaan handuk secara bersama-sama.
 Sebelum obat habis segera kembali ke dokter karena setelah sembuh klinis
pengobatan dilanjutkan lagi hingga 2 minggu.

6. Monitoring dan Evaluasi


 Bila timbul efek samping yang berat segera kembali ke dokter.
 Apabila gejala masih bertahan atau bertambah parah setelah pengobatan
selama 2 minggu konsultasikan kepada dokter untuk kemungkinan dirujuk
kepada dokter Spesialis Kulit dan Kelamin.

16
DAFTAR PUSTAKA

Asticcioli, S., Silverio, A. D., Sacco, L., Ilaria, F., Vincenti, L., & Romero, E.
(2008, April). Dermathopyte Infections in Patients Attending a Tertiary
Care Hospital in Northen Italy. New Microbiologica, 31, 543-548.
Blauvelt, A. (2008). Pityriasis Rosea. Dalam K. Wolff, L. A. Goldsmith, S. I.
Katz, B. A. Gilchrest, A. S. Paller, & D. A. Leffell, Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine (7th edition ed., Vol. 1 dan 2, hal. 362-
363). New York: McGraw-Hill.
Brannon, Heather (2010-03-08). “Ringworm-Tinea Corporis”. About.com
Dermatology. About.com. Retrieved 2012-11-20.
Budimulya, U., Widaty, S. (2015). Dermatofiosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah
Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p 109–120. Has, Aisah S,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Coimbra, S., Oliveira, H., & Figueiredo, A. (2012). Psoriasis : Epidemiology,
Clinical and Histological Features, Triggering Factors, Assessment of
Severity and Psychosocial Aspects. Portugal: Intech Publisher.
Dismukes, W. E., Pappas, P. G., & Sobel, J. D. (2003). Clinical Mycology. Oxford
University Press.
Duarsa, W. (2010). Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. 2010.
Gomes, F.S, Oliveira, E.F, Nepomuceno, LB. (2012). Dermatophytosis
Diagnosed at the Evandro Chagas Institute, Para, Brazil. Brazilian Jurnal
of Microbiology. 44(2), 443-446.
Gupta, A. K., & Cooper, E. A. (2008). Update in Antifungal Therapy of
Dermatophytosis. Mycopathologia, 166, 353-367.
Hay, R. J., & Moore, M. (2007). Mycologi in Rook Textbook of Dermatology (7th
edition ed.). Blakwell Science.
James, W. D., Berger, T. G., & Elston, D. M. (2011). Andrews' Diseases of The
Skin Clinical Dermatology (11th edition ed.). United Kingdom: Saunders
Elsevier.
Kurniati, C.R.S.P, (2008). Etiopatogenesis Dermatofitosi. FK UNAIR/RSU Dr.
Soetomo Surabaya Berkala Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin, Vol. 20 No.
3 Desember 2008, p 243-250
Lakshmipathy, D. T., & Kannabiran, K. (2010). Review on Dermatomycosis :
Pathogenesis and Treatment. Biomolecules and Genetics, School of
Biosciences and Technologi, VIT University, Vellore, 2(7), 726-731.

17
Mahmoudabadi, A. Z., & Yaghoobi, R. (2008, January). Extensive Tinea Corporis
Due to Trichophyton Rubrum on The Trunk. Jundishapur Journal of
Microbiology, 1(1), 35-37.
Moriarty, B., Hay, R., & Jones, R. M. (2012, Juli). The Diagnosis and
Management of Tinea. BMJ, 1-10.
Rassai, S., Feily, A., Sina, N., & Derakhshanmehr, F. (2011, 1). Some
Epidemiological Aspects of Dermatophyte Infectios in Southwest Iran.
Acta Dermatovenerol Croat, 19, 13-15.
Richardson M, Edwart M. Model System for the Study of Dermatophyte and Non-
dermatophyte Invasion of Human Keratine. Revista Iberoamericana de
Micologia 2000: 115–21.
Rippon, J. W. (1998). Medical Mycology (3rd edition ed.). Saunders Company.
Verma, S., & Heffernan, M. P. (2008). Superficial Fungal Infection :
Dermatophythosis, onicho-mycosis, tine nigra, piedra. Dalam K. Wolff, L.
A. Goldsmith, S. I. Katz, B. A. Gilchrest, A. S. Paller, & D. J. Leffell,
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine (hal. 1807-1821). New
York: McGraw-Hill.
Weinstein, A., & Berman, B. (2002, May). Topical Treatment of Common
Superficial Tinea Infections. American Family Physician, 65(10), 2095-
2102.

18
1

Anda mungkin juga menyukai